Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

KEHAMILAN PADA REMAJA YANG TIDAK DIKEHENDAKI


KEDOKTERAN KOMUNITAS

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Ketua Sayyid Abdurahman 70600118017

Kelompok Nurul Annisa Amiruddin 70600118035


Anggota Nur Mutiara Fadhilah HBW (Scriber) 70600118036
Kelompok
Khairunnisa 70600116027

Andi Dian hajriana 70600117045

Andi Ega rizqi amalia 70600118015

Nurul Annisa 70600118010

Bunga Dhiaz Anggraini 7060018016

Siti Noerfaridha Syarif 70600118030

Andi Iffah Cahyani Putri R 70600118045


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah melimpahkan
rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan
Problem Based Learning (PBL) modul “Kehamilan Pada Remaja Yang Tidak
Dikehendaki”. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw., keluarga, sahabat, dan kita sebagai penerus hingga akhir zaman.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
untuk menyelesaikan laporan ini. Kami menyadari bahwa laporan ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki laporan ini.

Kami ucapkan terima kasih dan semoga laporan PBL ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 23 Desember 2021

Kelompok 4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. SKENARIO............................................................................................................1

B. KATA SULIT........................................................................................................1

C. KATA KUNCI.......................................................................................................1

D. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................1

E. LEARNING OUTCOME.......................................................................................2

F. PROBLEM TREE......................................................................................................3

BAB II...............................................................................................................................4

PEMBAHASAN................................................................................................................4

Epidemiologi................................................................................................................29

Etiologi.........................................................................................................................29

Patofisiologi.................................................................................................................30

Gejala Klinis................................................................................................................31

a. Diagnosis..................................................................................................................31

Tatalaksana...................................................................................................................34

Komplikasi...................................................................................................................36

Prognosis......................................................................................................................37

BAB III............................................................................................................................47

PENUTUP........................................................................................................................47

A. Kesimpulan..........................................................................................................47

B. Saran....................................................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN

A. SKENARIO
Seorang perempuan umur 22 tahun datang periksakan diri di BKIA yang tidak jauh dari
rumahnya dengan keluhan 2 bulan pertama tidak pernah haid dan perut mebesar. Dari
anamnesis dinyatakan belum menikah. TFU : setinggi Umbilicus. Tanda-tanda vital
T:120/80 mmHg, N : 86 kali/mnt, P : 22 kali / mnt, S: 36 / C. Setelah masuk bulan ke 3
kehamilan, perempuan tersebut diatas datang lagi dengan keluhan ada darah keluar dari
vagina berwarna merah kehitaman, bergelembung seperti mata ikan dan sudah
berlangsung 3 hari. Pemeriksaan Hb : 10,7 gr/dl, Untuk menegakkan diagnosis
diperlukan pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaannya dari sudut pandang
kedokteran komunitas.

B. KATA SULIT
Tidak ada

C. KATA KUNCI
1. Seorang perempuan
2. Umur 22 tahun
3. Keluhan 2 bulan pertama tidak pernah haid
4. Perut mebesar
5. Belum menikah
6. TFU : setinggi Umbilicus
7. Tanda-tanda vital T:120/80 mmHg, N : 86 kali/mnt, P : 22 kali / mnt, S: 36 C
8. Datang lagi dengan keluhan darah keluar dari vagina berwarna merah kehitaman,
bergelembung seperti mata ikan
9. Keluhan berlangsung 3 hari
10. Pemeriksaan Hb : 10,7 gr/dl.

D. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi Kehamilan Tidak Diinginkan atau KTD?
2. Bagaimana anatomi, fisiologi, histologi sistem reproduksi terkait skenario?
3. Bagaimana epidemiologi KTD?
4. Bagaimana faktor risiko terjadinya KTD?

1
5. Jelaskan karakteristik perilaku berisiko pada remaja?
6. Bagaimana patofisiologi keluhan utama pada skenario?
7. Bagaimana hubungan keluhan utama dan keluhan penyerta pada skenario?
8. Bagaimana gambaran klinis dari KTD?
9. Bagaimana penegakan diagnosis terkait skenario?
10. Bagaimana penatalaksanaan awal terkait skenario?
11. Apakah penyakit atau komplikasi yang dapat timbul akibat KTD?
12. Apakah diagnosis banding dari skenario?
13. Bagaimana peran komunitas dalam pencegahan atau pengendalian (solusi) dari
KTD?
14. Bagaimana Integrasi keilmuan terkait skenario?
E. LEARNING OUTCOME
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi Kehamilan Tidak Diinginkan atau KTD
2. Mahasiswa mampu menjelaskan anatomi, fisiologi, histologi sistem reproduksi
terkait skenario
3. Mahasiswa mampu menjelaskan epidemiologi KTD
4. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor risiko terjadinya KTD
5. Mahasiswa mampu menjelaskan karakteristik perilaku berisiko pada remaja
6. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi keluhan utama pada skenario
7. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan keluhan utama dan keluhan penyerta
pada skenario
8. Mahasiswa mampu menjelaskan guiambaran klinis dari KTD
9. Mahasiswa mampu menjelaskan penegakan diagnosis terkait skenario
10. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan awal terkait skenario
11. Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit atau komplikasi yang dapat timbul akibat
KTD
12. Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis banding dari skenario
13. Mahasiswa mampu menjelaskan peran komunitas dalam pencegahan atau
pengendalian (solusi) dari KTD
14. Mahasiswa mampu menjelaskan integrasi keilmuan terkait skenario

2
F. PROBLEM TREE

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN ATAU KTD

Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) merupakan kondisi kehamilan yang tidak


diharapakan yang terjadi pada wanita. Pada remaja, kondisi ini terjadi akibat dari
perilaku seksual bersiko yang dilakukan saat berpacaran (Purnamawati, 2020).

3
B. ANATOMI, FISIOLOGI, HISTOLOGI SISTEM REPRODUKSI TERKAIT
SKENARIO

Anatomi

1. Ovarium

Ukuran ovarium dapat berbeda secara signifikan. Selama usia reproduksi, panjangnya
2,5-5 cm, lebar 1,5-3 cm, dan ketebalan 0,6-1,5 cm. ovarium terletak di atas rongga
pervis dan bersandar di cekungan dangkal dinding lateral pelvis. Fossa ovaria
waldeyer ini terletak di antara pembuluh darah iliaca interna dan externa yang
menyebar. Ovarium terikat dengan ligamentum latum oleh mesovarium. Ligamentum
uteroovarium meluas dari bagian lateral dan posterior uterus, tepat di bawah insersi
tuba, ke kutub uterus ovarium. Ovarium di tutupi oleh peritoneum dan terdiri dari otot
dan serat jaringan ikat. Ligamentum infundibulopelvic atau ligamentum suspensorium
ovary meluas dari bagian atas atau kutub tuba ke dinding pelvis; yang terdapat
pembuluh darah dan saraf ovarium di dalamnya.

2. Tuba Uterina (Tuba Fallopi)


Penonjolan berbentuk tubular dari uterus ini panjangnya bervariasi dari 8 sampai 14
cm, dan masing-masing tuba terbagi menjadi bagian interstisial, isthmus, ampula, dan
infundibulum. Bagian interstisial menyatu di dalam dinding otot uterus. Isthmus, atau
bagian sempit bagian yang lebih lebar di lateral, atau ampula. Infundibulum atau
ujung-ujung fimbria, adalah muara berbentuk corong di ujung distal tuba uterine. Tuba
uterine berfariasi dalam ketebalannya. Bagian tersempit isthmus berdiameter sekitar 2-
4
3 mm, dan bagian terlebar ampula sekitar 5-8 mm. Ujung fimbria infundibulum
membuka ke rongga abdomen. Satu penonjolan, fimbria ovarika, yang dianggap lebih
panjang daripada fimbria lainnya, membentuk cucuran dangkal yang mendekati atau
mencapai ovarium.
3. Uterus
Uterus yang tidak hamil terletak di rongga pelvis di antara kandung kemih di anterior
dan rectum di posterior. Hamir seluru dinding posterior uterus ditutupi oleh serosa,
yang merupakan peritoneum viserale. Bagian bawah peritoneum ini membentuk batas
anterior culdesac rectouterina atau kavum douglas. Hanya bagian atas dinding anterior
uterus sangat ditutupi. Peritoneum di daerah ini juga mengarah ke depan ke kandung
kemih membentuk kavum vesikouterinum. Bagian bawah dinding uterus anterior
disatukan ke dinding posterior kandung kemih oleh jaringan ikat yang berbatas tegas.
Ini adalah spatium vesikouterinum. Uterus digambarkan berbentuk piriformis atau
berbentuk buah pir yang rata. Uterus terbagi menjadi dua bagian utama tetapi tidak
seimbang; bagian segituga atas yaitu corpus dan bagian silindris bawah yaitu serviks,
yang masuk ke dalam vagina. Isthmus adalah bagian ostium uteri internum dan cavitas
uteri. Fundus adalah segmen atas yang cembung di antara tempat insersi tuba uterine.
4. Serviks
Serviks uteri berbentuk fusiformis dan membuka di tiap ujungnya melalui lubang kecil
ostium uteri internum dan eksternum. Di anterior, batas atas serviks adalah ostium
internum, yang bersesuaian dengan level peritoneum melekat ke vesika urinaria.
Segmen atas serviks-portio supravaginalis, terletak di atas perlekatan vagina ke
serviks. Bagian vagina bawah serviks disebut portio vaginalis.
5. Vagina
Struktur muskulomembranosa ini memanjang dari uterus ke vulva dan terletak di
antara kandung kemih dan rectum di anterior dan posterior. Di anterior, vagina
dipisahkan dari urethra dan kandung kemih oleh jaringan ikat yaitu septum
vesikovaginal. Di posterior, di antara bagian bawah vagina dan rectum oleh kantong
rekto-uterus juga disebut culdesac douglas. Panjang vagina cukup bervariasi, tetapi
pada umumnya dinding vagina anterior dan posterior panjangnya 6-8 cm dan 7-10 cm.
Ujung atas kubah vagina terbagi oleh serviks menjadi anterior, posterior, dan dua
fornix di lateral. Dinding anterior dan posterior vagina terdapat banyak krista
transversal tipis, disebut rugae (Netter FH, 2016).

Histologi

5
1. Ovarium

Ovarium dilapisi oleh satu lapisan sel kuboid rendah atau gepeng yaitu epitel
germinal, yang bersambungan dengan mesotelium peritoneum viserale. Di bawah
epitel germinal adalah lapisan jaringan ikat padat yang disebut tunika albuginea. Di
bawah tunika albuginea terdapat korteks ovarium, suatu regio yang terisi dengan
stroma jaringan ikat yang banyak mengandung sel dan banyak folikel ovarium dengan
ukuran setelah menarke. Selain folikel, korteks mengandung fibrosit dengan serat
kolagen dan retikular. Jauh di dalam korteks yaitu bagian tengah jaringan ikat ovarium
dengan banyak pembuluh darah, medulla. Tidak terdapat batas yang jelas antara
korteks dan medula, dan kedua bagian ini menyatu. Di stroma korteks terlihat banyak
folikel ovarium, terutama jenis yang lebih kecil, dalam berbagai tahap perkembangan.
Folikel yang paling banyak adalah folikel primordial yang terletak di tepi korteks dan
di bawah tunika albuginea. Folikel primordial adalah struktur yang paling kecil dan
paling sederhana. Folikel ini dikelilingi oleh satu lapisan sel folikular gepeng.

2. Tuba uterine
Dinding oviduk terdiri atas lipatan mukosa, suatu lapisan muskularis tebal dengan
jalinan lapisan sirkular dan longitudinal otot polos dan suatu serosa tipis yang dilapisi
oleh peritoneum viseral dengan mesotel. Mukosa tuba memiliki banyak lipatan
panjang bercabang yang paling mencolok di bagian ampula, yang menyerupai labirin
pada potongan melintang. Lipatan mukosa ini makin mengecil pada segmen tuba yang
berdekatan dengan uterus dan tidak terdapat pada bagian intramural tuba. Mukosa tuba
terdiri atas epitel selapis silindris di lamina propria jaringan ikat longgar. Epitelnya
mengandung dua jenis sel yang penting secara fungsional, yaitu epitel dengan sel
6
bersilia (epitheliocytus ciliatus) dan sel sekretori atau peg cell (epitheliocytus tuberous
angustus) tidak bersilia. Sel bersilia paling banyak di infundibulum dan ampulla tuba
uterina. Gerakan lecut silia mengarah ke uterus, membersihkan cairan menuju rahim.
Sel peg sekretoris ujung apikal yang biasanya menonjol ke dalam lumen, yang
mengeluarkan glikoprotein dari film lendir nutrisi yang mencakup epitel.

3. Uterus
Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan: perimetrium di sebelah luar yang dilapisi oleh
serosa atau adventisia; lapisan otot polos yang tebal yaitu myometrium dan
endomtrium di sebelah dalam. Endometriurn dilapisi oleh epitel selapis yang turun ke
dalam lamina propria untuk membentuk banyak kelenjar uterus (glandulae uterinae).
Endometrium umumnya dibagi menjadi dua lapisan fungsional, yaitu stratum
functionale di luminal dan stratum basale di basal. Pada wanita yang tidak hamil,
stratum functionale superfisial dengan kelenjar uterus dan pembuluh darah terlepas
atau terkelupas selama menstruasi, meninggalkan stratum basale yang utuh dengan
sisasisa kelenjar uterus di basal, sumber sel untuk regenerasi stratum functionale yang
baru. Arteri yang mendarahi endometrium berperan penting selama fase haid pada
siklus menstruasi. Permukaan endometrium dilapisi oleh epitel selapis silindris yang
berada di atas lamina propria tebal. Epitel meluas ke bawah ke dalam jaringan ikat
lamina propria dan membentuk kelenjar uterus tubular yang panjang. Miometrium
terdiri dari berkas padat otot polos dipisahkan oleh untai tipis jaringan ikat interstisial
dengan banyak pembuluh darah

4. Serviks
Serviks adalah bagian bawah uterus. Kanalis servikalis dilaptisi oleh epitel kolumnar
tinggi penghasil mukus yang berbeda dari epitel uterus, yang bersambungan
dengannya. Epitel serviks juga dilapisi oleh kelenjar serviks tubular. Sebagian kelenjar
serviks mungkin tersumbat dan berkembang menjadi kista glandular kecil. Ujung
7
bawah serviks, ostium serviks, menonjol ke dalam lumen kanalis vaginalis. Epitel
silindris kanalis servikalis berubah mendadak menjadi epitel berlapis gepeng tanpa
lapisan tanduk untuk melapisi bagian vagina di seviks yaitu porsio vagina dan
permukaan luar forniks vagina.

5. Vagina
Vagina adalah suatu struktur fibromuskular yang terbentang dari serviks ke
vestibulum genitalia eksterna. Dindingnya memiliki banyak lipatan dan terdiri dari
mukosa di sebelah dalam, lapisan otot di tengah, dan jaringan ikat adventisia di
sebelah luar. Vagina yang tidak memiliki kelenjar di dindingnya dan lumennya
dilapisi oleh epitel berlapis gepeng. Mukus yang dihasilkan oleh sel-sel di kelenjar
serviks melumasi lumen vagina. Lamina propria yang terletak di atas lapisan otot
polos organ terdiri dari jaringan ikat fibroelastik longgar yang kaya pembuluh darah.
Mukosa vagina tidak rata dan memperlihatkan banyak plica mucosae. Epitel
permukaan kanalis vaginalis adalah epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.
Dibawah epitel terdapat lamina propria yang mengandung jaringan ikat padat tidak
teratur dengan serat elastik yang meluas ke dalam tunika muskularis berupa serat
interstisial. Tunika muskularis dinding vagina terutama terdiri dari berkas
longitudinale dan berkas oblik otot polos. Lapisan adventisia mengandung banyak
pembuluh darah dan saraf. (Gartner L P, 2006)

8
Fisiologi

Ovarium adalah organ reproduksi primer pada wanita. Ovarium berfungsi untuk
menghasilkan ovum (oogenesis), dan menghasilkan hormon-hormon seks wanita yaitu
estrogen dan progesteron. Kedua hormon ini bekerja sama untuk mendorong fertilisasi
ovum dan untuk mempersiapkan sistem reproduksi wanita untuk kehamilan.

Tuba fallopi merupakan suatu saluran yang berfungsi sebagai tempat disalurkannya
ovum menuju ke uterus. Bagian ujung tuba fallopii disebut sebagai fimbriae yang
berfungsi untuk menangkap sel telur yang dilepaskan oleh ovarium. Sel telur akan
disalurkan di sepanjang tuba hingga terjadi pembuahan oleh sperma pada pars ampularis.

Uterus Setelah terjadi pembuahan pada pars ampularis, hasil konsepsi akan didorong ke
uterus. Uterus merupakan suatu struktur tempat hasil konsepsi tinggal dan berkembang.

9
Uterus juga ikut berperan dalam siklus haid. Uterus terdiri atas 3 lapisan yaitu
endometrium, miometrium, dan lapisan serosa.

Vagina Merupakan penghubung antara introitus vagina dan uterus. Vagina merupakan
saluran yang dilewati oleh penis pada saat koitus. Vagina juga berfungsi sebagai bagian
jalan lahir pada proses persalinan (Sherwood, L, 2014)

C. EPIDEMIOLOGI KTD

Hasil survei Badan Pusat Statistik tahun 2012 mengungkapkan, angka kehamilan
remaja pada usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 1.000 kehamilan (BKKBN, 2014).
Australian National University (ANU) bersama Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia (UI) tahun 2010/2011 juga melakukan penelitian terhadap 3.006 remaja dalam
penelitian di Jakarta, Tangerang dan Bekasi didapatkan hasil sebesar 20,9 persen remaja
usia 17-24 tahun hamil sebelum menikah dan 38,7 persen remaja mengalami kehamilan
sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa dari 200 juta kehamilan
pertahun, 38 persen diantaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan. World
health statistic tahun 2014 menujukkan bahwa angka kejadian kehamilan tidak
diinginkan dikalangan remaja wanita usia 15 sampai 19 tahun adalah 49 per 1000
perempuan, angka kejadian kehamilan remaja di Indonesia adalah 48 per 1000
perempuan. Angka ini tergolong tinggi dibandingkan malaysia yaitu 6 per 1000
perempuan dan Thailand 41 per 1000 perempuan. Australian National University (ANU)
bersama Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) tahun 2010/2011 juga
melakukan penelitian terhadap 3.006 remaja dalampenelitian di Jakarta, Tangerang dan
Bekasi didapatkan hasil sebesar 20,9 persen remaja usia 17-24 tahun hamil sebelum
menikah dan 38,7 persen remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran
setelah menikah (Pranata,2010).

D. FAKTOR RISIKO TERJADINYA KTD

1. Kegagalan ber-KB Kehamilan akibat perkosaan


2. psikis perempuan yang belum siap untuk mengalami kehamilan,
3. Kehamilan akibat hubungan seksual diluar nikah
4. Hamil akibat incest (hubungan seksual sedarah) Himpitan ekonomi dan biaya
pendidikan
5. Kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan untuk hamil
10
6. Janin dideteksi menderita cacat majemuk berat, atau jenis kelamin tidak sesuai
kemauan
7. Sedang berkarir atau menyelesaikan pendidikan
8. Kehamilan terjadi pada waktu yang belum diharapkan (Hanim D, 2013).

E. KARAKTERISTIK PERILAKU BERISIKO PADA REMAJA

Pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional


menyatakan bahwa, terdapat tiga risiko yang dihadapi oleh remaja, yaitu risiko yang
berhubungan dengan seksualitas, NAPZA, HIV, dan AIDS. Ketiga risiko tersebut
mendapat istilah Triad Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang berkaitan dengan
hubungan seksual pranikah dan penyalahgunaan narkoba. Hubungan seks pranikah
berkaitan dengan Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD) dan penularan Infeksi
Menular Seksual. Penyalahgunaan narkoba, khususnya yang berkaitan dengan
penggunaan jarum suntik berkaitan dengan penularan penyakit HIV/AIDS. Tiga faktor
yang dapat memengaruhi seorang remaja untuk melakukan perilaku berisiko.

1. Faktor pertama berkaitan dengan faktor dari dalam diri remaja (faktor predisposisi)
yakni umur lebih tua, laki-laki, pendidikan dan pengetahuan KRR yang rendah
berkaitan dengan meningkatnya perilaku berisiko yang dilakukan remaja.
a. Laki-laki
Perilaku berisiko lebih sering dilakukan oleh laki-laki karena remaja laki-laki
memiliki pergaulan sosial dan kebebasan yang lebih luas, serta pengawasan oleh
orang tua tidak seketat pada remaja perempuan. Proporsi perilaku berisiko lebih
sedikit ditemukan pada remaja perempuan yang disebabkan karena norma sosial
yang berlaku bahwa menghindari perilaku berisiko merupakan bagian dari identitas
gender sebagai perempuan. Sebaliknya, melakukan perilaku berisiko merupakan
bagian dari identitas gender sebagai laki-laki.
b. Umur Lebih Tua
Umur yang lebih tua diasosiasikan dengan meningkatnya perilaku berisiko. Hal ini
konsisten dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara umur remaja dan meningkatnya proporsi perilaku berisiko. Hal ini mungkin
disebabkan oleh bertambah tua usia seorang remaja, pengawasan dari orang tua
semakin berkurang, sementara pergaulan semakin luas.
c. Pendidikan dan Pengetahuan KRR Rendah

11
Pendidikan berkaitan erat dengan pengetahuan seseorang kemauan untuk mencari
informasi mengenai konsekuensi dari perilaku berisiko. Remaja dengan
pengetahuan rendah dan hanya memiliki sumber informasi yang terbatas. Remaja
yang memiliki pengetahuan dan sikap yang baik akan melakukan aktivitas yang
positif, sehingga dapat terhindar dari perilaku berisiko.

2. Faktor kedua adalah faktor yang mendorong terlaksananya suatu perilaku (faktor
enabling). Remaja yang bertempat tinggal di kota, status ekonomi rendah, dan
memiliki akses yang kurang terhadap media informasi KRR berhubungan dengan
meningkatnya perilaku berisiko.
a. Tempat Tinggal di Kota
Tempat tinggal di perkotaan meningkatkan perilaku berisiko pada remaja, terkait
dengan penggunaan narkoba, dimana remaja di kota lebih rentan untuk
menggunakan narkoba. Hal ini, disebabkan karena kemudahan mendapatkan
narkoba di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
b. Status Ekonomi Rendah
Penghasilan yang rendah sering dikaitkan dengan pendidikan yang rendah pula,
sehingga akses untuk memiliki pengetahuan tentang perilaku berisiko juga rendah.
c. Akses yang Kurang terhadap Media Informasi KRR
Pada remaja yang tinggal di perkotaan mendapatkan arus informasi mengenai
seksualitas yang lebih banyak daripada di desa. Arus informasi ini, mendorong
remaja untuk mencoba melakukan perilaku seks pranikah.

3. Faktor ketiga adalah faktor yang memperkuat suatu perilaku atau faktor reinforcing.
Faktor penguat berasal dari pihak ketiga, adalah keluarga, guru, petugas kesehatan,
atau teman. Komunikasi yang baik, hubungan yang harmonis, serta aturan yang
diterapkan oleh orang tua berkaitan dengan pengaruh positif terhadap perilaku seksual.
Sebaliknya, adanya konflik pada keluarga berhubungan dengan perilaku seks berisiko
dan rendahnya kepatuhan remaja.

a. Remaja dengan ibu yang berusia lebih dari 60 tahun


Remaja dengan ibu yang berusia lebih dari 60 tahun lebih berisiko untuk melakukan
perilaku berisiko. Hal ini kemungkinan terkait dengan semakin bertambahnya usia
ibu, semakin berkurangnya komunikasi dengan remaja dan semakin kurangnya
paparan informasi terbaru mengenai pergaulan dan masalah KRR pada remaja.
Untuk meningkatkan pengetahuan orang tua tentang pengasuhan anak yang baik
12
dan pentingnya menjaga keharmonisan di rumah, disarankan orang tua untuk
mengikuti seminar tentang mendidik anak, sehingga anak merasa nyaman, agar
dapat mengurangi perilaku berisiko pada remaja.
b. Kurangnya Informasi Mengenai Pubertas dan Seksual
Remaja sebaiknya memiliki sumber informasi mengenai pubertas dan seksual dari
ibu dan ayah selain dari berbagai sumber dan pelajaran formal di sekolah. Informasi
tersebut dapat tersampaikan ketika terdapat komunikasi antara orang tua dengan
remaja akan memberikan dampak terhadap perilaku remaja. Oleh karena itu,
diperlukan program-program edukasi mengenai kesehatan reproduksi pada remaja.
(Wahdini, M dkk, 2021)

F. PATOFISIOLOGI KELUHAN UTAMA PADA SKENARIO

Gangguan haid bisa disebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab tersering
dari gejala tidak haid yaitu kehamilan. Dalam siklus ovarium terdapat fase folikuler dan
luteal. Pada fase folikuler, awal mulanya akan terbentuk folikel folikel primer yang
mulai berkembang. Proliferasi dari sel sel granulosa pada folikel akan membentuk sel
teka, keduanya ini akan mengeluarkan estrogen akibat respon terhadap FSH. Kemudian
folikel folikel ini akan berkembang, namun hanya ada satu folikel dominan yang
berkembang pesat. Folikel dominan yang matang ini akan menonjol ke permukaan
ovarium sehingga terjadi ovulasi akibat dari lonjakan LH. Oosit yang keluar saat ovulasi
kini berkembang menjadi ovum, ovum akan ditangkap oleh fimbriae tuba falllopi, yang
kemudian ovum akan menunggu untuk di buahi oleh sel sperma dalam ampulla tuba
fallopi. (Guyton, 2012)

Folikel yang tadinya mengeluarkan oosit, akan berkembang menjadi korpus


luteum dalam ovarium. Korpus luteum ini akan menyekresi progesteron yang banyak
untuk mempersiapkan endometrium sebagai tempat implantasi dengan menyimpan
glikogen dalam jumlah besar sera merangsang pertumbuhan besar besaran pada vaskular
endometrium. Kemudian apabila sel sperma bertemu dengan ovum di tuba fallopi, maka
akan terjadi pembuahan atau fertilisasi, fertilisasi inilah yang menyebabkan korpus
luteum bertahan dan tetap mensekresikan hormon progesteron dan esterogen, untuk
menunjang bakal tempat implantasi nantinya, dengan adanya fertilisasi ini maka
endometrium sebagai tempat implantasi tetap akan diperkaya oleh vaskular dan
glikogennya, sehingga tidak terjadi peluruhan pada dinding endometrium. (Guyton,
2012)

13
G. HUBUNGAN KELUHAN UTAMA DAN KELUHAN PENYERTA PADA
SKENARIO

Setelah ovum dibuahi,terjadi pembagian dari sel ovum. Tidak lama kemudian
terbentuk biastokista yang mempunyai lumen dan dinding luar. Dinding ini terjadi atas
sel-sel ekstoderm yang kemudian menjadi trofoblast. Teori neoplasma menyatakan
bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas dan  juga fungsinya dimana  juga
fungsinya dimana terjadi reabsorbsi cairanya yang berlebihan ke dalam villi sehingga
timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian janin.
Sebagian vili berubah menjadi gelembung berisi cairan jernih,biasa tidak ada janin.
Gelembung-gelembung atau vesikel ukurannya bervariasi mulai dari yang mudah dilihat,
sampai beberapa sentimeter, bergantung dalam beberapa kelompok dari tangkai yang
tipis. Massa tersebut dapat tumbuh cukup besar sehingga memenuhi cavum uteri.
Pembesaran uterus sering tidak sesuai dan melebihi usia kehamilan. Pada mola
hidatidosa tidak jarang terjadi perdarahan pervaginam, ini juga dikarenakan proliferasi
trofoblas yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kadar Hb.

H. GAMBARAN KLINIS DARI KTD

1. Tanda pasti kehamilan


a. Gerakan janin yang dapat dilihat/diraba/dirasa, juga bagian-bagian janin.
b. Dilihat pada ultrasonografi (USG)
c. Denyut jantung janin
 Didengar dengan stetoskop monoral leannec.
 Dicatat dan didengar alat Doppler.
 Dicatat dengan feto elektrokardiogram
 Dilihat pada ultrasonografi (USG) (Kusmiyati,2008).
2. Tanda tidak pasti kehamilan
a. Amenorea
Umur kehamilan dapat dihitung dari tanggal hari pertama haid terakhir (HPHT)
dan taksiran tanggal persalinan (TTP) yang dihitung menggunakan rumus
naegeleyaitu TTP = (HPHT + 7) dan (bulan HT + 3)
b. Nausea and Vomiting
Biasanya terjadi pada bulan-bulan pertama kehamilan hingga akhir triwulan
pertama. Sering terjadi pada pagi hari, maka disebut morning sickness
c. Mengidam
14
Ibu hamil sering meminta makanan / minuman tertentu terutama pada bulan-bulan
triwulan pertama, tidak tahan suatu bau-bauan.
d. Pingsan
Bila berada pada tempat-tempat ramai yang sesak dan padat bisa pingsan.
e. Anoreksia
Hanya berlangsung pada triwulan pertama kehamilan kemudian nafsu makan
timbul kembali.
f. Fatigue
Sering terjadi pada trimester pertama, akibat dari penurunan kecepatan basal
metabolisme (basal metabolisme rate-BMR)
g. Mammae membesar
Mammae membesar, tegang dan sedikit nyeri disebabkan pengaruh estrogendan
progesteronyang merangsang duktusdan alveolipayudara. Kelenjar
montgomeryterlihat membesar.
h. Miksi
Miksi sering terjadi karena kandung kemih tertekan oleh rahim yang membesar.
Gejala ini akan hilang pada triwulan kedua kehamilan.
i. Konstipasi / obstipasi
Konstipasiterjadi karena tonus otot usus menurun oleh pengaruh hormon steroid
j. Pigmentasi kulit
Pigmentasi kulit oleh pengaruh hormon kortikosteroidplasenta, dijumpai di muka
(Chloasma gravidarum), areolapayudara, leher dan dinding perut (linea
nigra=grisea).
k. Epulis atau dapat disebut juga hipertrofidari papil gusi.
l. Pemekaran vena-vena (varises).
Terjadi pada kaki, betis dan vulva. Keadaan ini biasanya dijumpai pada triwulan
akhir (Manuaba, 2012).

I. PENEGAKAN DIAGNOSIS TERKAIT SKENARIO

1. Anamnesis
a. Identitas pasien
 Nama untuk mengetahui identitas pasien dan penanggung jawab
 Umur untuk mengetahui pasien dalam kasus amenore sudah masuk dalam
kategori umur produktif

15
 Pendidikan untuk mengetahui tingkat pendidikan formal pasien yang
berhubungan dengan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
 Pekerjaan untuk menunjukkan aktivitas pekerjaan dan keadaan ekonimi yang
mempengaruhi permasalahan keluarga. Misalnya stres dialami dalam kehidupan
sehari-hari karena pekerjaan berat atau penghasilan yang kurang
 Alamat untuk mengetahui tempat tinggal dan lingkungan sekitar tempat tinggal
pasien.
b. Keluhan utama
Keluhan yang biasa dikemukakan penderita amenore yaitu keluhan tidak datangnya
menstruasi setelah pernah mengalami menstruasi sebelumnya.
c. Riwayat menstruasi
Untuk mengetahui kapan pertama kali menstrusi untuk menegakkan diagnosa
apakah pasien termasuk dalam kriteria amenore sekunder atau primer, siklus haaid
untuk mengetahui riwayat siklus menstruasi sebelumnya dan warna darah
menstruasi, serta keluhan atau rasa sakit pada saat haid.
d. Riwayat obsetri
Untuk mengetahui pada kasus amenore dengan pasien yang sudah menikah, dapat
dilakukan pengkajian apakah pasien pernah mengalami penyulit yang mendukung
terjadinya amenore sperti perdarahan yang harus dilakukan kuretase, tindakan sectio
secaria dan miomektomi.
e. Riwayat kontrasepsi
Amenore dapat terjadi pada pemakaian kontrasepsi hormonal seperti suntik dan
implan, karena masih terdapat progesteron yang tinggi dalam serum. Kadar dalam
serum yang tinggi berasal dari lemak yang sulit direabsorbsi. Apabila persediaan
depo sudah habis seluruhnya, maka kadarnya akan hilang di serum dan siklus haid
menjadi normal kembali.
f. Riwayat kesehatan dahulu
Untuk mengetahui apakah sebelumnya pasien pernah menderita penyakit kronis
g. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga pasien ada yang pernah mempunyai
riwayat amenore.(Baziad A, 2014)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus amenore untuk mengetahui keadaan umum
dan kesadaran pasien yaitu dengan melakukan pengukuran tanda-tanda vital seperti

16
tekanan darah, suhu, nadi dan nafas serta pemeriksaan mulai dari kepala sampai
ekstremitas bawah dan berat badan (Speroff L,2013)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Kehamilan = Tes kehamilan harus dilakukan pada kasus amenore untuk
menyingkirkan diagnosa kehamilan.
b. Pemeriksaan Hormonal = Hormon-hormon yang diperiksa adalah hormon yang
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan folikel serta hormon yang
dikeluarkan oleh folikel itu sendiri seperti Hormon Prolaktin, TSH, FSH,LH
c. Ultrasonografi (USG) = Untuk mengetahui keadaan endometrium dan mendeteksi
apabila ada kelainan ginekologi yang berkaitan dengan amenore. (Speroff L,2013)

J. PENATALAKSANAAN AWAL TERKAIT SKENARIO

1. Pastikan Jalan Napas Bebas Harus diyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat.
Jangan memberikan cairan atau makanan ke dalam mulut karena pasien sewaktu-
waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru
(aspirasi).
2. Pemberian Oksigen Oksigen diberikan dalam kecepatan 6 - 8 liter/menit. Intubasi
ataupun ventilasi tekanan positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.
3. Pemberian Cairan Intravena Cairan intravena diberikan pada tahap awal untuk
persiapan mengantisipasi kalau kemudian penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian
cairan infus intravena selanjutnya baik jenis cairan, banyaknya cairan yang diberikan,
dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis kasus.
4. Pemberian Transfusi Darah Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila
disertai syok, transfusi darah sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa penderita.
Walaupun demikian, transfusi darah bukan tanpa risiko dan bahkan dapat berakibat
komplikasi yang berbahaya dan fatal.
5. Pasang Kateter Kandung Kemih Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur
banyaknya urin yang keluar guna menilai fungsi ginjal dan keseimbangan pemasukan
dan pengeluaran cairan tubuh.
6. Pemberian Antibiotika Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya
pada kasus sepsis, syok septik, cedera intraabdominal, dan perforasi uterus. Apabila
tidak terdapat tanda-tanda infeksi, misalnya pada syok perdarahan, antibiotika tidak
perlu diberikan.
7. Obat Pengurang Rasa Nyeri Pada beberapa kasus gawatdarurat obstetri, penderita
dapat mengalami rasa nyeri yang membutuhkan pengobatan segera. Pemberian obat
17
pengurang rasa nyeri jangan sampai menyembunyikan gejala yang sangat penting
untuk menentukan diagnosis. Hindarilah sedasi berlebihan.
8. Penanganan Masalah Utama Penyebab utama kegawatdaruratan kasus harus
ditentukan diagnosisnya dan ditangani sampai runtas secepatnya setelah kondisi
pasien memungkinkan untuk segera ditindak. Kalau tidak, kondisi gawatdarurat dapat
timbul lagi dan bahkan mungkin dalam kondisi yang lebih buruk (Prawirohardjo,
2020)

K. PENYAKIT ATAU KOMPLIKASI YANG DAPAT TIMBUL AKIBAT KTD

Beberapa alasan mengapa kehamilan remaja dapat menimbulkan risiko antara lain
rahim remaja belum siap untuk mendukung kehamilan. Rahim (uterus) baru siap
melakukan fungsinya setelah umur 20 tahun, karena pada usia ini fungsi hormonal
melewati masa kerjanya yang maksimal. Rahim pada seorang wanita mulai mengalami
kematangan sejak umur 14 tahun yang ditandai dengan dimulainya menstruasi. Selain itu
sistem hormonal remajabelum terkoordinasi dengan lancar dapat dilihat dari siklus
menstruasi yang belum teratur serta kematangan psikologis remaja untuk menghadapi
proses persalinan yang traumatik dan untuk mengasuh anak/memelihara belum cukup.
(Kusmiran, 2014)

Selain itu, pada saat usia muda, sel-sel rahim masih belum matang. Sel-sel
tersebut tidak rentan terhadap zat-zat kimia yang dibawa oleh sperma dan segala macam
perubahannya. Jika belum matang, bisa saja ketika ada rangsangan sel yang tumbuh
tidak seimbang dengan sel yang mati, dengan begitu maka kelebihan sel ini bisa berubah
sifat menjadi sel kanker.Selain itu informan menuturkan bahwa ketika melakukan
hubungan seksual informan tidak konsisten dalam menggunakan kondom bahkan tidak
menggunakan alat kontrasepsi tersebut. (Ridyaningsih, 2011)

Komplikasi yang mungkin terjadi pada kesehatan ibu diantaranya anemia, pre
eklamsi,hipertensi, dan diabetes pada kehamilan. Sedangkan komplikasi yang sering
terjadi kepada janin adalah Intrauterine Growth Restriction (IUGR), Berat Bayi Lahir
Rendah (BBLR), dan bayi lahir kurang bulan.

Dampak kehamilan tidak diinginkan pada remaja tidak hanya pada kondisi fisik
dan psikisnya saja, namun status sosial ekonomi remaja tersebut juga belum siap dalam
menjalani peran barunya. Remaja perempuan akan berhenti pendidikan formal selama
masa kehamilan, sedangkan remaja laki-laki belum memiliki pekerjaan yang layak untuk

18
menghidupi keluarganya. Kurangnya kemampuan sosial ekonomi ini akan berdampak
pada kesejahteraan keluarga remaja tersebut (Nur Fitri, 2020).

L. DIAGNOSIS BANDING DARI SKENARIO

1. MOLA HIDATIDOSA

Definisi
Mola hidatidosa adalah bentuk-bentuk dari Gestational Trophoblastic
Disease(GTD) yang melibatkan pembentukan vili. Penyakit trofoblastik gestasional
(GTD) adalah sekelompok tumor yang muncul dari jaringan plasenta dan
mensekreksikan β-hCGdalam jumlah yang lebih besar dari pada kehamilan biasa.
Penyakit trofoblastik gestasional mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menjadi ganas dan menyebabkan berbagai bentuk metastase keganasan dengan
berbagai variasi. Mola hidatidosa juga merupakan kondisi tidak ditemukannya
adanya pertumbuhan janin, dimana hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidrofobik sehingga terlihat seperti sekumpulan buah anggur
(Zulhij dkk, 2020).

Epidemiologi
Mola hidatidosa merupakan bentuk penyakit trofoblas yang paling banyak
dijumpai dan bersifat jinak. Meskipun demikian, sekitar 20% Mola hidatidosa dapat
berkembang menjadi tumor tofoblas yang bersifat ganas, dan 86% dari penderita
mempunyai riwayat kehamilan mola. Kejadian mola hidatidosa dan tumor trofoblas
cukup bervariasi diantero dunia paling tinggi di Asia, Afrika Afrika dan Amerika
Latin, dan sangat rendah di Amerika utara Eropa dan Australia (Muzayyanah, 2002)

Di Indonesia, kejadian Mola Hidatidosa adalah 1:77 kehamilan, atau 1:37


persalinan, sedangkan kejadian tumor tropoblas adalah !: 185 kehamilan, atau 1:37
persalinan. Faktor etnik dan status ekonomi ( definisi protein dan karotin) agaknya
turut mempengaruhi kejadian penyakit trofoblas (Muzayyanah, 2002)

Etiologi

Penyebab terjadinya mola hidatidosa sampai saat ini belum diketahui


secara pasti.(7)Namun faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keadaan
ini adalah: 1) Faktor Ovum, yang memang sudah patologik sehingga mati, tetapi
terlambat dikeluarkan, 2) Imunoselektif dari trofoblas, 3) Kehamilan usia
19
lanjut (>35 tahun) atau terlalu muda (<20 tahun), 4) Paritas tinggi, 5) Jarak
kehamilan yang terlalu dekat, 6) Faktor infeksi, 7) Sosial ekonomi rendah yang
mempengaruhi hygiene, nutrisi dan pendidikan, dan 8) Malnutrisi terutama
apabila kekurangan protein (Zulhij dkk, 2020).
Tanda dan Gejala
1. Tanda dan Gejala yang biasanya timbul pada klien dengan ”mola hidatidosa” adalah
sebagai berikut :
a. Amenore dan tanda-tanda kehamilan
b. Perdarahan pervaginam berulang. Darah cenderung berwarna coklat. Pada
keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.
c. Pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.
d. Tidak terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak terdengarnya DJJ
sekalipun uterus sudah membesar setinggi pusat atau lebih.
e. Preeklampsia atau eklampsia yang terjadi sebelum kehamilan 24 minggu.
f. Hiperemesis lebih sering terjadi, lebih keras dan lebih lama.
g. Mungkin timbul preeklampsia dan eklampsia. Terjadinya preeclampsia dan
Eklampsia sebelum minggu kedau empat menuju kearah mola hidatidosa.
h. Kadar gonadotropin tinggi dalam darah serum pada hari ke 100 atau lebih
sesudah periode menstruasi terakhir.
2. Gejala Klinik
a. Perdarahan vaginal
Perdarahan vaginal merupakan gejala yang mencolok dan dapat bervariasi
mulai spotting sampai perdarahan yang banyak. Biasanya terjadi pada
trisemester pertama dan merupakan gejala yang paling banyak muncul pada
lebih dari 90% pasien mola. Tiga perempat pasien mengalami gejala ini
sebelum usia kehamilan 3 bulan. Hanya sepertiga pasien yang mengalami
perdarahan hebat. Sebagai akibat dari perdarahan tersebut, gejala anemia agak
sering dijumpai lebih jauh. Kadang-kadang terdapat perdarahan tersembunyi
yang cukup banyak di dalam uterus. Pembesaran uterus yang tumbuh sering
lebih besar dan lebih cepat daripada kehamilan normal, hal ini ditemukan pada
setengah kasus pasien mola. Adapula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil
atau sama dengan besarnya kehamilan normal walaupun jaringan belum
dikeluarkan.
c. Hiperemesis gravidarum

20
Pasien biasanya mengeluh mual muntah hebat. Hal ini akibat dari proliferasi
trofoblas yang berlebihan dan akibatnya memproduksi terus menerus B HCG
yang menyebabkan peningkatan B HCG hiperemesis gravidarum tampak pada
15 -25 % pasien mola hidatidosa. Walaupun hal ini sulit untuk dibedakan
dengan kehamilan biasa. 10% pasien mola dengan mual dan muntah cukup
berat sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit.
d. Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tropoblastik yang berlebihan, volume
vesikuler vilii yang besar rasa tidak enak pada uterus akibat regangan
miometrium yang berlebihan. Pada sebagian besar pasien ditemukan tanda ini
tetapi pada sepertiga pasien uterus ditemukan lebih kecil dari yang diharapkan.
e. Aktifitas janin
Meskipun uterus cukup besara untuk mencapai simfisis secara khas tidak
ditemukan aktifitas janin sekalipun dideteksi dengan instrumen yang paling
sensitif tidak teraba bagian janin dan tidak teraba gerakan janin.
f. Pre-eklamsia
Tanda tanda pre-eklamsia selama trisemester pertama atau awal trisemester
kedua muncul pada 10-12%. Pada trisemester kedua sekitar 27 % pasien mola
hidatidosa komplit berlanjut dengan toksemia yang dicirikan oleh tekanan
darah > 140 /90 proteinuria > 300 mg/dl dan edema generalisata dengan
hiperrefleksi. Pasien dengan konvulsi jarang.
g. Hipertiroid
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat
(10%), namun gejala hipertiroid jarang muncul. Terjadinya tirotoksikosis pada
mola hidatidosa berhubungan erat dengan besarnya uterus. Makin besar uterus
makin besar kemungkinan terjadi tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola
dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka dianjurkan agar pada
setiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif dan
memerlukan evakuasi segera karena gejala-gejala ini akan menghilang dengan
menghilangnya mola.
h. Kista teka lutein
Diameter kista ovarium lebih dari 6 cm dan menyertai pembesaran ovarium.
Kista ini biasanya tidak dapat dipalpasi dengan manual tetapi diidentifikasi
dengan USG pasien dapat memberikan tekanan dan nyeri pada pelvik karena
peningkatan ukuran ovarium dapat menyebabkan torsi ovarium. Kista ini
21
terjadi akibat respon BHCG yang sangat meningkat dan secara spontan
mengalami penurunan (regresi) setelah mola dievakuasi, rangsangan elemen
lutein yang berlebih oleh hormon korionik gonadotropin dalam jumlah besar
yang disekresi oleh trofoblas yang berproliferasi.
Kista teka lutein multipel yang menyebabkan pembesaran satu atau kedua
ovarium terjadi pada 15-30% penderita mola. Umumnya kista ini menghilang
setelah jaringan mola dikeluarkan tetapi ada juga kasus dimana kista lutein baru
ditemukan pada saat follow up. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai
resiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan degenerasi keganasan di kemudian
hari. Pada setengah jumlah kasus, kedua ovarium membesar dan involusi dari
kista terjadi setelah beberapa minggu, biasanya seiring dengan penurunan kadar
βHCG.
i. Embolisasi
Sejumlah trofoblas dengan atau tanpa stroma vili keluar dari uterus ke vena
pada saat evakuasi. Sebetulnya pada setiap kehamilan selalu ada migrasi sel
trofoblas ke peredaran darah kemudian ke paru tanpa memberi gejala apapun.
Tetapi pada kasus mola kadang-kadang sel trofoblas ini sedemikian banyak
sehingga dapat menimbulkan emboli paru akut yang dapat menyebabkan
kematian. Jumlah dan volume akan menentukan gejala dan tanda dari emboli
paru akut bahkan akibat yang fatal, walaupun kefatalan jarang terjadi (Zulhij,
2020).
Patofisiologi

Setelah ovum dibuahi,terjadi pembagian dari sel tersebut.Tidak lama kemudian


terbentuk biastokista yang mempunyai lumen dan dinding luar.Dinding ini terjadi atas
sel-sel ekstoderm yang kemudian menjadi tropoblash. Sebagian vili berubah menjadi
gelembung berisi cairan jernih,biasa tidak ada janin.Gelembung-gelambung atau
tesikel ukurannya bervariasi mulai dari yang mudah dilihat,sampai beberapa
sentimeter,bergantung dalam beberapa kelompok dari tangkai yang tipis.Masa tersebut
dapat tumbuh cukup besar sehingga memenuhi cavum uteri.Pembesaran uterus sering
tidak sesuai dan melebihi usia kehamilan.

Pada beberapa khusus, sebagian pertumbuhan dan perkembangan villi korealis


berjalan normal sehingga janin dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai
aterm.Keadaan ini disebut mola parsial. Ada beberapa kasus pertumbuhan dan

22
perkembangan villi korealis berjalan normal sehingga janin dapat tumbuh dan
berkembang

Mola hidatidosa dapat terbagi menjadi :

a. Mola hidatidosa komplet (klasik), jika tidak ditemukan janin.

Villi korion berubah menjadi massa vesikel dengan ukuran bervariasi dari sulit
terlihat sehingga diameter beberapa centimeter. Histologinya memiliki karakteristik
yaitu :

1) Tidak ada pembuluh pada vili yang membengkak


2) Prolifersi dari epitel trofoblas dengan bermacam-macam ukuran
3) Tidak adanya janin atau amnion

Secara kasat mata jaringan mola hidatidosa komplit tampak seperti seonggok
buah anggur. Mola hidatidosa merupakan hasil pembuahan dari sel telur ( Ovum )
yang kehilangan intinya atau intinya tidak aktif. Fertilisasi terjadi oleh satu sperma
yang mempunyai kromosom 23 X,yang kemudian setelah masing masing
kromosom membelah terbentuklah sel dengan kromosom 46 XX,dengan demikian
sebagian besar mola komplit sifatnya androgenik , homozigot dan berjenis kelamin
wanita.

Walaupun lebih jarang dapat pula fertilisasi terjadi oleh 2 sperma, yang
menghasilkan sel anak 46 XX atau 46 XY. Pada kedua kejadian di atas konseptus
adalah keturunan pathenogenome paternal yang seluruhnya meru-pakan allograft.
Jaringan mola komplita secara histologis tidak menampakkan pertumbuhan villi dan
pembuluh pembuluh darah; bahkan terjadi pembentukan cisterna villosa, disertai
hiperplasia baik dari sel sel sinsisiotrofoblas maupun dari sel sel sitotrofoblas.
Tidak tampak embryo karena sudah mengalami kematian pada masa dini akibat
tidak terbentuknya sirkulasi plasenta.

Percobaan pada tikus yang secara immunologis defisien menunjukkan


bahwa berbeda dengan korio-karsinoma; mola hidatidosa komplit dan mola invasiv
sifatnya tidak ganas.Namun molahidatidosa komplit mempunyai potensi yang lebih
besar untuk berkembang menjadi koriokarsinoma dibandingkan dengan kehamilan
normal. Pernah dilaporkan pula adanya kehamilan kembar yang salah satunya mola
komplit (46 XX) dan yang lain berupa janin yang normal (46 XY) . Janin dapat

23
mengalami abortus namun kadang kadang berkembang sampai aterm.Bila ada
kehamilan kembar yang salah satunya adalah mola penting sekali untuk
membedakannya apakah itu suatu mola komplit atau mola parsial ; karena prognosis
kearah terjadinya keganasan lebih kecil pada mola parsial.

b. Mola hidatidosa inkomplet (parsial), jika disertai janin atau bagian janin.

Masih tampak gelembung yang disertai janin atau bagian dari janin.
Umumnya janin masih hidup dalam bulan pertama. Tetapi ada juga yang hidup
sampai aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa tempat villi
yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, sedangkan tempat
lain masih banyak yang normal.

Pada suatu penelitian ditemukan bahwa gambaran karyotipi dari mola


parsialis bisa normal ,triploidi atau trisomi seringkali 69 ,XXX atau 69 XXY.
Ditemukan juga adanya fetus dan pembengkakan pada villi yang sifatnya tidak
menyeluruh. Penelitian berikutnya secara sitogenetik menunjukkan bahwa
hiperplasia trofoblas`dan pembentukan sisterna pada mola parsialis hanya
ditemukan pada konseptus yang triploid.Secara biokimiawi dan sitogenetik
ditemukan adanya gen maternal pada mola parsialis sehingga terjadinya adalah
diandri (terdiri atas satu set kromosom maternal dan dua set kromosom paternal).
Gambaran histologisd yang khas pada mola parsialis adalah adanya crinkling atau
scalloping dan ditemukannya stromal trophoblastic inclusion Hiperplasia trofoblas
umumnya terjadi pada sinsisiotrofoblas dan jarang terjadi pada sitotrofo-
blas.Walaupun ada janin , umumnya mengalami kematian pada trimester pertama.
Koriokarsinoma lebih jarang terjadi pasca mola parsialis dibandingkan dengan
pasca mola komplit (Zulhij, 2020).

Penegakan Diagnosis

Secara garis besar penegakkan diagnosis dari kasus mola hidatidosa


dapat ditegakkan hanya dengan berlandaskan anamnesis dan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Adapun beberapa tanda dan gejala yang dapat
ditemukan pada kasus-kasus mola hidatidosa antara lain: terdapat gejala-gejala
hamil muda yang kadang-kadang lebih nyata dari kehamilan biasa, mual,
muntah, pusing, terdapat tanda toksemia gravidarum, adanya perdarahan dalam
24
jumlah sedikit-banyak pada trimester I atau awal trimester II dengan tanda
khas berwarna kecoklatan, keluar jaringan mola seperti buah anggut atau mata
ikan. Pada pemeriksaan fisik secara umum dibagi dengan inspeksi, palpasi dan
auskultasi. Pada inspeksi, terkadang wajah dan badan terlihat pucat kekuning-
kuningan yang bisa disebut dengan muka mola (mola face) dan gelembung
mola dapat dilihat jelas saat keluar. Selanjutnya, pada palpasi biasanya uterus
teraba lebih besar dibandingkan dengan usia kehamilan, tidak teraba
bagian-bagian janin dan balotement, maupun gerakan janin. Kemudian, pada
auskultasi tidak terdengar adanya bunyi denyut jantung janin.

Pada pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan USG,


dimana akan terlihat gambaran yang khas berupa badai salju (snow storm
pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb). Selain USG, bisa
juga dilakukan pemeriksaan β-hCGuntuk diagnosis maupun untuk
pemantauan pada penderita penyakit trofoblas. β-hCG(Human Chorionic
Gonadotropin) adalah hormone glikoprotein yang dihasilkan oleh plasenta yang
memiliki aktivitas biologis mirip LH. Pada kasus mola hidatidosa biasanya
didapatkan β-hCG jauh lebih tinggi dari pada kehamilan biasa. Sedangkan pada
pemeriksaan histologis akan tampak adanya beberapa villi yang edema dengan sel
trofoblas yang tidak begitu berproliferasi, dan ditempat lain masih tampak villi yang
normal (Zulhij, 2020).

Penatalaksanaan

Karena molahidatidosa adalah suatu kehamilan patologi dan tidak jarang


disertai penyulit yang membahayakan jiwa, pada prinsipnya harus segera
dikeluarkan .Terapi molahidatidosa terdiri dari tiga tahap, yaitu :

a. Perbaikan Keadaan Umum

Perbaikan keadaan umum pada pasien molahidatidosa, yaitu :

1) Koreksi dehidrasi.

2) Transfusi darah bila ada anemia (Hb 8 gr% atau kurang), juga untuk
memperbaiki syok.

3) Bila ada gejala preeklamsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai


protocol penanganannya.
25
4) Bila ada gejala-gejala tirotoksikosis dikonsul ke bagian penyakit dalam.

5) Pengeluaran jaringan mala dengan cara kuretase dan histerektomi

b. Kuretase (suction curetase)

c. Histerektomi

1) Syarat melakukan histerektomi adalah:

2) Pertimbangan usia yang sudah lanjut, diatas usia 40 tahun dan usia anak
cukup.
3) Terjadi perdarahan banyak setelah kuretase untuk menyelamatkan jiwa
penderita
4) Resisten teerhadap obat kemoterapi.
5) Dugaan perforasi pada mola destruen
6) Sejak semula sudah tergolong penyakit trofoblas resiko tinggi
7) Dugaan sulitnya melakukan pengawasan ikutan

Kami anjurkan agar saat melakukan operasi diberikan profilaksis kemoterapi


sehingga dapat memperkecil aktivitas sel-sel trofoblas ganas yang kebetulan dapat
masuk kepembuluh darah atau tercecer pada vagina, untuk tumbuh dan
berkembang.

d. Pemeriksaan tindak lanjut:

Tujuan utama tindakan lanjut adalah deteksi dini setiap perubahan yang
mengisyaratkan keganasan. Pemeriksaan tindak lanjut pada pasien molahidatidosa
meliputi:

1) Cegah kehamilan selama masa tindak lanjut, sekurang-kurangnya satu tahun.


2) Ukur kadar β hCG setiap 2 minggu, walaupun sebagian menganjurkan
pemeriksaan setiap minggu, belum terbukti adanya manfaat yang nyata.
3) Tunda terapi selama kadar serum tersebut terus berkurang. Kadar yang
meningkat atau mendatar mengisyaratkan perlunya evaluasi dan biasanya
terapi.
4) Setelah kadar normal yaitu setelah mencapai batas bawah pengukuran
pemeriksaan dilakukan setiap 6 bulan, lalu setiap 2 bulan untuk total 1 tahun.
5) Tindak lanjut dapat dihentikan dan kehamilan diijinkan setelah 1 tahun.

26
6) Karena itu, tindak lanjut serta penatalaksanaan saat ini berpusat pada
pengukuran serial kadar β hCG serum untuk mendeteksi tumor trofoblas
persisten. (Prawirohadjo, 1999).

Komplikasi

a. Komplikasi non maligna

1) Perforasi uterus

Selama kehamilan kadang-kadang terjadi dan jika terjadi perforasi uterus , kuretase
harus dihentikan. Laparoskopi atau laparotomi harus dilakukan untuk mengetahui
tempat terjadinya perforasi.

2) Perdarahan

Merupakan komplikasi yang terjadi sebelum selama dan bahkan setelah tindakan
kuretase. Oleh karena itu oksitosin intravena dilakukan sebelum memulai tindakan
kuretase sehingga mengurangi kejadian perdarahan ini.

3) DIC

Faktor yang dilepaskan jaringan mola mempunyai aktivitas fibinolitik. Semua


pasien di-skreening untuk melihat adanya koagulopati.

4) Embolisme tropoblastik

Dapat menyebabkan insufisiensi pernapasan akut. Faktor resiko terbesar terjadi


pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia gestasi 16 minggu.
Keadaan ini bisa fatal.

5) Infeksi pada sevikal atau vaginal.

Perforasi pada dinding uterus yang tipis selama evakuasi mola dapat menyebabkan
penyebaran infeksi. Ruptur uteri spontan bisa terjadi pada mola benigna dan mola
maligna.

b. Komplikasi maligna

Mola invasif atau koriokarsinoma berkembang pada 20 % kasus mola dan


identifikasi pasien penting untuk tindakan selanjutnya setelah mola komplit invasi
uteri terjadi pada 15 % pasien dan metastase 4 pasien. Tidak terdapat kasus
27
koriokarsinoma yang dilaporkan selah terjadi mola incomplete meskipun ada juga
yang menjadi penyakit tropoblastik non metastase yang menetap yang membuthkan
kemoterapi (Zulhij, 2020).

2. ABORTUS

Definisi

Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia


luar, tanpa mempersoalkan sebabnya. Menurut WHO, aborsi berarti keluarnya
janin dengan berat badan janin <500 gram atau usia kehamilan <22 minggu.
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan <20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram (Prawiroharjo S, 2008).

Epidemiologi

Setengah dari abortus tidak aman dunia terjadi di Asia, sepertiganya terjadi
di Asia Tengah Selatan yang juga mempunyai angka kematian ibu terkait abortus
yang besar, sekitar 29.000 kematian per tahun. Angka abortus tidak aman di Asia
Tengah Selatan dan Asia Tenggara hampir sama besar sekitar 20 per 1000 wanita
usia reproduktif. WHO memperkirakan di Indonesia terdapat sebesar 126 kematian
ibu setiap 100.000 kelahiran hidup dengan jumlah total kematian ibu sebesar 6400
pada tahun 2015. Angka ini sudah terjadi penurunan dari angka kematian ibu
menurut SKDI 2012 yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup (Prawiroharjo
S, 2008).

Etiologi

Faktor janin
a. Kelainan Telur telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, kelainan
kromosom (monosomi,trisomi atau poliploidi), merupakan sekitar 50%
penyebab abortus
b. Trauma Embrio pasca sampling vili korionik, amniosentesis.
c. Kelainan pembentukan plasenta Hipoplasia Trofoblast
Faktor Maternal
a. Infeksi berisiko pada janin yang sedang berkembang, terutama pada akhir
trimester pertama atau awal trimester kedua. Penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan abortus :
28
1)Virus rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks, varicella zoster, campak,
hepatitis, polio, ensefalomielitis.
2)Bakteri Salmonella Typhi
3)Parasit Toxoplasma Gondii, plasmodium.
b. Penyakit Vaskular Hipertensi, penyakit jantung
c. Kelainan endokrin produksi progesteron tidak mencukupi, disfungsi tiroid
dan defisiensi insulin
d. Imunologi ketidakcocokan sistem HLA, SLE
e. Trauma jarang terjadi, trauma akibat pembedahan
f. Kelainan uterus hipoplasia uterus, mioma, serviks
inkompeten
Faktor Eksternal
a. Radiasi dosis 1-10 Rad dapat merusak janin berusia 9 minggu; dosis lebih
tinggi dapat menyebabkan keguguran
b. Obat-obatan antagonis asam folat, antikoaguln dll
c. Zat Kimiawi lain arsen, benzena dll (Lumbanraja,2017).

Patofisiologi

Umumnya abortus spontan terjadi segera setelah kematian janin, diikuti oleh
perdarahan ke dalam desi dua basalis. Selanjutnya terjadi perubahan nektrotik di
daerah implantasi, infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan berakhir dengan
perdarahan pervaginam. Pelepasan hasil konsepsi, baik seluruhnya maupun
sebagian, diinterpretasi sebagai benda asing dalam rongga rahim, sehingga uterus
mulai berkontraksi untuk mendorong bendy asing keluar rongga (ekspulsi). Perlu
ditekankan bahwa pada abortus spontan, kematian embrio biasanya terjadi paling
lama 2 minggu sebelum perdarahan, sehingga pengobatan untuk mempertahankan
janin tidak layak dilakukan jika perdarahan sudah sedernikian banyak karena
abortus tidak akan dapat dihindari. Sebelum minggu ke-10, seluruh basi konsepsi
biasanya dapat keluar dengan lengkap karena viii korialis belum menanamkan diri
dengan erat ke dalam desidua. Pada kehamilan 10-12 minggu, korion tumbuh cepat
dan hubungan antara vili korialis dengan desidua makin erat, sehingga abortus
yang mulai di saat ini sering menyisakan korion (plasenta) (Lumbanraja,2017).

29
Gejala Klinis
a. Diagnosis

Anamnesis

Gejala utama (postabortion triad) pada abortus adalah nyeri di perut


bagian bawah terutamanya di bagian suprapubik yang bisa menjalar ke
punggung,bokong dan perineum, perdarahan pervaginam dan demam yang tidak
tinggi.Gejala ini terutamanya khas pada abortus dengan hasil konsepsi yang
masih tertingal di dalam rahim.Selain itu, ditanyakan adanya amenore pada masa
reproduksi kurang 20 minggu dari HPHT. Perdarahan pervaginam dapat tanpa
atau disertai jaringan hasil konsepsi. Bentuk jaringan yang keluar juga ditanya
apakah berupa jaringan yang lengkap seperti janin atau tidak atau seperti anggur.
Rasa sakit atau keram bawah perut biasanya di daerah atas symphisis. Riwayat
penyakit sekarang seperti IDDM yang tidak terkontrol, tekanan darah tinggi yang
tidak terkontrol, trauma, merokok, mengambil alkohol dan riwayat infeksi
traktus genitalis harus diperhatikan. Riwayat kepergian ke tempat endemik
malaria dan pengambilan narkoba malalui jarum suntik dan seks bebas dapat
menambah curiga abortus akibat infeksi (Lumbanraja,2017).

Pemeriksaan Fisis
Bercak darah diperhatikan banyak, sedang atau sedikit. Palpasi abdomen
dapat memberikan idea keberadaan hasil konsepsi dalam abdomen dengan
pemeriksaan bimanual. Yang dinilai adalah uterus membesar sesuai usia gestasi, dan
konsistensinya. Pada pemeriksaan pelvis, dengan menggunakan spekulum keadaan
serviks dapat dinilai samaada terbuka atau tertutup , ditemukan atau tidak sisa hasil
konsepsi di dalam uterus yang dapat menonjol keluar, atau didapatkan di liang
vagina (Lumbanraja,2017).
Pemeriksaan fisik pada kehamilan muda dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Perdarahan Serviks Uterus Tanda dan Gejala Diagnosis

Bercak sedikit Tertutup Sesuai dengan Kram perut bawah, Abortus


hingga sedang usia gestasi uterus lunak Immines

Tertutup Lebih kecil Sedikit / tanpa nyeri Abortus


dari usia perut bawah, riwayat Komplit
/ terbuka gestasi ekspulsi hasil konsepsi

Sedang hingga Terbuka Sesuai dengan Kram atau nyeri perut Abortus
masif usai bawah, belum terjadi Insipien
kehamilan ekspulsi hasil konsepsi

Kram atau nyeri perut Abortus


bawah, ekspulsi Inkomplit
sebagian hasil konsepsi

Lunak dan Mual / muntah, kram Abortus


lebih besar perut bawah, sindroma Mola
dari usia mirip PEB, tidak ada
gestasi janin, keluar jaringan
seperti anggur

Pemeriksaan Penunjang
1) Abortus Immines
- Pemeriksaan hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin
kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10.
Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka prognosisnya adalah baik,
bila pengenceran 1/10 hasilnya negative maka prognosisnya dubia ad
malam.
- USG : untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui
keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan
juga ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur
kehamilan berdasarkan HPHT, Denyut jantung janin dan gerakan janin
diperhatikan disamping ada atau tidaknya pembukaan kanalis servikalis.
2) Abortus Insipien
- Tes urin kehamilan masih positif
- USG : pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak
janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak
normal. Biasanya terlihat penipisan serviks uteri atau pembukaannya.
Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dining uterus.
3) Abortus Komplit
- Tes urin kehamilan masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus
- USG : biasanya tidak diperlukan bila pemeriksaan klinis sudah memadai.
4) Abortus Inkomplit
- USG : Hanya dilakukan bila ragu dengan diagnosis secara klinis. Yang
didapatkan dalam USG adalah besar uterus sudah lebih kecil dari umur
kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak
massa hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan (Lumbanraja,2017).
Tatalaksana

a. Abortus Imminens.

Pada abortus imminens, tidak perlu pengobatan khusus atau tirah baring total dan
pasien dilarang dari melakukan aktivitas fisik berlebihan ataupun hubungan
seksual. Jika terjadi perdarahan berhenti, asuhan antenatal diteruskan seperti
biasa dan penilaian lanjutan dilakukan jika perdarahan terjadi lagi. Pada kasus
yang perdarahan terus berlansung, kondisi janin dinilai dan konfirmasi
kemungkinan adanya penyebab lain dilakukan dengan segera. Pada perdarahan
berlanjut khususnya pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan, harus
dicurigai kehamilan ganda atau mola.

b. Abortus insipiens.

Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi uterus dilakukan dengan
aspirasi vakum manual. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan maka,
Ergometrin 0,2 mg IM atau Misopristol 400mcg per oral dapat diberikan.
Kemudian persediaan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus dilakukan
dengan segera. Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, ekpulsi spontan hasil
konsepsi ditunggu, kemudian sisa-sisa hasil konsepsi dievakuasi. Jika perlu,
infus 20 unit oxytoxin dalam 500cc cairan IV (garam fisiologik atau larutan
Ringer Laktat) dengan kecepatan 40 tetes per menit diberikan untuk membantu
ekspulsi hasil konsepsi. Setelah penanganan, kondisi ibu tetap dipantau.

c. Abortus inkomplit.

Jika perdarahan tidak beberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16 minggu,
evakuasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan
berhenti, Ergometrin 0,2 mg IV atau misoprostol 400mcg per oral diberikan. Jika
perdarahan banyak atau terus berlangsung, dan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, hasil konsepsi dievakuasi dengan aspirasi vakum manual. Evakuasi
vakum tajam hanya digunakan jika tidak tersedia aspirasi vakum manual (AVM).
Jika evakuasi belum dapat dilakukan dengan segera, Ergometrin 0,2mg IM atau
Misoprostol 400mcg per oral dapat diberikan. Jika kehamilan lebih dari 16
minggu, infus oksitosin 20 unit diberikan dalam 500ml cairan IV (garam
fisiologik atau RL) dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai terjadi ekspulsi
hasil konsepsi. Jika perlu Misoprostol 200mcg pervaginam diberikan setiap 4
jam sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi. Hasil konsepsi yang tertinggal dalam
uterus segera dievakuasi.

d. Abortus komplit.

Pada kasus ini, evakuasi tidak perlu dilakukan lagi. Observasi untuk melihat
adanya perdarahan yang banyak perlu diteruskan dan kondisi ibu setelah
penanganan tetap dibuat. Apabila terdapat anemia sedang, tablet sulfas ferrosus
600mg/hari selama 2 minggu diberikan, jika anemia berat diberikan transfusi
darah. Seterusnya lanjutkan dengan konseling asuhan pascakeguguran dan
pemantauan lanjut jika perlu.

e. Abortus septik/infeksius.

Pengelolaan pasien pada abortus septik harus mempertimbangkan keseimbangan


cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang mencukupi sesuai dengan
hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan flour yang
keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan Penisillin 4x 1juta unit
atau ampicillin 4x 1gram ditambah gentamisin 2x80mg dan metronidazol
2x1gram. Selanjutnya, antibiotik dilanjutkan dengan hasil kultur.1 Tindakan
kuretase dilaksanakan bila tubuh dalam keadaan membaik minimal 6 jam setelah
antibiotika adekuat telah diberikan. Pada saat tindakan, uterus harus dilindungi
dengan uterotonik untuk mengelakkan komplikasi. Antibiotik harus dilanjutkan
sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari pemberian tidak
memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai dah kuat.
Apabila ditakutkan terjadi tetanus, injeksi ATS harus diberikan dan irigasi
kanalis vagina/uterus dibuat dengan larutan peroksida H2O2. Histerektomi harus
dibuat secepatnya jika indikasi.

f. Pemantauan pascaabortus.

Sebelum ibu diperbolehkan pulang, diberitahu bahwa abortus spontan hal yang
biasa terjadi dan terjadi pada paling sedikit 15% dari seluruh kehamilan yang
diketahui secara klinis. Kemungkinan keberhasilan untuk kehamilan berikutnya
adalah cerah kecuali jika terdapat sepsis atau adanya penyebab abortus yang
dapat mempunyai efek samping pada kehamilan berikut. Semua pasien abortus
disuntik vaksin serap tetanus 0,5 cc IM. Umumnya setelah tindakan kuretase
pasien abortus dapat segera pulang ke rumah. Kecuali bila ada komplikasi seperti
perdarahan banyak yang menyebabkan anemia berat atau infeksi.

Pasien dianjurkan istirahat selama 1 sampai 2 hari. Pasien dianjurkan kembali ke


dokter bila pasien mengalami kram demam yang memburuk atau nyeri setelah
perdarahan baru yang ringan atau gejala yang lebih berat.13 Tujuan perawatan
untuk mengatasi anemia dan infeksi. Sebelum dilakukan kuretase keluarga
terdekat pasien menandatangani surat persetujuan tindakan (Kemenkes, 2013).

Komplikasi

a. Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi
dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat
terjadi apabila pertolongan tidak diberikan. Perdarahan yang berlebihan sewaktu
atau sesudah abortus bisa disebabkan oleh atoni uterus, laserasi cervikal,
perforasi uterus, kehamilan serviks, dan juga koagulopati.
b. Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Terjadi robekan pada rahim, misalnya abortus provokatus
kriminalis. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi,
laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada
uterus dan apakah ada perlukan alat-alat lain. Pasien biasanya datang dengan
syok hemoragik.
c. Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena
infeksi berat. Vasovagal syncope yang diakibatkan stimulasi canalis sevikalis
sewaktu dilatasi juga boleh terjadi namum pasien sembuh dengan segera.
d. Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang
merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci,
streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T.
paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina
ada lactobacili,streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli,
Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur. Umumnya pada abortus
infeksiosa, infeksi terbatas padsa desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri
tinggi dan infeksi menyebar ke perimetrium, tuba, parametrium, dan peritonium.
e. Organisme-organisme yang paling sering bertanggung jawab terhadap infeksi
paska abortus adalah E.coli, Streptococcus non hemolitikus, Streptococci
anaerob, Staphylococcus aureus, Streptococcus hemolitikus, dan Clostridium
perfringens. Bakteri lain yang kadang dijumpai adalah Neisseria gonorrhoeae,
Pneumococcus dan Clostridium tetani. Streptococcus pyogenes potensial
berbahaya oleh karena dapat membentuk gas.
f. Pada penggunaan general anestesia, komplikasi atoni uterus bisa terjadi yang
berakibatkan perdarahan. Pada kasus therapeutic abortus, paracervical blok
sering digunakan sebagai metode anestesia. Sering suntikan intravaskular yang
tidak disengaja pada paraservikal blok akan mengakibatkan komplikasi fatal
seperti konvulsi, cardiopulmonary arrest dan kematian.
g. Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC), Pasien dengan postabortus yang
berat terutamanya setelah midtrimester perlu curiga DIC. Insidens adalah lebih dari
200 kasus per 100,000 aborsi. (Kemenkes, 2013).

Prognosis

Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi aborsi spontan


sebelumnya. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang
rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %. Pada wanita keguguran
dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan
sekitar 40-80 %. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan
aktivitas jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2
atau lebih aborsi spontan yang tidak jelas (Lumbanraja, 2017).

3. KEHAMILAN EKTOPIK

Definisi

Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan dengan pertumbuhan sel telur yang
telah dibuahi dan tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Bila
kehamilan tersebut mengalami proses pengakhiran (abortus) dan ruptur dinding tuba
maka disebut dengan kehamilan ektopik terganggu (KET) (Prawirohardjo S, 2011).

Epidemiologi

Menurut World Health Organization (2007), kehamilan ektopik adalah


penyebab hampir 5% kematian di negara maju. Sebagian besar wanita yang
mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30
tahun. Lebih dari 60% kehamilan ektopik terjadi pada wanita 20-30 tahun dengan
sosio-ekonomi rendah dan tinggal didaerah dengan prevalensi gonore dan prevalensi
tuberkulosa yang tinggi. Pemakaian antibiotik pada penyakit radang panggul dapat
meningkatkan kejadian kehamilan ektopik terganggu. Diantara kehamilan-kehamilan
ektopik terganggu, yang banyak terjadi ialah pada daerah tuba (90%). KET banyak
ditemukan dengan keadaan gizi buruk dan keadaan kesehatan yang rendah, maka
insidennya lebih tinggi di Negara sedang berkembang dan pada masyarakat yang
berstatus sosio-ekonomi rendah daripada di negara maju dan pada masyarakat yang
berstatus sosio-ekonomi tinggi (Prawirohardjo S, 2011).

Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara


patofisiologi mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak
pembuahan sampai nidasi. Bila nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar
endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium
menjadi penyebab kehamilan ektopik ini. Faktor faktor yang disebutkan adalah
sebagai berikut.

a. Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit
atau buntu. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang
berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan
baik. Juga pada keadaan pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat merupakan
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik. Faktor tuba yang lain ialah adanya
kelainan endometriosis tuba atau divertikel saluran tuba yang bersifat kongenital.
Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor ovarium
yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapat menjadi etiologi
ke hamilan ektopik.
b. Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan
tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di
saluran tuba.
c. Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat
membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
d. Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat mengakibatkan
gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan ektopik.
e. Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses peradangan yang
dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya ke
hamilan ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga
sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik (Prawirohardjo S, 2011).

Patofisiologi

Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan
me ngalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba
bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah,
maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk berikut:

a. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi. Pada implantasi secara kolumner, ovum
yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi
resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya
terlambat untuk beberapa hari.
b. Abortus ke dalam lumen tuba. (Abortus tubaria). Perdarahan yang terjadi karena
pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh vili korialis pada dinding tuba di
tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari din ding tersebut bersama-sama
dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau
seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan
menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan
kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis. Frekuensi
abortus dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus ke
lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penem
busan dinding tuba oleh vili korialis ke arah peritoneum biasanya terjadi pada ke
hamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan oleh lumen pars ampularis yang
lebih luas sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika
dibandingkan dengan bagian ismus dengan lumen sempit. Pada pelepasan hasil
konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus berlangsung,
dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan
yang berlangsung terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru biruan
(hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium
tuba. Darah ini akan berkumpul di kavum Douglasi dan akan membentuk hematokel
retrouterina.
c. Ruptur dinding tuba. Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus
dan biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstisialis
terjadi pada kehamilan nalis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum.
Ruptur dapat terjadi lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah
penembusan vili korialis secara spontan atau karena trauma ringan seperti koitus
dan pemeriksaan vaginal Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut,
kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan
kematian. Bila pseudokapsus laris ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam
lumen tuba. Darah dapat mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba abdominal.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi.
ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominal. Dalam hal ini dinding tuba,
yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena itu tekanan darah dalam tuba.
Kadang-kadang rupture terjadi di arah ligamentum itu. Jika janin hidup terus,
terdapat kehamilan intraligamenter.
d. Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan
tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Perdarahan
dapat berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia
atau syok oleh karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan
mengalir ke kavum Douglasi yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat
memenuhi rongga abdomen. Bila penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal
karena perda rahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya
kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi seluruhnya; bila besar,
kelak dapat diubah menjadi litopedion.
e. Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion
dan dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut,
sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan
makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan
seki tarnya, misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul, dan
usus (Prawirohardjo S, 2011).

Penegakan Diagnosis

Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas, dan
penderita maupun dokternya biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan, sam pai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba. Pada umumnya penderita
menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin merasa nyeri sedikit di
perut bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal uterus
membesar dan lem bek walaupun mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan. Tuba yang
mengandung hasil konsepsi karena lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan
bimanual. Pada pemerik saan USG sangat membantu menegakkan diagnosis
kehamilan ini apakah intrauterin atau kehamilan ektopik. Untuk itu setiap ibu yang
memeriksakan kehamilan muda nya sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG. Apabila
kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada tuba tempat lokasi
nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu timbulnya
sakit perut mendadak yang kemudian disusul dengan syok atau pingsan. Ini adalah
pertanda khas terjadinya kehamilan ektopik yang terganggu (Prawirohardjo S, 2011).

Walau demikian, gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-
beda; dari perdarahan yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala
yang tidak jelas, sehingga sukar dibuat diagnosisnya. Gejala dan tanda bergantung
pada lamanya ke hamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya
kehamilan, derajat per darahan yang terjadi, dan keadaan umum penderita sebelum
hamil. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu. Pada
ruptur tuba nyeri perut bagian bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai
dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok.
Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak seberapa hebat dan tidak terus-menerus. Rasa
nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi; tetapi, setelah darah masuk ke dalam rongga
perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam
rong ga perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan
bila membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri (Prawirohardjo
S, 2011).
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan
ektopik yang terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum
uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak
banyak dan berwarna cokelat tua. Frekuensi perdarahan dikemukakan dari 51 hingga
93 % Perdarahan berarti gangguan pembentukan human chorionic gonadotropin. Jika
plasenta mati, desidua dapat dikeluarkan seluruhnya. Amenorea merupakan juga tanda
yang penting pada kehamilan ektopik walaupun penderita sering menyebutkan tidak
jelasnya ada amenorea, karena gejala dan tanda kehamilan ektopik terganggu bisa
langsung terjadi beberapa saat setelah terjadinya ni dasi pada saluran tuba yang
kemudian disusul dengan ruptur tuba karena tidak bisa menampung pertumbuhan
mudigah selanjutnya. Lamanya amenorca bergantung pada kehidupan janin, sehingga
dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami ame norea karena kematian
janin terjadi sebelum haid berikutnya. Hal ini menyebabkan frekuensi amenores yang
dikemukakan berbagai penulis berkisar dari 23 hingga 97% (Prawirohardjo S, 2011).

Pada kehamilan ektopik terganggu ditemukan - pada pemeriksaan vaginal -


bahwa usaha menggerakkan serviks uteri menimbulkan rasa nyeri, yang disebut
dengan nyeri goyang (+) atau slinger pijn (bahasa Belanda). Demikian pula kavum
Douglasi menon jol dan nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh darah. Pada
abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam
berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba
sebagai tumor di kavum Douglasi. Pada ruptur tuba dengan perdarahan banyak
tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat; perdarahan lebih banyak lagi
menimbulkan syok (Prawirohardjo S, 2011).

Kehamilan ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala
per darahan mendadak dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai
gejala gejala yang samar-samar, sehingga sukar membuat diagnosis. Pemeriksaan
USG dapat dilakukan secara perabdominal atau pervaginam. Umumnya kita akan
mendapatkan gambaran uterus yang tidak ada kantong gestasinya dan mendapatkan
gambaran kan tong gestasi yang berisi mudigah di luar uterus. Apabila sudah
terganggu (ruptur) maka bangunan kantong gestasi sudah tidak jelas, tetapi akan
mendapatkan bangunan massa hiperekoik yang tidak beraturan, tidak berbatas tegas,
dan di sekitarnya didapati cairan bebas (gambaran darah intraabdominal). Gambar
USG kehamilan ektopik sangat bevariasi bergantung pada usia kehamilan, ada
tidaknya gangguan kehamilan (ruptur, abortus) serta banyak dan lamanya perdarahan
intraabdomen. Diagnosis pasti kehamilan ektopik secara USG hanya bisa ditegakkan
bila terlihat kantong gestasi berisi mudigah/janin hidup yang letaknya di luar kavum
uteri. Gambaran ini hanya dijumpai pada 5- 10 % kasus (Prawirohardjo S, 2011).

Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan gambaran yang spesifik.


Uterus mungkin besarnya normal atau mengalami sedikit pembesaran yang tidak
sesuai dengan usia kehamilan. Endometrium menebal ekogenik sebagai akibat reaksi
desidua: Kavum uteri sering berisi cairan eksudat yang diproduksi oleh sel-sel
desidua, yang pada pemeriksaan terlihat struktur cincin anekoik yang disebut kantong
gestasi palsu (Prawirohardjo S, 2011).

Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin dan


jumlah sel darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pemeriksaan
hemoglo bin dan hematokrit dapat dilakukan secara serial dengan jarak satu jam
selama 3 kali berturut-turut. Bila ada penurunan hemoglobin dan hematokrit dapat
mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada kasus jenis tidak mendadak
biasanya ditemukan anemia; tetapi, harus diingat bahwa penurunan hemoglobin baru
terlihat setelah 24 jam (Prawirohardjo S, 2011).

Penghitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila


leuko sitosis meningkat. Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik,
dapat diperhatikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang melebihi 20.000 biasanya
menun juk pada keadaan yang terakhir. Tes kehamilan berguna apabila positif. Akan
tetapi, tes negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu
karena kema tian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan produksi
human chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif (Prawirohardjo
S, 2011).

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu keliru dengan abortus insipiens atau


abortus inkompletus yang kemudian dilakukan kuretase. Bila hasil kuretase
meragukan jumlah sisa hasil konsepsinya, maka kita perlu curiga terjadinya kehamilan
ektopik terganggu yang gejala dan tandanya tidak khas. Kuldosentesis adalah suatu
cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglasi ada darah. Cara
ini sangat berguna dalam membantu membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu.
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk kehamilan
ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui
dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglasi, dan ligamentum latum
(Prawirohardjo S, 2011).

Tatalaksana

Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam tindakan


demikian, beberapa hal harus diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu; kondisi
penderita saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan
ektopik, kondisi anatomik organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter
operator, dan kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat. Hasil pertimbangan
ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba, atau
dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi
atau reanastomosis tuba. Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan
syok, lebih baik di lakukan salpingektomi (Prawirohardjo S, 2011).

Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah pernah dicoba
ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan.
Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah: (1) kehamilan di pars ampularis tuba
belum pecah; (2) diameter kantong gestasi ≤ 4 cm; (3) perdarahan dalam rongga perut
≤ 100 ml; (4) tanda vital baik dan stabil. Obat yang digunakan ialah metotreksat 1
mg/kg IV. dan faktor sitrovorum 0,1 mg/kg LM. berselang-seling setiap hari selama 8
han. Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus dilakukan salpingektomi pada hari
ke-12 karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan baik
(Prawirohardjo S, 2011).

Prognosis

Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan diagnosis dini
dan persediaan darah yang cukup. Bila pertolongan terlambat, angka kematian dapat
tinggi. Prognosis buruk dihubungkan dengan kurangnya keberhasilan hamil dengan
baik setelah kehamilan ektopik terjadi. Pada umumnya kelainan yang menyebabkan
kehamilan ektopik bersifat bilateral. Sebagian perempuan menjadi steril setelah
mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik
yang berulang dilaporkan antara 0 % sampai 14,6 %. Untuk perempuan dengan anak
sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis
(Prawirohardjo S, 2011).

M. PERAN KOMUNITAS DALAM PENCEGAHAN ATAU PENGENDALIAN


(SOLUSI) DARI KTD

Peran komunitas merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya
pencegahan kehamilan tidak diinginkan terutama remaja. Peran orang tua merupakan
salah satu kunci pendidikan seksual dini pada remaja. Remaja perlu diberikan
pengawasan dan pendidikan terkait kesehatan reproduksinya sejak masa pubertas hingga
masa remaja berakhir. Pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan kepada remaja
tidak hanya mengenai masa pubertas saja, namun perlu terintegrasi dengan pembatasan
pergaulan dengan lawan jenis. Selain itu pendidikan mengenai dampak jangka panjang
perilaku seks pranikah yaitu kehamilan tidak diinginkan. Remaja perlu mengetahui
dampak fisik, psikis, sosial, dan ekonomi yang akan dihadapinya jika terjadi kehamilan
tidak diinginkan (Pertiwi, 2020).

Peran petugas kesehatan sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko yang terjadi pada
kehamilan usia remaja. Petugas kesehatan selaku edukator berperan dalam
melaksanakan bimbingan atau penyuluhan, pendidikan pada keluarga, masyarakat,
tentang kesehatan reproduksi. Selaku motivator, petugas kesehatan berkewajiban untuk
mendorong perilaku positif dalam kesehatan, dilaksanakan konsisten dan lebih
berkembang. Untuk peran fasilitator, tenaga kesehatan harus mampu menjembatani
dengan baik antara pemenuhan kebutuhan keamanan klien dan keluarga sehingga faktor
risiko dalam tidak terpenuhinya kebutuhan keamanan dapat diatasi, kemudian membantu
keluarga dalam menghadapi kendala untuk meningkatkan derajat kesehatan. Semua
peran petugas kesehatan dapat dilaksanakan dalam Program Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR). (Ramadani, 2015).

N. INTEGRASI KEILMUAN TERKAIT SKENARIO

QS Al Isra Ayat 32

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Menurut Tafsir Alquran Kementerian Agama (Kemenag) RI, dalam ayat ini, Allah swt
melarang para hamba-Nya mendekati perbuatan zina. Maksudnya ialah melakukan
perbuatan yang membawa pada perzinaan, seperti pergaulan bebas tanpa kontrol antara
laki-laki dan perempuan, menonton tayangan sinetron dan film yang mengumbar
sensualitas perempuan, dan merebaknya pornografi dan pornoaksi. Kegiatan-kegiatan
tersebut termasuk perilaku remaja yang berisiko dimana dapat menjadi faktor terjadinya
kehamilan yang tidak diinginkan. Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan
tafsir negeri Suriah mengungkapkan janganlah kalian mendekati zina dan sesuatu yang
membuka jalan untuk zina, karena zina itu adalah perbuatan buruk yang sudah jelas
keburukannya, dan itu merupakan seburuk-buruk jalan karena mengakibatkan masuk
neraka, percampuran nasab dan penyakit, penyakit berbahaya dan menodai kehormatan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) merupakan kondisi kehamilan yang tidak
diharapakan yang terjadi pada wanita. Pada remaja, kondisi ini terjadi akibat dari
perilaku seksual bersiko yang dilakukan saat berpacaran. Adapun perilaku berisiko
remaja diantaranya adalah faktor dari dalam diri remaja (faktor predisposisi) yakni umur
lebih tua, laki-laki, pendidikan dan pengetahuan KRR, bertempat tinggal di kota, status
ekonomi rendah, dan memiliki akses yang kurang terhadap media informasi KRR serta
Faktor penguat berasal dari pihak ketiga, adalah keluarga, guru, petugas kesehatan, atau
teman. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa dari 200 juta kehamilan
pertahun, 38 persen diantaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan. World
health statistic tahun 2014 menujukkan bahwa angka kejadian kehamilan tidak
diinginkan dikalangan remaja wanita usia 15 sampai 19 tahun adalah 49 per 1000
perempuan, angka kejadian kehamilan remaja di Indonesia adalah 48 per 1000
perempuan.

Gangguan haid bisa disebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab tersering
dari gejala tidak haid yaitu kehamilan.Pada skenario, pasien menderita perdarahan hamil
muda yakni mola hidatinosa. Pada kasus terjadi insufisiensi peredaran darah akibat
matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion), sehingga terjadi penimbunan
cairan dalam jaringan mesenkim vili dan terbentuklah kista-kista kecil yang makin lama
makin besar, sampai pada akhirnya terbentuklah gelembung mola. Sedangkan 8
proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi. Pada mola
hidatidosa tidak jarang terjadi perdarahan pervaginam, ini juga dikarenakan proliferasi
trofoblas yang berlebihan.

B. Saran
Sebaiknya mahasiswa sebelum melakukan PBL diharapkan menyiapkan diri
dengan membaca materi terkait skenario yang akan dibahas agar mahasiswa lebih
menguasai atau memahami skenario tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Baziad A. (2014). Amenore sekunder In Endokrinologi Ginekologi (3rd ed).


Jakarta Media Aesculapius
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di
Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Ed 1.

Gartner L P. (2006). Buku Ajar Berwarna Histologi. Edisi 3. Philadelphia :


Elsevier

Guyton AC, Hall JE. (2011). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta :
EGC

Hanim D, Santosa, Affandi. (2013). Modul Field Lab: Komunikasi, informasi,


edukasi (KIE) Kesehatan Reproduksi. Jakarta : FK Universitas Sebelas
Maret. Hal:14-25.

kusmiran, E. (2014). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Salemba


Medika.

Kusmiyati, Yuni. (2008). Perawatan Ibu Hamil : Asuhan Ibu Hamil. Yogyakarta:
Fitramaya.
Lumbanraja, Sarma. (2012). Kegawatdaruratan Obtetri. Medan: USU Press.
2017: Hal. 58-62 Manuaba. Pengantar Kuliah Obstetric. Jakarta

Muzayyanah, (2002). Mola Hidatidosa . Mutiara Medika Vol.2, No 1

Netter FH. (2016). Atlas anatomi manusia, 6th ed.: Elsevier.

Nur Fitri, dkk. (2020). PERAN KOMUNITAS DALAM PENCEGAHAN


KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN PADA REMAJA. Midwifery
Journal Vol. 5, No. 2

1
Pertiwi, Nur Fitri Ayu., dkk. (2020). Peran Komunitas dalam Pencegahan
Kehamilan Tidak Diinginkan Pada Remaja. Vol5;(2). Midwifery
Journal.Ramadani, Mery., dkk. 2015. Peran Tenaga Kesehatan dan
Keluarga dalam Kehamilan Usia Remaja. Vol.10;(2). Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional.

Pranata, Setia and FX, Sri Sadewo (2010) KEJADIAN KEHAMILAN TIDAK


DIINGINKAN DI INDONESIA. Project Report. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sistem dan Kebijakan Kesehatan.

Prawirohardjo S. (2011). Kehamilan Ektopik dalam Ilmu Kebidanan Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka
Prawirohardjo, Sarwono. (2020). Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta: PT Bina
Pustaka.
Prawiroharjo S. ( 2008). Ilmu Kebidanan. Edi s i 4. Jakarta: PT. Bina
Pustaka.

Purnamawati Dewi & Virnanda Aritonang. (2020). Kehamilan Yang Tidak


Diinginkan Pada Remaja. Jurnal Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia. 25 November 2020: hal 1-10
Ridyaningsih, S. N. D. (2011). Hubungan Aktivitas S eksual pada Usia Dini,
Promiskuisitas dan Bilas Vagina dengan Kejadian Kanker Leher Rahim
pada Pasien Onkologi di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 02, No 2 hal 67

Sherwood, L. (2014). Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta:


EGC.

Speroff L, Marc AF. Amenorrhea. (2013). In : Clinical Gynecologic


Endocrinology & Infertility (7th ed). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins

Wahdini, M., Indraswari, N., Susanti, AI, & Sujatmiko, B. (2021). Faktor-Faktor


Yang Berhubungan Dengan Perilaku Berisiko Pada Remaja. JKM (Jurnal
Kebidanan Malahayati) , 7 (2), 171-181.

2
Zulhij dkk, (2020). Wanita 21 Tahun Dengan Mola Hidatidosa: Laporan Kasus.
Vol. 2 .No. 2. Juni2020 .Jurnal Medical Profession.

Anda mungkin juga menyukai