Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Dewasa kini, berbagai masalah kesahatan di masyarakat semakin kompleks dan
beragam. Permasalahan kesehatan yang sering terjadi di masyarakat tersebut, sering kali
disebabkan oleh hewan-hewan yang ada disekitar manusia. Salah satu hewan yang dapat
membawa dan menyebabkan penyakit kepada manusia ialah sekelompok hewan yang
termasuk dalam kategori serangga dalam hal ini khususnya adalah kelas antrophoda.
Sejatinya tidak semua hewan yang termasuk kategori serangga dapat membawa
penyakit dan memyebabkan penyakit pada manusia. Hal tersebut dikarenakan serangga-
serangga tersebut mempunyai racun (toksik) yang dapat menimbulkan penyakit dan
kesakitan pada manusia. Salah satu contoh antrophoda yang dapat menyebabkan penyakit
taeniasis yang disebabkan oleh cacing Taenia sp.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut megenai penyakit
taeniasis yang disebabkan oleh cacing Taenia sp. Selanjutnya makalah ini juga akan berisi
mengenai epidemiologi, siklus hidup, gejala klinis, pengobatan dan pencegahannya.

II. Rumusan Masalah


1. Apa penyebab penyakit taeniasis?
2. Bagaimana epdemiologi, gejala klinis dan siklus hidup penyakit taeniasis?
3. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit taeniasis?
III. Tujuan
1. Untuk mengetahui penyebab penyakit taeniasis.
2. Untuk mengetahui epdemiologi, gejala klinis dan siklus hidup penyakit taeniasis.
3. Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit taeniasis.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyebab Penyakit Taeniasis


Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taeniadewasa,
sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari
salah satu spesies cacing Taenia. Taeniasis dan sistiserkosis dapat terjadi akibat
pemeliharaan ternak yang tidak dikandang, pengolahan makanan yang kurang matang,
sanitasi lingkungan yang kurang baik, defekasi yang tidak dilakukan yang tidak dilakukan
pada tempatnya, dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan.
Taeniasis tersebar diseluruh dunia dan sering dijumpai pada orang-orang yang selalu
mengonsumsi daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna.
Kondisi kebersihan lingkungan yang kurang baik akibat belum adanya kesadaran
masyarakat untuk melakukan defekasi pada tempatnya, dapat menyebabkan kontaminasi
pada makanan sapid an babi sehingga terjadi taeniasis dan sistiserkosis. Daerah yang
endemic untuk kedua penyakit ini adalah Sumatera Utara, Papua dan Bali. (Margono etal.
2001).
Penularan sistiserkosis dapat melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh
telur cacing Taeniaspp. Penularan juga bisa terjadi secara autoinfeksi akibat kurangnya
kebersihan. Diagnosis taeniasis berdasarkan penemuan telur cacing atau proglotid dalam
feses manusia. Diagnosis pada hewan hidup dapat dilakukan dengan palpasi pada lidah
untuk menemukan adanya kista atau benjolan. Uji serologik bisa juga membantu dalam
mendiagnosis sistiserkosis pada manusia ataupun hewan. Cacing pita dewasa di dalam usus
dapat dibunuh dengan pemberian obat cacing dan pencegahannya dengan menghindari
daging mentah atau daging yang kurang matang, baik daging babi untuk T. solium dan T.
asiatica, dan daging sapi untuk T. saginata. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi
Taenia solium, T. saginata atau T. asiatica, ternak babi ataupun sapi dijauhkan dari tempat
pembuangan feses manusia.

B. Epidemiologi, Gejala Klinis, Siklus Hidup Taeniasis


1. Epidemiologi Taeniasis
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat
dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu
daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Negara Indonesia merupakan
negara dengan mayoritas penduduk merupakan masyarakat beragama muslim dan
tidak mengkonsumsi daging babi. Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan
Papua, yang banyak mengkonsumsi daging babi. Sampai saat ini, Papua masih
menjadi daerah endemik taeniasis dan sistiserkosis. (Provinsi Papua, tepatnya di
Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi taeniasis solium sebesar 15% (Subahar et
al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu merupakan daerah endemis bagi taeniasis dan
sistiserkosis, telah dilakukan penghentian transmisi dari sistiserkosis. (WHO, 2009)
2. Gejala Klinis
Gejala klinis pada babi yang terinfeksi umumnya tidak menunjukkan gejala
klinis sama sekali. Sistiserkus terdapat di otot, otak, hati dan jantung (CFSPH 2005).
Gejala klinis pada manusia umumnya bersifat asimptomatis, namun pada sebagian
kasus pasien akan mengalami rasa sakit pada perut, diare, pada balita sebagian
pasien mengalami muntah, diare, demam dan penurunan berat badan (CFSPH
2005). Gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah dan lokasi larva.
Infeksi Taenia ke manusia dapat melalui makanan yaitu mengonsumsi
daging babi atau sapi yang terinfeksi Taenia yang tidak dimasak sempurna atau
mentah (CDC 2013). Infeksi sistiserkosis akan menyebabkan gejala klinis pada
saluran pencernaan, namun apabila mengkonsumsi sayuran atau makanan yang
tercemar telur Taenia maka cacing tersebu akan tumbuh dan berkembang menjadi
sistiserkosis yang terdapat di otot. (EC 2000). Babi dapat terinfeksi akibat
mengkonsumsi pakan yang tercemar telur cacing atau memakan feses babi yang
terinfeksi. (OIE 2014)
3. Siklus Hidup
Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk
semang yaitu induk semang  definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi
untuk T. saginatadan babi untuk T. solium). T.saginatatidak secara langsung
ditularkan dari manusia ke manusia, akan tetapi untuk T.soliumdimungkinkan bisa
ditularkan secara langsung antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia
yang terinfeksi langsung ke mulut penderita sendiri atau orang lain.
Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat
proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar
bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan
berkembang menjadi onkoster(telur yang mengandung larva). Larva
onkostermenembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh
limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis
(larva cacing T. saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang
disebut sistiserkus.
Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau
setengah matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkanlarva
dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh
menjadi cacingdewasayangtubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat
menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian
termakan oleh sapi. Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan
menetas menjadi larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang
mengikuti siklus hidup seperti di atas. Siklus hidup T. soliumpada dasarnya sama
dengan siklus hidup T. saginata, akan tetapi induk semang perantaranya adalah babi
dan manusia akan terinfeksi apabila memakandaging babi yang mengandung kista
dan kurang matang/tidak sempurna memasaknyaatau tertelan telur cacing.T.
saginatamenjadi dewasa dalam waktu10–12 minggudan T.solium dewasa dalam
waktu 5–12 minggu (OIE,2005). Telur T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan
(tidaktergantung suhu dan kelembaban) sampai beberapa minggu bahkan bisa
bertahan sampai beberapa bulan.
C. Pengobatan dan Pencegahan Taeniasis
4. Diagnosis Teaniasis
Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi
proglotid atau telur cacing dalam feses dibawah mikroskop. Telur cacing
Taeniaberbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing
ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung.
Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan
morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan
proglotidnya. Untuk diagnosis sistiserkosissangat sulit dilakukan pada hewan hidup.
Pada hewan kecil, diagnosis dilakukan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
untuk melihat adanya kista yang sudah mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada
hewan besar biasanya dilakukan secara post mortemdengan melakukan
pemeriksaan daging. Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada lidah babi atau
sapi dengan melakukan palpasi akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit
atau intramuskular. (GONZALEZ et al., 2001)
5. Upaya Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Taeniasis
Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan
menghindari memakan daging yang kurang matang, baik daging babi (untuk T.
solium) maupun daging sapi (untuk T. saginata). Daging yang terkontaminasi harus
dimasak dahulu dengan suhu di atas 56°C. Selain itu, dengan membekukan daging
terlebih dahulu,dapatmengurangi risiko penularan penyakit. Menurut FLISSERet al.
(1986),daging yang direbus dan dibekukan pada suhu -20°C dapat membunuh
sistiserkus. Sistiserkus akanmati pada suhu -20°C, tetapi pada suhu 0–20°C akan
tetap hidup selama 2 bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama 26 hari
Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian obat cacing
praziquantel, epsiprantel, mebendazole, febantel dan fenbendazole. Demikian juga
untuk pengobatan Taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing praziquantel,
niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing dewasa
dalam usus. Adapun sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan melakukan
tindakan operasi (bedah). Berdasarkan laporan dari OIE (2005), hanya sedikit sekali
informasi tentang penggunaan obat cacing terhadap penyakit sistiserkosis pada
hewan. OIE (2008) melaporkan bahwa pengobatan dengan albendazole dan
oxfendazole pada sapi dan babi yang terinfeksi T. saginata dan T. soliumkistanya
mengalami degenerasi.
BAB III

PENUTUPAN

D. Kesimpulan
Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taeniadewasa,
sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari
salah satu spesiescacing Taenia.Induk semang definitif dari T. saginata, T. solium danT.
asiaticahanya manusia, kecuali T.soliumdan T. asiaticamanusia juga berperan sebagai induk
semang perantara. Sedangkan, babi adalah induk semangperantara untuk T. soliumdan sapi
adalah induk semang perantara untuk T. saginata. Adapun induk semang definitif dari cacing
Taenia selain ketiga spesies tersebut adalah hewan carnivora(anjing/kucing).
Penularan Taeniasis melalui makanan yaitu memakan daging yang mengandung
larva, baik yang terdapat pada daging sapi (C. bovis) ataupun daging babi (C. celluloseatau C.
vicerotropika). Pemeriksaan feses dilakukan untuk menemukan adanya telur cacing atau
proglotidpada penderita Taeniasis terutama pada manusia. Pencegahan penyakit dapat
dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita Taeniasis dan
menghilangkan kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentah.
Pemeriksaan daging oleh dokter hewan atau mantri hewandiRumah Potong Hewan
(RPH)perlu dilakukan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi
masyarakat. Selain itu, ternak sapi atau babi dipelihara pada tempat yang tidak tercemar
atau dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran.

Anda mungkin juga menyukai