laki
f) Persarafan ginjal
Saraf ginjal terdiri dari lebih kurang 15 ganglion. Ganglion ini
membentuk pleksus renalis, akan bergabung dengan pleksus
spermatikus dengan cara memberikan beberapa serabut yang dapat
menimbulkan nyeri testis pada kelainan ginjal.
g) Struktur ureter
Ureter terdiri dari dua buah saluran, panjangnya 25-30 cm.
mulai dari ginjal sampai ke vesika urinaria.Lapisan pada ureter;
lapisan bagian luar terbentuk oleh jaringan ikat, bagian tengah otot
polos, sedangkan bagian dalam adalah mukosa.
Lokasi ureter:
1. Pars abdominalis ureter
Dalam kavum abdominalis, ureter terletak dibelakang
peritonium bagian anterior muskulus psoas mayor. Ureter
kanan terletak pada pars desendens duodinum, turun ke bawah
sampai bagian akhir ilium. Ureter kiri disilang oleh vasa
kaplika, terus sampai dibelakang signoid dan mesenterium.
B. Konsep TURP
1. Pengetian
Suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop. Merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai
efek merugikan terhadap potensi kesembuhan.
Transurethral resection of the prostate (TURP) dapat dipakai sebagai
criteria standar untuk mengurangi “bladder outlet obstruction (BOO)
secondary to BPH”. TURP merupakan metode paling sering digunakan
dimana jaringan prostat yang menyumbat dibuang melalui sebuah alat yang
dimasukkan melalui uretra (saluran kencing). Merupakan salah satu jenis
operasi endoskopi yang banyak dilakukan saat ini adalah TURP (transurethral
resection of the prostate) dimana kelenjar prostat dipotong dengan cara
dikerok dengan menggunakan energi listrik. Setelah TURP dipasang folley
kateter tiga saluran ( three way cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon
30-40 ml. Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah
sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat.
Kemudian ditraksi pada kateter folley untuk meningkatkan tekanan pada
daerah operasi sehingga dapat mengendalikan pendarahan. Ukuran kateter
yang besar dipasang untuk memperlancar membuang gumpalan darah dari
kandung kemih.
2. Indikasi TURP
a) Pasien dengan gejala sumbatan menetap
b) Pembesaran prostat yang progesif dan tidak dapat di terapi dengan obat
c) Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran 30 – 60
gram dan pasien cukup sehat.
3. Dampak TURP
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Timbulnya perubahan
pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca turp.
Adanya keluhan nyeri karena spasme buli-buli memerlukan penggunaan
antipasmodik sesuai terap dokter.
b) Pola nutrisi dan metabolisme klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak
boleh makan dan minum sebelum flatus
c) Pola eliminasi. Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP.
Retensi urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter.
Sedangkan inkontinensia dapat terjadi setelah kateter dilepas.
d) Pola aktivitas dan latihan. Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi
klien yang lemah dan terpasang traksi keteter selama 6-24 jam. Pada paha
yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih
diperlukan.
e) Pola tidur dan istirahat. Rasa nyeri dan perubahan situasi karena
hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f) Pola kognitif dan perseptual. Sistem penglihatan, pendengaran, pengecap,
peraba dan panghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP
g) Pola persepsi dan konsep diri. Klien dapat mengalami cemas karena
kurang pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca
TURP
h) Pola hubungan dan peran karena klien harus menjalani perawatan di RS,
maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam
keluarga, tempat kerja, dan masyarakat.
i) Pola reproduksi sexual. Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi
dan ejakulasi retrograd.
4. Penatalaksanaan Post TURP
Continuous bladder irrigation adalah sebuah prosedur yang dirancang
untuk mencegah formasi dan retensi clot sehubungan dengan dilakukannya
TURP (Christine, Ng, 2001). Afrainin, Syah (2010) menjelaskan
ContinuousBladder Irrigation (CBI) merupakan tindakan membilas atau
mengalirkan cairan secara berkelanjutan pada bladder untuk mencegah
pembentukan dan retensi clot darah yang terjadi setelah operasi transurethral
resection of theprostate (TURP). Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan
kateter threeway ke dalam uretra hingga ke kandung kemih. Prosedur ini
umumnya dilakukan pada 24 jam pertama post operasi TURP dan dilakukan
sebagai bagian dari perawatan post operatif post operasi TURP. Irigasi
bladder tidak boleh dianggap remeh oleh perawat karena risiko komplikasi
yang dapat timbul seperti perdarahan, retensi clot, infeksi genitourinari, dan
kegagalan untuk mengosongkan kandung kemih (Mebust, Holtgrewe,
Cockett, and Petters, 1989 dalam Afrainin, 2010).Afrainin, Syah (2010)
menyatakan bahwa penggunaan kateter tertutup dengan aliran yang
berkelanjutan dapat digunakan dengan kecepatan aliran yang
direkomendasikan 500 ml/jam. Normal saline juga sangat dianjurkan sebagai
cairan irigasi bukan glycine ataupun air steril, dengan kecepatan yang
direkomendasikan untuk mengurangi terjadinya hematuria. Air sebaiknya
tidak digunakan sebagai cairan irigasi, karena akan menyebabkan osmosis,
dan akan mudah diabsorbsi dan menyebabkan sindrom TUR.
Normal saline merupakan cairan yang paling baik karena merupakan
cairan isotonik dan tidak mudah diabsorbsi. Klien dengan irigasi kandung
kemih harus didokumentasikan intake dan output dalam sebuah chart irigasi
bladder. Selain itu, klien juga harus dipantau untuk mengetahui ada atau tidak
hematuria dengan memantau warna urin dan konsistensinya (Afrainin,
2010).Jika tidak terdapat komplikasi, kecepatan aliran dapat dikurangi dan
kateter dapat dilepas pada hari pertama atau hari kedua post
operasi.Pemantauan CBI penting untuk dilakukan guna menghindari risiko
yang mungkin terjadi.Risiko tersebut diantaranya infeksi saluran kemih
(Kennedy, 1984 dalam Afrainin, 2010), clot yang terkumpul yang dapat
menimbulkan obstruksi dan menyebabkan nyeri, kelebihan volume cairan,
dan ruptur kandung kemih (Gilbert and Gobbi, 1989 dalam Afrainin,
2010).Perawat bertanggung jawab untuk memberikan perawatan klien yang
efektif yang meliputi pemantauan aliran berkelanjutan selama 24 jam masa
kritis.Selain itu, perawat juga harus mampu mengidentifikasi kateter yang
tersumbat dan mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasi hal tersebut.
Gilbert and Gobbi (1989) dalam Afrainin, Syah (2010) menjelaskan tanda
dari kateter yang tersumbat antara lain spasme kandung kemih, kebocoran
urin di sekitar kateter, distensi pada area suprapubik, terdapat clot pada
lumen. Selain itu, jumlah output drainase yang tidak sama dengan intake
irigasi atau klien mengeluh terdapat keinginan yang mendesak untuk BAB
(Afrainin, 2010).
5. Komplikasi
a. Impotensi (disfungsi ereksi)
Efek dari pembengkakan prostat yang pertama adalah
impotensi.Impotensi atau disebut juga disfungsi ereksi merupakan
kesulitan mencapai atau mempertahankan ereksi (penis mengeras saat
terangsang). Meskipun kondisi ini umumnya disebabkan oleh masalah
kesehatan lain seperti penyakit jantung, diabetes, kadar testosteron yang
rendah, serta masalah psikologis tertentu, pembengkakan prostat bisa jadi
salah satu pemicunya.
Selain itu, kondisi ini biasanya diakibatkan oleh prosedur
transurethral resection of the prostate (TURP).Prosedur bedah ini
memang biasanya dilakukan pada pasien BPH.Dikutip dari Healthline,
sekitar 5-10 pria mengalami impotensi setelah menjalani pembedahan ini.
Selain prosedur TURP, obat untuk mengobati pembengkakan
prostat yakni alpha blocker juga dapat menyebabkan kesulitan ejakulasi
dan disfungsi ereksi. Alpha blocker seperti doxazosin (Cardura) dan
terazosin (Hytrin) membuat pria lebih susah berejakulasi karena cara
kerja obat ini yaitu mengendurkan kandung kemih dan sel-sel otot
prostat. Salah satu komplikasi pasca operasi yang dapat ditimbulkan
setelah TURP yakni dapat menyebabkan disfungsi ereksi. Sejumlah
pasien mengalami DE 3 bulan setelah TURP (Choi, 2010). TURP yang
diikuti terjadinya impotensi dilaporkan terjadi antara 4% dan 30%.
b. Ejakulasi retrograde
Tak hanya itu, prosedur TURP juga menyebabkan ejakulasi
retrogade atau yang disebut juga dengan orgasme kering. Hal ini
membuat air mani (sperma) yang seharusnya keluar saat orgasme malah
masuk kembali ke kandung kemih, bukan keluar melalui penis seperti
seharusnya.
Menurut Harvard Medical School, sebanyak 50-75 persen pria yang
menjalani TURP mengalami ejakulasi retrograde.Kondisi ini tidak
berbahaya, hanya saja bisa membuat pria tidak subur.Selain itu, hal ini
juga bisa mengurangi kepuasan seksual pasangan Anda. Ejakulasi
retrograde tidak berbahaya, tetapi dapat menyebabkan infertilitas. Ini
membuat inseminasi 'alami' menjadi tidak mungkin.
c. Gairah seksual menurun
Inhibitor alpha reductase seperti dutasteride dan finasteride
diresepkan oleh dokter untuk pasien pembengkakan prostat.Sayangnya,
obat ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan penurunan gairan
seksual pada pria.Pria yang mengonsumsi obat-obatan ini juga dapat
mengalami jumlah sperma yang lebih rendah, volume sperma berkurang,
dan gerakan sperma yang lebih lambat.
C. Spinal Anestesi
Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu Teknik
anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi local
ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom
tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang
menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka perlu diketahui
neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB dan
komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai tergantung
dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade sensoris yang
luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor antara lain
posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan berat jenis obat. Berat
jenis obat lokal anesthesia dapat diubah–ubah dengan mengganti komposisinya,
hiperbarik diartikan bahwa obat lokal anestesi mempunyai berat jenis yang lebih
besar dari berat jenis cairan serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan
glukosa, namun apabila ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi
hipobarik (Gwinnutt, 2011).
1. Indikasi Spinal Anestesi
a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah
dan tulang.
b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya
atau pembedahan saluran kemih.
c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi
peritoneal.
d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e. Diagnosa dan terapi
2. Kontra indikasi Spinal Anestesi
a. Absolut
1) Pasien menolak
2) Infeksi tempat suntikan
3) Hipovolemik berat, syok
4) Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intracranial yang meninggi
6) Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
7) Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
b. Relatif
1) Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
2) Kelainan neurologis
3) Kelainan psikis
4) Pembedahan dengan waktu lama
5) Penyakit jantung
6) Nyeri punggung
7) Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal
3. Persiapan spinal Anestesi
Pada dasarnya persiapan anestesi spinal seperti persiapan anestesi
umum, daerah sekitar tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan,misalnya kelainan anatomis tulang punggung atau pasien
gemuk sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus ( Latief, 2011)
Selain itu perlu di perhatikan hal-hal dibawah ini :
a. Izin dari pasien (Informed consent)
b. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
c. Pemeriksaan Laboratorium anjuran HB, HT, PT (Protombin Time)
dan PTT (Partial Thromboplastine Time).
d. Obat-obat Lokal Anesthesi
Anestetik local yang paling sering digunakan:
1) Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat
isobaric, dosis 20-100 mg (2-5ml)
2) Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat
jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml)
3) Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat
isobaric, dosis 5-20 mg
4) Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15 mg (1-3 ml)
4. Persiapan alat anestesi spinal ( Latief, 2011)
a. Peralatan monitor
b. Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG.
c. Peralatan resusitasi / anestesi umum.
d. Jarum spinal
5. Prosudur spinal anestesi
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor
yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan
nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh
peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh,
anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan
terbuka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan
meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian
meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards, 2012)
Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut
(Morgan, 2011):
1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan
ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat
tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka
pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2) Posisi pasien :
a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-
10cm, lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah
dada.
b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna
vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat
premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang
asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini
digunakan terutama bila diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter
bedah menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3) Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine,
alkohol, kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4) Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar
nomor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga
untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran
puncture headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan
stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila
ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor
harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan.Bila keluar darah,
tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor
yang jernih.Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi
bila masih merah, pindahkan tempat tusukan.Darah yang mewarnai
likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal
karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
6. Keuntungan dan kerugian spinal anestesi
Keuntungan penggunaan anestesi regional adalah murah,
sederhana, dan penggunaan alat minim, non eksplosif karena tidak
menggunakan obat-obatan yang mudah terbakar, pasien sadar saat
pembedahan, reaksi stres pada daerah pembedahan kurang bahkan tidak
ada, perdarahan relatif sedikit, setelah pembedahan pasien lebih segar atau
tenang dibandingkan anestesi umum. Kerugian dari penggunaan teknik ini
adalah waktu yang dibutuhkan untuk induksi dan waktu pemulihan lebih
lama, adanya resiko kurang efektif block saraf sehingga pasien mungkin
membutuhkan suntikan ulang atau anestesi umum, selalu ada
kemungkinan komplikasi neurologi dan sirkulasi sehingga menimbulkan
ketidakstabilan hemodinamik, dan pasien mendengar berbagai bunyi
kegiatan operasi dalam ruangan operasi (Morgan et.al 2011)
7. Komplikasi spinal anestesi
Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan
bicara, batuk kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah
operasi, retansi urine dan kerusakan saraf permanen (Bunner dan Suddart,
2012).