Anda di halaman 1dari 5

Nama : Alfiaturrosyidah

NIM : 11911123691

Kelas : V (Lima) C

Jawaban

1. Cak Nur, Gus Dur, Kuntowijoyo, dan Tradisi Intelektual Islam (Absen 1-12)

Latar belakang sosio–historis perlu dipahami, agar kita bisa melihat posisi Indonesia
dalam kancah tradisi intelektual muslim secara global. Dengan mempelajari sejarah
intelektual bangsa sendiri, maka diharapkan akan muncul kesadaran sejarah. Sehingga
generasi muslim masa kini mampu membawa tradisi intelektual bangsa ini kepada gerak
sejarah yang lebih baik, lebih manusiawi. Mengapa tradisi intelektual Islam negeri ini perlu
dibahas, pertama, hal ini mengingat konteks kekinian di mana perhatian kaum muslim
Indoensia begitu tersita pada persoalan politik praktis. Dan bukan hanya tersita, tapi sudah
mengarah pada kondisi tidak sehat dengan tendensi saling menyalahkan orang yang berbeda
sikap politiknya. Sehingga terkesan seolah-olah politik identitas sebagai seorang muslim
adalah satu-satunya cara dalam ber-Islam secara kaffah.

Seorang cendekiawan, kata Gus Dur, “haruslah terbuka oleh kenyataan bahwa sendi-
sendi keimanan Islam yang diyakininya juga sedang mengalami gempuran-gempuran
dahsyat dari modernisasi. Tanggung jawab kepada bangsa timbul dari kenyataan bahwa
bangsa muslim saat ini sedang dihadapkan pada krisis berkepanjangan akibat
ketidakmampuan di masa lampau untuk mencari jawaban yang memuaskan terhadap
tantangan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan”.

Faktor kedua, mengapa tradisi intelektual Islam perlu dan mendesak untuk kita bahas
dalam konteks zaman sekarang ialah, agama mestinya mampu menjadi daya dorong bagi
kemajuan sebuah bangsa. Karya klasik Max Weber dalam Protestan Ethic and Spirit of
Capitalism, telah sangat jelas menguraikan bagaimana nilai-nilai agama mampu menjadi
daya dorong kemajuan. Kajian akan peranan agama dalam kemajuan bangsa, juga dilakukan
oleh Thomas Showell dalam buku Ethnic America. Showell menunjukkan bahwa tradisi
Yahudi yang menghargai teks (buku) sangat berpengaruh bagi kemajuan sebuah negeri yang
bernama Amerika Serikat.
Maka pertanyaan yeng perlu menjadi renungan kita bersama, bagaimana relasi tradisi
intelektual Islam tanah air dengan kemajuan bangsa ini. Tradisi Islam adalah tradisi yang
sangat menghormati teks, demikian kata Nidal Guessom, Guru Besar Fisika dan Astronomi
dalam Islam and Modern Science. Langkah kecil yang bisa kita lakukan berupa sikap
menghargai teks, buku atau kitab. Dan berupaya bersikap terbuka terhadap semua jenis ilmu,
dan bersikap menghormati berbagai pandangan yang berbeda dengan pandangan kita.

Sumber: https://geotimes.id/opini/cak-nur-gus-dur-kuntowijoyo-dan-tradisi-intelektual-islam/

2. Karakteristik Aliran Filsafat


a. Positivisme
Positivisme adalah aliran pemikiran hukum tentang hukum yang ideal bagi
masyarakat. Dalam perkembangannya, kemudian kita mengenal kendala-kendala
yang harus dihadapi. Karena konsekuensi logis dari suatu pemikiran pasti akan
mengalami pertentangan, itulah dasar pemikiran dialektis terhadap sejarah dan
substansinya. Auguste Comte mendefinisikan terminology positive dengan beberapa
makna:
a) Sebagai lawan dari sesuatu yang bersifat khayal. Maka positif merupakan suatu
hal yang nyata; ajaran positivis menyatakan bahwa objek sasaran penyelidikan
haruslah sesuatu yang didasarkan pada kemampuan akal, jika tidak mampu
dijangkau oleh akal, maka bukanlah sasaran penyelidikan;
b) Sebagai lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat. Di dalam positivism selalu
ditekankan optimism terhadap kemajuan yang datang dari kemanfaatan suatu hal;
c) Lawan dari suatu hal yang meragukan. Positivism merupakan pengidentifikasian
sesuatu yang telah bersifat pasti, yang memiliki keseimbangan logis;
d) Lawan dari suatu yang bersifat kabur. Positif merupakan sifat bagi sesuatu yang
jelas dan tepat; pemikiran positivism mengajarkan untuk selalu berpikir jelas dan
tepat mengenai gejala-gejala dari suatu hal;
b. Naturalisme
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan
realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti,
mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari
fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh
sains alam. Istilah naturalisme adalah kebalikan dari istilah supernaturalisme yang
mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada
(wujud) di atas atau di luar alam (Titus dalam makalah Ahmad, 2012). Naturalisme ini
begitu menjunjung tinggi alam sebagai sarana utama dalam kehidupan manusia,
bahkan Tuhan pun diyakini tidak ada hubungannya atau tidak peduli dengan alam.
Landasan kebenaran berpatokan pada pemikiran ilmiah yang dapat dibuktikan
kebenarannya secara nyata.
c. Sekularisme
Sekularis mekularisme merupakan kata-kata yang selalu dikaitkan dengan kehidupan
duniawi. Kata-kata itu tidak mempunyai kesucian bila disejajarkan urusan gereja.
Sedang masyarakat islam tidak mengenal istilah tersebut. Sebab Islam mengatur
semua sisi kehidupan, baik individu maupun sosial. Islam tidak mengenal
pertentangan seperti dalam kehidupan masyarakat Barat, dan memang tidak ada
tempat bagi sekularisme. Sekularisme sendiri adalah suatu aliran yang menganggap
bahwa ajaran Agama harus dipisahkan dari urusan Negara. Agama tidak berhak
mencampuri urusan politik, ekonomi, pendidikan, hukum dan tata Negara.
Sekularisme berasal dari kata Yunani “saecular” yang berarti “keduniawian”,
kemudian ditulis dengan kata “secular” dalam bahasa inggris.
3. Kebenaran dalam Pandangan Epistemologi Islam
a. Korespondensi
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) memandang bahwa
kebenaran adalah kesesuaian antara pernya-taan tentang sesuatu dengan kenyataan
sesuatu itu sendiri. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian
antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah
benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini
sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan.Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan
ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad
Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang
diketahuinya.Dua kesukaran utama yang didapatkan dari teori korespondensi adalah:
Pertama, teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang
terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau
kekeliruan dari suatu pernyataan.
Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan
dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.Kedua, teori korespondensi
bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat
setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan
realitasnya atau tidak.”
b. Koherensi
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria
koheren atau konsistensi.Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan
komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-
pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah
percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan
kecepatan dalam fisika.
Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth)
memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui
sebagai benar.Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan
proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
c. Pragmatisme
Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh
William James di Amerika Serikat.Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang
berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah,
personal atau sosial.Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah
tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya.Kebenaran suatu
pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.Pragmatism merupakan
aliran filsafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19, yang menekankan
pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem solving)
dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis.Tokoh
pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal juga
sebagai tokoh semiotic, William James30 (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah
benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan rasionalisme.
Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan
(workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241). Sehingga dapat
dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang
benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-
akibatnya yang bermanfaat secara praktis.

Anda mungkin juga menyukai