Anda di halaman 1dari 81

PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN GEREJA

METHODIST INDONESIA DI MEDAN (1964-1983)

SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN

O
L
E
H

NAMA : TOMMI PURBA

NIM : 020706014

DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segenap hati penulis mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas alam dan segala isinya, berkat penyertaan dan segala anugerah yang

dikaruniakan sehingga penulisan skripsi ini dapat dilakukan. Penulisan skripsi ini

ditujukan untuk sebuah tanggung jawab seorang sejarawan merekontruksi masa

lalu yang diharapkan menjadi sebuah pelajaran dari masa lalu untuk permasalahan

saat ini dan yang akan datang. Dilain pihak skripsi ini ditujukan sebagai

pemenuhan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan aktivitas perkuliahan dan

sebagai modal utama untuk memperoleh gelar sarjana bidang sejarah di

Universitas Sumatera Utara.

Studi ini membahas tentang sejarah pembentukan Gereja Methodist

Indonesia di Medan, dan proses perkembangannya yang dilalui dengan berbagai

masalah dalam itubuh organisasi gereja tersebut. Pada akhirnya masalah-masalah

tersebut dapat disesaikan dengan berbagai kebijakan oleh segenap warga Gereja

Methodist Indonesia. Cara-cara pemecahan permasalahan dan pengembangan

Gereja Methodist Indonesia tersebut akan dipaparkan dalam skripsi ini.

Penulis mengakui masih banyak hal tentang Gereja Methodist Indonesia

yang luput dari jangkauan penulis. Atas kesadaran ini penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang tentunya bersifat untuk membangun agar

karya ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan

permohonan maaf atas kurang lebihnya penulisan skripsi ini.

Tommi Purba

Universitas Sumatera Utara


UCAPAN TERIMAKASIH

Apapun yang penulis alami sampai saat ini adalah semua berkat Tuhan

Yesus Kristus, begitu juga hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak

terlepas dari pada pertolongan yang tulus dariNya. Banyak pihak yang telah turut

serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik bantuan materi

maupun spiritual. Skripsi tidak akan terselesaikan tanpa bantuan mereka, untuk

penulis layak mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada

mereka:

1. Ayahanda tercinta N Purba (+) yang telah mendahului kami. Terimakasih

untukmu Ayah, berkatmu juga anakmu ini bisa seperti saat ini apapun

adanya. Maaf ayah, banyak anganmu tentangku yang belun dapat

terujutkan semasa hidupmu, semoga Engkau kekal di sisi Bapa di Sorga.

2. Mamaku yang sangat baik, M Br. Saragih, terima kasih ‘Ma, Engkau

selalu berdoa dan berjuang untuk anakmu ini tanpa Ayah di sisimu Engkau

tetap tegar melakoni tugasmu sebagai orangtua yang bertanggungjawab

terhadap anak-anakmu. Semoga Tuhan Yesus Kristus selalu memberkati

Engkau, memberikan umur panjang, memberikan kesehatan dan rejeki

yang melimpah kepadamu. Engkau mama yang terbaik bagiku.

3. Adik-adikku yang selalu setia mendoakan keluarga dan mendoakanku,

terimakasih buat kalian: ada Meli yang cantik, Ria yang maniz, ada

Purnama yang imut-imut, ada Winda yang baik hati dan ada Marta

sibontot yang manja. Sekali lagi terima kasih dan selalu tetap berdoa untuk

keluarga kita.

Universitas Sumatera Utara


4. Teman-temanku jurusan Sejarah, khususnya stambuk “02”, tanpa

terkecuali, khusus buat bung “G”, engkau tak terlupakan friend, masih

membekas tinjumu dipipiku, awas kubalas kau!

5. Dek “Christ” yang baik hati, terimakasih atas dukungan semangat dan

motipasi yang telah engkau berikan. Kupastikan namamu kan slalu terukir

indah di hatiku.

6. Bapak Drs. Syaifuddin, MA. Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra USU

Medan.

7. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U, selaku Ketua Departemen Sejarah,

sekaligus sebagai pembimbing skripsiku, terimakasih Ibu atas

Bimbingannya kepadaku selama penyelesaian skripsi ini.

8. Ibu Cha-cha, selaku sekretaris departemen Sejarah, terimakasih banyakbu

yah!. Ibu baik Deh!!

9. Selurug Staf pengajar depatemen Sejarah yang tidak dapat saya sebutkan

namanya satu-persatu. Terimakasih atas ilmu yang telah engkau ajarkan

kepada saya.

10. Bang “Am”, Thanks ya Bang atas bantuannya selama ini.

11. Pengurus Gereja Methodist Indonesia di Medan, terima kasih atas

kesempatan yang diberikan kepada saya untuk melakukan penelitian

sehigga dapat diselasaikannya skripsi ini.

Medan, 18 Maret 2008


Saya yang menulis

Tommi Purba.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Gereja Methodist adalah organisasi keagamaan yang memisahkan diri
dari Gereja Kristen yang ada di Inggris. Ajaran Methodist pertama kalinya
dikemukakan oleh seorang pendeta yang bernama John Wesley. Pedoman-
pedoman kekristenan Gereja Methodist berpangkal dari ajaran John Wesley.
Ajaran John Wesley telah tersebar diberbagai negara, yang akhirnya menjadi
sebuah gereja yang otonom di Negara-negara tersebut, seperti yang terjadi di
Indonesia yaitu terbentuknya Gereja Methodist Indonesia yang memperoleh izin
otonomnya pada tahun 1964. Gereja Methodist Indonesia mengembangkan
jemaatnya melalui berbagai sisi, antara lain kerohanian dan kehidupan dunia,
yaitu pendidikan. Hal ini menjadi nilai positif bagi Gereja Methodist Indonesia
yang mengakibatkan gereja ini cepat dikenal oleh masyarakat, terutama
dikalangan orang Tionghoa dan Batak Toba di Sumatera Utara. Besarnya jumlah
orang Batak Toba yang menerima ajaran ini mengalahkan kelompok etnis
lainnya, hal ini menjadikan banyak peran strategis dalam tubuh Gereja Methodist
Indonesia yang diduduki oleh etnis Batak. Akibat dari latar belakang ini
menimbulkan suatu kecemburuan, terutama dari kalangan etnis Tionghoa, yang
akhirnya membentuk distrik sendiri, yang dinamakan dengan distrik Tionghoa.
Birokrasi Gereja Methodist Indonesia menilai hal ini merupakan suatu hal yang
dapat merusak citra Methodist dimasyarakat, sehingga konferensi Agung yang
diadakan tahun 1983 memutuskan distrik Tionghoa dihapuskan, maka sejak saat
itu Gereja Methodist Indonesia tetap satu distrik.

Tommi Purba

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………….... i
ABSTRAK …………………………………………………………. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………… 7
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ………………………… 8
1.4 Tinjauan Pustaka ……………………………………….. 9
1.5 Metode Penelitian ……………………………………… 11
BAB II GAMBARAN UMUM PENELITIAN
2.1 Latar Belakang Historis
Dan Perkembangan Kota Medan ……………………… 13
2.2 Kondisi Geografis Kota Medan ………………………… 17
2.3 Struktur Sosial Budaya Masyarakat Kota Medan ……… 18
BAB III SEJARAH RINGKAS ALIRAN METHODIST
3.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Methodist ………. 21
3.2 Masuknya Ajaran Methodist Ke Indonesia ……………. 26
3.2.1 Perjalanan misi Methodist di pulau Jawa …….. 28
3.2.2 Misi Methodist di Kalimantan ………………… 33
3.2.3 Perjalanan Methodist di Sumatera Selatan
dan pulau Bangka …………………………….. 36
3.3 Proses Methodisasi Di Sumatera Utara ………………… 39
BAB IV PERKEMBANGAN GEREJA METHODIST INDONESIA
DI MEDAN
4.1 Terbentuknya Gereja Methodist Indonesia
Di Medan Dan Perkembangannya ……………………... 46
4.2 Methodist Terbagi Menjadi Dua Distrik ……………….. 54
4.3 Gereja Methodist Indonesia Satu Distrik Kembali ……. 60
4.4 Konstitusi Gereja Methodist Indonesia ………………… 64
BAB V KESIMPULAN ……………………………………………. 67
-DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………… 71
-LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Gereja Methodist adalah organisasi keagamaan yang memisahkan diri
dari Gereja Kristen yang ada di Inggris. Ajaran Methodist pertama kalinya
dikemukakan oleh seorang pendeta yang bernama John Wesley. Pedoman-
pedoman kekristenan Gereja Methodist berpangkal dari ajaran John Wesley.
Ajaran John Wesley telah tersebar diberbagai negara, yang akhirnya menjadi
sebuah gereja yang otonom di Negara-negara tersebut, seperti yang terjadi di
Indonesia yaitu terbentuknya Gereja Methodist Indonesia yang memperoleh izin
otonomnya pada tahun 1964. Gereja Methodist Indonesia mengembangkan
jemaatnya melalui berbagai sisi, antara lain kerohanian dan kehidupan dunia,
yaitu pendidikan. Hal ini menjadi nilai positif bagi Gereja Methodist Indonesia
yang mengakibatkan gereja ini cepat dikenal oleh masyarakat, terutama
dikalangan orang Tionghoa dan Batak Toba di Sumatera Utara. Besarnya jumlah
orang Batak Toba yang menerima ajaran ini mengalahkan kelompok etnis
lainnya, hal ini menjadikan banyak peran strategis dalam tubuh Gereja Methodist
Indonesia yang diduduki oleh etnis Batak. Akibat dari latar belakang ini
menimbulkan suatu kecemburuan, terutama dari kalangan etnis Tionghoa, yang
akhirnya membentuk distrik sendiri, yang dinamakan dengan distrik Tionghoa.
Birokrasi Gereja Methodist Indonesia menilai hal ini merupakan suatu hal yang
dapat merusak citra Methodist dimasyarakat, sehingga konferensi Agung yang
diadakan tahun 1983 memutuskan distrik Tionghoa dihapuskan, maka sejak saat
itu Gereja Methodist Indonesia tetap satu distrik.

Tommi Purba

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang Masalah

Gereja Methodist adalah suatu gereja Kristus (yang mengikuti ajaran

kristus) dimulai dari kesadaran teologis oleh seorang pendeta Inggris bernama

John Wesley, dari keluarga protestan dimana ayah dan ibunya adalah seorang

pendeta. Ajaran Methodist yang dimulai oleh Wesley adalah gereja yang lahir

karena kesadaran teologis, bukan berlatar belakang dari konflik seperti yang

terjadi dengan gereja Kristen lainnya.

John Wesley memulai ajarannya berawal dari pembenahan dirinya sendiri,

dimana hukum dan ajaran protestan diterima dan dilaksanakannya secara keras.

Praktek teologi ini dijalankan oleh Wesley sejak lulus dari bangku universitas

Oxford Inggris. Perkembangan teologi yang sudah tertanam dalam diri John

Wesley semakin berkembang didukung oleh kebaktian dan perjamuan yang sering

dilaksanakan oleh keluarganya dirumah Wesley sendiri.

Hasil yang diterima John Wesley dari pelaksanaan kebaktiaan dan acara

jamuan yang sering dilaksanakan di rumahnya, adalah sebuah pandangan tentang

keagamaan yang berbunyi “Bahwa rahmat Allah tidak didapatkan dengan

melaksanakan peraturan-peraturan, maupun hukum-hukum agama, atau

penyempurnaan diri sendiri tetapi turun kepada kita dengan kepercayaan terhadap

Kristus” 1. Dengan demikian manusia akan memperoleh hidup aman dan damai.

Filosofi teologi yang diterima oleh John Wesley semakin dikembangkan

dengan menggali ajaran teologi Kristen mula-mula, sehingga kesempurnaan dapat

Universitas Sumatera Utara


diperoleh oleh Wesley, dan sampai saat ini masih kekal dalam ajaran Methodist,

yaitu:

a. Bahwa anugerah Tuhan yang diberikan kepada seluruh Dunia, sanggup

memenuhi keseluruhan keperluan Manusia.

b. Bahwa Alkitab tidak mengenal keselamatan, selain keselamatan dari

dosa, dan kehidupan suci adalah kasih sayang serta kepercayaan

terhadap Allah. 2

Ajaran dan pandangan John Wesley tentang agama dituangkan dalam

bentuk metode-metode keagamaan dan pola hidup sehari-hari, sehingga diterima

oleh kelompok masyarakat lainnya. Jumlah pengikut dari ajaran wesley semakin

berkembang yang akhirya menjadi organisasi gereja bernama Methodist.

Gereja Methodist Indonesia adalah organisasi gereja yang berdiri sendiri

sama seperti organisasi gereja yang lainnya. Masing-masing organisasi gereja

mempunyai corak dan ciri yang berlainan yang berlatar belakang dari perbedaan

misi zending (organiasi penginjilan) dan kondisi lokal seperti misi zending Huria

Kristen Batak Protestan (HKBP), dengan konsep suku Batak Toba, sedangkan

Methodist disebarkan oleh misi zending Amerika Serikat dengan konsep

nasional. 3

Penulisan skripsi ini mengajukan pembahasan tentang Gereja Methodist

Indonesia yang disebarkan oleh John Russel misi Zending dari New York

Amerika Serikat. John Russel menilai bahwa pada babakan awal tahun 1900an

penyebaran kristen di Indonesia sangat minim, terlebih ajaran methodist sama

1
Benjamin Munthe, Training Dasar Rohani Kristen, Medan: GKII, 2003, hlm. 1.
2
Gereja Methodist Indonesia, Disiplin Gereja Methodist Indonesia 1973, Tebing Tinggi:
Depot Buku Methodist, 1973.hlm.2.

Universitas Sumatera Utara


sekali belum pernah disebarkan, karena itulah misi Zending Malaysia Annual

Conference (MAC) difokuskan ke daerah Hindia-Belanda yang sebelumnya aktif

dalam penginjilan di Malaysia. Misi Zending MAC mempunyai kemiripan dengan

misi zending lainnya dalam proses penginjilan. Selain mengembangkan Methodist

dari sudut teologia, mereka juga melakukan pelayanan dalam bentuk pembukaan

sekolah, yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara kebutuhan rohani dan

kebutuhan pendidikan dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai penginjilan mula-mula, John Russel memfokuskan kegiatannya

dalam bidang kerohanian (penyebaran ajaran Methodist) hal ini yang

melatarbelakangi ajaran Methodist dapat diterima dengan cepat di Hindia-

Belanda. Sebagai langkah pertama, Russel membagi wilayah Hindia Belanda

menjadi dua bagian besar pelayanan, yaitu daerah Jawa dan sekitarnya berpusat di

Singapura, dan pulau Sumatera berpusat di Penang. Pada tahun 1922 kedua

pelayanan Methodis ini sudah mampu menyebarkan agama Kristen kepada suku

Tionghoa, Sunda, Dayak, Batak Toba dan Simalungun. Mereka yang sudah

bergabung dengan misi Methodist ini dinamakan dengan Konferensi misi

(Mission Conference). Nama ini dipakai hingga tahun 1940. 4

Sejak tahun 1927, penginjilan Methodist kelompok I, yang berkonsentrasi

untuk wilayah Jawa dan sekitarnya diberhentikan dan dipindahkan kewilayah

Sumatera Utara.. Penghentian penginjilan di wilayah Jawa ini sendiri berlangsung

hingga waktu yang cukup lama yaitu hingga tahun 1964.

Di wilayah Sumatera Utara, khususnya Medan penginjilan yang dilakukan

oleh Methodist tergolong sukses dalam mendapatkan masyarakat yang menjadi

3
Richard Daulay, kekristenan Dan Kesuku Bangsaan. Yoyakarta: Taman Pustaka
Kristen, 1996. hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


pengikut ajaran Methodist. Kelompok pengikut Methodist dari usaha pelayanan

yang dilakukan oleh penginjilan Methodist dominan etnis Batak Toba dan

Tioanghoa yang sudah lama di Medan. Sedangkan dengan kelompok suku lainnya

yang jumlahnya minim adalah etnis Simalungun dan etnis Karo.

Kelompok etnis Batak Toba dan Tionghoa sangat berkembang pesat

menjadi pengikut Methodist. Banyak masyarakat Tionghoa akhirnya

meninggalkan kepercayaannya dan menjadi pengikut Methodist, demikian juga

etnis Batak Toba yang meninggalkan aliran kepercayaan yaitu Parmalim

(kepercayaan suku Batak Toba) dan menjadi pengikut gereja Methodist. Kedua

kelompok etnis ini masing-masing ikut bergabung dalam Methodist dan saling

mendekatkan dengan etnisitas masing-masing, yang akhirnya menimbulkan

sebuah persaingan yang tidak sehat, misalnya seperti penggunaan bahasa, pada

saat melaksanakan kebaktian. Bahasa yang dipakai dalam prosesi kebaktian

kelompok Batak adalah bahasa Batak Toba, demikian juga etnis Tionghoa yang

memakai bahasa Tionghoa dalam prosesi kebaktiannya. Akibat perbedaan corak

kebaktian antara Methodist Tianghoa dengan Methodist Batak Toba, akhirnya

menimbulkan Methodist di Sumatera Utara, Khususnya Medan terbagi menjadi

dua Distrik, yaitu Distrik Tionghoa dan distrik Batak Toba yang mana

pembagiannya bukan lagi berdasarkan kondisi geografis tetapi berdasarkan

etnisitas.

Kemerdekaan Indonesia yaitu Tanggal 17 Agustus 1945, ternyata

membawa perubahan besar terhadap Methodist di Indonesia yaitu gerakan

Methodis yang semakin lama semakin berorientasi dengan keadaan lokal, hingga

4
Gereja Methodist Indonesia, op. cit., hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara


tahun 1964 nama terhadap pengikut Methodist yaitu Misi Methodist berubah

menjadi Gereja Methodist Indonesia (GMI). Proses perubahan ini dilalui dengan

gerakan-gerakan dan pemenuhan beberapa persyaratan kemethodisan.

Walaupun terlihat ada perbedaan yang jelas dalam tubuh methodist, tetapi

ini tidak jadi penghalang dalam hal pengembangan jemaat. Hal ini tidak terlepas

dari usaha masing-masing Distrik dalam meningkatkan jumlah jemaatnya. Disisi

lain Gereja Methodist Indonesia melakukan beberapa gerakan dalam membangun

jemaatnnya baik dalam bentuk kuantitas (pelayanan) maupun dari segi kualitas

melalui pembukaan departemen-departemen sosial dan departemen pendidikan.

Misi sosial yang dilakukan oleh Gereja Methodist Indonesia sangat beragam dan

sangat menyentuh aspek kehidupan manusia.

Sampai beberapa tahun terbentuknya Gereja Methodist Indonesia, tetapi

distrik dalam organisasi ini masih terbagi atas dua bagian. yaitu distrik Batak

Toba dan Tionghoa. Perkembangan jemaat Methodist terlihat pesat dari kelompok

suku yang ada di Sumatera Utara. Kelompok suku yang bertambah ini pada

dasarnya lebih banyak mengikuti distrik Batak Toba. Hal ini dipengaruhi oleh

bahasa dan budaya yang identik, seperti etnis Karo dan Simalungun. Etnis lokal

yang lebih dominan masuk kedalam kelompok Batak Toba, sehingga

perkembangan terlihat lebih cepat dipihak distrik Batak Toba.

Dalam bidang departemen yang dibangun oleh Methodist ternyata banyak

berguna bagi masyarakat, bukan hanya bagi jemaat Methodist saja. Departemen

yang dibangun oleh Methodist pada dasarnya tidak bersifat teologis tetapi bersifat

sekuler, misalnya sekolah yang dibangun oleh pihak Methodist yang bertujuan

untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Universitas Sumatera Utara


Gereja Methodist Indonesia adalah gereja yang murni berdiri sendiri di

Medan, bukanlah hasil perpecahan dari gereja yang lainnya, akan tetapi Gereja

Methodist Indonesia juga merupakan salah satu anggota Persatuan Gereja

Indonesia, sama seperti gereja kristen yang lain.

Pada tahun 1983, perpecahan yang terjadi ditubuh Gereja Methodist

Indonesia sudah terselesaikan, dimana sejak tahun ini kedua distrik yang berseteru

bersatu menjadi satu distrik yang bersifat nasional, hal ini dipengaruhi oleh

semakin ragamnya etnis yang bergabung menjadi jemaat Gereja Methodist

Indonesia dan semakin besarnya jumlah etnis Batak Toba yang masuk menjadi

jemaat Gereja Methodist Indonesia. Dalam upaya pemersatuan ini tentu ada

gerakan dan kelompok yang sudah berjuang untuk hal ini. Penyatuan ini tentu

akan memberikan peningkatan terhadap perkembangan Gereja Methodist,

bagaimana perkembangan Methodist setelah kembali menjadi satu distrik?

Perjalanan Gereja Methodist Indonesia yang terbentuk di Medan dan

mengalami perkembangan yang pesat, selalu dilalui dengan proses sejarah yang

unik. Banyak usaha yang dilakukan oleh Gereja Methodist Indonesia untuk

menjaga eksistensinya, hal inilah yang menjadikan penulis tertarik dalam memilih

topik ini menjadi penelitian skripsi. Penulis juga tertarik mengetahui lebih lanjut

tentang Methodist. Topik yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah Sejarah

Pembentukan Dan Perkembangan Gereja Methodist Indonesia di Medan 1964-

1983. penulisan skripsi ini akan dilangsungkan sebab bukti-bukti yang akan

digunakan untuk menjawab permasalahan yang akan diangkat dalam karya ini

masih dapat diperoleh.

Universitas Sumatera Utara


1.3 Rumusan Masalah

Topik permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah sejarah

pembentukan dan perkembangan Gereja Methodist Indonesia di Medan. Untuk

mempermudah klasifikasi permasalahan penulis membuat beberapa poin

pertanyaan yaitu:

1. Bagaimana proses terbentuknya Gereja Methodist Indonesia di Medan?

2. Bagaimana solusi dari permasalahan antara distrik Batak Toba dengan

distrik Tionghoa?

3. Bagaimana proses perkembangan Gereja Methodist Indonesia di Medan?

Batasan waktu yang diangkat dalam penelitian ini mengambil tahun 1964,

sebagai awal penelitian dan 1983 sebagai batas akhir penelitian. Tahun 1964

sebagai periode awal dalam penelitian ini dilatarbelakangi oleh tematis

pembentukan pengikut Methodist sebagai gereja lokal, yang dinamakan dengan

Gereja Methodist Indonesia. Tahun 1983 sebagai batasan akhir, berlatarbelakang

dari penyatuan dua distrik di tubuh Gereja Methodist Indonesia. Sejak tahun 1983

Gereja Methodist menjadi satu distrik dalam pengelolaannya.

1.4 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Setiap segi sejarah kehidupan manusia adalah hal yang sangat perlu

diketahui yang bermanfaat sebagai penelusuran identitas kita. Demikian halnya

dengan penelitian ini ditujukan untuk:

1. Mengetahui proses terbentuknya Gereja Methodist Indonesia di Medan.

2. Mengetahui bagaimana solusi dari permasalahan antara distrik Batak Toba

dengan distrik Tionghoa.

Universitas Sumatera Utara


3. Mengetahui proses perkembangan jemaat Gereja Methodist Indonesia di

Medan.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat:

1. menambah literatur tentang sejarah gereja, khususnya Gereja Methodist

Indonesia di Medan

2. Menambah literatur tentang sejarah sosial khususnya sejarah tentang

organisasi gereja.

1.5 Tinjauan Pustaka

Untuk membahas sejarah dan perkembangan gereja Methodist di Medan,

harus dikaji dari banyak segi kehidupan sosial sebagai cara menghindari

penulisan sejarah yang bersifat konfensional yang berpusat pada peran seorang

tokoh dalam peristiwa tertentu, misalnya hikayat raja-raja, panglima perang,

sementara peran dari aspek lain yang tergolong sebagai pendukung terhadap

peristiwa sejarah selalu dikesampingkan.

Seorang penulis sejarah harus dilengkapi dengan perlengkapan pendekatan

ilmu Bantu sosial lainnya seperti Sosiologi, Antropologi, Politikologi, Ekonomi

dan Psikologi. Untuk mengungkap peristiwa sejarah yang lebih mendalam. 5

Richard Daulay dalam bukunya yang berjudul “Kekristenan Dan Kesuku

Bangsaan: Sejarah Perjumpaan Methodisme Dengan Orang Batak Dan Orang

Tionghoa di Indonesia” menjelaskan: Untuk membantu pengkajian tentang

Gereja Methodist Indonesia, tidak terlepas dari misi Zending dan penginjilan-

penginjilan yang akhirnya membentuk organisasi gereja setelah masyarakat lokal

Universitas Sumatera Utara


banyak yang menerima penginjilan tersebut. Misi zending yang datang ke

Indonesia pada dasarnya barasal dari Eropa, kecuali misi Zending yang membawa

ajaran Methodist ke Indonesia, yang dibawa oleh misi Zending Amerika serikat.

Gambaran tentang kemethodisan di Indonesia dijelaskan pimpinan pusat Methodis

Gereja Methodist dalam buku yang berjudul: “Disiplin Gereja Methodist

Indonesia”, bahwa gereja Methodist adalah gereja yang pada dasarnya sama

dengan gereja lokal lainnya, dimana firman Tuhan diajarkan, dan sakramen-

sakramen dilaksanakan menurut semestinya. Gereja Methodist adalah gereja

Protestan yang tidak langsung dari hasil reformasi, melainkan mekar dari gereja

Inggris oleh John Wesley, dengan proses yang cukup panjang. Latar belakang dari

John Wesley adalah keluarga yang kristen Protestan Inggris, dimana ayah dan

ibunya adalah pendeta protestan. 6

Berkat penginjilan-penginjilan yang sangat gigih dari kelompok misi

zending Methodist, maka perkembangan dari sekte ini sangat pesat diberbagai

negara terutama negara-negara maju, seperti negara Inggris dan Amerika serikat,

sedangkan ke Indonesia ajaran Methodist disebarkan pada tahun 1905, yang

bentuknya adalah misi zending. Pertumbuhan jumlah jemaat Methodist sangat

cepat yang mengakibatkan terbentuknya gereja Methodist yang berorientasi

dengan suasana lokal. 7

Berita keselamatan menurut Methodist, tidak harus diberitakan oleh

seorang teologia ataupun seorang pendeta, tetapi lebih menekankan seseorang

yang terpanggil dan mengerti firman Tuhan. Mereka bisa saja memberitakan

5
Sartono Kartodirdjo, Beberapa Kecenderungan Dari Study Sejarah di Indonesia Dalm
Sejarah Indonesia Dalam Monograf, Yoyakarta: Jurusan Sejarah Dan Geografi Sosial IKIP Sanata
Dharma, 1980. hlm.9.
6
Gereja Methodis Indonesia, op. cit., hlm.1-2.

Universitas Sumatera Utara


Firman Tuhan. Latar belakang inilah yang menyebabkan ajaran Methodist

berkembang dengan pesat.

Penganut Methodist di Medan pada dasarnya lebih berkembang di dalam

dua suku, yaitu etnis Batak Toba dan etnis Tionghoa. Gagasan menuju

terbentuknya gereja lokal yaitu Gereja Methodist Indonesia dominan dipengaruhi

oleh kedua etnis tersebut. Latar belakang ini membuat kedua etnis membentuk

gereja Methodist Indonesia menjadi 2 distrik, masing-masing dengan orientasi

etnisitas (Batak dengan Tionghoa). Tetapi dua distrik yang dulunya terlihat

renggang akhirnya bersatu kembali tepatnya pada tahun 1983 yang semua itu

ditempuh dengan berbagai usaha. 8

Dari beberapa konsep dan buku yang dijelaskan di atas, penulis berharap

dapat memberikan bantuan terhadap penelitian ini.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dimana penulis akan menguraikan

secara terperinci proses masuknya ajaran Methodist ke Medan, dan bagaimana

misonaris menyebarkan ajaran Methodist kepada masyarakat, sehingga pada

akhirnya melahirkan organisasi gereja yang bernuansa lokal dan berdiri sendiri

yang dinamakan dengan Gereja Methodist Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam merekonstruksi peristiwa, akan

menggunakan petunjuk-petunjuk penelitian Sejarah, yang prosesnya adalah

sebagai berikut:

7
Ibid., hlm.5.
8
Richard Daulay, op . cit., hlm. 256.

Universitas Sumatera Utara


1. Heuristik, yaitu proses pengumpulan sumber sebanyak-banyaknya

yang memberikan penjelasan tentang gerakan Methodist Indonesia

di Medan, melalui metode penelitian kepustakaan (Library

research) yaitu pengumpulan berbagai sumber tertulis seperti buku,

majalah, surat kabar, notulen, buletin, dan hasil laporan penelitian

sebelumnya yang dapat mendukung penelitian ini.

2 Kritik sumber, untuk memeriksa keabsahan data melalui:

a. Kritik intern, yang ditujukan untuk memperoleh dokumen yang

kredibel dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis.

Menganalisis buku-buku, atau dokomen yang berkaitan dengan

Gereja Methodist Indonesia dengan metode membandingkan

dengan sumber yang lainnya.

b. Kritik ekstern, untuk memperoleh data yang otentik, dengan cara

menyesuaikan dengan jiwa Zaman.

3 Interpretasi untuk analisis dan panafsiran data dengan menggunakan

metode komperatif (perbandingan) dengan penelitian sebelumnya.

Metode ini akan dilakukan untuk memastikan hasil penelitian ini

dengan cara menyeragamkan dengan hasil penelitian yang dilakukan

sebelumnya.

4 Historiografi yaitu, menyusun fakta menjadi hasil penelitian yang

bentuknya adalah karya tulis sejarah yang desikriptif analisis. Dari

fakta fakta tentang Gereja Methodist Indonesia yang sudah diuji

dengan metode sejarah, akan ditulis berdasarkan kronologi waktu.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

2.1 Latar Belakang Historis Dan Perkembangan Kota Medan

Dari hasil penelaahan yang dilakukan oleh tim sejarah rekonstruksi kota

Medan, menghasilkan kesimpulan tentang latar belakang historis kota Medan

yaitu, bahwa kota Medan didirikan oleh guru Patimpus Sembiring yang berasal

dari etnis Karo. Setelah melakukan beberapa pertimbangan tentang berdirinya

kota Medan, akhirnya disimpulkan bahwa kota Medan berdiri tanggal 1 Juli 1590,

maka tanggal 1 Juli dijadikan sebagai hari ulang tahun kota Medan, 9 yang

dirayakan setiap tahunnya.

Keadaan Medan pertama kalinya adalah hanya sebuah perkampungan,

yang berfungsi sebagai tempat pemukiman beberapa orang manusia, dan semakin

lama jumlah penduduk yang menempati sekitar perkampungan dan pantai

semakin besar, sehingga Medan menjadi sebuah perkampungan yang dihuni oleh

beragam etnis.

Keadaan keagamaan masyarakat pada awal-awal berdirinya Medan masih

tergolong sebagai masyarakat yang sistem kepercayaannya masih menganut

kepercayaan kepada penguasa alam atau roh nenek moyang. Agama sama sekali

belum masuk kewilayah Medan. Hal ini membuktikan, bahwa agama yang ada di

Medan hingga sampai saat ini telah mengalami banyak proses, dari awal masuk

hingga berkembang seperti saat ini.

Semakin beragam dan banyaknya suku pendatang yang datang ke Medan

ternyata berakibat terhadap perkembangan kota. Medan segera menjadi sebuah

9
Pemerintah Kota Medan, Profil Kota, Medan: Pemko, 2004. hlm. 34.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

2.1 Latar Belakang Historis Dan Perkembangan Kota Medan

Dari hasil penelaahan yang dilakukan oleh tim sejarah rekonstruksi kota

Medan, menghasilkan kesimpulan tentang latar belakang historis kota Medan

yaitu, bahwa kota Medan didirikan oleh guru Patimpus Sembiring yang berasal

dari etnis Karo. Setelah melakukan beberapa pertimbangan tentang berdirinya

kota Medan, akhirnya disimpulkan bahwa kota Medan berdiri tanggal 1 Juli 1590,

maka tanggal 1 Juli dijadikan sebagai hari ulang tahun kota Medan, 9 yang

dirayakan setiap tahunnya.

Keadaan Medan pertama kalinya adalah hanya sebuah perkampungan,

yang berfungsi sebagai tempat pemukiman beberapa orang manusia, dan semakin

lama jumlah penduduk yang menempati sekitar perkampungan dan pantai

semakin besar, sehingga Medan menjadi sebuah perkampungan yang dihuni oleh

beragam etnis.

Keadaan keagamaan masyarakat pada awal-awal berdirinya Medan masih

tergolong sebagai masyarakat yang sistem kepercayaannya masih menganut

kepercayaan kepada penguasa alam atau roh nenek moyang. Agama sama sekali

belum masuk kewilayah Medan. Hal ini membuktikan, bahwa agama yang ada di

Medan hingga sampai saat ini telah mengalami banyak proses, dari awal masuk

hingga berkembang seperti saat ini.

9
Pemerintah Kota Medan, Profil Kota, Medan: Pemko, 2004. hlm. 34.

Universitas Sumatera Utara


Semakin beragam dan banyaknya suku pendatang yang datang ke Medan

ternyata berakibat terhadap perkembangan kota. Medan segera menjadi sebuah

daerah perdagangan setelah banyak masyarakat dari luar daerah yang

memperdagangkan barang-barang dagangannya ke Medan. Seperti keterangan

yang diperoleh dari De Chineezen Ter Oostkust Van Sumatera menjelaskan

bahwa tahun 1882, Cina telah mengirimkan sejumlah utusannya sebagai biro

perdagangan yang bertugas di Sumatera Timur, berpusat di Medan. 10

Selain biro perdagangan, kelompok Tionghoa juga mengirimkan sejumlah

perwira yang bertugas memberikan keamanan perdagangan anatara kelompok

Tionghoa dengan kelompok masyarakat yang ada di Medan. Akibat dari hal ini,

maka kelompok Tionghoa dan kelompok suku lainnya semakin bertambah di

Medan. Medan sudah semakin penting bagi banyak orang.

Kedatangan masyarakat luar ke Medan, secara lengkap membawa serta

unsur budaya yang mereka miliki dari daeah asal. Status mereka sebagai pedagang

ataupun sebagai yang lainnya tidak membatasi mereka dalam mempertahankan

kebudayaan yang mereka miliki walaupun setelah mereka berada di Medan.

Kepercayaan ataupun unsur budaya yang dipertahankam oleh kelompok

etnis pendatang ini di Medan, dengan perlahan-lahan diserap oleh kelompok

masyarakat yang sebagai penduduk asli Medan, tetapi hal ini terjadi setelah

melalui proses waktu yang cukup lama.

Pada awal tahun 1866, pengusaha dari Belanda membuka sistem

perkebunan di Deli, dan mendirikan Deli Maatschappij, 11 yang berpusat di

10
Mahadi, Hari Djadi Dan Garis-garis Besar Perkembangan Sosiologi Kota Medan,
Medan: Fakultas Hukum USU, 1967. hlm. 37
11
Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Lembaga Penelitian Dan
Pengembangan Seni Budaya Melayu,1991. hlm. 42.

Universitas Sumatera Utara


Medan. Penanaman tembakau di Medan juga memberikan perkembangan Medan,

selain banyaknya masyarakat yang mencari pekerjaan ke Medan, kelompok

masyarakat juga menjadikan Medan sebagai pusat perkumpulan pengusaha yang

ada di Sumatera Timur, baik yang datang dari Eropa, maupun kelompok pedagang

yang datang dari daerah Asia lainnya.

Perkembangan kota yang semakin pesat, maka pada tahun 1887 Medan

diresmikan menjadi pusat residen untuk wilayah Sumatera Timur. 12 Persetujuan

ini dilakukan antara Sultan Deli dengan masyarakat dan kelompok pengusaha

yang datang ke Medan. Sejak saat itu, maka Medan menjadi pusat segala aktifitas

yang ada di Sumatera Timur, baik pusat pemerintahan, pusat perdagangan,

maupun pusat pemukiman penduduk. Perkembangan Medan sejak saat itu sangat

jauh meninggalkan kota-kota lainnya yang ada di Sumatera Timur.

Pembukaan Deli Maatschappij, mengakibatkan terjadinya pengiriman

buruh secara besar-besaran untuk dipekerjakan di perkebunan milik Belanda

tersebut. Kelompok buruh yang terbesar pada dasarnya didatangkan dari pulau

Jawa. Perkembangan kota Medan inilah yang mempengaruhi Sultan Deli

melakukan pemindahan pusat pemerintahannya dari Labuhan Deli ke Medan,

seiring dengan perpindahan pemerintahan Kolonial, yaitu Asisten Residen dari

tempat yang sama pada tahun 1887.13

Pokok peristiwa sebelumnyalah yang mendasari kota medan mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Medan dihuni oleh beragam Suku, Etnis,

Agama, dan juga tradisi yang berbeda, berdasarkan masyarakat yang datang

membawanya ke kota Medan. Demikian halnya dengan perkembangan

12
Mahadi, op. cit., hlm. 39.
13
Ibid., hlm. 55.

Universitas Sumatera Utara


perekonomian, ini juga dilatar belakangi karena kedatangan pengusaha dan

pembukaan perkebunan di Sumatera Timur, khususnya daerah Deli.

Perkembangan Medan sangat cepat dibandingkan dengan daerah lainnya,

yang akhirnya menjadi pusat dari propinsi Sumatera Utara, yang mana berfungsi

sebagai pusat administrasi untuk wilayah Sumatera Utara. Ada beberapa hal yang

ingin dicapai oleh pemerintah kota Medan sebagai ibu kota propinsi yaitu

• Pusat kegiatan perekonomian,

• Pusat kegiatan industri dan perhubungan,

• Pusat kegiatan pendidikan, pariwisata, sosial dan budaya.

Maka dengan demikian sesuai dengan kegunaannya diatas kota Medan

akan terus mengalami perkembangan baik secara fisik maupun dari sudut

aktivitas-aktivitas yang akan dilaksanakan di kota Medan akan terus meningkat,

kecepatan urbanisasi akan terus meningkat, melihat perkembangan kota yang

demikian pesatnya.

Kedatangan kelompok masyarakat luar dari berbagai etnis ke Medan

ternyata disertai dengan unsur kebudayaan yang mereka miliki secara turun

temurun, setelah sampai mereka ditempat tujuan, kebudayaan itu tetap melekat

pada diri mereka, seperti yang sudah terjadi di Medan dimana berbagai kelompok

etnis datang dengan membawa budayanya masing-masing, sehingga

memungkinkan Medan menjadi sebuah kota yang dihuni oleh berbagai etnis yang

masing-masing dengan kepercayaan dan kebudayaan yang beraneka ragam.

2.2 Kondisi Geografis Kota Medan

Universitas Sumatera Utara


Secara geografis, kota Medan berada pada posisi 3, 30º - 3, 43º Lintang

Utara dan 98,35 º - 98,44º Bujur Timur dengan topografi, kota Medan cenderung

miring kesebelah utara. Wilayah Medan jauh lebih rendah apabila dibandingkan

dengan kabupaten yang ada disebelahnya. Ketinggian Medan berada pada 2,5 –

37, 5 di atas permukaan laut. 14

Sebagian wilayah Medan sangat dekat dengan wilayah laut yaitu pantai

Barat Belawan, dan wilayah Medan tidak sedikitpun memiliki daerah dataran

tinggi. Dataran tinggi terdekat berada di wilayah kabupaten Karo, hal ini

mengakibatkan daerah Medan memiliki suhu udara yang cukup panas, apalagi

ditambah dengan berkembangnya dunia industri dan semakin padatnya

pemukiman penduduk.

Kota Medan berbatasan dengan daerah-daerah yang masih tergolong

sebagai teritorial Sumatera Utara yaitu:

- Sebelah Timur Medan berbatasan dengan daerah Deli Serdang

- Sebelah Utara Medan Berbatasan Langsung Dengan Selat Malaka

- Sebelah Barat Medan Berbatsan dengan daerah Deli Serdang dan

- Sebelah Selatan Medan Berbatasan dengan kabupaten Langkat. 15

Dengan posisi seperti ini dan ditambah dengan faktor kemajuan Internal

lainnya, maka kota Medan sangat mudah dijangkau oleh masyarakat Sumatera

Utara dan bahkan masyarakat Indonesia.

2.3 Struktur Sosial Budaya Masyarakat Kota Medan

14
Pemerintahan Kota Medan, op. cit., hlm. 36.
15
Ibid., hlm. 38.

Universitas Sumatera Utara


Dari hasil perhitungan yang dilakukan oleh pemerintah, setiap tahunnya,

penduduk yang menempati kota Medan semakin bertambah, yang mana

masyarakat tersebut dominan berusia antara 15-65 tahun. Pertambahan jumlah

pada usia ini ditafsir sebagai masyarakat pendatang atau masyarakat karena proses

urbanisasi, dengan tujuan adalah untuk bekerja. Hal ini terjadi sebagai akibat dari

berkembangnya berbagai usaha industri yang menyerap banyak tenaga kerja di

Medan.

Banyak etnis yang ada di Nusantara, maupun yang datang dari luar negeri

datang ke Medan untuk mencari pekerjaan seperti buruh kebon di perkebunan

yang dibuka oleh pengusaha asing di Indonesia. Banyak dari kelompok buruh ini

menjadi menetap di wilayah Medan atau sekitarnya. Kelompok etnis yang

menetap ini akan mejadi dasar-dasar dari pembentukan sistem sosial dan budaya

di Medan, sebab mereka datang lengkap dengan budaya yang mereka miliki.

Sebelum merdeka, segala sistem yang berlaku di sekitar daerah kesultanan

Medan pada umumnya, terbentuk dari kebijakan kesultanan dan pemerintahan

kolonial. Pada bagian atministrasi masyarakat, kebijakan datang dari

pemerintahan kolonial, sedangkan kebijakan yang berhubungan dengan sistem

sosial, dan kemasyarakatan pada dasarnya dibentuk oleh kesultanan. Hal ini

berlangsung sampai Indonesia memperoleh kemerdekaannya.

Kemerdekaan Indonesia Memberikan dampak terhadap perubahan sistem

sosial, dan struktur masyarakat Medan. Hal ini berpengaruh terhadap sistem

budaya Melayu yang sudah diingkari sebagai budaya kesultanan 16 kepada sistem

sosial yaitu budaya nasional. Sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaan

16
Mahadi, op . cit., hlm. 57.

Universitas Sumatera Utara


dominasi dari budaya melayu sangat besar sebagai tradisi yang disahkan di

kesultanan Deli.

Setelah kemerdekaan terdapat budaya baru di kota Medan yang merupakan

budaya percampuran (pluralis) dari berbagai suku yang menempati kota Medan.

Seperti suku Jawa, Melayu, Batak Toba, Karo, Simalungun, Nias, Aceh, Tionghoa

dan suku-suku yang lainnya masing-masing melaksanakan tradisi yang mereka

miliki, tanpa ada unsus budaya dari suatu suku yang sistem budayanya yang

diutamakan.

Dalam bidang agama, masing-masing suku yang tinggal di Medan

mayoritas dengan agama yang mereka anut sejak mereka berada di daerah asal,

seperti etnis Melayu, Jawa, mandailing telah beragama Islam, demikian halnya

dengan etnis Batak Toba, Simalungun, Karo pada umumnya menganut agama

Kristen Protestan dan Katolik.

Sistem sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

merupakan sistem sosial yang diatur berdasarkan sistem sosial yang berlaku di

Indonesia. Peraturan pemerintah dan sistem norma masyarakat menjadi dasar dari

kehidupan sosial yang berlaku dalam masyarakat Medan.

Unsur budaya masyarakat Medan berasal dari inti sari budaya-budaya etnis

yang ada di Indonesia, khususnya budaya etnis yang ada di kota Medan. Unsur

budaya tersebut merupakan penyesuaian dengan kaidah-kaidah peraturan dan

undang-undang yang berlaku dalam negara republik Indonesia, sehingga tidak ada

unsur budaya yang dominan dari kelompok masyarakat, ataupun etnis tertentu,

walaupun secara kuantitas ada suatu etnis yang lebih dominan di kota Medan. 17

17
Pemerintahan kota Medan, loc. cit., hlm. 38.

Universitas Sumatera Utara


Nilai-nilai kegamaan yang ada di kota Medan sangat banyak memberikan

terselenggaranya kekerabatan dengan sesama masyarakat. Unsur-unsur budaya

dan unsur keagamaan masyarakat yang saling menghormati menjadi salah satu

ciri karakter masyarakat yang tinggal di sekitar kota Medan.

Universitas Sumatera Utara


BAB III

SEJARAH RINGKAS ALIRAN METHODIST

3.1 Latar Belakang Terbentuknya Aliran Methodist

Gereja Methodist merupakan Gereja Kristen Inggris yang mengalami

proses reformasi oleh seorang pendeta yang bernama John Wesley. Keluarga yang

membesarkan Wesley merupakan keluarga yang selalu setia mengabdi kepada

gereja, sebab ayah dan ibu John Wesley sama-sama berprofesi sebagai pendeta di

Gereja Inggris.

Latar belakang pendidikan teologia dari John Wesley hingga dia

memperoleh gelar sarjana, berasal dari universitas Oxford Inggris, dengan sifat

pribadi dalam bidang teologia adalah, melaksanakan hukum agama dengan keras

dan menghindari penyimpangan dari ajaran agama. 18 Prinsip ini menjadi dasar

dan pedoman hidup bagi John Wesley ketika dia masih duduk di bangku

perkuliahan.

Melaksanakan ajaran agama secara keras dan mengurangi atau

meminimalisasi pelanggaran yang dilaksanakan oleh John Wesley ternyata

semakin memperbesar beban hidupnya. Anggapan yang dimiliki oleh Wesley

ternyata salah dengan ajaran Kristen, sebab manusia terlalu memberatkan dirinya

sendiri dengan permasalahannya dan mencoba menyempurnakan diri dengan

caranya sendiri. Ajaran yang seharusnya dan yang benar adalah ketika Wesley

mendalami isi Alkitab, tentang kisah yang dialami oleh Rasul Paulus yaitu

18
Pdt. W.L Amstrong, Dkk, Disiplin Gereja Methodist Indonesia, Medan: Taman
Pustaka Kristen, 1973. hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


penyerahan diri kepada Yesus dan memiliki kepercayaan yang penuh kepada-Nya,

maka mansia tidak harus berpegang pada prinsip dan penyucian diri sendiri. 19

Tahun 1738, prinsip lama yang dipegang oleh John Wesley dirobahnya

dengan prinsip baru, dimana manusia harus banyak berserah, bukan menanggung

beban sendiri. Pertobatan baru ini menjadi awal kesaksian bagi Wesley, yang

disebarkan kepada banyak orang, termasuk masyarakat Inggris.

Dua ajaran pokok yang disebarkan oleh John Wesley kepada banyak orang

yaitu: pertama, bahwa anugrah Tuhan yang diberikan kepada seluruh dunia

sanggup memenuhi keseluruhan keperluan manusia dan kedua, dia menerangkan

bahwa Alkitab tidak mengenal keslamatan selain dari pada keslamatan dari dosa.

John Wesley meminta manusia harus memiliki penghidupan yang suci, berupa

kasih sayang kepada sesama manusia. 20

Dalam misinya John Wesley tidak menyebarkan agama baru, atau ajaran

gereja yang baru, tetapi pelayanan yang dilakukannya adalah pertobatan dari

manusia itu sendiri. Kehidupan manusia yang semakin materilistis, ternyata

memberikan pengaruh terhadap gereja. Pelayan-pelayan gereja dominan

memberikan pelayanan terhadap orang-orang besar yang datang kepada gereja,

sehingga orang-orang kecil yang tidak datang ke gereja tidak mendapat pelayanan.

Di sisi lain, masyarakat tidak lagi mendapat pemberitaan tentang injil, anggota

dari gereja tertentu membentuk kelompok-kelompok, dan kelompok-kelompok

baru ini membiayai para penginjil untuk melakukan penginjilan terhadap orang-

orang tertentu saja, dengan kata lain penginjilan dilakukan hanya untuk

kepentingan sendiri.

19
Ibid., hlm. 2.
20
Ibid., hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara


Tindakan seperti inilah yang harus dihindari orang Kristen, menurut ajaran

yang disebarkan oleh John Wesley. Manusia harus memberikan sendiri dan

mempertanggungjawabkan sendiri tindakan yang dilakukannya. Pertobatan,

beriman dan hidup suci menuju kesempurnaan sehingga memperoleh

kesempurnaan hidup, hal inilah yang diinginkan oleh ajaran yang dibawakan oleh

John Wesley. 21

Ajaran dan tekanan dari John Wesley menjadi hal yang perlu

dipertahankan dalam tubuh Methodist. Setelah John Wesley meninggal ajaran ini

dikumpulkan menjadi dua buku yang berjudul “Lima Puluh Dua Khotbah John

Wesley dan Notes Upon The New Testament, merupakan ringkasan Wesley dari

pasal-pasal agama. Kumpulan dari Khotbah Wesley ini sampai saat ini menjadi

standart ajaran Methodist di Indonesia.

Dalam kehidupan sehari-hari, setelah John Wesley bertobat lebih banyak

menghabiskan waktunya menjadi pengkotbah kepada orang-orang kecil dan

masyarakat. Khotbah yang diberikan John Wesley menjadi suatu ketertarikan

kepada kelompok-kelompok orang tertentu dan kelompok tersebut dikatakan

sebagai pengikut John Wesley.

Sewaktu menyebarkan tentang kekristenan, John Wesley memadukan 3

jenis bidang yang harus dijalankan kelompok yang mengikutinya yaitu

Evangelisasi (ajaran kerohanian), Organisasi/ administrasi dan Pendidikan. Ketiga

bidang ini adalah kegiatan yang perlu ditingkatkan sebagai penyeimbang antara

kehidupan keagamaan dengan kehidupan duniawi

21
Devies, A History Of Methodist Church Ingreat Britain (terj), London: London
Epworth Press, 1992. hlm.81.

Universitas Sumatera Utara


Akibat ajarannya yang dinilai benar oleh masyarakat Inggris, maka ajaran

ini mendapat ijin untuk diajarkan dengan nama ajaran Kristen Methodist. Ajaran

ini segera disebarkan kewilayah Amerika Serikat, sebagai daerah yang masih

dalam penguasaan kerajaan Inggris. 22 Ajaran yang desebarkan kedaerah Amerika

Serikat merupakan ajaran yang lepas dari keterkaitan masalah politik.

Ajaran Methodist menjadi gereja yang bersifat otonom dan berdiri sendiri

dinamakan dengan Gereja Methodist Amerika Serikat, setelah negera ini

memperoleh kemerdekaannya. Gereja Methodist Amerika Serikat menjadi gereja

yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan pemerintah Inggris. Gereja

Methodist Amerika Serikat melakukan sendiri metode penginjilannya sebagai

usaha pengembangan ajaran Methodist, termasuk ke Indonesia yang dilakukan

oleh pendeta John Russel.

Pengikut dari John Wesley setelah kematiannya semakin semangat

menjalankan metode-metode hidup yang dirancang olehnya. Ajaran Methodist

menjadi ajaran Kristen yang perkembangannya sangat pesat. Hal ini dilatar

belakangi rencangan yang dilakukan oleh John Wesley bukan sekedar

pengembangan spiritual, tetapi perkembangan dalam bidang-bidang sosial sebagai

cara menyeimbangkan antara kehidupan agama dengan kebutuhan duniawi.

Walaupun ajaran Methodist lahir di Inggris, tetapi pengikut yang paling

besar dari ajaran ini ada di Amerika Utara, termasuk negara Kanada. Kelompok

migrant yang datang ke Amerika pada dasarnya menjadi pengikut dari Methodist

terutama Irlandia dan negara Skotlandia.

22
W. I Amstrong, op. cit., hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara


Perkembangan Methodist di Amerika Serikat mengalami perkembangan

yang besar dibandingkan dengan pengikut Methodist yang ada di Inggris. Hal ini

mengakibatkan kurangnya pendeta dan pengkhotbah di Amerika. Thomas Tylor

pengkhotbah awam yang memimpin gerakan Methodist di Amerika Serikat,

menanggapi masalah ini dengan membuat surat kepada John Wesley, yang isinya

adalah sebagai penjelasan perkembangan Methodist di Amerika Serikat dan

Amerika Utara, yang sangat membutuhkan pengkhotbah dan Pendeta untuk

bertugas melaksanakan pelayanan disana.

John Wesley menanggapi surat dari Taylor dengan megirimkan sejumlah

pendeta dan pengkhotbah yang sudah berpengalaman yaitu Richard Boarman dan

Joseph Pilmoor bersama pendeta-pendeta dari Inggris lainnya. Akibat dari

pengiriman para pendeta tersebut maka perkembangan pengikut Methodist di

benua Amerika semakin pesat, bahkan lebih besar dibandingkan dengan pengikut

Methodist di Inggris.

Perhatian John Wesley semakin besar tertuju ke Banua Amerika, dan

selanjutnya Wesley membuat susunan Methodist di Benua Amerika sama seperti

di Inggris. Pelaksanaan kenferensi yang sebelumnya hanya dilakukan di Inggris,

pada tahun 1773 telah dilakukan di Amerika. Hal ini menandakan bahwa

perkembangan Methodist sangat gemilang di Benua Amerika, terutama Amerika

Serikat.

Perkembangan Methodist melahirkan terbentuknya Methodist lokal, yaitu

gereja Methodist yang bernuansa Amerika Serikat dinamakan dengan The

Methodist Epischopal Church (MEC). Pembentukan gereja lokal ini menjadi

awal dari Gereja Methodist yang terbentuk di luar negara Inggris. Gereja

Universitas Sumatera Utara


Methodist Amerika Serikat menjadi gereja yang banyak dimasuki penduduk

Amerika, setelah pengurusan Gereja Methodist Amerika diserahkan kepada

masyarakat Amerika sendiri. Pertambahan yang melonjak tinggi terjadi saat

konferensi Natal tahun 1844, dimana perhitungan membuktikan bahwa sampai

saat tersebut jumlah masyarakat Amerika Serikat pengikut Methodist sudah

mencapai 1.171.356 jiwa. 23

Pekabaran Injil Methodist Amerika Serikat mulai menjalankan misi

pengabaran injil dan perluasan injil kepada berbagai negara bagian, dan

menjadikan negara Amerika Serikat, tepatnya di New York sebagai pusat kontrol

pengembangan Methodist di benua Amerika.

3.2 Masuknya Ajaran Methodist Ke Indonesia

Misi Methodist pertama-tama di Indonesia pada dasarnya terbagi-bagi

berdasarkan etnisitas tanpa ada suatu organisasi yang menyatukan. Hal ini

dipengaruhi oleh wilayah dan etnisitas yang masih sama sekali belum ada unsur

penyatuan diantara suku-suku yang ada di Indonesia. Pulau-pulau yang pertama-

tama mendapat pekabaran injil Methodist adalah Jawa, Sumatera, Bangka dan

Kalimantan.

Kelompok penginjil yang datang ke Indonesia berasal dari Amerika

Serikat yang membentuk organisasi penginjilannya di Malaysia yang dinamakan

dengan Malaysia Annual Conference (MAC). Dimulai sejak tahun 1905.

23
William G Shellabear, Hikayat Perhimpunan Methodist, Singapura: Methodist
Publising House, 1992. hlm.125.

Universitas Sumatera Utara


Penyebaran injil di Indonesia merupakan perluasan wilayah penginjilan oleh

distrik penginjilan yang ada di Malaysia. 24

Pekerjaan pelayanan penginjilan yang dilakukan oleh misi Methodist dari

MAC bersifat menyebar atau dengan kata lian tidak terkonsentrasi pada satu

wilayah saja, oleh karena itu perkembangan masyarakat yang mengikuti ajaran

Methodist di Hindia Belanda tergolong cepat, sehingga memungkinkan kelompok

pelayanan yang melayani disini membentuk suatu distrik Methodist tersendiri,

khusus untuk jemaat Methodist di Hindia Belanda, hal ini dapat terlaksana setelah

pekerjaan ini bejalan selama dua tahun.

Masyarakat Hindia Belanda yang menerima misi Methodist dinamakan

dengan Netherland Indies Mission Conference (NIMC). Pembentukan organisasi

NIMC membawa pengikut Methodist yang ada di Hindia Belanda untuk secara

administratif berada dibawah naungan misi Methodist Amerika Serikat yang mana

sebelumnya berpusat di Malaysia. NIMC semakin banyak mendapat perhatian

dari kelompok penginjil terutama dari Amerika Serikat, NIMC sering mendapat

bantuan berupa dana operasional dan pengadaan pengkhotbah yang

berpengalaman untuk melayani misi Methodist di Hindia Belanda.

Pada tahun 1920 organisasi penginjilan NIMC atau misi Methodist di

Hindia Belanda dibagi menjadi beberapa konsentrasi wilayah yang dinamakan

dengan distrik yaitu, Distrik Jawa, Distrik Kalimantan Barat, Distrik Sumatera

Selatan dan Distrik Sumatera Utara. Dari 4 distrik yang dibentuk oleh misi

Methodist, Distrik Sumatera Utara mendapat peluang yang lebih baik untuk

24
Richard Daulay, op. cit., hlm. 112.

Universitas Sumatera Utara


berkembang, latar belakang ini membuat penginjilan Methodist memfokuskan

aktivitasnya untuk wilayah Sumatera Utara.

Meskipun jumlah penganut ajaran Methodist di beberapa distrik selain

distrik Sumatera Utara tidak berkembang pesat, tetapi aktivitas penginjilan

Methodist sama sekali tidak dihentikan, atau dikurangi, bahkan misi Methodist

berusaha mengembangkan penginjilannya dengan penambahan sejumlah

pengkhotbah untuk daerah-daerah yang tergolong lamban perkembangannya

tersebut. Misi Methodist di wilayah Hindia Belanda adalah untuk memperluas

pekabaran tentang Injil dan untuk memperbanyak pengikut Kristen di belahan

Dunia, khususnya ajaran tentang aliran Methodist.

3.2.1 Perjalanan Misi Methodist Di Pulau Jawa

John Russel Denyes, yang merupakan seorang pendeta yang melayani di

misi Methodist Amerika, diminta badan misi Methodist Singapura untuk

mengajar di sekolah yang didirikan oleh kelompok orang Tionghoa di Singapura.

Permintaan ini tidak ditolak oleh Russel, karena pekerjaan yang akan

dilaksanakannya adalah bentuk pelayanan atau pengabdian kepada sesama

manusia.

Russel mengajar di sekolah Anglo Chinese, dimana sekolah ini merupakan

salah satu sekolah faforit bagi orang Tionghoa yang ada di Hindia Belanda dan

Malaysia. Murid-murid yang ada di sekolah Anglo Chinese pada dasarnya

mengenal Russel sebagai guru, bukan sebagai penyebar injil, karena itulah Russel

Universitas Sumatera Utara


tidak mendapat halangan yang berat ketika perlahan-lahan memanfaatkan situasi

yang ada mulai menyebarkan berita tentang injil. 25

Masyarakat Tionghoa yang ada di sekolah Anglo mulai mengikuti ajaran

Methodist yang diberikan oleh Russel. Russel membagi waktunya dalam

memberikan pelajaran sekolah dan waktu memberi pelajaran tentang injil. Para

muridnya tidak memberikan kritikan kepada Russel ketika Russel memberitakan

ajaran injil, hal ini disebabkan karena Russel tidak ada menganjurkan atau

memaksa murid-muridnya untuk meninggalkan kepercayaannya dan masuk

menjadi pengikut Methodist, tetapi materi yang diberikan saat penginjilan adalah

gembaran tentang Tuhan, Kekristenan dan arti pentingnya Juruslamat yaitu Tuhan

Yesus Kristus.

Kelompok pelajar Tionghoa dari Hindia Belanda yang mengikuti

pendidikan di Angglo Chinese, tertarik dengan metode yang diberikan oleh

Russel, sehingga kelompok pelajar tersebut memintakan Russel supaya mengajar

di pulau Jawa, sebab jumlah siswa yang sedang menuntut ilmu di Singapura yang

berasal dari pulau Jawa tergolong besar. Jumlah ini akan bertambah jika sekolah

yang sama juga didirikan di Jawa.

Permintaan yang diajukan kelompok pelajar Tionghoa kepada Russel,

disampaikan dan diteruskan kepusat misi Methodist yang ada di Amerika Serikat.

Misi Methodist di Amerika Serikat Menerima permintaan Russel dengan

memperbesar anggaran dana penginjilan dan segera menyediakan tenaga

Pengajar untuk melayani di sekolah-sekolah yang akan dibuka di pulau Jawa

tersebut.

25
Ibid., hlm. 114.

Universitas Sumatera Utara


Tahun1905 tepatnya tanggal 12 Maret, Russel bersama-sama dengan B.F

West (pimpinan Distrik Singapura) melakukan kunjungan ke Pulau Jawa, untuk

melihat perkembangan pekabaran injil di pulau tersebut. Mereka melihat

pekerjaan pekabaran injil yang dilakukan di pulau Jawa telah membentuk

kelompok-kelompok tertentu berdasarkan wilayah yaitu, Surabaya, Mojowarno,

Semarang, dan Yoyakarta. Sebelum misi Methodist sampai di Pulau Jawa,

aktivitas pekabaran injil telah berlangsung di pulau Jawa yang dikelola oleh misi

zending dari Belanda dengan nama Nederlands Zendings Vereniging (NZV).

Pendekatan pekabaran injil yang dilakukan oleh misi Methodist lebih

memberikan harapan kepada kelompok masyarakat Tionghoa yang sebelumnya

telah mendapat berita tentang injil ketika sebagian anak mereka berada di sekolah

Angglo Chinese di singapura. Melihat hal ini B.F West menilai bahwa wilayah

Batavia adalah wilayah yang tepat sebagai tempat penyebaran ajaran Methodist,

berbeda dengan wilayah Malaya yang sangat sulit mengalami perkembangan. Hal

ini tidak luput dari permasalahan agama yang telah mereka miliki, yaitu agama

Islam yang mereka anut ternyata sudah mendarah daging terutama kepada

kelompok suku Melayu yang ada di Malaka, sedangkan pada masyarakat

Tionghoa yang ada di pulau Jawa sudah hampir meninggalkan tradisi kepercayaan

yang dimiliki oleh leluhurnya. 26

Russel sangat menginginkan situasi seperti yang terjadi di Pulau Jawa ini,

maka dengan segenap usaha dilakukannya untuk pindah dari distrik Malaya yang

dipimpinnya ke Batavia. Permohonan ini diajukan Russel kepada pimpinan

Methodist yang ada di Asia Tenggara, maka pada tahun 1905 Russel diberi izin

26
Richard Daulay, op. cit., hlm. 120.

Universitas Sumatera Utara


untuk misi tersebut, dan saat itu juga Russel membawa keluarganya berangkat

menuju Batavia. Perpindahan ini sekaligus mejadikan Russel menduduki jabatan

sebagai pimpinan Methodist untuk Distrik Hindia Belanda. 27

Russel segera memulai pekerjaannya dengan memberikan pemberitaan

tentang injil kepada kelompok sekolah, dengan pelajaran yang dibawakannya

adalah bahasa Inggris. Pelajaran bahasa Inggris diarahkan untuk menterjemahkan

Bible (Alkitab) dan The Methodist Hymnal. Dengan pelajaran ini maka

Masyarakat Tionghoa yang sekolah, akhirnya banyak yang mengerti isi Alkitab

dan Hymnal Methodist sehingga membuahkan pertobatan dikalangan masyarakat

Tionghoa.

Kelompok yang bertobat (menurut pandangan Methodist) mula-mula

langsung dikukuhkan menjadi pengikut Kristen tepatnya menjadi anggota Gereja

Methodist setelah proses Babtis yang dilakukan oleh Russel. Pekerjaan ini yang

membuat Russel mendapat gelar dari kalangan masyarakat Methodist sebagai Pak

Ek Poi (Petobat Pertama) di Batavia. 28 Pengakuan gelar kepada Russel adalah

sebagai wujud keakraban antara masyarakat Tionghoa dengan kelompok

Methodist yang melakukan penginjilan di Batavia.

Pekerjaan Russel yang memadukan antara pelayanan dengan

pengembangan masyarakat, membuahkan pengikut Methodist berkembang secara

cepat di Batavia. Selama dua tahun (1905-1907) Russel telah membentuk sebuah

Jemaat Methodist, dimana Russel menjadi gembala sidang atas gereja tersebut.

Jemaat Methodist yang dipimpin Russel dan pusat Methodist Amerika

Serikat semakin terbuka memberikan bantuannya kepada Russel. Bantuan ini

27
Arsip Gereja Methodist Indonesia, Medan Sumatera Utara.
28
Richard Daulay, op. cit., hlm.121.

Universitas Sumatera Utara


dipergunakan untuk membangun gereja Methodist dan akhirnya tahun 1907 gereja

Methodist pertama dibangun di pulau Jawa. 29

Terbentuknya gereja Methodist pertama di pulau Jawa, diiringi dengan

pengembangan metode penginjilan, seperti pembentukan pos penginjilan di Pasar

Senen, Tanah Abang, Kebantenan dan Cibinong. Metode pelayanan yang baru ini

membuat penginjilan semakin melebar kepada suku-suku Jawa, Ambon, Sunda

dan suku yang lainnya yang ada di pulau Jawa. Kelompok masyarakat yang

mayoritas sebagai pengikut Methodist pertama-tama dari kelompok baru ini masih

didominasi oleh suku Jawa.

Latar belakang perbedaan suku yang diinjili oleh Gerakan Methodist

menyebabkan kebaktian-kebaktian yang dilakukkan di pulau Jawa dilakukan

dengan bahasa masing-masing yaitu menggunakan bahasa suku mayoritas dalam

gereja tersebut. Sejak saat inilah perbedaan bahasa dalam kebaktian Methodist

mulai ada. 30

Gerakan Methodist di pulau Jawa diperbesar oleh proses perpindahan

jemaat Katolik yang tertarik dengan metode pengembangan yang dilakukan oleh

Russel. Perkembangan Methodist yang bercorak dengan suku-suku mayoritas di

dalam Gereja Methodist semakin lama mulai diarahkan sesuai dengan disiplin

gereja Methodist, sebagai upaya mengembalikan ajaran Methodist yang

sebenarnya. 31

Russel mulai mendidik beberapa orang dari kelompok suku yang

dilayaninya menjadi pelayan dalam misi Methodist. Tujuan tindakan Russel

adalah pendekatan antara penginjil dengan kelompok suku yang dilayaninya.

29
Lihat Gambar 1
30
Richard Daulay, op. cit., hlm. 124.

Universitas Sumatera Utara


Hasil dari tindakan yang dilakukan oleh Denyes adalah berkembangnya pengikut

Methodist di Pulau Jawa baik dari suku Jawa, Ambon, Tionghoa, sunda.dan suku-

suku yang lainnya.

3.2.2 Perjalanan Misi Methodist di Kalimantan

Daerah Kalimantan merupakan wilayah Indonesia yang langsung

berseberangan dengan wilayah negara Malaysia. Pertemuan antara dua negara ini

menjadi hal yang memudahkan perpindahan imigran Malaysia datang ke-

Indonesia khususnya orang-orang Tionghoa yang masuk ke Kalimantan melewati

perbatasan.

Proses imigrasi yang mudah dijangkau oleh penduduk Malaysia

mengakibatkan kelompok Tionghoa banyak yang berpindah dan menjadi

penduduk Indonesia. Pada tahun 1910, jumlah penduduk Tionghoa di Kalimantan

sudah mencapai 6000 orang, dari keseluruhan penduduk yang mendiami

Kalimantan Barat, khususnya Pontianak hanya berjumlah 20.000 jiwa. 32

Sesuai dengan hasil keputusan Malaysia Annual Conference, memutuskan

C.M Worthington sebagai missionaries pertama yang akan diutus ke Kalimantan.

Tanpa menolak keputusan dari rapat, Worthington menerima keputusan dari

konferensi dan segera menjadi missionaries di Kalimantan.

Worthington memulai gerakannya dengan membuka sekolah berbahasa

Inggris di Kalimantan. Kegiatan ini dijadikan Worthington sebagai tempat

menginjili kelompok suku Tionghoa sekaligus sebagai sumber untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya di Kalimantan. Dengan adanya penginjilan yang dilakukan

31
Ibid., hlm. 127.
32
Richard Daulay, op. cit., hal. 140.

Universitas Sumatera Utara


oleh Worthington ini, maka penyebaran Methodist dapat berkembang cepat di

Kalimantan.

Seorang Dokter bernama Uching Seng, yang datang dari Singapura, ikut

memperbesar gerakan Methodist di Kalimantan. Uching melakukan pengobatan

sambil melakukan penginjilan di Pontianak. Worthington melakukan kerja sama

dengan Uching yaitu melakukan pelayanan sambil menyebarkan ajaran Kristen

kepada masyarakat Kalimantan. Uching dan Worthington membagikan Alkitab

dan buku lagu-lagu Kristen kepada mereka yang mendapat pelayanan kesehatan

dan pelayanan pendidikan di Kalimantan.

Dari hasil penginjilan yang dilakukan kedua missionaries Methodist ini,

pada tahun 1909, laporan Worthington memaparkan bahwa pengikut Methodist di

Kalimantan telah mencapai, 80 orang anggota penuh 192 anggota percobaan, yang

tersebar di beberapa wilayah di Kalimantan seperti, Singkawang, Sempadung, dan

Sambas. Para jemaat Methodist tersebut dominan berasal dari suku Tionghoa, 33

sedangkan kelompok suku lainnya yang menjadi anggota Methodist berasal dari

suku Dayak.

Melihat perkembangan Methodist dikalangan suku Dayak cukup lambat,

maka Russel sebagai pemimpin penginjilan di Hindia Belanda mengutus Abel

Eklund sebagai penginjil yang akan memfokuskan penginjilan kepada masyarakat

Dayak. Latar belakang Abel yang berasal dari negara Amerika Serikat terasa sulit

untuk menginjili suku Dayak, maka 3 orang penginjil yang sebelumnya menuntut

ilmu sekolah penginjilan di Singapura dikirim ke Kalimantan. Ketiga penginjil

33
H Sitorus, Benih Yang Tumbuh GMI, Medan: (naskah tidak diterbitkan), 1977, hlm.5.

Universitas Sumatera Utara


tersebut adalah Willi Hutagalung, Philemon Simamora, Wismar Panggabean

masing-masing adalah orang Indonesia yang berasal dari etnis Batak. 34

Penginjilan tidak terlalu berkembang karena pemahaman bahasa Melayu

sulit dari kelompok suku Dayak. Strategi yang dilakukan oleh keempat

missionaries Methodist tersebut adalah membuka sekolah yang menggunakan

bahasa Melayu dan dikhususkan kepada orang Dayak. Strategi ini memberikan

hasil yang lumayan, sebab anak-anak banyak yang mengikuti program ini. Sambil

melakukan pengajaran mereka tidak lupa memberikan penginjilan kepada anak-

anak suku Dayak.

Perkembangan Methodist pada suku Dayak harus diakui adalah berawal

dari kelompok anak-anak yang menerima pendidikan di sekolah misi Methodist,

akhirnya mereka dewasa seiring dengan perkembangan Methodist. Pengikut

Methodist dari kalangan orangtua pada masyarakat Dayak tidak terlepas dari

pengaruh anak-anak mereka yang menerima pendidikan di sekolah misi

Methodist. Anak-anak dayak yang tumbuh dewasa akhirnya banyak yang menjadi

penginjil.

3.2.3 Perjalanan Misi Methodist di Sumatera Selatan dan Bangka

Sebelum meletusnya perang dunia ke-II, kota Palembang adalah kota yang

terbesar dipulau Sumatera. Kota Palembang adalah pusat perdagangan di pulau

Sumatera. Hal ini menyebabkan banyak masyakat yang datang ke Palembang

untuk kegiatan berdagang dan kegiatan ekonomi lainnya.

34
Ibid., hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara


Jumlah penduduk yang tergolong besar dan heterogen pada tahun 1908

telah mencapai 65.000 orang yang terfokus pada daerah pelabuhan, sebab

disekitar pelabuhan para pengusaha Amerika telah mendirikan pertambangan

minyak dan daerah ini menjadi pusat pertemuan dari pedagang-pedagang yang

berasal dari berbagai daerah di Dunia..

Russel melihat kota Palembang sebagai daerah yang sangat cocok sebagai

wilayah persebaran ajaran Methodist, sehingga segera Russel mengirim seorang

missionaries bernama Solomon Pakianathan sebagai pemimpin penginjilan

diwilayah ini. Pakianathan memulai penginjilan dengan berkotbah kepada

penduduk Palembang yang sudah beragama Kristen.

Sebagai permulaan pelayanan misi Methodist, maka Pakianathan segera

membuka sekolah berbahasa Inggris di Palembang. Banyak masyarakat etnis

Tionghoa yang tertarik dan mengikuti program tersebut. Mereka rela membayar

para missionaries agar mau mengabdi memberikan pendidikan kepada anak-anak

Tionghoa.

Pakianathan memulai kebaktian dilingkungan sekolah, yang menggunakan

bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kebaktian. Keseimbangan antara waktu

memberikan pengajaran dan pemahaman keagamaaan, membuat banyak orang

mengikuti program yang dibuat oleh Pakianathan. Maka mulailah peraturan

Methodist diterapkan setelah jumlah mereka semakin besar.

Setelah penyebaran Methodist semakin besar di Sumatera Selatan, maka

misi Methodist selanjutnya diteruskan sampai ke Pulau Bangka, kota yang tidak

begitu jauh dari Palembang. Daerah pulau Bangka adalah daerah yang cepat

berkembang setelah pemerintah Kolonial Belanda membangun daerah ini menjadi

Universitas Sumatera Utara


daerah pertambangan timah. Banyak orang Tionghoa yang dijadikan pekerja di

daerah pertambangan tersebut. Dari hasil laporan missionaries, penduduk pulau

bangka yang berasal dari etnis Tionghoa sudah mencapai 200.000 orang pada

tahun 1911. 35

Freeman ditugaskan sebagai missionaries Methodist di pulau Bangka,

situasi masyakat di daerah ini sama sekali belum ada yang beragama Kristen, jadi

Freeman adalah tokoh Kristen pertama untuk daerah ini. Banyak kendala yang

dialami Freeman ketika sampai di daerah ini, seperti larangan menyebarkan

agama oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan keadaan daerah yang sangat panas

sehingga mengganggu kesehatannya.

Dibukanya sekolah di Pangkal Pinang oleh Kolonial Belanda, semakin

memperlebar jalan bagi Freeman untuk menyebarkan injil kepada mereka anak-

anak Tionghoa yang menuntut ilmu di sekolah tersebut. Dalam sekolah tersebut

Freeman mengasuh mata pelajaran bahasa Inggris. Dalam melaksanakan

tugasnya Freeman tidak penah terlambat dan selalu serius, hal ini menjadi dasar

keyakinan dari orang tua murid kepada Freeman untuk menyerahkan anaknya

untuk dididik dan diberi pengetahuan tentang injil.

Melihat tindakan yang dilakukan Freeman adalah baik, maka sejak tahun

1912, pemerintah Kolonial memberikan izin kepada pelayan-pelayan Methodist

untuk menjalankan misi Methodist di Pulau Bangka. Kesempatan ini langsung

dimanfaatkan Freeman dengan membuka kebaktian di lingkungan sekolah. Pada

waktu pagi di hari minggu, Freeman membuka kelas sekolah minggu, yang

kegiatannya adalah belajar bahasa Inggris dan melaksanakan kebaktian dalam

35
Richard Daulay, op. cit., hlm. 148.

Universitas Sumatera Utara


bahasa Inggris, sedangkan untuk kelompok dewasa Freeman membuka English

Bible, yang diselanggarakan pada setiap Minggu malam.

Penginjilan di Bangka tidak bertahan lama, Freeman harus meninggalkan

bangka kerena penyakit yang dideritanya. Freeman digantikan oleh L.L Akerson,

yang sama sekali tidak mengenal bagaimana metode penginjilan di Bangka.

Disamping itu pengembangan Methodist hanya dilakukan dengan penginjilan

yang seharusnya dibarengi dengan pengembangan pendidikan sekolah, akhirnya

banyak murid sekolah dan kelompok dewasa tidak datang lagi ke sekolah.

Semakin lama jumlah anggota misi Methodist semakin berkurang dan akhirnya

L.L Akerson meninggalkan pulau Bangka, dan aktivitas pengembangan Methodist

di pulau Bangka resmi ditutup. 36

3.3 Proses Methodisasi Di Sumatera Utara

Sejak masa penjajahan Belanda, wilayah Sumatera Utara termasuk

propinsi yang berpenduduk besar. Tahun 1905 jumlah masyarakat pendatang

sudah besar, dimana orang Eropa sudah mencapai 2.667 orang, Pribumi berjumlah

450.941 orang, Tionghoa dan Asia lainnya 114.809 orang. 37

Tidak jauh beda dari penginjilan di daerah-daerah yang lainnya,

penginjilan Methodist selalu diawali kepada masyarakat Tionghoa. Dasar

pemikiran pemfokusan penginjilan kepada orang Tionghoa diawali dari

penginjilan pertama Missionaris Amerika Serikat di Singapura yang mana

masyarakat Tionghoalah menjadi jemaat pertama menerima misi Methodist. Sejak

saat itu masyakat Tionghoa sudah banyak yang beralih dari kepercayaannya,

36
Ibid., hlm. 149.
37
Usman pelly, Urbanisasi Dan Adabtasi, Jakarta: LP3S, 1994. hlm.58.

Universitas Sumatera Utara


menjadi pengikut Kristen khususnya pengikut Gereja Methodist. Orang-orang

Tionghoa ini menyebar keberbagai daerah, yang wilayahnya adalah kota

perdagangan.

Sekolah berbahasa Inggris milik Methodist yang ada di Singapura menjadi

salah satu sekolah paforit kelompok Tionghoa dan kelompok Eropa lainnya.

Banyak anak Tionghoa yang diberangkatkan bersekolah di sekolah ini, yang

hasilnya selalu memuaskan, mendapat kemampuan berbahasa Inggris dan

pemahaman Teologiah. Setelah lulus dari sekolah, banyak perkantoran Kolonial

Belanda yang menerima mereka sebagai tenaga kerja. Banyak perusahaan-

perusahaan yang berdiri di Sumatera Utara ini yakin dengan kemampuan para

lulusan sekolah berbahasa Inggris tersebut.

Banyak anak Tionghoa dan Pribumi yang ingin sekolah ke Singapura,

tetapi karena keterbatasan biaya, mereka tidak mampu mewujudkannya. Melihat

keadaan ini, pada tahun 1904, Hong Teen yang merupakan seorang alumni

sekolah Singapura membuka sekolah di Medan dengan program yang sama

dengan sekolah yang ada di Singapura.

Upaya menyesuaikan kualitas antara sekolah Singapura dengan sekolah

berbahasa Inggris yang baru berdiri di Medan, maka Hong Teen mengundang G.

F Pykett yang berpropesi sebagai kepala sekolah dan pemimpin distrik Methodist

di Semenanjung Malaka untuk menilai dan meminta bantuan terhadap

pembenahan sekolah tersebut.

Undangan dari Hong Teen menjadi hal yang sangat tepat bagi Pykett

memulai gerakannya menjalankan misi Methodist di Sumatera Utara. Ternyata

Universitas Sumatera Utara


rencana dari Pykett berjalan baik, sebab beberapa bulan kemudian Hong Teen

menyerahkan pengelolaan sekolah ini kepada Pykett.

Dengan alasan hendak melanjutkan usaha dagangnya maka Hong Ten

menyerahkan sekolah kapada Pykett, kesempatan baik itupun dipergunakan

Pykeet dengan mengelola sekolah sesuai dengan misi Methodist. Pykett

memasukkan para guru Kristen sebagai tenaga pengajar di sekolah tersebut, yang

mana hampir semua tenaga pengajar tersebut merupakan lulusan dari sekolah

Singapura. 38

Pykett memulai programnya di sekolah tersebut dengan mengutus

Salomon Pakianathan sebagai kepala sekolah di Medan. Program utama pada

sekolah tersebut adalah pekabaran injil dan pengembangan ilmu, kelak lulusan

dari sekolah ini diharapkan akan menjadi tenaga penginjil yang akan

diberangkatkan keberbagai daerah di Sumatera Utara.

Dalam bebarapa waktu jumlah murid yang mengikuti pendidikan di

sekolah tersebut telah berjumlah 120 orang. Pakianathan mengembangkan

pendidikan dan penginjilan kepada kelompok Tamil, dalam hal ini adalah sebagai

latar belakang etnisnya. Pakianathan ternyata berhasil, untuk tahun 1906 Ia

membuka sekolah sekaligus kebaktian bagi kelompok Tamil di sekolah tersebut. 39

Untuk menambah biaya yang disediakan oleh Hong Teen, Pakianathan

membuka les pada kelompok Tionghoa untuk malam hari, yang mana biaya

tambahan yang diperolehnya ini adalah untuk perkembangan misi Methodist.

Upaya pengadaan les tambahan ini membuahkan hasil, banyak anak-anak

Tionghoa yang mengikuti program tersebut.

38
N. T. Gottschall, Experience We Treasure (terj) ,Medan, : tanpa penerbit, 1977, hlm.2.

Universitas Sumatera Utara


Setelah dua tahun Pakianathan memberikan pengajaran di sekolah Hong

Teen, Pykett memutuskan untuk tidak bekerja sama lagi dengan Hong Teen

kerena Hong Teen telah melanggar kesepakatan dengan tidak mengizinkan lagi

para pekerja Methodist untuk mengajarkan agama Kristen kepada murid-

muridnya. Janji untuk menyerahkan sekolah tersebut kepada misi Methodist tidak

dilaksanakan oleh Hong Teen. Maka sejak saat itu Pakianathan dipindahkan ke

Palembang untuk kembali menjalankan misi Methodist diwilayah tersebut,

sedangkan guru-guru Kristen yang lain masih tetap menginjil di Medan tetapi

bukan disekolah milik Hong Teen.

Pada tahun 1911, Pykeet kembali merintis penyebaran Methodist di

Sumatera Utara yang berpusat di Medan. Sejak saat itu, wilayah Sumatera Utara

dimasukkan kedalam wilayah distrik Penang yang sebelumnya berada dalam

naungan distrik Batavia. Alasan pemindahan ini berlatar belakang dari kedekatan

wilayah antara Penang dengan Sumatera Utara, jarak ini dinilai lebih dekat

dibanding antara Sumatera Utara dengan Batavia.

Pykeet mengutus W.T Ward sebagai missionaries Methodist untuk

menginjili suku Batak yang ada di Pardembanan, atau daerah Tapanuli. Ward

merasa kewalahan menginjili orang Batak dengan alasan pemukiman orang Batak

sangat jauh kepedalaman. Disamping itu para missionaries Jerman sudah lebih

dulu masuk ke wilayah tersebut, sehingga Ward memintakan pekabaran ijin di

wilayah Pardembanan dipindahkan ke daerah Medan, dengan fokus pelayanan

adalah orang Tionghoa.

39
Cooplestone, History Of Methodist Missions (terj), New York: The United Methodist
Curch, 1973, hlm. 136.

Universitas Sumatera Utara


Ward mendapat izin tersebut dan selanjutnya Ward melakukan penginjilan

kepada orang Tionghoa. Penginjilan Ward kepada orang Tionghoa berjalan sukses

dan berkembang. Ward mendapat sebuah kesempatan dari seorang pemilik

sekolah Tionghoa bernama Ng Koan Jiu, untuk mengelola sekolah miliknya

sesuai dengan keinginan Ward. Kesempatan ini dimanfaatkan Ward dengan

segera mengubah sekolah tersebut dari sekolah yang berbasis umum menjadi

sekolah yang dinaungi oleh Gereja Methodist, yaitu The English Publik School

menjadi American Methodist School. 40

Penyerahan enam unit sekolah kepada Ward, menjadi hal yang

membebaninya. Ward harus memberi sebuah jaminan bahwa anak-anak yang

dididiknya tidak harus menjadi Kristen apabila masuk kesekolah tersebut.

Perjanjian ini disetujui oleh Ward. Ward melaksanakan pelayanan pengajaran dan

harus memisahkannya dari misi Methodist.

Cara yang dilakukan Ward untuk menarik perhatian kelompok anak-anak

adalah dengan cara membuka kelompok musik atau kelompok band sekolah yang

umumnya adalah mempelajari lagu-lagu gereja. Alat-alat yang dipakai dalam

kelompok musik ini merupakan bantuan dari misi Methodist, yang tujuannya

adalah perlengkapan kebaktian.

Metode ini ternyata berhasil, hal ini disebabkan kerena tersedianya alat-

alat musik untuk keperluan klub tersebut, yang mana alat-alat musik tersebut

dikirim langsung dari Amerika Serikat. Kelompok musik ini sering dibawa oleh

Ward ketika dia melaksanakan kebaktian atau berkotbah dibeberapa tempat

40
N. T. Gottscall, op. cit., hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara


perkumpulan Methodist yang ada di Medan. Dengan cara inilah Wart

melaksanakan kewajibannya sebagai guru dan sebagai penginjil.

Selama empat tahun menginjili, Ward membabtis 119 orang, yang berasal

dari berbagai suku dan menjadi anggota tetap Methodist. Pada akhir penginjilan

Ward di kota Medan, jumlah anggota Methodist sudah mencapai 188 orang,

dengan perincian 65 orang anggota tetap Methodist dan 123 orang anggota

percobaan. Hal ini bertahan hingga beberapa tahun kemudian. Dengan alasan

kesehatan, maka Ward digantikan oleh penginjil yang lain.

Untuk melanjutkan misi Methodist di Sumatera Utara, maka Ward diganti

dengan Leonard Oechsli yang sebelumnya bekerja di distrik Singapura. Pekerjaan

Leonard masih seputar penginjilan di kota Medan dan khususnya kepada orang

Tionghoa. Selama dua tahun bekerja, ternyata permasalahan bahasa manjadi

faktor utama yang membuat lambannya perkembangan misi Methodist, maka

Leonard mangambil cuti keluar negeri untuk belajar bahasa Tionghoa sebagai

upaya pemfokusan penginjilan kepala orang Tionghoa nantinya. Pekerjaan

Leonard digantikan oleh J. C Shover, yang memegang penginjilan selama dua

tahun di Medan. 41

Pelayanan misi Methodist di wilayah Sumatera Utara merupakan yang

terbesar di Indonesia, bahkan diwilayah Asia, sehingga pada tahun 1920 wilayah

misi Methodist Sumatera Utara dibentuk menjadi satu distrik tersendiri dengan

Leonard diangkat sebagai pemimpin distrik. Sebagai wilayah distrik, maka harus

tersedia sebidang tanah sebagai tempat lokasi pendirian gereja dan sekolah. 42

41
Ibid.,hlm. 5.
42
Lihat Gambar 3, Sekolah Methodist Pertama di Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


Leonard mendatangkan Pdt. Ng Hau Chi dari Tiongkok sebagai

pengkotbah pada kebaktian berbahasa Tionghoa di Medan, demikian halnya N.T

Gottschall tiba di Medan pada tahun 1921 sebagai missionaries tambahan dan

menjadi pemimpin sekolah Methodist di Medan.

David Hutabarat ditunjuk sebagai pemimpin sekolah di Pematang Siantar

bersama Milton David. Dengan usaha tersebut perkembangan Misi Methodist di

Sumatera Utara semakin berkembang pesat dan usaha perluasan wilayah

penginjilan terus berlangsung, pembangunan sekolah dan pendirian gereja

Methodist di berbagai daerah terus diupayakan semaksimal mungkin.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PERKEMBANGAN GEREJA METHODIST INDONESIA


DI MEDAN

4.1 Terbentuknya Gereja Methodist Indonesia di Medan Dan


Perkembangannya.
Pemikiran untuk menjadikan gereja Methodist yang otonom oleh orang

Indonesia, sudah lahir sejak tahun 1950. usulan ini terbentuk sejak Indonesia

menjadi sebuah negara yang mandiri tanpa pengaruh asing. Kemerdekaan

Indonesia membuka kebebasan bagi warga Kristen untuk membentuk gereja-

gereja dengan nuansa lokal, maka tahun 1964 terbentuklah Gereja Methodist

Merdeka Indonesia (GMMI) sebagai usulan dari warga yang menginginkan

terbentuknya gereja bernuansa lokal, gereja yang sesuai dengan budaya dan

dipimpin oleh kelompok masyarakat Indonesia.

Faktor lain terbentuknya GMMI, adalah sebuah pengaruh dari

nasionalisasi di segala bidang. Proses nasionalisasi ditujukan untuk

menghilangkan unsur-unsur atau pengaruh negara lain di Indonesia. Sekelompok

orang Methodist menjadikan kesempatan ini untuk menasionalisasi ajaran

Methodist. Pemikiran ini akhirnya berkembang dikalangan pengikut Methodist.

Jumlah jemaat Methodist yang semakin tertarik dengan rencana ini semakin besar,

sehingga peluang menuju gereja Methodist yang otonom semakin besar.

Methodist bernuansa lokal adalah tindakan yang sudah melanggar tata-

tertib gereja Methodist, maka kelompok Methodist yang ada di Indonesia tetap

mempertahankan kelompok jemaat ini dipimpin oleh pemimpin Methodist dari

Amerika Serikat.

Universitas Sumatera Utara


Arah pembentukan gereja lokal semakin bulat, dengan munculnya

konfrontasi antara pemerintah Malaysia dengan Indonesia sejak tahun 1961

sampai tahun 1964. Sejak konfrontasi terjadi, hubungan Methodist yang ada di

Malaysia, Singapura dengan Methodist yang ada di Indonesia hampir terputus.

Pemerintah Malaysia yang mempertahankan daerah Serawak sebagai

wilayahnya mendapat dukungan yang kuat dari Amerika Serikat dan Inggris, yang

saat itu menilai Indonesia sebagai musuhnya, sebab Indonesia digolongkan

sebagai negara yang menerima dengan baik Komunis. Hal ini terbukti dengan

berkembangnya gerakan Komunis di Indonesia, sehingga latar belakang ini

menjadikan Amerika Serikat dan Inggris memberi dukungan kepada pemerintah

Malaysia yang mempertahankan daerah Serawak sebagai wilayahnya. 43

Perkembangan jumlah masyarakat yang menganut Methodist di Sumatera

Utara jauh lebih besar jumlahnya dari pada perkembangan Methodist yang ada di

Malaysia ini menjadi dasar pertimbangan bagi Methodist yang ada di Amerika

Serikat dan Inggris untuk mendekatkan diri kembali kepada Methodist yang ada di

Sumatera Utara, maka Methodist Inggris menjalin kembali kerja sama dengan

Methodist yang ada di Sumatera Utara, sebagai bentuk awal jalinan kerja sama

kembali adalah pengiriman sejumlah missionaries dari Inggris ke Sumatera Utara.

Mereka yang dikirim sebagai missionaries perdamaian adalah G.R Senior,

C.G Baker dan J.D Buxton. Kedatangan ketiga missionaries ini menjadi dasar

berfikir bagi kelompok Partai Komunis di Indonesia menuduh bahwa gereja

Methodist adalah antek-antek dari negara Amerika Serikat dan Inggris, sehingga

43
G. R. Senior, Partisipasi Gereja Methodist Inggris di Gereja Methodist Sumatera
(terj), Jakarta: tanpa Penerbit, 1967, hlm. 9.

Universitas Sumatera Utara


pengawasan yang ketat dilakukan kepada sejumlah gereja dan kepada sejumlah

missionaries yang datang dari Amerika Serikat dan Inggris. 44

Sejak adanya anggapan yang tergolong jelek ini kepada warga Methodis di

Indonesia, mengakibatkan para pendeta dan pemimpin gereja yang ada di

Sumatera Utara untuk memikirkan bagaimana kelangsungan gereja Methodist

selanjutnya.

Seorang Bishop Methodist bernama Anstutz, memaparkan pendapatnya

saat seminar di fakultas Teologiah Universitas Nomensen Pematang Siantar,

menjelaskan, bahwa gereja Methodist harus segara mejadikan dirinya gereja yang

otonom agar terhindar dari segala tuduhan kelompok orang kepada gereja

tersebut. 45

Tanggapan dari Anstutz mendapat dukungan dari kelompok Methodist,

yang menamakan dirinya sebagai Penuntut Autonomi Gereja Methodist Indonesia

(PAGMI), yang memintakan konsep gereja Methodist sesuai dengan konsep

negara Indonesia sebagai negera kesatuan, dan pembentukan gereja yang otonom

adalah sebagai cara menjadikan Methodist gereja yang mandiri. Permintaan

PAGMI disampaikan kepada dua orang utusan untuk mengikuti konferensi Agung

yaitu Pdt. Ragnar dan Pdt.Karel Hutapea. Utusan ini diberangkatkan dengan

permohonan agar Gereja Methodist menjadi gereja yang otonom.

Hasil yang dibawa utusan PAGMI dari konfrensi di America Serikat

ternyata sangat mengecewakan, sehingga kejengkelan dari anggota PAGMI pun

mulai terlihat. Kelompok ini mengancam akan keluar dari keaggotaan Methodist

44
Ibid., hlm. 10.
45
A. Sihombing, Sejarah Gereja Methodist Indonesia, Medan: Suara Methodist
Indonesia, 1990, hlm. 23.

Universitas Sumatera Utara


dan menarik barang-barang Methodist yang menurut mereka barang-barang

tersebut berasal dari jemaat Gereja Methodist yang ada di Indonesia.

Setelah anggota PAGMI memulai gerakannya, maka kelompok gereja

yang tidak setuju dengan gerakan menuju otonomi pun muncul. Mereka setuju

dengan apa yang dituntut anggota PAGMI, tetapi tidak mau melepaskan diri dari

Gereja Methodist Amerika Serikat, sehingga mereka tetap mempertahankan diri

sebagai warga Methodist. Pusat gereja Methodist yang terletak di Jalan Hangtuah

akhirnya menjadi puncak keributan antara kedua belah pihak. Kelompok PAGMI

tetap mempertahankan diri untuk melaksanakan kebaktian di gereja tersebut yang

dipimpin oleh Pdt. Wilfrid Simanjuntak.

Tidak kalah dengan tindakan yang dibuat anggota PAGMI, kelompok

Methodist yang tidak mau memisahkan diri dari Methodist Amerika Serikat, tetap

malaksankan kebaktian di gereja tersebut tanpa ada yang mengalah. Kelompok

PAGMI ternyata lebih agresif yang melakukan kebaktian dengan sengaja

menyanyi dengan suara yang sangat keras, hal itu dimaksudkan untuk

mengganggu kebaktian jemaat yang kontra otonom tersebut. Jumlah dari anggota

PAGMI ternyata lebih besar apabila dibandingkan dengan kelompok jemaat yang

kontra otonom, akhirnya kelompok ini terpaksa mengalah, maka kebaktian

selanjutnya di gereja Methodist Hangtuah dilangsungkan oleh kelompok

PAGMI. 46

Gerakan yang agresif dari PAGMI semakin lama mengarah kepada

pembentukan gereja otonom. Melalui persidangan anggota PAGMI, memutuskan

akan merebut barang-barang gereja Methodist menjadi barang mereka. Kelompok

46
W. Lempp, Benih Yang Tumbuh IX, Jakarta: Lembaga Penelitan Dan Pengembangan
DGI, 1976. hlm.288-290.

Universitas Sumatera Utara


ini mencoba manarik anggota kontra otonomi menjadi anggota mereka, yang

akhirnya tidak berhasil, tetapi barang-barang Methodist sebagian sudah berada di

tangan mereka.

Dengan semakin lengkapnya peralatan anggota PAGMI, maka sejak 16

Februari 1964, secara resmi PAGMI mendirikan Gereja Methodist Merdeka

Indonesia (GMMI), tetapi kelompok kontra-otonomi tidak bergabung kedalam

organisasi yang tidak mendapat ijin resmi dari pusat Methodist tersebut. Beberapa

gereja Methodist yang bergabung kedalam kelompok GMMI adalah GMMI Jalan

Gedung Area (Medan), GMMI Helvetia Medan, GMMI simpang Dolok, GMMI

Wingfoot dan Gereja Methodist Merdeka Indonesia lainnya.

Kelompok GMMI pada dasarnya adalah anggota gereja Methodist yang

etnisitasnya berasal dari suku Batak, yang tidak puas dengan perlakuan para

missionaries yang seakan mengistimewakan etnis Tionghoa dari pada kelompok

Methodist yang berasal dari kelompok etnisitas lainnya. Para kelompok

missionaries memandang dari kebolehan ekonomi mereka, dimana kelompok

Tionghoa lebih terampil didunia usaha sebagai latar belakang dari masa lalu, yaitu

masa penjajahan Belanda yang memberi kesempatan kepada etnis Tionghoa

sebagai pedagang perantara, sedangkan kelompok pribumi tidak mendapat hak-

hak istimewa pada masa penjajahan Belanda.

Kelompok GMMI selalu memperjuangkan agar Methodist yang ada di

Sumatera Utara, bahkan yang ada di Indonesia tetap satu wadah, dalam hal ini

menjadi Methodist yang otonom, Methodist yang mempersiapkan sendiri

Konstitusi, peraturan rumah-tangga, Konfensi, ajaran atau Dogma, organisasi

Universitas Sumatera Utara


gereja lokal, peraturan sekolah minggu, peraturan tentang kependetaan, peraturan

keuangan, peraturan tentang harta benda dan liturgi gereja. 47

Dari hasil perundingan, maka surat ijin (Enabling Act) belum bisa

dikeluarkan kepada GMMI. Pihak GMMI berupaya keras dalam menggodok

persyaratan tersebut, sebab persyaratan menjadi gereja lokal tidaklah hal yang

sulit dijangkau, dan bahkan sebagian dari persyaratan yang diinginkan konfrensi

agung sebagai persyaratan gereja lokal sudah dimiliki oleh GMMI.

Setelah konfrensi, segera Gereja Methodist Merdeka Indonesia

membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk melengkapi persyaratan tersebut

yang dinamakan dengan “Badan Persiapan Otonomi” Gereja Methodist Indonesia.

Kesempatan yang diberikan kepada GMMI ternyata tidak disiasiakan, para

anggota panitia bekerja dengan sangat cepat. Pekerjaan yang seharusnya disiapkan

selama empat tahun, ternyata panitia bisa melaksanakannya hanya dalam waktu

enam bulan.

Pekerjaan yang dimulai sejak bulan Februari 1964 berahir pada bulan

Agustus 1964, maka setelah diseleksi oleh konstitusi gereja Methodist, distrik

Sumatera Utara yang wilayahnya adalah seluruh Indonesia memenuhi syarat

menjadi gereja otonom dengan nama GEREJA METHODIST INDONESIA

(GMI) yang tercantum dalam mukadimah Gereja Methodist Indonesia:

“Bahwa kami anggota KONPERENSI TAHUNAN


dan utusan GEREJA METHODIST INDONESIA
jang bergabung dalam KONPERENSI ISTIMEWA
jang berlangsung mulai tanggal 3 sampai 9 Agustus
1964 di Medan, Berkat ramat Tuhan Jang Maha
Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaja
berkeperjajaan umat Kristen dan berkembang di
negera republik Indonesia, telah menetapkan
47
Notulen Konferensi Tahunan Gereja Methodist Indonesia, Medan: Januari 1964. hlm.
97

Universitas Sumatera Utara


Geredja Methodist Indonesia jang tidak
bertentangan dengan azas-azas kepertjajaan
geredja Methodist di seluruh dunia.” 48

Seiring dengan penetapan terbentuknya Gereja Methodist Indonesia

(GMI), maka daerah-daerah Indonesia dibagi menjadi beberapa distrik, yaitu

sebagai berikut:

1. Distrik Medan Tebing Tinggi 3.374 jiwa

2. Distrik Kisaran 3.671 orang

3. Distrik Rantau Prapat 1.586 orang

4. Distrik Palembang 908 orang

5. Distrik Tionghoa 1.490 orang

Jumlah 11.029 orang. 49

Dengan terbentuknya Methodist yang bernuansa lokal, maka

perkembangan Methodist di Indonesia semakin cepat. Misi pengembangan

Methodist di Indonesia sejak saat GMI terbentuk dilakukan sendiri oleh gereja

Methodist Indonesia, termasuk pendanaan dalam bentuk pembangunan sekolah

dan instansi Methodist lainnya.

4.2 Methodist Terbagi Menjadi Dua Distrik

Saat pertama terbentuknya Gereja Methodist Indonesia, melahirkan

beberapa kejanggalan, terutama menentukan soal kepemimpinan dalam gereja

Methodist yang saat ini masih dalam tahap percobaan. Terdapat dua pendapat

tentang hal ini. Satu kelompok mengatakan bahwa kepemimpinan dalam

48
Konstitusi Gereja Methodist Indonesia, Laporan Sidang Istimewa Gereja Methodist
Indonesia, Medan, 1964, hlm. 28.

Universitas Sumatera Utara


Methodist menginginkan seperti susunan yang sebelumnya, atau sistem bishop,

sadangkan kelompok lainnya menginginkan bentuk kepemimpinan dalam gereja

Methodist hendaknya menggunakan sistem dewan gereja, atau tanpa

kepemimpinan bishop.

Dua pendapat diatas mempunyai kecenderungan etnis, yaitu etnis yang

tergolong sebagai mayoritas dalam Gereja Methodist Indonesia, diantaranya

kelompok Etnis Batak Toba dengan pendapat cenderung menginginkan

kepemimpinan dalam Methodist berbentuk episkopalisme, dengan susunan

kepemimpinan yang tertinggi berada ditangan bishop, dimana bishop akan dipilih

langsung oleh jemaat Methodist yang ada di Sumatera Utara. Di sisi lain yang

bertentangan dengan pendapat ini adalah kelompok Tionghoa, dengan pendapat

Methodist tidak cocok apabila memakai sistem bishop.

Alasan yang diberikan oleh kelompok Tionghoa menentang pendapat dari

jemaat Methodist dari kelompok Batak adalah, hasil pemilihan nantinya yang

dominan memberikan keuntungan bagi orang Batak, sebab seorang bishop akan

selalu berasal dari kelompok Methodist Batak, karena secara jumlah jemaat

Methodist dominan berasal dari suku Batak.

Kelompok missionaries junior yang masih berada di Indonesia, lebih dekat

kepada pendapat etnis Tionghoa, mereka yang memberi dukungan terhadap sistem

dewan Metodist adalah Per Eric Lager, D.F Walker, W.S Health Richard

Babcock, J. Wesley Day dan kelompok missionaries junior lainnya. Kelompok

missionaries junior ini akhirnya bergabung dengan kelompok Distrik Tionghoa.

49
R. M Daulay, Masalah Etnisitas Sebagai Masalah Teologis Dalam Gereja Methodist
Indonesia, Medan: Tesis Sekolah Teologia Methodist Indonesia, 1990. hlm. 206.

Universitas Sumatera Utara


Bergabungnya sejumlah missionaries junior kedalam kelompok Methodist

Tionghoa, mengakibatkan persaingan antara kedua belah pihak semakin ketat.

Pengelolaan Institut Alkitab yang telah berdiri sebelum terbentuknya Gereja

Methodist Indonesia, bertempat di Medan berada dalam pengelolaan Methodist

Tionghoa, termasuk pengelolaan sekolah yang dananya berasal dari bantuan

Methodist Amerika Serikat dan jemaat Tionghoa.

Distrik Batak Toba akhirnya memberikan kesempatan untuk

memberlakukan sistem kepemimpinan Methodist berbentuk Dewan Pimpinan

Pusat atau DPP, dimana susunan yang paling tinggi dipegang oleh seorang ketua

DPP dan membawahi lima orang anggota. Lima orang anggota merupakan kepala

dari lima distrik wilayah yang ditentukan sebelumnya. Pimpinan menjabat selama

lima tahun, dan selanjutnya akan dipilih kembali.

Dalam pemilihan pertama Pdt. Wismar Panggabean terpilih menjadi

Dewan Pimpinan Umum untuk periode 1964-1966, dan anggota masing-masing

DPP adalah:

1. Pdt. B. Purba : untuk distrik Tebing Tinggi

2. Pdt. S Dolok Saribu : untuk distrik Kisaran

3. Pdt. N.H Napitupulu : untuk distrik Palembang

4. Pdt. A Huta Barat : untuk distrik Rantau Prapat

5. Pdt. Lo You Fei : untuk distrik Tionghoa 50

Pemilihan kepala distrik yang selalu dimenangkan oleh kelompok

Methodis etnis Batak, dan hanya menyisakan satu orang pemimpin distrik dari

50
Richard Daulay, op. cit., hlm.277.

Universitas Sumatera Utara


kelompok Tionghoa, itupun dari distrik Tionghoa menyebabkan adanya sebuah

perbedaan antara Methodist etnis Batak dengan etnis Tionghoa.

Dari sudut pandang lain, kelompok etnis Tionghoa selalu menjaga

eksistensi kelompok Tionghoa dari anggota Methodist lainnya yang berasal dari

kelompok etnis lainnya, hal ini terjadi sejak tahun 1964, yang semakin diperbesar

oleh kelompok missionaries yang menjaga tentang perbedaan etnisitas masa

sebelum merdeka. Kelompok pribumi adalah kelompok terjajah, sedangkan

kelompok Tionghoa adalah masyarakat Indonesia yang bisa dikatakan tidak

merasakan bagaimana pengalaman terjajah.

Sebelum Gereja Methodist menjadi gereja yang otonom, kelompok

Methodist dari etnis Batak memintakan hal ini segera ditinjau, dan mereka

memintakan pembagian distrik dilakukan berdasarkan peta biografi bukan

berdasarkan etnisitas. Pembagian seperti ini seakan membentuk hal-hal yang

khusus kepada kelompok Tionghoa, padahal semua jemaat memiliki hak dan

derajat yang sama dihadapan Tuhan.

Kelompok Tionghoa menilai bahwa sumbangan besar terhadap

perkembangan Methodist sebagian besar disumbangkan dari kelompok Methodist

dari etnis mereka, terbukti dalam mendirikan sekolah dan pembangunan lembaga-

lembaga yang lainnya. Dari alasan ini terbentuknya distrik Tionghoa menurut

kelompok etnis Batak dekat hubungannya dengan kepentingan ekonomi dan

politik.

Upaya menghindari tudingan ini, kelompok Tionghoa menilai latar

belakng itu tidak benar, terbentuknya distrik Tionghoa dekat hubungannya kearah

kemampuan dari pemimpin sekolah dan pendeta dan pemimpin distrik lainnya

Universitas Sumatera Utara


yang semakin merosot dari kalangan orang Batak. Di sisi lain pemimpin sekolah

dan pemimpim distrik lainnya cenderung berasal dari kelompok Batak, yang

jumlahnya adalah mayoritas, jadi kelompok etnis Tionghoa memintakan

pemimpin bagi distrik tersebut sebaiknya berasal dari kelompok Tionghoa agar

kepentingan dan kecocokan budaya termasuk bahasa lebih baik apabila mereka

mempunyai distrik tersendiri, yang sifatnya adalah otonom kepada etnisitasnya.

Pemimpin gereja Methodist tidak menghendaki permintaan dari etnis

Tionghoa, bahkan mereka menginginkan distrik tetap ditentukan berdasarkan

wilayah, bukan seperti yang diinginkan kelompok Tionghoa, sebab anggota gereja

Methodist pada dasarnya adalah satu, dimanapun dan kapanpun. 51

Pekerjaan membubarkan distrik yang berbentuk etnisitas ini oleh

kelompok Methodist adalah hal yang sukar dilaksanakan, sebab sudah mengakar

sejak dari dulu, sehingga melalui konferensi tahunan Gereja Methodist Indonesia,

nama dari distrik Tionghoa diganti menjadi “Distrik Pengembangan” tanpa

melakukan perubahan sistem birokrasi di Methodist Tionghoa tersebut, seperti

yang dijelaskan pada keputusan konferensi tahunan tersebut:

“Pertimbangan penentuan nama “Distrik


Pengembangan” adalah dalam rangka mewujutkan
pembaharuan dan pengintegrasian yang
diinginkan, untuk itu diperlukan usaha dalam
bentuk pengembangan-pengembangan yang dapat
dilalui secara bertahap”52

Ide tentang pembentukan Methodist distrik pengembangan ini berasal dari

seorang anggota Methodist yang selalu peduli terhadap masalah-masalah yang

dihadapai gereja Methodist, yang bernama S. Sagala. Sebagai penyimpulan dari

pendapat S Sagala dari pihak pimpinan Methodist menambahkan, bahwa dalam

Universitas Sumatera Utara


acara kebaktian distrik pengembangan dan distrik yang lainnya akan

menggunakan bahasa Indonesia saat melakukan kebaktian, kecuali kelompok

Methodist yang ada di pedesaan yang menggunakan bahasa daerah.

Pendapat ini tidak diterima oleh kelompok Tionghoa, bahkan mereka

memintakan distrik Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa, saat pelaksanaan

konferensi tahunan khusus bagi methodist yang etnisitasnya adalah etnis

Tionghoa. Alasan yang tepat dari sifat mempertahankan hal ini dari kelompok

Tionghoa belum Jelas bagi pimpinan umum Methodist, yang saat itu berada di

tangan Bishop A Sitorus.

Upaya mengetahui dan apa tujuan dari pembentukan distrik Tionghoa,

maka keputusan konferensi memutuskan agar membentuk tim yang anggotanya

terdiri dari pengurus Gereja Methodist Indonesia pusat, diketuai oleh Pdt. Edenata

(kelompok Tionghoa) dan pendeta E.M Hutasoit sebagai sekretaris, sedangkan

angota yang lainnya diambil dari kelompok Departemen pendidikan dan

pembinaan warga Gereja Methodist Indonesia berjumlah delapan orang.

Unsur anggota yang dominan berasal dari etnis Tionghoa, menjadi latar

belakang kelompok ini berjalan kurang serius untuk membongkar lebih dalam

tentang distrik Tionghoa. Tim yang beranggotakan 5 orang dari etnis Tionghoa, 2

orang dari etnis Batak dan satu orang dari etnis Sunda dibubarkan setelah

pimpinan Methodist menunggu selama beberapa bulan kejelasan tentang distrik

Tionghoa. Tim selalu gagal mengumpulkan laporan tentang kejelasan distrik

etnisitas ini. Pertemuan yang sudah direncanakan akan bekerja selama beberapa

bulan ternyata hanya dihadiri tiga orang dari anggota non Tionghoa.

51
Richard Daulay, op. cit., hlm 292.
52
Notulen Konferensi Tahunan Gereja Methodist Indonesia, Medan, 1975.

Universitas Sumatera Utara


Dugaan kuat dari Methodist kelompok etnis lainnya tentang pembentukan

distrik Tionghoa bukan visi menuju kemajuan. Justru pembentukan distrik

Tionghoa adalah tindakan perpecahan didalam Methodist itu sendiri yang terbagi

berdasarkan kelompok etnis tertentu. Setelah menunggu pekerjaan dari kelompok

kerja yang tidak kunjung bekerja maka bishop A. Sitorus meniadakan Distrik

Tionghoa, dengan menolak dilaksanakannya konfrensi tahunan berbahasa

Tionghoa. 53 Tiga keputusan pokok yang ditetapkan oleh Gereja Methodist

Indonesia yang akan dilaksanaka Gereja Methodist Indonesia selama 1983-1985

adalah:

1. Penghapusan distrik pengembangan yang sama saja dengan

distrik Tionghoa

2. Pencangan ART yang berlaku untuk semua Methodist dan

3. Gagasan mengambil alih Perguruan Kristen Methodist II. 54

Kebijakan yang ditetapkan oleh Bishop A. Sitorus bukan sebuah

pemojokan kepada kelompok Tionghoa, tetapi sebuah tindakan tegas untuk

menjaga masa depan Methodist Indonesia. keputusan ini pada dasarnya

menimbulkan terjadinya perpecahan di tubuh Gereja Methodist Indonesia,

terutama dalam pengelolaan departemen-departemen yang dimiliki oleh Gereja

Methodist Indonesia.

Bagi kelompok Methodist etnis Tionghoa, pembubaran ini merupakan

sebuah pemojokan dan bahkan mengurangi semangat kekristenan mereka, hal ini

terbukti setelah dibubarkannya distrik tersebut, kelompok etnis Tionghoa yang

53
Notulen Konferensi Tahunan Gereja Methodist Indonesia Sumatera utara –Aceh,
Medan, 1980, hlm 32.
54
Richard Daulay, op. cit., hlm. 336.

Universitas Sumatera Utara


masuk kedalam ajaran Methodist tidak berkembang, dan bahkan mereka ada yang

berpindah agama.

Setelah membubarkan Methodist distrik Tionghoa (pengembangan), maka

beberapa departemen yang berdiri memakai nama Methodist kembali kepada

pengurusan Gereja Methodist Indonesia, seperti sekolah-sekolah Methodist,

departeman sosial Methodist dan lembaga-lembaga penginjilan lainnya yang

didirikan kelompok Tionghoa mengatasnamakan Gereja Methodist Indonesia,

sedangkan kelompok Tionghoa yang dibubarkan distriknya, terpaksa harus

menggabungkan diri dengan kelompok Methodist lainnya yang pada dasarnya

dominan etnis Batak.

4.3 Gereja Methodist Indonesia Satu Distrik Kembali

Pembubaran distrik Tionghoa atau distrik pengembangan tahun 1983 pada

dasarnya menimbulkan pertentangan atau perpecahan di Tubuh Gereja Methodist

Indonesia, terutama dalam pengambil alihan departemen-departemen yang

didirikan mengatas namakan Gereja Methodist Indonesia, tetapi sejak saat itu

Gereja Methodist secara Yuridis yang ada di Indonesia menjadi satu.

Kelompok Tionghoa yang telah dibubarkan distriknya dan tetap bertahan

sebagai warga Gereja Methodist Indonesia terpaksa harus bergabung dengan

gereja yang anggota jemaatnya adalah etnis Batak. Ada beberapa tanggapan

tentang pembubaran distrik Tionghoa yaitu dari kalangan Batak dan dari

kelompok Tionghoa sendiri. Kelompok Tionghoa menilai bahwa dengan

pembubaran distrik Tionghoa, akan semakin memperbesar peluang orang Batak

dalam kepemimpinan Methodist, sedangkan dari kelompok Batak sendiri

Universitas Sumatera Utara


beranggapan, pembubaran ini akan semakin mempererat hubungan antara

kelompok Tionghoa dengan kelompok Batak.

Jumlah jemaat Methodist dari kelompok Batak semakin lama semakin

berkembang, sedangkan jemaat Tionghoa persentasenya tetap, tidak ada

pertambahan, dan bahkan mengalami pengurangan. Pengurangan ini berlangsung

hingga tahun 1985, sampai Bishop A. Sitorus habis periodisasinya. Bishop A.

Sitorus digantikan oleh Pdt. J Gultom untuk periode 1985-1989 setelah konferensi

agung pada bulan Oktober 1985.

Terpilihnya bishop J. Gultom untuk periode 1985, memberikan semangat

baru kepada kelompok Tionghoa, yang menyimpan harapan bahwa dengan bishop

baru ini kelompok Tionghoa akan semakin diperhatikan, paling tidak sudah lebih

baik dari pada mantan bishop A. Sitorus yang telah menyepakati bubarnya distrik

Tionghoa. 55

Jemaat Methodist dari kelompok Tionghoa memberikan semangat baru

terhadap suasana baru yaitu bishop baru. Beberapa hari setelah terpilih, jemaat

Tionghoa mengusulkan terbentuknya “Pusat Persekutuan Injil Gereja Methodist

Indonesia” (PPIGMI) yang bermottokan “bersatu mengabarkan Injil”. Tujuan dari

pembentukan ini adalah,

1. Menyatukan jemaat Tionghoa bersama-sama bertanggung-jawab untuk

mengabarkan injil, saling memperteguh agar pelayanan dapat lebih

ditingkatkan lagi.

2. Mentaati disiplin Gereja Methodist Indonesia yang mengharapkan

dorongan yang besar dari pusat Gereja Methodist Indonesia.

55
Hasil Notulensi Konfrensi Agung Ke-V, Medan, 1985, hlm.2.

Universitas Sumatera Utara


3. Memajukan dan mempererat hubungan dengan gereja lain agar dapat

membangkitkan semangat yang lebih tinggi untuk mengabarkan injil. 56

Sasaran pokok dari pembentukan ini adalah pemberian perhatian kepada

kelompok Tionghoa, yang merasa dikesampingkan setelah penghapusan distrik

bercorak etnisitas. Organisasi ini diharapkan menjadi salah satu wadah yang

nantinya sebagai penyatu bagi jemaat Gereja Methodist Indonesia yang

etnisitasnya Tionghoa.

Waktu pematangan pembentukan “Pusat Persekutuan Injil Gereja

Methodist Indonesia”, harapan dari kelompok pemrakarsa sangat besar terhadap

pengurus Methodist, sebab cara ini diharapkan dapat mengembalikan

keharmonisan antara kelompok Tionghoa kepada Gereja Methodist Indonesia.

Harapan dari pihak pemrakarsa ternyata terbalik kepada hal yang tidak

diduga, sebab forum tidak menerima gagasan tersebut. Alasan yang kuat dari

kelompok kontra masih seputar terhadap terjadinya pengkotak-kotakan di tubuh

Methodist. Pendeta A. Sihombing salah satu dari peserta menilai bahwa gerakan

ini akan mengembalikan Methodist kemasa terbentuknya distrik Tionghoa.

Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Pendeta R.P.M. Tambunan.

Penolakan terhadap pembentukan PPIGMI ini adalah sebagai keputusan

pertemuan. Bishop Gultom ternyata tidak memberikan pendapat tentang

penolakan ini. Bishop menyerahkan pemecahan masalah kepada Forum, sehingga

dengan cepat forum memutuskan untuk menolak pembentukan Pusat Persekutuan

Injil Gereja Methodist Indnesia ini. Kelompok yang menginginkan adanya

Persekutuan Injil Gereja Methodist Indonesia merasa kecewa terhadap keputusan

56
Lampiran surat Pendeta Boaz Yahya kepada Pendeta J. Napiun tanggal 27 Januari
1986, Arsip GMI, Medan, 1986 (beraksara Tionghoa, yang diterjemahkan kedalam bahasa

Universitas Sumatera Utara


kali ini. Alasan penolakan pembentukan departemen tersebut dinilai sebagai

wujud pembedaan di tubuh Gereja Methodist Indonesia dan akan menimbulkan

terjadinya pertentangan di tubuh Methodist. Kalangan orang Tionghoa sangat

kecewa setelah rencana ini dibatalkan, dan juga bishop hanya dapat menarik

keputusan sesuai dengan suara terbanyak.

Jemaat Methodist dari etnis Tionghoa tidak berhenti mencari solusi

sebagai upaya peningkatan kelompok etnisnya. Pada tahun selanjutnya mereka

mendidirikan Yayasan Kristen tanpa memakai nama Methodist, sebagai upaya

pelepasan pengaruh gereja terhadap semua aktivitas jemaat Methodist. Tiga

daerah yang menjadi sasaran pembangunan tersebut, yaitu Tebing tinggi, Lubuk

Pakam dan Pematang Siantar.

Pembangunan ini dilakukan tanpa ada hubungannya dengan Konferensi

Agung maupun Konfrensi Tahunan. Perguruan baru ini dinamakan dengan

“Yayasan Perguruan Kristen Ostrom”, dimana masyarakat jemaat Methodist etnis

Tionghoa sebagai pelaku tunggal terhadap pembentukan ini. 57

Pengaruh yang dirasakan masyakat Tionghoa akibat pembentukan

Perguruan Kristen Ostrom ini adalah perkembangan bagi kelompoknya dari sisi

pendidikan, mereka dominan memfokuskan perkembangannya dalam bidang

pendidikan dari pada pengembangan gereja. Di dalam gereja pertisipasi kelompok

Tionghoa semakin berkurang, tetapi pendidikan selalu mengalami peningkatan.

Kelompok etnis Tionghoa yang gerejanya adalah Methodist lebih banyak

waktunya mendekatkan diri kekalompok Tionghoa lainnya yang agamanya adalah

Kristen Protestan melalui pembentukan organisasi kelompok China yang

Indonesia.
57
Richard Daulay, op. cit., hlm. 343.

Universitas Sumatera Utara


beragama Kristen Protestan seperti Chinese Coordination Center Of Word

Evangelism (CCCOWE). Organisasi ini merupakan organisasi yang levelnya

adalah internasional, sehingga jumlahnya sangat besar.

Teguran yang diberikan oleh bishop terhadap jemaat Methodist yang

masuk terhadap organisasi ini adalah memberiakan pilihan kepada mereka untuk

memilih salah satu kelompok tertentu, antara Methodist dengan CCCOWE, sebab

organisasi ini juga dianggap adalah gerakan yang sifatnya pengekklusifan

masyarakat Tionghoa didalam kelompok tertentu.

Sejak teguran inilah kelompok Tionghoa menghentikan segala

aktivitasnya yang sifatnya pengkhususan kepada kelompok mereka, sebab selalu

ada dugaan yang sifatnya pengekklusifan kelompoknya dari masyarakat Indonesia

lainnya dalam satu gereja. Gereja Methodist Indonesia selalu tetap memperhatikan

jemaatnya, organisasi yang sifatnya etnisitas di tubuh Gereja Methodist Indonesia

selalu dijauhkan oleh pengurus GMI Pusat, sehingga sampai saat ini perbedaan

etnisitas menjadi salah satu kekuatan bagi tubuh Methodist, yang diatur dengan

tata tertib Gereja Methodist Indonesia.

4.4 Konstitusi Gereja Methodist Indonesia

Konstitusi Gereja Methodist Indonesia merupakan aturan pokok yang

mengatur Gereja Methodist Indonesia, dimana proses pembentukannya dimulai

sejak tahun 1964 hingga sampai tahun 1973. Tujuan dari pembentukan ini

merupakan gerakan gereja yang berorientasi pada persatuan gereja Methodist

seluruh dunia dan dasar negara republik Indonesia. 58

58
Ibid., hlm. 345.

Universitas Sumatera Utara


Secara garis besar tujuan dari Gereja Methodist Indonesia ialah

Memasyurkan nama Yesus Kristus dengan memberikan Injil kepada seluruh umat

manusia, mengumpulkan mereka dalam sidang Kristus, dan memperdalam

kehidupan kerohanian mereka hingga Firman Kristus menjadi dasar hidupnya. 59

Pemimpin Gereja Methodist yang paling tinggi dipegang oleh seorang

Bishop, yang membawahi beberapa pendeta Distrik atau Elder. Bishop menjadi

pimpinan saat konferensi Tahunan maupun konferensi Agung digelar, sedangkan

yang menjadi pesertanya adalah 50% dari kelompok Elder dan 50% dari

kelompok Jemaat.

Konferensi Agung digelar oleh Gereja Methodist Indonesia dalam kurun

waktu 4 tahun, dengan pelaksanaan pertama diadakan pada tahun 1969 sesudah

konferensi tahunan dilakukan60. Hal-hal yang dibahas saat pelaksanaan konfrensi

Agung dilaksanakan menyangkut syarat-syarat, kewajiban dan tanggung jawab

dari seorang anggota Gereja Methodist Indonesia. konfrensi Agung juga

membahas pelayanan yang akan dilakukan para pekerja gereja, mengatur segala

usaha-usaha yang dinaungi oleh Gereja Methodist Indonesia, merombak ataupun

menciptakan peraturan baru yang pada Gereja Methodist Indonesia dan

membentuk dewan pertimbangan Agung serta menggambarkan cara pengadilan

dalam Gereja Methodist Indonesia.

Untuk memilih anggota yang akan mengikuti konferensi Agung maka

konferensi tahunan dilaksanakan. Konferensi tahunan juga dilaksanakan untuk

mensahkan peraturan tambahan yang bersifat skala kecil dan tidak diatur dalam

konferensi Agung. Pelaksanaan konferensi ini dilaksanakan dalam kurun waktu

59
Dikutip dari arsip Gereja Methodist Indonesia bagian Aturan dan Peraturan.
60
GMI, Tata Tertib Gereja Methodist Indonesia, Medan: Penerbitan GMI, 1976, hlm.27.

Universitas Sumatera Utara


satu tahun. Bentuk konferensi yang lainnya adalah konferensi yang dilakukan

berdasarkan bagian-bagian gereja, seperti konferensi resort, yang diikuti hanya

satu resort saja, sedangkan konferensi gereja setempat pelaksanaannya hanya satu

gereja, tanpa melibatkan gereja yang lainnya. Pembahasan yang dilaksanakan

dalam konferensi resort dan konferensi gereja sifatnya lokalistik, hanya berlaku

dalam satu gereja ataupun dalam satu resort. 61

Sebagai kesimpulannya, segala konstitusi dan karangka kerja, avaluasi

terhadap kegiatan gereja serta para pekerjanya, program yang akan dilaksanakan

oleh Gereja Methodist Indonesia dari tingkat pusat maupun ketingkat yang labih

kecil dilakukan dengan mengadakan konferensi.

61
Ibid., hlm, 35.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN

Kota Medan merupakan kota yang paling besar di Sumatera Utara dan

menjadi ibu kota propinsi Sumatera Utara. Latar belakang kota yang bermula

sebagai kota perdagangan, sehingga banyak masyarakat yang datang dari berbagai

daerah bahkan negara untuk tujuan yang beragam, akhirnya wilayah Medan

menjadi pusat administrasi, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Sumatera

Utara.

Kedatangan penduduk luar ke Medan menjadikan kota Medan semakin

lengkap dengan unsur-unsur baru, seperti kedatangan missionaries yang

menyebarkan agama Kristen di Medan. Sesuai dengan tujauannya memberitakan

injil dan mengajak anggota masyarakat lain ikut kedalam ajarannya, seperti

misssionaries aliran Methodist yang datang dari Amerika Serikat untuk

menyebarkan ajaran Methodist di Medan.

Ajaran Methodist merupakan kelompok Kristen yang mekar setelah Jhon

Wesley menemukan beberapa Wahyu dan pemikiran baru tentang kekristenan.

Metode-metode baru ini segera dirampungkan menjadi metode pola beragama

yang berbeda dari ajaran Anglikan, sebagai ajaran Kristen yang terbesar di

Inggris. Melalui pemikiran yang matang, maka Jhon Wesley memberitakannya

kepada keluarga, orang dekat Jhon Wesley dan bahkan kepada kelompok

masyarakat yang ada di Inggris dan Amerika Serikat, sehingga banyak masyarakat

menerima metode ini akhirnya menjadi pengikut Methodist.

Ajaran Methodist ternyata lebih berkembang dikalangan masyarakat

Amerika Serikat, dibandingkan di Inggris, hal ini menyebabkan pusat Methodist

Universitas Sumatera Utara


dipindahkan ke Amerika Serikat. Penginjilan Methodist keberbagai negara

dominan dilakukan dari pusatnya yaitu Amerika Serikat, seperti proses

Methodisasi yang datang ke Singapura dan akhirnya masuk ke kepulauan

Indonesia yang dilakukan oleh missionaries dari Amerika Serikat.

Sebelum memfokuskan penginjilannya di Sumatera Utara, missionaries

Methodist memulai penginjilannya di luar Sumatera Utara yaitu di Pulau Jawa,

Kalimantan, Sumatera Selatan dan Pulau Bangka. Daerah-daerah sasaran

penginjilan ini merupakan daerah pusat perekonomian di Tanah Air yang juga

sebagai pusat percampuran penduduk.

Sasaran pokok penginjilan pada awalnya adalah masyarakat etnis

Tionghoa. Hal ini dilatar belakangi oleh penginjilan mula-mula yang dilakukan di

Singapura adalah kepada masyarakat etnis Tionghoa, sehingga kelompok

masyarakat yang pertama menganut ajaran Methodist di benua Asia adalah etnis

Tionghoa yang ada di luar Cina.

Kelompok masyarakat Tionghoa yang tersebar di berbagai daerah di

Indonesia menjadi masyarakat yang lebih mudah dijangkau oleh kelompok

missionaries, terutama kelompok penginjil dari etnis Tionghoa Singapura yang

menjadi pengikut Methodist, memfokuskan penginjilan mereka kepada etnis

mereka sendiri. Akibat dari penginjilan ini kepada kelompok Tionghoa, maka

kelompok yang pertama menerima ajaran Methodist di Indonesia adalah etnis

Tionghoa, yang ada di Kalimantan, Pulau Jawa, Sumatera selatan dan Bangka.

Setelah Methodist sampai di Sumatera Utara, ternyata banyak masyarakat

yang tertarik dengan ajaran ini diluar etnis Tionghoa, terutama etnis Batak Toba,

yang latar belakang agamanya sudah banyak yang menganut Agama Kristen.

Universitas Sumatera Utara


Persentase orang Batak yang menganut ajaran Methodist lebih besar dari pada

etnis Tionghoa. Etnis Batak banyak memberikan peran penting terhadap

perkembangan Methodist di Indonesia, terutama etnis Batak yang sudah tinggal di

Medan dalam waktu yang cukup lama.

Sebelum merdeka kelompok Methodist yang ada di Indonesia menjadi

salah satu distrik yang selalu berhubungan dengan pusat Methodist di Ameriaka

Serikat. Gelombang nasionalisasi memberikan dorongan yang kuat kepada

masyarakat Indonesia untuk membentuk sebuah ajaran Methodist yang otonom,

dengan bentuk organisasi gereja.

Rencana itu terwujud setelah tahun 1964, seiring dengan proses

nasionalisasi dan konfrontasi dengan Malaysia. Pusat Methodist yang pada

awalnya berada di Malaysia, setelah konfrontasi masyarakat Indonesia yang

mengikuti ajaran Methodist menolak hal tersebut, sebab hubungan diplomatik

Malaysia dengan Indonesia terputus.

Setelah Konferensi Agung yang bertempat di New York, Amerikat Serikat

tahun 1964, maka konferensi memberikan ijin kepada jemaat Methodist yang ada

di Indonesia untuk menjadi gereja yang otonom yang dinamakan dengan Gereja

Methodist Indonesia (GMI), dengan metode-metode dan sistem yang berlaku di

Gereja tersebut tidak berbeda dengan ajaran Methodist secara umum.

Setelah Methodist berdiri, maka perkembangan Methodist di Indonesia

berkembang dengan pesat, terutama dari kelompok etnis Batak Toba. Persentase

etnis Batak Toba yang dominan memberikan banyak peluang kepada etnis Batak

dalam memimpin departemen-departeman yang ada di dalam Gereja Methodist

Indonesia. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial bagi kelompok Tionghoa,

Universitas Sumatera Utara


yang ditunjukkan dengan membentuk kebaktian-kebaktian berdasarkan kelompok

etnisitas, khususnya kelompok Tionghoa.

Kebaktian berdasarkan etnisitas oleh kelompok Tionghoa yang akhirnya

membentuk distrik khusus yaitu Distrik Tionghoa. Pembentukan distrik ini

akhirnya menjadi perpecahan di tubuah Gereja Methodist Indonesia. kelompok

Tionghoa melakukan kebaktian khusus dengan bahasa dan gereja yang berbeda

dengan etnis lainnya. Pertentangan berlangsung hingga tahun 1983, setelah

konferensi menyepakati pembubaran distrik Tionghoa yang dianggap

mengeksklusifkan diri dari kelompok Methodist yang lainnya.

Usaha-usaha yang dilakukan kelompok Tionghoa yang sifatnya

pengkhususan terhadap etnisitasnya di tubuh Methodist selalu mendapat

penolakan dari pihak konferensi Gereja Methodist Indonesia (GMI), hingga

akhirnya Gereja Methodist Indonesia hingga sampai saat ini tetap satu, yang

selalu mengacu pada konstitusi Gereja Methodist Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta:


LP3S, 1979.
--------------------, Ilmu Sejarah Dan Historiografy: Arah Dan Perspektif, Jakarta:
LP3S, 1985.
Abdurahman, Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logeo Wacana, 1999.
Abi Neno, J. L, Garis-garis Besar Hukum Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1994.
Adams, D. J, Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat Di Asia, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992.
Amirtham, S & Peobe, J. S, Teologi Oleh Rakyat: Refleksi Tentang Berteologi
Oleh Rakyat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Amstrong, W,L, dkk, Disiplin Gereja Methodist Indonesia, Medan: Taman
Pustaka Iman Kristen, 1973.
Arias, M Jhosom, The Gread Comission: Birblical Models For Evagelism,
Nashville: Abingdom Press, 1992.
Aritonang, Jan. S, Berbagai Aliran Dalam Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995.
---------------------, Sejarah Berdirinya Kristen Di Tanah Batak, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1988.
Avis, Paul, Ambang Pintu Teologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1964.
Bair, Robert, Religion In American, New York: Harper Toch Books, 1970.
Berkhof, H, Sejarah Gereja, Jakarta: BPT Gunung Mulia, 2005.
Bedell, Kenneth, Whorship In The Methodist Tradition, Madison: The United
Methodist Church, 1987.
Bibooch, Richardh, Methodist In Indonesia, Cincinnati: Board Mission Of
Methodist Church, 1964.
Bonavia, David, Cina Dan Masyarakatnya, Jakarta: Erlangga, 1987.
Carrrol, J. W, Religion In American 1950 To The Present, New York: Harper &
Room, 1979.
Coke, Thomas And Moore, The Life Of John Wesley, London: Paramore, 1972.

Universitas Sumatera Utara


Copple, Charles, Tionghoa Indonesia Dalam Kristus, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994.
Cooplestone, History Of Methodist Mission, New York: The United Methodist
Curch,1973.
Daulay, Richard, Kekristenan Dan Kesukubangsaan: Sejarah Perjumpaan
Methodist Dengan Orang Batak Dan orang Tionghoa Di Indonesia.
Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1996.
Davies, Rupert, A History Of The Methodist Church In Gread Britain. London:
Epworth Press, 1992 4 Jilid.
Dewan Gereja-gereja Di Wilayah Sumatera Utara dan Aceh, Hidup Di Dalam
Kristud Bersama-sama Dengan Bangsa, Medan: DGI-W Sumatera
Utara& Aceh, 1981.
Doraisamy, Teodore, Methodist In Asia, Abird’s Eyes View, Singapore:
Methodist Curch In Singapore, 1991.
Elwood, Douglas J, Teologi Kristen Asia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
Gereja Methodist Indonesia, Disiplin Gereja Methodist Indonesia, Tebing Tinggi:
Depot Buku Methodist Indonesia, 1982.
----------------------------------, Hari Ulang Tahun Ke-60 Didirikannya Gedung
Gereja Methodist Indonesia, Medan: Gereja Methodist Indonesia,
1982.
----------------------------------, Konferensi Agung ke-IV, Medan: Departemen
Pendidikan Dan Pembinaan Warga, 1990.
----------------------------------, Laporan Sidang Ke-21 Gereja Methodist Indonesia
Di Medan, Medan: Gereja Methodist Indonesia, 1964.
----------------------------------, Notulen Sidang Gereja Methodist Indonesia, Medan:
Gereja Methodist Indonesia, 1976.
----------------------------------, Tata Tertib Gereja Methodist Indonesia, Medan:
Penerbitan GMI, 1976.
Gottcschalk, Luis, (terj) Notosusanto, Nugroho: Mengerti Sejarah, Jakara: UII
Press, 1985.

Universitas Sumatera Utara


Gultom, J, Fungsi Anggota Dan Pejabat Gereja Dalam Pembangunan Jemaat
(dalam Konteks Gereja Methodist Indonesia), Jakarta: STT Jakarta,
1980.
Harahap, H. M. H, Peta Keagamaan Dan Pembangunan sektor Agama Di
Sumatera Utara, Medan: Majalah Korwil Dep. Agama Propinsi
Sumatera Utara, 1991.
Hartono, Crhis, Ketionghoaaan Dan Kekristenan: Latar Belakan Dan Panggilan
Kekristenan Tionghoa Di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1974.
Jahja, H Boaz, Perkembangan Gereja Methodist Indonesia Dan Perkembangan
Pendidikannya di Aceh, Banda Aceh: Universitas Syah Kuala, 1980.
Jonge, Christian & Aritonang, Jans, Apa Dan Bagaimana Gereja, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1989.
---------------------, Gereja Mecari Jawaban: Kapitaselekta Gereja-gereja, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1993.
---------------------, Menuju Keesaan Gereja, Dokumen-dokumen Dan Thema-
thema Gereja-gereja Oikumene, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
---------------------, Pembimbing Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1986.
Jonathan, Tata Gereja Protestan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995.
Lampp, Walter, Benih Yang Tumbuh IX: Suatu Survei Gereja-gereja Kristen Di
Sumatera Utara, Jakarta: Lembaga Penelitian Dan Studi Dewan
Gereja Indonesia, 1976.
Lumbantobing, Andar, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak: Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1992.
Mahadi, Hari Djadi Dan Garis-garis Besar Perkembangan Sosiologi Kota
Medan, Medan: Fakultas Hukum USU, 1967.
Munthe, Benjamin, Training Dasar Rohani Kristen, Medan: GKII, 2002.
Outler, Albert, Theology Wesleyan Spirit, Nashville: Tiding Press, 1975.
Pemerintahan Kota Medan, Profil Medan, Medan: Pemko, 2004.
Senior, G. R, Partisipasi Gereja Methodist Inggris Di Gereja Methodist
Sumatera, Jakarta: Tanpa Penerbit, 1967.

Universitas Sumatera Utara


Shelleber, W.G, Hikayat Perhimpunan Methodist, Singapura: Methodist Publising
Hous, 1921.
Sihombing, A, Sejarah Gereja Methodist Indonesia, Medan: Suara Methodist
Indonesia, 1990.
Sinar,Luckman, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan: Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Seni Budaya Melayu,1991.
Sitorus,H., Benih Yang Tumbuh GMI, Medan: Tanpa Penerbit,1997.
STT HKBP, Benih Yang Berbuah, P Siantar: HKBP, 1984.
Van Den, Harta Dalam Bejana: Sejarah Ringkas Gereja, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1982.
-----------, Ragi Cerita 2: Sejarah Gereja Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1993.

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN GAMBAR

Lampiran 1: Gambar gedung sekolah pertama misi Methodist di Medan


Sumber: Koleksi perpustakaan STT GMI Bandar Baru

Lampiran 2 : Gambar Solomon Pakianathan


Sumber: Koleksi Perpustakaan STT GMI Bandar Baru.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3 : Gambar keluarga John Russel Denyes
Sumber: Koleksi perpustakaan STT GMI Bandar Baru

Lampiran 4: Gambar W.T Ward


Sumber: Koleksi perpustakaan STT GMI Bandar Baru

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai