Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

HIPERTENSI EMERGENSI DENGAN EPITAKSIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia

Oleh :
Jihan Haura, S. Ked
2106111012

Preseptor :
dr. Irwandi, Sp. PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSU CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Hipertensi Emergensi dengan
Epitaksis”. Penyusunan laporan kasus ini sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Irwandi, Sp. PD selaku
preseptor selama mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam atas waktu dan tenaga yang telah diluangkan untuk memberikan
bimbingan bagi penulis sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS .................................................................................. 2
2.1 Identitas Pasien..................................................................................... 2
2.2 Anamnesis ............................................................................................ 2
2.2.1 Keluhan utama .......................................................................... 2
2.2.2 Keluhan tambahan .................................................................... 2
2.2.3 Riwayat penyakit sekarang ....................................................... 2
2.2.4 Riwayat penyakit dahulu .......................................................... 3
2.2.5 Riwayat pemakaian obat .......................................................... 3
2.2.6 Riwayat kebiasaan .................................................................... 3
2.2.7 Riwayat penyakit keluarga ....................................................... 3
2.2.8 Riwayat Sosial Ekonomi .......................................................... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................ 3
2.4 Status Generalis .................................................................................... 4
2.5 Pemeriksaan Penunjang........................................................................ 5
2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium....................................................... 5
2.5.2 Elektrokardiogram .................................................................... 6
2.5.3 Foto Thorax .............................................................................. 7
2.6 Resume ................................................................................................. 8
2.7 Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja .............................................. 9
2.8 Penatalaksanaan ................................................................................... 9
2.9 Follow Up Pasien ................................................................................. 9
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 11
3.1 Hipertensi Emergensi ......................................................................... 11
3.2 Epitaksis ............................................................................................. 24
3.3 Pneumonia .......................................................................................... 28
BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 32
BAB 5 KESIMPULAN ....................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 35

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

Hipertensi (HT) emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah (TD)


yang berat (>180/120 mm Hg) dan disertai bukti kerusakan baru atau perburukan kerusakan
organ target (target organ damage=TOD). Organ Target yang dimaksud adalah jantung, otak
dan ginjal. Pada keadaan ini diperlukan tindakan penurunan tekanan darah yang segera dalam
kurun waktu menit-jam (1).
Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi
hipertensi di Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta adalah 34,1%
dibandingkan 27,8% pada Riskesdas tahun 2013 (2). Diperkirakan pada tahun 2025
prevalensi hipertensi akan semakin meningkat diperkirakan akan ada 29% orang
dibelahan dunia mengalami penyakit yang sama. Ada 8 milyar orang setiap tahunnya
meninggal dunia dan 1,5 juta kematian terjadi di Asia Tenggara, dimana sepertiga
populasinya menderita hipertensi (3).
Pada pasien HT kronik diperkirakan sekitar 1-2% akan mengalami krisis HT
dalam kurun waktu hidupnya, diantaranya HT emergensi diperkirakan kurang lebih 25%
kasus. Insiden tahunan HT emergensi diperkirakan sebanyak 1-2 kasus per 100.000
pasien. Faktor risiko yang paling penting didapatkan pada krisis HT adalah mereka yang
tidak terdiagnosis atau tidak patuh menjalani pengobatan. Mortalitas selama perawatan
di rumah sakit pada krisis HT diperkirakan sebanyak 4-7%. Angka kematian dalam 1
tahun pada pasien dengan HT emergensi mencapai lebih dari 79% dan kelangsungan
hidup rata-rata adalah 10,4 bulan jika tidak diobati (1).
Angka kenaikan HT emergensi akan terus mengalami kenaikan jika tidak
ditangani dengan tepat maka akan menimbulkan komplikasi. Dalam kasus hipertensi
emergensi angka lonjakan pada tekanan darah yang sangat tinggi selalu diikuti dengan
adanya kerusakan organ berat pada organ target atau semakin memburuknya keadaan
seseorang. Angka kematiannyapun akan terus bertambah jika tidak ada kesadaran dari
penderitanya. Dalam menanggulangi hal ini dapat dilakukan dengan mematuhi
pengobatan dan tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi obat bebas. Komplikasi di
timbulkan akibat dari kerusakan organ target seperti: ginjal (gagal ginjal akut), jantung
(sindroma koroner akut, gagal jatung akut), otak (ensefalopati hipertensi, infark serebral,
perdarahan intraserebral dan retinopati), aorta (diseksi aorta) dan plasenta (eklamsia) (4).

1
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
No. rekam medis : 49.15.82
Umur : 66 tahun
Alamat : Keutapang, Syamtalira Aron
Agama : Islam
Status perkawinan : Cerai Mati
Suku : Jawa
Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga
Tanggal Masuk : 9 Oktober 2021
Tanggal Keluar : 13 Oktober 2021
Tanggal Pemeriksaan : 12 Oktober 2021
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan utama
Keluhan utama pasien adalah mengeluhkan keluar darah dari hidung.
2.2.2 Keluhan tambahan
Keluhan tambahan pasien adalah mengeluhkan nyeri kepala, tengkuk terasa
berat dan kaku, pandangan kabur, mual, sesak napas, nyeri dada dan batuk
berdahak.
2.2.3 Riwayat penyakit sekarang
Pasien berusia 66 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Cut Meutia dibawa
oleh keluarga dengan keluhan keluarnya darah dari hidung sejak kemarin malam
atau 1 hari SMRS (8 oktober 2021) darah yang keluar berwarna merah segar dan
dikeluarkan dalam jumlah yang banyak disertai adanya nyeri kepala yang dirasakan
sejak 3 hari SMRS. Nyeri kepala yang dirasakan seperti berdenyut disertai tengkuk
terasa berat dan kaku. Pasien juga mengeluhkan pandangan pada matanya mulai
kabur sejak 1 minggu SMRS, sehingga pasien sulit untuk melihat orang yang ada
disekitarnya. Keluhan tambahan yang dirasakan pasien adalah mual yang dirasakan
sejak 3 hari SMRS, tetapi tidak disertai muntah.
Pasien juga mengeluh merasakan sesak napas, nyeri dada dan batuk
berdahak sejak 1 minggu SMRS. Sesak semakin dirasakan pada saat beraktivitas

2
3

dan membaik setelah istirahat, keluhan sesak ini sudah pernah dialami sejak 4 tahun
lalu pada saat pasien dirawat di RS Zainal Abidin Banda Aceh dan pasien
mengeluhkan pada saat batuk terasa sesak napas dan adanya nyeri dada. Nyeri dada
yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Batuk berdahak yang dirasakan pasien sulit
untuk dikeluarkan dan tenggorokan menjadi sakit dan gatal.
2.2.4 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi sejak 10 tahun (+), riwayat penyakit jantung sejak 4
tahun (+), diabetes mellitus (-).
2.2.5 Riwayat pemakaian obat
Pasien tidak rutin minum obat hipertensi dan jantung. Obat hipertensi yang
diminum pasien adalah obat amlodipine, obat tersebut diminum pasien pada saat
tekanan darahnya tinggi saja dan pasien juga pernah mengkonsumsi obat jantung 4
tahun lalu tetapi sekarang tidak lagi.
2.2.6 Riwayat kebiasaan
Pasien terbiasa minum kopi (nescafe) setiap pagi.
2.2.7 Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
2.2.8 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien termasuk dalam golongan ekonomi menengah kebawah. Pasien
tinggal bersama anak dan mantunya, pasien tidak bisa berkerja lagi kerena tidak
bisa beraktivitas berat. Kebutuhan sehari-harinya ditanggung oleh anak-anaknya.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 210/120 mmHg
Frekuensi nadi : 123 x/menit, regular
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu tubuh : 37 ̊C
Berat badan : 90 kg
IMT : 40 kg/𝑚2 (Obese Class III)
4

2.4 Status Generalis


1 Kulit
Warna : Coklat muda (Sawo Matang)
Turgor : Cepat kembali
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Oedema : (-)
Pigmen : tidak terdapat hipopigmentasi ataupun
hiperpigmentasi
2 Kepala
Rambut : Warna rambut putih, distribusi merata, dan
tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
mata cekung (-/-), palpebra normal, gerakan
bola mata normal, pupil bulat, isokor +/+,
diameter 2mm/2mm, RCL/RCTL +/+
Telinga : bentuk normal, discharge (-/-), sekret (-/-),
darah (-/-)
Hidung : Darah (+/+), sekret (-/-) deviasi septum nasi
(-/-)
Mulut : lidah normoglosia, bibir kering, mukosa
mulut tidak hiperemis, uvula ditengah.
3 Leher
Inspeksi : Simetris, kelenjar tiroid tidak membesar,
trakea ditengah
Palpasi : tidak ada pembesaran tiroid
4 Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal, gerak dada simetris
kanan dan kiri saat statis dan dinamis,
pergerakan dada sama, tidak ada retraksi
Palpasi : Tidak ada benjolan, nyeri tekan (-), massa
(-), taktil fremitus kanan=kiri.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (+/+), Wheezing (-
/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 2 jari medial
Linea midclavicularis Sinistra
Perkusi : Batas atas jantung di ICS II LPSS, batas
kanan di ICS V LPSD, batas kiri di ICS V
dua jari medial dari LMCS
5

Auskultasi : BJ I/II normal


5 Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Palpasi : Defans muscular (-), nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen, shifting
dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik usus normal
6 Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
7 Ekstremitas : Akral hangat, nyeri anggota gerak (-/-),
edema punggung dan pergelangan kaki (-/-),
atrofi otot (-/-), sianosis (-/-)
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan kiri Kanan Kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -
Massa - - - -

2.5 Pemeriksaan Penunjang


2.5.1 Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal : 9/10/2021
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12,56 g/dL 12 – 16
Eritrosit 4,99 juta/uL 3,8 – 5,8
Hematokrit 39,23 % 37.0 – 47.0
MCV 78.55 fL 79 – 99
MCH 25,16 Pg 27 – 31,2
MCHC 32.3 g/dL 33 – 37
Leukosit 7,83 ribu/uL 4.0 – 11.0
Trombosit 170 ribu/uL 150 – 450
RDW-CV 12,49 % 11.5 – 14.5
Hitung Jenis Leukosit
Basophil 0,70 % 0 – 1.7
Eosinophil 3,60 % 0.60 – 7.30
Nitrofil segmen 47,30 % 39.3 – 73.7
Limfosit 38,72 % 18.0 – 48.3
Monosit 9,68 % 4.4 – 12.7
NLR 1,22 Cutoff 0 – 3.13
ALC 3030,23 Juta/L 0 – 1500
6

Golongan Darah A
Fungsi Ginjal
Ureum 25 mg/dl < 50
Kreatinin 1,00 mg/dl 0.5 – 0.9
Asam Urat 6,7 mg/dl 2.4 – 5.7
Glukosa darah
Glukosa Darah Sewaktu 157.0 mg/dl < 160
Tanggal: 12/10/2021
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
KIMIA KLINIK
Kolesterol Total 190 mg/dL <200
Trigliserida 106 mg/dL 70 – 140
HDL Kolesterol 59 mg/dL 37 – 92
LDL Kolesterol 14 mg/dL <130
Asam Urat 8,20 mg/dL 2.4 – 6
Ureum 20 mg/dL <48
Kreatinin 0,90 mg/dL 0.45 – 0.75
SGOT 19 U/L 0 – 35
SGPT 13 U/L 0 – 35
Alkaline fosfatase 72 U/L 30 – 120
Bilirubin Total 1,25 mg/dL 0,1 – 1,3
Bilirubin Direk 0,32 mg/dL 0 – 0,25
Bilirubin Indirek 0,93 mg/dL 0,1 – 1
2.5.2 Elektrokardiogram

EKG (9 Oktober 2021)


Interpretasi: 1. Irama: Sinus Takikardia
2. Rate: 107 x/menit
3. Axis: Normoaxis
4. PR Interval: normal (0,12 sekon)
7

5. Komples QRS: Normal (0,08 sekon)


6. Segmen ST: Tidak terdapat elevasi ataupun depresi
7. Glombang T: tidak ada T inverted
8. Hipertrofi: atrium (-), ventrikel (-)
9. VES (-)
Hasil Interpretasi: Sinus Takikardi.
2.5.3 Foto Thorax

Foto Thorax (12 Oktober 2021)


Interpretasi:
Cor: 1.Apeks jantung bergeser ke laterocaudal
2. Pingggang jantung mendatar
3. CTR > 50 % (63%)
Pulmo: 1. Corakan vaskular tampak Meningkat
2. Tampak Konsolidasi yang sebagian tampak sub pleura kanan kiri
Hemidiafragma kanan setinggi costae 10 posterior
Sinus costofrenikus kanan kiri lancip
Hasil Interpretasi:
1. Kardiomegali
2. Gambaran Pneumonia Bilateral
8

2.6 Resume
Pasien berusia 66 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Cut Meutia dibawa
oleh keluarga dengan keluhan keluarnya darah dari hidung sejak kemarin malam 1
hari SMRS darah yang keluar berwarna merah segar dan dikeluarkan dalam jumlah
yang banyak disertai adanya nyeri kepala yang dirasakan sejak 3 hari SMRS. Nyeri
kepala yang dirasakan seperti berdenyut disertai tengkuk terasa berat dan kaku.
Pasien juga mengeluhkan pandangan matanya mulai kabur sejak 1 minggu SMRS,
sehingga pasien sulit untuk melihat orang yang ada disekitarnya. Keluhan
tambahan yang dirasakan pasien adalah mual yang dirasakan sejak 3 hari SMRS,
tetapi tidak disertai muntah.
Pasien juga mengeluh merasakan sesak napas, nyeri dada dan batuk
berdahak sejak 1 minggu SMRS. Sesak semakin dirasakan pada saat beraktivitas
dan membaik setelah istirahat, keluhan sesak ini sudah pernah dialami sejak 4 tahun
lalu pada saat pasien dirawat di RS Zainal Abidin Banda Aceh dan pasien
mengeluhkan pada saat batuk terasa sesak napas dan nyeri dada. Nyeri dada yang
dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Batuk berdahak yang dirasakan pasien sulit untuk
dikeluarkan dan tenggorokan menjadi sakit dan gatal.
Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi 10 tahun lalu yang tidak
terkontrol dan penyakit jantung sejak 4 tahun yang lalu, Pasien tidak rutin minum
obat hipertensi dan jantung. Obat hipertensi yang diminum pasien adalah obat
amlodipine, dimana obat tersebut diminum pasien hanya pada saat tekanan
darahnya tinggi dan pasien juga pernah mengkonsumsi obat jantung 4 tahun lalu
tetapi sekarang tidak lagi. Kebiasaan yang sering dilakukan pasien adalah
meminum kopi (nescafe) setiap pagi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak lemah,
kesadaran komposmentis, GCS E4V5M6 tekanan darah 210/120 mmHg, frekuensi
nadi 123x/menit, regular, frekuensi napas 24 x/menit, suhu 36,8⁰C, status gizi yaitu
obesitas class III. Pada pemeriksaan laboratorium umumnya normal namun
didapatkan hasil asam urat meningkat (8,20mg/dL), kreatinin meningkat
(0,90mg/dL). Pemeriksaan EKG didapatkan hasil sinus takikardi dan pada
pemeriksaan foto thorax didapatkan hasil kardiomegali dan pneumonia bilateral.
9

2.7 Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja


1. Diagnosis banding pasien:
a. Hipertensi Emergensi
b. Hipertensi Urgensi
c. Pneumonia
2. Diagnosis kerja: Hipertensi Emergensi dengan Epistaksis
2.8 Penatalaksanaan
1. 02 3-4 liter/i NC (K/P)
2. IVFD RL 20 gtt/i
3. Drip Paracetamol 1gr/12j
4. Inj. Ceftriaxone 1gr vial/12j
5. Inj. Omeprazole 40mg vial/12j
6. Inj. Kalnex 500mg amp/8j
7. Inj. Furosemide 10mg 2 amp/8j
8. Nebul ventolin + flexotide 1 Resp/12 jam
9. Amlodipin 1x10mg
10. Valsartan 1x160mg
11. N-Acetilcystein 3x200mg
12. Sucralfat syr 3xCII
2.9 Follow Up Pasien

Tanggal SOAP Terapi


Sabtu, S/ lemas (+), nyeri kepala (+), tengkuk - 02 3-4 liter/i NC (K/P)
9/10/21 terasa berat dan kaku (+), keluar darah dari - Nebul ventolin + flexotide 1
(H+1) hidung (+), mual (+), batuk berdahak (+) Resp/12 jam
tapi sulit dikeluarkan, sesak(+) - IVFD RL 20 gtt/i
O/ - Drip Paracetamol 1gr/12j
Kesadaran= Composmentis; - Inj. Ceftriaxone 1gr vial/12j
TD= 210/110 mmHg; - Inj. Omeprazole 40mg vial/12j
HR= 123x/menit - Inj. Kalnex 500mg amp/8j
RR=24x/menit - Amlodipin 1x10mg
T=36,8 oC - Valsartan 1x160mg
A/ Hipertensi Emergensi dengan - Sucralfat syr 3xCII
Epistaksis - N-Acetilcystein 3x200mg
P/ Cek darah rutin, KGDS, LFT, CT/BT
Minggu, S/ Lemas (+),batuk berdahak(+) sulit - 02 3-4 liter/i NC (K/P)
10/10/21 dikeluarkan, sesak bila batuk dan nyeri - IVFD RL 20 gtt/i
(H+2) dada(+) gatal tenggorokan (+), sulit tidur - Drip Paracetamol 1gr/12j
(+) - Inj. Ceftriaxone 1gr vial/12j
10

O/ - Inj. Omeprazole 40mg vial/12j


Kesadaran= Composmentis; - Inj. Kalnex 500mg amp/8j
TD= 170/100 mmHg; - Nebul ventolin + flexotide 1
HR= 91x/menit Resp/12 jam
RR=25x/menit - Amlodipin 1x10mg
T=35,9 oC - Valsartan 1x160mg
A/ Hipertensi Emergensi dengan - Sucralfat syr 3xCII
Epistaksis - N-Acetilcystein 3x200mg
P/ Terapi lanjut
Senin, S/ lemas (+)batuk berdahak (+) sulit - Three way
11/10/21( dikeluarkan, sesak bila batuk dan nyeri - 02 3-4 liter/i NC (K/P)
H+3) dada (+) gatal tenggorokan (+), mual (+), - Inj. Ceftriaxone 1gr vial/12j
keluar darah dari hidung (+), nyeri sendi - Inj. Omeprazole 40mg vial/12j
(+) - Inj. Kalnex 500mg amp/8j
O/ - Inj. Furosemide 10mg 2 amp/8j
Kesadaran= Composmentis; - Nebul ventolin + flexotide 1
TD= 160/100 mmHg; Resp/12 jam
HR= 109x/menit - Amlodipin 1x10mg
RR=24x/menit - Valsartan 1x160mg
T= 36,5 oC - Sucralfat syr 3xCII
KGDS: 151 mg/dl - N-Acetilcystein 3x200mg
A/ Hipertensi Emergensi dengan
Epistaksis + CHF + Bronkhitis dd
pneumonia
P/ Foto Thorax, lipid profil, RFT, LFT
Selasa, S/ lemas (+), Pusing (+) sesak bila batuk - Three way
12/10/21 (+), Gatal tenggorokan (+), mual (+) sulit - 02 3-4 liter/i NC (K/P)
(H+4) tidur (+) nyeri sendi (+) - Inj. Ceftriaxone 1gr vial/12j
O/ - Inj.Omeprazole 40mg vial/12j
Kesadaran= Composmentis; - Inj. Kalnex 500mg amp/8j
TD= 160/100 mmHg; - Inj. Furosemide 10mg 2 amp/8j
HR= 110x/menit - Nebul ventolin + flexotide 1
RR=24x/menit Resp/12 jam
T= 36,5 oC - Amlodipin 1x10mg
KGDS: 362 mg/dl - Valsartan 1x160mg
A/ Hipertensi Emergensi dengan - Sucralfat syr 3xCII
Epistaksis + CHF + Bronkhitis dd - N-Acetilcystein 3x200mg
pneumonia
P/ Rencana PBJ
Rabu, S/ batuk dahak(+), Gatal tenggorokan (-), - Amlodipin 1x10mg
13/10/21 mual (-), sulit tidur (+), nyeri sendi (+) - Valsartan 1x160mg
(H+5) O/ - Sucralfat syr 3xCII
Kesadaran= Composmentis - N-Acetilcystein 3x200mg
TD= 150/100 mmHg - Allopurinol 1x300gr
HR= 110x/menit - Cefixime 2x50gr
RR=26x/mwnit - Furosemide 1x40mg
T= 36,1 oC
A/ Hipertensi Emergensi dengan
Epistaksis + CHF + Pneumonia
P/ PBJ
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hipertensi Emergensi


Hipertensi Emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
(TD) yang berat (>180/120 mm Hg) dan disertai bukti kerusakan baru atau
perburukan kerusakan organ target (target organ damage=TOD). Pada kondisi
klinis ini terjadi kerusakan organ diperantarai hipertensi (hypertensive mediated
organ damage=HMOD) yang mengancam nyawa , sehingga memerlukan
intervensi penurunan TD segera dalam kurun waktu menit/jam dengan obat-obatan
intravena (iv) (5).

