Anda di halaman 1dari 18

UNIVERSITAS SUBANG

NAMA : Muhamad Rizky Firdaus


Jurusan : Administrasi Publik

Semester : I
KATA PENGANTAR

Assalmu’alaikum WR.WB
Puji dan syukur saya panjatknan kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah OTONOMI DAERAH ini.
Shalawat dan salam saya panjatkan kepada junjunaan alam semesta yaitu Nabi besar
Muhammad SAW, kepada sahabat – sahabatnya dan sampai pada kita sebagai umat-
Nya
Saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlibat atas
pembuatannya makalah ini, buat sahabat – sahabat saya, terutama buat kedua orang
tua saya yang selalu memberikan motifasi yang sangat luar biasa yang bisa buat saya
semua lebih giat untuk belajar, buat dosen – dosen terutama buat Yth. Bpk. Supri
Yang telah memberikan begitu banyak pelajaran dalam mata kuliah Otonomi Daerah
ini .
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu  tugas
mata kuliah Otonomi Derah. Yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai
sumber. Dan penuh dengan kesabaran terutama pertolongan dari Allah SWT.
Akhirnya makalah ini dapat saya selesaikan.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan saya, karna saya
masih dalam tahap pembelajaran. saya sangat berharap makalah ini bermanfaat bagi
saya pribadi khususnya  bagi semua pihak pada  umumnya. Apabila ada keritik dan
saran yang bersifat membangun terciptanya makalah ini   saya terima dengan lapang
dada.
Wassalamu’alaikum WR.WB

Subang,     Desember 2013

Penyusun.
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................      i
DAFTAR ISI ...................................................................     ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................      2
A.        Latar Belakang Masalah ......................................    2
B.        Identifikasi Masalah ............................................   5
BAB II TINJAUAN TEORI ...............................................     7
A.     Sejarah Perkembangan OTDA di Indonesia ...........    7
B.        Definisi Otonomi Daerah ......................................  11
BAB III PEMBAHASAN ...................................................     13
A.      Tata Kelola Desa .................................................
B.        Arah Pemberdayaan ............................................  13
C.        Indikator Keberhasialan .......................................  14
D.        Tahap Pelaksanaan Pembangunan ........................   15
E.        Konsef Penyelenggaraan Pemerintah
yang Efektif ......................................................... 15
BAB IV PENUTUP.............................................................    16
A.        Kesimpulan .........................................................  16
B.        Saran .................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................    17


