Oleh :
Jihan Haura, S. Ked
2106111012
Preseptor :
dr. Irwandi, Sp. PD
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Hipertensi Emergensi dengan
Epitaksis”. Penyusunan laporan kasus ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Irwandi, Sp. PD selaku
preseptor selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan
bimbingan bagi penulis sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
No. rekam medis : 49.15.82
Umur : 66 tahun
Alamat : Keutapang, Syamtalira Aron
Agama : Islam
Status perkawinan : Cerai Mati
Suku : Jawa
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Tanggal Masuk : 9 Oktober 2021
Tanggal Keluar : 13 Oktober 2021
Tanggal Pemeriksaan : 12 Oktober 2021
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan utama
Keluhan utama pasien adalah mengeluhkan keluar darah dari hidung.
2.2.2 Keluhan tambahan
Keluhan tambahan pasien adalah mengeluhkan nyeri kepala, tengkuk terasa
berat dan kaku, pandangan kabur, mual, sesak napas, nyeri dada dan batuk
berdahak.
2.2.3 Riwayat penyakit sekarang
Pasien berusia 66 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Cut Meutia dibawa
oleh keluarga dengan keluhan keluarnya darah dari hidung sejak kemarin malam
atau 1 hari SMRS (8 oktober 2021) darah yang keluar berwarna merah segar dan
dikeluarkan dalam jumlah yang banyak disertai adanya nyeri kepala yang dirasakan
sejak 3 hari SMRS. Nyeri kepala yang dirasakan seperti berdenyut disertai tengkuk
terasa berat dan kaku. Pasien juga mengeluhkan pandangan pada matanya mulai
kabur sejak 1 minggu SMRS, sehingga pasien sulit untuk melihat orang yang ada
disekitarnya. Keluhan tambahan yang dirasakan pasien adalah mual yang dirasakan
sejak 3 hari SMRS, tetapi tidak disertai muntah.
Pasien juga mengeluh merasakan sesak napas, nyeri dada dan batuk
berdahak sejak 1 minggu SMRS. Sesak semakin dirasakan pada saat beraktivitas
2
3
dan membaik setelah istirahat, keluhan sesak ini sudah pernah dialami sejak 4 tahun
lalu pada saat pasien dirawat di RS Zainal Abidin Banda Aceh dan pasien
mengeluhkan pada saat batuk terasa sesak napas dan adanya nyeri dada. Nyeri dada
yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Batuk berdahak yang dirasakan pasien sulit
untuk dikeluarkan dan tenggorokan menjadi sakit dan gatal.
2.2.4 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi sejak 10 tahun (+), riwayat penyakit jantung sejak 4
tahun (+), diabetes mellitus (-).
2.2.5 Riwayat pemakaian obat
Pasien tidak rutin minum obat hipertensi dan jantung. Obat hipertensi yang
diminum pasien adalah obat amlodipine, obat tersebut diminum pasien pada saat
tekanan darahnya tinggi saja dan pasien juga pernah mengkonsumsi obat jantung 4
tahun lalu tetapi sekarang tidak lagi.
2.2.6 Riwayat kebiasaan
Pasien terbiasa minum kopi (nescafe) setiap pagi.
2.2.7 Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
2.2.8 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien termasuk dalam golongan ekonomi menengah kebawah. Pasien
tinggal bersama anak dan mantunya, pasien tidak bisa berkerja lagi kerena tidak
bisa beraktivitas berat. Kebutuhan sehari-harinya ditanggung oleh anak-anaknya.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 210/120 mmHg
Frekuensi nadi : 123 x/menit, regular
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu tubuh : 37 ̊C
Berat badan : 90 kg
IMT : 40 kg/𝑚2 (Obese Class III)
4
Golongan Darah A
Fungsi Ginjal
Ureum 25 mg/dl < 50
Kreatinin 1,00 mg/dl 0.5 – 0.9
Asam Urat 6,7 mg/dl 2.4 – 5.7
Glukosa darah
Glukosa Darah Sewaktu 157.0 mg/dl < 160
Tanggal: 12/10/2021
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
KIMIA KLINIK
Kolesterol Total 190 mg/dL <200
Trigliserida 106 mg/dL 70 – 140
HDL Kolesterol 59 mg/dL 37 – 92
LDL Kolesterol 14 mg/dL <130
Asam Urat 8,20 mg/dL 2.4 – 6
Ureum 20 mg/dL <48
Kreatinin 0,90 mg/dL 0.45 – 0.75
SGOT 19 U/L 0 – 35
SGPT 13 U/L 0 – 35
Alkaline fosfatase 72 U/L 30 – 120
Bilirubin Total 1,25 mg/dL 0,1 – 1,3
Bilirubin Direk 0,32 mg/dL 0 – 0,25
Bilirubin Indirek 0,93 mg/dL 0,1 – 1
2.5.2 Elektrokardiogram
2.6 Resume
Pasien berusia 66 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Cut Meutia dibawa
oleh keluarga dengan keluhan keluarnya darah dari hidung sejak kemarin malam 1
hari SMRS darah yang keluar berwarna merah segar dan dikeluarkan dalam jumlah
yang banyak disertai adanya nyeri kepala yang dirasakan sejak 3 hari SMRS. Nyeri
kepala yang dirasakan seperti berdenyut disertai tengkuk terasa berat dan kaku.
Pasien juga mengeluhkan pandangan matanya mulai kabur sejak 1 minggu SMRS,
sehingga pasien sulit untuk melihat orang yang ada disekitarnya. Keluhan
tambahan yang dirasakan pasien adalah mual yang dirasakan sejak 3 hari SMRS,
tetapi tidak disertai muntah.
Pasien juga mengeluh merasakan sesak napas, nyeri dada dan batuk
berdahak sejak 1 minggu SMRS. Sesak semakin dirasakan pada saat beraktivitas
dan membaik setelah istirahat, keluhan sesak ini sudah pernah dialami sejak 4 tahun
lalu pada saat pasien dirawat di RS Zainal Abidin Banda Aceh dan pasien
mengeluhkan pada saat batuk terasa sesak napas dan nyeri dada. Nyeri dada yang
dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Batuk berdahak yang dirasakan pasien sulit untuk
dikeluarkan dan tenggorokan menjadi sakit dan gatal.
Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi 10 tahun lalu yang tidak
terkontrol dan penyakit jantung sejak 4 tahun yang lalu, Pasien tidak rutin minum
obat hipertensi dan jantung. Obat hipertensi yang diminum pasien adalah obat
amlodipine, dimana obat tersebut diminum pasien hanya pada saat tekanan
darahnya tinggi dan pasien juga pernah mengkonsumsi obat jantung 4 tahun lalu
tetapi sekarang tidak lagi. Kebiasaan yang sering dilakukan pasien adalah
meminum kopi (nescafe) setiap pagi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak lemah,
kesadaran komposmentis, GCS E4V5M6 tekanan darah 210/120 mmHg, frekuensi
nadi 123x/menit, regular, frekuensi napas 24 x/menit, suhu 36,8⁰C, status gizi yaitu
obesitas class III. Pada pemeriksaan laboratorium umumnya normal namun
didapatkan hasil asam urat meningkat (8,20mg/dL), kreatinin meningkat
(0,90mg/dL). Pemeriksaan EKG didapatkan hasil sinus takikardi dan pada
pemeriksaan foto thorax didapatkan hasil kardiomegali dan pneumonia bilateral.
9
11
12
Epidemiologi
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global berakibat peningkatan
angka kesakitan dan kematian serta beban biaya kesehatan termasuk di Indonesia.
Hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak,
jantung, ginjal, retina, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah perifer.
Riset Kesehatan Dasar (2018) menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi di
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta adalah 34,1% dibandingkan
27,8% pada Riskesdas (2013). Hasil data dari Riskesdas tahun 2018 dapat
disimpulkan bahwa angka kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia
masih terbilang cukup tinggi, dari data yang didapatkan menyatakan bahwa angka
kematian akibat hipertensi emergency mencapai (27,3%). Berdasarkan data
Riskesdas (2018) pravalensi HT emergensi berdasarkan umur didapatkan data usia
lebih dari 75 tahun terdapat (69,5%). Ada pula usia 18-25 (13,2%), 25-34 (20,1%),
35-44 (31,6%), 45-54 (45,3%), 55-64 (55,2%), 65-74 (63,2%). Dalam upaya
menurunkan prevalensi dan insiden penyakit kardiovaskular akibat hipertensi
dibutuhkan tekad kuat dan komitmen bersama secara berkesinambungan dari
semua pihak terkait seperti tenaga kesehatan, pemangku kebijakan dan juga peran
serta masyarakat (7).
Etiologi
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab
hipertensi emergensi belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan
tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan
tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis
fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin
dan kerusakan fungsi autoregulasi (8).
Hipertensi emergensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut (9):
Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat
antihipertensi tidak teratur.
Kehamilan.
13
Penggunaan NAPZA.
Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar
berat, phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vaskular, trauma
kepala.
Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal .
Faktor Risiko
Faktor risiko krisis hipertensi menurut penelitian Saguner adalah jenis
kelamin wanita, obesitas, hipertensi, penyakit jantung koroner, gangguan
somatoform, banyaknya obat antihipertensi, dan ketidakpatuhan terhadap terapi
pengobatan (10).
Faktor risiko untuk hipertensi emergensi meliputi rendahnya status sosial
ekonomi, lemahnya akses terhadap perawatan kesehatan, ketidakpatuhan terhadap
terapi obat antihipertensi yang diresepkan (termasuk penarikan mendadak dari obat
antihipertensi (misalnya clonidine) dan penyalahgunaan alkohol, penggunaan
kontrasepsi oral, dan merokok (11).
Patofisiologi
Hipertensi emergensi dapat terjadi pada berbagai setting klinis, tetapi
umumnya terjadi pada HT kronis (yang sering tidak minum obat anti-HT atau HT
yang tidak terkendali), dengan TD biasanya diatas 180/120 mm Hg. Peningkatan
TD secara kronis pada awalnya tidak mempengaruhi perfusi organ target oleh
karena adanya mekanisme autoregulasi. Autoregulasi adalah kemampuan
pembuluh darah berdilatasi atau berkonstriksi sebagai respon perubahan tekanan
arterial, sehingga perfusi organ normal dapat dipertahankan. Namun peningkatan
TD yang berlangsung kronis mengakibatkan perubahan vaskuler arterial secara
fungsional dan struktural (penebalan dan kekakuan). Pada kondisi normotensi dan
HT kronis, endothelium mengontrol resistensi vaskuler dengan melepaskan
vasodilator endogen (nitric oxide-NO, prostacyclin-PGI2). Pada kondisi HT
emergensi, terjadi ketidak-mampuan kontrol endothelium terhadap tonus vaskuler,
sehingga terjadi breakthrough hyperperfusion pada organ target, nekrosis fibrinoid
14
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis hipertensi emergensi umumnya adalah gejala organ target
yang terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan jantung dan
diseksi aorta; mata kabur dan edema papilla mata; sakit kepala hebat, gangguan
kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal akut pada gangguan
ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikan tekanan darah
umumnya (13).
15
Tatalaksana
Beberapa pertimbangan strategi penatalaksanaan:
1. Konfirmasi organ target terdampak, tentukan penatalaksanaan spesifik
selain penurunan tekanan darah. Temukan faktor pemicu lain kenaikan
tekanan darah akut, misalnya kehamilan, yang dapat mempengaruhi strategi
penatalaksanaan.
2. Tentukan kecepatan dan besaran penurunan tekanan darah yang aman.
3. Tentukan obat antihipertensi yang diperlukan. Obat intravena dengan
waktu paruh pendek merupakan pilihan ideal untuk titrasi tekanan darah
secara hati-hati, dilakukan di fasilitas kesehatan yang mampu melakukan
pemantauan hemodinamik kontinyu (2).
Tatalaksana untuk Hipertensi Emergensi
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan
klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan
pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari
keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru.
Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat
bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan
darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang
tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.
17
Hipertensi resisten adalah tekanan darah yang tidak mencapai target TDS
<140 mmHg dan/atau TDD <90 mmHg, walaupun sudah mendapatkan 3
antihipertensi berbeda golongan dengan dosis maksimal, salah satunya adalah
diuretic, dan pasien sudah menjalankan rekomendasi modifikasi gaya hidup. Sudah
dikonfirmasi dengan ABPM atau HBPM dan Hipertensi resisten palsu dan
hipertensi sekunder sudah disingkirkan (2).
24
3.2 Epitaksis
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari rongga hidung atau
nasofaring. Epistaksis berasal dari kata epitazein yang berarti terus menerus
menetes. Sinonim dari epistaksis antara lain bloody nose, nosebleed, atau nasal
hemorrhage. Epistaksis bukan sebuah penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan. Hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri (14).
25
Epidemiologi
Epistaksis terjadi sekitar 60% dari populasi, namun hanya 10% saja yang
datang ke dokter. Sebagian besar kasus epistaksis bersifat sederhana. Pada kasus
yang berat, dapat pula memerlukan perawatan rumah sakit walaupun jarang
memerlukan tindakan pembedahan.
Epistaksis memiliki distribusi usia yang bersifat bimodal. Kasus terbanyak
didapatkan pada anak usia di bawah 10 tahun serta rentang usia 45 hingga 65 tahun.
Epistaksis yang memerlukan rawat inap semakin sering dijumpai pada populasi
usia tua atau pada pengguna antikaogulan. Penderita laki-laki mendominasi usia
sebelum 49 tahun. Populasi menjadi seimbang antara penderita laki-laki dan
perempuan setelah rentang usia tersebut (14).
Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan epistaksis anterior dan
posterior (14):
1. Penggunaan obat-obatan antikoagulan seperti koumarin, warfarin, aspirin,
NSAID, heparin, dan tiklopidin.
2. Kelainan perdarahan herediter, seperti hemorrhagic telengiectasis atau
Osler’s disease. Perdarahan pada penderita tersebut kadang sulit untuk
dikontrol. Diperlukan status hemostatik untuk memulai perawatan.
3. Penderita dengan familial blood dyscrasia, khususnya gangguan trombosit,
von Willebrand disease dan hemofilia.
4. Perdarahan berulang berasal dari posterior dan masif yang disebabkan oleh
aneurisma arteri karotis. Dapat didahului oleh riwayat operasi di kepala dan
leher atau trauma, namun dapat juga bersifat spontan.
5. Epistaksis sebagai bagian dari neoplasma rongga hidung. Contoh
keganasan antara lain squamous cell carcinoma, adeno cystic carcinoma,
melanoma, dan inverted papilloma. Kanker nasofaring sering didapatkan
pada ras Asia.
6. Penggunaan aspirin
26
Patogenesis
Epistaksis dapat diklasifikasi menjadi epistaksis anterior dan posterior berdasarkan
sumber perdarahan (14):
1. Epistaksis Anterior
Hampir 90% perdarahan anterior terjadi pada sistem vaskuler pada septum
yang dikenal dengan pleksus Kiesselbach. Anastomosis yang membentuk
pleksus tersebut antara lain: cabang septum arteri etmodalis, cabang lateral
arteri sfenopalatina, dan cabang septum dari labialis superior arteri fasialis.
Arteri sfenopalatina juga memberi suplai pada dinding poterolateral dan
dinding atau koana.
2. Epistaksis Posterior
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan
arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada orang
dewasa dengan hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler.
Perdarahan dapat terjadi dengan hebat dan jarang berhenti spontan. Dokter
umum yang terlatih mungkin dapat menghentikan sementara dengan
menggunakan tampon, namun sebagian besar penderita memerlukan
rujukan ke Instalasi Gawat Darurat untuk konsultasi dengan ahli THT-KL.
Diagnosis
Anamnesis meliputi hal sebagai berikut (14):
1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung.
2. Perlu ditanyakan secara spesifik:
a. Lokasi keluarnya darah (dari depan rongga hidung atau ke tenggorok)
b. Kondisi yang merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis, meliputi
tumor, gangguan koagulasi, trauma atau pembedahan, penggunaan
27
Tatalaksana
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu (14):
1. Menghentikan perdarahan,
2. Mencegah komplikasi, dan
3. Mencegah berulangnya epistaksis.
Tahapan tatalaksana epistaksis adalah sebagai berikut (14):
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaan syok, pasien dapat
berbaring dengan kepala dimiringkan.
28
3.3 Pneumonia
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat (16). Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia kominiti dan
pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi
29
Etiologi
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:
1. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
2. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob
oral (16).
Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen,
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada
bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus,
perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub (16).
Diagnosis
Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau
infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak/purulen
3. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
4. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
5. Leukosit > 10.000 atau < 4500 (18).
Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan
intertisial serta gambaran kavitas.
2. Laboratorium Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000
/ul, Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat
pula ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan
LED meningkat.
31
Tatalaksana
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan
antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab
infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan
terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien (16).
Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh
American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan perawatan di
rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau tanpa faktor modifikasi,
terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan golongan β-lactam (cefotaxim,
ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis tinggi ampicillin intravena) yang
dikombinasi dengan makrolide atau doksisiklin oral atau intravena, atau pemberian
fluroquinolon antipneumococcal intravena saja. Begitu juga panduan
penatalaksanaan yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of America
(IDSA) menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide atau β-
lactam/β-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon saja (19).
BAB 4
PEMBAHASAN
32
33
emergensi seperti terbiasa meminum kopi di pagi hari dengan berat badan berlebih
yang sudah termasuk dalam kategori obesitas.
Kopi mempengaruhi tekanan darah karena mengandung polifenol, kalium,
dan kafein. Kafein secara akut dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi
endothelium. Kafein dapat menginhibisi enzim sDS (soluble Guanylate Cyclase)
sehingga pada akhirnya menghambat konversi GTP menjadi cGMP. cGMP adalah
second messenger dari L-Arginin/NO. menurunnya konsentrasi cGMP
menyebabkan fungsi NO dalam menyebabkan dilatasi endothelium berkurang,
yang akan menyebabkan tekanan darah (20). Makin besar massa tubuh, makin
banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan
tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi
meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri (13).
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan
klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan
pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari
keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru.
Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat
bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan
darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang
tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal. Penurunan tekanan
darah harus dilakukan dengan segera namun tidak terburu-buru. Penurunan tekanan
darah yang terburu-buru dapat menyebabkan iskemik pada otak dan ginjal (13).
Obat-obat hipertensi emergensi yang tersedia di Indonesia ada Nicardipin
dengan onset 5-15 menit dosis yang diberikan 5-15mg/jam IV kontinyu efek
samping yang didapatkan seperti pusing kepala, refleks takikardi. Selanjutnya ada
Nitrogliserin dengan onset 1-5 menit dosis yang diberikan 5-200mg/mnt efek
samping yang didapatkan sakit kepala. Kemudian Diltiazem dengan onset 5 menit
dosis 0,25 mg/kg IV efek samping yang didapatkan bradikardi (2).
BAB 5
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
35