Klasifikasi Hipertensi Emergensi


Menurut American Heart Association (AHA) atau American College of
Cardiology (ACC) pada tahun 2017 (6).

Gambar 3. 1 Klasifikasi Hipertensi menurut AHA atau ACC


Menurut European Society of Hypertension (ESH) atau European Society of
Cardiology (ESC) pada tahun 2018 (4).

Gambar 3. 2 Klasifikasi Hipertensi menurut ESH atau ESC

11
12

Epidemiologi
Hipertensi merupakan masalah kesehatan global berakibat peningkatan
angka kesakitan dan kematian serta beban biaya kesehatan termasuk di Indonesia.
Hipertensi merupakan faktor risiko terhadap kerusakan organ penting seperti otak,
jantung, ginjal, retina, pembuluh darah besar (aorta) dan pembuluh darah perifer.
Riset Kesehatan Dasar (2018) menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi di
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta adalah 34,1% dibandingkan
27,8% pada Riskesdas (2013). Hasil data dari Riskesdas tahun 2018 dapat
disimpulkan bahwa angka kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia
masih terbilang cukup tinggi, dari data yang didapatkan menyatakan bahwa angka
kematian akibat hipertensi emergency mencapai (27,3%). Berdasarkan data
Riskesdas (2018) pravalensi HT emergensi berdasarkan umur didapatkan data usia
lebih dari 75 tahun terdapat (69,5%). Ada pula usia 18-25 (13,2%), 25-34 (20,1%),
35-44 (31,6%), 45-54 (45,3%), 55-64 (55,2%), 65-74 (63,2%). Dalam upaya
menurunkan prevalensi dan insiden penyakit kardiovaskular akibat hipertensi
dibutuhkan tekad kuat dan komitmen bersama secara berkesinambungan dari
semua pihak terkait seperti tenaga kesehatan, pemangku kebijakan dan juga peran
serta masyarakat (7).

Etiologi
Faktor penyebab hipertensi intinya terdapat perubahan vascular, berupa
disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab
hipertensi emergensi belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan
tekanan darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan
tekanan darah yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis
fibrinoid arteriol sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin
dan kerusakan fungsi autoregulasi (8).
Hipertensi emergensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut (9):
 Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat
antihipertensi tidak teratur.
 Kehamilan.
13

 Penggunaan NAPZA.
 Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar
berat, phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vaskular, trauma
kepala.
 Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal .
Faktor Risiko
Faktor risiko krisis hipertensi menurut penelitian Saguner adalah jenis
kelamin wanita, obesitas, hipertensi, penyakit jantung koroner, gangguan
somatoform, banyaknya obat antihipertensi, dan ketidakpatuhan terhadap terapi
pengobatan (10).
Faktor risiko untuk hipertensi emergensi meliputi rendahnya status sosial
ekonomi, lemahnya akses terhadap perawatan kesehatan, ketidakpatuhan terhadap
terapi obat antihipertensi yang diresepkan (termasuk penarikan mendadak dari obat
antihipertensi (misalnya clonidine) dan penyalahgunaan alkohol, penggunaan
kontrasepsi oral, dan merokok (11).

Patofisiologi
Hipertensi emergensi dapat terjadi pada berbagai setting klinis, tetapi
umumnya terjadi pada HT kronis (yang sering tidak minum obat anti-HT atau HT
yang tidak terkendali), dengan TD biasanya diatas 180/120 mm Hg. Peningkatan
TD secara kronis pada awalnya tidak mempengaruhi perfusi organ target oleh
karena adanya mekanisme autoregulasi. Autoregulasi adalah kemampuan
pembuluh darah berdilatasi atau berkonstriksi sebagai respon perubahan tekanan
arterial, sehingga perfusi organ normal dapat dipertahankan. Namun peningkatan
TD yang berlangsung kronis mengakibatkan perubahan vaskuler arterial secara
fungsional dan struktural (penebalan dan kekakuan). Pada kondisi normotensi dan
HT kronis, endothelium mengontrol resistensi vaskuler dengan melepaskan
vasodilator endogen (nitric oxide-NO, prostacyclin-PGI2). Pada kondisi HT
emergensi, terjadi ketidak-mampuan kontrol endothelium terhadap tonus vaskuler,
sehingga terjadi breakthrough hyperperfusion pada organ target, nekrosis fibrinoid
14

arteriolar, dan peningkatan permeabilitas endotheliaum disertai edema perivaskuler


(12).

Gambar 3. 3 Patofisiologi Hipertensi Emergensi

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis hipertensi emergensi umumnya adalah gejala organ target
yang terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan jantung dan
diseksi aorta; mata kabur dan edema papilla mata; sakit kepala hebat, gangguan
kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal akut pada gangguan
ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikan tekanan darah
umumnya (13).
15

Gambar 3. 4 Gambaran Klinis Hipertensi Emergensi


Evaluasi Diagnostik
Anamnesis pasien harus dilakukan secara cermat, mengenai:
1. Riwayat HT (awitan, durasi, beratnya, pengobatan anti-HT sebelumnya)
2. Riwayat obat-obatan (penggunaan steroid, estrogen, simpatomimetik,
MAO inhibitor)
3. Riwayat sosial (merokok, minum alkohol, obat-obatan terlarang,
kehamilan)
4. Riwayat keluarga (usia dini terkena HT, penyakit kardio-vaskuler dan
serebro-vaskuler)
5. Riwayat spesifik sesuai keluhan (kardi-ovaskuler, neurologis, ginjal,
endokrin)
Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan kecurigaan organ target yang
terkena berdasarkan anamnesis yang didapat.
1. Pengukuran peningkatan tekanan darah (dilakukan konfirmasi: sesuai
posisi pengukuran yang tepat, ukuran cuff yang sesuai, pemeriksaan pada
posisi supinasi dan berdiri, lokasi pengukuran dilakukan dikedua lengan)
2. Palpasi denyut nadi dikeempat ekstremitas
3. Auskultasi untuk mendengar ada/tidaknya bruit pembuluh darah besar,
bising jantung, dan ronkhi paru
4. Pemeriksaan neurologis umum, Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang yang lain disesuaikan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan serta ketersediaan fasilitas.
1. Pemeriksaan Laboratorium:
16

a. Pemeriksaan awal (darah lengkap, ureum, kreatinin, gula darah,


elektrolit, urinalisis)
b. Pemeriksaan pada kecurigaan HT sekunder (aktivitas renin plasma,
aldosteron, catecholamine).
2. Pemeriksaan Penunjang:
a. Elektrokardiografi, foto polos thoraks
b. Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi (USG ginjal, CT-scan atau
MRI otak, echocardiography, CT scan atau MRI thoracoabdominal)
(1).

Tatalaksana
Beberapa pertimbangan strategi penatalaksanaan:
1. Konfirmasi organ target terdampak, tentukan penatalaksanaan spesifik
selain penurunan tekanan darah. Temukan faktor pemicu lain kenaikan
tekanan darah akut, misalnya kehamilan, yang dapat mempengaruhi strategi
penatalaksanaan.
2. Tentukan kecepatan dan besaran penurunan tekanan darah yang aman.
3. Tentukan obat antihipertensi yang diperlukan. Obat intravena dengan
waktu paruh pendek merupakan pilihan ideal untuk titrasi tekanan darah
secara hati-hati, dilakukan di fasilitas kesehatan yang mampu melakukan
pemantauan hemodinamik kontinyu (2).
Tatalaksana untuk Hipertensi Emergensi
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan
klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan
pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari
keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru.
Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat
bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan
darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang
tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.
17

Penurunan tekanan darah harus dilakukan dengan segera namun tidak


terburu-buru. Penurunan tekanan darah yang terburu-buru dapat menyebabkan
iskemik pada otak dan ginjal.
Target terapi hipertensi emergensi ialah Mean Arterial Pressure (MAP)
<25% semula dalam waktu kurang dari 1 jam dengan menggunakan agen
parenteral. Dalam 2-6 jam setelah stabil, turunkan tekanan darah diastolic hingga
mencapai 160/100-110mmHg. Jikan masih tetap stabil, turunkan tekanan darah
hingga sesuai target dalam 24-48 jam. Khusus pada diseksi aorta tanpa syok, target
tekanan darah sistolik 120mmHg harus dicapai dalam 20 menit (13).
Tabel 3. 1 Target penurunan tekanan darah pada hipertensi emergensi

Target Waktu Target Tekanan Darah


Jam Pertama Penurunan MAP sebesar 25% (dengan
mempertahankan DBP ≥ 100 mmHg)
Jam ke 2-6 SBP 160 mmHg dan/atau DBP 100-110 mmHg
Jam ke 6-24 Pertahankan tekanan darah sampai normal dalam 24
jam pertama
Jam ke 24-48 Pasien Rawat Jalan. Target tekanan darah berdasarkan
Guideline Manajemen Tekanan Darah pada Dewasa
Tabel 3. 2 Obat Hipertensi Emergensi yang tersedia di Indonesia
18

Gambar 3. 5 Tipe Obat dan Karakteristik Terapi Hipertensi Emergensi

Gambar 3. 6 Tipe Obat dan Karakteristik Terapi Hipertensi Emergensi


Tatalaksana Non Farmakologis
Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang
yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol,
pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan dosis obat pada
sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang
19

penting diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi.


Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:
1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang
hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke
berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu
pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis.
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi
asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai
pengurangan sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung dengan
penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan.
2. Olahraga dan aktifitas fisik
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan
aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan
menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang baik
dilakukan untuk penderita hipertensi. Dianjurkan untuk olahraga teratur,
minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan
darah walaupun berat badan belum tentu turun. Melakukan aktivitas secara
teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari) diketahui sangat
efektif dalam mengurangi risiko relatif hipertensi hingga mencapai 19%
hingga 30%. Begitu juga halnya dengan kebugaran kardio respirasi rendah
pada usia paruh baya diduga meningkatkan risiko hipertensi sebesar 50%.
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer
sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan
perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan
tekanan darah. Yang perlu diingat adalah bahwa olahraga saja tidak dapat
digunakan sebagai pengobatan hipertensi.
3. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya
penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal
20

pengobatan hipertensi. Nasihat pengurangan asupan garam harus


memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan memperhitungkan
jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam. Pembatasan
asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan
garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari
makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas
garam. Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan
mengurangi asupan garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan
makan pasien secara drastis.
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang
berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak
jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan
peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari
minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari
tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah
lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat
mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan
penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke.
Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan magnesium bermanfaat dalam
penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi sayur-sayuran dan buah-
buahan mengandung banyak mineral, seperti seledri, kol, jamur (banyak
mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak mengandung
magnesium). Sedangkan susu dan produk susu mengandung banyak
kalsium.
4. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan
sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk
menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat
21

perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban


stres (13).
Komplikasi
1. Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan
kematian pada pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan
hasil dari perubahan struktur dan fungsi yang menyebabkan pembesaran
jantung kiri disfungsi diastolik, dan gagal jantung.
2. Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan
hemoragik otak. Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya karena
hemoragik. Insiden dari stroke meningkat secara progresif seiring dengan
peningkatan tekanan darah, khususnya pada usia > 65 tahun. Pengobatan
pada hipertensi menurunkan insiden baik stroke iskemik ataupun stroke
hemorgik.
3. Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering
terjadi pada renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati,
tekanan darah harus 130/80 mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika ada
proteinuria (13).
Prognosis
Penyebab kematian tersering adalah stroke (25%) , gagal ginjal (19%) dan
gagal jantung (13%). Prognosis menjadi lebih baik apabila penanganannya tepat
dan segera (13).
Angka kesintasan penderita hipertensi emergensi mengalami peningkatan
dalam dekade terakhir, meskipun demikian kelompok pasien ini tetap dalam
kategori risiko tinggi dan perlu dilakukan penapisan untuk hipertensi sekunder.
Setelah tekanan darah mencapai tingkat aman dan stabil dengan terapi oral,
pasien dapat rawat jalan. Kontrol rawat jalan dianjurkan minimal satu kali sebulan
hingga target tekanan darah optimal tercapai dan dilanjutkan kontrol teratur jangka
panjang (2).
22

Perbedaan Hipertensi Emergensi, Hipertensi Urgensi dan Hipertensi Retensi


Hipertensi emergensi adalah hipertensi derajat 3 dengan HMOD akut. Hal
ini sering kali mengancam jiwa dan memerlukan penanganan segera dan seksama.
Untuk menurunkan tekanan darah biasanya memerlukan obat intravena. Kecepatan
peningkatan dan tinggi tekanan darah sama pentingnya dengan nilai absolut
tekanan darah dalam menentukan besarnya kerusakan organ (2).
Gambaran hipertensi emergensi adalah sebagai berikut (2):
1. Hipertensi maligna: hipertensi berat (umumnya derajat 3) dengan
perubahan gambaran funduskopi (perdarahan retina dan atau papiledema),
mikroangiopati dan koagulasi intravaskular diseminasi serta ensefalopati
(terjadi pada sekitar 15% kasus), gagal jantung akut, penurunan fungsi
ginjal akut. Gambaran dapat berupa nekrosis fibrinoid arteri kecil di ginjal,
retina dan otak. Makna maligna merefleksikan prognosis buruk apabila
tidak ditangani dengan baik.
2. Hipertensi berat dengan kondisi klinis lain, dan memerlukan penurunan
tekanan darah segera, seperti diseksi aorta akut, iskemi miokard akut atau
gagal jantung akut.
3. Hipertensi berat mendadak akibat feokromositoma, berakibat kerusakan
organ.
4. Ibu hamil dengan hipertensi berat atau preeklampsia.

Hipertensi urgensi merupakan hipertensi berat tanpa bukti klinis


keterlibatan organ target. Umumnya tidak memerlukan rawat inap dan dapat
diberikan obat oral sesuai dengan algoritma penatalaksanaan hiperteni urgensi (2).
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutuhkan obat-obatan parenteral. Pemberian obat-obatan oral
aksi cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam
awal Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%. Pada
fase awal standard goal penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110
mmHg (9).
23

Captopril adalah golongan angiotensin-converting enzyme (ACE)


inhibitor dengan onset mulai 15-30 menit. Captopril dapat diberikan 25 mg sebagai
dosis awal. Nicardipine adalah golongan calcium channel blocker yang sering
digunakan pada pasien dengan hipertensi urgensi. Labetalol adalah gabungan
antara α1 dan β-adrenergic blocking dan memiliki waktu kerja mulai antara 1-2
jam. Clonidine adalah obat-obatan golongan simpatolitik sentral (α2-
adrenergicreceptor agonist) yang memiliki mula kerja antara 15-30 menit
dan puncaknya antara 2-4 jam. Dosis awal bisa diberikan 0,1-0,2 mg (9).

Gambar 3. 7 Bagan Alur Pendekatan Diagnostik Pada Pasien Hipertensi

Hipertensi resisten adalah tekanan darah yang tidak mencapai target TDS
<140 mmHg dan/atau TDD <90 mmHg, walaupun sudah mendapatkan 3
antihipertensi berbeda golongan dengan dosis maksimal, salah satunya adalah
diuretic, dan pasien sudah menjalankan rekomendasi modifikasi gaya hidup. Sudah
dikonfirmasi dengan ABPM atau HBPM dan Hipertensi resisten palsu dan
hipertensi sekunder sudah disingkirkan (2).
24

Penatalaksanaan efektif meliputi modifikasi gaya hidup (khususnya


mengurangi asupan natrium), penghentian obat-obat lain yang berpotensi
meningkatkan tekanan darah, serta penambahan obat antihipertensi lain selain tiga
golongan obat antihipertensi sebelumnya. Penggunaan spironolakton untuk
hipertensi resisten terbukti efektif, namun disarankan dibatasi pada pasien dengan
LFG >45 mL/min/1,73m2 dan konsentrasi kalium plasma (2).

Gambar 3. 8 Pendekatan Hipertensi Resisten

3.2 Epitaksis
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari rongga hidung atau
nasofaring. Epistaksis berasal dari kata epitazein yang berarti terus menerus
menetes. Sinonim dari epistaksis antara lain bloody nose, nosebleed, atau nasal
hemorrhage. Epistaksis bukan sebuah penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan. Hampir 90% epistaksis dapat berhenti sendiri (14).
25

Epidemiologi
Epistaksis terjadi sekitar 60% dari populasi, namun hanya 10% saja yang
datang ke dokter. Sebagian besar kasus epistaksis bersifat sederhana. Pada kasus
yang berat, dapat pula memerlukan perawatan rumah sakit walaupun jarang
memerlukan tindakan pembedahan.
Epistaksis memiliki distribusi usia yang bersifat bimodal. Kasus terbanyak
didapatkan pada anak usia di bawah 10 tahun serta rentang usia 45 hingga 65 tahun.
Epistaksis yang memerlukan rawat inap semakin sering dijumpai pada populasi
usia tua atau pada pengguna antikaogulan. Penderita laki-laki mendominasi usia
sebelum 49 tahun. Populasi menjadi seimbang antara penderita laki-laki dan
perempuan setelah rentang usia tersebut (14).

Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan epistaksis anterior dan
posterior (14):
1. Penggunaan obat-obatan antikoagulan seperti koumarin, warfarin, aspirin,
NSAID, heparin, dan tiklopidin.
2. Kelainan perdarahan herediter, seperti hemorrhagic telengiectasis atau
Osler’s disease. Perdarahan pada penderita tersebut kadang sulit untuk
dikontrol. Diperlukan status hemostatik untuk memulai perawatan.
3. Penderita dengan familial blood dyscrasia, khususnya gangguan trombosit,
von Willebrand disease dan hemofilia.
4. Perdarahan berulang berasal dari posterior dan masif yang disebabkan oleh
aneurisma arteri karotis. Dapat didahului oleh riwayat operasi di kepala dan
leher atau trauma, namun dapat juga bersifat spontan.
5. Epistaksis sebagai bagian dari neoplasma rongga hidung. Contoh
keganasan antara lain squamous cell carcinoma, adeno cystic carcinoma,
melanoma, dan inverted papilloma. Kanker nasofaring sering didapatkan
pada ras Asia.
6. Penggunaan aspirin
26

7. Penderita dengan hipertensi. Hipertensi menyebabkan vaskulopatik


sehingga meningkatkan risiko epistaksis.
8. Penggunaan alkohol dan steroid intranasal pada penderita rinitis alergi.
9. Penderita dengan gagal jantung .

Patogenesis
Epistaksis dapat diklasifikasi menjadi epistaksis anterior dan posterior berdasarkan
sumber perdarahan (14):
1. Epistaksis Anterior
Hampir 90% perdarahan anterior terjadi pada sistem vaskuler pada septum
yang dikenal dengan pleksus Kiesselbach. Anastomosis yang membentuk
pleksus tersebut antara lain: cabang septum arteri etmodalis, cabang lateral
arteri sfenopalatina, dan cabang septum dari labialis superior arteri fasialis.
Arteri sfenopalatina juga memberi suplai pada dinding poterolateral dan
dinding atau koana.
2. Epistaksis Posterior
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan
arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada orang
dewasa dengan hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler.
Perdarahan dapat terjadi dengan hebat dan jarang berhenti spontan. Dokter
umum yang terlatih mungkin dapat menghentikan sementara dengan
menggunakan tampon, namun sebagian besar penderita memerlukan
rujukan ke Instalasi Gawat Darurat untuk konsultasi dengan ahli THT-KL.

Diagnosis
Anamnesis meliputi hal sebagai berikut (14):
1. Keluar darah dari hidung atau riwayat keluar darah dari hidung.
2. Perlu ditanyakan secara spesifik:
a. Lokasi keluarnya darah (dari depan rongga hidung atau ke tenggorok)
b. Kondisi yang merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis, meliputi
tumor, gangguan koagulasi, trauma atau pembedahan, penggunaan
27

medikasi (aspirin, warfarin, steroid intranasal) atau kondisi lain (sirosis


hepatis, HIV)
c. Lamanya perdarahan, frekuensi, dan jumlah darah yang keluar
d. Gejala dan tanda kehilangan darah kronis, seperti sesak, sakit kepala,
rasa tidak nyaman di dada, dan lain-lain
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan sebagai berikut (14):
1. Pemeriksaan umum.
Penting untuk evaluasi status vital dan jalan napas pada kasus epistaksis
berat. Perlu diperhatikan adanya sumbatan jalan napas akibat darah yang
profus atau syok hipovolemik, khususnya pada penderita usia tua dengan
penyakit sistemik. Pada penderita epistaksis berulang, dapat dievaluasi
status koagulasi (ekimosis, ptekie, lesi telengangiektasis).
2. Pemeriksaan berikut adalah kondisi rongga hidung.
Sebelum pemeriksaan, jika dapat dilakukan anestesi untuk kenyamanan.
Anestesi dapat diperoleh dengan menggunakan topikal anestesi dan
vasokonstriksi yang dioleskan menggunakan cutton swab. Pemeriksaan
membutuhkan cahaya yang baik menggunakan lampu kepala atau cermin.
Pemeriksaan rongga hidung menggunakan spekulum hidung. Kepala
penderita dalam posisi sniffing. Jika tampak bekuan darah di rongga
hidung, maka dilakukan penghisapan untuk membersihkan.

Tatalaksana
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu (14):
1. Menghentikan perdarahan,
2. Mencegah komplikasi, dan
3. Mencegah berulangnya epistaksis.
Tahapan tatalaksana epistaksis adalah sebagai berikut (14):
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaan syok, pasien dapat
berbaring dengan kepala dimiringkan.
28

2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat


dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama 3–5 menit (metode Trotter).
3. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat
pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan,
sekret maupun darah yang sudah membeku.
4. Bila perdarahan tidak berhenti, kapas dimasukkan ke dalam hidung yang
dibasahi dengan larutan anestesi local, yaitu 2 cc larutan pantokain 2% atau
2 cc larutan lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan adrenalin 1/1000. Hal
ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi
pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti sementara untuk
mencari sumber perdarahan. Sesudah 10–15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

Hubungan Hipertensi Emergensi dengan Epistaksis


Epistaksis dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi dikarenakan
(15):
1. Pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah
yang kronis. Hal ini beresiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan
tekanan darah yang abnormal.
2. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan
berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu
bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka
inferior.

3.3 Pneumonia
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat (16). Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia kominiti dan
pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas adalah pneumonia yang terjadi
29

akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan pneumonia nosokomial adalah


pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit
(17).

Etiologi
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan nosokomial:
1. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma
pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
2. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob
oral (16).

Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan
(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang
berinteraksi satu sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.

Gambar 3. 9 Patogenesis pneumonia oleh bakteri pneumococcus


30

Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen,
atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya
adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut tertekuk karena
nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada
bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus,
perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural friction rub (16).

Diagnosis
Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang
lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti
pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau
infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak/purulen
3. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam
4. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
5. Leukosit > 10.000 atau < 4500 (18).
Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik dan
intertisial serta gambaran kavitas.
2. Laboratorium Peningkatan jumlah leukosit berkisar antara 10.000 - 40.000
/ul, Leukosit polimorfonuklear dengan banyak bentuk. Meskipun dapat
pula ditemukanleukopenia. Hitung jenis menunjukkan shift to the left, dan
LED meningkat.
31

3. Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya biakan sputum dan


kultur darah untuk mengetahui adanya S. pneumonia dengan pemeriksaan
koagulasi antigen polisakarida pneumokokkus.
4. Analisa Gas Darah Ditemukan hipoksemia sedang atau berat. Pada
beberapa kasus, tekanan parsial karbondioksida (PCO2) menurun dan pada
stadium lanjut menunjukkan asidosis respiratorik (18).

Tatalaksana
Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan
antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman penyebab
infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik empiris dan
terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien (16).
Berdasarkan atas panduan penatalaksanaan pasien dengan CAP oleh
American Thoracic Society (ATS), untuk pasien yang memerlukan perawatan di
rumah sakit dengan penyakit kardiopulmoner dengan atau tanpa faktor modifikasi,
terapi yang dianjurkan adalah terapi dengan golongan β-lactam (cefotaxim,
ceftriaxon, ampicillin/sulbactam, dosis tinggi ampicillin intravena) yang
dikombinasi dengan makrolide atau doksisiklin oral atau intravena, atau pemberian
fluroquinolon antipneumococcal intravena saja. Begitu juga panduan
penatalaksanaan yang dikeluarkan oleh Infectious Diseases Society of America
(IDSA) menganjurkan pemberian cephalosporin ditambah makrolide atau β-
lactam/β-lactamase inhibitor ditambah makrolide atau fluroquinolon saja (19).
BAB 4
PEMBAHASAN

Hipertensi Emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah


(TD) yang berat (>180/120 mm Hg) dan disertai bukti kerusakan baru atau
perburukan kerusakan organ target (target organ damage=TOD) (5).
Gambaran klinis pada hipertensi emergensi umumnya adalah gejala organ
target yang terganggu, diantaranya nyeri dada dan sesak nafas pada gangguan
jantung dan diseksi aorta; mata kabur dan edema papilla mata; sakit kepala hebat,
gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal akut pada
gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk adanya rasa mual
muntah pada gastro intestinal pada kenaikan tekanan darah umumnya (13).
Pada kasus pasien Ny. N (66 tahun) dapat dilihat dari hasil anamnesis
terhadap pasien bahwasanya pasien ini memiliki riwayat penyakit hipertensi sejak
10 tahun dan jantung sejak 4 tahun lalu yang tidak terkontrol. Pemeriksaan fisik
pada pasien didapatkan tekanan darah 210/120mmHg dengan keluhan tambahan
adanya darah keluar dari hidung, nyeri kepala disertai tengkuk terasa berat dan
kaku. Pasien juga mengeluhkan sesak napas, nyeri dada dan batuk berdahak, dari
hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Ny. N diklasifikasikan ke dalam Hipertensi
Emergensi dengan Epistaksis.
Epistaksis dapat terjadi pada pasien-pasien dengan hipertensi dikarenakan
hipertensi yang lama sehingga terjadinya kerusakan pembuluh darah yang kronis.
Hal ini beresiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang
abnormal. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan
berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian
pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior (15).
Faktor risiko untuk hipertensi emergensi meliputi rendahnya status sosial
ekonomi, lemahnya akses terhadap perawatan kesehatan, ketidakpatuhan terhadap
terapi obat antihipertensi, obesitas, kebiasaan buruk seperti mengkonsumsi kopi.
Pada pasien ini memiliki faktor resiko yang tinggi untuk timbulnya hipertensi

32
33

emergensi seperti terbiasa meminum kopi di pagi hari dengan berat badan berlebih
yang sudah termasuk dalam kategori obesitas.
Kopi mempengaruhi tekanan darah karena mengandung polifenol, kalium,
dan kafein. Kafein secara akut dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi
endothelium. Kafein dapat menginhibisi enzim sDS (soluble Guanylate Cyclase)
sehingga pada akhirnya menghambat konversi GTP menjadi cGMP. cGMP adalah
second messenger dari L-Arginin/NO. menurunnya konsentrasi cGMP
menyebabkan fungsi NO dalam menyebabkan dilatasi endothelium berkurang,
yang akan menyebabkan tekanan darah (20). Makin besar massa tubuh, makin
banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan
tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi
meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri (13).
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan
klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan memerlukan
pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk menghindari
keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru.
Obat yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat
bekerja cepat, mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan
darah dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang
tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal. Penurunan tekanan
darah harus dilakukan dengan segera namun tidak terburu-buru. Penurunan tekanan
darah yang terburu-buru dapat menyebabkan iskemik pada otak dan ginjal (13).
Obat-obat hipertensi emergensi yang tersedia di Indonesia ada Nicardipin
dengan onset 5-15 menit dosis yang diberikan 5-15mg/jam IV kontinyu efek
samping yang didapatkan seperti pusing kepala, refleks takikardi. Selanjutnya ada
Nitrogliserin dengan onset 1-5 menit dosis yang diberikan 5-200mg/mnt efek
samping yang didapatkan sakit kepala. Kemudian Diltiazem dengan onset 5 menit
dosis 0,25 mg/kg IV efek samping yang didapatkan bradikardi (2).
BAB 5
KESIMPULAN

Hipertensi Emergensi adalah peningkatan tekanan darah (TD) yang berat


(>180/120 mm Hg) dan disertai bukti kerusakan baru atau perburukan kerusakan organ
target (target organ damage=TOD). Pada kondisi klinis ini terjadi kerusakan organ
diperantarai hipertensi (hypertensive mediated organ damage=HMOD) yang
mengancam nyawa , sehingga memerlukan intervensi penurunan TD segera dalam kurun
waktu menit/jam dengan obat-obatan intravena (iv).
Faktor penyebab hipertensi emergensi intinya terdapat perubahan vascular,
berupa disfungsi endotel, remodeling, dan arterial striffness. Namun faktor penyebab
hipertensi emergensi belum dipahami. Diduga karena terjadinya peningkatan tekanan
darah secara cepat disertai peningkatan resistensi vaskular. Peningkatan tekanan darah
yang mendadak ini akan menyebabkan jejas endotel dan nekrosis fibrinoid arteriol
sehingga membuat kerusakan vaskular, deposisi platelet, fibrin dan kerusakan fungsi
autoregulasi. Evaluasi diagnostik hipertensi emergensi berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.
Tatalaksana penurunan tekanan darah pada hipertensi emergensi yaitu dengan
target penurunan tekanan darah sebaiknya diturunkan sebesar 25% MAP dalam beberapa
menit, dan target tekanan darah 160/100 mmHg dicapai dalam 2-6 jam. Obat intravena
lebih dipilih untuk menghindari iskemia serebral, koroner, dan renal. Pergantian obat
intravena ke oral sebaiknya dilakukan dalam waktu 6-12 jam dengan penurunan dosis
titrasi obat intravena. Tekanan darah harus dinormalkan dalam 24-48 jam berikutnya.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahendra IBN. Krisis Hipertensi (Emergensi Dan Urgensi) Edisi I.


RsudmangusadaBadungkabGoId. 2017;1–12.
2. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan
Hipertensi 2019. Indones Soc Hypertens. 2019;118.
3. WHO. World Health Statistic Report 2015. Geneva World Heal Organ.
2015;
4. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE, Collins KJ, Himmelfarb
CD, et al. 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/
ASPC/NMA/PCNA guideline for the prevention, detection, evaluation, and
management of high blood pressure in adults: Executive summary. Vol. 71,
Clinical Practice Guideline: Executive Summary. 2018. 1269–1324 p.
5. Unger T, Borghi C, Charchar F, Khan NA, Poulter NR, Phabkaran D, et al.
2020 International Society of Hypertension Global Hypertension Practice
Guidelines. Hypertension. 2020;
6. Association AH, Cardiology AC of. Pedoman Hipertensi ACC/AHA 2017.
Hypertens Clin Pract Guidel. 2017;
7. Kemenkes RI. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Kementrian
Kesehat RI. 2019;53(9):1689–99.
8. Devicaesaria A. Hipertensi Krisis. Medicinus. 2014;27(3):9–17.
9. Turana Y, Widyantoro B, Juanda GN. Hipertensi Krisis (Emergensi dan
Urgensi). Jakarta: Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia; 2017.
10. Saguner A., Dur S, Perrig M. Risk Factors Promoting Hypertensive Crises:
Evidence from a Longitudinal Study. Am J Hypertens. 2010;23.
11. Elliot WJ, Rehman SU, Vidt DG. Hypertensive Emergencies and Urgencies.
Hypertens A Companion to Braunwald’s Hear Dis 2nd Ed. 2013;
12. Suryono. Krisis Hipertensi. Skripsi Fak Kedokt. 2018;3(3):69–70.
13. Heriyanti E. Hipertensi Emergensi. RSUD Pasarrebo. 2019;(November).
14. Afif Nurul Hidayati, Muhammad, Ilham Aldika Akbar ANR. Gawat Darurat
Medis Dan Bedah. Vol. 8, Airlangga University Press. 2018. 352 p.
15. Budiman BJ, Hafiz A. Epistaksis dan Hipertensi : Adakah Hubungannya? J
Kesehat Andalas. 2012;1(2).
16. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Penerbit FK UI;
2005.
17. PDPI. Pneumonia komuniti-Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003.
18. Luttfiya M, Henley E, Chang L. Diagnosis and Treatment of Community
Acquired Pneumonia. Am Fam Physician. 2010;
19. Allen J. Eusinophilic Lung Disease-Baum’s Textbook of Pulmonary
Diseases. Philadephia: Lippincott W & W; 2004.
20. Firmansyah MR, Rustam R. Hubungan Merokok dan Konsumsi Kopi
dengan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi. J Kesehat. 2017;8(2):263.

35

Anda mungkin juga menyukai