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah


Usaha pembangunan daerah, desa dan kota terus ditingkat-kan dan diarahkan pada
pencapaian tujuan untuk makin memeratakan pembangunan, makin memantapkan
pewujudan Wawasan Nusantara, dan makin mewujudkan otonomi daerah yang nyata
dan bertanggungjawab. Dalam rangka itu pembangunan daerah, desa dan kota
dilaksanakan dengan tujuan menyerasikan laju pertumbuhan daerah yang satu dengan
daerah yang lain dan antara pertumbuhan daerah pedesaan dan perkotaan,
menyerasikan keseluruhan pembangunan di setiap daerah dengan prioritas dan potensi
daerah masing-masing, meningkatkan kemampuan berprakarsa dan berpartisipasi
masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam membangun dan mendorong
pertumbuhannya, dan mempercepat peningkatan kemampuan daerah-daerah tertentu
yang masih menghadapi berbagai hambatan untuk berkembang.
Perkembangan sebuah ilmu sangat ditentukan oleh kemampuannya menjawab
berbagai masalah-masalah sosial dan alam yang menjadi bidang garapannya. Semakin
fungsional sebuah ilmu dalam arti mampu menjalankan sekurang-kurangnya lima
fungsi utama ilmu akan semakin banyak pendukungnya. Hal tersebut pada gilirannya
akan mendorong semakin banyak orang yang mempelajari dan menghasilkan teori
maupun konsep baru. Sebaliknya, apabila sebuah ilmu tidak fungsional dalam
menjawab kebutuhan masyarakat, maka ilmu tersebut akan ditinggalkan oleh
masyarakat dan akhirnya akan mati.
Kemampuan suatu ilmu untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan sangat
tergantung pada epistemologinya, karena salah satu hal yang membedakan antara ilmu
satu dengan ilmu lainnya adalah dari segi metodologinya.
Demikian juga halnya dengan Ilmu Pemerintahan. Dari berbagai literature dapat lihat
bahwa bahwa pemerintahan disamping sebagai sebuah pengetahuan (knowledge)
adalah sekaligus juga meruapakan sebuah kemahiran (know-how). Karena itu Ilmu
Pemerintahan diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan
manusia, termasuk dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
dewasa ini.
Gelombang perubahan yang melanda Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan orde
baru, membuka wacana dan gerakan baru diseluruh aspek kehidupan masyarakat, tak
terkecuali dalam dunia pemerintahan. Semangat yang menyala-nyala untuk
melakukan reformasi, bahkan cennderung melahirkan euphoria, memberikan energi
yang luar biasa bagi bangkintya kembali wacana otonomi daerah, setelah hampir
sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim otoritarian orde baru dengan politik stick
and carrot-nya. Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian
otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. menyatakan bahwa tuntutan
seperti itu adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah
pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya
kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan
dan kehidupan demokrasi di daerah, Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga
muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules
pada semua aspek kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah perkembangannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengikuti
pola seperti pada bandul jam yaitu beredar antara sangat sentralistik dan sangat
desentarlistik. Apabila kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistik maka
bandulnya akan ditarik kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik
demikian pula sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti perkembangan
pelaksanaan otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya mulai dari UU nomor 1 tahun 1945 sampai dengan UU Nomor 22 tahun
1999.
Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang
pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan.
Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada
tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni
efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan
kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan
social ekonomi, yakni meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.
Otonomi berasal dari dua kata : auto berarti sendiri, nomos berarti rumah tangga atau
urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga
sendiri. Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah
“mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari
pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah
sendiri.
Berdasarkan Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000
tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi menjadi dasar
pengelolaan semua potensi daerah yang ada dan dimanfaatkan semaksimal mungkin
oleh daerah yang mendapatkan hak otonomi dari daerah pusat. Kesempatan ini sangat
menguntungkan bagi daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang besar untuk
dapat mengelola daerah sendiri secara mandiri, dengan peraturan pemerintah yang
dulunya mengalokasikan hasil hasil daerah 75% untuk pusat dan 25% untuk
dikembalikan kedaerah membuat daerah-daerah baik tingkat I maupun daerah tingkat
II sulit untuk mengembangkan potensi daerahnya baik secara ekonomi maupun
budaya dan pariwisata.
Dengan adanya otonami daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingakat II
mampu mengelola daerahnya sendiri. Untuk kepentingan rakyat demi untuk
meningkatkan dan mensejahtrakan rakyat secara sosial ekonomi.
B.   Identifikasi  Masalah
Pembangunan desa dalam jangka panjang ditujukan untuk memperkuat dasar-dasar
sosial ekonomi pedesaan yang memiliki hubungan fungsional yang kuat dan mendasar
dengan kota-kota dan wilayah di sekitarnya. Pembangunan desa dan pembangunan
sektor yang lain di setiap pedesaan akan mempercepat pertumbuhan desa menjadi
desa swasembada yang memiliki ketahanan di segala bidang dan dengan demikian
dapat mendukung pemantapan ketahanan nasional.
Dalam rangka mencapai tujuan itu pembangunan desa diarahkan untuk
mengembangkan sumber daya manusianya yang merupakan bagian terbesar penduduk
Indonesia, dengan meningkatkan kualitas hidup, kemampuan, keterampilan dan
prakarsanya, dalam memanfaatkan berbagai potensi desa maupun peluang yang ada
untuk berkembang. Oleh karena itu pembangunan desa merupakan bagian yang
penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional.
Sesuai dengan arah kebijaksanaan tersebut, telah ditetapkan berbagai program bantuan
yaitu berupa: bantuan Pembangunan Desa; pemantapan dan pembinaan Unit Daerah
Kerja Pembangunan (UDKP); peningkatan prakarsa dan swadaya masyarakat;
pemukiman kembali penduduk; bantuan pemugaran perumahan dan lingkungan;
perlombaan dan evaluasi tingkat perkembangan desa.
Yang di hadapi salah satu Desa di Kecamatan Cimerak yang tepatnya di Desa
Sindangsari Kabupaten Ciamis ini mengalami kerusakan jalan yang sangat parah dari
sepanjang jalan Kecamatan Cijulang sampai ke Kecamatan Cimerak, ini
mengakibatkan polusi yang di akibatnya debu dari jalan yang rusak tersebut menyebar
luas ke rumah – rumah di sekitar tempat itu, hal ini dikatakan karena rumah tersebut
kusam seperti terkubur debu.
Jalan yang rusak di daerah Sindangsari pun mengalami kerusakan karena banyaknya
mobil – mobil besar melintas, dana yang di butuhkan untuk perbaikan jalan tersebut
untuk sepanjal jalan Dusun Cikembang membutuhkan sekitar Rp. 200.000.000,-.
Sedangkan dana pembangunan jalan di Dusun Cisodong RT/RW 05/02 Ciirateun itu
hasil dari suadaya Masyarakat sekitar Rp. 5.000.000,-

1.    Nama Desa                       : Desa Sindangsari


2.    Kecamatan                       : Cimerak
3.    Luas Wilayah                    : 1.557 Hektar
4.    Jumlah Dusun / RT / RW    : a. Jumlah dusun    : 6
  b. Jumlah RW       : 10
  c. Jumlah RT         : 47
5.    Jumlah Penduduk              : a. Laki – laki         : 2.448 Orang
  b. Perempuan       : 2.496 Orang
      Jumlah             : 4.944 Orang
6.    Data Infrastuktur            
a.    Jalan
·      Panjang Jalan Aspal          : 8 Km
·      Panjang jalan Tanah          : 13 Km
·      Panjang Jalan Makadam     : 3 Km
b.    Jembatan
·      Jembatan beton                : 1 unit
·      Jembatan Kayu                 : - Unit

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.        Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia


·           Warisan Kolonial
                                    Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan
staatsblaad No. 329 yang memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang
mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad
No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan
sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah
provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya
menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
                   Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial
dengan sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan
demikian, dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan
dua administrasi pemerintahan.

    Masa Pendudukan Jepang

                   Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur


mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini
berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di
Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat,
sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan
daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.
        Masa Kemerdekaan

1.    Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi,
mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan
daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua
macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
a)     Provinsi
b)     Kabupaten/kota besar
c)      Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.
Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.

2.    Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948


Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU
Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948.
Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a)    Propinsi
b)   Kabupaten/kota besar
c)    Desa/kota kecil
d)   Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

3.    Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957


Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah
swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus
rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
a)    Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
b)   Daerah swatantra tingkat II
c)    Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-
luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.

4.    Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959


Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959
menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan
memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah
tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa
kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5.    Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
a)     Provinsi (tingkat I)
b)     Kabupaten (tingkat II)
c)      Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi
antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan
tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat
pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan
kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan
yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

6.    Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974


UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah
tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya
menjadi:
a)    Provinsi/ibu kota Negara
b)   Kabupaten/kotamadya
c)    Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi
aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.

7.    Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999


Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun  1999 adalah sebagai berikut:
a)    Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b)   Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah kabupaten dan daerah kota.
c)    Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d)   Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan
masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
8.    Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
                  Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintah Daerah yang  dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan
berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan
tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki
antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas
kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan
kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga
provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar
antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

B.        Definisi Otonomi Daerah


Otonomi daerah adalah suatu keadaan di mana setiap daerah memiliki kesempatan
untuk mengaktualisasikan daerahnya secara optimal, baik individu maupun kelompok
masyarakat.
Individu otonom adalah manusia yang diberi keleluasaan untuk memunculkan potensi
yang dimilikinya secara optimal. Dengan menyelenggarakan otonomi, segala
persoalan diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan
memecahkannya (dari, oleh, dan untuk masyarakat daerah) kecuali untuk persoalan di
mana daerah tidak dapat menyelesaikan-nya sendiri dalam konteks keutuhan negara
dan bangsa, diserahkan kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikannya.
Dengan adanya keberagaman dalam penerapan otonomi karena faktor perbedaan
dalam interpretasi konsep otonomi, kemampuan dan keunikan dari masing-masing
daerah, serta keterbatasan pemerintah pusat menyebabkan otonomi daerah
dilaksanakan secara gradual.
Penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan payung hukum Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, meskipun belum
sempurna dalam menjawab aspirasi masyarakat daerah dan tuntutan daerah yang
berbeda-beda. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memuat tentang seberapa jauh
peranan pemerintah pusat dalam menangani persoalan daerah, dan seberapa jauh yang
menjadi wewenang daerah. Sampai saat ini, daerah diberi wewenang untuk
menangani persoalan yang telah ditanganinya dan lima kewenangan masih ditentukan
di pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, keamanan, serta keuangan. Sedangkan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 memuat tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
C.        Peran Pemerintah Desa
Sebagaimana dipaparkan dalam UU No. 32 tahun 2004 bahwa di dalam desa terdapat
tiga kategori kelembagaan desa yang memiliki peranan dalam tata kelola desa, yaitu:
ü  pemerintah desa,
ü  Badan Permusyawaratan Desa, dan
ü  Lembaga Kemasyarakatan.
Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan di tingkat desa (pemerintahan desa) dilaksanakan oleh Pemerintah Desa
dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintahan desa ini dijalankan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan di negeri
ini. Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan
perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa
mempunyai wewenang:
a)     Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama BPD,
b)     Mengajukan rancangan peraturan desa,
c)     Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD,
d)     Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk
dibahas dan ditetapkan bersama BPD,
e)     Membina kehidupan masyarakat desa,
f)      Membina perekonomian desa,
g)     Mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
h)     Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan
i)      Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Badan Permusyawaratan Desa adalah lembaga yang merupakan perwujudan
demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan desa. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan
desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Anggota BPD adalah
wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang
ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota BPD terdiri dari Ketua
Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau
pemuka masyarakat lainnya.
BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD mempunyai wewenang:
ü   Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa;
ü   Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan
kepala desa;
ü   Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa;
ü   Membentuk panitia pemilihan kepala desa;
ü   Menggali,menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi
masyarakat, dan
ü   Menyusun tata tertib BPD.

