Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA

I. KONSEP TEORI
A. Definisi Cedera Kepala
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala
merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari
luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi
kognitif maupun fungsi fisik.
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan
gangguan fungsi otak. Menurut Smeltzer dan Bare (2013), definisi cedera kepala
adalah suatu injuri yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak karena
adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa
penurunan kesadaran.
Menurut Price dan Wilson, (2012) cedera kepala adalah serangkaian kejadian
patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap
komponen, mulai dari kulit kepala, tulang dan jaringan otak atau kombinasinya.
Cedera kepala merupakan cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala dan mengakibatkan kerusakan jaringan otak sehingga
menyebabkan gangguan neurologi yang menyebabkan nyeri (Miranda & Hilman,
2014).

B. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Kepala
a. Kulit kapala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,
pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat
menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan
diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam
tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio,
laserasi, atau avulasi.
b. Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar
tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang
tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis
(liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau
impresi. Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua
tidak rusak). Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang
berongga, dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula
interna) yang mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan
prosterion. Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan
tertimbunya darah dalam ruang epidural.
c. Lapisan Pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, Asachnoid dan diameter.
1) Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak
elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter robek,
tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter :
a) Melindungi otak
b) Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan
lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler )
c) Membentuk periosteum tabula interna.
2) Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak
menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terda pat
ruang subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan su
bdural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk
seluas valks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati
subdural mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga mudah
cedera dan robek pada trauma kepala.
3) Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh
darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua
girus, kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada
beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak. Prametar
membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini
merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap
ventrikel. Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang
subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu.
Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam
system vena.
4) Otak.
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang
dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :
a) Efek langsung trauma pada fungsi otak,
b) Efek-efek lanjutan dari sel- sel otakyang bereaksi terhadap
trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar
(fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak
keluar dari hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya
karena dapat menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dan karena
tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini
akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak
(peninggian tekanan tekanan intra cranial).
5) Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,
volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak
pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada
posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau
berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75
ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan
dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie
menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam
tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini
menyebabkan perubahan pada volume darah cerebral tanpa adanya
perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi,
menyebabkan turunnya batang 0tak (Herniasi batang otak) yang
berakibat kematian.

C. Etiologi
Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering
dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari
kasus cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20-
30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya
disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di rumah maupun di tempat kerja.
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun
tidak langsung (akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang meluas,
hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik
(Sibuea, 2009).

D. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatife tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadibila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bias dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada
kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batangotak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu
cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera
yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu
fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang
bias kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang
sakit bias mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,
laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang bias mengakibatkan terjadinya gangguan
pada seluruh system dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan
hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer
dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera.
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial
akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa
perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi
terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasidilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK), adapun, hipotensi.
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan
terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intracranial dapat mengakibatkan laserasi,
perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bias terjadi kerusakan susunan
syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam
mobilitas (Brain, 2009).

E. Pathway
F. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan Kebinggungan
atau bahkan koma
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba Defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motoric tidak aktual, adanya Cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.

G. Klasifikasi cedera kepala


Cedera kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan
pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat
terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan
melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan,
cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung
ke otak.
Cedera kepala tertutup Benturan kranial pada jaringan otak di dalam
tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu
yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar,
dan laserasi.
 Berdasarkan keparahan cedera :
1. Cedera kepala ringan (CKR)
a. Tidak ada fraktur tengkorak
b. Tidak ada kontusio serebri,hematoma
c. GCS 13 -15
d. Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi< 30 menit
2. Sedang Cedera kepala sedang (CKS)
a. Kehilangan kesadaran (amnesia) > 30 menit tapi< 24 jam
b. Muntah
c. GCS 9 – 12
d. Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorentasi ringan (bingung)
3. Cedera kepala berat (CKB)
a. GCS 3 – 8
b. Hilang kesadaran> 24 jam
 Menurut Jenis Cedera
1. Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan
jaringan otak.
2. Cedera Kepala tertutup dapat disamakan dengan Keluhan geger otak ringan
dan odema serebral yang luas.

H. Tingkat Keparahan Cedera Kepala


Penurunan derajat kesadaran merupakan indikator yang penting dalam menilai
dan menentukan tingkat keparahan dan kerusakan otak akibat cedera kepala.
Untuk mengetahui tingkat kesadaran seseorang, dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS adalah suatu skala yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran seseorang yang terdiri dari 3 aspek
yaitu respon membuka mata (eye opening), respon berbicara (Verbal Response)
dan respon motorik (Motoric Response).

Tabel Glasglow Coma Scale


Eye Opening Score
Mata terbuka spontan 4
Mata membuka ketika diajak berbicara 3
Mata membuka sedikit setelah dirangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Verbal response Score
Orientasi baik 5
Bicara kacau / disorientasi 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak tepat 3
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
Motoric Response Score
Menuruti perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Gerakan fleksi abnormal 3
Gerakan ekstensi abnormal 2
Tidak ada gerakan 1
Berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Cedera Kepala Ringan (GCS 14 – 15), berdasarkan CT Scan otak tidak
terdapat kelainan, dengan lama rawat di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (GCS 9 – 13), ditemukan kelainan berdasarkan CT-
Scan Otak dan memerlukan tindakan operasi serta dirawat di rumah sakit
setidaknya selama 48 jam.
3. Cedera Kepala Berat (GCS ≤ 8), bila dalam jangka waktu > 48 jam paska
trauma atau setelah pembedahan tidak terjadi peningkatan kesadaran
(Dewi, 2016).

I. Komplikasi
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
3. Parese saraf cranial
4. Meningitis atau abses otak
5. Infeksi pada luka atau sepsis
6. Edema cerebri
7. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
8. Kebocoran cairan serobospinal
9. Nyeri kepala setelah penderita sadar

J. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun
thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2010)

K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik
seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak.
(Tunner,2000)
Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera
kepala (Turner, 2000)
Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikana makanan lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari),
tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer
dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-
3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:
1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain yaitu:
1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik. (Mansjoer, dkk, 2000).

II. ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw
thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari
leher.
b. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
c. Circulation dan hemorrhage control
1) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik
dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu
kesadaran, warna kulit dan nadi.
2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil.
e. Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
2. Pengkajian sekunder
a. Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan,
tinggi badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota
keluarga, agama.
b. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
c. Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda :Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia, ataksia,
cara berjalan tidak tegang.
d. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
e. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
f. Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
g. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
h. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman,
perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda:Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.
i. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
j. Pernafasan
Tanda: Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
k. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda: Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis,
demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
l. Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-
ulang, disartria.

B. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 DS : - Trauma Kepala Ketidakefektifan
DO : ↓ bersihan jalan
 KU : Pasien kelihatan Intra kranial nafas
gelisah, kesadaran ↓
coma ,GCS : 2-x-3 Jaringan Otak Rusak
 Hematoma 12cm ↓
 Terpasang NGT Perubah autoregulasi
 Terpasang ventilator Oedema serebral
 Terpasang kateter ↓
 Terdapat oedema kepala Kejang

 Tangan kiri robek ± 2
Obstruksi jalan nafas
cm

 Terpasang O2 NRM 10
Ketidakefektifan jalan
L
nafas
 Terdengar bunyi nafas
tambahan
 TTV :
- TD : 100/60
- Nadi : 60x/m
- S : 36,5
- RR : 26x/menit
2 DS : - Trauma kepala Perfusi jaringan
DO : ↓ serebral tidak
 KU : Pasien kelihatan Cedea jaringan otak efektif
gelisah, kesadaran ↓
coma ,GCS : 2-x-3 Degranulasi sel-sel mast
 Hematoma 12cm ↓
 Terpasang NGT Pelepasan histamine
 Terpasang ventilator ↓
 Terpasang kateter Vasodilatasi dan
 Terdapat oedema kepala permeabilitas kapiler

 Tangan kiri robek ± 2
Eksudasi cairan dari
cm
intravaskuler ke jaringan
 Terpasang O2 NRM 10
intertisial otak
L

 Terdengar bunyi nafas Edema serebral
tambahan ↓
 TTV : Peningkatan TIK
- TD : 100/60 ↓
- Nadi : 60x/m Menurunnya Cerebral
- S : 36,5 blood flow
- RR : 26x/menit ↓
Suplai O2 ke otak
menurun

Perfusi jaringan serebral
tidak efektif

C. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas b/d obstruksi jalan nafas
2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan menurunnya
suplai O2 ke otak

D. Intervensi keperawatan
No DX keperawatan NOC NIC
(Nursing Outcome) (Nursing Intervention
Clasification)
1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan perawatan 1. Kaji status
bersihan jalan nafas selama 1x8 jam bersihan jalan pernafasn
berhubungan naffas pasien menjadi efektif pasien
dengan obstruksi dengan kriteria hasil 2. Kaji penyebab
jalan nafas 1. Mendemonstrasikan ketidakefektifa
batuk efektif dan nafas n bersihan
yang bersih (mampu jalan nafas
mengeluarkan sputum, 3. Posisikan
mampu bernafas pasien untuk
dengan mudah , tidak memaksimalka
ada pursed lips) n ventilasi
2. Mampu 4. Monitor
mengidentifikasi dan perubahan
mencegah factor yang tingkat
dapat menghambat kesadaran,
jalan nafas status mental,
dan
peningkatan
TIK
5. Berikan
oksigen sesuai
anjuran medis
6. Melakukan
suction jika
diperlukan
7. Reposisi
pasien
setidaknya 2
jam dengan
tepat
8. Monitor tanda-
tanda vital
9. Kolaborasi
dengan dokter
tentang
pemberian
terapi dan
nebulizer
2 Risiko Perfusi Setelah dilakukan perawatan 1. Monitor tanda
jaringan serebral selama 1x8 jam diharapkan dan gejala
tidak efektif risiko perfusi jaringan serebral peningkataan
berhubungan tidak efektif tidak terjadi TIK
dengan menurunnya dengan kriteria hasil 2. Monitor MAP
suplai O2 ke otak 1. Tekanan intracranial 3. Berikan posisi
menurun semifowler
2. Gelisah menurun 4. Hindari
3. Kecemasan menurun pemberian
cairan IV
hipotonik
5. Kolaborasi
pemberian
sedasi bila
perlu
6. Kolaborasi
pemberian
diuretic
osmosis
DAFTAR PUSTAKA

Brain Injury Association of America. (2006). Types of Brain Injury.

http://www.biausa.org/pages/type of braininjury.html.

Miranda., et al. (2014). Gambaran Ct Scan Kepala Pada Penderita Cedera Kepala

Ringan Di BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 2012 – 2013.

Smeltzer & Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth. Edisi 8 Volume 3. Alih Bahasa : Agung Waluyo. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia. A dan Loraine M. Wilson. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses – Proses Penyakit, Ed. 6, Vol 2. Jakarta: EGC

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai