Coba anda perhatikan berita-berita korupsi yang dipublikasikan oleh media luas, tentu
fokus utama dari pembahasan masyarakat adalah jumlah kerugian keuangan negara dari kasus
korupsi yang terjadi. Hal ini memang tidak salah, karena kerugian keuangan negara akibat kasus
korupsi memang mempengaruhi kemampuan negara dalam melakukan kegiatan pembangunan.
Namun, kerugian akibat korupsi tidak hanya sekadar keuangan negara (biaya eksplisit
korupsi) melainkan juga dampak korupsi terhadap alokasi sumber daya yang tidak optimum (biaya
implisit korupsi). Kerugian keuangan negara (pemerintah) akibat korupsi, pada dasarnya hanyalah
sebagian dari kerugian korupsi terhadap perekonomian. Secara definisi, negara terdiri dari tiga
elemen: 1) pemerintah; 2) dunia usaha; 3) masyarakat atau rumah tangga.
Dengan demikian, kerugian keuangan negara (pemerintah) akibat korupsi pada dasarnya
hanyalah sebagian dari dampak korupsi terhadap perekonomian negara, mengingat kerugian
korupsi terhadap sektor bisnis dan kerugian korupsi kepada rumah tangga belum diperhitungkan.
Oleh karena itu, muncul sebuah istilah yaitu biaya sosial korupsi. Pada dasarnya, biaya sosial
korupsi adalah besarnya dampak korupsi terhadap perekonomian negara.
Biaya sosial korupsi tidak hanya mencakup kerugian keuangan negara (pemerintah), tetapi
juga kerugian akibat korupsi yang dialami masyarakat dan kerugian akibat korupsi yang dialami
oleh dunia usaha. Hasil korupsi tentu saja hanya dinikmati oleh segelintir orang, namun demikian
biaya-biaya yang ditimbulkan akibat korupsi seperti biaya oportunitas, alokasi sumber daya yang
tidak efektif dan tepat sasaran, menurunkan efek pengganda (multiplier effect) ekonomi, dan
memburuknya kesenjangan pendapatan, menjadi beban seluruh elemen negara (masyarakat, dunia
usaha dan pemerintah).
Biaya sosial kejahatan tidak saja berupa kerugian material (tangible costs) namun juga
banyak komponen biaya sosial kejahatan yang bersifat kerugian immaterial (intangible costs).
Berbeda dengan kerugian material yang lebih mudah diobservasi, kerugian immaterial lebih sulit
diestimasi dan diperlukan model ekonomika serta variable proxy untuk mengestimasinya. Terlepas
dari kompleksitas estimasi biaya immaterial, para ekonom mengembangkan berbagai model untuk
mengestimasi biaya immaterial dari tindak kejahatan ini (lihat Miller et al, 1996, Walker, 1997,
Cohen, 2000, Brand and Price, 2000, Dubourg, 2005).
Seperti halnya biaya sosial kejahatan (Brand and Price, 2000), biaya sosial korupsi dapat
disusun dari tiga elemen: a) biaya antisipasi terhadap korupsi, b) biaya akibat korupsi, dan c) biaya
reaksi terhadap korupsi. Ketika kita berbicara biaya antisipasi korupsi (seperti biaya sosialisasi)
dan biaya akibat-reaksi (biaya peradilan, penyidikan, operasional, dan proses perampasan) yang
seharusnya bisa dipergunakan untuk kepentingan lainnya apabila tindakan korupsi tersebut tidak
ada. Seluruh biaya-biaya ini jika kita hitung dan masukkan dalam pertimbangan maka
menyebabkan biaya sosial korupsi akan jauh lebih besar ketimbang kerugian keuangan negara.
Selama ini kita cenderung underestimate dalam hal penghitungan dampak korupsi.
Bahaya Korupsi
Begitu juga dengan hubungan negatif antara korupsi dengan kualitas pemerintahan yang
ditunjukkan Grafik 2. Indeks persepsi korupsi yang tinggi (tingkat korupsi rendah) berhubungan
positif dengan efektivitas pemerintahan, kualitas demokrasi, indeks kinerja ekonomi, dan kualitas
kinerja pemerintahan. Fakta ini membuktikan bahwa negara yang marak dengan praktik korupsi
menghambat kinerja pemerintahan, sehingga berdampak buruk terhadap masyarakat luas. Kualitas
pemerintahan yang buruk juga mempengaruhi performa ekonomi secara negatif juga. Bahkan,
korupsi juga memiliki hubungan negatif dengan konflik. Grafik 3 memperlihatkan bahwa negara
dengan indeks persepsi korupsi tinggi cenderung lebih stabil dari konflik.
Grafik 3. Hubungan Korupsi dengan Kerentanan Konflik
Sumber: QoG dataset oleh University of Gothenberg (2020)
Dampak korupsi, atau biaya sosial korupsi, terbagi menjadi dua, yaitu ketidakadilan dalam
generasi (intragenerational inequity) dan ketidakadilan antar-generasi (intergenerational inequity).
Ketidakadilan dalam generasi terjadi karena alokasi sumber daya bersifat sub-optimum dan tepat
sasaran, sehingga hanya menguntungkan segelintir orang saja dan memperburuk ketimpangan.
Ketidakadilan antar-generasi terjadi mengingat dampak yang ditimbulkan oleh korupsi, tidak saja
membebani generasi sekarang namun juga generasi yang akan datang. Contohnya, korupsi pada
bidang kesehatan dan pendidikan mengakibatkan tingkat pendidikan maupun kesehatan generasi
mendatang tidak maksimal yang berujung pada ketimpangan hak warga negara. Atau, kasus
korupsi pada sektor lingkungan menyebabkan kerusakan lingkungan dan merugikan generasi masa
depan