BAB III
PEMBAHASAN

A.    Tata Kelola Desa


Desa Sebagai salah satu entitas pemerintahan paling rendah menjadi arena paling
tepat bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan kepentingannya guna menjawab
kebutuhan kolektif masyarakat. Mengacu pada UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah pasal 206 disebutkan bahwa kewenangan desa mencakup:
a.    Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa,
b.    Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa adalah urusan
pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan
masyarakat.
c.    Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota, tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
pemerintah, kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan
prasarana, serta sumber daya manusia.
d.    Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan diserahkan
kepada desa.
Melihat urusan pemerintahan yang dapat dikelola oleh desa sebagaimana diuraikan
diatas, maka sesungguhnya desa memiliki kewenangan yang cukup luas. Kepala desa
yang menurut undang-undang tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki
kewenangan dan legitimasi yang cukup kuat untuk membawa desa tersebut ke arah
yang dikehendakinya. Namun demikian, masih sedikit masyarakat desa yang sadar
bahwa potensi kewenangan ini harus diperjuangkan kejelasannya kepada pemerintah
daerah untuk menjadi kewenangan yang lebih terperinci dan dinaungi oleh kebijakan
pemerintah daerah yang cukup mengikat. Hal ini perlu dilakukan agar desa tidak
hanya menjadi ’tong sampah’ dari urusan-urusan yang tidak bisa diselesaikan oleh
pemerintah daerah.
B.    Perencanan Pembangunan Desa
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan
pembangunan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan
daerah kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud
disusun oleh pemerintahan desa secara partisipatif dengan melibatkan seluruh
masyarakat desa.
Perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi:
ü   Rencana pembangunan jangka menengah desa yang selanjutnya disebut RPJMDes
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
ü   Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan
penjabaran dari RPJMDes untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
RPJMD ditetapkan dengan peraturan desa dan RKP-Desa ditetapkan dalam keputusan
kepala desa berpedoman pada peraturan daerah. Perencanaan pembangunan desa
selayaknya didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Pada proyek-proyek pembangunan pedesaan yang dilakukan
oleh pihak lain di luar pemerintah desa (seperti REKOMPAK dengan Rencana
Pembangunan Permukiman-nya), maka dokumen-dokumen perencanaan
pembangunan yang dihasilkan harus mengacu dan atau terintegrasi dengan RPJM
Desa atau RKP-Desa.
C.        Arah Pemberdayaan
Semua pelaksanaan program berdasar kan Visi “Mewujudkan kesadaran partisipasi
masyarakat dalam membangun yang berbasis potensi lokal untuk mencapai
kemandirian dan kesejahteraan” untuk mencapai keberhasilan setiap program
diperlukan sasaran yang jelas,
·           Mendorong keterlibatan masyarakat dalam setiap aspek pembangunan
Dengan semangat Otonomi Daerah, keterlibatan masyarakat tidak lagi sebagai objek
pembangunan, namun lebih pada sebagai Stakeholder memiliki peranan penting
dalam menentukan arah kebijakan. Arah pemberdayaan lebih dikonsentrasikan pada
upaya menumbuhkan budaya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam setiap
program pembangunan. Apabila masyarakat memiliki tempat sebagai kelompok
kepentingan atas nasib bangsanya, peranan besar masyarakat akan sangat menentukan
tingkat keberhasilan masyarakat.

