Anda di halaman 1dari 4

M.

ARIQ RIJU PRATAMA

210106054

METODE ISTISLAHIAH: Pemanfaatan limu Pengetahuan dalam Ushul Figh

Penyempurnaan atas kaidah-kaidah di atas terus dilakukan oleh para ulama yang

datang pada abad ketujuh dan delapan Hijriah, seperti Iz al-Din bin Abd al-Salam

(660/1209), al-Qarafi (684/1285). Najm al-Din al-Thufiy (716), Ibnu Taymiyyah

(728/1330), Ibnu Qayyim al Jawzi (751/1350), dan al-Syathibi (790/1388). Tetapi

penambahan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh para ulama abad ketujuh dan

delapan tidak lagi berpengaruh banyak kepada kegiatan pendidikan dan pengembangan

ilmu, ataupun penggunaan kaidah oleh para ulama di masa kemunduran.

Buku-buku orisinal karangan para ulama besar di ujung masa kejayaan dan

menjelang masa kemuduran ini tidak ber edar secara luas, karena para ulama pengikut

mazhab cenderung tidak membacanya atau lebih tepat tidak mau menggunakannya.

Kelihatan- nya ulama di masa kemunduran telah merasa puas, dengan membaca dan

mengkaji buku-buku tertentu yang berbentuk syarah (komentar) dan hasyiah (komentar

atas komentar) ataupun mukhtashar (ring- kasan), yang pada umumnya hanya memilih

(membicarakan) buku- buku tertentu sampai abad ketujuh hijriah.Dari semua

penambahan dan penyempurnaan yang dilakukan di masa menjelang kemunduran

tersebut, kelihatannya yang dianggap pa- ling penting yaitu apa yang dilakukan oleh al-

Syathibi. Beliau mem- perkenalkan model penalaran baru, yaitu berusaha mencari dan
me- nemukan kemaslahatan dan tujuan dari suatu ketentuan atau peraturan yang

diturunkan Allah SWT.

Menurut beliau suatu penalaran dianggap tidak memadai kalau hanya bertumpu

pada pertimbangan lugawiah. yaitu upaya mencari makna berdasarkan pertimbangan

semantik dan gramatikal. Untuk itu beliau memperkenalkan metode penalaran yang

bertumpu pada pertimbangan maqashid al-syari'ah (kemaslahatan yang ingin dicapai

oleh Allah melalui peraturan yang diturunkan-Nya; mungkin dapat disebut sebagai

tujuan hukum, kadang-kadang dising kat menjadi magashid, diindonesiakan menjadi

maqasid), yang sam pai batas tertentu dapat dianggap sebagai penyempurnaan atas

dalil al mashalih al-mursalah atau al-istishlahiyyah (diindonesiakan men jadi masalih

mursalah dan istislahiah) yang sebelumnya sudah diper kenalkan oleh para ulama.

Menurut beliau, penggeseran metode penalaran dari sekadar mem- pertimbangkan

kaidah-kaidah lugawiah menjadi mempertimbangkan maqashid al-syari'ah perlu

dilakukan, karena Allah SWT menurun- kan peraturan tidaklah secara sia-sia.

ada di dalam kesulitan yang besar atau kesusahan yang terus-mener dan

berkepanjangan. Beliau menyebutnya sebagai maqashid al-haji (peraturan yang

diperlukan manusia agar manusia dapat memenuh keperluannya yang bersifat

sekunder, yaitu keperluan-keperluan yang menjadikan kehidupan terasa lapang, dapat

terbebas dari kesulitan yang berkepanjangan ataupun kesusahan yang besar). Tingkatan

yang keti ga, yang terendah, sesuatu yang diperlukan manusia agar hidup men- jadi

lapang, nyaman, dan selesa. Beliau menyebutnya sebagai maqashid al-tahsiniyyat

(peraturan yang diperlukan manusia agar mereka dapat memenuhi keperluan yang
bersifat tersier. (komplementer, pelengkap). yaitu keperluan yang menjadikan

kehidupan terasa nyaman, selesa, lega dan lapang, dan sampai batas tertentu

menjadikan kesenian [budaya] dapat tumbuh dan berkembang). Penyusunan keperluan

manusia dan perlindungannya menjadi tiga tingkatan secara berjenjang ini beliau

lakukan berdasar pengkajian dan penelitian atas ayat-ayat Al-Qur'an secara induktif dan

komprehensif (istiqra' al-ma nawi), sehingga beli- au beranggapan bahwa

keberadaannya telah mencapai tingkat gath´i. Karena telah mencapai tingkat gathi,

maka memasukkannya ke dalam penalaran, atau menjadikannya pertimbangan utama

ketika melakukan penalaran menjadi sangat penting, dianggap sebagai sesuatu yang

sudah gathi juga

Pada zaman modern sekarang, teori maqashid bukan hanya dimak- sudkan untuk

menafsirkan nash, melainkan juga untuk mengidentifika- si apa saja yang menjadi

keperluan manusia baik secara individu mau- pun kelompok. Bagaimana keperluan itu

didefinisikan (apakah pada tingkat minimalnya atau bisa sampai ke tingkat yang wajar

dan stan- dar atau malah bisa sampai ke tingkat yang maksimal) dan bagaimana

mendudukkannya dalam jenjang maqashid yang telah disusun terse but. Lebih dari itu,

pertanyaan juga diajukan apakah jenjang magashid yang tiga itu beserta semua isinya

masih sesuai dengan keperluan masa sekarang dan karena itu dapat dipertahankan:

atau sebaliknya, dianggap sudah tidak mampu memenuhi keperluan masa sekarang dan

karena itu harus disempurnakan. Kalau harus disempurnakan bagaimana cara

melakukannya apakah cukup dengan menambah atau harus dengan mengubahnya.

Sekiranya perlu diubah, apakah ketentuan atau penger- tian yang selama ini digunakan
(ditemukan di dalam ushul figh) me- rupakan masalah yang boleh diubah atau tidak

boleh diubah. Namun mungkin yang lebih penting dari itu, apakah ketentuan-ketentuan

dan pengertian tersebut betul-betul perlu diubah.

Anda mungkin juga menyukai