Anda di halaman 1dari 10

MANUSIA SEBAGAI PELAKU HUKUM (Mahkum ‘alaih)

Dosen Pengampu: Dr. Sarina Aini, Lc., M.A., Ph.D

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6

1. Hefa Fazira (210106002)


2. Nabilla (2101060105)
3. Muhammad Ari Shiddiq (210106029)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

BANDA ACEH

2024

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii


BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................................................ 2
A. Manusia sebagai Mahkum ............................................................................................ 2
B. Fitrah ............................................................................................................................. 4
C. Cara Manusia Memperoleh Pengetahuan ...................................................................... 5
BAB 3 PENUTUP ..................................................................................................................... 7
A. Kesimpulan.................................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 8

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua tindakan manusia di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang
baik itu hatus tunduk pada kehendak Allah dan Rasul untuk mengetahui keseluruhan
apa yang dikehendakai Allah tentang tingkah laku manusia itu harus ada pemahaman
yang mendalam tentang syariat hingga secara amaliyah syariat itu dapat diterapkan
dalam kondisi dan situasi bagaimanapun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam
bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang tindak tanduk manusia
mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariat
itu disebut fiqh.
Pada dasarnya, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hal ini berarti,
manusia dilahirkan dalam keadaan sama-sama lemah meskipun menyimpan potensi
besar. Namun bukan berarti manusia, ketika dilahirkan, bagaikan kertas putih atau
kosong seperti yang dikatakan John Lock atau tak berdaya seperti pandangan Jabariyah.
Hal ini karena manusia memiliki potensi yang berupa kecenderungan-kecenderungan
tertentu yang menyangkut daya nalar, mental, maupun psikisnya yang berbeda-beda
jenis dan tingkatannya. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat fitrah
membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Dalam konteks pendidikan,
teori tersebut menjadi pijakan dalam mengembangan fitrah manusia. Dalam hal ini,
proses pendidikan menjadi penting untuk ditingkatkan kualitasnya karena ia merupakan
salah satu sarana yang dapat menumbuhkankembangkan potensi-potensi yang ada
dalam diri manusia sesuai dengan fitrah penciptaannya.1

B. Rumusan Masalah
a. Pengertian Manusia Sebagai Mahkum
b. Bagaimana Fitrah Manusia Sebagai Mahkum
c. Bagaimana Manusia Memperoleh Pengetahuan

1
Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999,
hal 16.
1
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Manusia sebagai Mahkum


Mahkum alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan
hukum syar'i. atau dengan kata lain, mahkum alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya
menjadi tempat berkakunya hukum Alloh. Dinamakan mukallaf sebagai mahkum alaihi
adalah karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara. Ringkasnya, mahkum alaihi
adalah orang atau si mukallaf itu sendiri, sedangan perbuatannya disebut mahkum bih.2
Dalam pengertian yang lainnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara'. Menurut
ulama' ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yannya dikenai
kitab Allah, yang disebut mukallaf Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa
Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala
tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu. Jadi, secara singkat
dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya
menjadinya tempat berlakunya hukum Allah.
Amir syarifuddin dalam bukunya menjelaskan bahwa subjek hukum atau pelaku
hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, and segala tingkah
lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. dalam istilah Ushul Fiqh,
subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum, atau
mahkum alaihi yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.3
Mahkum 'alaih tergolong dari subjek hukum. Sebagaimana dalam hukum Islam
adalah mukallaf atau orang yang telah memenuhi syarat-syarat kecakapan untuk
bertindak hukum (ahliyah al-ada'). Manusia yang telah dibebani sebuah hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan. Manusia dijadikan sebagai pelaksana hukum
dengan alasan sebagai berikut:
a. Memiliki akal dan hawa nafsu
b. Kesadaran naluri manusia terhadap hukum
c. Hubungan manusia dan hukum akal

2
Koto Alaidin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004,
hal 157
3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009, hal 424.
2
Adapun orang yang telah memenuhi syarat-syarat kecakapan untuk bertindak
hukum sebagai berikut:
1. Mampu memahami dalil secara mandiri disebut juga Mujtahid (sudah
mendalami dalil) dan yang dengan bantuan orang disebut mukhaliq
(berguru).
2. Mempunyai Ahliatu Al-Ada ialah kecakapan bertindak secara
hukum/memikul beban taklifi.
Hubungan manusia dengan Ahliyatul ada' terdapat tiga macam, yaitu:
1. Tidak memiliki Ahliyatul Ada' sedikitpun yaitu orang gila, maka belum
dewasa karena mereka dianggap tidak mempunyai akal
2. Adakalanya seorang memiliki Ahliyatul Ada' yang sedikit yaitu anak
yang sedang akan menginjak. dewasa, dimana dia dianggap sudah
mulai mengerti akan hukum. Perbuatan itu bermanfaat atau tidak
merasa sudah faham
3. Dianggap memiliki Ahliyatul Ada' yang sempurna yaitu orang dewasa
yang berakal. Bila hanya dewasa saja, maka tidak sempurna dan banyak
orang gila yang dewasa bahkan dominan oleh karena itu haruslah
berakal.
Bahwa Mujtahid adalah orang mengetahui tentang sesuatu yang berdalil dan
mukhaliq adalah orang sangat memahami dengan hukum Islam atau berguru.
Pengendalian tersebut ada secara formal dan informal. Hukum Islam dalam arti ikhlas
atau faktual ada pada kesenjangan dalam berpikir positif.
Pelaksana hukum dalam kajian filsafat hukum Islam adalah Manusia atau yang
disebut dengan mahkum alaih. Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah mukallaf,
yaitu manusia sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Dasar dari
tuntutan itu adalah akal. Al-Amidiy menyatakan bahwa syarat seorang mukallaf adalah
berakal, karena tuntutan itu merupkan. permintaan untuk melakukan sesuatu perbuatan
atau meninggalkan sesuatu perbuatan. Sedangkan menyuruh dan atau meninggalkan

sesuatu perbuatan kepada orang yang tidak berakal adalah mustahil.4


Taklif adalah tuntutan pelaksanaan beban tugas yang sudah ditentukan,
mukallaf ialah orang yang memikul tanggung jawab terhadap beban tugas pelaksanaan

4
Dr. Drs. Moh. Ahsanuddin Jauhari, S.Fil., M.Hum, filsafat hukum islam, Bandung:
PT. Liventurindo, 2020, hal 52.
3
hukum taklifi. Taklif diadakan dengan maksud untuk kebaikan. kehidupan manusia
didunia dan diakhirat. Dalam hal ini faktor kesadaran yang timbul dari lubuk hati dan
didorong oleh iman memegang peranan yang sangat penting.
Dasar adanya taklif kepada mukallaf ialah karena adanya akal dan kemampuan
memahami padanya. Saifudin al-Amidi menerangkan akan hal tersebut dan
ringkasannya:
1. Yang menjadi dasar taklif itu ialah akal karena taklif itu bersumber pada
firman Allah yang harus dipahami oleh akal.
2. Akal tumbuh dan berkembang secara berangsur- angsur semenjak usia
muda, dan dipandang belum sampai ke batas taklif melainkan jika akal
sudah mencapai kesempurnaan dalam pertumbuhannya.
3. Pertumbuhan akal secara berangsur-angsur ini terjadi dari masa ke masa
secara tersembunyi sehingga baru jelas permulaan kesempurnaannya
(kematangannya) jika sudah mencapai masa baligh. Sebagai pemisah
antara masa masih kurang sempurna akal dengan mulai mencapai
kesempurnaannya ialah baligh. Dikala seorang sudah baligh
termasuklah ia dalam kategori mukallaf. Dan setiap mukallaf harus
bertanggung jawab terhadap hukum taklifi.

B. Fitrah
Makna fitrah yang berarti penciptaan merupakan makna yang lazim dipakai
dalam penciptaan manusia, baik penciptaan fisik (al-jism), maupun fsikis (an-nafs).
Pemaknaan penciptaan pada kata fitrah biasanya disejajarkan dengan kata al-'amr, al-
bad, al-ja'l, al-khalq, al-shum'u, dan al-nasy'. Semua term tersebut secara umum
memiliki makna yang sama yakni penciptaan. Akan tetapi untuk menggeneralisasi
proses penciptaan manusia menurut para ahli lebih tepat digunakan kata fitrah. Di
samping cakupannya luas, yang mencakup semua term di atas, fitrah juga
menunjukan kekhasan penciptaan manusia, baik penciptaan pisik, psikis, maupun
psiko-pisik.5
Dalam konteks filsafat hukum Islam, fitrah manusia berperan sebagai pelaku
hukum yang memiliki potensi dan kemampuan untuk berperilaku baik atau buruk.

5
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta,
Darul Falah, 1999, hal 19
4
Fitrah manusia dalam Islam berarti sifat asal manusia yang dilahirkan dalam keadaan
suci dan murni, serta memiliki potensi untuk berkembang dan berperilaku sesuai
dengan syariat Allah.
Dalam pandangan Islam, fitrah manusia dianggap sebagai sifat asal manusia
yang dilahirkan dalam keadaan suci, pendidikanlah yang dapat mengubah dan
menentukan manusia menjadi manusia yang konkrit.
Dalam kaitannya dengan hukum, fitrah manusia berperan sebagai subjek yang
memiliki hak dan kewajiban untuk berperilaku sesuai dengan syariat Allah. Manusia
sebagai pelaku hukum mempunyai potensi untuk berperilaku baik atau buruk, dan
perbuatan baik atau buruk tersebut dapat berimplikasi pada hukum dan kehidupan
Masyarakat Namun, dalam kaitannya dengan filsafat hukum Islam, fitrah manusia juga
berperan sebagai objek yang harus dipahami dan dikembangkan dalam konteks
pendidikan dan pelaksanaan syariat Allah. Pendidikan dan pelaksanaan syariat Allah
dapat berpartisipasi dalam mengembangkan fitrah manusia menjadi manusia yang lebih
baik dan berperilaku sesuai dengan syariat Allah.
Dalam sintesisnya, fitrah manusia dalam filsafat hukum Islam berperan sebagai
pelaku hukum yang memiliki potensi dan kemampuan untuk berperilaku baik atau
buruk, serta sebagai objek yang harus dipahami dan dikembangkan dalam konteks
pendidikan dan pelaksanaan syariat Allah.

C. Cara Manusia Memperoleh Pengetahuan


Dalam perspektif filsafat Islam, manusia memperoleh ilmu pengetahuan
melalui berbagai cara dan pendekatan yang didasarkan pada ajaran Islam. Salah satu
cara yang dianjurkan adalah menggunakan indera, seperti penglihatan, pendengaran,
dan perasaan, untuk memahami dan menemukan pengetahuan. Dengan demikian,
manusia diharapkan dapat menggunakan kemampuan intelektual dan fisiknya untuk
memahami dan menemukan pengetahuan.6
Selain itu, Islam juga mengajarkan manusia untuk mengembangkan potensi
dirinya melalui pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian, manusia diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan dan kualitas diri mereka melalui proses belajar dan
pengembangan. Filsafat Islam juga mengajarkan manusia untuk menggunakan akal

6
Prof. Darwis A. Soelaiman, Ph.D, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoektif Barat dan
Islam, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2019, hal 30.
5
mereka dalam memahami dan menemukan pengetahuan. Dengan demikian, manusia
diharapkan menggunakan kemampuan berpikir dan menganalisisnya untuk memahami
dan menemukan pengetahuan.
Al-Qur'an dan Hadits juga dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan yang
sangat penting dalam Islam. Dengan demikian, manusia diharapkan untuk mempelajari
dan mengikuti ajaran Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber ilmu pengetahuan yang sah
dan dapat dipercaya. Selain itu, Islam juga mengajarkan manusia untuk
mengembangkan sifat Tuhan seperti berkehendak, ilmu, kaya, kuat, mulia, pengasih,
dan penyayang. Dengan demikian, manusia diharapkan untuk mengembangkan sifat-
sifat tersebut dalam diri mereka dan menjadikan pengupayaan sifat-sifat Tuhan tersebut
sebagai suatu keniscayaan dalam pembentukan kemanusiaan manusia.
Penggunaan ibadah juga dianggap sebagai cara untuk memperoleh ilmu
pengetahuan. Dengan demikian, manusia diharapkan dapat menggunakan ibadah
sebagai cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan meningkatkan kualitas diri
mereka. Filsafat Islam juga mengajarkan manusia untuk menggunakan kreativitas dan
inovasi dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan demikian, manusia diharapkan
untuk menggunakan kreativitas dan inovasi mereka untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan meningkatkan kualitas diri mereka.
Dalam sintesisnya, filsafat Islam mengajarkan manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan melalui berbagai cara dan pendekatan yang didasarkan pada ajaran Islam.
Manusia diharapkan untuk menggunakan indera, mengembangkan potensi diri,
menggunakan akal, mempelajari Al-Qur'an dan Hadits, mengembangkan sifat Tuhan,
menggunakan ibadah, dan menggunakan kreativitas dan inovasi dalam memperoleh
ilmu pengetahuan. Dengan demikian, filsafat Islam menekankan pentingnya berbagai
cara dan pendekatan dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan meningkatkan kualitas
diri manusia.

6
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam filsafat hukum Islam, manusia sebagai pelaku hukum memiliki peran
penting dalam pengembangan dan pelaksanaan hukum Islam.Manusia sebagai pelaku
hukum dianggap sebagai subjek yang berinteraksi dengan hukum Islam dan berperan
dalam menemukan, mengungkap, dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupan
sehari-hari
Manusia sebagai pelaku hukum juga dianggap sebagai subjek yang memiliki
kemampuan berpikir dan ber ijtihad untuk menemukan solusi terhadap masalah yang
terjadi di tengah masyarakat. Dalam proses ber ijtihad, manusia sebagai pelaku hukum
berinteraksi dengan sumber hukum Islam, seperti Al-Qur'an dan hadis, untuk
menemukan hukum Islam yang sesuai dengan tujuan hukum Islam
Dalam beberapa sumber, manusia sebagai pelaku hukum juga dianggap sebagai
subjek yang memiliki peran dalam mengembangkan aksiologi hukum Islam. Anggota
Aksiologi Hukum Islam membahas tentang visi -misi hukum Islam, hubungan hukum
Islam dan akhlak, serta hukum Islam dan perubahan sosial. Dalam aksiologi hukum
Islam, manusia sebagai pelaku hukum berperan dalam menemukan solusi untuk
menghadapi masalah yang terjadi di tengah masyarakat dan mengembangkan hukum
Islam.

7
DAFTAR PUSTAKA

Ismail Muhammad Syah, dkk. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1999.
Koto Alaidin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009.
Dr. Drs. Moh. Ahsanuddin Jauhari, S.Fil., M.Hum, filsafat hukum islam,
Bandung: PT. Liventurindo, 2020.
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis,
Jakarta, Darul Falah, 1999.
Prof. Darwis A. Soelaiman, Ph.D, Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoektif Barat
dan Islam, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2019.

Anda mungkin juga menyukai