D.       Indikator Keberhasialan
             Untuk mencapai pelaksanaan program yang optimal, perlu didorong oleh
beberapa potensi yang kemudian dijadikan indikator keberhasilan, adapun indikator
keberhasilan yang dimaksud adalah :
a)    Tersediannya Sumber Daya Manusia (SDM)
         Kemungkinan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (DSM) yang
merupakan potensi vital yang ada di suatu desa, keberadaannya tidak diakui oleh
masyarakat desanya bahkan Sumber Daya Manusia (SDM) tersebut diberi cukup
ruang di beri cukup ruang untuk bisa memberiakn kontribusinya bagi kemajuan
desanya.
b)   Potensi sumber daya lokal
Ini merupakan upaya pemberdayaan sgala potensi yang ada di desa dengan demikian
perencanaan program dengan pemetaan potensi yang ada adalah satu kesatuan yang
saling mendukung.
c)    Konsistensi pelaksanaan program
Persyaratan terlaksananya program adalah konsistensi, konsistensi yang dimaksudkan
terlaksananya setiap fase program secara baik, karena program yang dibentuk
merupakan hasil perencanaan yang matang.
d)   Adanya kesejahteraan dalam program pemerintah
Berupa upaya bagaimana menterjemahkan setiap program pembangunan yang
dilakukan pemerintah kemudian dikawal menjadi program yang benar- benar
mencapai sasarannya.
e)    Program kerja yang sistematis
Inplementasi program kerja yang sistematis hal tersebut berdasarkan pada beberapa
pertimbangan, antara lain :
ü    Penentuan skala prioritas
ü    Langkah – langkah pencapaian program
f)     Jaringan kerja kemitraan
Proses pemberdayaan membutuhkan berbagai keahlian dan disiplin ilmu dalam
rangka menujungjung keberhasilannya.
g)   Anggaran biaya yang memadai
Ketergantungan kepada ketersediaan anggaran berdampak pada sikap pesimis
masyarakat yang tidak mau mencoba mengelok potensi yang ada menjadi suatu yang
memberikan nilai ekonomis tinggi. Hal ini perlu dalam melakukan suatu
pembangunan untuk kemajuan sebuah desa.
Sebagaimana diuraikan dalam Penjelesan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005
tentang Desa bahwa landasan pemikiran pengaturan (tata kelola) mengenai desa yaitu:
1)     Keanekaragaman,
Yang memiliki makna bahwa istilah ’desa’ dapat disesuaikan dengan asal usul dan
kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola penyelenggaraan
pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di desa harus menghormati sistem nilai
yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2)     Partisipasi,
Memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus
mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan
turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai
sesama warga desa.
3)     Otonomi asli,
Memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan
mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial
budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam
perspektif adiminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan
jaman.
4)     Demokratisasi,
Memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan
diagregasi melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan lembaga kemasyarakatan
sebagai mitra pemerintah desa.
5)     Pemberdayaan masyarakat,
Memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan
esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.
E.        Pelembagaan Partisipasi Masyarakat
Reformasi dan otonomi daerah telah menjadi harapan baru bagi pemerintah dan
masyarakat desa untuk membangun desanya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Bagi sebagian besar aparat pemerintah desa, otonomi adalah satu peluang
baru yang dapat membuka ruang kreativitas bagi aparatur desa dalam mengelola desa.
Hal itu jelas membuat pemerintah desa menjadi semakin leluasa dalam menentukan
program pembangunan yang akan dilaksanakan, dan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat desa tanpa harus didikte oleh kepentingan pemerintah daerah
dan pusat. Sayangnya kondisi ini ternyata belum berjalan cukup mulus. Sebagai
contoh, aspirasi desa yang disampaikan dalam proses musrenbang senantiasa kalah
dengan kepentingan pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) dengan alasan bukan
prioritas, pemerataan dan keterbatasan anggaran.
Dari sisi masyarakat, poin penting yang dirasakan di dalam era otonomi adalah
semakin transparannya pengelolaan pemerintahan desa dan semakin pendeknya rantai
birokrasi yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif terhadap
jalannya pembangunan desa. Dalam proses musrenbang, keberadaan delegasi
masyarakat desa dalam kegiatan musrenbang di tingkat kabupaten/kota gagasannya
adalah membuka kran partisipasi masyarakat desa untuk ikut menentukan dan
mengawasi penentuan kebijakan pembangunan daerah. Namun demikian, lagi-lagi
muncul persoalan bahwa keberadaan delegasi masyarakat ini hanya menjadi
‘kosmetik’ untuk sekedar memenuhi ‘qouta’ adanya partisipasi masyarakat dalam
proses musrenbang sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang.
Merujuk pada kondisi di atas, tampaknya persoalan partisipasi masyarakat desa dalam
proses pembangunan di pedesaan harus diwadahi dalam kelembagaan yang jelas serta
memiliki legitimasi yang cukup kuat di mata masyarakat desa. Dalam UU No. 32
tahun 2004 sebenarnya telah dibuka ruang terkait pelembagaan partisipasi masyarakat
desa tersebut melalui pembentukan Lembaga Kemasyarakatan. Lembaga
Kemasyarakatan atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang dibentuk
oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa
dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan mempunyai tugas
membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat
desa. Pembentukan lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan peraturan desa.
Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan pemerintahan desa bersifat
kemitraan, konsultatif dan koordinatif.
Tugas lembaga kemasyarakatan meliputi:
·           Menyusun rencana pembangunan secara partisipatif,
·           Melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan
Mengembangkan pembangunan secara partisipatif,
·           Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong royong dan swadaya
masyarakat,
·           Menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga kemasyarakatan mempunyai fungsi:
·         Penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan,
·         Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam
kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia,
·         Peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat,
·         Penyusunan rencana, pelaksanaan, pelestarian, dan pengembangan hasil-hasil
pembangunan secara partisipatif,
·         Penumbuhkembangan dan penggerak prakarsa, partisipasi, serta swadaya
gotong royong masyarakat,
·         Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga; dan
pemberdayaan hak politik masyarakat.
F.        Tahap Pelaksanaan Pembangunan
Pelaksanaan program dimulai dari proses perencanaan sampai kepada bagaimana
melakukan upaya tindak lanjut programsetelah program pembinaan dilakukan.
Pembangunan yang akan dilaksanakan di Desa Sindangsari, Dusun Cikembang
sekarang ini membutuhkan dana tunai sebesar Rp.200.000.000,-. Para perangkat desa
sedah mempersiapkan proposal untuk diajukan ke Pemerintah Daerah (Pemda) dan di
ajukan ke Kantor pusat karena Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(TPJMdes) Jangka 5 Tahun  harus terlaksana.
Sedangkan pembangunan jalan di Dusun Cisodong hanya mengandalakn dari hasil
Suadaya masyarakat untuk memperbaiki tanjakan yang sudah rusak parah hal ini tentu
perlu adanya keterlibatan masyarakat untuk proses pembangunan jalan tersebut, dan
partisipasi masyarakat sangat membantu berjalannya suatu pembangunan di desa.

