Puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala berkat dan
Penulisan makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang
berguna bagi dirinya sendiri, orang lain dan Tuhan. Berbicara mengenai pendidikan tidak
manusia yang memiliki moral. Dengan menghasilkan output manusia yang bermoral maka
diharapkan kualitas sumber daya manusia dan peradaban suatu bangsa menjadi lebih tinggi.
Orang yang memiliki moral akan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
salah. Penentuan mana yang baik dan salah ini bukan karena hasil paksaan dari pihak luar, tetapi
berasal dari kesadaran sebagai hasil ekstensinya sebagai manusia. Untuk menghasilkan pribadi
yang memiliki moral yang baik, tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap. Tetapi harus melalui
sebuah proses yang sangat panjang. Proses yang panjang inilah yang akan membentuk moral
manusia melalui apa yang dilihat dan dirasakannya saat interaksi dengan dunia sekitar. Interaksi
dengan dunia sekitar, akan membuat seseorang untuk mempelajari atau mengerti bagaimana
Anak yang baru lahir pada dasarnya belum memikiki moral (imoral). Menurut Hurlock
(1980), mengatakan bahwa bayi masih tergolong nonmoral yang berarti bahwa perilakunya tidak
dibimbing norma-norma moral. Anak akan belajar kode moral dari orang-orang di sekitarnya
(orang tua, teman, guru). Belajar berperilaku moral pada masa bayi merupakan suatu proses yang
sangat lambat. Tetapi dasar-dasar kode moral ini ditanamkan pada masa bayi dan akan
Pembentukan moral pada masa anak-anak sangat penting dilakukan mengingat pada masa
ini (anak-anak) adalah masa emas (golden age) bagi seorang anak. Dimana perkembangan
otaknya sangat pesat pada masa golden age ini. Oleh karena itu, penanaman konsep moral harus
dilakukan dengan sangat hati-hati dan oleh orang yang memiliki kompetensi dalam bidang atau
setidaknya yang mnegrti dunia anak. Hal ini, sesuai dengan pendapat Charles H. Spurgeun
sebagaimana yang dikutip oleh Igrea Siswanto dan Sri Lestari (2012), yang mengatakan
“Seorang anak akan menjadi apa kelak tergantung dengan siapa saat ini ia mendapatkan”.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2. Untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan moral dan agama anak usia dini.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Lorens Bagus (1996) dalam Sjarkawi (2006), kata Moral berasal dari bahasa latin, yaitu
dari kata mos (adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), atau mores (adat istiadat, kelakuan,
tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Helden (1977) dan Richards (1971) dalam Sjarkawi (2006), moral
adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang
tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson (1969) dalam Sjarkawi
(2006), mengemukakan moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang
Sedangkan, agama merupakan suatu sistem kepercayaan. Menurut Gazalba (1987) dalam
Ghufron dan Risnawita (2010) mendefenisikan religiutas berasal dari kata religi dalam bahasa Latin
“religio” yang akar katanya adalah religure yang artinya mengikat. Dengan demikian, religi atau agama
mengandung arti aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh
pemeluknya. Monks (1989) agama sebagai keterdekatan yang lebih tinggi dari manusia kepada Yang
Maha Kuasa yang memberikan perasaan aman. Sementara Shihab (1993) menyatakan bahwa agama
hubungan antara makhluk dengan Khalik (Tuhan) yang berwujud ibadah yang dilakukan dalam sikap
keseharian.
Daradjat (1993) dalam Ghufron dan Risnawita (2010) mengatakan, agama merupakan kesadaran
beragama dan pengalaman beragama. Kesadaran beragama adalah aspek yang terasa dalam pikiran yang
merupakan aspek mental dari aktivitas beragama. Sedangkan, pengalaman beragama adalah perasaan
Hurlock (1973) dalam Ghufron dan Risnawita (2010) mengatakan bahwa religi terdiri dari dua unsur,
yaitu unsur keyakinan terhadap ajaran agama dan unsur pelaksanaan ajaran agama. Spinks (1963) dalam
Ghfron dan Risnawita (2010) mengatakan bahwa agama meliputi adanya keyakinan, adat, tradisi, dan
pengalaman individual.
Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan moral dan agama adalah
suatu kesadaran yang dimiliki oleh anak tentang baik tidaknya suatu tindakan dalam menghayati
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikis, anak-anak usia dini juga
perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.
Anak-anak ketika dilahirkan belum memiliki moral (imoral), tetapi dalm dirinya terdapat
potensi moral yang siap dikembangkan. Oleh karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi
dengan orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh
dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Dalam perilaku bermoral didalamnya terdapat nilai-nilai yang dianut. Ini menunjukkan apa yang
baik, benar, patut serta seharusnya terjadi. Jika terjadi peringatan, pembuatan janji, memulai
Sikap moral sebagian besar diteruskan dari generasi ke generasi, penampilan sikap dapat
seseorang. Ia aktif dan selektif membentuk sikap untuk berperilaku bermoral dalam
Dalam mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, Piaget (Hurlock,
1990) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajian pada aturan dalam
permainan anak.
1. Fase absolut, dimana anak menghayati peraturan sebagai sesuatu hal yang mutlak,
tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru,
2. Fase realitas, dimana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang
lain. Dalam permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu
1. Tingkat 1: prakonvensional. Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat
berdasarkan otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karena takut ancaman atau hukuman
dari otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi empat tahap: (1) tahap orientasi terhadap kepatuhan dan
hukuman pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya
kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat
hukuman. (2) tahap relativistik hedonosme pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak
tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki
otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung
2. Tingkat 2: konvensional. Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama
agar diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi
mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang
dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan
benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat. (2) tahap
mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik
dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga
bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai
kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3. Tingkat 3: pasca konvensional. Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari
hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi terhadap
perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik
antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai
kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat. (2) tahap
universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik
(baik/buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan
Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan
bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi sebagai
akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak
dengan lingkungannya.
Anak dilahirkan tanpa moral (imoral) sikap moral untuk berperilaku sesuai nilai-nilai
luhur dalam masyarakat belum dikenalnya. Intervensi terprogram melalui pendidikan, serta
Ini dialami dalam keluarga bersama teman sebaya dan rekan-rekan sependidikan, kawan
Perubahan dan kemajuan dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap
perilaku moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai
masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan
2. Struktur kepribadian.
dengan sistem ID, selaku aspek biologis yang irasional dan tak disadari. Diikuti aspek psikologis
yaitu subsistemego yang rasional dan sadar. Kemudian pembentukan superego sebagai aspek
sosial yang berisi sistem nilai dan moral masyarakat. Ketiga subsistem kepribadian tersebut
kepribadian, berakibat seseorang sukar menyesuaikan diri, merasa tak puas dan cemas serta
perkembangan moral akan berpuncak pada efektifnya kata hati (superego) menampilakan
Ada sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak (Hurlock, 1990).
a. Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila
anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus
dilakukan.
b. Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang
c. Peran interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bayi sejak lahir belum memiliki
moral/nonmoral (Hurlock, 1980). Proses belajar moral bagi amak merupakan suatu hal yang
membutuhkan waktu lama dan lambat. Perkembangan moral anak berawal sejak anak mulai
berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya (termasuk teman bermain, orang tua, dan guru).
Penanaman kode moral anak dimulai sejak awal/usia dini karena perilaku anak pada masa
Menanamkan konsep moral pada anak usia dini harus distimulasi dengan permainan yang
menuntut kerja sama, kedisiplinan. Selain itu, anak diajarkan cara-cara melakukan ibadah yang
disesuaikan dengan karakteristik anak. Orang tua bisa kreatif dengan menempelkan gambar-
gambar yang bernuansa religi, gambar masjid, gereja, pura, dan lain sebagainya. Sehingga
seiring dengan perkembangan otak, anak dapat tahap demi tahap mengerti tata aturan yang
berlaku dalam masyarakat tempat ia tinggal dan pada tahap yang lebih tinggi mampu
Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial
sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: Bumi Aksara.
Siswanto, I. Dan Lestari, S. 2012. Panduan bagi Guru dan Orangtua: Pembelajaran Atraktif dan 100
Permainan Kreatif untuk Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Andi Offset