Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG
DILARANG DALAM ISLAM

Mata Kuliah Ekonomi Islam

Dosen Pengampu :
Syukri Rosadi, M.E.Sy

Di susun :
Agung Pratama

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TUANKU TAMBUSAI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KABUPATEN ROKAN HULU
PASIR PENGARAIAN
PROVINSI RIAU
TH. 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah. Kepada-Nya kita memuji, meminta pertolongan, petunjuk dan
ampunan. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kita dan keburukan perbuatan kita. Siapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang
disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, Yang Maha
Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan
Allah. Allah berfirman:

َ ‫ق تُقَاتِ ِه َواَل تَ ُموتُ َّن إِاَّل َوأَ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُم‬


‫ون‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
َّ ‫ين آَ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َح‬
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah, dan jangan sekali-kali mati
kecuali sebagai muslim.” (Ali Imran : 102)

Dengan pertolongan allah sajalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah


“TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG DILARANG DALAM ISLAM“ yang digunakan sebagai
salah satutugas matakuliah “EKONOMI ISLAM“.
Kami ucapkan banyak terima kasih,semoga makalah ini bisa membantu bagi siapa yang
membutuhkan,sedikit pengetahuan tentang Turunnya al-qur’an dengan sab’atu ahruf .
Namun demikian,makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,segala kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan untuk di masa yang akan datang.

Pasir Pengaraian, 01 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii

BAB I...............................................................................................................................................1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1

C. Tujuan Masalah.....................................................................................................................2

BAB II..............................................................................................................................................3

PEMBAHASAN..............................................................................................................................3

A. Pengertian Syari’ah dan Fiqh................................................................................................3

B. Perbedaan dan Persamaan Syari’ah dan Fiqh.......................................................................5

C. Sebab-sebab terlarangnya suatu transaksi dalam Islam........................................................5

D. Pengertian Gharar dan Dasar Hukum Gharar.....................................................................10

E. Macam-macam Gharar.......................................................................................................12

F. Pengertian dan Dasar Hukum Riba.....................................................................................12

G. Jenis-jenis Riba dan Contohnya..........................................................................................13

BAB III..........................................................................................................................................15

KESIMPULAN..............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah, karena fiqh
itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelum membahas
tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dibahas arti dan hakikat syariah.

Pada zaman yang modern ini, tidak jarang kita melakukan transaksi setiap
harinya. Karena kita makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, maka
sering kali kita melakukan transaksi. Contohnya ketika kita berangkat kuliah, kita naik
kendaraan umum lalu membayarnya. Hal tersebut merupakan salah satu contoh transaksi.
Atau kita naik kendaraan pribadi lalu mengisi bahan bakar, kemudian kita membayar
dengan uang dan mendapatkan bahan bakar. Hal tersebut juga merupakan transaksi.

Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang,
kecuali yang ada ketentuan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sedangkan dalam
urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.

Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya
dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat
implikasi dari dalil Quran dan Hadis yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun
implicit. Dengan demikian, dalam bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan kecuali
yang diharamkan.

Didalam Islam tidak hanya memperhatikan ibâdah (hablum minallah), tapi juga
memperhatikan hal-hal yang sifanya muamalah, yaitu mengatur hubungan manusia
dengan sesamanya (hablum minannâs), yang meliputi berbagai aspek ajaran mulai dari
persoalan hak atau hukum (the right) sampai kepada urusan per-ekonomian, yaitu
lembaga keuangan. Islam juga sangat memperhatikan unsur etika dalam pelaksanaannya.
Islam melarang unsur eksploitasi berupa Riba dan transaksi-transaksi yang belum jelas
bentuknya, yaitu Gharar.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Syari’ah dan Fiqh


2. Apa Perbedaan dan Persamaan Syariah dan Fiqh
3. Apa Sebab-sebab terlarangnya suatu transaksi dalam Islam
4. Apa Pengertian Gharar dan Dasar Hukum Gharar
5. Apa Saja Macam-macam Gharar
6. Apa Pengertian dan Dasar Hukum Riba
7. Apa saja Jenis-jenis Riba dan Contohnya

2
C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui Pengertian dari Syari’ah, dan Fiqh


2. Untuk mengetahui Perbedaan dan Persamaan dari Syari’ah, dan Fiqh
3. Untuk mengetahui Apa saja sebab-sebab terlarangnya suatu transaksi dalam islam
4. Untuk mengetahui Pengertian Gharar dan Dasar Hukum Gharar
5. Untuk mengetahui Macam-macam Gharar
6. Untuk mengetahui Pengertian dan Dasar Hukum Riba
7. Untuk mengetahui Jenis-jenis Riba dan Contohnya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syari’ah dan Fiqh

1. Pengertian Syari’ah
Syariat menurut bahasa ialah : tempat yang didatangi atau dituju oleh manusia
dan hewan guna meminum air. Menurut istilah ialah : hukum-hukum dan aturan yang
Allah syariatkan buat hambanya untuk diikuti dan hubungan mereka sesama
manusia. Disini kami maksudkan makna secara yang istilah yaitu syari’at tertuju
kepada hukum yang didatangkan al-qur’an dan rasulnya, kemudian yang disepakati
para sahabat dari hukum hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nash
dari al-qur’an atau as-sunnah. Kemudian hukum yang diistimbatkan dengan jalan
ijtihad, dan masuk ke ruang ijtihad menetapkan hukum dengan perantaraan qiyas,
karinah, tanda-tanda dan dalil-dalil.
Syari’ah adalah norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia
dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Yang berupa (a) kaidah ibadah, meng
atur cara dan upacara hubungan langsung manusia dengan Allah, (b)
kaidah muammalah, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat.
Kaidah ibadah sifatnya tertutup, berlaku asas bahwa, semua perbuatan ibadah
dilarang dilakukan, kecuali kalau perbuatan itu telah ditetapkan oleh Allah,
dicontohkan oleh Rasul-Nya. Dilapangan ibadah tidak ada pembaharuan (bid’ah).
Kaidah muamalah pokok-pokoknya saja yang ditentukan dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasul (Nabi Muhammad). Perinciannya terbuka bagi akal manusia untuk
berijtihad.
Di Indonesia terlihat dalam Pasal. 3 dan 4 UU no. 1 Thn. 1974 tentang
Perkawinan, menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki
kalau ia hendak beristri lebih dari seorang.
Kaidah asal bidang muamalah adalah kebolehan (ja’iz atau ibahah). Dibidang
muamalah dapat (boleh) dilakukan pembaharuan atau modernisasi, asal tidak
bertentangan dgn. Ajaran Islam.
2. Pengertian Fiqh

Fiqh ialah mengetahui sesuatu memahaminya dan menanggapnya dengan


sempurna. Di dalam bahasa Arab, perkataan fiqih yang di dalam bahasa Indonesia
ditulis fikih atau fiqih atau kadang–kadang feqih, artinya faham atau pengertian.
Kalau dihubungkan perkataan ilmu tersebut di atas, dalam hubungan ini dapat juga
dirumuskan, ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan
norma-norma dasar dan ketentuan- ketentuan umum yang terdapat di dalam al-
Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam dalam kitab-kitab Hadits.
Dengan kata lain, ilmu fikih, selain rumusan di atas, adalah ilmu yang berusaha
memahami hukum- hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi
Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat
akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum islam.
fiqh dan syariah memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di
dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah
dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu sebagian terdapat secara tertulis dalam
kitab-Nya yang disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang
amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’ah,
sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan
bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan yang terinci. Ketentuan
yang terinci tentang amaliah manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan
sebagai hasil pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh.
Di samping uraian di atas, dalam membahas fiqh sering ditemui pengertian
hukum dalam pengertiannya menurut ilmu hukum (hukum sekuler), artinya fiqh juga
memuat pembahasan beberapa ketentuan sanksi terhadap tindak criminal (jarimah),
bagian-bagian hukum waris (mawaris), hukum perkawinan (munakahat), hukum
perdagangan, hukum pidana (jinayah) dan lain-lain. Meskipun matan fiqh tersebut
dalam beberapa hal masih tampak sederhana, namun sudah bisa dikatakan cukup
maju untuk masanya. Jadi kesederhanaan itu bukan lantaran ketinggalan jaman,
namun sesuai dengan tuntutan waktu ketika pemikiran fiqh dihasilkan.
B. Perbedaan dan Persamaan Syari’ah dan Fiqh

1. Perbedaan Syari’ah dan Fiqh

- Syariat : Bawa syari’at, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan sabda Rasulullah,
merupakan dasar-dasar hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, yang
wajib diikuti oleh orang islam dasar-dasar hukum ini dijelaskan lebih lanjut oleh
Nabi Muhammad sebagai Rosul-Nya.
- Fiqh artinya faham atau pengertian., dapat juga dirumuskan sebagai ilmu yang
bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan-
ketentuan umum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad
yang direkam dalam kitab-kitab hadits, dan berusaha memahami hukum-hukum
yang terdapat di dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad untuk diterapkan
pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang
berkewajiban melaksanakan hukum islam.
2. Persamaan Syari’ah dan Fiqh

Fiqh adalah aturan yang baru diterapkan pada zaman nabi Muhammad dan
setelahnya, dan sebelumnya belum pernah ada istilah fiqh di masa nabi-nabi
sebelumnya. Syariat adalah aturan Allah yang telah diterapkan sejak nabi terdahulu
Adam, As. Hingga sekarang dan berlaku sangat umum.

C. Sebab-sebab terlarangnya suatu transaksi dalam Islam

1. Haram li Dzatihi

Suatu transaksi dilarang karena objek atau jasa yang ditransaksikan memang
dilarang atau haram untuk ditransaksikan. Dengan kata ini dinamakan haram li
dzatihi. Misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Dalam hal
ini, transaksi jual beli minuman keras adalah haram, walaupun akad jual beli nya sah.
Dengan demikian, bila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian
minuman keras kepada bank dengan menggunakan akad mudharabah, maka
walaupun akadnya sah tetapi transaksi ini haram karena objek transaksinya haram.
Sebagaimana firman Allah SWT, Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu
(memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut
nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak
Menganiaya dan tidak
pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S An-Nahl: 115).
Hadits Rasulullah Saw

Diriwayatkan dari Ibn Abas r.a. ‘’Telah sampai berita kepada Umar bahwa Samurah
menjual tuak. Kemudian Umar berkata, semoga Allah memerangi Samurah, tidak tahukah
dia bahwa Rasulullah saw. Bersabda: Allah mengutuki orang-orang Yahudi, telah
diharamkan atas mereka lemak, maka mereka memaksanya untuk dicairkan, kemudian
menjualnya.’’
2. Haram Selain Zatnya (Haram li
Ghairihi)

a. Melanggar Prinsip An-taradin Minkum

Salah satu transaksi yang melanggar prinsip an-taradin minkum (sama-


sama suka) adalah tadlis. Secara bahasa tadlîs artinya al-khidâ wa al-ibhâm wa
at- tamwiyah (penipuan, kecurangan, penyamaran, penutupan). Para ahli fikih
mengartikan tadlîs di dalam jual-beli adalah menutupi aib barang. Hanya saja dari
deskripsi nash yang ada, meskipun barangnya tidak ada cacatnya, tadlis tetap
terjadi jika barang yang diterima pembeli ternyata tidak sesuai dengan yang
dipromosikan sejak awal dan yang ditunjukkan. Islam melarang transaksi yang
tidak berdasarkan pada prinsip kerelaan antar semua pihak (tidak sama-sama
ridha). Karena, kondisi ideal sebuah pasar adalah apabila penjual dan pembeli
mempunyai informasi yang sama tentang barang yang akan di perjualbelikan.
Apabila salah satu pihak tidak mempunyai informasi seperti yang dimiliki oleh
pihak lain, maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi kecurangan,
penipuan atau tadlis. Menurut Adiwarman ada empat jenis tadlis yaitu:
1) Tadlis dalam Kuantitas

Tadlis dalam Kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barang


kuantitas sedikit dengan harga barang kuantitas banyak. Contoh penjual yang
mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya.
2) Tadlis dalam Kualitas
Tadlis dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacat atau
kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakati oleh
penjual dan pembeli. Salah satu contoh tadlis dalam kualitas adalah praktik
perdagangan barang elektronik.
3) Tadlis dalam Harga

Tadlis dalam harga ini termasuk menjual barang dengan harga yang
lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli
atau penjual. Dalam fiqih disebut ghaba. Contohnya seorang pengelola jasa
angkutan di suatu daerah memasang tarif sepuluh kali lipat lebih mahal dari
tarif biasanya kepada Warga Negara Asingyang ingin menggunakan jasanya.
4) Tadlis dalam Waktu Penyerahan

Tadlis dalam waktu penyerahan adalah bila si penjual mengetahui


bahwa ia tidak akan dapat menyerahkan barang yang ditransaksikan pada esok
hari, tapi ia menjanjikan kepada pembeli akan menyerahkan barang tersebut
pada esok hari.
b. Melanggar Prinsip Laa Tadhlimun wa Laa Tudhlamun (Jangan Mendhalimi dan
Jangan Terdhalimi)
1) Gharar artinya keraguan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak
lain. Suatu akad mengandung unsur gharar, karena tidak ada kepastian, baik
mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecilnya jumlah maupun
menyerahkan akad tersebut
2) Ihtikar (Penimbunan Barang) Penimbunan adalah membeli sesuatu yang
dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya, sehingga barang tersebut
berkurang dipasaran dan mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti
ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaannya/sulit
didapat dan harganya yang tinggi. Dengan kata lain penimbunan mendapatkan
keuntungan yang besar di bawah penderitaan orang lain.
3) Reakayasa Permintaan (Baian Najsy) yaitu produsen atau pembeli menciptakan
permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk
sehingga harga jual produk tersebut akan naik.
4) Riba adalah penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang
tidak dapat terlihat adanya kesamaan menurut timbangan syara pada waktu akad-
akad, atau disertai mengakhirkan dalam tukar-menukar atau hanya salah satunya.
Dasar hukum tentang larangan riba sangatlah banyak baik dalam al-Quran
maupun hadits Nabi.
5) Perjudian (Maysir) Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua
pihak atau lebih, di mana mereka menyerahkan uang atau harta kekayaan tertentu,
kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan,
tebak sekor bola, atau media lainnya. Pihak yang menang berhak atas hadiah yang
dananya dikumpulkan dari kontribusi para pesertannya. Sebaliknya, bagi pihak
yang kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh pemenang.
Allah telah melarang judi (maysir). Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Al-Maidah:
90).
6) Suap-Menyuap (Risywah) Yang dimaksud dengan perbuatan risywah adalah
memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan
haknya. Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada di dalam
masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan.
Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak
membayar. Allah telah melarang pebuatan risywah atau suap-menyuap dalam al-
Quran: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta
benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
(Q.S.Al- Baqarah: 188).

c. Transaksi Yang Tidak Lengkap Akadnya

Suatu transaksi tidak masuk kategori haram li gairihi maupun tidak melanggar
laa tazlimuna wa laa tuzlamun, belum tentu halal. Masih ada kemungkinan transaksi
tersebut menjadi haram bila akad transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu
transaksi dapat dikatakan tidak sah dan atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah
satu atau lebih faktor-faktor berikut:
1) Terjadi ta alluq (jual beli bersyarat) Ta alluq terjadi apabila ada dua akad saling
dikaitkan di mana berlakunya akad pertama tergatung pada akad kedua, sehingga
dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada pada akad)
yaitu abjek akad.
2) Two in one (safqatain fi al-safqah) Two in one atau safqatain fi al-safqah adalah
kondisi di mana satu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi
ketidakpastian mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku). Contoh dari
two in one atau safqatain fi al-safqah adalah transaksi sewa-beli. Dalam transaksi ini
terjadi ketidakjelasan dalam akad, karena tidak diketahui akad mana yang berlaku
akad jual beli atau akad sewa.

d. Transaksi Calo, Makelar, dan Spekulasi

1) Calo adalah orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk
menguruskan sesuatu berdasarkan upah, perantara atau makelar. Dalam bahasa Arab,
calo sering disebut dengan simsarah. Calo dibolehkan dalam Islam dengan syarat-
syarat tertentu. Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk menyempurnakan
akad-akad, termasuk di dalamnya menyempurnakan perjanjian seorang pedagang
dengan calo. (Q.S. Al- Maidah: 1). Ada sebuah hadits yang diriwayatkan Qais bin
Abi Gorzah: Kami pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam disebut
dengan samasirah (calo), pada suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wassalam
menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari calo,
beliau bersabda: Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang diselingi
dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka perbaikilah
dengan (memberikan) sedekah (HR Ibnu Majah).
2) Makelar, dalam bahasa Arab disebut dengan simsar. Dan kerja makelar disebut
simsarah, atau perantara perdagangan yaitu orang yang menjualkan atau yang
mencarikan pembeli. Atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan
jual beli. Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah samsarah
atau simsarah. Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang menjadi
perantara antara pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi jual beli.
Hukum
Makelar Dalam Islam Imam Bukhari berkata: Ibnu Sirin, Artha, Ibrahim, dan Hasan
memandang bahwa Dari Ibnu Abbas r.a., dalam perkara pengertian simsar, ia
berkata,tidak mengapa, kalau seseorang berkata, Jualah kain ini dengan harga
sekian,berapapun lebihnya (dari penjualan itu) adalah untuk engkau.
3) Spekulasi, Menurut kamus besar bahasa Indonesia spekulasi berarti pendapat atau
dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan yang bersifat untung-untungan;
(perihal) membeli atau menjual sesuatu yang mungkin mendatangkan untung besar.
Kata spekulasi berasal dari bahasa latin speculate yang merupakan bentuk kalimat
lampau dari speculari yang artinya melihat kedepan, mengamati, dan menelaah.
Istilah spekulasi sering digunakan untuk merangkul antara investasi dengan judi,
istilah spekulasi digunakan untuk kegiatan yang biasanya dianggap investasi tetapi
dilakukan dengan cara yang menjurus kepada perjudian. Spekulasi mengabaikan
faktor risiko yang mungkin muncul. Contohnya, membeli kendaraan bermotor yang
surat-suratnya tidak ada atau hilang, atau membeli rumah yang sertifikatnya hilang,
dengan harga yang sangat murah. Spekulasi berbeda dengan investasi meski masing-
masing mengandung ketidakjelasan.

D. Pengertian Gharar dan Dasar Hukum Gharar

1. Pengertian Gharar

Gharar dalam bahasa arab adalah al-khathr; pertaruhan, ataupun al-jahalah;


ketidakjelasan. Gharar merupakan bentuk keraguan, tipuan, atau tindakan yang ber-
tujuan untuk merugikan orang lain. Dilihat dari berbagai arti kata tersebut, yang
dimaksud dengan Gharar adalah sesuatu transaksi entah penjualan maupun
pembelian yang unsur- unsurnya tidak tau kejelasannya seperti apa. Gharar dilarang
dalam Islam bukan untuk menjauhi risiko. Tentu saja risiko yang sifatnya komersil
disetujui dan didukung dalam Islam. Setiap jenis kontrak yang bersifat open-ended
mengandung unsur gharar.

2. Dasar Hukum Gharar

Alquran dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang mengandung unsur
kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain: hal itu mungkin dalam segala
bentuk penipuan atau kejahatan, atau memperoleh keuntungan dengan tidak
semestinya atau risiko yang menuju ketidakpastian di dalam suatu bisnis atau
sejenisnya. Dalam
Q.s. al-An’am [6]: 152 dijelaskan sebagai berikut:

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah, yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (Q.s. al-An’am [6]: 152)
Gharar hukumnya dilarang dalam Islam,oleh karenanya melakukan transaksi atau
memberikan syarat dalam akad yang ada unsur ghararnya hukumnya tidak boleh.
Sebagaimana hadis menyebutkan:

Rasulullah Saw. melarang jual beli yang mengandung gharar. (H.r. Bukhâri
Muslim).

Bisnis yang sifatnya gharar tersebut merupakan jual beli yang tidak
memenuhi perjanjian dan tidak dapat dipercaya, dalam keadaan bahaya, tidak
diketahui harganya, barangnya, keselamatannya-kondisi barang-, waktu
memperolehnya. Dengan
demikian antara yang melakukan transaksi tidak mengetahui batas-batas hak yang
diperoleh melalui transaksi tersebut. Sedangkan dalam konsepsi fikih yang termasuk
ke dalam jenis gharar adalah membeli ikan dalam kolam, membeli buah-buahan yang
masih mentah di pohon. Praktik gharar ini, tidak dibenarkan salah satunya dengan
tujuan menutup pintu lagi munculnya perselisihan dan perbuatan kedua belah pihak.
Kalau dilihat dari hukum keharaman dan kehalalannya, jual beli yang
sifatnya gharar terbagi menjadi tiga:
1. Bila kuantitasnya banyak, hukumnya dilarang berdasarkan ijmâ’. Seperti menjual
ikan yang masih dalam air dan burung yang masih di udara.
2. Bila jumlahnya sedikit, hukumnya dibolehkan menurut ijmâ’. Seperti pondasi
rumah (dalam transaksi jual beli rumah).
3. Bila kuantitasnya sedang-sedang saja, hukumnya masih diperdebatkan, namun
parameter untuk mengetahui banyak sedikitnya kuantitas, dikembalikan kepada
kebiasaan.

E. Macam-macam Gharar

1. Gharar Berat jenis ini hukumnya haram, karena dapat menimbulkan perselisihan antar
pelaku bisnis dan akad yang disepakati tidak sah.
Contoh : Menjual buah-buahan yang belum tumbuh dan Memesan barang (akad
salam) untuk barang yang tidak pasti ada pada waktu penyerahan.
2. Gharar Ringan yaitu gharar yang tidak bisa dihindarkan dalam setiap akad dan
dimaklumi menurut ‘urf tujjâr (tradisi pebisnis) sehingga pihak-pihak yang
bertransaksi tidak dirugikan dengan gharar tersebut.
Contoh : Membeli rumah tanpa melihat fondasinya dan Menyewakan rumah dalam
beberapa bulan yang berbeda-beda jumlah harinya.

F. Pengertian dan Dasar Hukum Riba

1. Pengertian Riba

Riba secara bahasa bermakna ziyâdah (tambahan). Dalam menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan “tambahan” dari harta pokok atau modal secara batil. Maksud
dari “tambahan” di sini, yaitu tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak
boleh
dilakukan dengan perbedaan kuantitas, tambahan dalam hutang yang harus dibayar
karena tertunda pembayarannya.
2. Dasar Hukum Riba

Secara umum ditegaskan bahwa riba adalah adalah pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Mengenai hal ini, sesuai dengan firman Allah Swt. sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Q.s. al-Nisâ’ [4]: 41).

G. Jenis-jenis Riba dan Contohnya

secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan
riba jual beli.kelompok pertama ternagi menjadi riba qaradh dan riba dan jual beli.
Kelompok pertama terbagi menjadi riba qaradh dan riba jahiliyah, sedangkan kelompok
kedua ada dua macam, yaitu riba fadl dan nasia’ah.
1. Riba qaradh: suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh)
Contoh : Budi meminjakan uang kepada Ahmad dengan nilai Rp. 200.000 Budi
mengharuskan dan memberikan syarat kepada Ahmad untuk mengembalikan dengan
nilai total Rp. 300.000 maka tambahan yang harus dibayar ahmad bernilai Rp.50.000
dengan nilai uang yang sebelum ahmad pinjam.
2. Riba jahiliyah: utang di bayar lebih dari pokoknya arena si peminjam tidak dapat
membayar pada waktu yang ditentukan.
Contoh : Rizal meminjam Rp 500.000 pada Reza dengan tempo dua bulan. Pada
waktu yang ditentukan, Rizal belum bisa membayar dan meminta keringanan. Reza
menyetujuinya, tapi dengan syarat Rizal harus membayar Rp 550.000.
3. Riba fadl : Riba Fadl disebut juga riba buyû’, yaitu riba yang timbul akibat
pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan
bi mitslin), sama kuantitasnya (sawâ-an bi sawâ-in) dan sama waktu
penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar, yaitu
ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang
dipertukarkan. Contoh : Tukar menukar emas dengan emas, beras dengan beras, dan
suatu barang yang ber nilai ditukar dengan nilainya yang sama, kurang maupun lebih
akan tetapi memenuhi kriteria dari kedua belah pihak.
4. Riba Nasi’ah :Istilah nasî’ah berasal dari kata ( ‫اء‬oo‫ )نس‬yang berarti menunda
menangguhkan, atau menunggu, dan mengacu pada waktu yang diberikan bagi
pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan “tambahan” atau
“premi”. Karena itu, riba nasî’ah mengacu kepada bunga dalam utang.
Contoh : Bella meminjamkan uang senilai Rp. 5.000.000 pada Windi. Windi
disyaratkan membayarnya tahun depan dengan uang senilai Rp. 5.100.000, dan
apabila terlambat 1 tahun maka, tambah Rp. 100.000 lagi, menjadi Rp. 5.200.000 dan
seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun.
BAB III
KESIMPULAN

Dari paparan diatas, dapat kita simpulkan bahwa Syari’ah dan Fiqh, seyogyanya adalah
satu pengertian yang sama. Hanya ada sedikit perbedaan pada penerapan dan pembagiannya.
Keduanya juga memiliki peran masing-masing dalam penerapannya di kehidupan manusia.
Syariat sendiri adalah wahyu Allah dan sabda Rasulullah, merupakan dasar-dasar
hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya, yang wajib diikuti oleh orang islam dasar-
dasar hukum ini dijelaskan lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rosul-Nya.
Fiqh artinya faham atau pengertian, dapat juga diartikan sebagai ilmu yang bertugas
menentukan dan menguraikan norma-norma dasar dan ketentuan- ketentuan umum yang terdapat
di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad yang direkam dalam kitab-kitab hadits.
Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali
yang ada ketentuan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis. Sedangkan dalam urusan muamalah,
semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Adapun faktor-faktor penyebab
dilarangnya suatu transaksi adalah apabila Haram zatnya (haram li dzatihi), Haram selain zatnya
(haram li ghairihi),Tidak sah (lengkap) akadnya.
Dalam islam, terdapat prinsip-prinsip yang harus ditaati ketika kita bertransaksi. Prinsip-
prinsip itu adalah prinsip ”An Taradin Minkum” dan Prinsip ‘La Tazhlimuna Tuzhlamun’.
Transaksi yang melanggar prinsip An Taradin Minkum yaitu tadlis, sedangkan transaksi yang
melanggar Prinsip ‘La Tazhlimuna Tuzhlamun adalah Taghrir, ikhtikar, bai’ najasi, riba, maysir
dan riswah. Ada pula transaksi yang dilarang karena tidak sah akadnya seperti tidak terpenuhinya
rukun dan syarat, ta’alluq, dan two in one.
Gharar adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang
paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti (tidak dihendaki). Dalam syari’at Islam,
jual-beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama dalam
hadis Abu Hurairah yang artinya: “Rasulullah melarang jual-beli al-hashah dan jual beli gharar.”
Riba secara bahasa berarti penambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian.
Sedangkan menurut syara’, riba berarti akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui
perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan mengakhirkan
kedua ganti atau salah satunya. Hukum Riba adalah haram.
DAFTAR PUSTAKA

H. A. Qodri A.Azizy, Transformasi Fiqh dalam Hukum Nasional, membedah


Peradilan Agama, PPHIM Jawa Tengah, Semarang, 2001.
Mukallaf adalah muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi
larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Seseorang
berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun
akal. Sedangkan mujtahid adalah ialah orang-orang yang berijtihad hanya pada
beberapa masalah saja, jadi tidak dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak
mengikuti satu madzhab. Misalnya, Hazairin berijtihad tentang hukum kewarisan
Islam, Mahmus Junus berijtihad tentang hukum perkawinan, A. Hasan Bangil
berijtihad tentang hukum kewarisan dan hukum lainnya.
Prof. Dr. H. M. Rasyidi berijtihad tentang filsafat Islam. Wikipedia, mukallaf.
Mujtahid.
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 5
Hasby ash Shiddieqy, 1974, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakrta, hlm.
200

Anda mungkin juga menyukai