G.       Konsep Penyelenggaraan Pemerintah yang Efektif


Pemahaman penyelenggaraan pemerintahan yang efektif adalah ketika suatu
pemerintah dapat dengan cepat dan tepat mencapai sasaran yang hendak dicapai.
Apabila yang dijadikan sasaran dan tujuan diselenggarakannya pemerintah adalah
untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, maka indicator peningkatan kesejahteraan itu
apa saja, dari setiap indicator berapa persen yang telah tercapai dan berapa peren yang
telah belum tercapai, sehingga jelas tolak ukur keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan secara kualitatif maupun kuantitatif.

BAB IV
PENUTUP

A.        Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa Yang di hadapi salah satu Desa di
Kecamatan Cimerak yang tepatnya di Desa Sindangsari Kabupaten Ciamis ini
mengalami kerusakan jalan yang sangat parah dari sepanjang jalan Kecamatan
Cijulang sampai ke Kecamatan Cimerak, ini mengakibatkan polusi yang di akibatnya
debu dari jalan yang rusak tersebut menyebar luas ke rumah – rumah di sekitar tempat
itu, hal ini mengkibatkan rumah tersebut kusam seperti terkubur debu.
Jalan yang rusak di daerah Sindangsari pun mengalami kerusakan karena banyaknya
mobil – mobil besar melintas, dana yang di butuhkan untuk perbaikan jalan tersebut
untuk sepanjang jalan Dusun Cikembang membutuhkan sekitar Rp. 200.000.000,-.
Sedangkan dana pembangunan jalan poros Desa di Dusun Cisodong RT/RW 05/02
Ciirateun itu hasil dari swadaya Masyarakat sekitar Rp.5.000.000,-

B.           Saran
Saran saya untuk kelangsungan pembangunan desa di desa Sindangsari, dalam
Perencanaan pembangunan desa disusun secara berjangka meliputi:
ü   Rencana pembangunan jangka menengah desa disebut (RPJMDes) untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun.
ü   Rencana kerja pembangunan desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan
penjabaran dari RPJMDes untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Di gunakan sebaik-baiknya oleh aparatur desa, seperti mendata bagian mana saja yang
harus ada perbaikan. Masyarakat juga ikut serta dalam pembangunan tersebut karena
semua pembangunan juga untuk masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA

-      Thonthowi Djauhari Musaddad MA, 2007, Pembangunan Pedesaan Mandiri,


HUMANIORA UTAMA press, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai