NIM : 142024153007
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Ikan memiliki sistem pertahanan imun bawaan dan adaptif. Parameter bawaan berada di
garis depan pertahanan kekebalan dan merupakan faktor penting dalam resistensi
penyakit. Respon adaptif ikan biasanya tertunda tetapi sangat penting untuk kekebalan
jangka panjang dan merupakan faktor kunci dalam keberhasilan vaksinasi. Peningkatan
besar-besaran dalam akuakultur dalam beberapa dekade terakhir telah memberikan
penekanan yang lebih besar pada studi tentang sistem kekebalan ikan dan pertahanan
terhadap penyakit yang umumnya terkait dengan pemeliharaan intensif beberapa spesies
yang penting secara ekonomi. Penelitian tersebut telah membantu menentukan kondisi
optimal untuk memelihara ikan imunokompeten dalam budidaya, untuk pemilihan stok
ikan (pemuliaan), serta mengembangkan dan meningkatkan tindakan profilaksis seperti
vaksinasi, dan penggunaan probiotik dan imunostimulasi pada spesies budidaya.
Namun, ada variasi yang besar dalam kerentanan penyakit dan pertahanan
kekebalan antara spesies ikan yang berbeda, cerminan dari waktu yang lama teleost saat
ini telah dipisahkan selama evolusi kelompok ikan ini. Jadi respon imun yang dijelaskan
pada satu spesies mungkin tidak sama pada spesies lain. Memang, sistem kekebalan
sebagian besar tidak diketahui di sebagian besar spesies ikan, terutama pada spesies yang
baru dibudidayakan, membatasi pengembangan strategi pengendalian kekebalan terhadap
penyakit menular. Bab ini akan menjelaskan apa yang diketahui tentang komponen utama
sistem imun bawaan dan adaptif ikan. (C.J. Secombes dan T. Wang, Universitas
Aberdeen, Inggris. 2012, Sistem imun bawaan dan adaptif ikan)
C. Sifat dasar Antigen adalah Antigen eksogen, Antigen endogen, Asing (untuk
Antigen), Ukuran Molekul (> 14 kDa; > 20kDa), Kompleksitas: Biasanya protein dan
beberapa polisakarida, Dosis antigen, Jalur administrasi Adjuvant (zat penambah).
4. Fagositosis
Fagositosis merupakan proses penelanan yang dilanjutkan dengan pencernaan seluler
terhadap bahan-bahan asing yang digantikan lateks masuk ke dalam tubuh oleh sel
makrofag. (Istini, Raden budisantoso, Pengaruh Penambahan Serum Dan Lama
Waktu Inkubasi Lateks Terhadap Aktivitas Fagositosis Makrofag Tikus Sprague
Dawley (SD) Dalam Menunjang Kegiatan Penelitian. INDONESIAN JOURNAL OF
LABORATORY).
Proses fagositosis dapat berlangsung melalui 4 tahap yaitu : 1. Tahan perlekatan
(attachment) bakteri atau benda asing pada membran sel fagosit,2. Tahap penelanan
(ingestion), yang diawali invaginasi membran plasma dari sel fagosit, sehingga partikel
yang akan difagosit masuk ke dalam sitoplasma yang kemudian ditutup oleh vakuola (
fagosom). Selanjutnya terjadi fusi antara lisosom dengan fagosom membentuk
fgolisosom, 3. Tahap pembunuhan (killing) yang dalam prosesnya bisa bergantung
oksigen maupun tidak tergantung oksigen, 4. Tahapan penghancuran (digestion). (
Ahmad Syaify. Pengaruh level HBA1C terhadap fungsi fagositosis neutrofil (pmn)
pada penderita periodotitis diabetika. ISSN: 1978-0206).
5. Sistem Pertahanan Tubuh Ikan Akibat infeksi parasit , bakteri dan Virus
Terlepas dari mesin pengenalan patogen yang terbatas, kekuatan pertahanan bawaan
melawan patogen sangat mengesankan. Hal ini ditunjukkan oleh pertahanan kekebalan
invertebrata yang sangat efisien, yang secara eksklusif mengandalkan parameter bawaan
untuk mengatasi berbagai macam patogen dalam kondisi lingkungan yang beragam.
Sistem kekebalan bawaan juga sangat penting dalam memerangi infeksi pada ikan.
Alasannya pada dasarnya adalah inefisiensi intrinsik dari respon imun yang didapat dari
ikan karena status evolusi dan sifat poikilothermic. Ini menghasilkan repertoar antibodi
yang terbatas, pematangan afinitas dan memori dan proliferasi limfosit yang lambat. Oleh
karena itu, respon imun didapat dari ikan lamban (sampai 12 minggu) dibandingkan
dengan respon imun bawaan yang instan dan relatif tidak bergantung pada suhu.
Sistem imun bawaan juga penting dalam mengaktifkan respon imun yang didapat. Dalam
beberapa tahun terakhir, komunikasi antara sistem bawaan dan sistem yang didapat telah
mendapat perhatian yang meningkat dalam penelitian mamalia. Beberapa penelitian,
misalnya, dari tikus yang berbeda '' knock-out '' dan respons fase akut, telah menunjukkan
bahwa sistem kekebalan bawaan sangat penting untuk fungsi kekebalan yang didapat dan
menentukan sifat respons yang didapat. Aktivasi komponen pengenalan bawaan, melalui
stimulasi fagosit, produksi sitokin dan kemokin dan aktivasi sistem komplemen dan
berbagai reseptor sel, merangsang sel T dan B dan sel penyaji antigen. Meskipun kurang
dipelajari pada ikan, komunikasi serupa mungkin terjadi antara sistem bawaan dan sistem
yang didapat pada ikan.
Partisipasi sistem bawaan dalam homeostasis juga telah banyak dipelajari pada spesies
mamalia. Studi tikus '' knock-out '' yang tidak memiliki mesin bawaan yang berbeda
seperti komponen pelengkap atau antibodi alami telah menunjukkan peran penting dari
sistem kekebalan bawaan dalam menjaga keseimbangan seluler dan molekuler. Ini
berlaku untuk proses alami kematian sel (apoptosis) dan pembaruan dan pemeliharaan
setelah cedera atau selama fase akut dan reaksi inflamasi yang terkait dengan infeksi.
Sistem kekebalan bawaan dari semua organisme multiseluler dilayani oleh berbagai
reseptor pengenalan pola yang dikodekan germline (PRR) atau protein pengenalan pola
(PRP). Berbeda dengan molekul pengenalan dari resistensi yang diperoleh, reseptor
pengenalan dari sistem bawaan relatif sedikit dan ditransmisikan secara vertikal, yang
mencerminkan pertempuran pertahanan evolusioner spesies dan adaptasinya terhadap
kondisi lingkungan tertentu.
Dua kategori pola molekuler diyakini menginduksi respon imun: Pola molekul asing atau
patogen terkait dan pola molekuler yang terpapar melalui kerusakan jaringan inang
sendiri karena infeksi, perubahan nekrotik dan kematian sel alami, menandakan bahaya
bagi sistem kekebalan.
Pola molekuler yang dikenali oleh parameter tersebut misalnya peptidoglikan dan
lipopolisakarida (LPS) pada dinding sel bakteri, b1,3-glukan jamur, RNA untai ganda
virus dan DNA bakteri. Pola molekul terkait patogen (PAMP) adalah istilah kolektif yang
digunakan untuk molekul yang sangat terkonservasi ini yang umumnya tidak
diekspresikan dalam organisme multiseluler.
Sinyal bahaya, di sisi lain, adalah molekul yang dilepaskan atau terpapar melalui cedera,
infeksi, peradangan atau apoptosis sel normal tetapi tidak secara normal diekspresikan
pada permukaan sel. Ini termasuk molekul seperti DNA inang, RNA, protein kejutan
panas dan pendamping lainnya dan oligomannosa dari glikoprotein yang disekresikan
sebelumnya. Demikian pula, karbohidrat permukaan sel apoptosis diketahui mengalami
perubahan halus dalam kandungan asam sialat terminal yang diidentifikasi oleh reseptor
sel tertentu.
PRR dapat berupa komponen terlarut seperti protein komplemen C3, lektin dan berbagai
komponen bawaan humoral lainnya atau dapat diekspresikan sebagai reseptor pada
fagosit dan sel lain dari sistem imun. Ada bukti untuk reseptor b1,3-glukan pada
makrofag salmon dan neutrofil ikan lele. Reseptor dengan aktivitas pengikatan LPS juga
telah dijelaskan dalam trout pelangi dan makrofag seabream. PRR serupa Tol telah
mendapat perhatian yang cukup besar dalam beberapa tahun terakhir. Tol pertama kali
dideskripsikan pada lalat buah Drosophilia melanogaster dan gen seperti Toll sejak itu
telah ditunjukkan pada vertebrata dan terbukti terlibat dalam pengenalan non-diri .
Homolog diduga dari keluarga TLR juga telah dijelaskan pada ikan.
Telah dikemukakan bahwa beberapa sel sendiri mengekspresikan pola molekuler seperti
asam sialat, dan dikenali oleh ligan pelindung seperti lektin siglec, yang ketika terikat
pada asam sialat, melindungi sel dari, misalnya, kaskade komplemen. Jika pola molekuler
ini berubah seperti yang terjadi selama apoptosis, sinyal bahaya menginduksi respon
PRR. Beberapa bakteri patogen memiliki asam sialat permukaan, yang dapat
memfasilitasi masuknya mereka ke dalam inang dan menghindari serangan bawaan yang
normal.
Teknik Elisa merupakan salah satu dari Teknik imunologi yang bertujuan untuk
mengetahui atau mengukur kadar dari aktivitas/respon ekspresi protein dan status reaksi
imun dari reaksi individu/ respon imun. Dalam perkembangannya teknik imunologi tidak
hanya bisa dilakukan dengan metoda ELISA tetapi juga imunohistokimia (IHC), Western
blot, Amino Acid seq, FACS analysis. Pada metoda ELISA spesimen yang biasa dipakai
berupa cairan misalnya serum atau hasil ekstraksi dalam bentuk infusa berbagai bahan.
Apabila spesimen berupa serum maka masuk dalam ranah pemeriksaan serologik yang
mempelajari reaksi antigen dan antibodi secara invitro. Pemeriksaan serologik sering
dilakukan sebagai upaya menegakkan diagnosis, walaupun saat ini pemeriksaan serologik
tidak terbatas pada penyakit infeksi, namun untuk menunjang diagnosis penyakit infeksi
memang hal yang sering dilkukan. Pengamatan secara in vitro terhadap perubahan
kompleks antigen-antibodi (Ag-Ab) sangat mungkin dapat dilakukan dengan berbagai
metode termasuk Elisa dan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan
pengembangan penelitian.
ELISA adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi
untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel. Jika sedang
mencari antibodi maka plate ELISA di coated dengan antigen yang sesuai demikian pula
sebalikknya jika sedang mencari antigen maka plate yang disediakan di coated dengan
antibodi yang sesuai. Dalam perkembanggan kemajuan teknologi, teknik ELISA telah
banyak digunakan untuk berbagai bidang baik diagnostik dalam bidang medis, patologi
tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri. Kelebihan metoda ELISA dibandingkan
dengan metoda imun lainnya adalah penggunaan antibodi dengan spesifitas yang tinggi
sehingga akurasi bahan atau analit yang ditemukan sangat dapat diandalkan. Berdasarkan
uraian diatas maka penulis akan membahas tentang ELISA dan aplikasinya pada infusa
daun padi IR bagendit.
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah salah satu metoda dalam bidang
laboratorium terutama imunologi untuk mengetahui ekspresi protein, reaksi imunitas,
respon imun. Dalam bidang imunologi teknik ini digunakan untuk menentukan adanya
antigen atau antibodi dalam sampel/serum. ELISA merupakan suatu teknik biokimia
yang dalam perkembangannya banyak diaplikasikan dalam berbagai bahan baik human,
rat, tumbuhan dan lain lain yang juga berfungsi sebagai alat diagnostik dalam bidang
medis maupun non medis misalnya industri. Prinsip dasar reaksi ELISA adalah
mereaksikan antigen dengan antibodi yang berlabel enzim yang kemudian ditambah
dengan substrat sehingga akan dihidrolisis menjadi presipitat warna yang dapat dideteksi
menggunakan Elisa reader. Pada tahapan akhir Teknik Elisa selalu ditambah dengan stop
solution yang berfungsi untuk menghentikan reaksi. Bahan asam kuat biasanya
digunakan sebagai larutan stop solution.
Pada Teknik ELISA, kita harus menetapkan dulu apa yang dicari, jika antigen yang dicari
maka reagen yang disiapkan adalah antibodi demikian sebaliknya jika mencari antibodi
maka reagen yang disiapkan adalah antigennya. Pada deteksi antigen, maka antibodi yang
memiliki spesifisitas tinggi untuk antigen tersebut harus disiapkan. Selanjutnya antigen
yang dari sampel dimasukkan dalam lempeng mikrotiter polisterene yang sudah dikoated
dengan antibodi spesifik. Kemudian ditambah dengan antibodi pendeteksi sehingga
terdapat komplek antigen antibodi. Antibodi pendeteksi dapat berikatan dengan antibodi
sekunder yang berlabel enzim melalui proses biokonjugasi. Setiap akhir tahapan proses
ini harus dilakukan pencucian plate dengan deterjen yang sudah ada dalam kit. Tahapan
berikutnya pemberian substrat enszimatik untuk memproduksi presipitat warna yang
menunjukkan kadar dari sampel. Substrat yang digunakan bisa dari kromogen atau
fluorogenik. Tahapan yang diuraikan ini adalah metede ELISA Sandwich, secara rinci
akan dibahas dalam sub bab buku ini.
DASAR TEORI ELISA Sebelum mempelajari Teknik Elisa, kita perlu mengingat
kembali pengertian antigen dan antibodi serta reaksi antigen dan antibodi. Pada Teknik
Elisa selalu menggunakan prinsip pertemuan antara antigen dan antibodi. Di bawah ini
pengertian antigen dan antibodi serta prinsip reaksi antigen dan antibody.
(Dr. Budi Santosa, S.KM., M.Si.Med. TEKNIK ELISA. ISBN : 978-602-5614-93-4)
Metode Imunohistokimia
Imunohistokimia merupakan proses untuk mendeteksi antigen (protein, karbohidrat, dsb)
pada sel dari jaringan dengan prinsip reaksi antibodi yang berikatan terhadap antigen
pada jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari nama “immune” yang menunjukkan
bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah penggunaan antibodi dan “histo”
menunjukkan jaringan secara mikroskopis. Imunohistokimia seringkali digunakan untuk
mengukur dan mengidentifikasi proses proliferasi sel dan apoptosis sel. munohistokimia
juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka mengetahui distribusi dan
lokasi biomarker ataupun protein terekspresi pada berbagai macam jaringan pada tubuh
(Ramos-Vara, 2005). Untuk memvisualisasikan hasil interaksi antara antigen dan
antibodi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, dimana cara yang paling sering
digunakan ialah dengan konjugasi antibodi dengan enzim seperti peroksidase. Selain itu
juga bisa digunakan fluorophore seperi fluorescen atau rhodamin. Untuk mempelajari
morfologi sel, sel dalam jaringan difiksasi kemudian dilokalisasi diantara sel dan
divisualisasikan dengan mikroskop elektron atau mikroskop cahaya (Rantam, 2003).
Imunohistokimia merupakan pemeriksaan imunopatologik yang sangat potensial untuk
memeriksa antigen secara lokal di jaringan yang menggunakan antibodi spesifik.
Pemeriksaan imunohistokimia mempunyai kemampuan yang tinggi untuk memisahkan,
menseleksi, dan bersifat spesifik. Pemeriksaan imunohistokimia untuk mendeteksi
adanya antigen, hal ini disebabkan adanya ikatan spesifik antara antigen dan antibodi
(Ambari 2003; Roitt et al., 1989; Haines and Chelack, 1991). Interaksi antara antigen
dengan antibodi dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 : Interaksi antara antigen dengan antibodi (Roitt et al., 1989)