Anda di halaman 1dari 88

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

STRATEGI PELAKSANAAN KEPERAWATAN JIWA


(Dosen: Mariyati, S. Kep., Ns., M. Kep., Sp.Kep.J.)

YULIANA RISA
2108038

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN BISNIS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG
TAHUN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Kasus ( Masalah Utama )

Perubahan Proses Pikir: Waham

B. Proses terjadinya masalah

1. Definisi

 Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh

dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan

dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 2018).

 Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan,

tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain.

Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan

kontrol (Depkes RI, 2020).

 Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian

realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat

intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespon

stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi atau informasi

secara akurat ( Keliat, 2019).

2. Etiologi

Faktor Predisposisi dan Faktor Prespitasi

Secara umum dapat dikatakan segala sesuatu yang mengancam harga diri dan

keutuhan keluarga merupakan penyebab terjadinya waham. Selain itu

kecemasan, kemampuan untuk memisahkan dan mengatur persepsi mengenai


perbedaan Antara apa yang dipikirkan dengan perasaan sendiri menurun

sehingga segala sesuatu sukar lagi dibedakan, mana rangsangan dari pikiran

dan rangsangan dari lingkungan (Keliat,2018).

a. Faktor Predisposisi

 Faktor Perkembangan

Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal

seseorang.Hal ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang

berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya

sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.

 Faktor Sosial Budaya

Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan

timbulnya waham.

 Faktor Psikologis

Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat

menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap

kenyataan.

 Faktor Biologis

Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran

ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.

 Faktor Genetik

b. Faktor Presipitasi

 Faktor Sosial Budaya


Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang

berarti atau diasingkan dari kelompok.

 Faktor Biokimia

Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat

menjadi penyebab waham pada seseorang.

 Faktor Psikologis

Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk

mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk

menghindari kenyataan yang menyenangkan.

3. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses pikir: waham adalah

sebagai berikut:

 Menolak makan.

 Tidak ada penelitian pada perawatan diri.

 Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan.

 Gerakan tidak terkontrol.

 Mudah tersinggung.

 Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.

 Tidak bisa membedakan antara kenyataan dengan yang bukan

kenyataan.

 Menghindar dari orang lain.

 Mendominasi pembicaraan.

 Berbicara kasar.
 Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan.

C. Pohon masalah
Effect Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Core Problem Perubahan Sensori Waham

Isolasi sosial:menarik diri

Causa Harga Diri Rendah Kronis

D. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Masalah Data yang Perlu Dikaji

Keperawatan
Perubahan proses Subjektif:

pikir: waham  Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang

kebesaran yang paling hebat.

 Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran

atau kekuatan khusus.

Objektif:

 Klien terus bicara tentang kemampuan yang

dimilikinya.

 Pembicaraan klien cenderung berulang-ulang.

 Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.

E. Diagnosa keperawatan

Perubahan proses pikir: waham kebesaran

F. Rencana tindakan keperawatan

Strategi pelaksanaan 1 ( SP 1) untuk klien.


 Membantu orientasi realitas

 Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi

 Membantu klien memenuhi kebutuhannya

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 2 ( SP 2) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

 Berdiskusi tentang kemampuan yang dimilki

 Melatih kemampuan yang dimiliki

Strategi pelaksanaan 3 ( SP 3) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

 Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

Tindakan keperawatan untuk klien:

 Tidak mendukung atau membantah waham klien

 Yakinkan klien berada dalam keadaan aman

 Observasi pengaruh waham terhadap kegiatan sehari-hari

 Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi karena

dapat menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah

 Jika klien terus menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa

memberikan dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti

membicarakannya

 Berikan pujian bila penampilan dan orientasi klien sesuai dengan realitas
 Diskusikan dengan klien kemampuan realitas yang dimilikinya pada saat

yang lalu dan saat ini

 Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang

dimilikinya

 Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga

menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah

 Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional

klien

 Berbicara dalam konteks realitas

 Bila klien mampu memperlihatkan kemampuan realitasnya

 Berikan pujian yang sesuai

 Jelaskan pada klien mengenai program pengobatannya ( manfaat, dosis obat,

jenis dan efek samping obat yang diminum serta cara meminum obat yang

benar)

 Diskusikan akibat yang terjadi bila klien berhenti minum obat tanpa

konsultasi

Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga

Strategi pelaksanaan 1 ( SP 1) untuk keluarga.

 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien

 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala waham yang dialami klien beserta

proses terjadinya

 Menjelaskan cara-cara merawat klien waham

Strategi pelaksanaan 2 ( SP 2) untuk keluarga.


 Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien waham

 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien waham

Strategi pelaksanaan 3 ( SP 3) untuk keluarga.

 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum

obat

 Menjelaskan follow up klien setelah pulang Tindakan keperawatan untuk

keluarga klien.

 Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien

 Diskusikan dengan keluarga tentang cara merawat klien waham di rumah,

follow up dan keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang tepat untuk

klien

 Diskusikan dengan keluarga tentang obat klien (nama obat, dosis, frekuensi,

efek samping dan akibat penghentian obat).

 Diskusikan dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan.

G. Daftar pustaka

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung

: Refika

Aditama. Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan

Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP).

Jakarta : Salemba Medika.


STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Pertemuan Ke : Disesuaikan

Kondisi klien :

 Kondisi Klien mengatakan ia memiliki toserba, sibuk bisnis, dan ingin mendirikan partai.

Klien selalu mengulang-ngulang kemampuan yang dimilikinya.

 Klien terlihat mondar-mandir dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Diagnose Keperawatan : Perubahan proses pikir:waham kebesaran

Tujuan (TUK / SP) :

 Membantu orientasi realitas.

 Mendiskusikan kebutuhan yang tidak terpenuhi.

 Membantu klien memenuhi kebutuhannya.

 Menganjurkan klien memasukkan dalam kegiatan jadwal harian.

A. Fase Orientasi

Salam terapeutik

“Assalamu’alaikum Pak, … Bertemu lagi dengan saya masih kenal dengan saya? Nama

saya ... biisa dipanggil ... saja. Bapak ingat? Seperti kemarin, hari ini saya bertuga di sini

dari 07.00-12.00 siang nanti.”

Evaluasi/validasi

“bagaimana perasaan Bapak hari ini? Tidurnya semalam nyenyak tidak? Sekarang Bapak

ada keluhan tidak? Bagaimana giginnya? Sudah sembuh?”

Kontrak
“Baiklah, sesuai janji kemarin, hari ini kita akan ngobrol ya Pak? Bagaimana kalau hari

ini kita bercakap-cakap tentang bidang yang bapak sukai? Di mana kita duduk? Berapa

lama? Bagaimana kalau 10 menit?

B. Fase Kerja

“Bidang apakah yang bapak sukai? Kemarin bapak sempat mengatakan memiliki toserba,

apakah Bapak suka dengan bisnis? Mengapa Bapak menyukainya? Bagaimana dengan

politik? Apakah Bapak juga menyukainya? Karena beberapa hari yang lalu Bapak juga

mengatakan kepada saya ingin membuat partai politik biru, benar Pak? Mana yang lebih

Bapak sukai bisnis atau politik? Mengapa Bapak lebih menyukai itu? Karena sekarang

Bapak sedang berada di sini apakah menurut Bapak, Bapak bisa menjalankan bidang yang

Bapak minati tersebut? Bagaimana caranya? Apakah bisa kita masukkan ke dalam jadwal

kegiatan sehari-hari?”

C. Fase Terminasi

Evaluasi subjekif

“Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap?”

Evaluasi objektif

“Jadi bidang apa yang Bapak sukai?”

Rencana Tindak Lanjut

”Setelah kita tahu bidang yang Bapak sukai, bagaimana kalau besok kita ngobrol tentang

potensi atau kemampuan lain yang Bapak miliki?”

Kontrak yang akan datang


a. Topik : ”Bagaimana kalau besok kita ngobrol tentang potensi atau kemampuan yang

Bapak miliki. Selanjutnya kita pilih mana yang bisa kita lakukan di sini, Bapak

setuju?”

b. Waktu : “Kira-kira kita besok bertemu jam berapa? Bagaimana kalau jam 10 saja?

Sampai ketemu besok ya.”

c. Tempat : “Bagaimana kalau di tempat biasa kita ngobrolnya?”


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Kasus ( Masalah Utama )

Defisit Perawatan Diri

B. Proses terjadinya masalah

1. Definisi

 Defisit Perawatan Diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang

mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi

aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene),

berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK (toiletting).

2. Etiologi

 Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi Menurut Tarwoto dan

Wartonah (2020), penyebab kurang perawatan diri adalah kelelahan fisik

dan penurunan kesadaran.

 Menurut Depkes (2020), penyebab kurang perawatan diri, adalah :

a. Faktor predisposisi

 Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga

perkembangan inisiatif terganggu.

 Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu

melakukan perawatan diri.

 Kemampuan realitas turun


Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang

kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan

termasuk perawatan diri.

 Sosial

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri

lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan

kemampuan dalam perawatan diri.

b. Faktor presipitasi

 Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah

kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual,

cemas, lelah/lemah yang dialami individu kurang mampu

melakukan perawatan diri.

3. Tanda dan Gejala

 Mandi/hygiene

Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,

memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air

mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh serta

masuk dan keluar kamar mandi.

 Berpakaian/berhias

Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil

potongan pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau

menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk

mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat


tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian,

menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang

memuaskan, mengambil pakaian dan menggunakan sepatu.

 Makan

Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,

mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan,

menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, membuka

kontainer, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan

dari wadah lalu memasukkan makanan ke dalam mulut, melengkapi

makanan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat,

mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan

aman

 BAB/BAK (toiletting)

Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan

jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi

pakaian untuk toiletting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan

tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil. Keterbatasan perawatan diri

di atas biasanya diakibatkan karena stressor yang cukup berat dan sulit

ditangani oleh klien (klien bisa mengalami harga diri rendah), sehingga

dirinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik dalam hal

mandi, berpakaian, berhias, makan, maupun BAB/BAK. Bila tidak

dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan klien bisa

mengalami masalah risiko tinggi isolasi sosial.


C. Pohon masalah
Effect Risiko Tinggi Isolasi Sosial

Core Problem Defisit Perawatan diri

Causa Harga Diri Rendah Kronis

D. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Masalah Data yang Perlu Dikaji

Keperawatan
Defisit Perawatan Subjektif:

Diri  Klien mengatakan dirinya malas mandi karena

airnya dingin atau di RS tidak tersedia alat mandi.

 Klien mengatakan dirinya malas berdandan.

 Klien mengatakan ingin disuapin makan.

 Klien mengatakan jarang membersihkan alat

kelaminnya setelah BAB/BAK.

Objektif:

 Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri

ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit

berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan kotor

 Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai

dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak

rapi, pakaian tidak sesual, tidak bercukur (laki-laki),

atau tidak berdandan (wanita).

 Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai

dengan ketidakmampuan mengambil makan sendiri/


makan berceceran, dan makan tidak pada

tempatnya.

 Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri

ditandai dengan BAB/BAK tidak pada tempatnya,

tidak membersihkan diri dengan baik setelah

BAB/BAK.

E. Diagnosa keperawatan

Defisit perawatan diri

F. Rencana tindakan keperawatan

Rencana tindakan keperawatan untuk klien.

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.

 Mengkaji kemampuan klien melakukan perawatan diri meliputi

mandi/kebersihan diri, berpakaian/berhias, makan, serta BAB/BAK secara

mandiri.

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.

 Memberikan latihan cara melakukan mandi/kebersihan diri secara mandiri.

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.

 Memberikan latihan cara berpakaian/berhias secara mandiri.


 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 4 ( SP 4) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.

 Memberikan latihan cara makan secara mandiri.

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 5 (SP 5) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien.

 Memberikan latihan cara BAB/BAK secara mandiri.

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian. Klien

mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti

mandi/membersihkan diri, berpakaian/ berhias, makan, dan BAB/BAK.

Tindakan keperawatan untuk klien:

 Mengkaji kemampuan melakukan perawatan diri yang meliputi

mandi/membersihkan diri,berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK secara

mandiri.

 Memberikan latihan cara melakukan mandi/membersihkan diri,

berpakaian/berhias, makan, dan BAB/BAK secara mandiri.

 Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kurang

perawatan diri.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.

 Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan

oleh klien untuk menjaga perawatan diri.


Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga.

 Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat diri klien dan membantu

mengingatkan klien dalam merawat diri (sesuai jadwal yang telah disepakati).

 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien yang mengalami defisit

perawatan diri.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga.

 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam

merawat diri.

 Menjelaskan follow up klien setelah pulang. Tindakan keperawatan untuk

keluarga klien. Keluarga dapat meneruskan melatih klien dan mendukung

agar kemampuan klien dalam perawatan dirinya meningkat.Serangkaian

intervensi ini dapat Saudara lakukan dengan cara sebagai berikut:

 Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan

oleh klien agar dapat menjaga kebersihan diri.

 Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat dan membantu klien dalam

merawat diri (sesuai jadwal yang telah disepakati).

 Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam

merawat diri.

G. Daftar pustaka

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa.

Bandung:
Refika Aditama. 44 Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan

Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

(LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.


STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Pertemuan Ke : Disesuaikan

Kondisi klien :

 Kondisi Klien terlihat tidak bersih, rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan berbau, serta

kuku panjang dan kotor. Pakaian klien terlihat kotor, tidak bercukur bagi yang lakilaki, dan

tidak berdandan bagi yang perempuan. Klien makan berceceran, selain itu makan juga tidak

pada tempatnya. Klien suka BAB/BAK tidak pada tempatnya dan juga tidak membersihkan

diri dengan baik setelah BAB/BAK.

Diagnose Keperawatan : Defisit Perawatan Diri

Tujuan (TUK / SP) :

 Mengkaji kemampuan klien melakukan perawatan diri meliputi mandi/kebersihan diri,

berpakaian/ berhias, makan, serta BAB/BAK secara mandiri.

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

A. Fase Orientasi

Salam terapeutik

“Selamat pagi... Boleh saya kenalan dengan Ibu? Nama saya .... Ibu boleh panggil saya ....

Saya mahasiswa keperawatan ... saya sedang praktik di sini dari pukul 08:00-13:00 WIB

siang. Kalau boleh saya tahu nama Ibu siapa, dan senangnya dipanggil dengan sebutan

apa?”

Evaluasi/Validasi

“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Bagaimana tidurnya semalam? Ada keluhan tidak?”

Kontrak - Topik :
“Apakah Ibu tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya? Menurut Ibu sebaiknya kita

ngobrol tentang apa? Bagaimana kalau kita ngobrol tentang kebersihan diri?”

Waktu : “Berapa lama kira-kira kita bisa ngobrol? Ibu maunya berapa menit? Bagaimana

kalau 10 menit? Bisa?”

Tempat : “Dimana kita duduk? Di teras, di kursi panjang itu, atau di mana?”

B. Fase Kerja

“Berapa kali Ibu membersihkan diri dalam sehari?” “Apakah Ibu suka berdandan?” “Alat

apa yang Ibu gunakan pada saat makan, menggunakan tangan atau sendok?” “Apakah Ibu

selalu ke kamar mandi jika Ibu ingin BAB/BAK?” “Apakah Ibu tahu pentingnya kebersihan

diri?” “Bagaimana cara Ibu menjaga kebersihan diri?” “Apakah Ibu tahu tentang alat-alat

yang digunakan untuk membersihkan diri?” “Bagaimana cara Ibu membersihkan diri?”

“Bagaimana kalau kita belajar cara membersihkan diri?” “Pertama lepaskan seluruh baju

yang dikenakan, lalu siramkan air ke tubuh secara menyeluruh. Gunakan sabun secara

merata pada seluruh bagian tubuh dan bilas sampai bersih. Setelah itu menggosok gigi,

keringkan badan dengan handuk dan ganti pakaian dengan pakaian yang bersih.”

C. Fase Terminasi

Evaluasi Subjektif

“Bagaimana perasaan Ibu dengan obrolan kita tadi? Ibu merasa senang tidak dengan

latihan tadi?”

Evaluasi Objektif

“Setelah kita berdiskusi panjang lebar, sekarang coba Ibu simpulkan pembicaraan kita

tadi? Coba sebutkan cara menjaga kebersihan diri?”

Rencana Tindak Lanjut


“Kalau Ibu sudah tahu cara membersihkan diri, nanti saat jam 17:00 coba Ibu praktikkan

penjelasan saya tadi.”

Kontrak yang akan datang - Topik :

“Ibu, bagaimana kalau besok kita ngobrol lagi tentang bagaimana cara menjaga

kebersihan mulut?”

Waktu :

“Kira-kira waktunya kapan ya? Bagaimana kalau besok jam 09:30 WIB, bisa?”

Tempat :

“Kira-kira tempat yang enak buat kita ngobrol besok di mana ya, apa masih di sini atau

cari tempat lain? Sampai jumpa.”


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Kasus ( Masalah Utama )

Risiko bunuh diri

B. Proses terjadinya masalah

1. Definisi

 Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko

untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat

mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri

sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah

dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup

setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu

menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen,

2015).

2. Etiologi

Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi

a. Faktor predisposisi Menurut Stuart dan Sundeen (2017), Lima faktor

predisposisi bunuh diri antara lain :

 Diagnosis Psikiatrik

Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara

bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa

yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan


bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan

skizofrenia.

 Sifat Kepribadian

Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya resiko

bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.

 Lingkungan Psikososial

Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah

pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-

kejadian negatif dalam hidup, penyakit krinis, perpisahan, atau bahkan

perceraian. Kekuatan dukungan social sangat penting dalam

menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu

mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi

masalah tersebut, dan lain-lain.

 Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan

factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan

tindakan bunuh diri.

 Faktor Biokimia

Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi

peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti

serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat

dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph

(EEG).
b. Faktor Presipitasi

 Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang

dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup

yang memalukan.

 Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca

melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun

percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut

menjadi sangat rentan.

3. Tanda dan Gejala

Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang

dirasakan klien.

 Mempunyai ide untuk bunuh diri

 Mengungkapkan keinginan untuk mati

 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

 Impulsif

 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat

patuh)

 Memiliki riwayat percobaan bunuh diri

 Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang

obat dosis mematikan )

 Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah,

dan mengasingkan diri)


 Kesehatan mental (scara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi,

psikosis, dan menyalahkangunakan alkohol)

 Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyaki kronis atau

terminal)

 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami

kegagalan dalam karier)

 Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.

 Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).

 Pekerjaan.

 Konflik interpersonal.

 Latar belakang keluarga.

 Orientasi seksual.

 Sumber-sumber personal.

 Sumber-sumber social.

 Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.


C. Pohon masalah
Effect Bunuh diri

Core problem Risiko bunuh diri

Causa Isolasi sosial

Harga diri rendah kronis

D. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Masalah Data yang Perlu Dikaji

Keperawatan
Risiko bunuh diri Subjektif:

 Mengungkapkan keinginan bunuh diri

 Mengungkapkan keinginan untuk mati

 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

 Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri

sebelumnya dari keluarga

 Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis

obat yang mematikan

 Mengungkapkan adanya konflik interpersonal

 Mengungkapkan telah terjadi korban perilaku

kekerasan saat kecil

Objektif:

 Impulsif

 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya

menjadi sangat patuh)


 Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan

penyalahgunaan alkohol)

 Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau

penyakit terminal)

 Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan,

atau kegagalan dalam karier)

 Status perkawinan yang tidak harmonis

E. Diagnosa keperawatan

Risiko bunuh diri

F. Rencana tindakan keperawatan

1. Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosa keperawat.

a. Tujuan : Pasien tetap aman dan selamat

b. Tindakan : Melindungi pasien Untuk melindungi pasien yang

mengancam atau mencoba bunuh diri, maka saudara dapat melakukan

tindakan berikut :

 Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan

ketempat yang aman.

 Menjauhi semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas,

tali pinggang).

 Memastikan bahwa klien benar-benar telah meminum obatnya, jika

klien mendapat obat.

 Memeriksa apakah pasien benar-benar bahwa saudara akan

melindungi pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.


2. Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pasien percobaan bunuh diri

a. Tujuan : Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang

mengancam atau mencoba bunuh diri.

b. Tindakan :

 Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan

pernah meninggalkan pasien sendirian.

 Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-

barang berbahaya disekitar pasien.

 Mendiskusikan dengan keluarga untuk tidak sering melamun sendiri.

 Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara

teratur.

3. Tindakan keperawatan untuk pasien isyarat bunuh diri

a. Tujuan:

 Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya.

 Pasien dapat mengungkapkan perasaannya.

 Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.

 Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.

b. Tindakan:

 Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu

dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.

 Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:

1) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.


2) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang

posittif.

3) Meyakinkan pasien bahwa dirinya berarti untuk orang lain.

4) Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh

klien.

5) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan.

 Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:

1) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya.

2) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara

penyelesaian masalah.

3) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang

lebih baik.

4. Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan anggota keluarga yang

menunjukkan isyarat bunuh diri.

a. Tujuan : Keluarga mampu merawat klien dengan risiko bunuh diri

b. Tindakan :

 Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri.

1) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang

pernah muncul pada pasien.

2) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umunya muncul

pada pasien beresiko bunuh diri.

 Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh

diri.
1) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila

pasien memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.

2) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien, antara lain:

i. Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien

ditempat yang mudah diawasi, jangan biarkan pasien

mengunci diri di kamarnya atau jangan meninggalkan

pasien sendirian dirumah.

ii. Menjauhkan barang-barang yang bisa untuk bunuh diri.

Jauhkan psien dari barang-barang yang bisa digunakan

untuk bunuh diri, seperti: tali, bahan bakar minyak/bensin,

api, pisau atau benda tajam lainnya zat yang berbahaya

seperti obat nyamukatau racun serangga

iii. Selalu mengadakan pengawasan dan meningkatkan

pengawasan apabila tanda dan gejala bunuh diri

meningkat. Jangan pernah melonggarkan pengawasan,

walaupun pasien tidak menunjukan tanda dan gejala untuk

bunuh diri.

iv. Menganjurkan keluarga untuk mempraktikkan cara

tersebut diatas.

 Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila

pasien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain:

1) Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat

untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut.


2) Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas

mendapatkan bantuan medis.

 Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang

tersedia bagi pasien.

 Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga

kesehatan.

 Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol

secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya.

 Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai

prinsip 5 benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar dosisnya,

benar cara penggunaannya, benar waktu penggunaannya dan benar

pencatatannya.

G. Daftar pustaka

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung

: Refika

Aditama. Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan

Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan

SP). Jakarta : Salemba Medika.


STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Pertemuan Ke : Disesuaikan

Kondisi klien :

 Memiliki ide untuk melakukan tindakan bunuh diri/mengakhiri kehidupan

 Mengungkapkan keinginan untuk mati

 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan

 Bersikap impulsive

 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)

 Pernah melakukan percobaan bunuh diri

 Berbicara tentang kematian dan menanyakan tentang obat dosis yamg mematikan

 Mengungkapkan adanya konflik interpersonal

Diagnose Keperawatan : Risiko Bunuh Diri

Tujuan (TUK / SP) :

 Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan klien

 Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan klien

 Melakukan contract treatment

 Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri

 Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri

A. Fase Orientasi

Salam terapeutik
“selamat pagi pak, nama saya A, Bapak boleh memanggil saya A (sambal mengulurkan

tangan untuk berjabat tangan), namun Bapak siapa, dan Bapak ingin dipanggil dengan

sebutan apa? Bisa kita berbincang-bincang sebentar?”

Evaluasi/validasi

“bagaimana perasaan Bapak B pagi ini?”

Kontrak

“Saya yang akan merawat Bapak di ruangan hari ini dan saya akan membantu

menyelesaikan masalah yang Bapak hadapi.”

a. Topik : “ Bagaimana kalua pagi ini kita berbincang-bincang tentang hal atau

perasaan yang menyebabkan Bapak ingin mengakhiri kehidupan Bapak?”

b. Tempat : “Bapak B mau di mana kita bercakap-cakap, bagaimana bila di ruang

duduk?”

c. Waktu : “mau berapa lama kita bercakap-cakap saat ini? Bagaimana bila 15 menit?”

B. Fase Kerja

“Apakah Bapak pernah berniat untuk bunuh diri?” “Apakah Bapak pernah mencoba bunuh

diri? Dengan cara apa? Apa yang Bapak rasakan saat itu?” “Apa yang menyebabkan

Bapak memiliki perasaan ingin mengakhiri kehidupan Bapak?” “Bapak tampaknya

membutuhkan pertolongan karena Bapak punya keinginan untuk bunuh diri, untuk itu saya

akan menemani Bapak di sini.” “Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar Bapak untuk

memastikan tidak ada benda yang membahayakan Bapak.” “Apakah Bapak telah meminum

obat yang diberikan oleh perawat? Kalau belum saya akan membantu Bapak untuk minum

obat.” “Apa yang Bapak lakukan bila keinginan bunuh diri tersebut muncul?” Saya akan

membantu Bapak agar keinginan untuk bunuh diri hilang.” “Kalau keinginan bunuh diri itu
muncul, Bapak bisa langsung meminta bantuan perawat atau kleuarga yang mengunjungi.

Katakana pada kami bahwa keinginsn bunuh diri itu muncul.” “Cara lain yang bisa

digunakan adalah mengalihkan perhatiab atau pikiran Bapak dengan cara mencari teman

untuk diajak bercakap-cakap.”

C. Fase Terminasi

Evaluasi subjekif

“bagaimana perasaan Pak B setelah kita bercakap-cakap? Apakah Bapak merasa ada

manfaatnya kita berbincang-bincanf saat ini? Apakah saat ini keinginan bunuh diri itu

ada?”

Evaluasi objektif

“Bapak masih ingat cara mengatasi keiginan bunuh diri? Coba Bapak sebutkan cara agar

keinginan bunuh diri itu tidak muncul lagi.”

Rencana Tindak Lanjut

”Saya harap bila nanti keinginan untuk bunuh diri itu muncul lagi, Bapak bisa

mempraktikkan cara-cara yang sudah kita pelajari tadi.”

Kontrak

a. Topik :

”Baiklah kita sudah bercakap-cakap selama 15 menit, bagaimana kalua nanti kita

bercakap-cakap tentang cara mengatasi rasa bersalah dan rasa rendah diri yang

Bapak alami?”

b. Tempat :

“Di mana tempatnya nanti kita bercakap-cakap? Bagaimana kalu di sini saja?”

c. Waktu :
“Mau jam berapa? Bagaimana kalua jam 11 siang nanti, setelah Bapak bertemu dengan

teman-teman?”
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Kasus ( Masalah Utama )

Perilaku Kekerasan

B. Proses terjadinya masalah

1. Definisi

 Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang

melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik

terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen,

2015).

 Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang

bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis

(Berkowitz, dalam Harnawati, 2013).

 Setiap aktivitas bila tidak di cegah dapat mengarah pada kematian (Stuart

dan Sundeen, 2018).

 Suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat melukai

secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 2018).

 Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat

membahayakan klien sendiri, lingkungan, termasuk orang lain, dan

barang-barang (Maramis, 2018).

 Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan verbal

dan fisik (Ketner et al., 2015).

2. Etiologi
Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi

a. Faktor Predisposisi Menurut Townsend (2016) terdapat bebrapa teori

yang dapat menjelaskan tentang faktor predisposisi perilaku kekerasan

diantaranya sebagai berikut:

 Teori Biologik Berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang

dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu

sebagai berikut:

1) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis

mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat

impuls agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi

timhulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif.

2) Pengaruh biokimis, menurut Goldten dalam Townsend (2016)

menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epineprin,

neropineprin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) sangat

berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.

Peningkatan hornon androgen dan norepineprin serta penurunan

serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal

merupakan faktor predisposisi yang menyebabkan timbulnya

perilaku agresif pada seseorang.

3) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sagat erat

kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe katiotipe XYY,

yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak

kriminal (narapidana).
4) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan

berbagai gangguan serebral, tumor otak, (khususnya pada limbik

dan lobus temporal), trauma otak, penyakit enssefalitis, epilepsy,

(epilepsy lobus temporal) terbukti berpengaruh perilaku agresif

dan tindak kekerasan.

 Teori psikologik

1) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak

terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan

tidak berkembangnya ego dan dapat membuat konsep diri yang

rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan

prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan

arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa

perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan

secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan

rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan

2) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku

yang di pelajari, individu yang memilki pengaruh biologik

terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi

oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa

faktor predisposisi biologik.

 Teori sosiokultural Kontrol masyarakat yang rendah dan

kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara


penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor

predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.

 Internal adalah semua faktor yang depat menimbulkan kelemahan,

menurunnya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol, dan lain-

lain.

 Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai,

krisis, dan lain-lain. Neburut Shives (2018) hal-hal yang dapat

menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain

sebagai berikut:

1) Kesulitan kondisi sosial ekonomi

2) Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu.

3) Ketidakpastian seorang ibu dalam merawat anaknya dan

ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang

yang dewasa

4) Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti

penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol

emosi pada saat menghadapi rasa frustasi.

5) Kematian anggota yang terpenting, kehilangan pekerjaan,

perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap

perkembangan keluarga.
3. Tanda dan Gejala

 Fisik: mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal, rahang

mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

 Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara

dengan nada keras, kasar dan ketus.

 Perilaku: menyerang orang lain, melukai diri sendiri/ orang lain, merusak

lingkungan, amuk/agresif.

 Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,

dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin

berkelahi, menyalahkan dan menuntut.

 Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan

tidak jarang mengeluarkan kata-kata sarkasme.

 Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keraguan-raguan, tidak

bermoral, dan kreativitas terhambat.

 Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan

sindiran

 Perhatian: bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

C. Pohon masalah
Resiko tinggi menciderai diri, orang lain, dan lingkungan

Halusinasi perilaku kekerasan Pps: halusinasi

regimen terapeutik regimen terapeutik


inefektif inefektif
regimen terapeutik
Koping keluarga
inefektif
Tidak efektif

D. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Masalah Data yang Perlu Dikaji

Keperawatan
Perilaku kekerasan Subjektif:

 Klien mengancam

 Klien mengumpat dengan kata-kata kotor

 Klien mengatakan dendam dan jengkel

 Klien mengatakan ingin berkelahi

 Klien menyalahkan dan menuntut

 Klien meremehkan

Objektif:

 Mata melotot/pandangan tajam

 Tangan mengepal

 Rahang mengatup

 Wajah memerah dan tegang

 Postur tubuh kaku

 Suara keras

E. Diagnosa keperawatan

Perilaku kekerasan

F. Rencana tindakan keperawatan


Rencana tindakan keperawatan untuk klien.

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.

 Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan

 Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan

 Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan

 Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan

 Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan

 Membantu klien mempraktikan latihan cara mengontrol fisik I

 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II

 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal

 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian

Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual

 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian


Perilaku kekerasan regimen terapeutik inefektif regimen terapeutik inefektif

regimen terapeutik inefektif

Strategi pelaksanaan 5 (SP 5) untuk klien

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien

 Melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara meminum obat

 Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal kegiatan harian

Tindakan keperawatan untuk klien.

 Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi di masa

lalu dan saat ini

 Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan

 Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik

kekerasan fisik, psikologis, sosial, spiritual maupun lingkungan

 Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang bisa dilakukan pada

saat marah baik terhadap diri sendriri, orang lain maupun lingkungan

 Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya

 Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara

fisik(pukul kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obat-obatan, sosial,

verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun

spiritual (shalat atau berdoa sesuai keyakinan klien)

Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.

 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien


 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dialami

klien beserta proses terjadinya.

 Menjelaskan cara-cara merawat klien perilaku kekerasan.

Strategi pelaksaan 2 (SP 2) untuk keluarga.

 Melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien perilaku kekerasan.

 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien perilkau kekerasan.

Strategi pelaksaan 3 (SP 3) untuk keluarga.

 Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum

obat.

 Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

Tindakan keperawatan untuk keluarga.

 Diskusikan bersama keluarga masalah yang dirasakan keluarga dalam

merawat klien

 Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi penyebab,

tanda dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku kekerasan

 Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan

1) Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melkukan

tindakan yang telah diajarkan oleh perawat

2) Ajarkan keluarga untuk membrikan pujian kepada klien bila anggota

keluarga dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat

3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila klien

menunjukan gejala-gejala perilaku kekerasan Diskusikan bersama


keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera dilaporkan kepada

perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.

G. Daftar pustaka

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung

: Refika

Aditama. Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan

Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP).

Jakarta : Salemba Medika.


STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Pertemuan Ke : Disesuaikan

Kondisi klien :

 Kondisi Klien tampak mondar-mandir, berbicara sambil mengepalkan tinju, pandangan mata

tajam, wajah merah dan tegang, serta sesekali tampak memukul-mukul dinding.

Diagnose Keperawatan : Perilaku kekerasan

Tujuan (TUK / SP) :

 Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

 Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.

 Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.

 Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

 Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.

 Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol fisik I

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

A. Fase Orientasi

“Selamat pagi Pak, perkenalkan nama saya suster …, saya yang akan merawat Bapak hari

ini. Nama Bapak siapa, senangnya dipanggil apa?” (Mengulurkan tangan sambil tersenyum

menunjukkan sikap terbukaan). “Saya perhatikan Bapak mondar-mandir sambil memukul-

mukul dinding, bisa kita berbincang-bincang sekarang tentang apa yang menyebabkan

Bapak memukul-mukul dinding?” (Memberikan sentuhan dengan perlahan serta


menunjukkan sikap empati). “Berapa lama Bapak ingin berbincang-bincang?” “Di mana

enaknya kita berbincang-bincang, Pak?”

B. Fase Kerja

“Sekarang Bapak bisa mulai menceritakan apa yang menyebabkan Bapak memukul-mukul

dinding. Apa yang Bapak rasakan saat ini?” (Dengarkan ungkapan kemarahan klien dan

tetap bersikap empati selama klien mengungkapkan kemarahannya, selain itu lakukan

observasi terhadap tandatanda perilaku kekerasan yang ditunjukkan selama klien

mengungkapkan perasaan marahnya). “Apa yang biasa Bapak lakukan jika Bapak merasa

kesal/marah seperti ini?” “Bagaimana menurut Bapak dengan tindakan tersebut?” Baiklah

Pak, untuk sementara waktu Bapak boleh menyendiri diruangan ini dulu sampai marahnya

hilang, tujuannya agar Bapak lebih aman dan tenang, karena jika dalam kondisi kesal

Bapak tetap diluar, dikhawatirkan Bapak akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan,

misalnya terjatuh atau terluka.” (Melakukan isolasi pada klien di ruangan yang aman).

“Bapak akan dikeluarkan dari ruangan ini sampai kondisi Bapak lebih tenang dan jika

Bapak perlu sesuatu, saya ada di ruang depan dan saya siap membantu Bapak kapan saja.”

C. Fase Terminasi

“Bagaimana perasaan Bapak setelah berada di ruangan ini?” “Sekarang Bapak bisa

menenangkan diri di ruangan ini sambil Bapak pikirkan hal lain yang bisa membuat Bapak

kesal atau marah.” “Saya akan kembali 15 menit lagi untuk melihat kondisi Bapak, dan jika

kondisi Bapak sudah lebih tenang saya akan mengajarkan cara menghilangkan perasaan

kesal/marah supaya Bapak tidak dimasukkan ke ruangan ini lagi.” “Bagaimana Pak,

setuju?”
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Kasus ( Masalah Utama )

Harga Diri Rendah

B. Proses terjadinya masalah

1. Definisi

a. Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif

dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Towsend,

2018).

b. Penilaian negatif seseorang terhadap diri dan kemampuan, yang

diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan

Videbeck, 2018).

c. Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga

diri, marasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 2018).

2. Etiologi,

Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi Berbagai faktor menunjang

terjadinya terjadinya perubahan dalam konsepdiri seseorang. Dalam tinjauan

life span history klien, penyebab terjadinya harga diri rendah adalah

padamasa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya.

Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak

diberi kesempatan dan tidak diterima. Menjelang dewasa awal sering gagal

disekolah, pekerjaan atau pergaulan. Harga diri rendah muncul saat


lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari kemampuannya

(Yosep, 2019).

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan

orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang

mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,

ideal diri yang tidak realistis.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya

sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan, atau bentuk tubuh,

mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Gangguan

konsep diri : harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara situasional

maupun kronik. Situasional. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

kronis yang terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang

muncul secara tiba-tiba misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan,

menjadi korban pemerkosaan, atau menjadi narapidana, sehingga harus

masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan

rendahnya harga diri seseorang dikarenakan penyakit fisik, pemasangan

alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai

akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas

kesehatan yang kurng menghargai klien dan keluarga. Kronik. Gangguan

konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak

lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien
sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin

meningkat saat dirawat. Baik faktor perdisposisi maupun presipitasi di

atas bila telah memengaruhi seseorang baik dalam berpikir, bersikap,

maupun bertindak, maka dianggap telah memengaruhi koping individu

tersebut sehingga menjadi tidak efektif (mekanisme koping individu tidak

efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa ada intervensi lebih lanjut

dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan untuk

bergaul dengan orang lain (isolasi sosial). Klien yang mengalami isolasi

sosial dapat membuat klien asyik dengan dunia dan pikirannya sendiri

sehingga dapat muncul resiko perilaku kekerasan.

3. Tanda dan Gejala

Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah

kronis:

a. Mengkritik diri sendiri

b. Perasaan tidak mampu

c. Pandangan hidup yang pesimistis

d. Tidak menerima pujian

e. Penurunan produktivitas

f. Penolakan terhadap kemampuan diri.

g. Kurang memperhatikan perawatan diri

h. Berpakaian tidak rapi

i. Selera makan berkurang


j. Tidak berani menatap lawan bicara

k. Lebih banyak menunduk

l. Bicara lambat dengan nada suara lemah.

C. Pohon masalah
Resiko tinggi Perilaku Kekerasan

Effect Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial

Core Problem Harga Diri Rendah


Kronis

Causa Koping Individu tidak Efektif

D. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Masalah Data yang Perlu Dikaji

Keperawatan
Harga diri rendah Subjektif:

kronis 1. Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna

2. Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu

3. Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk

beraktivitas atau berkerja

4. Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan

diri (mandi, berhias, makan, atau toileting)

Objektif:

1. Mengkritik diri sendiri

2. Perasaan tidak mampu

3. Pandangan hidup yang pesimistis


4. Tidak menerima pujian

5. Menurunkan produktivitas

6. Penolakan terhadap kemampuan diri

7. Kurang memperhatikan perawatan diri

8. Berpakaian tidak rapi

9. Berkurangnya selera makan

10. Tidak berani menatap lawan bicara

11. Lebih banyak menundunk

12. Bicara lambat dengan nada suara lemah

E. Diagnosa keperawatan

Harga diri rendah Kronis

F. Rencana tindakan keperawatan

1. Rencana tindakan keperawatan pada klien

a) Tujuan/strategi pelaksanaan Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien

1) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.

2) Membantu klien menilai kemampuan yang masih dapat dilakukan.

3) Membatu klien menetukan kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan

kemampuan klien.

4) Melatih klien sesuai dengan kemampuan yang dipilih.

5) Memberikan pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien.

6) Menganjurkan klien memasukan jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien,


2) Melatih kemampuan keduanya

3) Menganjurkan klien memasukan dalam jadwal harian.

b) Tindakan keperawatan untuk klien

a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki

klien. Perawat dapat melakukan hal-hal berikut utuk membantu klien

mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki.

 Mendiskusikan bahwa klien maasih memiliki sejumlah

kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan klien di rumah,

adanya keluarga dan lingkungan terdekat klien.

 Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan penilaian

yang negatif setiap kali bertemu dengan klien.

b. Membantu klien dalam menilai kemampuan yang dapat digunakan

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

 Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat

digunakan saat ini setelah mengalami bencana.

 Mantu klien menyebutkannya dan berikan penguatan terhadap

kemampuan diri yang berhasil diungkapkan klien.

 Perlihatkan respons yang konduktif dan jadilah pendengar yang

aktif.

c. Membantu klien agar dapat memilih atau menetapkan kegiatan

sesuai dengan kemampuan. Tindakan keperawatan yang dapat

dilakukan adalah sebagai berikut:


 Mendiskusikan dengan klien beberapa aktivitas yang dapat

dilakukan dan pilih sebagai kegiatan yang akan dilakukan

sehari-hari.

 Bantu klien menetapakan aktivitas yang dapat dilakukan secara

mandiri. Tentukan aktivitas-aktivitas yang memerlukan bantuan

minimal dan bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan

terdekat klien. Berikan contoh cara pelaksanaan aktivitas yang

dapat dilakukan klien. Lakukan penyusunan aktivitas bersama

klien dan buatlah daftar aktivitas atau kegiatan sehari-hari klien.

d. Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

 Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan kegiatan

(yang sudah dipilih klien yang akan dilatih.

 Bersama klien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan

yang akan dilakukan klien.

 Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap kemajuan

yang diperlihatkan klien.

e. Membantu klien agar dapat merencanakan kegiatan sesuai

kemampuan. Untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan

tersebut, saudara dapat melakukan hal-hal berikut:

 Memberi kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang

telah dilakukan.
 Berikan pujian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat yang

dapat dilakukan klien setiap hari.

 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan

perubahan setiap aktivitas.

 Menyusun daftar setiap aktivitas yang sudah dilakukan bersama

klien dan keluarga.

 Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan

perasaannya setelah melaksanakan kegiatan

 Yakikan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang

dilakukan oleh klien.

2. Rencana tindakan keperawatan pada keluarga.

c) Tujuan/strategi pelaksanaan Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk

keluarga.

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat

klien.

b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang

dialami klien beserta proses terjadinya.

Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga.

a. Melatih keluarga untuk memperaktikan cara merawat klien harga diri

rendah.

b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien

harga dri rendah.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga


a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk

minum obat.

b. Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

d) Tindakan keperawatan untuk keluarga.

a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien.

b. Jeleskan kepada keluarga tentang kondisi klien yang mengalami

gangguan konsep diri; harga diri rendah kronis

c. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien.

d. Jelaskan cara-cara merawat klien dengan gangguan konsep diri:

harga diri rendah kronis.

e. Demostrasikan cara merawat klien dengan gangguan konsep diri:

harga diri rendah kronis.

f. Bantu klien menyusun rencana kegiatan klien di rumah.

G. Daftar pustaka

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung

: Refika Aditama.

Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :

Salemba Medika
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Pertemuan Ke : Disesuaikan

Kondisi klien :

1. Kondisi

e) Kondisi Klien sedang duduk diatas tempat tidur sambil menunduk. Tidak mau melihat

dan bercakap-cakap drngan klien lain yang sedang duduk di samping tempat tidurnya.

f) Klien masuk ke rumah sakit karena menolak untuk bergaul dengan orang lain. Hal itu

terjadi sejak bapaknya meninggal dunia dua tahun yang lalu

g) Klien sering mengatakan bahwa dialah penyebab kematian bapaknya, karena dia tidak

mampu menjaganya dengan baik. Klien mengatakan seandainya dulu dia menyelesaikan

pedidikan akpernya pasti akan mampu merawat bapaknya. Klien mengatakan bahwa dia

adalah anak yang bodoh dan tidak berguna bagi keluarga. Klien mengatakan dia tidak

seperti kakaknya yang mempunyai banyak keahlian. Bahkan untuk menjaga bapaknya

yang sakit saja dia tidak mampu.

2. Observasi pada klien didapatkan klien sering menunduk, menghindari kontak mata, dan

berbicara hanya sebentar atau seperlunya saja.

Diagnose Keperawatan : Harga Diri Rendah Kronis

Tujuan (TUK / SP) :

a. Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

b. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan.

c. Klien mampu menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai kemampuan.

d. Klien mampu melatih kegiatan yang sudah dipilih sesuai kemampuannya.


e. Klien mampu merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.

A. Fase Orientasi

“Assalamualaikum. Selamat pagi N. saya suster…., panggil saja suster.., saya mahasiswa

Fakultas Ilmu Keperawatan …yang akan bertugas di sini dari jam 08.00-12.00 siang

nanti.” “Apa yang menyebabkan N dibawa ke sini? Apakah N masih mengingatnya?”

“Bagaimana kalau kita membicarakaan tentang alas an N tidak mau bergaul dengan orang

lain dan terus menyendiri saja di dalam kamar?” “Di mana kita membicarakannya?

Bagaimana kalau di luar saja? Berapa lama? 20 menit saja?”

