Anda di halaman 1dari 15

TUGAS SEJARAH PERSYARIATAN HUKUM ISLAM

DOSEN PEMBIMBING : Dr. Khairani, M.Ag

DISUSUN OLEH :

M.ARIQ RIJU PRATAMA (210106054)

JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS

SYARIAH DAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS AR-RANIRY BANDA ACEH 2022/2023

• IDENTITAS BUKU :

Judul : Tarikh tasyri' : sejarah legislasi hukum islam

Pengarang : al-qaththan, Manna' khalil (penulis)

Penerbit dan tahun terbit : Jawa Timur : Ummul qura, 2018


Halaman : 624

RESUME TARIKH TASYRI'

Sejarah Legislasi Hukum Islam Melalui Tarikh Tasyri

Tarikh Tasyri merupakan disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan ilmu fiqih maupun usul fiqih.
Tarik berarti ketentuan waktu, sebagaimana disebutkan arakha al kitab, arrakhahu, dan
arakhahu. Maksudnya adalah waqqatahu yaitu menjelaskan waktunya. Pengertian ilmu Tarikh
adalah ilmu yang mempelajari tentang kisah-kisah waktu terjadinya, peristiwa penting yang
terjadi padanya, serta pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.

Sejarah ilmu mencakup latar belakang munculnya ilmu tersebut, fase-fase perkembangannya,
kisah hidup para pembawanya, serta buah pemikiran yang mereka sumbangkan demi tegaknya
ilmu tersebut.Tujuan Penulis Syekh Manna Al-Qaththan menulis Tarikh Tasyri adalah untuk
mengetahui bagaimana latar belakang munculnya suatu hukum atau sebab-sebab
ditetapkannya suatu hukum Syariah, yang terjadi pada periode Rasulullah. Tentunya pada
periode Rasulullah itu tidak sama atau memungkinkan adanya perbedaan dengan periode-
periode setelahnya.

Menurut, Syekh Manna Al-Qaththan ada empat manfaat mempelajari Tarikh Tasyri. Pertama
bisa mengetahui latar belakang pembentukan hukum Islam. Dengan mengetahui latar
belakangnya, maka tidak akan keliru dalam memahami hukum Islam. Kedua dalam mempelajari
perkembangan fiqih atau fatwa berarti mempelajari pemimpin dan ulama yang telah
melakukan ijtihad dengan segala kemampuan.

Ketiga mempelajari produk ulama dan ijtihadnya sekaligus konstruktif dalam memahami produk
pemikiran dan pola yang dikembangkan. Keempat mempelajari sejarah hukum Islam sehingga
paling tidak dapat melahirkan sikap toleran dan dapat mewarisi pemikiran ulama klasik dan
langkah-langkah ijtihad dan pengembangan gagasannya.
Tarikh Tasri merupakan buku paling popiler yang ditulis Syekh Manna Khalil Al-Qaththan, ia
merupakan seorang ulama terkenal asal Mesir yang konsen terhadap sejarah legislasi hukum
Islam. Tentang Tarikh Tasri Syekh Manan membagi penjelasan kedalam lima pasal.

Pasal pertama ia menjelaskan masa penetapan hukum sejak diutusnyan Nabi Muhammad SAW
sampai wafatnya tahun 11 Hijriah. Pasal kedua fiqih pada masa Khulafaur Rasyidin, sejak tahun
11 H sampai 40 H. Pasal ketiga masa junior sahabat dan senior tabiin, mulai dari pemerintah
Muawiyah hingga awal abad kedua hijriah (139 H-172 H).

Pasal empat para ahli fatwa (mufti) pada periode (197H-279H). Pasal lima studi singkat seputar
empat imam dan pokok-pokok mazhab mereka. Semua pasal dijelaskan secara rinci dalam buku
Tarikh Tasri setebal 624 halaman.

Pada Pasal pertama, Syekh Manna Khalil Al-Qaththan menceritakan bagaimana pada abad ke-6
Masehi, di mana pada masa ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam belum diutus,
dunia dipimpin oleh dua negara besar yang letaknya tidak jauh dari jazirah Arab. Dua negara
besar ini adalah Persia yang terletak di di sebelah Timur Laut Jazirah Arab dan Romawi posisinya
membentang di bagian Utara dan Barat Jazirah Arab.

"Yang masing-masing negara-negara besar tersebut memiliki peradaban yang mencakup ilmu
undang-undang dan ideologi yang mereka anut," kata Syekh Manna.

Di Persia, para Khasrau atau raja Persia silih berganti memimpin wilayah yang ada di sekeliling
mereka. Mereka membangun peradaban yang mereka namakan dengan peradaban Persia.
Negara paling akhir yang memegang tampuk kepemimpinan negara Persia sebelum datangnya
Islam adalah negara Sasaniyah.

"Kepemimpinan Sasaniyah bermula pada tahun 226 M, dan berakhir pada tahun 651 M di saat
kaum muslimin menguasai mereka," katanya.

Syekh Manna mengatakan orang-orang Persia dikenal sebagai masyarakat yang suka
menyembah fenomena natural. Ajaran-ajaran Zoroaster atau orang yang dianggap sebagai nabi
oleh orang Persia berdiri atas dasar bahwa ada perbedaan dan perselisihan antara kekuatan-
kekuatan yang saling berseberangan seperti cahaya, kegelapan, kesuburan, kegersangan dan
seterusnya.

Menurut Zoroaster bahwa di dunia ini ada dua sumber atau tuhan. Pertama tuhan kebaikan
dan tuhan keburukan. Kedua tuhan tersebut selalu berada dalam lingkup perselisihan. Masing-
masing dari tuhan tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam urusan penciptaan.
Sumber atau tuhan kebaikan adalah cahaya. Cahaya inilah yang menciptakan segala sesuatu
yang indah, baik dan bermanfaat, seperti penciptaan hewan yang bermanfaat dan burung-
burung yang indah. Sementara tuhan keburukan adalah kegelapan yang menciptakan segala
keburukan yang ada di dunia, seperti hewan yang buas, ular serangga, dan semisalnya pada
ujungnya keselamatan hanya akan diperoleh oleh tuhan kebaikan.

Zoroaster juga berpendapat bahwa manusia memiliki dua kehidupan, yaitu kehidupan pertama
di dunia dan kehidupan kedua setelah kematian. Manusia akan memetik hasil sesuai amalan
yang mereka kerjakan di dunia. Berdirinya hari kiamat semakin dekat ketika tuhan kebaikan
dapat menyalahkan tuhan keburukan.

Orang Persia menjadikan api sebagai simbol tuhan kebaikan. Mereka menghidupkannya di
setiap tempat ibadah mereka dan memberikan pembelaan terhadapnya agar lebih kuat dan
menang atas tuhan keburukan. Ajaran-ajaran Mani yang menyebar di manawiayah memiliki
kesamaan dengan ajaran ajaran Zoroaster. Meskipun di sana ada perbedaan tetapi hanya
sedikit.

Namun, sekitar tahun 487 M muncul seorang yang bernama Mazdak di Persia. Iya menyerukan
dakwah kesyirikan model baru kepada manusia. Ia berpendapat sebagaimana pendapat
Zoroaster mengenai cahaya dan kegelapan. Hanya saja ajaran-ajaran yang ia pegang adalah
ajaran sosialisme. Oleh karena itu ia berpandangan bahwa seluruh manusia dilahirkan dengan
kondisi dan cara yang sama maka seharusnya mereka hidup dalam kesetaraan terutama dalam
urusan harta dan wanita.

"Syahrastani berkata mazdak melarang manusia melakukan penyimpangan saling membenci


dan peperangan ketika ia merasa bahwa harta dan wanita menjadi Sebab utama terjadinya
penyimpangan dan peperangan maka ia menjadikan wanita dan harta halal bagi siapa saja yang
menjadikan seluruh manusia bersekutu dalam menikmatinya sebagaimana mereka bersekutu
dalam menggunakan air makanan dan api," kata Syekh Manna.

Pada masa pemerintahan Sasaniyah, Persia memiliki undang-undang yang mengandung hukum
purusa seperti pernikahan, hukum kepemilikan, perbudakan, dan sebagian urusan urusan yang
bersifat umum. Sementara negara Romawi yang dipimpin oleh Caesar memiliki peradaban
yang dibangun atas teori filsafat dan argumen rasional Yunani dan Romawi. Ide-ide Socrates,
Plato dan Aristoteles pun turun-temurun diantara mereka. Hukum mereka telah meluas ke
wilayah wilayah sekitar laut tengah yang mencakup Syam, Mesir, dan Maroko.

Di mana saat itu keyakinan-keyakinan agama Nasrani dengan berbagai alirannya menyebar di
negara-negara tersebut. Orang-orang Nasrani juga mengambil filsafat Yunani guna
menjadikannya sebagai alat bantu pada saat berargumentasi dan untuk mengokohkan ajaran-
ajaran dihadapan para penyembah berhala.
"Alexandria merupakan tempat bermuaranya penyatuan antara agama dan filsafat. Di sana ada
sebuah aliran yang dikenal dengan sebutan Plato baru, yang muncul sekitar tahun 200 M.
Agama Nasrani pun mulai menyebar di Mesir, Maroko, Habasyah dan Irak," katanya.

Disamping itu, sisa-sisa ajaran Yahudi masih menyebar di beberapa wilayah bagian utara Jazirah
Arab seperti Yastrib. Mereka juga memiliki warisan dan peninggalan yang berupa keyakinan.
Adapun orang-orang Arab mayoritas mereka berasal dari pelosok padang pasir dan bersatu di
bawah aturan kabilah yang mengatur adat istiadat serta warisan orang-orang sebelum mereka.

"Mereka dipimpin oleh para kepala suku yang bertugas sebagai penengah di saat terjadinya
perselisihan," kata Manan.

Syekh Manna mengatakan, sebagian orang Arab yang tinggal di perkotaan seperti Makkah,
Yastrib (Madinah), Thaif ada bercocok tanam dan berprofesi sebagai produsen. Mereka ini
adalah dari kalangan Quraisy yang dikenal ahli berdagang sehingga mereka sangat layak
menentukan kode etik dalam urusan harta dan hubungan perdagangan.Hot Topics:

Disamping itu, sisa-sisa ajaran Yahudi masih menyebar di beberapa wilayah bagian utara Jazirah
Arab seperti Yastrib. Mereka juga memiliki warisan dan peninggalan yang berupa keyakinan.
Adapun orang-orang Arab mayoritas mereka berasal dari pelosok padang pasir dan bersatu di
bawah aturan kabilah yang mengatur adat istiadat serta warisan orang-orang sebelum mereka.

"Mereka dipimpin oleh para kepala suku yang bertugas sebagai penengah di saat terjadinya
perselisihan," kata Manan.

Syekh Manna mengatakan, sebagian orang Arab yang tinggal di perkotaan seperti Makkah,
Yastrib (Madinah), Thaif ada bercocok tanam dan berprofesi sebagai produsen. Mereka ini
adalah dari kalangan Quraisy yang dikenal ahli berdagang sehingga mereka sangat layak
menentukan kode etik dalam urusan harta dan hubungan perdagangan.

Ketika itu, orang-orang Arab tidak menutup diri dari budaya yang ada di negara sekelilingnya.
Bahkan perseteruan Abadi antara Persia dan Romawi memberi efek positif kepada mereka,
sehingga Persia dan Romawi menjadi penolong bagi mereka dalam memukul mundur serangan
orang-orang Baduy atas mereka.

Persia membangun pemerintah Hirah di tepian sungai Furot dan menjadikan Amr bin Adiy
sebagai pemimpin untuknya. Raja terakhir yang memimpin Hira adalah Nu'man bin Mundzir Al
Khamis, suami dari Hindun, yang memiliki julukan Abu Qabus, sahabat dari seorang jenius
bernama Adz-Dzubyani. Khosrau pernah marah kepadanya lalu memasukkannya ke dalam
penjara hingga ia wafat sekitar tahun 602 Masehi.

Penduduk Arab yang bertempat tinggal di Hirah terpengaruh oleh peradaban Persia,
sebagaimana orang-orang Ghassaniyah terpengaruh oleh peradaban Yunani dan paham
keagamaan Romawi. Dan mereka memiliki hubungan kuat dengan orang-orang Arab yang
tinggal di jantung Jazirah Arab.

"Di sinilah ajaran-ajaran Yahudi mulai memasuki negara Arab mereka menjadikan beberapa
daerah sebagai pusat operasi mereka," katanya.

Meskipun orang-orang Arab telah mewarisi sebagian ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail AS, tabiat
kasar yang mereka miliki tetap menjadikan mereka kokoh dalam menghadapi fenomena
kebudayaan tersebut. Hal ini disebabkan oleh maraknya kebodohan dan kesyirikan diantara
mereka, dan kehidupan mereka penuh dengan pembusukan dan keributan.

"Ibnu Khaldun berkata tentang mereka kebiadaban kelompok yang hobi merampok dan
berbuat kerusakan memiliki metode tersendiri dalam beroperasi," katanya.

Inilah kondisi Arab secara khusus dan dunia secara umum sebelum diutusnya Nabi Muhammad
SAW, di mana keburukan dan marabahaya merajalela di antara manusia, yang sering
munculnya sikap sewenang-wenang, kezaliman kerusakan, dan kesengsaraan. Di tengah kondidi
kehidupan yang mencekik tersebut, terdengar dari jantung kota Makkah suara lantang yang
berbunyi "Laa Ilaha Illallah" suara lantang sebut adalah suara Nabi Muhammad SAW.

Nabi Muhammad adalah orang yang dipilih oleh Allah untuk mengemban tugas agar memberi
petunjuk bagi akal akal yang tersesat menuju kepada cahaya keimanan, dengan akidah yang
benar, membuka jalan-jalan menuju ilmu yang bermanfaat, dan mengajarkan sifat adil yang
dapat menghancurkan tali-tali kelaliman dan kekuasaan.

Hal tersebut memberikan pesan kepada seluruh manusia bahwa dakwah beliau bersifat
manusia dan mengajak mereka dengan berbagai jenis dan warna kulitnya untuk bergabung di
bawah Panji nya sesuai firman Allah Surah Al A'raf yat 158. "Katakanlah hai manusia
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada semua."

Penetapan Hukum Pada Zaman Nabi

Tasyri atau Syariat pada masa Nabi ditetapkan dengan dua cara. Pertama, wahyu yang datang
dari Allah secara maknawi dan lafzhi berupa Alquran yang Allah turunkan kepada Nabi
Muhammad. Kedua wahyu dari Allah secara maknawai bukan lafzhi, yang berupa sunah-sunah
Rasulullah. Sesungguhnya lafal hadits-hadits Nabi berasal dari Nabi sendiri, sedangkan
maknanya bersumber dari Allah seperti ditegaskan Allah dalam surah An-Najm ayat 3-4.
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu Alquran menurut kemauan hawa nafsunya ucapan itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya," katanya.

Jadi hanya Allah saja yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, sementara nabi bertugas
untuk menjalankan syariat tersebut seperti ditegaskan Allah dalam surat An-Nahl ayat 44. "Dan
kami turunkan kepadamu Alquran agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka."

Tidak ada syariat yang berlaku kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Allah ataupun Rasulullah.
Karena syariat Islam memiliki dua pokok sumber hukum yaitu Alquran dan Sunnah, maka
penetapan syariat pun berakhir dengan wafatnya Nabi. Ar-Raghib berkata dalam kitab Al-
Mufradat, kata Alquran pada dasarnya adalah masdar yang memiliki kesamaan shighah dengan
kata kufran dan rujhan. Kata Alquran menjadi nama khusus untuk kitab yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad sebagaimana Taurat adalah nama kitab yang diturunkan kepada Musa dan
Injil merupakan nama kitab yang diturunkan kepada Isa.

Alquran mencakup seluruh kandungan kitab kitab selainnya, bahkan ia mencakup seluruh
cabang ilmu pengetahuan sebagaimana Allah telah mengisyaratkan hal ini dalam beberapa
surah di antaranya surah Yusuf ayat 111. "Dan menjelaskan segala sesuatu,". Surah An-Nahl
ayat 89 "Untuk menjelaskan segala sesuatu." Dan Az-Zumar ayat 28 "Ialah Alquran dalam
bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan di dalamnya."

Arti Alquran secara bahasa adalah mengumpulkan dan menyatukan Mashdar dari kata ini
menjadi nama khusus untuk Kitab yang mulia. Adapun pengertian Alquran secara istilah adalah
perkataan Allah yang diturunkan kepada Muhammad yang sampai kepada kita secara
Mutawatir.

"Membaca isinya dan mengamalkan kandungan hukum-hukumnya merupakan bentuk ibadah


kepada Allah dan Ia merupakan bukti kuat atas kebenaran Risalah Nabi," kata Manna.

Akidah menjadi penetapan hukum pertama di Makkah yang merupakan esensi syariat nabi yang
diutus oleh Allah, dan merupakan asas di mana tiang tiang agama tegak di atasnya. Manusia
tidak akan menerima Syariat yang Allah tetapkan kecuali jika akidah mereka lurus, dan mereka
beriman kepada Allah serta mengaku keesaan-nya dalam uluhiyah, rububiyah dan nama-nama
atau sifat-sifat Allah.

Apabila akidah tertanam kuat dalam jiwa masyarakat, maka akan mudah dalam membangun
masyarakat yang berpegang teguh dengan syariat dalam mengatur hubungan mereka dengan
Allah, dengan sesama mereka, serta dengan alasan semesta. Oleh sebab itu akidah merupakan
tujuan utama ajakan para rasul kepada umatnya seperti diabadikan dalam surah Al-Anbiya ayat
25."Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan
kepadanya bahwa hanya tidak ada Ilah yang hak untuk disembah melainkan Aku maka
sembahlah Aku,"Penetap Hukum di Makkah Penetapan hukum pada fase Makkah yang berjalan
selama kurang lebih 13 tahun fokus pada pembinaan akidah, memperkuat akar-akarnya, dan
menjaga kemurniannya. Islam menjadikan dua kalimat syahadat sebagai realisasi dari aqidah
sebagai pintu masuknya seseorang ke dalam pelukan Islam yang kemudian diberlakukan
baginya hukum-hukum Islam.

Dalam upaya kepada akidah Islam bersandar pada argumen argumen logis. Caranya adalah
dengan mengajak manusia untuk memikirkan alam semesta, mentadaburi tanda-tanda
kekuasaan Allah, dan keindahan ciptaannya, serta memikirkan Bagaimana berjalan semua
ciptaan ini dengan pola yang teratur.

"Semua ini menunjukkan bukti yang kuat akan adanya pencipta dan pengatur bagi alam
semesta ini," kata Syeh Manna.

Karena kata Syekh Manna, tidak mungkin ciptaan yang sempurna ini terwujud dengan
sendirinya tanpa ada yang menciptakan. Dan bila keimanan kepada Allah itu benar, maka akan
terlahir setelahnya keimanan kepada malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, dan kepada
takdir yang baik maupun yang buruk.

Menurut Syekh Manna, surat-surat dan ayat-ayat yang turut pada fase Makkah
menggambarkan orientasi akidah dengan mengajak manusia untuk berpikir dan melihat alam
semesta beserta langit dan bumi, menyaksikan rahasia-rahasia yang Allah simpan di balik
semua itu, dan ketelitian, serta kesempurnaan pada alam semesta itu sendiri, yang mana Iya
tersusun rapih tanpa ada kecacatan ataupun keraguan padanya.

Penetapan Hukum Madinah

Peristiwa hijrah merupakan pemisahan antara dua masyarakat dalam sejarah Islam. Saat di
Makkah, akidah Islamiyah telah tertanam kuat dalam jiwa kaum Muhajirin dan sebagaimana
kaum Anshar yang telah melakukan baiat. Disanalah mulai terbentuk benih-benih yang menjadi
cikal bakal berdirinya masyarakat Islami. Kemudian mereka menjadikan Madinah sebagai
tempat untuk menetap dalam rangka mengembangkan benih-benih tersebut.

"Pada fese inilah maka dakwah pun mulai memasuki tahap penerapan secara terorganisir,"
katanya.

Syekh Manna mengatakan, penetapan hukum di Madinah mengarah pada pembentukan


masyarakat dan penetapan aturan dalam hal kemasyarakatan. Dan langkah pertama yang
diambil oleh Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat adalah mempersaudarakan antara
kaum Muhajirin dan kaum Anshar, yang dengannya orang-orang Anshar lebih mengutamakan
saudaranya dari kalangan Muhajirin atas diri mereka sendiri.

Hal tersebut seperti disampaikan Allah dalam surah Al Hasyr ayat 9. "Dan orang-orang yang
telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka
(Muhajirin) mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan
mereka (Anshar) tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan orang-orang (Muhajirin) atas diri
mereka sendiri sekalipun mereka dalam kesusahan."

Hubungan akidah antara kaum mukminin kala itu Muhajirin dan Anshar menjadi sumber
terjadinya hubungan seluruh umat Islam. Penetapan hukum pada fase di Madinah juga
membahas beberapa permasalahan ibadah yang merupakan pondasi tegaknya tiang agama
Islam Allah mensyariatkan zakat, puasa, dan haji melalui ayat-ayat yang diturunkan di Madinah.

Setelah pondasi akidah terbangun kokoh. Alquran dan Sunnah telah dijalankan para sahabat
secara konsisten. Untuk merspon masalah-masalah kenian yang jawabannya tidak ada di dalam
Alquran dan hadist. Maka Rasulullah terbuka akan sebuah saran yang lahir dari sebuah proses
pemikiran atau ijtihad.

Ketika itu dialog perdana tentang Ijtihad adalah dengan Mu’adz bin Jabbal. Rasulullah menguji
kematangan intelektual dan spiritual Mu’adz dalam memecahkan persoalan kontemporer yang
dihadapinya itu, jawabannya tidak didapatkan pada nash dari Allah maupun Rasullnya. Hal ini
diriwayatkan beberapa sahabat Mu’adz, dari Mu’adz, bahwa Rasulullah berkata kepadanya
pada saat beliau mengutusnya ke Yaman.

Rasulullah berkata “Apa yang engkau akan perbuat jika engkau memerlukan pemutusan
hukum?”

Mu’adz berkata. “Aku memutuskan sesuai hukum yang terdapat dalam Kitabullah,”

Nabi kembali bertanya. “Bagaimana jika engkau tidak mendapatnya dalam Kitabullah?”

Mu’adz kembali menjawab. “Maka dengan sunnah Rasulullah,”

Lalu Nabi Muhammad bertanya lagi. “Bagimana jika engkau tidak mendapatkannya di daalam
sunah Rasulullah?”

Melalui kematangan spiritual dan intelektualnya Mu’adz berkata. “Aku berijtihad dengan
pendapatku dengan sungguh-sungguh,”
Mendengar jawaban yang lugas itu, Nabi merasa bangga terhadap sahabat sekaligus muridnya
dan berkata sambal memegang dada Mu’adz. “Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan
utusan Rasul-Nya kepada sesuatu yang diridhoi oleh Rasulullah,” katanya.

Mu’ajz adalah orang pilihan dari kalangan kaum muslimin yang mana keilmuan, agama, dan
keutamaannya sudah tidak asing lagi. Selain Mu’adz para sahabat lain juga berijtihad semasa
Rasulullah masih hidup, ketika pada permasalahan yang tidak terdapat pada Nas dari Alquran
maupun sunnah.

Pasal kedua Fikih Pada Masa Khulafaur Rasyidin

Pada pasal kedua ini Syekh Manna menerangkan tentang pemahaman terhadap ilmu yang
ditangkap panca indra atau pengetahuan. Menurutnya setiap pemahaman terhadap sesuatu
dinamakan dengan fiqih dan kemudian nama ini dikhususkan untuk menyebut suatu ilmu
syariat.

Menurutnya, setiap orang yang paham akan perkara yang halal dan yang haram dinamakan
sebagai faqih. Jika makna fikih pada dasarnya adalah mengetahui sesuatu dan memahaminya,
maka secara dominan ia diartikan sebagai pengetahuan atas ilmu syariat dikarenakan
kekuasaan, kemuliaan, dan keutamaannya di atas segala ilmu. Sehingga istilah ini menjadi
tradisi khusus, di mana tidaklah kata fiqih disebut melainkan maksudnya adalah pemahaman
terhadap ilmu agama.

Tidak ada satupun perbuatan atau ucapan manusia yang berubah berupa akad ataupun
perilaku lainnya yang masuk kategori ibadah, muamalah, dan pidana melainkan hukumnya
telah dijelaskan di dalam syariat Islam, melalui nash-nash Alquran dan Sunnah secara gamblang,
ataupun syariat telah memberikan isyarat-isyarat dan dalil-dalil yang mana para mujtahid
mengambil kesimpulan hukum darinya.

Kumpulan hukum-hukum tersebut dinamakan dengan fiqih. Pengertian fiqih adalah


sekumpulan hukum-hukum syar'I, seputar perbuatan yang disarikan dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Sementara tema ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf yang ditetapkan dengan
hukum syar'i.

Berbicara tentang fiqih Islam dan sejarahnya, adalah berbicara tentang kaidah-kaidah yang
mengokohkan tiang-tiang kebangkitan manusia dalam segi hubungan mereka dengan Rabbnya,
hubungan mereka dengan generasi berikutnya, dan hubungan umat Islam dengan umat umat
selainnya.

Inilah kata Syekh Manna, tiga sisi yang menjadi tegaknya peradaban manusia di dalam Islam.
Fiqih adalah neraca yang mengukur sejauh mana kesetiaan umat Islam pada aturan syariat,
sekuat apa kekuatan mereka dalam berpegang teguh dengan tali Allah, dan sejauh mana pula
mereka membangun kehidupan di atas pondasi pondasinya.

"Syariat Islam bukanlah wacana yang diperdebatkan integritasnya pada segala waktu dan
tempat, serta kesetiaannya dalam memenuhi segala kebutuhan manusia pada setiap waktu,"
katanya.

Pasca meninggalnya Rasulullah menjadi tantangan terberat bagi para sahabat dalam berijtihad.
Meski demikian keteguhan sahabat terhadap Alquran dan Sunnah akhirnya para sahabat
mampu melanjutkan dakwah Rasulullah setelah berijtihad memilih Abu Bakar menjadi
pemimpin umat Islam pasca Rasulullah meninggal.

Selama memerintah Abu Bakar terus menegakkan apa yang telah berjalan pada masa
Rasulullah. terutama menjalankan ketentuan zakat di mana ada sebagian kelompok pada masa
itu tidak mau mengeluarkan zakat, tetapi tidak meninggalkan salat terhadap hal ini Umar
memeranginya dan ini merupakan salah satu Ijtihad Abu Bakar.

Pada saat menjadi khalifah setelah Abu Bakar, Umar juga melakukan trobosan-trobosan dalam
menyelesaikan persolan pemerintahan, sosial dan budaya melalui pendekatan agama melalui
ijtihad setelah mencari jawabannya di Alquran dan hadist. Setiap kali Umar menghadapi
problem, maka Umar mencari solusi atasnya di dalam Alquran, jika tidak mendapatkannya,
maka ia berpindah kepada sunnah Rasulullah, dan ketika tidak mendapatkannya di dalam
sunnah Rasulullah maka ia berpindah kepada jejak perjalanan Abu Bakar.

"Dan jika ia masih belum mendapatkannya disana maka ia memanggil para cendekiawan dari
kalangan Muhajirin dan Anshar untuk diajak bermusyawarah supaya menemukan solusi atas
berbagai problem yang Umar hadapi," kata Syekh Manna

Apa yang dilakukan, Abuk Bakar, Umar juga dilakukam sahabat lainnya seperti Utsmam dan Ali.
Hasil Ijtihad Utsman yang dirasakan sampai sekarang adalah telah menghimpun Alquran
dengan baik sehingga Alquran bisa dibaca seluruh umat Islam sampai sekarang.

Pada pasal ketiga, Syekh Manna menceritakan tentang kondisin politik pada masa Muawiyah, di
mana seluruh wilayah negeri Islam tergabung menjadi satu, yaitu setelah perdamain yang
dilukukan oleh Al-Hasan bin Ali yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin pada tahun 41 H, dan
tahun tersebut dinamakan dengan Am Al-Jammah.

Bergabungnya seluruh wilayah negeri Islam bukan berarti keadaan menjadi stabil dan tenang
segala sisinya. Sebab penentangan terhadap Muawiyah dan hukum pemerintahan senantiasa
bermunculan. Terkadang penentangan itu datangnya dari kaum Khawarij yang memiliki rasa
dendam terhadap Ali, Utsman dan Muawiyah serta mengingkari kebijakan pemimpin duniawi.
"Dari sisi lain datang dari kaum Syiah yang memandang bahwa seharusnya kekhalifan berada
ditangan Ali dan keluarganya," kata Syekh Manan.

Syekh Manna mengatakan, pada periode ini kaum muslimin telah terbagi menjadi tiga
kelompok. Pertama Syiah, Khawarij dan Al-Jamaah. Menurutnya merupakan masalah yang
pertamakali diperselisihkan oleh kaum muslimin, sehingga dalam hal ini pendapat mereka
bercabang. Asas perbedaan dalam fitnah yang terjadi pada zaman Utsman tetapi kembali pada
benih pertamanya ketika Rasulullah wafat dan kaum muslimin menyadari pentingnya
memikirkan siapa yang akan menggantikannya.

Kaum Anshar bertugas untuk mengadakan perkumpulan di Sqifah Bani Saidah sebelum
pemakaman Rasulullah untuk memutuskan perkara ini. Kemudian Abu Bakar, Umar dan Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah mendapati mereka berkumpul. Dalam pertemuan tersebut, kaum Anshar
berpendapat bahwa pihak mereka dalam mengurus kekhalifahan. Sementara kaum Muhajirin
bependapat agar dari kepemimpinan dipegang oleh mereka.

"Pada saat itulah kemudian muncul benih-benih pendapat ketiga yang berpendapat bahwa
kepemimpinan dipegang oleh pihak keluarga Rasulullah khususnya Ali, karena kekerabatannya
dengan Nabi dan lebih dahulunya masuk Islam. Juga karena jihadnya, keutamannya, serta
keilmuannya,” katanya.

Adapun pendapat kaum Anshar, Iya telah padam setelah adanya kepuasan dan kerelaan pada
diri mereka. Begitu juga pandangan yang menyatakan bahwa Ali lebih utama untuk menjadikan
khalifah daripada selainnya menjadi reda pada era kepemimpinan Abu Bakar dan Umar,
dikarenakan keadilan dan kejujuran yang ada pada diri kedua khalifah tersebut, serta jauhnya
mereka dari sifat-sifat fanatisme. Pada masa kekhalifahan Utsman, Utsman meminta bantuan
dari bani Umayyah hal tersebut ternyata menimbulkan sikap fanatik pada diri orang yang
condong kepada Ali.

Dengan terbunuhnya Utsman kemudian pelantikan Ali, pandangan yang menyatakan bahwa Ali
adalah lebih berhak untuk menjadi khalifah akhirnya terealisasikan. Namun, perselisihan yang
terus menyala antara Ali dan Muawiyah yang kemudian berlanjut dengan peristiwa tahkim dan
yang berakhir dengan penguasaan Muawiyah mengakibatkan terbaginya muslim menjadi tiga
kelompok (Syiah, Khawarij dan Al Jamaah).

Keburukan yang timbul akibat terbaginya kaum muslimin kepada Syiah, Khawarij dan Al jamaah
tidak hanya menimbulkan kerusakan material pada kehidupan mereka. Namun, muncul pula
perkara lain yang berbahaya tidak kalah dahsyatnya dari yang sebelumnya, yaitu perbedaan
kaum muslimin dalam pendapat mereka dan perpecahan dalam agama mereka. Pada akhirnya
sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lainnya, berburuk sangka kepada saudaranya.
Bahkan terkadang kehidupan mereka berdiri di atas pedang yang terwujud pada
pemberontakan yang terus-menerus terjadi. Bani Umayyah menghadapi gejolak tersebut
dengan kekerasan dan sikap sewenang-wenang sehingga kekuatan tangan menjadi asas dalam
menentukan hukum pada beberapa periode.

Bahkan setiap kelompok dari tiga kelompok tersebut memiliki pemahaman tersendiri mengenai
dasar-dasar agama serta cabang-cabangnya. Sudah Selayaknya kita memperdalam pembahasan
mengenai dua kelompok yaitu Khawarij dan Syiah, sebab keduanya memiliki beberapa
pemikiran yang merusak kehidupan akal kaum muslimin serta mempengaruhi Fiqih Islam
dengan pengaruh yang sangat besar.

Khawarij merupakan salah satu golongan dalam Islam yang sangat keras dalam membela
ideologi mereka semangat dalam menyebarkan pemikiran mereka, berlebihan dalam
beribadah, dan pengorbanan dalam memperjuangkan akidahnya. Keikhlasan mereka dalam
membela kebatilan yang mereka jalani merupakan keikhlasan yang tiada bandingnya. Mayoritas
mereka berasal dari kaum Arab asli yang terbiasa dengan kekerasan dan kehidupan yang
sempit. Mereka ekstrim dalam memegang pemikiran mereka yang sesat, membantah lawan
debat mereka dengan penjelasan yang gamblang dan lisan fasih, serta memberlakukan mereka
dengan kekerasan dan kekasaran.

Khwarij berbangga bahwa Ali telah salah dalam menetapkan hukum sebab keputusan tersebut
mengandung keraguan antara kedua kubu yang sedang berperang, siapa di antara mereka yang
berada dalam kebenaran? Perkara ini bukan seperti mereka pikirkan, sebab mereka berperang
dan meyakini bahwa kebenaran berada di sisi mereka. Khawarij mengatakan tidak ada hukum
yang layak diikuti kecuali hukum Allah kalimat ini ditakwilkan kepada orang yang menganut
pendapat ini dan kalimat itu pun menjadi semboyan mereka.

Mereka meminta kepada Ali agar menetapkan bahwa dirinya telah melakukan sebuah
kesalahan bahkan sebuah ke kekufuran, dikarenakan ia telah menerima seruan tahkim dan
membatalkan syarat-syarat yang telah Ia setuju dengan Muawiyah. Namun Ali menolaknya
sebab Ia sama sekali tidak pernah menyekutukan Allah semenjak ia beriman, dan bagaimana
mungkin ia membatalkan kesepakatan yang telah Ia setujui.

Mereka pun meneruskan kekerasan mereka terhadap Ali dan mengganggunya. Bahkan ketika
Ali sedang berpidato di masjid mereka memotongnya dengan mengatakan “Tidak ada hukuman
yang layak diikuti kecuali hukum Allah.” Tatkala mereka putus asa bahwa Ali tidak akan
mengikuti pendapat mereka, mereka berkumpul di rumah salah seorang dari mereka juru
bicara merekapun berpidato dan mengatakan.

“Amma badu sesungguhnya tidak pantas bagi kaum yang beriman kepada Arrahman dan
bersandarkan kepada hukum Alquran untuk menjadikan dunia ini sebagai sesuatu yang lebih
mereka utamakan daripada menyeru kepada kebaikan, mencegah kejahatan, dan mengatakan
yang benar, walaupun mereka harus tersakiti dan terlukai. Sebab barangsiapa yang tersakiti dan
terlukai di dunia ini sesungguhnya ganjarannya pada hari kiamat adalah keridhaan Allah, serta
kekekalan di dalam surga nya. Oleh sebab itu, mari kita keluar bersama saudara-saudara kita
dari negeri ini yang penduduknya zalim menuju ke sebagian kota-kota kecil di pegunungan atau
sebagian kota di sini untuk mengingkari kebid'ahan kebid'ahan yang menyesatkan ini.

Kemudian mereka keluar menuju desa di dekat Kufah yang bernama harura, ketika itu mereka
dinamakan dengan AL-Haruriyah yang merupakan penisbahan kepada desa ini, mereka juga
dinamakan dengan AL-Muhakkimah, sebab mereka mengatakan tidak ada hukum yang layak
diikuti kecuali hukum Allah, dan mereka mengangkat seorang laki-laki sebagai pemimpin bagi
mereka yang bernama Abdullah bin Wahb Al-Rasibi.

Adapun penamaan mereka dengan Kawarij adalah karena mereka berselisih paham dengan Ali
dan para sahabatnya sebagian mereka menjadikan kata tersebut sebagai pecahan dari kata
Khuruj keluar dijalan Allah yang diambil dari firman Allah Surah An Nisa ayat 100.

"Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasulnya
kemudian kematian menghampirinya sebelum sampai ke tempat yang dituju maka
sesungguhnya telah tercatat pahala di sisi Allah"

Juga dinamakan dengan Surah yaitu yang menjual dirinya untuk Allah. Kata ini diambil dari
firman Allah surat Al Baqarah ayat 207.

"Di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah".

Ali telah memerangi dan mengalahkan mereka, banyak dari mereka yang terbunuh pada
peristiwa perang Nahrawan. Akhirnya mereka menghentikan penyerangan mereka terhadap Ali
dan membuat tipu daya untuk menghadapinya, hingga mereka menyusun konspirasi untuk
membunuhnya dan akhirnya ia berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam Al-Khawarij.

Akhirnya Khawarij pun menjadi duri penghalang dari dinasti Umawiyah, mereka memberikan
ancaman baginya dan memeranginya dengan sikap keberanian dan kegagahan. Sehingga
mereka mengakibatkan kerugian yang dahsyat berkat peperangan yang terus menerus
berlangsung dan mereka terbagi menjadi dua bagian.

Pertama mereka yang berada di Irak dan sekitarnya. Markas terpenting yang mereka miliki
berada di Al Bathaih yang dekat dengan kota Al-Basharah. Mereka berhasil menguasai kota
Kirman (kota di Iran), dan negeri Persia Iran dan mengancam kota Al-Basharah untuk
ditaklukan. Mereka adalah kelompok yang diperangi oleh AL-Muhammad bin Abi Shafrah. Di
antara petinggi mereka yang terkemuka adalah Nafi bin Al-Azraq dan Quthari bin Al-Fujaah.
Kedua mereka yang berada di semenanjung Arab. Mereka berhasil menguasai kota Yamamah,
Hadramaut dan Ath-Thaif. Di antara pemimpin mereka yang terkenal adalah Abu Thalut dan
Najdah bin Amir. Peperangan melawan Khawarij terus berlanjut pada masa pemerintah
Umayyah dan kemudian kekuatan mereka melemah pada masa pemerintahan Abbasiyah.

SEKIAN RESUME SAYA TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai