Anda di halaman 1dari 23

PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA

INDONESIA
Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, walaupun dikatakan mempunyai


sistem, dalam pemakaiannya selalu timbul masaIah-masalah, baik masalah yang
berhubungan dengan bunyi, bentukan kata, penulisan, maupun pemakaian
kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang seiring
dengan perkembangan pikiran dan budaya pemakai bahasa yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, timbulnya masalah kebahasaan pada bahasa tertentu, misalnya
dalam bahasa Indonesia, tidak berarti bahasa itu kurang maju, kurang mapan,
dan sebagainya.

Pemakaian kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan


problema-problema. Setelah dikelompokkan, paling tidak ada tujuh problema,
yaitu

(1) problema akibat bentukan baru,


(2) problema akibat kontaminasi,
(3) problema akibat adanya unsur serapan,
(4) problema akibat analisis,
(5) problema akibat perlakuan kluster,
(6) problema akibat proses morfologis bentuk serapan, dan
(7) problema akibat perlakuan bentuk majemuk.

Berturut-turut, jenis problema di atas dibicarakan berikut ini.

A.Problema Akibat Bentukan Baru


Pada akhir-akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakai
bahasa Indonesia. Misalnya bentuk memberhentikan, memberlakukan,
keberhasilan, keterbelakangan, dikesanakan, dikekirikan, turinisasi, lelenisasi,
duniawi, dan badani, misalnya dalam kalimat:

1)Direktur CV "Marga" telah memberhentikan sekretarisnya.


2) Apakah Saudara tidak tahu bahwa Ketua RT telah memberlakukan keputusan
rapat warga seminggu yang lalu?
3) Keberhasilan yang Anda capai selama ini harus Anda pertahankan.
4) Kita harus belajar giat agar keterbelakangan kita tidak terulang.
5)Agar tidak semrawut, barang-barang ini perlu dikesanakan.
6)Supaya lapang, letak tiang ini sebaiknya dikekirikan saja.
7)Program turinisasi di daerah Probolinggo telah berhasil.
8)Program lelenisasi sangat tepat dilaksanakan di daerah-daerah rawa.
9)Sebagai manusia sosial, kita harus manusiawi terhadap sesama.
10)Menurut cerita barang siapa minum air surgawi akan awet muda.
Bentuk memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru sebab
bentuk yang berkonstruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks + bentuk dasar +
sufiks) sebelumnya tidak ditemukan. Dari kenyataan itu, lalu timbul
pertanyaan: "Apakah dibenarkan suatu konstruksi yang dibentuk dengan dua
prefiks?". Pertanyaan itu sebenarnya akibat ketidaktahuannya atas proses
pembentukan konstruksi di atas. Konstruksi ini memang terdiri atas empat
morfem, tetapi pembentukannya tidak secara screntak. Konstruksi ini dibentuk
secara bertahap. Pertama, konstruksi ini dibentuk dari gabungan {ber-} dan
henti. Lalu, konstruksi berhenti dibentuk dengan menambahkan {meN-} dan
{-kan} (sebagai sumulfiks), sehingga berkonstruksi memberhentikan. Begitu juga
konstruksi memberlakukan. Pertamatama, konstruksi itu dibentuk dari ber- dan
laku. Dari bentuk berlaku, dibentuklah memberlakukan, dengan menambahkan
{men-N} dan -kan (sebagai simulfiks). Kalau divisualkan, itu terlihat pada
diagram berikut.

memberhentikan memberlakukan

meN-kam // berhenti meN-kan // berlaku

ber- // henti ber- // laku

Dari diagram itu juga terlihat bahwa bentuk dasar konstruksi memberhentikan
adalah berhenti, sedangkan ben-tuk dasar konstruksi memberlakukan adalah
berlaku, dan bukan henti dan laku. Bentuk henti dan laku adalah bentuk asal
dari konstruksi itu. Dengan demikian, walaupun terdapat dua prefiks, konstruksi
itu tetap dibenarkan selain bentuk menghentikan dan melakukan. Begitu juga
konstruksi diberhentikan, diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan
sebagainya.
Bagaimana dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakangan? Proses
pembentukan konstruksi ini sama dengan proses pembentukan konstruksi
memberhentikan, yaitu secara bertahap. Demikian, bentuk dasarnya adalah
berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentuk baru sebagai hasil
analogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini berbentuk
dasar frase, yaitu ke sana, ke kiri, ke samping, dan ke muka. Konstruksi ini
dibenarkan sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi dapat juga
polimorfemis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morfem. Begitu juga
bentuk dasar suatu konstruksi dapat berbentuk morfem terikat, morfem bebas,
baik kata maupun frase. (Sebagai pengecekan, silakan diteliti kata-kata yang
telah mengalami proses morfologis!)
Konstruksi turinisasi dan lelenisasi juga merupakan bentuk baru sebagai akibat
perlakuan afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu
bahwa afiks {-(n)isasi} berasal dari bahasa Inggris -(n)ization. Bentuk afiks ini,
apabila menempel pada bentuk dasar bahasa yang bersangkutan, misalnya
modernisasi ("modernization"), standardisasi (standardization"), mekanisasi
("mechanization"), berarti 'hal yang berhubungan dengan bentuk dasarnya' yang
berfungsi pembendaan secara abstrak. Setelah terserap ke dalam bahasa
Indonesia, afiks {-(n)isasi} dicoba digabungkan dengan bentuk dasar bahasa
Indonesia untuk arti dan fungsi yang sama, misalnya dengan bentuk dasar turi,
lele, pompa, sehingga timbullah konstruksi turinisasi, lelenisasi, pompanisasi.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan apabila timbul konstruksi baru selain
ketiga konstruksi di atas. (Apakah Anda menemukannya?)
Konstruksi lain yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawi dan
surgawi. Konstruksi itu mengalami proses morfologis dengan jalan
menambahkan morfem afiks {-wi} pada bentuk dasar manusia dan surga. Kita
tahu bahwa morfem afiks {-wi} atau {-i }apabila bentuk dasarnya berakhir
dengan konsonan) berasal dari bahasa Arab, sedangkan bentuk manusia (Mly)
dan surga bukan dari bahasa Arab. Konstruksi yang bentuk dasarnya berasal dari
bahasa Arab ialah duniawi, ukhrawi, insani, dan alami, yang masing-masing
diadaptasikan dari "duniyawiyyun" "ukhrawiyyun", "insaniy-yun"'dan "alamiyyun".
Ternyata, akhiran -wi (-i) yang berasal dari bahasa Arab itu, setelah terserap ke
dalam bahasa Indonesia, diperlakukan sebagai afiks bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, afiks -wi (-i) sekarang mampu bergandeng dengan bentuk dasar
selain dari bahasa aslinya (bahasa Arab) sebagaimana contoh di atas. Sehu-
bungan dengan itu, yang perlu diperhatikan adalah perbedaan pemakaian afiks
-wi dan -i. Afiks -wi dipakai pada bentuk dasar yang berakhir dengan vokal,
sedangkan afiks -i dipakai pada bentuk dasar yang berakhir dengan konsonan.
Oleh sebab itu, konstruksi *gerejani dianggap sebagai konstruksi yang salah
sebab afiks *-ni tidak ada. Konstruksi itu diduga sebagai hasil analogi yang salah
terhadap bentuk badani, insani. Bentuk itu dikiranya bersufiks *-ni, padahal
sebenarnya bersufiks -i. Dengan demikian, yang benar adalah gerejawi sebab
bentuk dasarnya, gereja, berakhir dengan vokal.

B.Problema Akibat Kontaminasi


Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi
kebahasaan. Dua konstruksi, yang mestinya harus berdiri sendiri secara
terpisah, dipadukan menjadi satu konstruksi. Akibatnya, konstruksi itu menjadi
kacau atau rancu artinya. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya *diper-
lebarkan, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan merupakan hasil pencampuraduk-kan konstruksi
diperlebar dan dilebarkan yang masing- masing berarti 'dibuat jadi lebih besar
lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu, konstruksi diperlebarkan dianggap
sebagai konstruksi yang rancu.
Konstruksi *mengenyampingkan juga dianggap sebagai konstruksi yang rancu
sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi mengesampingkan dan
menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi morfofonemisnya,
yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping pada bentuk dasar ke samping.
Peluluhan seperti itu salah sebab bunyi [s] bukan bunyi awal bentuk dasar.
Bunyi awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. Oleh sebab itu, bunyi [k]-lah
yang diluluhkan apabila bergabung dengan morfem {meN-kan}. jadi, yang benar
adalah mengesampingkan.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan hasil pencampuran konstruksi dipelajari
dan diajarkan, yang masing-masing mempunyai arti tersendiri. Dengan
pencampuran itu artinya menjadi kabur. Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan
sebagai bentuk yang rancu.
Bagaimana cara pemecahannya? Tidak ada jalan lain kecuali pemakai bahasa
Indonesia harus mengetahui konstruksi yang semestinya untuk arti tertentu. Di
samping itu, ia harus juga mengetahui konstruksi-konstruksi yang tergolong
rancu dan mengetahui juga alasannya. Sebab, logis sekali, jika ingin menge-
tahui yang benar, orang harus mengetahui pula yang salah. Dengan cara itu, ia
akan lebih jeli dan cermat memilih, menggunakan, dan menerangkan setiap
bentukan kata.

C.Problem Akibat Unsur Serapan


Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia juga
membuat problema tersendiri. Hal itu terlihat pada kekacauan dan
keragu-raguan pemakaian bentuk datadata, datum-datum, data, datum;
fakta-fakta, faktum-faktum, fakta, faktum; alumni, alumnus, para alumni, para
alumnus. Kita tahu bahwa kata data dan datum, fakta dan faktum, alumni dan
alumnus berasal dari bahasa Latin, yang masing-masing pasangan kata itu
berarti 'jamak' dan 'tunggal'. Ternyata, dari pasangan itu yang terserap ke
dalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk jamaknya, yaitu data, fakta, dan
alumni, sedangkan bentuk tunggalnya, yaitu datum, faktum, dan alumnus, tidak
terserap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah selanjutnya adalah: "Apa bentuk tunggalnya apabila yang terserap
hanya bentuk jamaknya?". Bagi orang awam, pertanyaan ini memang logis,
tetapi bagi pengamat bahasa pertanyaan ini terasa janggal. Mengapa? Kita tahu
bahwa unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai
satu kesatuan bentuk dan dengan sendirinya berarti tunggal. Akibatnya, walau-
pun yang diserap bentuk jamaknya, ia langsung dianggap sebagai satu kesatuan
bentuk dan berarti tunggal. Oleh karena itu, bentuk data, fakta, dan alumni
dianggap sebagai bentuk tunggal. Dengan demikian, konstruksi data-data,
fakta-fakta, dan para alumni, banyak data, dan banyak fakta dianggap benar,
sedangkan konstruksi *datum-datum, *faktumfaktum, dan *para alumnus
dianggap salah. Sehubungan dengan itu, konstruksi para hadirin, hadirin seka-
lian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun dalam
bahasa asingnya (bahasa Arab) bentuk hadirin, ulama, arwah berarti 'jamak'.
Bagaimana dengan konstruksi termaktub, menghadiri, mengorganisasi,
mengorganisir, memproklamirkan, mendominir, dan melegalisir? (Silakan
disiasati!)

D.Problema Akibat Analogi


Sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa dengan menurut contoh
yang sudah ada. Gejala analogi ini sangat penting dalam pemakaian bahasa
sebab pada dasarnya pemakaian bahasa dalam penyusunan kalimat, frase, dan
kata beranalogi pada contoh yang telah ada atau yang telah diketahuinya.
Sebagai contoh, dengan adanya bentuk ketidakadilan, kita dapat membentuk
konstruksi ketidakberesan, ketidakbaikan, dan seterusnya; dengan adanya
bentuk dikesampingkan, kita dapat membentuk konstruksi dikekanankan,
dikesanakan, dikesinikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk pemersatu
yang berarti 'yang mempersatukan', kita dapat membentuk konstruksi
pemerhati ('yang memperhatikan'); dan, dengan adanya pasangan bentuk
penyuruh dan pesuruh (yang masing-masing berarti 'orang yang menyuruh' dan
'orang yang disuruh'), kita dapat membentuk pasangan konstruksi penatar dan
petatar, pendaftar dan pedaftar.
Masalah berikutnya, dengan adanya gejala analogi ini, adalah banyaknya
pemakai bahasa (Indonesia) yang salah analogi. Hal itu disebabkan oleh
ketidakpahaman mereka terhadap bentuk-bentuk yang dicontohkannya dan
yang dibuatnya. Misalnya, kata pihak dijadikan *fihak, kata *anggota dijadikan
anggauta, dan kata serapan alternatif dijadikan *alternasi.
Kata pihak dijadikan *fihak, didasarkan contoh bahwa bunyi [p] pada unsur
serapan dikembalikan ke bunyi aslinya, yaitu [f]. Dengan demikian, kata pikir,
paham, dan pasal dapat dikembalikan menjadi fikir, faham, dan fatsal.
Pengembalian ini benar sebab kata pikir, paham, dan pasal berasal dari bahasa
Arab. Kata pihak disangkanya juga berasal dari bahasa Arab, sehingga juga
dikembalikan menjadi *fihak. Padahal, kata pihak tidak berasal dari bahasa
Arab, tetapi dari bahasa Melayu. Oleh sebab itu, kata *fihak dianggap sebagai
hasil analogi secara salah. Dengan demikian, kata pihak-lah yang benar.
Begitu juga kata anggota yang dijadikan *anggauta. Orang menganggap bahwa
kata anggota sebagai hasil sandi dari kata anggauta sehagaimana kata topan
dan tobat sebagai hasil sandi dari kata taufan dan taubat padahal tidak
demikian. Kata anggota bukan hasil sandi kata *anggauta, tetapi kata itu
memang asli. Oleh sebab itu, *anggauta dianggap hasil analogi yang salah. Yang
benar adalah anggota.
Kata serapan pun ada yang dianalogikan secara salah. Kata alternatif dijadikan
alternasi sebagai akibat analogi yang salah terhadap bentuk produktif dan
produksi; kompetitif dan kompetisi; edukatif dan edukasi. Bentuk yang berakhir
dangan -if biasanya berkelas kata sifat, sedangkan yang berakhir dengan -si
biasanya berkelas kata benda. Dikira juga bahwa bentuk alternatif (karena
berakhir dengan -if) berkelas kata sifat, sehingga apabila dibentuk ke kelas kata
benda akan menjadi *alternasi. Padahal, itu tidak demikian. Kata alternatif,
yang berarti 'pilihan', sudah berkelas kata benda. Oleh sebab itu, tidak perlu di-
bendakan lagi menjadi *alternasi. Dengan demikian, pemakaian kata alternatif
pada kalimat Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan sejumlah alternatif
teknik. adalah sudah benar.

E.Problema Akibat Perlakuan Kluster


Kluster atau konsonan rangkap mengundang problema tersendiri dalam
pembentukan kata bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa
Indonesia asli tidak mengenal kluster. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam
bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan, misalnya program, prokla-
masi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi,
kritik, kronologi. Kata-kata ini, apabila dibentuk dengan afiks yang bernasal,
misalnya {meN-(kan/i)} dan {peN-(an)}, akan menimbulkan problem: "Apakah
konsonan awalnya diluluhkan sebagai-mana konsonan k, p, t, s, dalam kata
bahasa Indonesia asli?". Manakah yang benar dari deretan berikut?
I II

memprogramkan memrogramkan
pemrograman pemrograman
memproklamasikan memroklamasikan
pemproklamasian pemroklamasian
mentraktir menraktir
pentraktiran penraktiran
mentransfer menransfer
pentransferan penransferan
mensponsori menyponsori, menyeponsori
pensponsoran penyponsoran, penyeponsoran
menstandarkan menytandarkan, menyetandarkan
penstandaran penytandaran, penyetandaran
mengklasifikasikan menglasifikasikan
pengklasifikasian penglasifikasian
mengkritik mengritik
pengkritikan pengritikan

Apabila menurut sistem bahasa Indonesia, kita cenderung me-


milih/menggunakan deretan II. Tetapi, ada beberapa keberatan/kelemahannya,
antara lain:
a) bentuk serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa
Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal
dengan k, p, t, s);
b)apabila diluluhkan, kemungkinan besar akan menyu-litkan penelusuran
kembali bentuk aslinya;
c)ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman arti.

Oleh sebab itu, kita sebaiknya memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi
awal bentuk serapan yang berkluster.

F.Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan


Masalah ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, yaitu berkenan dengan
perlakuan unsur asing. Hanya saja, yang menjadi tekanan di sini adalah proses
morfologisnya.
Kita tahu bahwa hampir semua bentuk serapan dalam bahasa lndonesia dapat
dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi
pertanyaan adalah "Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem
pembentukan kata yang selama ini diterapkan dalam bentuk-bentuk bahasa
Indonesia asli?". Masalah itu timbul karena selama ini terdapat persaingan
pemakaian pasangan konstruksi, misalnya menterjemahkan dan
menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir dan memarkir,
mengkalkulasi dan mengalkulasi. Mana yang benar? Konstruksi yang telah
diasimilasikan ataukah yang belum diasimilasikan?
Sebelum menjawab persoalan itu kiranya perlu diketahui sifat atau kondisi
bentuk serapan. Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi
dua:

(1) bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia
sehingga sudah tidak terasa lagi keasingannya, dan
(2)bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa keasingannya.

Bentuk serapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara penuh mengikuti


sistem bahasa Indonesia, termasuk proses morfologisnya, sedangkan kelompok
kedua belum dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa
Indonesia. Berdasarkan rambu-rambu ini, kiranya kita dapat menyikapi apakah
bentuk terjemah sudah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia atau belum.
Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut diperlakukan secara penuh
mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah
digabung dengan {meN-kan} akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan
sistem bahasa Indonesia, fon [p] yang mengawali bentuk dasar akan luluh
apabila bergabung dengan afiks {meN-(kan/i)} dan {peN-(an)}. Bagaimana
dengan bentuk suplai, parkir, dan kalkulasi? Silakan disiasati!

G.Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk


Problema morfologis terakhir yang berhasil dicatat di sini adalah problema
akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan
pemakaian bentuk pertanggungjawaban dan pertanggungan jawab,
kewarganegaraan dan kewargaan negara, menyebarluaskan dan menyebarkan
luas. Dari contoh itu terlihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk
majemuk yang unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan bentuk
majemuk yang unsur-unsurnya dianggap renggang. Pendapat pertama
menganggap unsur-unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas
padu sehingga tidak mungkin disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila
ditempeli awalan atau akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur
pertama dan atau di akhir unsur kedua. Sebaliknya, pendapat kedua meng-
anggap unsur-unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas
renggang sehingga memungkinkan disisipi bentuk lain di antaranya. Oleh sebab
itu, ketiga bentuk itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab,
kewargaan negara, dan menyebarkan luas.
Mana yang tepat dari dua pendapat itu? Kita tahu bahwa suatu bentuk
dikatakan bentuk majemuk apabila unsur-unsurnya pekat dan padu. Sebaliknya,
apabila unsur-unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk,
tetapi frase. Dengan demikian, pendapat pertamalah yang tepat, yaitu penda-
pat yang memperlakukan unsur-unsur bentuk majemuk sebagai satu kesatuan.
Masih banyak problema yang akan terus muncul dalam pembentukan kata
bahasa Indonesia. Fenomena ini sebagai tanda bahwa bahasa Indonesia adalah
bahasa yang hidup dan masih menjalankan fungsinya secara aktif sebagai alat
komunikasi bagi pemakainya. Yang penting adalah setiap kali ada fenomena
bentukan baru kita harus bisa menyiasatinya dengan arif. Janganlah kita
bersikap normatif dan preskriptif yang cenderung menyalahkan setiap
fenomena baru yang muncul.

Uraian lebih lanjut silakan baca Tatabentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah


Tatabahasa Deskriptif Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara,
2008)
Problema akibat unsur serapan
Adanya unsur bahasa asing yang terserap kedalam bahasa indonesia membuat problema
tersendiri. Hal ini terlihat pada kekacauan dan keraguan pemakaian bentuk data-data, datum-
datum, data,datum; fakta-fakta, faktum-faktum. Kita tau bahwa kata data dan datum fakta dan
faktum berasal dari bahasa latin yang masing-masing pasangan kata itu berarti jamak dan
tunggal. Ternyata dari pasangan itu yang terserap didalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk
jamaknya. Yaitu data, fakta, sedangkan bentuk tunggalnya yaitu datum, faktum, tidak
terserap dalam bahasa Indonesia

Kesalahan yang sering dijumpai dalam bahasa lisan maupun tulis. Pada
umumnya kesalahan dalam bidang frasa dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain adalah :
1.     Pengaruh bahasa daerah
Contoh:
a.     Kesalahan   
Kadang-kadang mereka tertawa ngakak kalau ada yang lucu menurut mereka.
Pembetulan
Kadang-kadang mereka tertawa terbahak kalau ada yang lucu menurut mereka.

b.     Kesalahan
Sebelum membawa tamu lelaki masuk ke wisma, losmen, atau karaoke, mbak-mbak itu
memesan minuman ringan atau rokok.
Pembetulan
Sebelum membawa tamu lelaki masuk ke wisma, losmen, atau karaoke, para wanita itu
memesan minuman ringan atau rokok.

alam morfologi, ada beberapa problema yang dihadapi, seperti halnya dibawah ini :

1. Problematika Akibat Unsur Serapan


2. Problematika Akibat Kontaminasi
3. Problematika Akibat Analogi
4. Problema Akibat Perlakuan Kluster
5. Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan
6. Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk
7. Peristiwa Morfofonemik
8. Problem Proses Reduplikasi
9. Problema Proses Abreviasi
10. Problema Fungsi Dramatis dan Fungsi Semantis

1.2 Identifikasi
1. Jelaskan pengertian dari masing – masing problematika yang telah tersebutkan diatas ?
2. Jelaskan contoh – contoh yang telah ada tersebut ?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Problematika Akibat Kontaminasi

Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi kebahasaan.

Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya :

1. Diperlebarkan, merupakan hasil pemaduan konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing


masing berarti 'dibuat jadi lebih besar lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu,
konstruksi diperlebarkan memiliki arti yang rancu.
2. Konstruksi kata mengenyampingkan  juga dianggap sebagai konstruksi yang rancu sebab
merupakan hasil pemaduan konstruksi mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan
bukan artinya, tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping pada bentuk
dasar ke samping. Peluluhan seperti itu salah sebab bunyi [s] bukan bunyi awal bentuk dasar. Bunyi
awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. Oleh sebab itu, bunyi [k] lah yang diluluhkan apabila
bergabung dengan morfem {meN-kan}, jadi, yang benar adalah mengesampingkan.
3. Konstruksi kata dipelajarkan merupakan hasil pencampuran
konstruksi dipelajari dan diajarkan, yang masing masing mempunyai arti tersendiri. Dengan
pencampuran itu artinya menjadi kabur. Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan sebagai bentuk yang
rancu.

2.2 Problematika Akibat Unsur Serapan

Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia juga membuat problema
tersendiri.

Kita tahu bahwa kata data dan datum, fakta dan faktum, alumni dan alumnus berasal dari bahasa
Latin, yang masing - masing pasangan kata itu berarti 'jamak' dan 'tunggal'. Ternyata, dari pasangan
itu yang terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk jamaknya, yaitu data, fakta, dan
alumni, sedangkan bentuk tunggalnya, yaitu datum, faktum, dan alumnus, tidak terserap ke dalam
bahasa Indonesia.

Dalam unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan
bentuk dan dengan sendirinya berarti tunggal. Akibatnya, walaupun yang diserap bentuk jamaknya, ia
langsung dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Oleh karena itu, bentuk data,
fakta, dan alumni dianggap sebagai bentuk tunggal. Dengan demikian, konstruksi data - data, fakta -
fakta, dan para alumni, banyak data, dan banyak fakta dianggap benar, sedangkan konstruksi datum
- datum, faktum - faktum, dan para alumnus dianggap salah. Sehubungan dengan itu, konstruksi para
hadirin, hadirin sekalian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun dalam
bahasa asingnya (bahasa Arab) bentuk hadirin, ulama, arwah berarti 'jamak'.

2.3 Problematika Akibat Analogi

Sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa dengan menurut contoh yang sudah ada.
Gejala analogi ini sangat penting dalam pemakaian bahasa sebab pada dasarnya pemakaian bahasa
dalam penyusunan kalimat, frase, dan kata beranalogi pada contoh yang telah ada atau yang telah
diketahuinya.
Contoh :

Adanya bentuk ketidak-adilan ketidakberesan, ketidakbaikan, dan seterusnya.

Adanya bentuk dikesampingkan dikekanankan, dikesanakan, dikesinikan, dan seterusnya.

Adanya bentuk pemersatu 'yang mempersatukan', kita dapat membentuk konstruksi pemerhati ('yang
memperhatikan'); dan, dengan adanya pasangan bentuk penyuruh dan pesuruh (yang masing -
masing berarti 'orang yang menyuruh' dan 'orang yang disuruh'), kita dapat membentuk pasangan
konstruksi penatar dan pentatar, pendaftar dan pedaftar.

2.4 Problema Akibat Perlakuan Kluster

Kluster atau konsonan rangkap mengundang problema tersendiri dalam pembentukan kata bahasa
Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal kluster. Kata yang
berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan, misalnya program,
proklamasi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi, kritik, kronologi.

Contoh :

 Pemrograman, kelemahan penggunaan kata tersebut :

a) bentuk serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli, yaitu
konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal dengan k, p, t, s);

b) apabila diluluhkan, kemungkinan besar akan menyulitkan penelusuran kembali bentuk aslinya;

c) ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman arti.

2.5 Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan

Masalah ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, yaitu berkenaan dengan perlakuan unsur
asing. Hanya saja, yang menjadi tekanan di sini adalah proses morfologisnya.

Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua:

1. Bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga sudah tidak
terasa lagi keasingannya.
2. Bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa keasingannya.

Bentuk serapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa
Indonesia, termasuk proses morfologisnya, sedangkan kelompok kedua belum dapat di-perlakukan
secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Berdasarkan rambu rambu ini, kiranya kita dapat
menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia atau belum.
Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut diperlakukan secara penuh mengikuti sistem
bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah digabung dengan {meN kan} akan
menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan sistem bahasa Indonesia, fon [p] yang mengawali
bentuk dasar akan luluh apabila bergabung dengan afiks {meN (kan/i)} dan {peN (an)}.

Contoh :

 Ø Mengkalkulasikan kata dasar kalkulasi di afiksasikan dengan prefiks Men- dan sufiks -kan.

2.6 Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk


Problema ini terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungjawaban dan pertanggungan
jawab, kewarganegaraan dan kewargaan negara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari
contoh itu terihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang unsur - unsurnya
dianggap sebagai satu kesatuan, dan bentuk majemuk yang unsur - unsurnya dianggap renggang.
Pendapat pertama menganggap unsur - unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas
padu sehingga tidak mungkin disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau akhiran,
misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur pertama dan atau di akhir unsur kedua. Sebaliknya,
pendapat kedua menganggap unsur - unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas
renggang sehingga memungkinkan disisipi bentuk lain di antaranya. Oleh sebab itu, ketiga bentuk itu
dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab, kewargaan negara, dan menyebarkan luas.

Kita tahu bahwa suatu bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila unsur - unsurnya pekat dan padu.
Sebaliknya, apabila unsur - unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi
frase. Dengan demikian, pendapat pertamalah yang tepat, yaitu pendapat yang memperlakukan
unsur - unsur bentuk majemuk sebagai satu kesatuan.

2.7 Peristiwa Morfofonemik

Proses morfofonemik adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan
morfem. Proses morfonemik dalam bahasa Indonesia hanya terjadi dalam pertemuan realisasi
morfem dasar (morfem) dengan realisasi afiks (morfem), baik prefiks, sufiks, infiks, maupun konfiks
(Kridalaksana, 2007).

Proses morfofonemik tersebut ialah proses perubahan fonem, proses penghilangan fonem, dan
proses penambahan fonem.

1. Proses perubahan fonem, contoh :

meN- +paksa Memaksa

Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN- berubah menjadi fonem /m/ apabila bentuk dasar yang
mengikutinya berawalan /p/, /b/, /f/, /v/.

meN- +dapat Mendapat

Fonem /N/ pada meN- dan peN- berubah menjadi fonem /n/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya
berawal dengan fonem /t/, /d/, dan /s/. Fonem /s/ di sini hanya khusus bagi beberapa bentuk dasar
yang berasal dari bahasa asing yang masih mempertahankan keasingannya.

meN- +sapu Menyapu

Fonem /N/ pada morfem meN- dan peN- berubah menjadi /ny/ apabila bentuk dasar yang
mengikutinya berawal dengan /s/, /sy/, /c/, dan /j/.

meN- +kutip Mengutip

Fonem /N/ pada meN- dan peN- berubah menjadi /n/ apabila bentuk dasar yang mengikutinya
berawal dengan fonem /k/, /g/, /x/, /h/, dan fonem vokal.

1. Proses penghilangan fonem, contoh :

meN-+nikah menikah

Bergabungnya morfem {meN-} dengan bentuk dasarnya, dapat terjadi penghilangan fonem. Apabila
bertemu dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l/, /r/, /m/, /n/, dan /w/, terjadi
penghilangan fonem /N/ pada morfem {meN-} tersebut.
meN-i+nikah menikahi
Bergabungnya morfem afiks {meN-i} dan {meN-kan} apabila bertemu dengan bentuk dasar yang
berawal dengan fonem /l/, /r/, /m/, /n/, dan /w/, juga terjadi penghilangan fonem /N/ pada morfem
{meN-i} dan {meN-kan} tersebut.

1. Proses penambahan fonem, contoh :

meN- + bom mengebom

Proses penambahan fonem antara lain terjadi sebagai akibat pertemuan morfem {meN-} dengan
bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku. Fonem tambahannya ialah /ə/. Sehingga {meN-} berubah
menjadi {menge-}.

peN- + bom pengebom

Proses penambahan fonem /ə/ terjadi juga sebagai akibat pertemuan morfem {peN-} dengan bentuk
dasarnya yang terdiri dari satu suku sehingga morfem {peN-} berubah menjadi {penge-}.

2.8 Problem Proses Reduplikasi

Pengulangan adalah proses pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, baik secara utuh
maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. (Soedjito,1995:109)

Contoh :

Mondar – mandir merupakan kata ulang semu yang sebenarnya bukanlah bentuk dari proses
pengulangan, karena bentuk itu sendiri sudah merupakan bentuk dasarnya.

Mobil mobil – mobil mobil – mobilan

Mobil merupakan kata dasar, mobil – mobil merupakan pengulangan dari mobil, lalu mobil – mobilan
merupakan pengulangan yang diikuti oleh sufiks –an. Ini merupakan kata ulang berimbuhan.

Gerak – gerik Di samping bolak-balik terdapat kata kebalikan, sebaliknya, dibalik, dan membalik. Dari
perbandingan itu, dapat disimpulkan bahwa kata bolak-balik terbentuk dari bentuk dasar balik yang
diulang seluruhnya dengan perubahan bunyi dari /a/ menjadi /o/, dan dari /i/ menjadi /a/. Ini
merupakan kata ulang berubah bunyi.

2.9 Problema Proses Abreviasi

Abreviasi merupakan proses penanggalan satu atau beberapa bagian kata atau kombinasi kata
sehingga jadilah bentuk baru. Kata lain abreviasi ialah pemendekan.

Dalam abreviasi banyak macamnya yaitu, singkatan, penggalan, akronim, kontraksi, dan lambang
huruf.

Contoh :

FIK (Fakultas Ilmu Keperawatan), contoh ini merupakan bagian dari contoh singkatan, dalam bahasa
Indonesia singkatan tetap dipergunakan untuk memberikan kekhasan pada sesuatu hal atau benda.
Namun, terkadang singkatan yang digunakan kurang tepat dan kurang dapat dipahami oleh orang
banyak, dan hanya dipahami oleh sebagian orang saja.

Prof. (Profesor), merupakan contoh dari bagian penggalan, proses pemendekan yang dihilangkan
salah satu bagian dari kata.
g ( gram ), merupakan contoh dari bagian lambang huruf, proses pemendekan yang menghasilkan
satu huruf atau lebih yang menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan atau unsur.

Pada pemendekan / abreviasi banyak digunakan dalam penulisan – penulisan bahasa Indonesia,
karena memang banyak memberikan kemudahan dalam penulisan dalam kalimat atau apapun
bentuknya.

Problema Morfologis dalam Bahasa Indonesia


PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA
Seiring berkembanganya zaman, penggunaan bahasa memunyai permasalahan-
permasalahan. Permasalahan tersebut baik berhubungan dengan segi bunyi, pemakaian dalam
kalimat, maupun yang lainnya. Problema tersebut diuraikan sebagai berikut(Masnur Muslich,
2010: 131-140),

1. Problema akibat bentukan baru


Saat ini banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakai bahasa Indonesia.
Misalnya bentuk memberhentikan, memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan,
dikesanakan, dikekirikan, turinisasi, lelenisasi, duniawi, badani, dan lain-lain.
Yang pertama kita akan membahas tentang bentuk memberhentikan dan memberlakukan.
Bentuk tersebut termasuk bentuk baru sebab bentuk yang berkontruksi demikian (prefiks +
prefiks + bentuk dasar + sufiks). Kontruksi ini terdiri dari empat morfem, tetapi
pembentukannya tdak serentak. kontruksi ini dibentuk secara bertahap. pertama dibentuk dari
gabungan {ber-} dan henti. Lalu, konstruksi berhenti dibentuk dengan menambahkan
{meN-} dan {-kan} (sebagai simulfiks), sehingga konstruksi memberhentikan. begitu juga
konstruksi memberlakukan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuk dasar dari
konstruksi memberhentikan adalah berhenti, sedangkan memberlakukan adalah berlaku.
Bentuk henti dan laku merupakan bentuk asal dari konstruksi tersebut. Dengan demikian
meskipun konstruksi kata memberhentikan dan memberlakukan terdiri dari dua prefiks, akan
tetapi bentuk tersebut dibenarkan.
Yang kedua, bentuk dikesanakan dan dikekirikan. Bentuk tersebut adalah bentuk baru
sebagai hasil analogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan.
Kontruksi dikesanakan dan dikekirikan benuk dasarnya berupa frase yaitu ke sana dan ke kiri.
Kontruksi ini dibenarkan,karena bentuk dasar tidak harus monomorfemis.
Yang ketiga, bentuk turinisasi dan lelenisasi. Bentuk tersebut merupakan bentuk baru
sebagai akibat perlakuan afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Afiks {-
(n)isasi} berasal dari bahasa Inggris {-(n)ization}yang berarti ‘hal yang berhubungan dengan
bentuk dasarnya’ yang berfungsi pembendaan secara abstrak.
Yang terakhir ialah bentuk manusiawi dan badani. Morfem afiks {-wi} atau {-i} berasal
dari bahasa Arab. Afiks {-wi}digunakan apabila bentuk dasar yang berakhir dengan vokal,
sedangkan afiks {-i} digunakan apabila bentuk dasar yang berakhir dengan konsonan.
2. Problema akibat kontaminasi
Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang mengacaukan kontruksi kebahasaan. Dua
konstruksi, yang semestinya harus berdiri sendiri secara terpisah, dipasukan menjadi satu
konstruksi. Akibatnya.konstruksi itu menjadi kacau atau rancu. Misalnya
kontruksi dipelajarkan, kontruksi tersebut hasil pencampuran
kontruksi dipelajari dan diajarkan, yang masing-masing mempunyai arti tersendiri. Dengan
pencampuran itu artnya menjadi kabur. Oleh karena itu, bentuk tersebut dikatakan sebaga
bentuk yang rancu.

3. Problema akibat unsur serapan


Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia membuat problema
tersendri. Perhatikan bagan dibawah ini,
Bentuk Tunggal Bentuk Jamak
Datum Data
Faktum Fakta
Alumnus Alumni
Kata tersebut berasal dari bahasa Latin, namun dalam penggunaan bahasa Indonesia yang
digunakan adalah bentuk jamaknya. Dengan demikian bentuk data-data, fakta-
fakta,  dan  alumni-alumni dibenarkan, sedangkan konstruksi datum-datum, faktum-
faktum, dan alumnus-alumnus tidak dibenarkan.

4. Problema akibat analogi


Masalah yang berhubungan dengan dengan adanya analogi ini adalah banyaknya
pemakai bahasa (Indonesia) yang salah analogi. Hal tersebut dikarenakan ketidakpahaman
mereka terhadap bentuk-bentuk yang dicontohkan dan yang dibuatnya. Misal
a.       Pihak dijadikan fihak
Bunyi [p] pada unsur serapan dikembalikan kepada bunyi aslinya [f]. Kata pikir, paham,
pasal berasal dari bahasa Arab, sehingga kata tersbeut dapat dikembalikan menjadi fikir,
faham, dan fatsal. Kata pihak berasal dari bahasa Melayu bukan dari bahasa arab. sehingga
yang benar ialah pihak.
b.      Anggota dijadikan anggauta
Orang menganggap kata anggota berasal dari hasil sandi anggauta sebagaimana
kata topan dan tobat sebagai hasil sandi kata taufan dan taubat padahal tidak demikian.
Sehingga analogi anggauta adalah salah. Yang benar ialah anggota, karena
kata anggota adalah kata asli.
c.       Alternatif  dijadikan alternasi
Kata alternatif dijadikan alternasi sebagai akibat analogi yang salah terhadap
bentuk produktif dan produksi. Bentuk yang berakhiran {-if} biasanya adalah kata sifat,
sedangkan  bentuk yang berakhiran {-si} biasanya berkelas kata benda. Kata alternatif yang
berarti ‘pilihan’ sudah berkelas kata benda, jadi tidak perlu diubah menjadi alternasi. Oleh
karena itu tidak perlu dibendakan lagi menjadi alternasi.

5. Problema akibat perlakuan kluster


Kluster adalah konsonan rangkap. Kata yang berkluster itu berasal dari unsur serapan.
Kata yang diawali dengan huruf konsonan k, t, s, dan p apabila dibentuk dengan afiks yang
bernasal {meN-(kan/i)}, {meN-}, {peN-an}, {peN} akan menimbulkan problema yakni
apakah meluluh atau tetap. Perhatikan tabel dibawah ini,
I II
Memprogramkan Memrogramkan
Pemprograman Pemrograman
Mentraktir Menraktir
Mengkritik Mengritik
Pemproklamasian Pemroklamasian
Pentransferan Penransferan
Mensponsori Menyeponsori,
menyeponsori
Apabila menurut sistem bahasa Indonesa, deretan II yang cenderung digunakan.  Tetapi,
ada beberapa keberatan/kelemahannya, antara lain:
a)  Bentuk seraoan diatas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli, yaitu
konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal dengan k, t, s, dan p)
b)  Apabila diluluhkan, kemungkinan besar akan menyulitkan penelusuran kembali bentuk
aslinya.
c)   Ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman arti.
Oleh sebab itu, kita sebaiknya memilih deretan I.

6. Problema akibat proses morfologis unsur serapan


Pada dasarya bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua:
a.    Bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga sudah tidak
terasa lagi keasingannya
b.      Bentuk serapan yang masih baru sehingga masih sangat terasa keasingannya.

Berdasarkan pengelompokan diatas, dapat disimpulkan proses morfologis unsur serapan


terjadi apabila bentuk serapannya sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia.
Misal terjemah, apabila digabung dengan afiks {meN-(kan/i)} akan menjadi menerjemahkan.

7. Problema akibat perlakuan bentuk majemuk


Bentuk majemuk terjadi apabila unsur-unsurnya pekat dan padu, akan tetapi apabila
unsur-unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk tetapi frase. Sehingga
terjadi perbedaan pendapat oleh para ahli mengenai bentuk majemuk dengan frase. Contoh
bentuk majemuk ialah tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas.

Daftar rujukan:
Muslich, Masnur. 2010. Tata bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ada beberapa pengertian reduplikasi menurut berbagai pakar kebahasaan, yaitu:
1. Pengulangan adalah proses pembentukan kata dengan mengulang bentuk
dasar, baik secara utuh maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak.
(Soedjito,1995:109)
2. Proses pengulangan atau reduplikasi ialah pengulangan satuan gramatik, baik
seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. (Ramlan,1985:57)
3. Proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan
mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun
tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak. (Muslich,1990:48)
4. Proses reduplikasi yaitu pengulangan satuan gramatikal, baik selurunya maupun
sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Hasil pengulangan disebut kata ulang,
satuan yang diulang merupakan bentuk dasar. (Solichi,1996:9)
5. Pengulangan ialah proses perulangan bentuk dasar baik seluruhnya maupun
sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. (Soepeno,1982:20)

Jadi, ada pula yang berpendapat bahwa, reduplikasi ialah proses pembentukan kata,
dengan cara mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan maupun sebagian, baik baik
disertai perubahan bunyi atau tidak. Proses reduplikasi ini menghasilkan kata ulang, dan kata
ulang ini mempunyai ciri-ciri tersendiri yang bisa disebut kata ulang. Ciri reduplikasi, masih dibagi
menjadi dua, yaitu ciri khusus reduplikasi dan ciri umum reduplikasi sebagai proses pembentuk
kata.
 Ciri khusus reduplikasi.
1. Selalu memiliki bentuk dasar dan bentuk dasar kata ulang selalu ada dalam pemakaian
bahasa. Maksud ”dalam pemakaian bahasa” adalah dapat dipakai dalam konteks kalimat dan
ada dalam kenyataan berbahasa.
Contoh:

Kata Ulang Bentuk Dasar

Mengata-ngatakan Mengatakan, bukan


mengata

Menyatu-nyatukan Menyatukan, bukan


menyatu (sebab tidak sama
dengan kelas kata ulangnya)

Melari-larikan Melarikan, bukan melari

Mempertunjuk-tunjukan Mempertunjukkan, bukan


mempertunjuk

Bergerak-gerak Bergerak, bukan gerak


(sebab kelas katanya
berbeda dengan kata
ulangnya)

Berdesak-desakkan Berdesakan, bukan berdesak

2. Ada hubungan semantis atau hubungan makna antara kata ulang dengan bentuk dasar.
Arti bentuk dasar kata ulang selalu berhubungan dengan arti kata ulangnya. Ciri ini
sebenarnya untuk menjawab persoalan bentuk kata yang secara fonemis berulang,
tetapi bukan merupakan hasil proses pengulangan.
Contoh:
 Bentuk alun bukan merupakan bentuk dasar dari kata alun-alun.
 Bentuk undang bukan merupakan bentuk dasar dari kata undang-
undang.
3. Pengulangan pada umumnya tidak mengubah golongan kata atau kelas kata. Apabila
suatu kata ulang berkelas kata benda, bentuk dasarnya pun berkelas kata benda. Begitu
juga, apabila kata ulang itu berkelas kata kerja, bentuk dasarnya juga berkelas kata
kerja. Lebih jelasnya, jenis kata kata ulang, sama dengan bentuk dasarnya.
Contoh:

Kata Ulang Bentuk Dasar

Gedung-gedung (kata Gedung (kata benda)


benda)

Sayur-sayuran (kata benda) Sayur (kata benda)


Membaca-baca (kata kerja) Membaca (kata kerja)

Berlari-lari (kata kerja) Berlari (kata kerja)

Pelan-pelan (kata sifat) Pelan (kata sifat)

Besar-besar (kata sifat) Besar (kata sifat)

Tiga-tiga (kata bilangan) Tiga (kata bilangan)

 Ciri umum reduplikasi sebagai proses pembentukan kata.

1. Menimbulkan makna gramatis.


2. Terdiri lebih dari satu morfem (Polimorfemis).

Dari beberapa ciri tersebut, dapat di klasifikasikan beberapa jenis kata ulang. Ada dua
jenis kata ulang, yaitu kata ulang murni dan kata ulang semu, sebagaimana berikut:
 Kata ulang murni, adalah kata ulang yang masih dapat dipisah menjadi bentuk yang lebih
kecil dan mempunyai bentuk dasar. berdasarkan bentuk proses pengulangannya,ada tiga
macam kata ulang murni, yaitu:
1. Kata ulang utuh, adalah kata ulang yang diulang secara utuh.
Contoh: gedung + { R } = gedung-gedung.
2. Kata ulang sebagian, adalah kata ulang yang pada proses pengulangannya hanya
sebagian dari bentuk dasar saja yang diulang.
Contoh: berjalan + { R } = berjalan-jalan
3. Kata ulang berimbuhan, adalah kata ulang yang mendapatkan imbuhan atau kata ulang
yang telah diberi afiks. Baik itu prefiks, infiks maupun sufiks.
Contoh: mobil + { R } = mobil-mobil + an = mobil-mobilan.
4. Kata ulang berubah bunyi, adalah kata ulang yangberubah bunyi dari bentuk dasarnya
setelah terjadinya proses pengulangan.
Contoh: sayur + { R } = sayur-mayur
 Kata ulang semu, sebenarnya bukan kata ulang tetapi menyerupai kata ulang karena
bentuk dasarnya sudah seperti itu.
Contoh: mondar-mandir, compang-camping, onde-onde.

II. PEMBAHASAN

1. Kata Ulang Semu


Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa kata ulang semu sebenarnya
bukanlah bentuk dari proses pengulangan, karena bentuk itu sendiri sudah merupakan bentuk
dasarnya. Lantas mengapa dikelompokkan ke dalam kata ulang? Hal itu karena berdasarkan
bentuknya, bentuk -bentuk tersebut masih termasuk ke dalam kata ulang. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, bentuk-bentuk yang di maksud adalah seperti:
mondar-mandir
compang-camping
kocar-kacir
kupu-kupu
gado-gado
onde-onde
Namun, Soedjito hanya mengelompokkan bentuk- bentuk seperti kupu-kupu, onde-onde,
dan gado-gado saja dalam kata ulang semu. Sedangkan mondar-mandir, compang-camping,
dan kocar-kacir, Soedjito mengelompokkannya dalam bentuk kata ulang berubah bunyi, hanya
saja bentuk dasarnya tidak diketahui.

2. Kata Ulang Berimbuhan


Banyak yang mengira bahwa kata ulang berimbuhan adalah kata ulang yang terdapat
afiks di dalamnya seperti berjalan-jalan, tumbuh-tumbuhan, tulis-menulis. Bentuk-bentuk tersebut
bukan merupakan kata ulang berimbuhan, tetapi bentuk itu termasuk dalam kata ulang
sebagian. Karena, yang diulang hanyalah sebagian dari bentuk dasarnya saja.

Kata Ulang Bentuk Dasar

berjalan-jalan berjalan

tumbuh-tumbuhan tumbuhan

tulis-menulis menulis

Kata ulang berimbuhan yang dimaksud adalah kata ulang yang mendapatkan afiks
setelah proses pengulangan.
Contoh:
mobil → mobil-mobil → mobil-mobilan
gunung → gunung-gunung → gungung-gunungan
orang → orang-orang → orang-orangan
anak → anak-anak → anak-anakan
kereta → kereta-kereta → kereta-keretaan

Namun, Menurut Ramlan, proses tersebut dinilai tidak mungkin jika dilihat dari faktor
makna. Pengulangan bentuk dasar kereta menjadi kereta-kereta menyatakan makna ’banyak’,
sedangkan pada kereta-keretaan tidak terdapat makna ’banyak’. Yang ada makna ’sesuatu yang
menyerupai bentuk dasar’. Jelaslah bahwa satu-satunya kemungkinan ialah kata kereta-
keretaan terbentuk dari bentuk dasar kereta yang diulang dan mendapat afiks -an.
mobil → mobil-mobilan
gunung → gungung-gunungan
orang → orang-orangan
anak → anak-anakan
kereta → kereta-keretaan
Demikian juga kata-kata kehitam-hitaman, keputih-putihan, kemerah-merahan, sejelek-
jeleknya, setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya, dan sebagainya, juga terbentuk dengan cara
yang sama sebagaimana cara di atas, yaitu dengan pengulangan dan pembubuhan afiks pada
bentuk dasarnya:
hitam → kehitam-hitaman
putih → keputih-putihan
merah → kemerah-merahan
jelek → sejelek-jeleknya
tinggi → setinggi-tingginya
dalam → sedalam-dalamnya

Proses pembentukan kata ulang berimbuhan seperti ini, sebenarnya sama


dengan kereta menjadi kereta-kereta dan ditambahui imbuhan -an. Hanya saja, bentuk kereta-
keretaan tidak berasal dari kereta-kereta yang diberi imbuhan -an, karena secara makna
keduanya tidak ada kesamaan.

3. Kata Ulang Berubah bunyi


Kata ulang yang pengulangannya termasuk dalam golongan ini sebenarnya sangat
sedikit. Di samping bolak-balik terdapat kata kebalikan, sebaliknya, dibalik, dan membalik. Dari
perbandingan itu, dapat disimpulkan bahwa kata bolak-balik terbentuk dari bentuk
dasar balik yang diulang seluruhnya dengan perubahan bunyi dari /a/ menjadi /o/, dan dari /i/
menjadi /a/. Contoh lain dari kata ulang berubah bunyi ini, seperti:
gerak → gerak-gerik
serba → serba-serbi
robek → robak-rabik

Di samping perubahan bunyi vokal seperti contoh di atas, terdapat pula perubahan bunyi
konsonan, seperti:
lauk → lauk-pauk
ramah → ramah tamah
sayur → sayur-mayur
tali → tali-mali

Ramlan memberikan contoh-contoh seperti kata-kata di atas tentang bentuk kata ulang
berubah bunyi. Sedangkan kata-kata seperti, simpang-siur, sunyi-senyap, beras petas, tidak
termasuk ke dalam golongan kata ulang berubah bunyi. Menurut Ramlan, kata-kata itu tidak
dimasukan ke dalam golongan kata ulang berubah bunyi karena, siur bukanlah perubahan
dari simpang, senyap bukan perubahan dari sunyi, dan petas bukan pula perubahan
dari beras. Bentuk-bentuk seperti ini tidak termasuk dalam kata ulang berubah bunyi, tetapi
bentuk-bentuk seperti itu adalah bagian dari kata majemuk yang salah satu morfemnya berupa
morfem unik.
Jadi, pada kata ulang berubah bunyi ini, perubahan bunyinya tidak terlalu banyak dan
bunyinya berhubungan dengan bunyi pada bentuk dasarnya.
III.PENUTUP

Pemakaian bahasa mengalami banyak perubahan dari setiap massa. Hal itu tidak luput
dari semakin berkembangnya teknologi yang diikuti pula oleh perkembangan-perkembangan di
bidang lain, bahasa salah satunya.
Banyak jenis, macam, dan versi tentang pemakaian bahasa yang benar dan tepat.
Tetapi, dari semua itu akan muncul tata cara berbahasa yang baru, memberikan revisi bagi
pemakaian bahasa yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembnagan zaman. Oleh
karena itu, perlu diadakannya sebuah konferensi atau persetujuan untuk menentukan standard-
standard dan tata cara berbahasa dengan baik dan benar.
Demi menghindari adanya kesalahan atau kerancuan dalam berbahasa, disarankan bagi
pengguna bahasa untuk menggunakan tata cara yang umum dan banyak digunakan oleh
masyarakat. Namun, para pengguna bahasa juga harus mengoreksi lagi, apa tata cara tersebut
sesuai dengan stadard dan tata cara yang telah disepakati dalam konferensi. Pemakaian bahasa
yang umum belum tentu benar, justru karena pemakaiannya yang telah menyeluruh itu
kesalahannya jadi tidak tampak.
DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, S. Takdir. 1980. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
Muslich, Masnur. 1990. Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Malang: YA
3 Malang.
Rustamaji. 2005. Panduan Belajar SMA Kelas 3. Jakarta: Primagama.
Sepeno.1982. Inti Bahasa Indonesia. Solo: Depdikbud.
Solichi, Mansur. 1996. Hand-Out Morfologi. Malang: IKIP Malang.
Soedjito. 1995. Morfologi Bahasa Indonesia. Malang: IKIP Malang.

Anda mungkin juga menyukai