B. Fase Kerja

“Coba N ceritakan apa yang menyebabkan N tidak mau bergaul dengan? Apa yang

menyebabkan N merasa bersalah? Apa yang menyebabkan N merasa sangat bodoh?”

“Bagaimana dengan kemampuan lain seperti kemampuan akademik lainnya selain

computer?” (Jika klien mengangguk) 11 “Nah, apa saja? Coba ceritakan ke suster. Bagus,

apalagi? Saya buat daftarnya ya. Apa lagi kegiatan lain? Menyanyi misalnya? Atau

mengaji? Wah.., bagus sekali ada enam kemampuan yang N miliiki.” “N, dari enam

kemampuan yang dimiliiki mana yang masih bisa ddilakukan di rumah sakit? Coba kita

lihat yang pertama bisakah, yang kedua…(Misalnya ada 3 kemampuan yang bisa

dilakukan) “Wah, bagus sekali masih ada tiga kemampuan yang bisa dilakukan di rumah

sakit.” “Sekarang coba N pilih salah satuyang mampu dilakukan di rumah sakit. Bagus

sekali, sekarang kita coba latih kemampuan N dalam membaca alquran. N pernah mengaji

selama di rumah sakit ini? Bagus sekali. Biasanya Alquran-nya didapat dari siapa?

Baiklah, sekarang suster pinjamkan Alquran, dan coba N membaca ayat yang N inginkan.”
“Bagus sekali bacaan N, pembacaan hurufnya juga tepat.” Sekarang coba dilanjutkan ke

ayat yang berikutnya.” “Nah, sekarang kita sudah selesai mengaji, N tutup saja Alquran.”

C. Fase Terminasi

“Bagaimana perasaan N setelah kita bercakap-cakap dan latihan mengaji tadi?”

“Ternyata masih banyak kemampuan N yang bisa dilakukan di rumah ssakit ini yang sudah

N praktikan dengan baik sekali.” “Bagaimana kalau kita masukkan kegiatan inni di dalam

jadwal harian N. Menurut N jam berapa mau dimasukan?” “Bagus sekali, berate jam 05.30

setelah salat shubuh dan 18.30 setelah salat maghrib ya.” “Baiklah, bagaimana kalau dua

jam lagi saya datang dan kita melatih kemampuan N yang kedua yaitu menanam bunga.

Tempatnya di sini saja ya N”


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Kasus ( Masalah Utama )

Isolasi Sosial

B. Proses terjadinya masalah

1. Definisi

 Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang

lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak

mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi atau

kegegelan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan

dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri,

tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan

orang lain (Balitbang, 2017).

 Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,

menghindari hubungan maupun komunikasi dengan orang lain (Rawlins,

2013).

 Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan hubungan

interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel

yang menimbulkan prilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang

dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2011).

 Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan

orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak

mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegegelan.


Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan

orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada

perhatian, dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Balitbang, 2017).

 Suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang lain

menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Townsend, 2018).

 Kerusakan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang

berpartisipasi dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang

tidak efektif. Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial

mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain salah satunya

mengarah pada perilaku menarik diri (Townsend, 2018).

 Kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan kepribadian yang tidak

fleksibel, tingkat maladaptif, dan gangguan fungsi individu dalam

hubungan sosialnya (Stuart dan Sundeen, 2018).

2. Etiologi

Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi

a. Faktor Predisposisi

 Faktor Tumbuh Kembang

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas

perrkembangan yang harus dipenuhiagar tidak terjadi gangguan dalam

hubungan sosial. Bila tugastugas dalam perkembangan ini tidak

terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang

nantinya akan dapat menimbulkan masalah. Tugas perkembangan

berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal:


Tahap Perkembangan Tugas
Masa Bayi Menetapkan rasa percaya.
Masa Bermain Mengambangkan otonomi dan awal perilaku mandiri.
Masa Prasekolah Belajar menunjukkan inisiatif, rasa tanggung jawab dan hati nurani
Masa Sekolah Belajar berkompetisi, bekerja sama dan berkompromi.
Masa Praremaja Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis kelamin.
Masa Remaja Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau bergantung pada orang

tua.
Masa Dewasa Muda Menjadi saling bergantung antara orang tua dan teman, mencari

pasangan, menikah dan mempunyai anak.


Masa Tengah Baya Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah dilalui.
Masa Dewasa Tua Berduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan keterikatan

dengan budaya.
 Faktor Komunikasi dalam Keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung

terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang

termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan

ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan dimana seorang

anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam

waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga

yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan diluar

keluarga.

 Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial

merupakan suati faktor pendukung terjadinya gangguan dalam

hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah

dianut oleh keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak


produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis, penyandang cacat

diasingkan dari lingkungan sosialnya.

 Faktor Biologis

Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung

terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat

memengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak,

misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami masalah dalam

hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti

atropi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik

dan daerah kortikal.

b. Faktor Presipitasi

Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor

internal dan eksternal seseorang. Faktor stresorpresipitasi dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

 Faktor eksternal

Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan

oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.

 Faktor internal

Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas

yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan

kemempuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi

akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak

terpenuhinya kebutuhan individu.


3. Tanda dan Gejala

Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial.

a. Kurang spontan.

b. Apatis (acuh terhadap lingkungan).

c. Ekspresi wajah kurang berseri.

d. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.

e. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.

f. Mengisolasi diri.

g. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.

h. Asupan makanan dan minuman tergangggu.

i. Retensi urin dan feses.

j. Aktivitas menurun.

k. Kurang energi (tenaga).

l. Rendah diri.

m. Postur tubuh berubah, misalnya sikapfetus/janin (khususnya pada posisi

tidur).

Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah,

sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak

dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi

sensori: halusinasi dan resiko tinggi mencederai diri, orang lain bahkan

lingkungan. Perrilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa menyebebkan

intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan

untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, sehingga orang tersebut


berperilaku tidak normal (koping individu tidak efektif). Peran keluarga cukup

besar dalam mendorong klien agar mampu menyelesaikan masalah. Oleh

karena itu, bila sistem pendukungnya tidak baik (koping keluarga tidak efektif)

maka akan mendukung seseorang memiliki harga diri rendah


C. Pohon masalah

Risti Mencederai Diri, Orang Lain, dan Lingkungan

Defisit Perawatan Diri PPS : Halusinasi

Intoleransi Aktivitas Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis

Koping Keluarga Tidak Efektif Koping Keluarga Tidak Efektif

D. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Masalah Data yang Perlu Dikaji

Keperawatan
Isolasi Sosial Subjektif:

1. Klien mengatakan malas bergaul dengan orang lain.

2. Klien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani

perawat dan meminta untuk sendirian.

3. Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan

orang lain.

4. Tidak mau berkomunikasi.

5. Data tentang klien biasanya didapat dari keluarga

yang mengetahui keterbatasan klien (suami, istri,

anak, ibu, ayah, atau teman dekat).

Objektif:

1. Kurang spontan

2. Apatis (acuh terhadap lingkungan).

3. Ekspresi wajah kurang berseri.


4. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan

kebersihan diri.

5. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.

6. Mengisolasi diri.

7. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan

sekitarnya.

8. Asupan makanan dan minuman terganggu.

9. Retensi urin dan feses.

10. Aktivitas menurun.

11. Kurang berenergi dan bertenaga.

12. Rendah diri.

13. Postir tubuh berubah, misalnya sikap fetus atau

janin (khususnya pada posisi tidur).

E. Diagnosa keperawatan

Isolasi sosial.

F. Rencana tindakan keperawatan

1. Rencana tindakan keperawatan untuk klien.

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien.

a. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial.

b. Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang

lain.
c. Berdiskusi dengan klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang

lain.

d. Mengajarkan kepada klien tentang cara berkenalan dengan satu orang.

e. Menganjurkan kepada klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang

dengan orang lain dalam kegiatan harian.

Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

b. Memberikan kesempatan kepada klien mempraktikkan cara berkenalan

dengan satu orang.

c. Membangtu klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan

orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk klien.

a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

b. Memberikan kesempatan kepada klien berkenalan dengan dua orang atau

lebih.

c. Menganjurkan kepada klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

2. Rencana tindakan keperawatan untuk keluarga

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.

a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien.

b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial beserta proses

terjadinya.

c. Menjelaskan cara-cara merawat klien isolasi sosial.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk keluarga.


a. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien isolasi sosial.

b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien isolasi

sosial.

Strategi pelaksanaan 3 (SP 3) untuk keluarga.

a. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum

obat.

b. Menjelasjkan follow up klien setelah pulang.

G. Daftar pustaka

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung

: Refika Aditama.

Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :

Salemba Medika
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Pertemuan Ke : Disesuaikan

Kondisi klien :

Kondisi Klien terlihat sedang sendiri di sudut ruang dengan pandangan yang

kosong. Kaki serta tangan dilipat. Saat perawat menghampiri, klien hanya menjawab ya

dan tidak. Terlihat seperti tidak ingin ditemani dan klien mengatakan bahwa dirinya tidak

suka berbicara dengan teman-temannya yang lain karena dirinya tidak gila.

Diagnose Keperawatan : Isolasi Sosial

Tujuan (TUK / SP) :

a. Membina hubungan saling percaya

b. Menyadari penyebab Isolasi Sosial

c. Mengetahui keuntungan dan kerugian berinteraksi sosial

A. Fase Orientasi

Salam terapeutik

“Assalamualaikum, selamat pagi Bapak/Ibu saya perawat.. panggil saya perawat …

saya mahasiswa Fakultas Keperawatan Ilmu … yang bertugas disin pada pukul 08.00-

12.00 siang nanti”

Evaluasi/validasi

“Bagaimana perasaan bapak/ibu hari ini”

Kontrak

1) Topik: “Seperti janji seminggu yang lalu, hari ini kita akan diskusi tentang

penyebab Bapak/Ibu kurang suka bergaul, apa saja keuntungan bergaul, dan apa

saja kerugian bila tidak bergaul dengan orang lain”


2) Tempat: “Bapak/Ibu ingi bercakap-cakap dimana? Bagaimana diruang duduk?”

3) Waktu: “ Bapak/Ibu ingin bercakap-cakap”

B. Fase Kerja

“Apa yang membuat bapak/ibu tidak mau bergau dengan yang orang lain?” “apakah

karena setiap perilaku orang lain terhadapa bapak/ibu? Atau ada alas an orang lain?”

“apa kerugiannya jika kita memiliki teman?” Menurut bapak/ibu apa keuntungnya jika kita

memiliki teman?” “nah kita sudah mengetahui penyebab bapak.ibu tudak mau bergaul

dengan orang lain, ruginya tidak punya teman, dan untungnya punya teman.”

C. Fase Terminasi

Evaluasi Subjektif

“ bagaimana perasaan bapak/ibusetelah setelah kita berdiskusi mengenai penyebab

bapk/ibu tidak mau bergaul dengan orang lain? Beserta keuntung dan kerugiannya”

Evaluasi Objektif

“ Bisakah bapak/ibu menceritakan kembali keuntungan dan kerugian bergaul dengan orang

lain?

Rencana tindak lanjut

“ bagaimana bapak/ibu apaka bapak/ibu ingin belajar bergaul dengan orang lain?”

Kontrak yang akan datang

1) Topik: “bagaimana jika kita besok belajar mengenai cara bergaul dengan orang

lain?”

2) Tempat: “dimana nanti kita akan berbicara? Bagaiman jika disini lagi?”

3) Waktu: “bapak/ibu mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 13.00 setelah

bapak/ibu makan siang?


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Kasus ( Masalah Utama )

Perubahan Presepsi Sensori: Halusinasi

B. Proses terjadinya masalah

1. Definisi

 Perubahan persepsi: halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di

mana klien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan

sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau

penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Selain

itu, perubahan persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan

pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi

semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman,

perabaan, atau pengecapan) Cook dan Fontaine (2017).

 Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari

lingkungan (Depkes RI, 2018).

 Suatu keadaan di mana seseorang mengalami perubahan pada pola

stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal)

disertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan atau kelainan

berespons terhadap stimulus (Towsend, 2018).


 Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran,

penglihatan, taktil, atau penciuman yang tidak ada stimulus eksternal

(Antai Otong, 2015).

 Gangguan penyerapan/presepsi pasca indra tanpa adanya rangsangan dari

luar. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat

kesadaran individu tersebut panuh dan baik. Gangguan ini dapat terjadi

pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari individu

sendiri. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak

nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan

(Wilson, 2013).

2. Etiologi

Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi

a. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang memengaruhi jenis dan

jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi

stres. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi

dapat meliputi faktor perkembangan, sosiokultural, biokomia, psikologi,

dan genetik.

 Faktor Perkembangan

Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan

interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan

kecemasan

 Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa

disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan

yang membesarkannya.

 Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika

seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam tubuhnya

akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik

neurokomia seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP).

 Faktor Psikologis

Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran

ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan

mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada

gangguan orientasi realitas.

 Faktor Genetik

Gen yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi

hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menujukkan

hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

b. Faktor Presipitasi

 Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepkan oleh individu

sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memelurkan energi

ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan,

seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama tidak diajak

berkomunikasi, objek yang ada di lingkungan, dan juga suasana yang


sepia atau terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi.

Hal tersebut dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang

merangsang tubuh mengeluarkan zat halusonigenik.

3. Tanda dan Gejala

Berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri-ciri yang objektif dan subjektif pada

klien dengan halusinasi.

Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif


Halusinasi dengar  Bicara atau tertawa sendiri  Mendengar suara-suara atau
(klien mendengar suara atau  Marah-marah tanpa sebab kegaduhan
bunyi yang tidak ada  Mendekatkan telinga ke  Mendengar suara yang ngajak
hubungannya dengan arah tertentu bercakap-cakap
stimulus yang nyata atau  Menutup telinga  Mendengar suara menyuruh
lingkungan). melakukan sesuatu yang
berbahaya
Halusinasi Penglihatan  Menunjuk-nunjuk ke arah  Melihat bayangan, sinar, bentuk
(klien melihat gambaran yang tertentu geometris, kartun, melihat hantu
jelas atau samar terhadap  Ketakutan pada sesuatu atau monster
adanya stimulus yang nyata yang tidak jelas
dari lingkungan dan oranmg
lain tidak melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus-endus seperti  Membaui bau-bauan seperti bau
(klien mencium suatu sedang membaui bau- darah, urin, feses, dan terkadang
bauyang muncul dari sumber bauan tertentu. bau-bau tersebut menyenangkan
tertentu tanpa stimulus yang  Menutup hidung bagi klien.
nyata).
Halusinasi Pengecapan  Sering meludah  Merasakan rasa seperti darah,
(klien merasakan sesuatu  Muntah urine, atau feses.
yang tidak nyata,sering
meludah biasanya merasakan
rasa makanan yang tidak
enak).
Halusinasi Perabaan  Menggaruk-garuk  Mengatakan ada serangga di
(klien merasakan sesuatu permukaan kulit permukaan kulit
pada kulitnya tanpa ada  Merasakan seperti tersengat listrik.
stimulus yang nyata).
Halusinasi Kinestetik  Memegang kakinya yang  Mengatakan badannya melayang di
(klien merasa badannya dianggapnya bergerak udara
bergerak dalam suatu ruangan sendiri.
atau anggota badannya
bergerak)
Halusinasi Fiseral  Memegang badannya  Mengatakan perutnya menjadi
(perasaan tertentu timbul yang dianggap berubah mengecil setelah minum soft drink
dalam tubuhnya) bentuk dan tidak normal
seperti biasanya
C. Pohon masalah
Effect Risiko Tinggi Kekerasan

Care Problem Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Causa Isolasi sosial

Harga Diri Rendah

D. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

Masalah Data yang Perlu Dikaji

Keperawatan
Perubahan persepsi Subjektif:

sensori: halusinasi  Klien mengatakan mendengar sesuatu.

 Klien mengatakan melihat bayangan putih.

 Klien mengatakan dirinya seperti disengat listrik.

 Klien mencium bau-bauan yang tidak sedap,

seperti feses

 Klien mengatakan kepalanya melayang di udara.

Objektif:

 Klien terlihat bicara atai tertawa sendiri saat

dikaji.

 Bersikap seperti mendengarkan sesuatu.

 Berhenti bicara di tengah-tengah kalimat untuk

mendengarkan sesuatu.

 Disorientasi.

 Konsentrasi rendah.
 Pikiran cepat berubah-ubah.

 Kekecuan alur pikiran.

E. Diagnosa keperawatan

Perubahan persepsi sensori: halusinasi.

F. Rencana tindakan keperawatan

1. Rencana Tindakan Keperawatan untuk klien

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk klien

 Mengidentifikasi jenis halusinasi.

 Mengidentifikasi isi halusinasi.

 Mengindentifikasi waktu halusinasi.

 Mengidentifikasi frekuensi halusinasi

 Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi.

 Mengidentifikasi respons klien terhadap halusinasi

 Mengajarkan klien menghardik halusinasi.

 Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam

jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 2 (SP 2) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

 Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap

dengan orang lain.

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksana 3 (SP 3) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.


 Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan melakukan kegiatan

(kegiatan yang biasanya dilakukan klien di rumah)

 Menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Strategi pelaksanaan 4 (SP 4) untuk klien.

 Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

 Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara

teratur.

 Mengajurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Tindakan keperawatan untuk klien.

 Membantu klien mengenali halusinasi. Diskusi adalah salah satu cara

yang dapat dilakukan untuk membantu klien mengenali halusinasinya.

Perawat dapat berdiskusi dengan klien terkait isi halusinasi (apa yang

didengar atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya

halusinasi muncul, dan perasaan klien saat halusinasi muncul

(komunikasinya sama dengan pengkajian di atas).

 Melatih klien mengontrol halusinasi. Perawat dapat melatih empat cara

dalam mengedalikan halusinasi pada klien. Keempat cara tersebut sudah

terbukti mampu mengontrol halusinasi seseorang. Keempat cara tersebut

adalah menghardik halusinasi, bercakacakap dengan orang lain,

melakukan aktivitas yang terjadwal dan mengonsumsi obat secara teratur.

2. Rencana Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien

Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) untuk keluarga.

 Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawata klien.


 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala halusinasi yang dialami klien

beserta proses terjadinya.

 Menjelaskan cara-cara merawat klien halusinasi.

Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) untu keluarga.

 Melatih keluarga mempraktikan cara merawata klien halusinasi.

 Melatih keluarga melakukan cara merawat klien halusinasi.

 Tindakan keperawatan untuk keluarga klien Keluarga merupakan faktor

vital dalam penanganan klien gangguan jiwa di rumah. Hal ini

mengingatkan keluarga adalah sistem pendukung terdekat dan orang

yang bersama-sama dengan klien selama 24 jam. Keluarga sangat

menentukan apakah klien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang

mendukung klien secara konsisten akan membuat klien mampu

mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun demikian,

jika keluarga tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bahkan

untuk memulihkan kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu, perawat

harus melatih keluarga klien agar mampu merawat klien gangguan jiwa

di rumah. Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui

tiga tahap. Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang

dialami oleh klien dan pentingnya peran keluarga untuk mendukung

klien. Tahap kedua adalah melatih keluarga untuk merawat klien dan

tahap yang ketiga yaitu melatih keluarga untuk merawat klien langsung.

Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi pengertian

halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien, tanda dan gejala
halusinasi, proses terjadinya halusinasi, cara merawat klien halusinasi

(cara berkomunikasi, pemberian obat, dan pemberian aktivitas kepada

klien), serta sumber-sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau.

G. Daftar pustaka

Damaiyanti, Mukhripah dan Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung

: Refika Aditama.

Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :

Salemba Medika
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Pertemuan Ke : Disesuaikan

Kondisi klien :

 Kondisi Klien terlihat berbicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,

mendekatkan telinga ke arah tertentu, dan menutup telinga.

 Klien mengatakan mendengar suara-suara atau kegaduhan mendengar suara yang

mengajaknya bercakap-cakap, dan mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang

berbahaya.

Diagnose Keperawatan : Perubahan persepsi sensori: Halusinasi.

Tujuan (TUK / SP) :

 Mengindentifikasi jenis halusinasi.

 Mengindentifikasi isi halusinasi

 Mengindentifikasi waktu halusinasi

 Mengindentifikasi frekuensi halusinasi.

 Mengindentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi.

 Mengindentifikasi respons klien terhadap halusinasi.

 Mengajarkan klien menghardik halusinasi.

 Menganjurkan klien memasukan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian

D. Fase Orientasi

Salam teraupetik
“ selamat pagi, assalamualaikum... boleh saya kenalan dengan ibu? Nama saya ..., boleh

panggil saya ... saya mahasiswa keperawatan ... saya sedang praktik di sini dai pukul 08.00

WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB siang. Kalau boleh saya tahu nama ibu siapa dan

senang di panggil dengan sebutan apa?”

Evaluasi/validasi

“ Bagaimana perasaan ibu hari ini? Bagaimana tidurnya tadi malam? Ada keluhan tidak?”

Kontrak

a. Topik : “apakah ibu tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya? Menurutb ibu

sebaiknya kita ngobrol apa ya? Bagaimana kalau kita ngobrol tentang suara dan

sesuatu yang selama ini ibu dengar dan lihat tetapi tidak tampak wujudnya?”

b. Waktu: “berapa lama kira-kira kita bisa ngobrol? Ibu maunya berapa menit?

Bagaimana kalau 10 menit? Bisa!”

c. Tempat : “Di mana kita duduk? Di teras? Di kursi panjang itu, atau mau di mana?”

E. Fase Kerja

“Apakah ibu mendengar suara tanpa ada wujudnya?” “ Apa yang dikatakan suara itu?”

“Apakah ibu melihat sesuatu/orang/bayangan/makhluk?” “ Seperti apa yang kelihatan?”

“Apakah terus-menerus terlihat dan terdengar, atau hanya sewaktu-waktu saja?” “ Kapan

Paling sering ibu melihat sesuatu atau mendengar suara tersebut?” “ Berapa kali sehari

ibu mengalaminya?” “Pada keadaan apa, apkah pada waktu sendiri?” “ Apa yang ibu

rasakan pada saat mendengar suara itu? “ Apa yang ibu rasakan pada saat melihat

sesuatu?” “ Apa yang ibu lakukan saat melihat suara tersebut?” “ Apa yang ibu lakukan

saat mendengar suara tersebut?” “Apakah dengan cara itu suara dan bayangan tersebut

hilang?” “ Bagaimana kalau kita belajar cara untuk mencegah suara-suara atau bayangan
agar tidak muncul?” “ibu ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul.”

“Pertama dengan menghardik suara tersebut.” “Kedua, dengan cara bercakap-cakap

dengan orang lain.: “ Ketiga melakukan kegiatan yang sudah terjadwal.” “Keempat minum

obat dengan teratur.” “Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan

menghadik.”

“Caranya seperti:

 Saat suara-suara itu muncul, langsung ibu bilang, pergi saya tidak mau dengar... saya

tidak mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara itu tidak

terdengar lagi. Coba ibu peragakan! Nah begitu ... Bagus! Coba lagi! Ya bagus ibu

sudah bisa.”

 Saat melihat bayangan itu muncul langsung ibu bilang pergi saya tidak mau lihat ...

saya tidak mau lihat. Kamu palsu. Begitu diulang-ulang sampai bayangan itu tak

terlihat lagi. Coba ibu peragakan! Nah begitu ... Bagus! Coba lagi! Ya bagus ibu sudah

bisa.”

F. Fase Terminasi

Evaluasi subjektif

“bagaimana perasaan ibu dengan obrolan kita tadi? Ibu merasa senang tidkadengan

latihan tadi?”

Evaluasi objektif

“Setelah kita ngobrol tadi, panjang lebar, sekarang coba ibu simpulkan pembicaraan kita

tadi?” “ Coba sebutkan cara untuk mencegah suara dan atau bayangan itu agar tidak

muncul lagi.”

Rencana tindak lanjut


“ Kalau bayangan dan suara-suara itu muncul lagi, silahkan ibu coba cara tersebut!

Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja latihanya?” (masukkan

kegiatan latihan menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian klien).

Kontrak yang akan datang

a. Topik : “ Ibu, bagaimana kalau besok kita ngobrol lagi tentang caranya berbicara

dengan orang lain saat bayangan dan suara-suara itu muncul?”

b. Waktu: “Kira-kira waktunya kapan ya? Bagaimana kalau besok jam09.30 WIB, bisa?”

30

c. Tempat: “Kira-kira tempat yang enak buat kita ngobrol besok di mana ya, apa masih

disini atau cari tempat yang nyaman? Sampai jumpa besok. Wassalamualaikum,...”
DAFTAR PUSTAKA

1. Aritonang, M. (2021). Efektifitas Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi


Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pendengaran Pada Pasien
Ruang
2. Cempaka Di Rsj Prof. Dr. M. Ildrem Medan Tahun 2019. Jurkessutra: Jurnal
Kesehatan Surya Nusantara, 9(1).
3. Direja, A. H. S. (2011) Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
4. Fitria, N. (2012) Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) untuk Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S-1 Keperawatan. Jakarta Selatan:
Salemba Medika.
5. Hawari, D. (2011) Psikiatri Manajemen Stress, Cemas & Depresi. jakarta: FK
UI.
6. Hidayah, A. N. (2015) Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi
PersepsiSensori Terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi Pada Pasien
Halusinasi di RSJD dr. Amino Gondohutomo Semarang. FIKkeS, 8(1).
7. Keliat, Budi Anna, Wiyono, Akemat Pawiro dan Susanti, H. (no date)
Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta:
EGC.
8. Keliat.B.A (2011) Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (CMHN).
Jakarata: EGC.
9. Kusumawati & Hartono (2010) Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
10. Livana, P. H (2020), Peningkatan Kemampuan Pasien dalam Mengontrol
Halusinasi melalui Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi, Jurnal Ners
Widya Husada 5.1: 35-40.
11. Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: Andi.
12. Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019) Standar Luaran Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Cetakan II. jakarta: Dewan Pengurus
PPNI.
13. Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI. PPNI 69
14. Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia, Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus
PPNI.
15. Prabowo, E. (2014) Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: NuhaMedika.
16. Purwaningsih, W. dan I. K. (2017) Asuhan Keperawatan Jiwa. Edited by C. II.
Yogyakarta: Nuha Medika.
17. Pusdiklatnakes. 2012. Modul Pelatihan Keperawatan Kesehatan Jiwa
Masyarakat. Jakarta: Badan PPSDM Kesehatan.
18. Syamsiar, I. (2020). Hubungan Peran Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat
Pasien Gangguan Jiwa Di Wilayah Kerja Puskesmas Karang Baru Kabupaten
Aceh Tamiang. Excellent Midwifery Journal, 3(2), 124-130.
19. Yosep, I. (2016) Keperawatan Jiwa. bandung: PT Refika Aditama.
20. Yusuf, A. D. (2015) Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Selemba.

Anda mungkin juga menyukai