Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. PENGERTIAN
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Musliha, 2010).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
(Pierce & Neil, 2006).
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala
adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara
langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematiaan.

B. ETIOLOGI
Penyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan
yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah),
jatuh, dan pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan
benda tajam dan tembakan. Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala
serius adalah kecelakaan sepeda motor. Hal ini disebabkan sebagian besar
(>85%) pengendara sepeda motor tidak menggunakan helm yang tidak
memenuhi standar. Pada saat penderita terjatuh helm sudah terlepas sebelum
kepala menyentuh tanah, akhirnya terjadi benturan langsung kepala dengan tanah
atau helm dapat pecah dan melukai kepala.
Menurut Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olahraga.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat
sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat
merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

C. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA


Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan
bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/tembakan, cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
2. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup
meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi
berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Glasgow Coma Scale (GCS) yang dimaksud adalah :
1. Membuka mata (Eye Open)
 Membuka mata spontan 4
 Membuka mata terhadap perintah 3
 Membuka mata terhadap nyeri 2
 Tidak membuka mata 1
2. Respon Verbal (Verbal Response)
 Orientasi baik dan mampu berkomunikasi dengan
5
baik
 Bingung (mampu membentuk kalimat, tetapi arti
4
keseluruhan kacau)
 Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa
3
kalimat
 Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang
2
(groaning)
 Tidak ada suara 1

3. Respon motorik (Motoric Response)


 Menurut perintah 6
 Mengetahui lokasi nyeri 5
 Menolak rangsangan nyeri pada anggota gerak 4
 Menjauhi rangsangan nyeri (flexion) 3
 Ekstensi spontan 2
 Tidak ada gerakan 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapatdiklasifikasikan


menjadi:
a. Cedera kepala ringan, bila GCS 13-15
1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.Tidak ada kehilangan
kesadaran
2) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
3) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
4) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
5) Tidak adanya criteria cedera kepala sedang-berat
b. Cedera kepala sedang, bila GCS 10-12
1) Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan.
2) Amnesia paska trauma
3) Muntah
4) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
5) Kejang
c. Cedera kepala berat, bila GCS 3-9
1) Penurunan kesadaran sacara progresif
2) Tanda neorologis fokal
3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium

D. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 -
60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan
akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi.

E. TANDA DAN GEJALA (MANIFESTASI KLINIS)


a. Komosio Serebri (gegar otak)
Gegar otak berasal dari benturan kepala yang menghasilkan getaran
keras atau menggoyangkan otak, menyebabkan perubahan cepat pada fungsi
otak , termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10 menit yang
disebabkan cedera pada kepala.
Tanda-tanda dan gejala gegar otak, yaitu hilang kesadaran, sakit
kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunang-kunang, pening,
lemah, pandangan ganda.
b. Kontusio serebri (memar otak)
Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya dapat
diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada kepala. Memar otak
menimbulkan memar dan pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah
dalam otak pecah dan perdarahan, pasien pingsan pada keadaan berat dapat
berlangsung berhari-hari hingga berminggu-minggu. Terdapat amnesia
retrograde, amnesia pascatraumatik, dan terdapat kelainan neurologis,
tergantung pada daerah yang luka dan luasnya lesi.
1) Gangguan pada batang otak menimbulkan peningkatan tekanan
intracranial yang dapat menyebabkan kematian.
2) Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau bersifat Cheyne-
Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas
dekortikal (kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan
kaku dalam sikap fleksi)
3) Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pernafasan hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya
tidak ada, gerakan mata diskonjugat (tidak teratur), regiditasdesebrasi
(tungkai dan lengan kaku dalam sikap ekstensi).
c. Hematoma epidural
Perdarahan terjadi diantara durameter dan tulang tengkorak.
Perdarahan ini terjadi karena terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria
meningea media, robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria
diploica. Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak.
Gejala yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa
sadar setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin
bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin
bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.
d. Hematoma subdural
Perdarahan terjadi di antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam
durameter atau karena robeknya arakhnoid.
Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit
kepala yang semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran
penderita semakin menurun, terdapat kelainan neurologis seperti hemiparesis,
epilepsi, dan edema papil.
Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis :
1) Hematoma Subdural Akut
Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan
dapat kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.
2) Hematoma Subdural Sub-Akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma.
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul
disekitarnya.
3) Hematoma Subdural Kronik
Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.
Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung
pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi
durameter. Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan
baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam
kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan
dari ruangan subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan
gejala seperti tumor serebri.
4) Hematoma intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di
dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat.
Gejala-gejala yang ditemukan adalah hemiplegi, papil edema serta gejala-
gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat, arteriografi karotius
dapat memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi
kontralateral serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak
normal.
e. Fraktura basis kranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk
rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam
keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia
retrigad dan amnesia pascatraumatik.
Gejala tergantung letak frakturnya, yaitu :
1) Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata
dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematoma atau Racoon’s Eyes),
rusaknya nervus olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous
sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V
shunt).
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat
melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga
penderita dapat mati seketika.
Menurut Judha (2011), tanda dan gejala dari cidera kepala antara lain:
a. Skull Fracture
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keluar dari telinga dan hidung
(otorrea, rhinorhea), darah dibelakang membran timpani, periobital ecimos
(brill hematoma), memar di daerah mastoid (battle sign), perubahan
pengelihatan, hilang pendengaran, hilang indra penciuman, pupil dilatasi,
berkurangnya gerakan mata dan vertigo.
b. Concussion
Tanda yang didapat diantaranya adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang
dari 5 menit, amnesia retrograde, pusing, mual, dan muntah. Contusins dapat
dibagi menjadi 2, yaitu cerebral contusion dan brainsteam contusion, tanda
yang terdapat:
1) Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan atau
cepat.
2) Pupil biasanya mengecil, equal dan reaktif jika kerusakan sampai batang
otak bagian atas (saraf kranial ke-III) dapat menyebabkan keabnormalan
pupil.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada trauma kepala
menurut Grace, Piere A. 2006:
1. CT Scan / MRI menunjukkan kontusio, hematoma, hidrosefalus, edema
serebral; mengidentifikasi luasnya lesi,perdarhan, determinan ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
2. Pengkajian neurologis dengan GCS
GDA (Gas Darah Arteri) untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.Angiografi Serebral menunjukkan
kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema,
perdarahan dan trauma.
3. EEG akan memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang yang
patologis
4. Sinar X akan mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur
pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya
frakmen tulang).
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan pada klien dengan cidera
kepalaantara lain.
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa
40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan
lunak.
g. Pembedahan.

H. KOMPLIKASI
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari perluasan
hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak, komplikasi
dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin
berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan
dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang
berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat
tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk
memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin
kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk
keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih banyak
darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah paru
berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi
oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan TIK
lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,
dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang
mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. Yang merupakan
komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal
jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas paten
dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena. Hati-
hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
4. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur
tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan merobek
meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh dibersihkan,
diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah hidung atau
telinga. Instruksikan klien untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
5. Infeksi

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Airway
Airway Manajemen merupakan suatu hal yang terpenting dalam
melakukan resusitasi dan membutuhkan ketrampilan khusus dengan
penanganan keadaan gawat darurat. Oleh sebab itu, hal yang pertama harus
segera dinilai adalah kelancaran jalan nafas, meliputi pemeriksaan jalan nafas
yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur manibula atau maksila, fraktur
laring (Dewi, 2013 dalam Setyawan, 2015).
Adapun gangguan jalan nafas (airway) terjadi dikarenakan lidah yang
jatuh kebelakang. Ketika cedera tidak ada di daerah cervikal, dengan posisi
kepala ekstensi, jika tidak membantu maka akan dilakukan pemasangan pipa
orofaring atau pipa endotrakeal dan dilakukan pembersihan dibagian mulut
dengan adanya lendir, darah, muntahan, atau gigi palsu (Wahjoepramono,
2005). Gangguan airway ini juga dapat timbul secara mendadak dan total,
perlahan-lahan dan secara berulang (Dewi, 2013 dalam Setyawan, 2015).
Bebasnya jalan nafas paling terpenting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Ketika penderita tidak mampu dalam mempertahankan jalan
nafas oleh karena itu, patensi jalan nafas harus segera diipertahankan dengan
cara buatan, diantaranya: reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Smith, Davidson, Sue,
2007). Dalam usaha untuk membebaskan jalan nafas harus segera melindungi
pada vertebra servikal. Hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau
jaw thrust. Pada pasien yang dapat berbicara, dianggap bahwa jalan nafasnya
bersih, walaupun penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan.
Pasiendengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale< 8 ini
memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tidak
bertujuan dalam mengindikasikan diperlukan pada airway definitif.
2. Breathing
Oksigen terpenting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan
konstan O2 digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi dan
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus menerus (Dewi, 2013).
Terbukanya airway yaitu langkah awal yang tepenting untuk pemberian
oksigenkonsenterasi tinggi (nonrebreather mask 11-12 liter/menit). Oksigenasi
menunjukkan pengiriman oksigen sesuai ke jaringan ini untuk memenuhi
kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Krisanty,
2009).
Gangguan pernafasan (breathing) terjadi adanya gangguan bersifat
sentral maupun perifer. Kelainan perifer disebabkan karena akibat dari adanya
aspirasi atau trauma dada yang menyebabkan pneumothorax atau gangguan
gerakan pernafasan. Hal ini terjadi karena kerusakan pusat napas di otak
(Wahjoepramono, 2005). Oleh sebab itu, hal yang pertama harus segera dinilai
yaitu perhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi dengan buka leher dan
dada penderita, tentukan dengan laju dan dalamnya pernafasan, lakukan
inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan deviasi
trakhea, espansi thoraks yang simetris, perhatikan pemakaian otot-otot
tambahan dan tanda-tanda cedera, lakukan perkusi thoraks untuk menentukan
redup atau hipersonor dan auskultasi pada thoraks bilateral (Greenberg 2005
dalam Arsani, 2011). Disamping itu, nilai PaO2 yang direkomendasikan >75
mmHg dankadar PaCO2 yaitu 35-38 mmHg (Arifin, 2013).
Ketika pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-maskini cara yang lebih efektif jika dilakukan oleh dua orang
dimana kedua tangan dari salah satu petugas (ATLAS, 2004)
3. Circulation
Perdarahan merupakan salah satu penyebab kematian setelah truma
(Krisanty, 2009). Gangguan sirkulasi (circulation) terjadi karena cedera otak,
dan faktor ekstra kranial. Gangguan ini terjadi kondisi hipovolemia yang
mengakibatkan pendarahan luar, atau ruptur organ dalam abdomen, trauma
dada, tamponade jantung atau pneumothoraks dan syok septik.
(Wahjoepramono, (2005).
Pada shock hipovolemik ini dibatasi dengan tekanan darah kurang dari
90 mmHg dan dapat mengalami penurunan tekanan darah yang berpengaruh
terhadap tingkat kinerja otak (Arifin, 2013) Oleh sebab itu, hal yang pertama
harus segera dinilai adalah mengetahui sumber perdarahan eksternal dan
internal, tingkat kesadaran, nadi dan periksa warna kulit dan tekanan darah
(Greenberg 2005 dalam Arsani, 2011 & ATLS 2004)
4. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat (ATLS, 2004). Selain itu,Pemeriksaan neurologis
secara cepat yaitu dengan menggunakan metode AVPU (Allert, Voice
respone, Pain respone, Unrespone) (Pusbankes 118, (2015). Hal ini yang
dinilai yaitu tingkat kesadaran dengan memakai skor GCS/PTS, ukuran dan
reaksi pupil (Musliha, (2010).
Dalam hal ini, penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh adanya
penurunan oksigenasi atau perfusi ke otak serta trauma langsung (Pusbankes
118, 2015). Menurut Greenberg (2005) dalam Arsani 2011 bahwa nilai
pupil dilihat dari besarnya isokor, reflek cahaya, awasi adanya tanda-tanda
lateralisasi, evaluasi maupun Re-evaluasi airway, oksigenasi, ventilasi serta
circulation.
5. Exposure
Pada exposure merupakan bagian terakhir dari primary survey,pasien
harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk melakukan pemeriksaan thoraks
kemudian diberikan selimut hangat, cairan intravena yeng telah dihangatkan
dan ditempatkan pada ruangan cukup hangat ini dilakukan pada saat dirumah
sakit (Musliha, 2010). Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan
cara long roll (Dewi 2013). Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus segera
dilakukan tindakan agar mencegah terjadinya hiportermia.
Dalam pemeriksaan penunjang ini dilakukan pada survey primer, yaitu
pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, foto thoraks, dan foto
polos abdomen. Tindakan lainnya seperti pemasangan monitor EKG, kateter
dan NGT.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Nurarif (2013) dalam Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC, beberapa masalah yang
mungkinmuncul pada pasien dengan cedera kepala, yaitu :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak edema otak/penyumbatan aliran darah
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
sputum.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas yang lama
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif
dan penurunan kekuatan/tahanan.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan luka pembedahan dan tindakan invasif
C. RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa
No Tujuan Intervensi
Keperawatan
1 Ketidakefektifan NOC Outcome : NIC:
perfusi jaringan  Perfusi jaringan Circulatory care:
otak edema cerebral 1) Monitor vitalsign
otak/penyumbatan  Balance cairan Client 2) Monitor status neurologi
aliran darah 3) Monitor status
Client Outcome : hemodinamik
 Vital sign membaik 4) Posisikan kepela klien head
 Fungsi motorik Up 30o
sensorik membaik 5) Kolaborasi pemberian
manitolsesuai instruksi
2 Ketidakefektifan NOC Outcome : NIC :
bersihan jalan Status respirasi : Manajemenjalan napas
nafas berhubungan  Pertukaran gas baik 1) Monitor status respirasi
dengan  Kepatenan jalan nafas danoksigenasi
penumpukan  Ventilasi baik 2) Bersihkan jalan napas
sputum.  Kontrol aspirasi 3) Auskultasi suara
pernapasan
Client Outcome : 4) Berikan Oksigen sesuai
 Jalan napas paten program
 Sekret dapat
dikeluarkan Suctioningair way
1) Observasi sekret yang
 Suara napas bersih
keluar
2) Auskultasi sebelum dan
sesudah melakukansuction
3) Gunakan peralatan steril
pada saat melakukan
suction
4) Informasikan pad a klien
dankeluarga tentang
tindakan suction
3 Kerusakan NOC Outcome : NIC :
integritas kulit  Integritas jaringan 1) Perawatan lukadan
berhubungan kulit meningkat pertahanankulit
dengan imobilitas 2) Observasi lokasi terjadinya
yang lama Client Outcome : kerusakan integritas kulit
 Integritas kulit utuh 3) Kaji faktorresiko
kerusakanintegritas kulit
4) Lakukan perawatan luka
5) Monitorstatus nutrisi
6) Atur posisi klien tiap 2 jam
sekali
4 Intoleransi NOC Outcome : NIC :
aktivitas  Pergerakan sendi aktifTerapi latihan(pergerakan
berhubungan  Tingkat mobilisasi sendi)
dengan kerusakan  PerawatanADLs 1) Observasi keadaan umum
persepsi atau klien
kognitif dan Client Outcome : 2) Tentukan ketebatasan
penurunan  Peningkatan gerak klien
kekuatan/tahanan. kemampuan dan 3) Lakukan ROM sesuai
kekuatan otot dalam kemampuan
bergerak 4) Kolaborasi dengan terapis
 Peningkatan aktivitas dalam melaksanakan
fisik latihan

Terapi latihan (kontrol otot)


1) Evaluasifungsi sensori
2) Tingkatkan aktivitas
motoriksesuai kemampuan
3) Gunakan sentuhan guna
meminimalkan spasme
otot
5 Resiko infeksi NOC Outcome : NIC :
berhubungan Statusimunologi Kontrol infeksi
dengan luka  Kontrol infeksi 1) Pertahankan kebersihan
pembedahan dan  Kontrol resiko lingkungan
tindakan invasif 2) Batasi pengunjung
Client Outcome : 3) Anjurkan dan ajarkan pada
 Bebas dari tanda- keluarga untuk cuci tangan
tanda infeksi sebelum dan sesudah
 Angka leukosit dalam kontakdengan klien
batas normal 4) Gunakan teknik septik dan
 Vital signdalam batas aseptik dalamperawatan
normal klien
5) Pertahankan intake nutrisi
yangadekuat
6) Kaji adanya tanda-tanda
infeksi
7) Monitor vital sign
8) Kelola terapi antibiotika

Pencegahan infeksi
1) Monitor vital sign
2) Monitor tanda-tanda
infeksi
3) Monitor hasillaboratorium
4) Manajemenlingkungan
5) Manajemen pengobatan
PATHWAY
DAFTAR PUSTAKA

Atlas, Ronald M. 2004. Handbook of Microbiological Media Third Edition. Volume


1. United States Of America: CRC Press.
Bare BG., Smeltzer SC. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku Untuk Brunner
dan Suddart. alih bahasa oleh Yasmin Asih. Jakarta: EGC.
Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges Marlyn E. 2011. Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, (Edisi 3). (Alih Bahasa 1 Made
Kriase). Jakarta: EGC.
Ginsberg L. 2005. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In:Ginsberg
L,editor.Lecture Notes-Neurologi. Jakarta: Erlangga.
Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. 2006. Ilmu Bedah. Alih Bahasa dr. Vidia Umami.
Editor Amalia S. Edisi 3. Jakarta: Erlangga.
Judha M & Rahil H.N. 2011. Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing.Kristanti, Handriani. 2009. Penyakit Akibat
Kelebihan & Kekurangan Vitamin,. Mineral & Elektrolit. Jakarta: Citra
Pustaka.
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nurarif & Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Pusbankes 118. 2015. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat: Basic Trauma and
Cardiac Life Support (BTCLS) Edisi XI. Yogyakarta: Baker-PGDM PERSI.
Rosjidi, C. H. 2007. Asuhan Keperawatan Klien dengan Cedera Kepala.
Yogyakarta: Ardana Media.

Anda mungkin juga menyukai