Pangan Dan Pertanian
Pangan Dan Pertanian
Pengarah
Sofjan Wanandi, Chris Kanter, Suryadi Sasmita, Shinta W. Kamdani, DE Setijoso, Anton J. Supit,
Johnny Dharmawan, Soebronto Laras, Rachmat Gobel, Hariyadi B. Sukamdani, Sanny Iskandar
Penyunting
Djisman Simandjuntak, Mari Elka Pangestu, P. Agung Pambudhi
Kelompok Kerja
Pangan dan Pertanian
Bayu Krisnamurthi, Bustanul Arifin, Farid Bahar
Energi
Luky Yusgiantoro, Muliawan Margadana, Herman Kasih
Manufaktur
Sjamsu Rahardja, Haryo Aswicahyono, Riandy Laksono
Jasa
Mari Elka Pangestu, Yose Rizal Damuri, Angga Antagia
Kebijakan Makro dan Institusi Finansial
Raden Pardede, David E. Sumual, Anton Gunawan, Manggi Habir
Infrastruktur
Djisman Simandjuntak, Rizqy Anandhika
Hukum, Ketenagakerjaan, Reformasi Birokrasi, Otonomi Daerah
Todung Mulya Lubis, Julius Singara, Teguh Maramis, Asep Warlan Yusuf
Suahasil Nazara, P. Agung Pambudhi, Robert Endy Jaweng
Narasumber
Benny Kusbini, Juan Permata Adoe, Karen Tambayong, Munardji Sudarjo, Tito Pranolo
Afdhal Bahaudin, Ida Ayu Puspasari, Izmail Zulkarnain, Luluk Sumiarso, Mery Sofi, Murtaqi Syamsuddin, Nur
Pamudji, Priyo Pribadi, Sulistiyanto, Suyitno Padmosukismo, Setio AD
Ashwin Sasongko, Dedy S. Priatna, Imam M. Ramadhany, Luky Eko Wuryanto
Agus Tjahyana, Bob Azzam, Franky Sibarani, Harijanto, Mintardjo Halim, Noegardjito
Armida Alisjahbana, Anwar Nasution, Bambang PS Brodjonegoro, Cyrillus Harinowo, Darmin Nasution, Doddy BW,
Felia Salim, Gunawan Tjokro, Mahendra Siregar, Mulya Siregar
Akhiar Salami, Hikmahanto Juwono, Hesti Setiowati, Norman Djumiril, Rahmad Soemadipradja, Timur Sukirno
Myra Hanartani, Nugroho Wienarto, Palmira Bachtiar, Rahma Iryanti, Satrijo PH, Tianggur Sinaga
Daan Patinasarani, Dodi Riyatmadji, Erman A. Rachman, Farah Ratnadewi Indriani, Jeffrey EM, Riatu MQ, Sigit
Murwito, Syaikhu Usman, Tino Hardianto, Wariki Sutikno
Achmad Shauki, Aratsu Yuki, Chris Wren, CK Song, Daiiki Yokoyama, David Hawes, David Nellor, Darrel Johnson,
Della Temenggung, E. Boulcstreau, Elmar Bouma, H. Muraoka, J. Carouso, Gustav Papanek, Jacob Fris Sorengen,
Jae-Hee Chang, Jonathan Pincus, Kirk Laysond, Mercy Simorangkir, Monika Wihardja, Masahiro Juraku, Motoyasu
Tanaka, Nathalie Linvelt, Ole Schenke Eikum, SP Warmerdam, Paul Barlett, William Wallace, Yoshida Susumu,
Yoshinori Keino, Yook Chan Kim
ii
DAFTAR ISI
1. Konteks Kebijakan............................................................................................. 13
2. Agenda Penguatan Sektor............................................................................... 15
3. Menjawab Tantangan Lintas Sektoral............................................................ 16
iii
A. Latar Belakang.......................................................................................... 24
B. Pentingnya Agenda Revitalisasi Sektor Manufaktur Indonesia...... 25
C. Potret dan Permasalahan Sektor Industri Manufaktur di Indonesia. 26
D. Rekomendasi Menuju Sektor Industri Manufaktur yang Berdaya
Saing Global.............................................................................................. 34
iv
A. Potret Sektor Infrastruktur Di Indonesia............................................. 60
B. Langkah-Langkah Pengembangan Sektor Infrastruktur . ................ 63
v
BAGIAN A
PROGRAM
100 HARI PERTAMA
1. Stabilisasi Makro dan Penciptaan Ruang Fiskal
Awal pemulihan pertumbuhan ekonomi ke 7% dalam 2014-2019, pengangguran terbuka dijaga
pada 6% dan perpindahan angkatan kerja ke lapangan kerja yang lebih produktif, inflasi dijaga
pada kisaran 1% ke atas dan 1% ke bawah inflasi target, perubahan nilai tukar dijaga seirama
dengan Paritas Daya Beli (PPP), saldo transaksi berjalan dijaga di bawah 4% dari PDB, perburukan
ketimpangan sosial dihentikan dan dibalik dan ruang fiskal dicipta lewat realokasi APBN melalui
pemotongan subsidi konsumsi berjalan, terutama subsidi konsumsi energi.
Pada pertengahan 2014 pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja Indonesia cenderung melemah
karena kebangkitan global yang lebih lemah dari perkiraan semula dan kebijakan moneter dalam negeri
yang diketatkan untuk mencegah defisit transaksi berjalan melewati 4% dari PDB. Ketidakpastian global
dan regional juga memburuk karena krisis Timur Tengah, krisis Ukraina, krisis utang Argentina, gejolak
politik Thailand dan perselisihan perbatasan di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Pasar komoditas
primer yang lemah masih akan berlanjut dalam 2015.
Indonesia memerlukan pertumbuhan tinggi untuk menjaga pengangguran terbuka pada tingkat 6% dan
membuka lapangan kerja untuk memindahkan secara bertahap penduduk yang bekerja di sektor pro
duktivitas rendah ke lapangan kerja yang lebih produktif. Bertitik tolak dari pertumbuhan tahun 2014
sekitar 5,5% dan pengalaman panjang Indonesia sebelumnya perubahan kebijakan harus dipacu
untuk mempercepat pertumbuhan menjadi 6% dalam 2015, 7% dalam 2016, 7,5% dalam 2017,
2018 dan 2019 atau rata-rata 7% dalam 2014-2019.
Pada waktu yang sama defisit transaksi berjalan harus kembali ke kisaran yang berkelanjutan, yaitu di
bawah 4% dari PDB. Arus modal langsung pun hanya memecahkan masalah neraca pembayaran kalau
disertai oleh kenaikan ekspor barang dan jasa yang sesedikitnya sama dengan kewajiban-kewajiban yang
timbul karena arus modal masuk, terutama remitansi dividen, gaji pekerja asing dan biaya-biaya Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI). Produk-produk ekspor baru, barang maupun jasa, harus diproduksi dengan
memanfaatkan rantai pasokan global dan regional. Untuk itu konektivitas fisik, kelembagaan dan antar
manusia harus diperbaiki ke tingkat yang sebanding dengan ekonomi-ekonomi lain yang bekerjasama
dan bersaing dengan Indonesia dalam rantai nilai itu.
Setiap perubahan memerlukan penggerak atau pengungkit (leverage). Di bawah kondisi Indonesia
sekarang penggerak yang paling mungkin diaktifkan oleh pemerintah baru adalah reformasi
keuangan negara sehingga tercipta ruang fiskal. Pemerintahan Jokowi-Kalla akan dapat berbuat
sesuatu hanya kalau sebagian sumber dibebaskan dari penggunaannya yang sekarang. Yang paling cocok
untuk itu adalah pemotongan subsidi konsumsi berjalan (current consumption subsidies), terutama subsidi
energi yang sudah bermuara dalam kemandulan fiskal (fiscal impotence).
Angka sementara pelaksanaan APBNP 2014 yang jauh di bawah target kecuali dalam pos pengeluaran
subsidi energi, menunjukkan bahwa APBN hanya akan dapat menjadi penggerak pertumbuhan sesudah
3
direformasi. Pemotongan subsidi BBM perlu dilakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya,
misalnya bulan September. Pendekatan yang paling praktikal adalah penaikan harga BBM bersubsidi
dengan Rp 3.000/liter dan mengindeks harga baru itu dengan harga internasional. Dengan kenaikan
harga seperti itu subsidi yang dihemat dalam 4 bulan terakhir 2014 akan berjumlah sekitar Rp 33 trilyun
dan jauh di atas Rp 100 trilyun dalam 2015 kalau konsumsi BBM tetap naik kuat seperti selama ini.
2. Proteksi Sosial
Penghematan lewat kenaikan harga BBM dipakai untuk 2 tujuan serentak: proteksi daya beli rakyat
miskin sampai dengan 30% dari subsidi yang dihemat dan stimulasi kegiatan ekonomi. Proteksi sosial
dapat dilakukan melalui:
1) Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi 15,5 juta keluarga miskin dan rentan dinaikkan dengan Rp 100
ribu/bulan selama 4 bulan dengan pengeluaran tambahan sebesar Rp 6,2 T untuk empat bulan
terakhir 2014.
2) Siswa Miskin yang berjumlah 11,1 juta siswa diberi tunjangan satu kali dalam bulan September 2014
sebesar Rp 200 ribu per orang dengan tunjangan total Rp 2,2 trilyun.
3) Program Keluarga Harapan (PKH) yang mencakup 3,2 juta rumah tangga (RT) diberi satu kali
tunjangan sebesar Rp 300 ribu/RT atau total Rp 0,96 trilyun.
4) Dalam tahun 2015 sistem proteksi sosial ini akan dikonsolidasi secara komprehensif dengan meng
utamakan Bantuan Langsung Desa (BLD) dan mengingat perlindungan yang disediakan melalui BPJS.
4
Perbaikan, rehabilitasi dan pembangunan baru bendungan besar, berikut jaringan irigasi primer
yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, setidaknya di 11 Provinsi sentra produksi padi.
Disamping itu pengembangan infrastruktur yang menunjang pembangunan di sektor pertanian,
seperti alat atau perangkat komunikasi, gudang, alat angkut.
Dampak penghematan subsidi BBM setelah kenaikan harga BBM dengan Rp 3.000/liter akan terasa jauh
lebih kuat dalam 2015 dan dikonsentrasikan pada percepatan pembangunan infrastruktur konektivitas
fisik dan kelembagaan. Pengeluaran modal pemerintah untuk infrastruktur sebagai persentase PDB dapat
dinaikkan dengan sekitar 1,5% point dengan dampak ganda (crowding in effect) melalui Kemitraan Publik
Swasta (KPS).
Melalui modernisasi penggilingan padi pada 11 propinsi sentra produksi kehilangan pasca panen dapat
diturunkan dengan dampak netto sebesar 4,2 juta ton atau 10,5% dari produksi beras tahunan. Pada
tahap kedua modernisasi penggilingan akan dilakukan di 22 propinsi lain.
Perbaikan respon penawaran dilakukan melalui program bibit besar-besaran yang berbasis kultur
jaringan (somatic embryogenesis-SE) dan penyuluhan di bawah koordinasi Badan Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) dengan melibatkan dinas perkebunan propinsi.
5. Industri Pengolahan
Dari perspektif penciptaan lapangan kerja yang lebih produktif secara besar-besaran sekitar 3 juta per
tahun dalam 2014-2019 dan kebutuhan menjaga defisit transaksi berjalan di bawah 4% dari PDB
revitalisasi industri pengolahan adalah keharusan bagi Indonesia. Di samping hilirisasi yang me
mang perlu dipacu dalam beberapa sektor dengan pola substitusi impor dan atau promosi ekspor revi
talisasi sektor-sektor yang padat karya keahlian rendah dan sedang juga perlu dipacu dengan
memanfaatkan sejauh mungkin jaringan produksi regional atau rantai nilai global.
5
5.1 Kilang Minyak
Dengan konsumsi BBM yang naik progresif (8% per tahun) Indonesia sangat memerlukan kilang-kilang
baru. Dua atau tiga proyek yang paling maju persiapannya harus diprioritaskan agar rampung secepat
mungkin. Sebagian dari penghematan karena kenaikan harga BBM akan dipakai untuk memperbaiki
daya tarik kilang untuk investasi, apakah investasi asing, nasional atau patungan.
Program revitalisasi itu akan memperbaiki daya tarik industri-industri tersebut di atas melalui bauran
instrumen yang terdiri dari:
1) Perpanjangan Permenkeu No. 130/2011 tentang insentif pajak bagi industri-industri pionir dan
perluasan cakupannya ke industri-industri yang padat karya dan berorientasi ekspor. Insentif
pajak yang dikandung oleh Permenkeu ini akan diberikan kepada perusahaan manufaktur atas
dasar jumlah karyawan tetap, yaitu pengurangan tingkat PPH dengan 1 persen poin untuk setiap
100 tambahan pekerja tetap sampai dengan batas maksimum 15% poin atau separo dari tingkat PPH
umum.
2) Promosi kerukunan hubungan industrial dengan mengingat proteksi sosial yang berasal dari
BPJS dan program publik-swasta dalam pengembangan keahlian karyawan.
3) Percepatan persiapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di daerah yang insfrastruktur dasarnya
sudah dibangun, yaitu dalam jangka pendek Pantura Barat sebelah Barat Jakarta hingga Cilegon,
Pantura Tengah sekitar Semarang dan Pantura Timur sekitar Gresik, kawasan Medan Raya dan Ma
kassar raya maupun Sulawesi Utara sekitar Bitung. Kawasan-kawasan khusus ini diandalkan sebagai
kawasan percepatan pembukaan lapangan kerja dan peningkatan ekspor hasil industri dengan
mengintegrasikan mereka dengan pusat-pusat jaringan produksi Asia Timur.
4) Kepastian hukum melalui koordinasi sektoral dan ruang antara Pusat dan Daerah, terutama dalam
kaitan dengan Daftar Negatif Investasi (DNI).
5) Reformasi birokrasi, terutama Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
6) Promosi investasi secara langsung ke perusahaan-perusahaan industri pengolahan yang bernilai
tinggi untuk dihadirkan di Indonesia karena dampak ketenagakerjaan, perdagangan dan teknolo
ginya.
6
6. Jasa-jasa
Keberhasilan Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja produktif dalam jumlah besar-besaran dan
mengurangi defisit transaksi berjalan melalui ekspansi ekspor memerlukan “revolusi kultur jasa”. Penu
runan biaya logistik untuk memperbaiki daya saing menghadapi negara lain di pasar luar negeri dan di
pasar dalam negeri memerlukan “revolusi kultur jasa” yang tercermin dalam perbaikan besar-besaran
dalam mutu jasa dan penurunan besar-besaran dalam biaya. Literasi, kejujuran dan ketahanan
melawan korupsi, ketepatwaktuan, kecermatan, keikhlasan dalam melayani, dan kemauan memperbaiki
kesalahan akan mengangkat luar biasa sumbangan langsung dan tidak langsung jasa-jasa bagi penciptaan
nilai tambah, lapangan kerja dan ekspor Indonesia. Baik jasa tradisional seperti persekolahan dasar
maupun jasa kreatif seperti jasa pariwisata berbasis pengetahuan akan tumbuh kuat di buritan “revolusi
kultur jasa”.
Prioritas tinggi akan diberi pada jasa keuangan, jasa-jasa logistik, jasa pendidikan, jasa kesehatan
dan jasa pariwisata dengan dua sasaran pokok: (a) Mengangkat standar layanan secara bertahap ke
tingkat praktik terbaik yang relevan; dan (b) Menurunkan biaya satuan yang akan membantu perbaikan
daya saing di dalam negeri menghadapi impor dan di luar negeri menghadapi negara-negara lain di
samping memberi nilai yang lebih besar bagi pengguna jasa untuk pengeluaran mereka.
“Revolusi kultur jasa” membuka peluang lebar bagi pengembangan UMKM. Indonesia Timur di luar
Sulawesi misalnya mempunyai peluang besar dalam pariwisata inklusif dan berkelanjutan. Dengan
perencanaan yang baik alam Indonesia Timur akan dikembangkan menjadi kawasan pariwisata inklusif
yang berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan. Di dalamnya dilibatkan pemerintah, pelaku-pelaku
pariwisata besar, universitas dan UMKM lokal dalam kerjasama yang mematuhi prinsip dan aturan tata
kelola yang baik, kewajiban sosial perusahaan dan etika ekologi. Dalam kawasan itu desa-desa dan kota
wisata dipadu dalam “Konektivitas Pariwisata Inklusif dan Berkelanjutan”. Sebagaimana pemerintah
menyediakan sarana-sarana pertanian bagi petani, sarana-sarana dasar pariwisata dibangun sebagai
benda publik di lokasi-lokasi yang tercakup dalam kawasan itu.
7
8. Kepastian Hukum
Prioritas agenda penciptaan kepastian hukum diletakkan dalam pengadaan tanah untuk kawasan
industri dan perusahaan, penerapan UU Penanaman Modal 2007 sebagai acuan bagi peraturan-per
aturan penanaman modal seperti penghapusan kewajiban divestasi bagi PMA yang terbuka bagi
modal asing 100%, perpanjangan peraturan Menteri Keuangan tentang insentif pajak penghasilan
bagi perusahaan-perusahaan pionir dan perluasan cakupan industri pionir ke industri yang padat
modal dan padat ekspor, dan kepastian tentang pembebasan hasil pertanian dari PPN.
Selain itu diperlukan ketegasan pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi kasus-kasus perdata
oleh Polri dan Kejagung yang dapat merongrong kewibawaan Pengadilan Tipikor, Polri dan Kejagung sen
diri. Terkait hal diperlukan kejelasan status keuangan Badan Usaha Milik Negara apakah merupakan
keuangan negara karena akibat ketidakjelasan ini, banyak terjadi tindakan bisnis (perdata) dikriminali
sasikan oleh aparat penegak hukum.
Untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan, diperlukan pembentukan team task force yang ber
tugas mengidentifikasi dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk harmonisasi peraturan
perundang-undangan di semua tingkatan, termasuk namun tidak terbatas pada lingkup pertambangan,
energi, kehutanan, perkebunan, tata ruang wilayah, dan perijinan usaha.
9. Otonomi Daerah
Dalam upaya membuka ruang fiskal yang lebih besar Pemda diwajibkan mengalokasikan minimal 30%
dari pengeluaran untuk belanja modal. Pemda yang belanja aparaturnya melebihi 50% dari pengeluaran
total dikenakan penundaan penerimaan pegawai. Skema anggaran multi-tahun diterapkan secara luas
untuk meningkatkan efektifitas penggunaan APBD. Perda akan dikaji dari segi dampaknya terhadap
iklim usaha melalui Komite Pengkajian yang akan dibentuk dengan target mengajukan rekomendasi
kepada Presiden dalam 100 hari sejak pembentukannya. Dalam Komite Pengkajian ini duduk unsur-un
sur birokrasi dan institusi yang bergerak dalam pemantauan otonomi daerah. Desain dan pelaksanaan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) akan diperbaiki untuk menjamin kejelasan dalam delegasi wewe
nang dan kelancaran proses bisnis.
8
langgeng, pemupukan progresif dalam modal manusia (kesehatan, pendidikan dan kewirausahaan), dan
melunturnya semangat kerjasama antara institusi dan pelaku-pelaku ekonomi.
9
BAGIAN B
PEMBAHASAN
PROGRAM
1. Konteks Kebijakan
Masalah Utama
APINDO dan dunia usaha pada umumnya melihat bahwa tantangan utama pemerintahan kedepan di
dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berke
lanjutan, stabil, dan inklusif. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak cukup, tetapi juga harus
semakin mampu menyediakan pekerjaan formal berkualitas, sehingga secara efektif mengurangi
kemiskinan dan kesenjangan.
Intinya untuk menyerap 8,3 juta tambahan angkatan kerja selama periode 2014-2019 plus pengangguran
tahun 2013 sebesar 7,2 juta maka diperlukan lapangan kerja sejumlah 15,5 juta. Dengan kata lain diper
lukan setidaknya penciptaan 3 juta lapangan pekerjaan per tahun antara 2014-2019.
Untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas, pembangunan dan kebijakan
ekonomi yang berdaulat perlu memperhatikan tiga pilar, yaitu (i) perluasan kesempatan usaha yang
berdasarkan persaingan yang adil, transparansi kebijakan, kepastian hukum, dan iklim usaha yang
kondusif; (ii) penyebarluasan manfaat dari globalisasi dengan mengedepankan kepentingan dalam
negeri; serta (iii) keberpihakan yang lebih besar kepada rakyat (khususnya rakyat miskin), Usaha Kecil
dan Menengah (UKM), daerah, serta kepentingan dalam negeri.
Selain itu saat ini dan ke depan, ada kesempatan yang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain
ekonomi yang semakin diperhitungkan di tingkat global, mengingat semakin masifnya masalah
politik dan internal dari beberapa negara pesaing Indonesia di ASEAN (i.e. Vietnam, Thailand) dan per
ubahan daya saing Tiongkok yang menjadi lokasi produksi yang semakin mahal dan re-orientasi kebijak
annya untuk fokus ke pasar dalam negeri. Jika Indonesia bisa secara optimal memanfaatkan perubahan
peta daya saing global tersebut dengan secara kompetitif bergabung didalam rantai pasok global
13
(global value chain)1, maka Indonesia dapat lebih lanjut mendorong pertumbuhan ekonomi dalam
negerinya.
Tidak hanya kesempatan yang semakin terbuka, tetapi tantangan dan resiko global yang menghadang
Indonesia, di masa depan, juga semakin besar. Tantangan utama dari sisi eksternal yang akan dihadapi
Indonesia adalah (i) pasar global yang masih lemah dan melambatnya pertumbuhan Negara-negara
berkembang di kawasan Asia, terutama RRT dan India; (ii) harga komoditas internasional yang akan tetap
rendah secara permanen; serta (iii) berakhirnya era suku bunga rendah yang dipicu oleh pengurangan
stimulus Federal Reserve sehingga mendorong naiknya suku bunga di Amerika Serikat.
Perubahan tantangan di level global tersebut sangat perlu untuk dicermati pemerintahan kedepan, di
karenakan pada 2003-2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia banyak ditopang oleh ekspor komo
ditas sebagai respon dari harga komoditas internasional yang tinggi (“windfall profit”) serta deras
nya aliran uang ke dalam negeri sebagai imbas dari rendahnya suku bunga internasional (“easy
money”). Selain itu, walaupun kemiskinan absolut berhasil dikurangi, Indonesia juga masih memiliki
“pekerjaan rumah” yang serius untuk memperbaiki struktur perekonomiannya, dimana saat ini sektor
informal masih mendominasi sebesar 60% dari lapangan pekerjaan/kesempatan usaha.
Pertama dari sisi permintaan (demand side) seperti kebijakan fiskal untuk belanja Negara yang efektif,
kebijakan moneter yang kondusif, menjaga dan meningkatkan konsumsi non pemerintah, investasi, dan
ekspor tetap perlu diteruskan dan diperbaiki di jangka pendek.
Kedua pemerintahan kedepan harus memberikan penekanan yang lebih berat pada kebijakan sisi
penawaran (supply side policy) mulai saat ini dan di jangka menengah yang berfokus kepada refor
masi struktural dan peningkatan produktivitas. Kalau tidak, target pertumbuhan tinggi (lebih dari 8%)
yang mampu menyediakan 3 juta lapangan kerja berkualitas setiap tahunnya, guna menyerap tambahan
angkatan kerja baru serta pekerja dari sektor informal dan berproduktivitas rendah (cth: sektor pertanian),
tidak akan tercapai tanpa menyebabkan overheating, yang biasanya ditandai dengan inflasi yang tinggi
dan defisit neraca transaksi berjalan yang melebar. Disamping itu pasar dalam negeri dan sumber daya
manusia produktif tidak menjadi kekuatan, dan bahkan bisa menjadi beban.
1
Globalisasi, makin turunnya biaya transportasi internasional, dan revolusi teknologi informasi (TI) memungkinkan proses produksi
dibagi menjadi beberapa komponen dan dipecah di beberapa wilayah (fragmentasi). Hal tersebut mengakibatkan adanya pergeseran
keunggulan komparatif memproduksi barang secara utuh disuatu negara menjadi keunggulan komparatif melaksanakan tugas
(task) dalam suatu rantai produksi global, yang melibatkan beberapa Negara. Opsi bergabung dalam rantai produksi global
banyak digunakan negara-negara untuk mendorong percepatan industrialisasi.
14
Peningkatan produktivitas perekonomian secara umum dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu: (i) per
geseran dari sektor produktivitas rendah ke produktivitas tinggi, misalnya dari sektor pertanian ke industri
olahan atau jasa-jasa (transformasi struktural); (ii) pergeseran dari sektor informal menuju sektor formal;
dan (iii) peningkatan produktivitas di dalam sektor itu sendiri (misalnya: dari jasa-jasa di sektor informal
dan produktivitas rendah seperti perdagangan menuju jasa-jasa yang lebih produktif seperti logistik,
distribusi, dan keuangan atau peran teknologi dan manajemen pasca panen untuk meningkatkan pro
duktivitas pertanian).
Pertumbuhan yang berbasis produktivitas memerlukan kebijakan yang dapat mengatasi kendala
sisi penyediaan dan iklim ekonomi yang kondusif, mencakup (i) kebijakan makro yang stabil dan
mendukung; (ii) keberpihakan sektor pembiayaan/finansial untuk menunjang perkembangan sektor riil
(penawaran); (iii) infrastruktur, konektifitas, dan sistem logistik yang efisien; (iv) iklim usaha yang adil,
transparan, pasti, dan tidak biaya tinggi; serta (v) pasar tenaga kerja yang menunjang. (vi) Investasi di SDM
melalui program-program pendidikan dan pelatihan, kesehatan dan pemberdayaan. Selain itu, diperlukan
juga pendekatan khusus dan spesifik yang berfokus kepada peningkatan produktivitas dan daya
saing sektor-sektor prioritas penunjang perekonomian Indonesia, seperti manufaktur, pangan & perta
nian, jasa-jasa, energy, serta finansial.
Sektor Industri Manufaktur yang berdaya saing global, menyerap pekerjaan, dan berproduktivitas ting
gi, menjadi kunci keberlanjutan transformasi struktural Indonesia menuju negara berpendapatan tinggi.
Oleh karena itu, kebijakan pembangunan industri ke depan perlu diarahkan untuk mengatasi berbagai
kendala yang menghambat daya saing dan penyerapan tenaga kerja formal sektor manufaktur. Indonesia
juga perlu untuk mulai mempersiapkan hadirnya industri berat yang berdaya saing dengan terlebih
dahulu meningkatkan kapasitas permintaan yang cukup tinggi dari sektor industri ringan dan pengolahan/
komponen yang lebih padat karya, sehingga didapatkan skala ekonomi yang cukup baik didalam menarik
investasi industri berat. Untuk menjaga konsistensi kebijakan perbaikan daya saing manufaktur, peme
rintah sebaiknya melihat industri manufaktur sebagai Cluster (Klaster) kegiatan yang didukung kemajuan
sektor lainnya seperti energi, jasa, perdagangan dan konektivitas logistik, dan pelatihan tenaga kerja.
Mengingat produktivitas sektor manufaktur meningkat sejalan dengan aglomerasi industri, perlu dikem
bangkan Klaster Industri di area yang berdekatan dengan sumber energi, di sepanjang seashore dengan
dukungan konektivitas jalan dan pelabuhan yang dapat diandalkan, serta memiliki peraturan ketenaga
kerjaan secara khusus.
15
Dari sektor Pangan & Pertanian, pertumbuhan penduduk yang cepat dan bertambahnya kelas menengah
di Indonesia, bersamaan dengan tren kenaikan harga pangan dunia, meningkatkan urgensi akan penting
nya ketahanan pangan. Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap impor pangan dan me
ningkatkan kuantitas dan kualitas produksi pangan dalam negeri. Diperlukan peningkatan skala ekonomi
sektor pertanian pangan untuk melakukan reorientasi dari pendekatan input menjadi produktivitas baik
dari sisi budi daya (on-farm) maupun pasca panen (off-farm) melalui perbaikan rantai pasok (supply chain)
dengan dukungan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan demikian sektor ini akan mampu mela
kukan supply response, yang cepat terhadap permintaan yang meningkat pesat baik dari dalam maupun
luar negeri.
Sektor Jasa, meskipun belum begitu banyak mendapat perhatian, telah memegang peranan penting
dalam pembangunan ekonomi nasional. Sebagai sektor yang masih dalam tahap awal pengembangan,
tantangan penguatan sektor jasa adalah untuk menjadikannya sebagai sektor yang mendukung per
tumbuhan ekonomi sekaligus menjamin pemerataan dengan menjadi input yang lebih efisien, berkualitas
tinggi serta dapat diandalkan. Penyerapan tenaga kerja disertai peningkatan kualitas SDM yang handal
pada sektor ini juga harus ditingkatkan seiring dengan semakin pesatnya perkembangan industri jasa
terutama Telekomunikasi, Logistik dan Transportasi, Pariwisata, Industri Kreatif, Pendidikan dan Kese
hatan.
Sementara itu, dari sektor Energi, pembangunan pembangkit listrik untuk mengisi kekurangan dan krisis
bahan bakar minyak fosil dunia sebagai sumber energi dan defisit neraca transaksi berjalan nasional
akibat tingginya impor migas, menjadi persoalan yang mengkhawatirkan. Padahal, listrik dan energi
merupakan pendukung utama kegiatan perekonomian nasional terutama sebagai input bagi sektor in
dustri. Fokus pemerintah seharusnya bukan lagi pada kecukupan energi (energy sufficiency) melainkan
pada ketahanan energi (energy security). Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan energi selain
yang bersumber dari fosil dengan mengoptimalkan berbagai sumber yang ada terutama Energi Baru dan
Terbarukan (misalnya, biodiesel), panas bumi, LNG, dan sumber tenaga alam seperti air, angin dan sinar
surya. Selain itu, batubara perlu dimanfaatkan secara efisien untuk mengurangi ketergantungan terhadap
impor minyak guna mendukung pengembangan kelistrikan di tanah air.
Terakhir, sektor Finansial yang mencakup institusi perbankan, pasar modal dan asuransi memerlukan
pendalaman pasar (financial deepening) untuk menciptakan inklusi finansial dalam memudahkan akses
keuangan bagi sektor usaha dan masyarakat Indonesia.
16
Agenda mewujudkan Kepastian Hukum atas berbagai hal terkait semua sektor usaha yang menjadi
fokus roadmap ini mutlak diperlukan sebagai prasyarat dasar dalam menjalankan suatu usaha, misalkan
penghormatan atas kontrak bisnis. Tumpang tindih ketentuan hukum dan rendahnya kualitas penegakan
hukum di pusat maupun daerah menjadi salah satu agenda utama untuk dibenahi. Demikian pula krimi
nalisasi kasus perdata ke dalam kasus pidana harus segera diakhiri melalui peningkatan kualitas profe
sionalisme dan integritas para penegak hukum. Meskipun tidak harus menjadi ahli ekonomi, penegak
hukum penting untuk memiliki perspektif ekonomi sehingga keputusan hukum yang diambilnya tidak
menjadi bumerang bagi tujuan peningkatan aktivitas perekonomian.
Dalam hal Otonomi Daerah, kualitas kebijakan dan implementasinya diharapkan menjadi faktor positif
bagi perkembangan perekonomian daerah, bukan justru sebaliknya seperti yang terjadi di banyak Kabu
paten/Kota dan Provinsi di Indonesia. Pengawasan peraturan daerah, kepastian tata ruang, dan penentuan
upah minimum harus dijalankan mengikuti peraturan perundang-undangan. Dengan kewenangan yang
dimilikinya, elit daerah baik eksekutif maupun legislatif diharapkan mengutamakan kepentingan rakyat
secara luas, misalkan dalam hal alokasi budget, dan fokus prioritas pengembangan ekonomi. Di sisi lain,
pemerintah sudah saatnya memperhatikan hal-hal stratejik seperti pemberian insentif fiskal maupun
non-fiskal bagi kerjasama antar daerah, dan dis-insentif fiskal pemekaran daerah untuk mendorong dae
rah memperhatikan skala ekonomi yang tidak tersekat-sekat wilayah administratif pemerintahan daerah.
Sejalan dengan otonomi daerah, Reformasi Birokrasi sangat diperlukan untuk mendukung produktivitas
aktivitas usaha. Pelayanan perijinan terpadu satu pintu yang dimiliki oleh hampir seluruh Kabupaten/
Kota di Indonesia harus dilakukan monitoring dan evaluasi yang terlembaga agar dapat dijalankan sesuai
tujuannya dan tidak hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan formal pembentukannya yang ditetapkan
pemerintah. Terbitnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang memungkinkan untuk
mengangkat Aparatur Sipil Negara (ASN) dari swasta merupakan terobosan reformasi birokrasi yang
fundamental untuk mengisi lemahnya kompetensi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di berbagai bidang, harus
segera dilengkapi aturan pelaksanaannya agar dapat segera dijalankan. Dalam kelembagaan pemerintah,
diperlukan penyesuaian struktur birokrasi di setiap Kementrian/Lembaga untuk menjamin business
process yang efektif dan efisien dengan optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi. Di sisi lain,
pembentukan lembaga baru harus merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi permasalahan tata
kelola pemerintahan jika sudah tidak dimungkinkan dengan optimalisasi kelembagaan yang ada.
Lingkup tantangan Ketenagakerjaan mencakup 2 hal utama yakni penciptaan daya saing agar dunia
usaha mampu menciptakan lapangan kerja yang berkualitas, dan penyerapan tenaga kerja melalui pro
gram pemerintah. Kebijakan UMP/K (upah minimum provinsi/kabupaten/kota) harus diletakkan dalam
proporsinya sebagai jaring pengaman (safety net) yang diukur dengan memperhatikan kepentingan
pengusaha, pekerja, dan pencari kerja. Adanya tujuan baik (good intention) bagi kemanfaatan bagian
terbesar masyarakat yang dilaksanakan melalui kebijakan yang salah (wrong policy) sudah saatnya
dilakukan revisi kebijakan secara mendasar. Dalam hal UMP, agar good intention dilaksanakan melalui
17
good policy diperlukan pendekatan teknokratik yang dilaksanakan oleh lembaga independen yang
kredibel dan tersentralisir. Sementara itu, kebijakan pasar tenaga kerja aktif (active labor market policy)
dimaksudkan agar meningkatkan peluang ekonomi bagi pencari kerja yang belum mampu bersaing di
pasar tenaga kerja, kebijakan ini sekaligus untuk meningkatkan inklusi sosial (social inclusion).
Kebijakan Makro sangat menentukan kinerja seluruh sektor usaha terkait dengan pemulihan postur
neraca transaksi berjalan dan kebijakan penawaran mencakup diantaranya stabilisasi kebijakan moneter
untuk pengendalian inflasi, nilai tukar rupiah; insentif fiskal; dan perbaikan daya saing investasi melalui
perbaikan kualitas regulasi dan birokrasi sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam jangka pendek,
di triwulan akhir tahun 2014 dapat segera dilakukan penyesuaian harga BBM dengan mengurangi subsidi
secara bertahap sehingga di akhir 2019 harga BBM sudah sesuai dengan harga pasar dan subsidi BBM
dialihkan untuk proteksi sosial, program inklusi sosial, belanja infrastruktur dan program lainnya.
Penyediaan kapasitas Infrastruktur yang memadai mulai dari listrik dan termasuk pelabuhan laut, udara
dan jalan untuk memperbaiki logistik serta jaringan telekomunikasi yang efisien, mutlak diperlukan
untuk mengikuti pesatnya perkembangan perekonomian, tanpa itu pertumbuhan ekonomi akan me
lambat karena tingginya biaya logistik sebagai akibat dari kelambatan infrastruktur mengikuti perkem
bangan ekonomi. Dengan keterbatasan dana pemerintah, skema Public-Private Partnership (PPP) harus
dibenahi dengan kepastian hukum dan regulasi serta insentif ekonomi yang layak agar dapat menarik
investasi swasta dalam mendanai proyek-proyek prioritas. Akuntabilitas pemerintah dan pemerintah
daerah sangat diperlukan dalam memastikan berlangsungnya proyek-proyek infrastruktur, misalkan da
lam hal kemudahan akses lahan dan kepastian perijinan usaha untuk proyek proyek kelistrikan, kereta-api,
pelabuhan, dan lain sebagainya.
18
I. STRATEGI MAKRO EKONOMI
VISI UTAMA
Dalam 5 tahun kebelakang, kemajuan ekonomi Indonesia lebih banyak disumbang oleh efek
commodity boom (peningkatan harga komoditas internasional) dan kebijakan moneter yang tidak
biasa, daripada upaya-upaya transformasi struktural. Saat ini era commodity boom sudah selesai dan
19
dalam waktu dekat, harga komoditas internasional, khususnya untuk komoditas ekspor utama Indonesia,
tidak akan kembali ke level yang sama dengan 2-3 tahun silam (lihat Gambar 1). Gejolak di pasar finansial
global tidak hanya memberikan tekanan pada Indonesia, namun juga negara-negara berkembang lainnya.
Catatan: Indeks harga ekspor dihitung dari 6 harga komoditas ekspor, termasuk
batu bara, gas alam, kelapa sawit, minyak mentah, karet, dan timah
Sumber: Basri (2014)
Dibalik kondisi makroekonomi Indonesia yang terkesan baik, pada kenyataannya perekonomian
Indonesia dewasa ini terbukti masih rentan terhadap gejolak perekonomian global yang utamanya
datang dari pengurangan stimulus The Fed dan ketidakpastian global yang muncul karenanya. The Fed
Tapering memberikan tekanan yang signifikan pada pasar keuangan Indonesia, khususnya sejak perte
ngahan tahun 2013. Pada periode Juni-September 2013, Rupiah menurun 14%, IHSG merosot sebesar
15%, aliran modal keluar mencapai Rp. 28.67 Triliun di pasar saham dan sebesar Rp. 7.52 Triliun di pasar
obligasi. Yield obligasi Indonesia turun sebesar 200 basis poin. Berakhirnya era commodity boom, mele
mahnya pertumbuhan ekonomi global, dan melemahnya rupiah lebih lanjut berimbas kepada menurunnya
performa ekspor dan membengkaknya defisit neraca transaksi berjalan (Lihat Gambar 2).
Beberapa kendala struktural perekonomian yang diduga menjadi penyebab masih rentannya kondisi
makroekonomi Indonesia terhadap gejolak global adalah:
• Manajemen keuangan publik yang tidak efisien dan postur fiskal yang kurang sehat, ditunjukkan
dari besarnya pengeluaran publik yang inefisien dan tidak berkualitas, yaitu untuk keperluan subsidi
BBM dan energi;
• Masih besarnya ketergantungan terhadap impor minyak, menyebabkan postur neraca transaksi
berjalan tidak seimbang
• Lemahnya kebijakan sektor penawaran dan lambatnya perkembangan sektor riil, termasuk:
- Kebijakan pembangunan industri dan pengembangan ekspor yang mengalami stagnasi
- Lambannya pengembangan infrastruktur untuk mendorong kapasitas sektor penawaran
- Kebijakan ketenagakerjaan yang distortif dan menghambat daya saing perekonomian, khusus
nya manufaktur
- Masih buruknya perizinan, regulasi, dan kepastian hukum yang membuat ketidakpastian dan
disinsentif bagi perkembangan bisnis
- Ketidakstabilan pasokan pangan dan rendahnya produktivitas pertanian
Pemerintahan yang akan datang perlu berfokus kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesi
nambungan melalui perbaikan ekonomi secara struktural, yaitu melalui reformasi postur fiskal, reformasi
dan percepatan kebijakan sektor riil (penawaran), serta stabilisasi neraca transaksi berjalan. Untuk men
dukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, kebijakan makroekonomi harus diarahkan
untuk mendukung penciptaan lapangan kerja yang memadai. Dengan sektor riil yang tangguh dan me
nyerap pekerjaan, postur fiskal yang sehat, dan neraca transaksi berjalan yang sustainable, Indo
nesia akan lebih tangguh (resilient) didalam menghadapi gejolak global.
21
1. Meningkatkan kualitas pengeluaran fiskal
a. Kebijakan fokus pada pengurangan subsidi BBM sehingga menjamin terkendalinya risiko fiskal
dengan secara bertahap mengurangi subsidi sampai mencapai harga keekonomian di tahun
2019.
b. Dana penghematan subsidi diprioritaskan untuk pengembangan infrastruktur, reformasi biro
krasi, pendidikan khusus kejuruan (terutama teknik, rekayasa dan jasa), dan riset (khususnya
pangan dan energi terbarukan).
c. Subsidi hanya perlu diarahkan pada sektor kesehatan dan pendidikan.
3. Meningkatkan alokasi pengeluaran untuk keperluan proteksi sosial, contoh: bantuan tunai,
bantuan untuk siswa miskin, asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan untuk orang miskin, dan
Raskin
6. Menciptakan regulasi ketenagakerjaan yang mendorong daya saing industri dan sektor penawaran
secara umum
a. Merevisi sistem pengupahan dengan memasukkan komponen produktivitas dan tingkat pe
ngangguran
b. Menciptakan regulasi yang fleksibel dari sisi pesangon dan pengupahan untuk mendorong
lebih banyak penyerapan tenaga kerja formal
22
7. Menyehatkan postur neraca transaksi berjalan dengan mendorong ekspor manufaktur/non-
komoditas
a. Berakhirnya era commodity boom membuat Indonesia tidak bisa lagi bersandar pada ekspor
komoditas barang-barang mentah seperti kelapa sawit, dan produk alam lainnya
b. Oleh karena itu, peningkatan ekspor yang mendukung penyehatan neraca transaksi berjalan
perlu diarahkan pada peningkatan performa ekspor manufaktur
VISI UTAMA
Menuju sektor manufaktur yang berdaya saing global, bernilai tambah, dan menyerap
pekerjaan berkualitas.
23
4. Mengembangkan skema kebijakan insentif-subsidi yang terintegrasi, ter-institusiona
lisasi, serta legal-formal untuk mendorong daya saing ekspor manufaktur, yang masih
dalam kerangka WTO
5. Implementasi Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai insentif peningkatan kualitas produk
dalam negeri.
A. Latar Belakang
Di tahun 1990, Indonesia merupakan urutan ke 24 produsen manufaktur dunia, yang memproduksi 6,3
dari setiap 1.000 unit produksi manufaktur global. Sepuluh tahun kemudian (2010) peringkatnya mening
kat menjadi urutan ke 16 produsen manufaktur dunia, dimana Indonesia mampu memproduksi 10 dari
tiap 1.000 unit produksi manufaktur global. Untuk mencapai posisi 10 besar Negara industry manufaktur,
mendorong ke pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan Indonesia saat ini dan ke depan.
24
Lebih lanjut, bagaimana strategi bagi industri manufaktur Indonesia agar dapat memposisikan diri dan
mengambil keuntungan dari ASEAN Economic Community dan makin terintegrasinya ekonomi di kawa
san Asia Timur?
Terakhir, strategi seperti apa yang diperlukan industri manufaktur Indonesia agar dapat memanfaatkan
seoptimal mungkin besarnya pasar domestik, akses sumber daya alam, ketersediaan tenaga kerja
dan satu kali kesempatan demografi?
Strategi industrialisasi perlu mengakar pada perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pro
duktivitas ekonomi. Indonesia dihadapkan pada resiko kurangnya lapangan kerja berkualitas, oleh
karena itu strategi industrialisasi seyogyanya difokuskan kepada perluasan kesempatan kerja. Pelajaran
dari negara-negara industri yang cukup berhasil membangun industrinya, seperti China, Korea Selatan,
Thailand dan Taiwan, menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas-lah yang akan meningkatan kese
jahteraan ekonomi secara berkesinambungan. Hal tersebut akan meningkatkan daya beli masyarakat,
khususnya kelompok emerging middle class. Ini akan memperkuat daya tarik Indonesia sebagai basis in
dustri manufaktur, khususnya industri ringan untuk pasar domestik. Dengan infrastruktur yang memadai,
pada gilirannya akan menarik investasi industri berat yang ingin berlokasi lebih dekat dengan pasar dan
sumber daya alam di Indonesia.
Membangun sektor manufaktur yang berproduktivitas tinggi tidak cukup hanya mengandalkan
pasar domestik namun juga pasar global. Besarnya pasar domestik menjadi modal dasar yang kuat
dan unik bagi industri di Indonesia untuk berkembang. Akan tetapi peningkatan produktivitas dan ino
vasi didapat dari upaya menembus persaingan global. Ekspor diperlukan tidak hanya sebagai sumber
penerimaan devisa tetapi juga sebagai katalis proses perbaikan produktivitas. Terlebih lagi, keunggulan
melaksanaan tugas (task) dalam rantai produksi global makin penting bagi industrialisasi. Globalisasi,
makin turunnya biaya transportasi internasional, dan revolusi teknologi informasi (TI) memungkinkan
25
proses produksi dibagi menjadi beberapa komponen dan dipecah di beberapa wilayah (fragmentasi). Hal
tersebut mengakibatkan adanya pergesaran keunggulan komparatif memproduksi barang secara utuh
disuatu negara menjadi keunggulan komparatif melaksanakan tugas (task) dalam suatu rantai produksi
global, yang melibatkan beberapa negara. Opsi bergabung dalam rantai produksi global banyak digunakan
negara-negara untuk mendorong percepatan industrialisasi.
Peningkatan daya saing ekspor manufaktur sangat krusial untuk dilakukan, mengingat Indonesia
tidak bisa lagi bergantung pada ekspor produk berbasis komoditas dan sumber daya alam, namun
beralih ke ekspor produk manufaktur. Selama ini, Sumber Daya Alam Indonesia mayoritas diekspor
tanpa dilakukan proses peningkatan nilai tambah, sehingga tidak ada penambahan proses value chain
yang memberikan kontribusi lebih besar untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Di masa yang akan
datang, hal ini sudah tidak bisa dilakukan lagi karena era resource commodity boom sudah berakhir, se
hingga Indonesia dituntut untuk bisa beralih ke ekspor produk manufaktur, khususnya yang lebih memi
liki nilai tambah. Pembangunan industri domestik bernilai tambah ini memiliki dampak yang lebih besar
bagi perekonomian Indonesia, khususnya dari sisi penyerapan tenaga kerja serta dampak tularannya ke
sektor ekonomi lainnya.
Dari sisi makro, percepatan ekspor juga menjadi sangat penting karena Indonesia tidak bisa terus
mengandalkan pasar dan konsumsi domestik sebagai strategi ekonominya. Seiring dengan mening
katnya pendapatan perkapita, permintaan masyarakat atas produk impor juga akan meningkat, karena
tidak semua produk bisa diciptakan didalam negeri. Jika Indonesia tidak mampu meningkatkan ekspor
lebih cepat lagi, maka Indonesia tidak akan memiliki cukup banyak devisa untuk membayar peningkatan
permintaan impornya sehingga cadangan devisa akan terus terkuras. Dampak lebih jauhnya adalah ru
piah akan terus tertekan dan neraca pembayaran akan terus mengalami defisit.
Pengembangan daya saing ekspor industri manufaktur sedang berada pada momentum yang
tepat, karena, pada level global, Indonesia diprediksi memiliki peluang untuk merebut pangsa
pasar produk industri padat karya yang sudah mulai ditinggalkan China. Dewasa ini, China sudah
mulai tidak kompetitif lagi di sektor industri padat karya, karena upah tenaga kerjanya sudah terlalu tinggi,
dan angkatan kerjanya sudah mulai menua serta semakin menyusut proporsinya. Dengan kebijakan yang
suportif dan berorientasi ekspor, di tahun 2019 industri padat karya Indonesia diprediksi memiliki
peluang untuk merebut 10% pangsa pasar China untuk produk industri padat karya.
26
Berbagai kendala yang menghambat perkembangan daya saing sektor manufaktur dapat dilihat dari sisi
kendala sektoral yang terdiri dari hambatan dan tantangan internal didalam industri manufaktur ter
sebut, serta kendala umum (cross sectoral) yang terdiri dari isu: Makro (fiskal-moneter), Ketenagakerjaan,
Infrastruktur, Kepastian hukum, Otonomi Daerah, dan Birokrasi.
Kendala Sektoral
Indonesia perlu menghindari de-industrialisasi prematur. Saat ini, terlalu sedikit tenaga kerja Indo
nesia yang bekerja di sektor industri dibandingkan rata-rata, sementara masih terlalu banyak tenaga kerja
yang bekerja di sektor pertanian dibandingkan negara-negara lain di tingkat pendapatan yang sama.
Beberapa faktor yang diduga menghambat perkembangan sektor industri manufaktur adalah:
1. Keterbelakangan infrastruktur menghambat integrasi industri dalam negeri dari hilir ke hulu di dalam
atau antar koridor ekonomi
Integrasi hulu-hilir yang lemah di Indonesia bersumber dari belum hadirnya industri berat dalam
negeri yang berdaya saing. Integrasi hulu-hilir dalam negeri melalui pengembangan industri berat
memang sangat krusial untuk dilakukan, akan tetapi perlu memperhatikan ketersediaan infrastruktur
dan kapasitas permintaan dari industri ringan dan industri pengolahan/komponen. Meski Indonesia
memiliki sumber daya alam melimpah, investasi industri berat memerlukan investasi modal yang
besar serta akses terhadap teknologi. Pelajaran dari Korea Selatan menunjukkan bahwa keberhasilan
industri berat mereka sangat tergantung proses peningkatkan daya saing yang didasarkan
pada kualitas sumber daya manusia yang handal dan infrastruktur (energi dan logistik) yang
efisien. Tanpa kedua hal ini, nantinya akan sulit bagi industri berat untuk bersaing di pasar global
tanpa proteksi yang berkepanjangan.
27
2. Erosi daya saing sektor padat karya dan masih rendahnya partisipasi dalam global production network.
Biaya tinggi dan peningkatan upah minimum tanpa referensi terhadap peningkatan produktivitas
pekerja menyebabkan erosi daya saing sektor manufaktur padat karya di Indonesia. Sementara itu,
produktivitas dan kapasitas penguasaan teknologi sektor industri manufaktur Indonesia masih
relatif rendah dibandingkan industri manufaktur di negara berpenghasilan menengah seperti
Malaysia dan Thailand. Selain itu, sektor manufaktur Indonesia perlu lebih berpartisipasi dalam
global production network guna mempercepat proses industrialisasi. Industri manufaktur khususnya
industri ringan, pengolahan dan komponen lebih cepat berkembang melalui partisipasi ke dalam
global production network sambil membenahi daya saing industri berat.
28
2. Perlunya keberpihakan para pengambil kebijakan untuk menjaga nilai tukar rupiah di level yang
kompetitif bagi industri manufaktur untuk melakukan ekspor.
Selama ini, preferensi kebijakan bank sentral yang menjaga nilai tukar rupiah tetap kuat (apresiasi),
di masa-masa normal, telah membuat industri manufaktur kehilangan daya saingnya pada pasar
ekspor.
3. Absennya skema insentif-subsidi yang komprehensif dan legal-formal dalam mendukung kapasitas
ekspor dari industri manufaktur.
Kecenderungan yang terjadi sekarang adalah pemerintah masih ragu-ragu untuk memberikan
bantuan insentif pajak dan subsidi yang produktif bagi pengembangan industri manufaktur, dika
renakan belum ada ruang hukum yang mengatur dan memberikan perlindungan bagi para pembuat
kebijakan yang ingin melakukan langkah-langkah kebijakan industri yang aktif dan supportif.
(ii) Ketenagakerjaan
Kondisi regulasi ketenagakerjaan yang ada membebani dunia usaha, khususnya industri padat
karya. Regulasi mengenai PHK dan pesangon menghambat penyerapan tenaga kerja di sektor formal,
sementara implementasi yang ada tidak menjamin perlindungan bagi buruh. Terlebih lagi, mekanisme
penetapan UMP tidak didasarkan pada transparansi, kepastian, dan keadilan, baik bagi buruh dan peng
usaha. Hal-hal tersebut menghilangkan insentif industri dalam merekrut tenaga kerja permanen dan
memberikan pelatihan. Pada gilirannya, kualitas dan ketrampilan buruh menjadi stagnant sehingga me
nurunkan produktivitas nasional. Berikut adalah beberapa kendala di bidang ketenagakerjaan yang
selama ini menyandera produktivitas dan daya saing sektor manufaktur Indonesia.
1. Upah minimum (UMP dan/atau UMK) selalu meningkat secara cepat setiap tahunnya, tidak sepadan
dengan peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Gambar 1 menunjukkan bahwa kenaikan daya saing tenaga kerja (diukur dengan unit labor cost)
dan produktivitas tenaga kerja (diukur dengan labor productivity) masih tertinggal dari kenaikan
upah (yang diukur dengan average wage). Perbaikan kesejahteraan tenaga kerja yang berkelanjutan
dan bersumber dari peningkatan produktivitas perlu untuk lebih didorong, dibandingkan dengan
yang berasal dari kenaikan upah minimum yang rawan untuk dipolitisasi serta sangat merugikan
dunia industri dan para pencari kerja di masa depan.
29
Gambar 1. Perbandingan Peningkatan Upah, Produktivitas
dan Daya Saing Tenaga Kerja di Indonesia, 2000-2012
2. Banyaknya tenaga kerja yang tidak mempunyai ketrampilan (skills) yang mendukung
Setengah dari tenaga kerja di Indonesia adalah lulusan SD atau lebih rendah, yang menunjukkan
lemahnya ketrampilan teknis dari para pekerja kita. Bahkan hampir seperempat dari lulusan SMA
di Indonesia, yang seharusnya sudah memiliki ketrampilan tekni, pun masih mendapat pekerjaan
yang tidak terampil, seperti buruh tani dan pekerjaan kasar lainnya. Di tingkat yang lebih tinggi,
sebuah penelitian menemukan bahwa, dunia usaha di Indonesia mengaku sulit untuk menemukan
pekerja setengah terampil dan profesional untuk mengisi beberapa posisi di perusahaannya, khu
susnya pada bagian produksi manufaktur teknis.
3. Program pelatihan ketenagakerjaan yang dibuat pemerintah belum berjalan efektif, serta masih
minimnya pelatihan kerja di internal perusahaan
Program pelatihan tenaga kerja yang dilakukan oleh pemerintah melalui Balai Latihan Kerja (BLK)
belum berjalan efektif. Beberapa karakteristik permasalahan BLK adalah sebagai berikut: (i) bu
ruknya fasilitas dan peralatan, (ii) kualitas SDM dan pengajar yang belum memadai (hanya sedikit
yang memiliki latar belakang universitas/college), (iii) kurikulum dan desain pelatihan yang
30
ketingalan zaman dan tidak mencerminkan kebutuhan pasar, serta (iv) kurangnya pengakuan dunia
industri atas sertifikat dan program pelatihan yang didesain oleh BLK. Di lain sisi, program pelatihan
karyawan yang dilakukan oleh industri (on-the-job training) di Indonesia juga masih relatif rendah
dibandingkan dengan Negara-negara lain di kawasan Asia Timur. Beberapa alasan dari rendahnya
program pelatihan di internal perusahaan adalah minimnya insentif yang diberikan pemerintah,
ketakutan akan perpindahan tenaga kerja, serta besarnya waktu produktif yang dikorbankan untuk
mengadakan pelatihan.
(iii) Infrastruktur
Keterbatasan infrastruktur logistik menyandera rantai pasok (supply chain) industri manufaktur
nasional, bahkan kalah dibandingkan Vietnam. Logistics Performance Index (LPI) Bank Dunia menun
jukkan Indonesia saat ini ada diperingkat 53 dari 160 negara. Meski mengalami perbaikan, LPI Indonesia
berada dibawah Vietnam yang menjadi pesaing kuat bagi basis produksi sektor manufaktur di kawasan
ASEAN. Masalah utama dari masih lambatnya peningkatan LPI Indonesia dikarenakan persepsi perbaikan
infrastruktur yang kalah cepat dibandingkan negara-negara lain di kawasan. Dibawah ini adalah beberapa
kendala utama di bidang infrastruktur logistik yang mengancam sektor manufaktur Indonesia.
3. Masih kurangnya kepastian dan ketepatan waktu pengiriman input dan produksi
Pelaku industri manufaktur umumnya menghadapi ketidakpastian ketepatan pengiriman input dan
produk. Ketidakpastian pengiriman ini umumnya menyebabkan pelaku manufaktur dan rantai
pasok menanggung biaya inventori yang lebih besar.
31
(iv) Kepastian Hukum
Jaminan kepastian hukum sangat sentral peranannya dalam menjaga stabilitas investasi dan
industri. Tanpa regulasi dan peraturan yang kuat dan pasti, investor akan kehilangan kepercayaannya
dan produksi manufaktur pun terkendala. Beberapa hal yang menjadi kendala bagi sektor manufaktur
untuk dapat terus bertumbuh dan berdaya saing, khususnya jika dilihat dari aspek hukum dan regulasi
di Indonesia adalah sebagai berikut.
2. Belum adanya ruang hukum yang mengatur dan memberikan perlindungan hukum bagi pemberian
insentif fiskal yang komprehensif untuk sektor manufaktur
Selama ini belum ada ruang hukum yang mengatur dan memberikan jaminan perlindungan hukum
bagi pembuat kebijakan yang ingin memberikan insentif fiskal bagi manufaktur. Mereka selama ini
menjaga diri untuk tidak melanggar batas-batas hukum, karena khawatir akan diduga sebagai
korupsi, sehingga menghambat langkah-langkah kreatif yang dapat dikeluarkan pemerintah untuk
mendukung sektor industri. Maka diperlukan jaminan hukum agar pembuat kebijakan merasa
leluasa untuk memberikan skema insentif bagi manufaktur.
32
Sedangkan dari sisi upah minimum, lebih dari setengah tenaga kerja di Indonesia mendapat upah
kurang dari UMP yang berlaku, khususnya bagi tenaga kerja yang tergolong miskin.
2. Tumpang tindih kewenangan dan otoritas, khususnya dalam hal pemberian izin
Otonomi Daerah terbukti menciptakan tumpang tindih terkait dengan pembagian kewenangan
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, khususnya dalam hal pemberian
izin usaha industri. Pemberian izin yang tumpang tindih dan berlapis-lapis di setiap provinsi dan
kabupaten/kota menimbulkan biaya ekonomi tinggi, khususnya bagi industri yang memiliki rantai
pasok tersebar di beberapa kabupaten/kota dan bahkan di beberapa provinsi.
(vi) Birokrasi
Meski Indonesia dianggap menarik oleh investor, birokrasi perijinan usaha termasuk untuk usaha
yang baru mulai (start-up) belum baik. Perbaikan iklim usaha dan reformasi birokrasi serta perizinan
masih sangat perlu untuk menjadi perhatian utama para pemangku kebijakan. Ketidakpastian iklim
usaha memukul industri kecil terutama yang baru mulai (start-up) dan menghambat proses industri kecil
menjadi usaha formal. Hal ini akan mengurangi kesempatan industri kecil untuk menjadi bagian dari
rantai pasok manufaktur yang lebih besar, sehingga mengakibatkan kerugian produktivitas jangka pan
jang bagi sektor manufaktur Indonesia. Ketidakpastian iklim usaha juga menghambat investasi industri
besar. Situasi geopolitik regional dan perlambatan pertumbuhan ekonomi China telah mendorong
33
investasi (FDI) manufaktur ke negara-negara lain. Ketidakpastian iklim investasi akan mengurangi daya
tarik Indonesia dibandingkan negara lain seperti Malaysia dan Vietnam.
Perkembangan sektor manufaktur juga seringkali terkendala oleh tumpang tindih pengaturan
institusi dan peran pengawasan di level Kementerian teknis. Sebagai contoh, izin impor bahan bulu
bebek dan kulit ada di tangan kementerian pertanian, padahal semestinya diperlakukan sebagai bahan
baku industri sehingga seharusnya diawasi oleh kementerian perindustrian
Strategi Sektoral
Fokus kebijakan sektor manufaktur secara umum sebaiknya diarahkan untuk memfasilitasi indus
tri ringan dan pengolahan/komponen yang membuka lapangan kerja agar menjadi daya tarik
industri berat untuk berlokasi di sekitarnya. Sementara kesiapan industri berat ditingkatkan (khusus
nya dari sisi kesiapan SDM, infrastruktur dan teknologi), opsi bergabung dengan rantai pasok global
(global supply chain) dapat membantu percepatan industrialisasi di Indonesia. Besarnya pasar domestik
serta lokasi Indonesia di pasar Asia Timur menjadi modal besar dalam menarik investasi industri ringan
dan pengolahan yang menyerap tenaga kerja. Peningkatan daya beli dan kepadatan industri ringan dan
pengolahan, pada gilirannya, akan menjadi daya tarik industri berat untuk berlokasi di dekat pasarnya.
Reformasi kebijakan pengupahan dan pesangon diperlukan untuk sektor padat karya. Sektor padat
karya bersama dengan agro based product merupakan sektor yang paling penting peranannya dalam pem
bangunan ekonomi, khususnya dalam menciptakan lapangan kerja dan memerangi kemiskinan. Termasuk
dalam sektor ini adalah sektor padat karya dengan teknologi yang tidak terlalu tinggi seperti sepatu dan
garmen, sektor padat karya dengan teknologi menengah (asembling) seperti elektronik (eg. Foxcon),
sektor padat karya yang berbasis sumber daya alam (furnitur, perhiasan, toys, handicraft). Tantangan
utama yang dihadapi sektor ini adalah melemahnya daya saing karena rigiditas pasar tenaga kerja. Maka
diperlukan reformasi kebijakan ketenagakerjaan terutama terkait pengupahan dan pesangon yang
memperhitungkan seluruh pemangku kepentingan, yaitu buruh, pengusaha, dan pencari kerja.
Kebijakan perkotaan perlu lebih lanjut mendukung kebijakan ketenagakerjaan dengan membuat
kota menjadi kota yang murah dan layak huni. Langkah inovatif kebijakan sosial yang dikembangkan
oleh Jakarta dan Surabaya yang membuat kota menjadi kota yang murah dan layak dihuni bagi pen
duduknya, termasuk pekerja yang bekerja di sektor padat karya, perlu untuk dicontoh daerah-daerah
lainnya, khususnya yang menjadi basis industri padat karya. Jika kebijakan industrialisasi ini berhasil dan
34
lapangan kerja terserap habis (termasuk setengah pengangguran), maka upah akan naik dengan sendiri
nya karena kelangkaan tenaga kerja. Pengusaha-pengusaha dengan demikian akan menyesuaikan diri
(naik kelas), dengan memproduksi barang dengan nilai tambah lebih tinggi. (eg. Untuk garment menuju
fashion/branded garment).
Kebijakan yang menjamin kualitas rantai pasok sangat diperlukan sektor makanan dan minuman.
Sektor makanan dan minuman ini padat tenaga kerja sekaligus terkait erat dengan sektor pertanian dan
perikanan. Sektor ini juga besar peluangnya bagi ekspor karena keunggulan komparatif yang dimiliki
nya. Masalah utama dari sektor ini adalah menjaga kesinambungan supply dan mutu bahan baku (sebagai
perbandingan: hancurnya industri plywood menunjukkan bahwa pengembangan besar-besaran industri
tanpa memelihara kelestarian pasokan bahan baku berakibat fatal bagi industri tersebut). Kebijakan
pemerintah yang terlalu terfokus pada swasembada pangan (bukan ketahanan pangan) membuat sektor
tanaman perkebunan/perikanan yang menjadi tulang punggung Industri ini terabaikan (contoh industri
pengolahan kopi, teh, kakao). Disamping mutu input, mutu produk akhir juga perlu dijaga terutama un
tuk ekspor. Kebijakan penunjang sanitary dan phytosanitary menjadi krusial bagi kemampuan menembus
pasar ekspor.
3. Sektor Elektronik
Tantangan utama sektor ini adalah mendorong terus agar industri ini terkait dengan jaringan produksi
global, GPN (Global Production Network). Sukses sektor ini ditunjang oleh:
• Kemapuan engineering/skilled worker
• Jaringan logistik fisik yang prima (karena produksi JPG memerlukan jaringan logistik antara negara
yang efisien)
• Jasa penunjang (business services), manajemen logistik, desain, packaging
• Kerjasama yang baik dengan Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA)
Kebijakan pengembangan sektor industri berat sangat bergantung pada daya dukung industri hilir
ringan. Sektor industri berat bercirikan sangat padat modal, skala besar, dan padat tenaga ahli. Ke
suksesan pengembangan industri ini akan besar manfaatnya bagi industri hilir. Namun sebaliknya, jika
industri ini dipaksakan hadir, secara tidak efisien dan industri hilir dalam negeri dipaksa menggunakannya,
maka akan membebani dan mengurangi daya saing industri hilir. Karena itu kebijakan pengembangan
industri ini perlu diterapkan secara hati-hati mengingat resikonya yang besar. Kebijakan pengembangan
ini perlu sangat memperhatikan skala ekonomi (demand led). Ketika industri hilir (i.e. industri ringan dan
pengolahan) berkembang pesat, maka demand untuk industri berat akan cukup untuk memenuhi skala
ekonomi (eg, cement). Peran PMA juga menjadi penting di sini, karena kekuatan finansial, teknologi dan
pemasaran yang dimilikinya.
35
Strategi Lintas Sektor: Untuk Mengatasi Kendala Umum
(i) Makroekonomi (Fiskal-Moneter)
1. Memperbesar ruang fiskal bagi infrastruktur, dengan berkomitmen melakukan perubahan antara
lain:
a. Meningkatkan pengeluaran infrastruktur publik dari 2.5% terhadap GDP ke 4.5% pada tahun 2019.
Hal ini mutlak memerlukan realokasi subsidi BBM ke pengeluaran infrastruktur publik
b. Memperbaiki insentif fiskal bagi pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan kualitas
dan pemeliharan infrastruktur, tidak hanya membangun infrastruktur baru
c. Memberi kesempatan bagi pemerintah daerah yang siap untuk mencari sumber pembiayaan
komersial guna membangun proyek infrastruktur
d. Memperbaiki format koordinasi antar-lembaga pemerintah dalam seleksi proyek prioritas
dan persiapan pelaksanaan
e. Meningkatkan efektivitas implementasi UU Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur Publik (UU
No 2 tahun 2012)
2. Menjaga nilai tukar rupiah tetap kompetitif untuk melakukan ekspor
3. Mengembangkan skema insentif-subsidi yang terintegrasi dan ter-institusionalisasi untuk
mendorong daya saing ekspor manufaktur dan substitusi impor yang masih berada didalam
kerangka yang diperbolehkan oleh WTO, termasuk: program training and management, R&D dan
pengembangan teknologi, industrial estate, informasi bantuan ekspor, dll.
(ii) Infrastruktur
1. Mengembangkan klaster industri yang dekat dengan seashore yang berbasis klaster SME dan
terkoneksi dengan global supply chain, khususnya di daerah-daerah Jawa Tengah, Jawa Timur
bagian Utara, Lampung, dan Kalimantan bagian Selatan. Manajemen infrastruktur dan tata kelola
wilayah menjadi sangat penting bagi pelebaran klaster industri manufaktur.
2. Membangun infrastruktur pendukung ekspor dan klaster manufaktur, seperti:
a. Jalan lingkar, akses jalan ke pelabuhan, ketersediaan energi, akses ke pergudangan, serta fasili
tas dasar bagi kehidupan pekerja
b. Memperbanyak pelabuhan internasional yang berpotensi menjadi international hub
3. Menggeser sistem transportasi dari mobil/truk menuju ke kereta api, khususnya untuk
transportasi jarak jauh dan beban berat/banyak. Untuk melakukan hal ini, perlu dibuka dan
dikembangkan jalur/station kereta api ke- dan dari kawasan industri.
36
2. Merevisi regulasi ketenagakerjaan yang memungkinkan untuk:
a. Memberikan kesempatan yang sangat luas bagi pelaku industri untuk mengelola BLK
dengan pembiayaan utama dari pemerintah. Perlu disesuaikan ruang hukum agar
memungkinkan pemerintah untuk memberikan subsidi dan insentif untuk melakukannya.
b. Mengakomodir pilar-pilar Kepastian, Kesederhanaan dan Transparansi, serta Keadilan
didalam sistem penentuan Upah Minimum
c. Memindahkan negosiasi upah minimum sektoral ke level perusahaan dan membuat
regulasi untuk mewajibkan masing-masing perusahaan untuk memiliki struktur skala
upah agar memungkinkan untuk dilakukan negosiasi upah di internal perusahaan
(v) Birokrasi
1. Meneruskan dan mempercepat reformasi birokrasi dan perizinan untuk memperbaiki iklim investasi
sektor manufaktur
2. Menempatkan Kementerian perindustrian sebagai otoritas dan pengawas penuh terhadap produk-
produk yang dijadikan bahan baku Industri
(vi) Ketenagakerjaan
1. Perbaikan mekanisme penentuan Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan
kaidah:
a. Kepastian: kenaikan UMP/K dapat diprediksi dengan relatif akurat
b. Kesederhanaan dan transparansi: sistem penentuan UMP/K sederhana dan transparan bagi
semua pihak
c. Keadilan: sistem UMP/K memperhitungkan keseimbangan dan keadilan baik bagi para pekerja,
pemberi kerja, dan pencari kerja. Oleh karena itu, parameter yang diperhitungkan dalam
penentuan upah bukan hanya KHL, namun juga produktivitas pekerja, dan tingkat pe
ngangguran
2. Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia sektor industri manufaktur, melalui:
a. Penyusunan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI)
b. Identifikasi dan memilih prioritas kompetensi yang dibutuhkan dalam waktu dekat untuk
masing-masing bidang industri
c. Memperbaiki proses akreditasi pembentukan lembaga sertifikasi tenaga kerja
d. Masing-masing asosiasi membentuk Tim Pokja untuk penyusunan SKKNI dan dapat duduk di
lembaga akreditasi sesuai bidang industrinya
37
e. Menguji tenaga kerja asing yang dipekerjakan di Indonesia berdasarkan kompetensinya.
f. Sosialisasi tentang kompetensi kepada Serikat Pekerja (SP) dan anggotanya.
g. Penyesuaian kurikulum pendidikan formal/nonformal yang dibutuhkan sejalan kompetensi
dalam SKKNI
3. Pembentukan National Training Fund sebagai instrumen untuk mendorong pelatihan yang dilaku
kan oleh internal industri (on-the-job-traning) dalam rangka meningkatkan ketrampilan dari para
pekerja. Program Nasional Dana Pelatihan tersebut berfungsi untuk membantu pembiayaan dan
memberikan insentif kepada dunia usaha yang ingin melakukan pelatihan jangka pendek kepada
karyawannya dalam rangka memenuhi perubahan kebutuhan akan ketrampilan. Dana nasional
pelatihan ini juga berfungsi untuk menyatukan seluruh dana yang bersumber dari pemerintah dan
donor lembaga lainnya, sehingga dapat tersalurkan dengan lebih efektif.
4. Revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) sangat penting untuk dilakukan, khususnya untuk mem
bantu segmen angkatan kerja yang masih menganggur dan baru lulus pendidikan formal. Untuk
meningkatkan efektifitasnya dan agar lebih mencerminkan dinamika pasar, program-program dan
manajemen BLK perlu diserahkan pengelolaannya kepada industri/sektor swasta yang sum
ber pembiayaannya berasal dari pemerintah. Ada 2 skema yang dapat dipertimbangkan, yaitu
(i) dengan menggunakan fasilitas industri dengan skema subsidi-insentif, atau (ii) dengan meng
gunakan fasilitas BLK dengan joint-operation atau skema lainnya.
VISI UTAMA
Sektor pangan dan pertanian harus mampu melakukan reorientasi dukungan kebi
jakan ke orientasi produktivitas, memperkuat supply response, dan memperbaiki skala
ekonomi pertanian, untuk tercapainya pemenuhan pangan yang cukup, baik dari
jumlah, maupun mutu dan gizi.
38
REKOMENDASI PROGRAM TRANSFORMASI 5 TAHUN
1. Perbaikan rantai nilai (value chain) produk pangan dan pertanian: perbaikan efisiensi
industri pangan, terutama industri kecil dan menengah (IKM), pengurangan susut komoditas
dan hilang masa transfer pasca panen, positioning jelas terhadap sertifikasi komoditas tingkat
global dan pengembangan pangan fungsional.
2. Reformasi kebijakan dukungan langsung kepada petani: reorientasi dukungan langsung
kepada petani, dari orientasi input (subsidi bibit dan pupuk) menuju orientasi produktivitas:
riset dan pengembangan (R&D), teknologi, dan penyuluhan.
3. Perbaikan skala ekonomi pangan dan pertanian: mengubah orientasi swasembada pa
ngan menjadi optimasi sektor produksi dan penyatuan produksi multi-produk untuk mening
katkan efisiensi.
4. Perbaikan pada isu-isu energi, infrastruktur, ketenagakerjaan, pertanahan, dan keter
paduan pemerintah pusat-daerah: pembangunan irigasi dan infrastruktur lainnya secara
masif; peningkatan keterampilan di desa untuk sektor pertanian dan non-pertanian; peng
hentian konflik pemanfaatan lahan; dan memperkuat sinergi pusat-daerah.
Hal ini mengakibatkan permintaan pangan yang berkualitas meningkat. Sebaliknya, produksi
pertanian tidak mengalami peningkatan walaupun pengeluaran di sektor tersebut mengalami pening
katan yang drastis, dari 3% di 2001 menjadi 6% di 2008.
Dalam lingkup global, persaingan dalam penggunaan hasil pertanian untuk pakan, energi, dan
pangan menunjukkan tren yang terus meningkat, mengakibatkan kenaikan harga pangan dunia.
OECD dan FAO (2014) menyimpulkan bahwa era pangan murah sudah berakhir. Hal ini mengisyaratkan
bahwasanya ketergantungan pangan dan pertanian dari negara lain harus dikurangi, mengingat kenaikan
harga tersebut akan merugikan neraca perdagangan kita jika kita banyak tergantung pada impor.
Berkaca dari tantangan di atas, sektor pangan dan pertanian kedepan harus mampu memperbaiki
respon di sisi hulu/supply pangan terhadap permintaan yang terus meningkat, baik secara kualitas,
maupun kuantitas. Berkembangnya sektor pangan dan pertanian juga akan berdampak pada bertambah
nya lapangan pekerjaan di pedesaan dan berkurangnya angka kemiskinan.
39
B. LANGKAH LANGKAH PENGEMBANGAN SEKTOR PANGAN dan
PERTANIAN
Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan di atas diantaranya:
Perbaikan pada infrastruktur logistik, seperti jalan produksi, jalan desa, jalan kabupaten, hingga jalan
negara akan meningkatkan stabilitas harga di sentra-sentra konsumsi pangan dan produk pertanian
lainnya, sehingga rantai nilai terjaga daya saingnya. Keberhasilan integrasi ini juga akan memperhalus
dan meningkatkan kualitas transformasi struktural dari sektor pertanian ke industri dan servis.
40
b. Teknologi
Pemanfaatan teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi di tengah keterbatasan lahan
yang terus terkonversi untuk pemukiman. Hal ini bisa dilakukan melalui optimalisasi teknologi yang ada
ataupun dengan pengembangan/inovasi teknologi. Aplikasi dalam bioteknologi harus mampu menjawab
tantangan ekonomi pangan yang lebih beragam, kompleks, dan strategis. Selain dalam budidaya tanam
an, teknologi juga dibutuhkan dalam pengolahan paska panen, terutama untuk menjaga hasil panen
agar tetap baik dan segar sebelum beralih ke konsumen.
c. Penyuluhan
Penyuluhan difungsikan sebagai proses alih teknologi dimana para petani diharapkan dapat mengapli
kasikan dengan baik beragam teknologi yang telah dibuat oleh para inventor maupun peneliti. Tenaga
penyuluh yang kurang harus ditambah hingga mencapai rasio ideal satu penyuluh untuk satu desa.
Pangan dan pertanian harus dikembangkan sebagai satu kesatuan bisnis, yaitu dengan membangun
unit pengelolaan dengan pendekatan wilayah skala kecil/menengah, misalnya untuk Jawa dengan
skala unit pengelolaan 1.000-2.000 ha, dan luar Jawa dengan 5.000-10.000 ha. Penyatuan beberapa
produksi (misalkan beras, bawang, jagung) dalam satu unit pengelolaan juga akan mendorong efisiensi
tahap-tahap sebelum dan sesudah produksi, dan menurunkan biaya penanganan maupun transportasi.
Iklim investasi dan usaha yang kondusif harus selalu dikedepankan untuk menarik minat investasi,
meliputi kestabilan makro ekonomi, kepastian kebijakan, perizinan yang mudah, dan infrastruktur
yang memadai. Selain dengan menarik investor baru, peningkatan investasi juga dapat dilakukan de
ngan mempermudah pelaku-pelaku usaha tani untuk meningkatkan kapasitas faktor produksinya, seperti
dengan menyediakan kredit murah untuk pembelian hand tractor untuk petani.
41
5. Perbaikan supply response petani
Supply response dapat ditingkatkan melalui kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga panen
dan skema perlindungan harga produk pertanian kepada petani. Pemerintah turut membantu
stabilisasi harga ketika terjadi ekskalasi harga ketika paceklik dan fluktuasi harga pada masa panen, yang
akan merugikan petani dan konsumen miskin di perkotaan. Para Gubernur sebagai wakil pemerintah di
daerah perlu aktif memberdayakan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang selain melibatkan pejabat
moneter dan fiskal daerah, juga melibatkan akademisi.
Dalam sektor ketenagakerjaan, diperlukan peningkatan penyerapan tenaga kerja pada sektor
tengah dan hilir, karena pertanian menyerap 34.2% tenaga kerja Indonesia (2013). Pendidikan harus
menanamkan bahwasanya pangan dan pertanian adalah suatu industri yang jika dikelola dengan baik
akan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Peningkatan keterampilan bagi tenaga kerja di desa juga
tidak dibatasi untuk sektor pertanian, melainkan juga non-pertanian. Tenaga kerja wanita di pedesaan
harus ditingkatkan karena akan meningkatkan pendapatan keluarga dan membantu pengentasan ke
miskinan.
Perbaikan dalam bidang hukum harus segera dilakukan untuk menghentikan konflik pemanfaatan
lahan. Undang-undang (UU Pokok Agraria, UU Sumber Daya Air, UU Pertanahan, UU Perkebunan, dan
UU Minerba) harus disinkronisasi, perizinan pusat-daerah harus diperjelas, perlindungan terhadap lahan
pertanian, dan kejelasan mengenai tanah adat/ulayat. Insentif harus diberikan dengan keringanan Pajak
Bumi dan Bangunan pada lahan pertanian dan penegakan hukum yang tegas diberikan terhadap
pelanggar peraturan. Sertifikasi lahan oleh petani juga harus secepatnya diimplementasikan secara masif,
karena akan meningkatkan kepastian dan keamanan lahan, serta mengamankan akses petani terhadap
kredit.
Sedangkan mengenai kerja sama pusat-daerah seharusnya mampu diperkuat dan dibantu oleh
insentif fiskal dari kementerian pertanian untuk berkolaborasi dengan pegawai di daerah untuk
membentuk manajemen yang lebih kuat dan disiplin. Penarikan pajak hendaknya memfokuskan
pada ketersampaian, dibandingkan pada tingginya rate pajak. Koordinasi juga diperlukan dalam menghi
langkan kebijakan-kebijakan di daerah yang cenderung mendisinsentif investasi.
42
IV. PENGEMBANGAN SEKTOR JASA
VISI UTAMA
Menciptakan sektor jasa yang bersifat sebagai enabling industry agar mampu mendu
kung pertumbuhan perekonomian Indonesia sekaligus menjamin pemerataan dengan
menjadi input yang lebih efisien, berkualitas tinggi serta dapat diandalkan.
43
6. Menambah jumlah pelabuhan yang dijadikan hub dalam perdagangan international yang
disertai dengan pengelolaan pelabuhan (soft infrastructure) yang efektif dan efisien.
7. Mendorong pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dengan sistem logistik nasional
dan sistem transportasi nasional.
8. Peningkatan kualitas dan kompetensi, terutama dengan mengadopsi berbagai standar dan
prosedur yang berlaku secara internasional, dan membangun jaringan internasional yang
lebih luas.
9. Mendukung industri health care terutama dalam kaitannya dengan pemberlakuan BPJS yang
fokus pada kapasitas supply dalam merespon dan menyediakan pelayanan kesehatan secara
merata baik berdasarkan kelas pelayanan maupun sebaran geografis.
Sektor jasa juga merupakan penyedia lapangan pekerjaan terbesar. Peningkatan penyerapan tenaga kerja
di sektor jasa mengalami peningkatan dari 39% (2000) menjadi 45% pada tahun 2010. Bahkan, jumlah
lapangan kerja yang disediakan oleh sektor jasa yang terkait dengan semua kegiatan ekspor dengan
2
Pembahasan sektor jasa disini difokuskan hanya pada sektor jasa komersiil yang dilakukan oleh pihak swasta dengan tidak
menyertakan sektor jasa pemerintahan. Sektor jasa kemasyarakatan, seperti pendidikan dan kesehatan juga termasuk dalam
pembahasan ini.
44
mempertimbangkan hubungan langsung dan
tidak langsung lebih besar daripada total pe
kerjaan yang diciptakan oleh semua sektor ma
nufaktur (Neraca Pembayaran 2010). Dengan
kata lain, setiap 3 dari 4 lapangan kerja baru
adalah terkait dengan sektor jasa.
Sektor jasa sebagai penyedia input yang memungkinkan aktivitas produksi dapat berjalan dengan baik.
Sektor jasa bukan sektor yang independen melainkan juga sebagai input bagi sektor lain seperti manu
faktur dan pertanian. Sektor jasa juga dipandang sebagai sebagai bagian dari proses produksi. Sebagai
contoh, sistem logistik yang lebih baik akan berdampak pada manufaktur yang sangat efisien. Hal ini
penting mengingat esensi bisnis modern adalah supply chain yang berkaitan erat dengan logistik. Di
samping itu, AIPEG (2014) menyebutkan bahwa sekitar 35% input bagi produksi CPO adalah dari sektor
jasa, dengan presentasi terbesar dari sektor finansial.
Menurut Tabel Input Output Indonesia, sekitar 38% dari produksi sektor jasa Indonesia merupakan pe
mintaan antara yang berperan sebagai input dari sektor produksi lainnya, termasuk juga sektor jasa itu
sendiri. Hanya sekitar 60% hasil produksi sektor jasa yang langsung dinikmati oleh konsumen akhir.
Sektor-sektor jasa sendiri menyerap sekitar 23% produksi sektor jasa untuk dipergunakan dalam aktifitas
mereka, sementara sektor manufaktur secara rata-rata menggunakan 10% output dari sektor jasa dalam
aktifitas produksi mereka. Data ini menunjukkan bahwa sektor-sektor jasa merupakan sektor yang pen
ting bukan hanya bagi sektor itu sendiri tetapi juga bagi perkembangan perekonomian secara keselu
ruhan.
Meskipun demikian, saat ini Indonesia masih mengalami defisit neraca perdagangan jasa. World Bank
Indonesia Quarterly Report (March 2013) menggambarkan bahwa service value-added dalam ekspor
Indonesia masih relatif rendah, yang mencerminkan masih terbatasnya pengembangan sektor jasa seba
gai pendukung sektor lain.
Disamping peran sektor jasa tersebut di atas, masih terdapat permasalahan dan tantangan dalam pe
ngembangan sektor jasa Indonesia yaitu:
45
Infrastruktur
a. High Transportation Cost. Mahalnya biaya logistik nasional menjadi tantangan terbesar sektor jasa
dalam mendukung sektor lain. Saat ini, biaya logistik nasional berada pada angka 26%. Angka ini
sangat tidak berdaya saing jika dibandingkan dengan negara lain terutama di ASEAN dengan biaya
logistik sekitar 10-15%. Tingginya biaya transportasi domestik menjadi penyebab inefisiensi ter
utama bagi sektor usaha. Biaya transportasi mempengaruhi kinerja usaha terutama bidang logistik
dan pergerakan sumber daya manusia antar daerah.
b. Low Capacity of Infrastructure. Infrastruktur pendukung transportasi meliputi darat, laut, dan udara.
Untuk darat, kapasitas jalan raya masih belum sebanding dengan luas daratan dan volume kendaraan
yang ada. Kemacetan di kota besar dan kerusakan jalan provinsi dan kabupaten selalu menjadi per
masalahan menahun. Kapasitas dan jumlah bandar udara dan pelabuhan penyeberangan juga belum
memadai.
c. Belum Terintegrasinya Sistem Transportasi Nasional. Di sebagian bandar udara pengumpul (hub)
terutama di Kawasan Timur Indonesia belum terhubung dengan jaringan jalan arteri nasional.
d. Peningkatan Demand Transportasi Publik tidak Sebanding dengan Kapasitas yang tersedia. Kenaikan
penumpang di Bandara Internasional Soekarno Hatta meningkat 15% pada tahun 2011 menjadi 51
juta penumpang bahkan kenaikan ini terus bertambah. Namun kenaikan ini belum disertai dengan
penambahan kapasitas Bandara.
e. Minimnya dukungan infrastruktur pendukung sektor pariwisata. Potensi wisata Indonesia yang ter
sebar di berbagai daerah memerlukan dukungan infrastruktur untuk memudahkan akses bagi
wisatawan dalam berkunjung.
Ketenagakerjaan
a. Kurang tersedianya tenaga kerja terampil dan aturan outsourcing. Kurangnya tenaga kerja
terampil semakin terasa pada sektor yang membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang
sifatnya spesifik seperti telekomunikasi, logistik dan kesehatan, tetapi juga dirasakan pada banyak
sektor lainnya. Akibatnya perkembangan permintaan terhadap jasa dari sektor ini sering tidak
dapat tercukupi dengan baik dan menghambat perkembangan investasi dalam jasa tersebut.
b. Persoalan mengenai aturan outsourcing. Dengan begitu banyaknya pekerjaan di dalam berbagai
sub-sektor jasa, outsourcing merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan efisiensi dan daya
saing usaha. Meskipun outsourcing melalui pemborongan pekerjaan dan melalui kontrak bisnis
tidak merupakan aktifitas yang dilarang dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012, tetapi pada
prakteknya sering sekali menjadi area abu-abu dan membawa kesulitan bagi perusahaan jasa
produksi tersebut. Selain sebagai bagian dari proses produksi, outsourcing juga menjadi salah satu
cara bagi banyak perusahaan jasa untuk menjual jasa mereka.
46
c. Professional Movement. Pergerakan SDM profesional telah mengalami pergeseran menjadi global
movement. Tenaga kerja ahli semakin mudah berpindah dan di-hired oleh berbagai negara. Hal ini
menjadi tantangan bagi Indonesia untuk bersaing dengan SDM asing yang masuk ke Indonesia
maupun SDM Indonesia yang dikirim ke luar negeri.
Kepastian Hukum
a. Disharmoni regulasi pendukung sektor jasa. Sektor jasa sering diatur oleh aturan yang dikeluarkan
oleh berbagai lembaga pemerintahan yang sering sekali tidak sesuai satu dengan yang lainnya.
Selain itu aturan sektor jasa juga sering mengalami perubahan, dimana aturan baru terkadang
sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Ini menjadi masalah karena sering peraturan baru tidak
disebarluaskan, sementara peraturan lama juga tidak dicabut. Akibatnya terjadi ketidakjelasan
aturan mana yang berlaku.
b. Aturan sektor jasa juga cenderung membatasi persaingan antara para penyedia jasa, bahkan sering
melanggengkan praktek-praktek kartel, seperti kebijakan penetapan harga minimum ataupun ope
rational zoning. Pemberian izin dan lisensi yang menyulitkan pihak penyedia jasa yang baru, sering
menyebabkan sektor jasa menjadi bersifat oligopolistik.
c. Pembatasan penyertaan modal asing juga menjadi kendala dalam pengembangan sektor jasa. Ini
menyebabkan skala dari berbagai sektor yang ada menjadi terbatas dan sulit berkembang untuk
menggunakan teknologi yang lebih modern. Akibatnya, sektor ini menjadi tidak efisien dan tidak
dapat memberikan jasa berkualitas tinggi
Membangun Sistem Logistik Nasional yang efisien. Sistem logistik nasional berkaitan erat dengan pengem
bangan infrastuktur yang terintegrasi dalam mendukung sektor jasa dan sektor lainnya mulai dari ban
dar udara, pelabuhan, jalan penghubung, dan infrastruktur pendukung lainnya. Disamping itu, juga perlu
diperkuat sistem baik dari segi manajemen dan skill yang diperlukan dalam mendorong terciptanya Sistem
Logistik Nasional (SISLOGNAS) yang mendukung value added dan supply chain barang/jasa yang efektif
dan efisien.
Harmonisasi dan sinergi regulasi dalam meningkatkan kepastian hukum di sektor Jasa. Dalam hal ini perlu
dilakukan tinjauan terutama yang berkaitan dengan UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang
membagi pelabuhan dalam berbagai klasifikasi berdasarkan fungsinya. Pelabuhan lokal tidak diperbo
lehkan untuk menangani pelayaran internasional. Lebih jauh lagi, PP Nomor 61 tahun 2009 membatasi
47
pengusahaan pelabuhan oleh swasta hanya pada bagian-bagian pelabuhan tertentu saja, misalnya pada
salah satu terminal di pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo. Kedua hal tersebut perlu direvisi dan ditinjau
ulang untuk mendorong pengembangan sektor jasa.
Menentukan sub-sektor jasa prioritas yang akan menjadi fokus pengembangan. Prioritas ini meliputi sub-
sektor Transportasi dan Logistik, Telekomunikasi, Industri Kreatif, Distribusi dan Eceran, Pendidikan dan
Kesehatan, serta Pariwisata. Namun untuk jangka pendek, jasa internet broadband perlu ditingkatkan
karena hanya 2 persen dari 24% pengguna internet terhadap populasi di Indonesia (2012) yang memiliki
koneksi broadband. Qiang (2009) merilis temuan bahwa setiap 10% kenaikan penetrasi terhadap jasa
internet broadband, terdapat kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,3%. Temuan ini dikonfirmasi
oleh World Bank (2009) dan menjelaskan bahwa hasil penelitian tersebut berlaku signifikan terutama di
negara-negera berkembang.
Mendukung pengembangan industri kreatif. Industri kreatif tidak terlepas dari perkembangan seni dan
teknologi mengingat produk industri ini bukan hanya berasal dari gagasan seni dan budaya melainkan
juga gagasan intelektual dan pengetahuan. Oleh karena itu, talenta dan modal intelektual harus dikem
bangkan. Disamping itu, pemerintah harus menciptakan sektor jasa yang mendukung akuisisi dan alih
teknologi dengan menciptakan situasi yang sesuai untuk proses kreatif dan penyerapan teknologi.
Memajukan sektor jasa sebagai sektor penyerap tenaga kerja. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan
peran sektor jasa dalam mengurangi angka pengangguran dan penciptaan lapangan kerja. Tenaga kerja
tersebut diharapkan memiliki produktivitas yang lebih tinggi, inovatif dan efisien, serta menciptakan
nilai tambah. Untuk mendukung upaya ini perlu dilakukan peningkatan kapasitas SDM sektor jasa yang
berdaya saing global yang disertai dengan peningkatan kapasitas lembaga pemerintah penyedia Jasa
seperti BNSP, LSP, dan sistem pendidikan dalam memperkuat keahlian profesi jasa. Disamping itu,
penerapan sistem outsourcing juga perlu didorong karena sektor ini juga banyak tergantung pada pe
nyedia jasa bisnis di luar dari bisnis utama mereka
Penguatan Peran Diplomasi Sektor Jasa terutama dalam penandatanganan Perjanjian Perdagangan Jasa
baik bilateral, regional, maupun internasional.
48
V. PENGEMBANGAN SEKTOR ENERGI
VISI UTAMA
49
6. Pembangunan infrastruktur sektor energi dan mineral meliputi pembangunan kilang
minyak baru, refinary (penyulingan), smelter, dan storage. Indonesia memerlukan pemba
ngunan kilang minyak baru untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri terutama di
wilayah Indonesia Timur. Refinary (penyulingan) untuk mengakomodasi pengolahan minyak
mentah Indonesia perlu ditambah. Pemerintah juga perlu mendukung program Independent
Power Producer (IPP) agar bersaing dengan pembangkit-pembangkit listrik PLN sehingga
pembangkit listrik PLN lebih efisien. Untuk gas bumi, perlu dibangun pembangkit listrik yang
sesuai dengan karakter uap (panas bumi) yang ada di reservoir.
7. Pengembangan pembangkit listrik mulut tambang. Indonesia perlu memanfaatkan
potensi batubara yang cukup besar khususnya untuk batubara dengan kualitas kalori rendah
untuk dikembangkan mendukung pembangunan pembangkit listrik mulut tambang. Untuk
itu perlu dibuat suatu kebijakan yang komprehensif guna mendukung pemanfaatan batubara
kalori rendah guna mendukung pembangunan kelistrikan di tanah air.
Perhatian pemerintah terhadap sumber EBT terutama biodiesel masih rendah. Biodiesel merupakan salah satu
sumber EBT yang dapat diandalkan. Keseriusan pemerintah untuk mengembangkan dan memanfaatkan
biodiesel lebih ditujukan untuk menutup defisit neraca transaksi perdagangan (lebih tepatnya mengurangi
impor minyak) daripada mengembangkan industri biodiesel itu sendiri. Permasalahan lain adalah nilai
keekonomian (harga) biodiesel yang diatur lebih rendah daripada harga solar, kurang memberikan
potensi bisnis yang layak dan menguntungkan. Secara kualitas, biodiesel sesuai untuk digunakan sebagai
campuran pada minyak solar. Namun, harga keekonomian biodiesel masih menjadi kendala dalam
pengembangan dan pemanfaatan biodiesel nasional.
50
Fluktuatifnya harga bahan baku minyak sawit mentah (CPO) di pasar global mempengaruhi harga biodiesel
nasional. Indonesia masih menguasai pasar minyak sawit mentah (CPO) di dunia karena menghasilkan
55% minyak sawit dunia, yaitu 23.081 juta ton pada tahun 2011. Walau demikian, minyak sawit mentah
(CPO) Indonesia masih dipengaruhi oleh pergerakan harga komoditas tersebut di pasar global dan masih
ditentukan oleh mekanisme pasar. Sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia,
seharusnya Indonesia mampu menjadi pengendali harga CPO dunia. Namun, referensi harga CPO justru
terbentuk dari bursa di Eropa (Bursa Rotterdam) dan MPOB (Malaysia).
Kepastian hukum sangat diperlukan dalam pengembangan energi, namun masih terdapat disharmoni regulasi
pada sektor ini. Sebagian lapangan minyak dan gas bumi terdapat di lokasi marga satwa atau hutan
konservasi. Bahkan untuk lokasi sumber panas bumi, sebanyak 40% berada di kawasan hutan konser
vasi. Lahan yang dibutuhkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi adalah sebesar 4-6 hektar untuk
setiap pad rig pengeboran. Meskipun sudah diterbitkannya UU No. 2 tahun 2012 terkait dengan pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, khususnya untuk kegiatan minyak dan gas bumi
(Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 10), penerapan dari UU tersebut masih mengalami kendala di level pemerintah
daerah atau masyarakat setempat. Sementara itu, untuk pengembangan panas bumi di daerah konservasi
ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama melalui Menteri ESDM, Menteri Kehutanan dan Menteri
Lingkungan Hidup. Namun, SKB tersebut belum efektif dan belum bisa diterapkan karena masih berten
tangan dengan UU Kehutanan No. 41, 1999.
Peningkatan produksi dan pengembangan biodiesel dari minyak sawit mentah yang tertuang di Perpres No.5
Tahun 2006 juga perlu didukung dengan kepastian usaha. Selama ini, dari kontrak selama 2 (dua) tahun
dengan Pertamina, harga yang ditawarkan kepada produsen biodiesel dipatok dengan harga yang selalu
di bawah harga pasar biodiesel di Singapura (MOPS). Referensi harga penting bagi pengusaha/produsen,
terutama bagi pengusaha biodiesel kecil dan menengah.
51
Inefisiensi birokrasi perizinan di sektor energi dan mineral masih mengkhawatirkan. Saat ini terdapat 69 jenis
perizinan dan 284 proses perizinan. Jumlah izin dan proses permintaan izin ke pemerintah pusat dan
daerah, serta ketidakpastian tata waktu penyelesaian izin akan menghambat proyek kegiatan hulu migas
dan mengakibatkan biaya keekonomian yang sangat tinggi. Walaupun Menteri Koordinator Perekonomian
telah berupaya untuk memangkas perizinan menjadi 8 jenis, tetapi saat ini implementasi belum
dilaksanakan oleh Kementerian-kementerian terkait.
Minimnya infrastruktur dalam pengembangan energi dan mineral. Produksi minyak di Indonesia terus
menurun disebabkan turunnya produksi di lapangan-lapangan tua terletak di bagian barat Indonesia.
Dengan berkurangnya tekanan alamiah dari lapangan tersebut, minyak tidak mudah untuk dieksploitasi.
Tambahan tekanan atau metode lain melalui Secondary Recovery atau Enhanced Oil Recovery (EOR) perlu
dilakukan untuk melanjutkan produksi. Namun di sisi lain, usia kilang yang semakin tua berkontribusi
terhadap produksi minyak bumi Indonesia. Di sektor hilir, penyulingan minyak yang ada di Indonesia
belum memadai untuk mengolah minyak mentah dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Sementara itu, kegiatan eksploitasi panas bumi masih terdapat 12 proyek dengan total 830 MW yang
masih terkatung-katung disebabkan kesulitan pendanaan, permasalahan lahan dan belum tuntasnya
negosiasi harga listrik dalam kontrak Power Purchase Agreement (PPA). Persoalan lain adalah masih
minimnya storage – (penyimpanan) pasca eksplorasi untuk energi dan mineral.
52
atau IRR dan biaya energi yang rendah, diberikan harga listrik yang lebih murah. Metode seperti ini akan
meningkatkan kompetisi untuk industri di pasar international dan menciptakan multiplier efect.
Pemerintah harus melakukan review dan sinkronisasi peraturan dan perizinan terkait sektor energi dan
mineral.
1. Memberikan kepastian terhadap status Kontrak Kerja Sama (KKS) minyak dan gas. Masa pe
merintahan 2014-2019 adalah masa penting penentuan status KKS terutama di sektor hulu minyak
dan gas mengingat sebagian besar blok akan habis masa kontraknya pada periode tersebut.
2. Review terhadap UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah khususnya pasal 7 ayat 2 dan
pasal 10 dan revisi PP Nomor 67 Tahun 2005 tentang Infrastruktur agar memasukan kerjasama
kemungkinan kerjasama pemerintah dan swasta untuk pembangunan kilang minyak.
3. Peninjauan kembali Surat Keputusan Bersama melalui Menteri ESDM, Menteri Kehutanan dan
Menteri Lingkungan Hidup tentang pengembangan panas bumi yang berada dilihat konservasi.
Review terhadap SKB ini dapat harus diikuti dengan revisi UU Kehutanan terkait eksplorasi panas
bumi yang bersifat lex spesialis (panas bumi tidak bisa dipindah), terutama yang berada di kawasan
konservasi hutan.
4. Revisi atas perubahan PP 9/2010 mengenai Rencana kenaikan tarif royalti batubara perlu dikaji
kembali; dan rencana kenaikan tarif royalti menunjukkan sikap ketidakkonsistenan pemerintah
dalam mengembangkan tambang-tambang batubara berkalori rendah
5. Revisi atas perubahan PP 23/2010 mengenai Pengaturan tentang kewajiban pengolahan pertam
bangan batubara perlu dikaji lebih lanjut; dan persyaratan divestasi saham asing tidak menarik bagi
investor yang sangat diharapkan dapat berinvestasi mengembangkan kegiatan eksplorasi pertam
bangan batubara.
53
6. Penerbitan Inpres peningkatan nilai tambah batubara. Inpres tersebut serupa dengan Inpres
No. 3/2013 terkait percepatan hilirisasi pertambangan mineral. Dengan Inpres maka kebijakan yang
dihasilkan bisa lebih objektif memetakan design kebijakan yang tepat untuk mendorong pengem
bangan sektor pertambangan batubara.
7. Review peraturan pelaksana UU Nomor 4 Tahun 2009 yang meliputi 1] PP No 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; 2]PP No 5 Tahun 2010
tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara; 3] Permen ESDM No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian Mineral; 4] Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Perubahan Aturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 terkait pelarangan ekspor komoditas mineral
setelah tanggal 12 Januari 2014.
Penetapan tarif dan harga di sektor energi dan mineral perlu dipertimbangkan dengan matang terutama
terkait dengan:
1. Penyesuaian harga BBM dengan harga keekonomian. Penyesuaian tersebut akan mengurangi
subsidi sebagai beban anggaran pemerintah sehingga anggaran tersebut dapat dialokasikan untuk
pembangunan infrastruktur, seperti kilang minyak, penyulingan atau subsidi langsung untuk
masyarakat yang memang membutuhkannya. Selain itu, penyesuaian harga BBM akan mendorong
energi alternatif lain untuk masuk ke dalam pasar energi.
2. Penetapan Tarif Dasar Listrik (TDL) tidak berdasarkan golongan voltage namun didasarkan
pada porsi biaya energi yang dikeluarkan oleh industri. Sehingga dengan marjin industri atau
IRR dan biaya energi yang rendah, diberikan harga listrik yang lebih murah. Metode seperti ini akan
meningkatkan kompetisi untuk industri di pasar international dan menciptakan multiplier efek.
3. Penetapan harga beli PLN untuk panas bumi harus dilakukan dengan harga maksimal (ceiling
price). Hal ini perlu dilakukan dengan pertimbangan subsidi listrik, subsidi bunga, atau insentif awal
ekplorasi lapangan panas bumi (financing). Alternatif terkait dengan insentif tersebut adalah untuk
mengurangi risiko di pihak pengembang dan menaikkan pengembalian investasi. Pemerintah 2014-
2019 dapat menanggung keuangan atau pembiayaan masa eksplorasi melalui Pusat Investasi
Pemerintah (PIP). Setelah dipastikan bahwa panas bumi dapat dikomersialisasikan dengan harga
kesediaan membayar PLN (Persero), maka Pemerintah akan melakukan lelang Plan of Development
(PoD) untuk tahap pengembangan kepada pihak swasta
Mengembangkan skema pembiayaan dan investasi untuk sektor energi dan mineral. Besarnya biaya yang
diperlukan dalam pengembangan energi dan mineral terutama untuk sektor hulu memerlukan dukungan
pemerintah terutama dalam eksplorasi minyak bumi, LNG, gas, dan panas bumi, mekanisme sharing
untuk cost recovery perlu ditinjau lebih lanjut terkait alokasi pemerintah dan swasta dalam pembiayaan
kegiatan eksplorasi energi dan mineral.
54
Pembangunan infrastruktur sektor energi dan mineral:
1. Pembangunan kilang baru dan penyulingan (refinary) untuk mengolah minyak mentah Indo
nesia. Pemerintah harus mengarahkan kegiatan minyak dan gas bumi ke daerah Timur Indonesia
yang masih memiliki cadangan besar dan berada di laut dalam yang perlu didukung dengan
teknologi khusus dan biaya tinggi.
2. Pembangunan Penyediaan Tenaga Listrik berdasarkan nilai ketahanan energi Indonesia,
bukan berdasarkan permintaan masyarakat. Pembangunan kelistrikan harus didasarkan pada
pertumbuhan yang diinginkan dan ditetapkan oleh pemerintah, seperti penugasan elektrifikasi,
listrik pedesaan, transmisi dan distribusi. Pemerintah yang lebih mengetahui kebutuhan listrik di
daerah terpencil dan bagaimana menjaga ketahanan energi di daerah tersebut. Pemerintah harus
mencegah terjadinya disintegrasi bangsa hanya disebabkan masyarakat yang kekurangan listrik,
seperti masyarakat di daerah perbatasan. Disamping itu, pemerintah juga harus mendukung
program Independent Power Producer (IPP) untuk bersaing dengan pembangkit-pembangkit listrik
PLN sehingga pembangkit listrik PLN lebih efisien.
3. Melakukan zonasi industri untuk efisiensi penyediaan listrik bagi dunia usaha dimana penen
tuan lokasi pembangunan listrik ditentukan oleh Independent Power Producer (IPP) dan PLN daerah
tersebut dengan penetapan harga listrik berdasarkan business to business.
4. Pengembangan pembangkit listrik yang dibangun sesuai dengan karakter uap (panas bumi)
yang ada di reservoir. Dengan karakateristik dan besarnya cadangan panas bumi yang ada di
Indonesia, maka pengembangan energi panas bumi akan memberikan keuntungan untuk bangsa
Indonesia dan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
5. Meningkatkan jumlah dan kapasitas smelter dalam kegiatan hilirisasi pertambangan dan
pembangunan storage (gudang) penyimpangan.
55
VI. PENGEMBANGAN SEKTOR FINANSIAL
VISI UTAMA
56
6. Mengembangkan tingkat literasi finansial masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan
memasifkan program sosialisasi keuangan, menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pen
tingnya sektor keuangan dan meningkatkan akses finansial bagi semua lapisan masyarakat
dan usaha.
Masih minimnya keikutsertaan masyarakat dalam memanfaatkan institusi finansial. Unbankable population/
companies masih menjadi tantangan dunia perbankan nasional. Minimnya akses ke sektor perbankan ini
juga disertai dengan rendahnya tabungan nasional. Kesadaran masyarakat dalam berasuransi juga masih
rendah sehingga saat ini hanya sekitar 2% masyarakat yang memiliki asuransi dan sebagaian besar
adalah asuransi kendaraan. Disamping itu, partisipasi investor ritel di pasar modal juga masih kurang
sehingga diperlukan penerbitan obligasi korporasi dan obligasi pemerintah daerah ritel, kemudahan
outlet pembelian produk pasar modal di jaringan ritel (mis. Mini-market, convenience store).
Peran dana, institusi, dan tenaga asing dalam sektor finansial perlu dipikirkan lebih jauh dalam sektor finan
sial. Dana, teknologi dan keterampilan dari luar sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses pemba
ngunan. Hanya saja, membuka kran terlalu lebar ada political and economic costnya. Ketergantungan
keuangan nasional terhadap investor asing masih besar (sekitar 30% - 40%). Di perbankan, bank asing
sangat membantu perkembangan teknologi (operating systems, credit cards, ATM, risk management,
treasury) dan membangun sumber daya manusia serta sistem pengoperasian perbankan (penerapan
operational systems dengan baik, good corporate governance dan juga corporate social responsibility
Hambatan pajak untuk merger dan sekuritisasi. Hanya perlu disinggung satu hambatan yang sering disebut
oleh praktisi yaitu perlakuan pajak yang tidak membedakan transaksi jual beli aset perbankan dalam
merger dengan transaksi jual beli biasa, sehingga beban pajak pada merger sangat memberatkan. Inipun
terjadi pada transaksi sekuritisasi atau jual beli aset keuangan yang sampai saat ini menghambat
kelancaran timbulnya transaksi ini di pasar uang/modal.
57
B. LANGKAH-LANGKAH DALAM MENGEMBANGKAN SEKTOR FINANSIAL
INDONESIA
Melakukan revisi dan peninjauan ulang regulasi di bidang institusi finansial.
Revisi Peraturan Pemerintah tentang Sisa Anggaran Lebih (SAL) OJK, agar dicadangkan untuk tahun
anggaran berikutnya (saat ini SAL OJK disetor ke APBN);
Revisi UU Perbankan, UU BUMN, UU Penanggulangan Bencana dan membuat payung hukum untuk
asuransi bencana (revisi UU Penanggulangan Bencana),
Revisi Perpres tentang aturan kepemilikan asing di perbankan nasional serta memilah dan menye
laraskan peraturan BAPEPAM yang sudah berlaku dengan peraturan OJK yang akan diterbitkan;
Revisi Peraturan Kementerian Keuangan agar tidak ada pajak berganda untuk pembiayaan kembali
(sales and lease back) untuk bisnis leasing.
Melakukan financial deepening jangka panjang terutama untuk mengatasi permasalahan mismatch di
perbankan dan pasar keuangan.
Mendorong efisiensi institusi finansial dalam rangka konsolidasi dan peningkatan daya saing.
Merger dan akuisisi perbankan agar sesuai dengan cetak biru Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
Penerapan secara konsisten Single Presence Policy agar merger terjadi pada bank asing dan bank
BUMN. Misalnya untuk bank asing perlu diarahkan merger antara HSBC dengan Bank Ekonomi,
Standard Chartered Bank dengan Bank Permata dan SMBC dengan BTPN. Untuk Bank pemerintah
sudah saatnya rencana merger antara Bank BUMN direalisasikan. Hal ini akan menguatkan persaing
an bank nasional untuk mulai mengembangkan usahanya di luar negeri. BRI dan BTN adalah bank
yang fokus masing-masing pada segmen pertanian dan properti kelas menengah bawah jadi tetap
dapat dipertahankan sebagai ‘policy’ bank.
Mendorong bank asing ke wilayah luar Jawa. Bank asing diarahkan untuk berkembang dan membuka
cabang baru di wilayah Indonesia Timur agar kompetisi perbankan dipacu diwilayah ini. Ini dapat
dijadikan persyaratan jika mereka ingin melakukan merger dan/atau akuisisi ataupun meningkatkan
kepemilikan saham satu entitas diatas batas 40% saat ini.
Pendirian Biro Informasi Risiko & klaim asuransi dan Implementasi merger perusahaan reasuransi
BUMN;
58
Mendorong entitas hukum cabang bank asing dirubah menjadi PT. Perlu disetujui peraturan yang meng
haruskan bank asing berdomisili di Indonesia. Masih ada sekitar 8 atau 9 bank asing yang masuk pada
awal zaman Orde Baru dimana mereka status hukumnya adalah cabang bukan PT. Dalam kelompok bank
asing ini adalah Citibank, JP Morgan, BOT, Perdania, Deutsche, Bangkok Bank, HSBC dan Standard
Chartered. Seperti yang terjadi di Singapore dan Malaysia semua bank asing ini harusnya dirubah sta
tusnya menjadi entitas lokal (PT) dengan modal sendiri, sehingga dapat beroperasi lebih terpisah dari
Bank induknya di negaranya. Sehingga jika terjadi krisis spt Lehman 2008 walaupun Bank induknya
jatuh, subsidiary bank yang secara entitas hukum terpisah, spt Citibank Singapore Ltd, dapat survive dan
terus beroperasi. Peraturan atau perundangan ini memang sudah disiapkan, tapi perlu segera direalisasi.
Mendukung pengembangan tingkat literasi finansial masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan
memasifkan program sosialisasi keuangan, menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
sektor keuangan dan meningkatkan akses finansial bagi semua lapisan masyarakat dan usaha.
3
Saat ini insentif PPh sebesar 5% untuk free float 40%. Diusulkan bahwa insentifnya sebesar 3% untuk free-float 20%, 4% untuk
free-float 30%, 5% untuk free-float 40%, 7% untuk free-float 55%.
4
Pajak dividen yang berlaku saat ini dapat dianggap sebagai double taxation, karena sebelum membayar dividen perusahaan telah
terlebih dahulu membayar PPh atas corporate profit. Contohnya di ASEAN, Singapura telah menghapuskan pajak dividen.
59
VII. PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR
VISI UTAMA
60
Tahun 2013 Indonesia Malaysia Thailand Vietnam Filipina
Indonesia saat ini sangat ter
Infrastruktur 82 25 61 110 98 tinggal dalam bidang infra
Jalan 78 23 42 102 87 struktur, dengan ranking 82
Kereta Api 44 18 72 58 89 diantara 114 negara (The Global
Pelabuhan 89 24 56 98 116
Competitiveness Report 2013-
Angkutan Udara 68 20 34 92 113
Listrik 89 37 58 95 93 2014), lebih rendah dari negara
Telepon Seluler 62 27 49 21 81 tetangganya, Malaysia (25) dan
Telepon Tetap 82 79 96 88 109 Thailand (61).
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga menuntut peningkatan kapasitas ekonomi, terutama
di kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Keterbatasan infrastruktur untuk memfasilitasi kegiatan
ekonomi tentu akan menyia-nyiakan berbagai kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Keterbatasan infrastruktur akan menjadi penghalang bagi investasi di sektor manufaktur, ber
kontribusi bagi inflasi, membatasi daya saing industri, dan menjadi alasan tidak langsung terhadap
defisit neraca transaksi berjalan.
Pengeluaran negara terhadap infrastruktur masih terlalu kecil. Rasio pengeluaran kapital terhadap
GDP di Indonesia hanyalah 1.2% di 2012, lebih rendah dari negara tetangga (Thailand 2.3%, Malaysia 5.1%,
dan Vietnam 6.9%). Investasi infrastruktur telah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (4-5% dari
GDP), tetapi belum mencapai tingkat sebelum krisis 1997 (7%), sementara itu infrastruktur Cina dan India
telah mencapai 8-10% dari GDP.
Sementara itu, partisipasi swasta untuk infrastruktur juga belum terinstitusi dengan baik. Target
20% pendanaan swasta dalam Public-Private Partnership (PPP) di proyek-proyek strategis akan sulit dipe
nuhi jika pihak swasta harus menanggung seluruh resiko proyek tanpa akuntabilitas memadai dari pe
merintah.
Institusi dan birokrasi yang kurang efisien karena terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang
terlibat masalah pembebasan lahan, dan masalah pengambilan keputusan dalam tender. Permasa
lahan tersebut tentunya akan mengakibatkan investor enggan untuk membiayai proyek dengan ketidak
pastian yang tinggi.
1. Infrastruktur transportasi
• Kondisi jalan Indonesia saat ini buruk, sehingga menurunkan kecepatan kendaraan. Kualitas
jalan di Indonesia, terutama di daerah, sangat rendah, menyebabkan waktu tempuh di Indonesia
saat ini mencapai 2.6 jam untuk jarak 100 km, lebih lambat dari Vietnam (2 jam per 100 km), Thai
land (1.35 jam per 100 km), dan Cina (1.2 jam per 100 km). Kondisi ini juga mengakibatkan kemacetan
61
dan tingkat kecelakaan yang tinggi. Diperkirakan 50 jiwa melayang setiap harinya di jalan raya.
Manajemen kapasitas dan performa jalan juga sangatlah lemah dikarenakan kurangnya pendanaan.
• Lambatnya pembaharuan dan pembangunan pada sektor kereta api. Jalur ganda di sektor
kereta api hanya 7.7% dari total 4.800 km dimana kereta penumpang dan barang ada pada jalur
yang sama, mengakibatkan efisiensi yang rendah. Kurangnya utilisasi kereta untuk barang membuat
besarnya beban transportasi darat pada jalan raya.
• Kurang berimbangnya komposisi moda dalam transportasi. Kendaraan pribadi sangatlah
dominan di kota-kota besar, menyebabkan kemacetan yang parah, dan tentunya inefisiensi. Peng
gunaan kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 62%, mengindikasikan 10 juta komuter terjadi setiap
hari.
• Inefisiensi sektor pelabuhan. Waktu bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok ( Jakarta) mencapai
8 hari, sangat lama dan tidak efisien dibandingkan dengan pelabuhan di Thailand yang hanya 5
hari, bahkan Singapura yang hanya 1.2 hari.
• Jaringan transportasi udara yang melebihi kapasitas. Peningkatan transportasi udara meningkat
hingga double-digit tiap tahunnya sejak deregulasi pada tahun 2004. Sementara itu bandara cukup
lambat dalam merespon permintaan tersebut dengan perluasan.
62
ekonomi. Meskipun telah memiliki kapasitas listrik nasional 30,000 MW yang cukup besar di regional,
jumlah ini tidak besar jika dilihat per kapita. Beberapa poin yang harus menjadi perhatian:
• Kebutuhan akan investasi yang besar. Kebutuhan akan energi selalu meningkat, ditambah
dengan rendahnya elektrifikasi saat ini, PLN perlu meningkatkan peran PPP untuk menghasilkan
2-9% pertumbuhan penyediaan listrik per tahun.
• Tarif saat ini tidak cukup untuk menutup ongkos penyediaan listrik. Dibutuhkan rasionalisasi
sistem tarif yang menyesuaikan dengan keadaan ekonomi sehingga bisa meninggalkan ketergan
tungan dengan subsidi.
• Hambatan peraturan dan institusi. Ketidakpastian hukum dan kerangka kerja peraturan mem
persulit investasi swasta, salah satunya mengakibatkan sedikitnya Independent Power Producer
(IPP) yang berinvestasi. Selain itu restrukturisasi internal PLN juga tersendat karena krisis, mem
perlemah kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan.
• Tantangan lingkungan. Rencana untuk mengurangi ketergantungan akan minyak dan beralih ke
batu bara dari 35% menuju 70% di 2020 akan berefek pada peningkatan gas rumah kaca Indonesia
dengan lebih cepat. Sementara itu potensi energi terbarukan seperti geothermal, tenaga air, dan
biomass belum terlalu dimanfaatkan karena mahalnya teknologi, rendahnya insentif dan kepastian
hukum, lemahnya institusi nasional terkait.
63
Skema PPP harus memiliki standarisasi yang jelas, sehingga meyakinkan investor swasta untuk
segera membiayai proyek-proyek. Sementara itu beberapa dukungan terhadap PPP secara nyata dari
pemerintah sudah terbentuk, diantaranya melalui Project Development Facility (PDF) dan Land Fund untuk
proses preparation melalui PT Sarana Multistruktur Indonesia (SMI), government guarantee pada proses
bidding (melalui PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia), dan infrastructure fund pada fase implementasi
melalui PT Indonesia Infrastructure Fund (IIF). Viability Gap Fund (VGF) juga bisa diberikan untuk mem
biayai sebagian konstruksi proyek PPP yang berprospek, juga untuk mengurangi tarif di masa konsesi.
Pemerintah pun dapat memberikan tax incentive pada beberapa proyek energi terbarukan.
memberikan efek multiplier yang akan mengangkat perekonomian Jalan raya 67%
secara luas. Berdasarkan RPJMN 2015-2019 BAPPENAS, target Perkeretaapian 80%
64
4. Pembebasan lahan harus benar-benar diselesaikan sebelum pembangunan
dilakukan, pemerintah memberikan jaminan penuh atas kerugian akibat
kegagalan pembebasan lahan atau implementasi land fund yang dapat
dipercaya investor.
Masalah pembebasan lahan telah menjadi hambatan bagi pemerintah maupun swasta yang ingin
mengeksekusi proyek infrastruktur, dan membuat suatu proyek tertunda. Pemberdayaan land fund akan
meringankan risiko bagi investor swasta, terdiri dari:
• Land revolving fund: menjembatani pembiayaan pembebasan lahan
• Land capping: menanggung risiko dari naiknya harga tanah
65
VIII. TATA KELOLA HUKUM DAN PEMERINTAHAN
Tantangan bidang lintas sektor hukum, otonomi daerah, reformasi birokrasi dan ketenaga
kerjaan memiliki benang merah pada substansi tata kelola pemerintahan (good governance)
mencakup nilai-nilai partisipatif, transparansi dan akuntabilitas. Dimensi tantangan yang dihadapi
bermuara pada kualitas produk peraturan perundang-undangan, institusi kelembagaan, dan
implementasinya dengan sumber daya manusia yang menjalankannya – plus tantangan penegakan
hukum.
VISI UTAMA
66
itu, perlu memberitahukan tentang perubahan tata ruang kepada investor ataupun diumum
kan secara publik.
7. Pengelolaan administrasi pertanahan secara profesional dan akurat agar terhindar dari
permasalahan sertifikat ganda, diantaranya dengan membangun data base online kepemilikan
dan penguasaan tanah.
8. Peningkatan profesionalisme birokrat yang membidangi dunia usaha melalui training
oleh pelaku usaha secara berkelanjutan agar birokrat mengerti bisnis dan persoalan di
bidangnya masing-masing sehingga dapat memberikan pelayanan dengan lebih baik.
67
PERMASALAHAN HUKUM dan TATA KELOLA PEMERINTAHAN
Kepastian hukum merupakan hal yang krusial dalam perkembangan iklim investasi di suatu negara. Hal
ini dikarenakan regulasi yang ada dijadikan sebagai tools yang dapat mengakomodir kepentingan para
investor yang berimplikasi pada kepercayaan dan keamanan mereka untuk berinvestasi.
Peranan pemerintah sangat signifikan dalam menentukan hal ini, termasuk pemerintah daerah terutama
pasca otonomi daerah (otda) sejak tahun 2001. Pasalnya materi dalam instrumen hukum dapat memuat
apa saja yang memungkinkan berdampak pada iklim investasi, sebagai contoh perizinan untuk minyak
dan gas bumi dibutuhkan 69 izin yang mana izin tersebut saling tumpang tindih dari 17 instansi yang
berbeda, dengan 284 proses perizinan yang harus dilalui dan 600.000 lembar persyaratan perizinan
yang harus dilengkapi (Data Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan).
Kriminalisasi bisnis juga menjadi ancaman tersendiri bagi iklim investasi. Kasus bioremediasi PT Chevron
Pacific Indonesia dinilai menjadi pemicu bagi era kegelapan di sektor hulu migas. Dimana persoalan yang
berada di lingkup perdata atau administrasi dipaksakan untuk masuk ranah pidana, terlebih tidak pidana
korupsi (Airlanga Pribadi, 2014). Oleh karena itu dibutuhkan komitmen pemerintah untuk membenahi
permasalahan ini demi menjaga iklim investasi agar tetap kondusif.
Berikut beberapa aspek yang harus dibenahi dan membutuhkan kepastian hukum dalam bidang
investasi:
KEPASTIAN BERINVESTASI
A. Permasalahan
Pertentangan antar peraturan perundang-undangan baik secara vertikal (peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah bertentangan dengan yang lebih tinggi), maupun horizontal (peraturan perundang-
undangan sederajat saling bertentangan) menimbulkan ketidakpastian hukum dan biaya ekonomi tinggi
kepada para calon penanam modal, baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri. Belum lagi peraturan-
peraturan daerah (“Perda”) yang kerap mengambil inisiatif yang bertentangan dengan undang-undang
yang menjadi payung utamanya.
B. Rekomendasi
1. Pembentukan suatu task force yang bertugas untuk mengidentifikasi dan memberi rekomendasi
kepada pemerintah untuk menyelaraskan, menyesuaikan dan bahkan mencabut peraturan per
undang-undangan yang saling bertentangan atau sudah tidak relevan lagi di masa sekarang.
2. Optimalisasi kinerja Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di bawah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam melaksanakan fungsinya yang penting, yaitu mengharmoni
68
sasikan dan mensinkronisasikan rancangan peraturan perundang-undangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, sederajat atau pun yang lebih rendah.
3. Pelibatan para pemangku kepentingan dalam setiap proses pembentukan peraturan perundang-
undangan.
4. Penguatan koordinasi kebijakan dan hukum antar kementerian dan lembaga negara guna mencegah
peraturan perundang-undangan tidak bertentangan satu dengan yang lain.
5. Sentralisasi pusat data seluruh peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat nasional hingga
daerah ke dalam suatu pusat data yang dapat diakses secara online oleh masyarakat.
6. Memperjelas apakah keuangan Badan Usaha Milik Negara merupakan keuangan negara karena
akibat ketidakjelasan ini, banyak terjadi tindakan-tindakan bisnis (perdata) dikriminalisasikan oleh
aparat penegak hukum.
7. Pusat data online dari Mahkamah Agung agar menyertakan kartu katalog mengenai isi putusan
karena putusan Mahkamah Agung ini dapat menjadi norma patokan dalam berusaha dan mengambil
risiko usaha.
8. Informasi korporasi, keuangan korporasi dan informasi mengenai penjaminan atau pembebanan
harta yang terbuka kepada publik secara online, untuk mendukung kepastian berusaha.
9. Melakukan pengkajian secara cermat terhadap Bilateral Investment Treaty (BIT) yang dimiliki Indo
nesia dengan negara-negara lain dengan mempertimbangkan segala aspek untuk menilai apakah
BIT memang tetap diperlukan dan berhubungan langsung dengan minat investasi dari para investor,
dan juga dalam kaitannya dengan sejumlah varian FTA (Free Trade Agreement) Indonesia dengan
berbagai negara.
A. Permasalahan
Prosedur perizinan di Indonesia kompleks, lama dan relatif mahal. Untuk memulai usaha di Indonesia
dibutuhkan sebanyak 12 prosedur yang harus ditempuh dengan waktu 151 hari (kedua terlama di Asia
setelah Laos) dan biaya sekitar 130,6% pendapatan per kapita (keempat termahal di Asia setelah Kam
boja, Yaman, dan Lebanon) atau sekitar US$ 1.163 (ketujuh termahal di Asia setelah Arab Saudi, Uni
Emirat Arab, Lebanon, Korea, Kamboja, dan Yaman). Adapun terdapat 12 perizinan yang diperlukan
meliputi prosedur untuk mendapatkan nama perusahaan dari Kemenkumham hingga mendaftarkan
pada program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Bappenas, 2005). Bahkan pada sektor-sektor tertentu, jumlah
perizinan yang wajib dimiliki berjumlah ratusan izin, misalnya untuk mendirikan pabrik sepatu diperlukan
170 izin (Eddy Widjanarko, Ketua Umum APRISINDO, 2013).
Persoalan perijinan erat terkait dengan pungutan daerah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah.
Pengaturan mengenai pajak dan retribusi tersebut seringkali tidak jelas klausulnya dan tumpang tindih
antara pengaturan yang satu dengan yang lainnya. Ketidakjelasan ini tidak hanya menyebabkan pajak
dan retribusi berbiaya tinggi tetapi juga tidak jelas besarannya. Pengenaan pajak seperti ini dinilai akan
69
menambah beban investasi, sehingga akan berdampak jangka panjang dan menyurutkan minat investor
menanamkan modal di Indonesia.
B. Rekomendasi
1. Pemerintah Pusat membentuk suatu task force untuk mengidentifikasi permasalahan perizinan dan
yang akan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat untuk memangkas jenis, jumlah
dan jangka waktu pembuatan izin yang harus dimiliki oleh pengusaha dan serta meningkatkan
kualitas pelayanan publik, terutama terkait dengan pembenahan birokrasi yang berbelit dan
pembersihan pungutan liar.
2. Pemerintah harus mencabut Perda mengenai pajak dan retribusi daerah yang tidak jelas dan
tumpang tindih yang tidak hanya menyebabkan penarikan pajak dan retribusi berbiaya tinggi tetapi
juga tidak jelas besarannya.
3. Pelimpahan kewenangan pengawasan Perda oleh Presiden ke Kementrian Keuangan untuk
mengevaluasi Perda-Perda yang bermasalah, terutama yang terkait dengan perizinan dan serta
pajak dan retribusi, baik itu tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pencabutan Perda ini juga harus
diikuti dengan pengawasan ketat dari Pemerintah guna memastikan bahwa pemerintah-pemerintah
daerah tersebut tidak menerapkan Perda yang telah dibatalkan oleh Pemerintah.
4. Monitoring dan Evaluasi secara terlembaga atas implementasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)
agar sesuai tujuannya untuk menjadikan perijinan usaha lebih sederhana, lebih cepat, dan dengan
biaya sewajarnya.
III. Ketenagakerjaan
A. Permasalahan
Demonstrasi buruh terutama sering terjadi pada saat saat negosiasi penetapan upah minimum yang
seringkali melampaui kewajaran kemampuan dunia usaha. DKI Jakarta menaikan upah minimum secara
signifikan pada tahun 2013, dari besaran minimum Rp 1.529.000,00 pada tahun 2012 menjadi Rp
2.200.000,00 pada tahun 2013 dan mencapai besaran minimum Rp 2.441.301,00 pada tahun 2014.
Kenaikan upah minimum ini kerap menjadi bahan kampanye yang didasarkan pada kebijakan populis
para politikus, bukan berdasarkan tingkat skala ekonomi suatu daerah yang sebagaimana seharusnya
penetapan dilakukan. Permasalahan yang kemudian timbul dan menghambat investasi adalah besarnya
upah yang dikeluarkan tidak sebanding dengan kualitas dan produktivitas pekerja yang tersedia.
Penyelesaian permasalahan industrial yang seringkali menimbulkan konflik berkepanjangan juga
menyemarakkan permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia.
B. Rekomendasi
1. Penentuan upah minimum harus didasarkan pada skala ekonomi suatu daerah, bukan pada kebijak
an populis para politikus. Oleh karenanya, penentuan upah minimum sebagai jaring pengaman (safety
net) ditentukan secara teknokratik oleh sebuah lembaga independen yang kredibel dan tersentralisir.
70
Lembaga Independen ini akan menentukan besaran upah minimum yang objektif dengan mem
perhatikan skala ekonomi suatu daerah. Kepala daerah tidak dapat menetapkan jumlah upah
minimum yang lebih tinggi dari nilai yang telah ditentukan oleh Lembaga Independen.
2. Pemerintah Pusat perlu mengajukan revisi atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan guna mengakomodasi tiga kepentingan, yaitu: pekerja, pengusaha dan pencari
kerja. Selain daripada itu, terdapat pasal-pasal di dalam UU Ketenagakerjaan yang menimbulkan
multi interpretasi dan membingungkan pengusaha, misalnya mengenai upah proses, outsourcing,
pemborongan pekerjaan, dan lain sebagainya.
3. Memperkuat kegiatan operasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kepolisian Republik
Indonesia, Kejaksaan Agung dan Lembaga Peradilan dalam melakukan penindakan terhadap
pelanggaran di bidang ketenagakerjaan, misalnya demonstrasi yang disertai perusakan fasilitas
perusahaan dan kekerasan.
4. Pemerintah perlu menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan antar
serikat pekerja, pengusaha dan pemerintah dengan mengedepankan dialog tripartit yang intensif
untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
INFRASTRUKTUR
A. Permasalahan
B. Rekomendasi
1. Penegakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum secara konsisten guna mempercepat pembangunan infrastruktur strate
gis. Namun, pelaksanaan peraturan perundang-undangan ini harus juga memperhatikan ketahanan
pangan dan lingkungan hidup di Indonesia.
2. Memangkas jumlah, jangka waktu dan menyederhanakan proses perizinan yang dibutuhkan oleh
pelaku usaha dalam rangka pembangunan infrastruktur.
3. Memperkuat kegiatan operasi Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejagung, Polri dan Lembaga Per
adilan dalam memberantas oknum-oknum pejabat yang korup yang mengakibatkan terhambatnya
pembangunan infrastruktur dan ekonomi biaya tinggi.
4. Polri dan Kejagung harus menghentikan kriminalisasi dari tindakan bisnis (perdata) yang akhir-
akhir ini marak terjadi di Indonesia. Hal ini menghilangkan kepercayaan para penanam modal
terhadap hukum Indonesia sehingga menghambat pembangunan infrastruktur.
5. Kewajiban pemerintah untuk pengadaan infrastruktur harus didukung oleh kemampuan pembiayaan
pemerintah.
71
LINGKUNGAN HIDUP
A. Permasalahan
Luas hutan Indonesia terus menciut. Luas penetapan kawasan hutan pada tahun 1950 adalah 162 juta
hektar, tahun 1992 menjadi 118,7 juta hektar, pada tahun 2003 berkurang menjadi 110 juta hektar dan
pada tahun 2005 kembali berkurang menjadi 93,92 juta hektar (Kementerian Kehutanan (“Kemenhut”)).
Terus berkurangnya lahan hutan Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik
dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber
pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi.
Padahal sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengem
bangan sistem pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian pembanguan berkelanjutan yang ber
wawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin
kepastian hukum bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup.
B. Rekomendasi
72
KETAHANAN PANGAN
A. Permasalahan
Status produksi pangan Indonesia cukup mengkhawatirkan. Kemampuan untuk memenuhi sendiri
kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun sebagai akibat dari pengabaian sektor pertanian
(penyusutan luas lahan sawah). Hal ini dibuktikan dengan impor produksi bahan pangan utama yang
terus meningkat. Pada bulan September 2013 terdapat 51 ribu ton beras yang diimpor atau senilai USD
27 juta atau Rp 306,2 miliar. Sementara bulan sebelumnya, impor beras tercatat 36 ribu ton atau USD
19,1 juta. Jika diakumulasikan selama sembilan bulan ( Januari-September 2013), impor sudah mencapai
353.485 ton atau USD 183,3 juta (Data Badan Pusat Statistik). Selain itu, keberhasilan program peningkatan
ketahanan pangan juga bergantung bagaimana Pemerintah memecahkan permasalahan peralihan
pemanfaatan lahan pertanian menjadi pemukiman, industri, pertambangan dan lain sebagainya. Pada
tahun 2004 terdapat 7,9 juta hektar lahan sawah dan oleh karenanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
berjanji merevitalisasi pertanian dengan menambah luas sawah. Namun, kenyataannya sekarang luas
sawah tinggal 7,3 juta hektar atau turun 600.000 hektar dibandingkan pada tahun 2004 (Andreas
Prasetyantoko, Kompas 2014).
B. Rekomendasi
73
ENERGI
A. Permasalahan
Kepastian hukum di bidang investasi tambang dan migas pada tahun 2013 mengalami goncangan yang
luar biasa. Selain kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia yang dimasukkan ke dalam ranah
tindak pidana korupsi, kasus kebijakan bea ekspor hasil tambang mineral olahan yang merugikan bebe
rapa kontrak yang sedang berjalan membuat sanctity of contract menjadi hal yang tabu di Indonesia.
Kesewenang-wenangan dan tindakan gegabah Pemerintah dalam mengkaji dan membuat kebijakan
baru menimbulkan pemerosotan iklim bisnis di berbagai sektor.
B. Rekomendasi
1. Pemerintah harus menjunjung tinggi sanctity of contract dengan tidak menyalahgunakan kekua
saannya untuk melakukan perubahan secara sepihak atas perjanjian-perjanjian yang disepakati
oleh Pemerintah dengan perusahaan-perusahaan di sektor migas dan pertambangan.
2. Pemerintah harus menghentikan kriminalisasi kasus-kasus perdata oleh Polri dan Kejagung yang
dapat merongrong kewibawaan Pengadilan Tipikor, Polri dan Kejagung sendiri.
3. Pemerintah memangkas jenis, jumlah dan jangka waktu pembuatan izin yang harus dimiliki oleh
pengusaha dan serta meningkatkan kualitas pelayanan publik, terutama terkait dengan pembenahan
birokrasi yang berbelit dan pembersihan pungutan liar.
PERTANAHAN
A. Permasalahan
Dalam era pembangunan dewasa ini, arti dan fungsi tanah berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi.
Kinerja birokrasi menjadi sorotan utama dalam masalah pertanahan. Konflik pertanahan yang terjadi
mayoritas disebabkan oleh kinerja birokrasi yang buruk, seperti penguasaan tanah tanpa hak, sengketa
batas tanah, jual beli tumpang tindih yang menyebabkan sertifikat ganda dan oknum-oknum yang
bermain dalam pengadaan tanah.
B. Rekomendasi
1. Pemerintah perlu mengelola administrasi pertanahan secara profesional dan akurat agar terhindar
dari permasalahan sertifikat ganda.
2. Pemerintah perlu menertibkan penerbitan perizinan terkait pengadaan tanah dengan cermat,
akurat dan bebas pungutan liar guna menghindari ekonomi biaya tinggi dan tumpang tindih.
3. Pemerintah perlu memberantas mafia-mafia tanah yang mengakibatkan mahalnya biaya pengadaan
tanah.
4. Pemerintah secara tegas perlu melaksanakan peraturan perundang-undangan terkait dengan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara konsisten.
74
5. Pemerintah perlu membangun data base online kepemilikan dan penguasaan tanah skala besar
guna mencegah sertifikat ganda.
6. Pemerintah perlu membenahi pembebasan lahan untuk kepentingan umum dengan kompensasi
yang sesuai dan tidak ada perbedaan harga dalam satu wilayah pembebasan.
TATA RUANG
A. Permasalahan
Sebagian dari daerah yang ada di Indonesia sudah mulai memperhatikan perencanaan tata ruang dan
wilayah, namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan. Karena itu banyak
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dan dibiarkan. Disamping itu perencanaan tata ruang dan tata
wilayah di kota maupun desa di Indonesia seringkali berubah. Perubahan ini diikuti dengan perubahan
fungsi dari sebagaimana seharusnya. Pada umumnya perubahan fungsi ini disebabkan oleh konflik
kepentingan antar sektor: pertambangan, lingkungan, prasarana wilayah dan lainnya. Perubahan fungsi
ini kerap dijadikan bahan permainan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
B. Rekomendasi
1. Diperlukan adanya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait dengan
penetapan tata ruang dan tata wilayah guna menghindari ketidakpastian hukum dan berinves
tasi.
2. Memperkuat BKPRN dalam melaksanakan fungsi-fungsinya, yang salah satunya adalah menyiapkan
kebijakan penataan ruang nasional; penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam
penyelenggaraan penataan ruang di tingkat nasional dan daerah; pemaduserasian berbagai per
aturan perundang-undangan yang terkait dengan penataan ruang; dan pemantauan pelaksanaan
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
3. Pemerintah perlu memberitahukan sebelumnya kepada investor ataupun diumumkan secara publik
apabila terjadi perubahan tata ruang.
4. Pemerintah perlu melakukan penentuan tata ruang yang difokuskan pada pelestarian lingkungan
hijau.
5. Pemerintah perlu membersihkan oknum yang kerap menjadi makelar untuk perubahan tata ruang.
75