Anda di halaman 1dari 12

Syok Vasodilatori (Distributif): Risiko, Bahaya Tersembunyi, dan Pilihan

Terapi

Pendahuluan
Kegagalan sirkulasi umumnya terlihat di intensive care unit (ICU) dan
bermanifestasi sebagai ketidakstabilan kardiovaskular. Syok didefinisikan sebagai
hipotensi yang menyebabkan penurunan perfusi organ dan penggunaan oksigen
seluler yang tidak adekuat (Khanna et al., 2017; Vincent dan De Backer, 2013).
Bahkan periode singkat hipotensi pada periode intraoperatif dapat menyebabkan
kerusakan ginjal dan miokard (Walsh et al., 2013). Tingkat hipotensi yang
menyebabkan disfungsi organ akhir telah ditentukan sebagai mean arterial pressure
(MAP) < 65 mmHg di ruang operasi (Walsh et al., 2013). Ambang batas MAP
berkaitan dengan hasil merugikan yang belum dapat dijelaskan pada pasien-pasien
kritis yang dirawat di ICU, dan kemungkinan tergantung pada tekanan darah dasar
dan karakteristik lainnya (Asfar et al., 2014). Surviving Sepsis Campaign Guidelines
terbaru menggunakan ambang batas MAP <65 mmHg (Rhodes et al., 2017).
Hipotensi pada pasien kritis disebabkan oleh berbagai etiologi dan merupakan
konsekuensi dari vasodilatasi yang patologis, gangguan kinerja jantung, hipovolemia,
sedasi, proses perawatan dan perburukan morbiditas karena patologi yang
mendasarinya. Syok distributif akibat vasodilatasi tetap merupakan kondisi syok yang
paling sering terlihat di ICU dan konsekuensi dari kondisi medis atau pembedahan
yang menyebabkan vasoplegia dan disfungsi vaskular. Syok distributif yang
membutuhkan peningkatan dosis vasopressor dan tetap tidak responsif terhadap
intervensi tersebut berkaitan dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas karena
banyak faktor (Khanna et al, 2017; Brown et al., 2013). Kombinasi dan dosis obat-
obatan vasoaktif yang optimal, ambang batas untuk menentukan severe atau syok
refrakter dan peran dari terapi penyelamatan tetap harus ditentukan (Brown et al.,
2013). Dalam bab ini, kami akan memaparkan hal-hal penting dalam patofisiologi,
faktor risiko, evaluasi, dan manajemen syok distributif refrakter di ICU.
Etiologi dan Patogenesis

Etiologi dari syok vasodilatori adalah multifaktorial dan merupakan hasil dari
berbagai patofisiologi terkait. Sepsis adalah etiologi utama dari syok refrakter (81%)
di ICU (De Backer et al., 2010). Data acak dan observasional sebelumnya telah
mencatat 50-80% kasus kerusakan vasodilatasi refrakter karena sepsis (Khanna et al.,
2017; Jentzer et al., 2018). Vasoplegia sering terlihat pada pasien pasca-bedah,
terutama setelah operasi jantung dengan penggunaan cardiopulmonary bypass (CPB)
Mekontso-Dessap et al., 2001). Faktor-faktor pre-operatif dan intraoperatif
berkontribusi pada perkembangan vasoplegia dan low-cardiac output syndrome pada
populasi minoritas pasca operasi yang menyebabkan syok refrakter (Algarni et al.,
2011). Dalam percobaan Angiotensin II for the Treatment of High-Output Shock
(ATHOS-3), pasien pasca operasi dengan syok vasoplegik tercatat 6% dari total
populasi (Khanna et al., 2017). Etiologi lain termasuk pankreatitis, anafilaksis,
asidosis metabolik berat, sindrom pasca-serangan jantung dan keadaan syok
multifaktorial.
Pada pasien sepsis, disregulasi sistem imun dan vasodilatasi yang patologis
berhubungan dengan kelainan koagulasi, imunodefisiensi, dan aktivasi atau disfungsi
endotel. Proses yang patologis tersebut dapat diperburuk oleh pemberian antibiotik
yang terlambat, penggunaan kristaloid yang tidak seimbang, dan gagal ginjal secara
bersamaan (Kotecha et al., 2017).
Selain itu, sepsis berkaitan dengan takikardia karena disfungsi otonom yang
menyebabkan terganggunya pengisian diastolic, memperburuk aritmia dan
menurunkan curah jantung. Pada pasien bedah jantung, penggunaan CPB dikaitkan
dengan pelepasan vasodilator inflamasi dan penurunan sistem arginine-vasopresin
yang menyebabkan penurunan kepekaan terhadap katekolamin dan keadaan
hemodinamik menyerupai sepsis (Mekonto-Dessap et al., 2001). Disfungsi ventrikel
kiri pra operasi dan penggunaan penghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAAS) dapat berkaitan dengan kejadian vasoplegia pada pasien pasca operasi yang
lebih tinggi (Algarni et al., 2011). Penderita syok sering mengalami insufisiensi
adrenal relatif, hiperglikemia dan hipokalsemia, semuanya menjadi predisposisi
menurunkan efikasi vasopressor katekolamin. Pada pasien sakit kritis, hal tersebut
dapat menjadi lebih rumit dengan kardiomiopati akibatstres, sepsis dan/atau
penggunaan vasopresor katekolamin untuk mengatasi keadaan syok (Vallabhajosyula
et al., 2017; Champion et al., 2015). Disfungsi sistolik dan diastolik ventrikel kanan
dan kiri dapat mempengaruhi preload, respon pemberian cairan, dan respon terhadap
obat-obat vasoaktif (Landesberg et al., 2014). Tanpa menghiraukan etiologi,
patogenesis dari syok vasodilator mengikuti suatu jalur seperti yang dijelaskan pada
Gambar 1 (Jentzer et al., 2018). Pada tingkat seluler dan molekuler, perubahan dalam
jalur yang berhubungan dengan nitrit oksida (NO), prostaglandin dan reactive oxygen
species (ROS) menghasilkan vasodilatasi yang tidak sesuai (Jentzer et al., 2018).
Aktivasi kanal adenosine triphosphate (ATP)-potassium pada sel otot polos
pembuluh darah mencegah kalsium masuk yang diperlukan untuk vasokonstriksi,
mewakili jalur umum akhir yang menghubungkan gangguan metabolik (yaitu,
hipoksia jaringan dan asidosis) dan peradangan (termasuk produksi NO) dengan
vasoplegia (Jentzer et al., 2018).
Gambar 1. Patogenesis Syok Refrakter

Mendefinisikan Hipotensi dan Komplikasi Terkait

Myocardial Injury
Sebagai hasil dari autoregulasi aliran darah fisiologis, tekanan perfusi organ
akhir tetap stabil selama rentang MAP normal, biasanya di atas 60 mmHg (Leone et
al., 2015). Di bawah ambang batas MAP ini, perfusi organ menurun sebanding
dengan penurunan MAP dan kegagalan organ bisa terjadi. Kerusakan organ akhir
kronis dari hipertensi atau disfungsi organ akut karena sepsis dapat mengubah
ambang batas autoregulasi, memungkinkan hipoperfusi organ terjadi pada ambang
MAP yang lebih tinggi. Miokardium sangat sensitif terhadap perubahan
hemodinamik dan kelainan aliran darah koroner selama syok. Peningkatan takikardi
dan takiaritmia dalam syok berhubungan dengan penuruan waktu diastolik yang
menyebabkan hipoperfusi koroner (Landesberg et al., 2014). Bradikardia, baik secara
spontan atau dengan menggunakan beta-blocker, dapat memberikan manfaat
kelangsungan hidup pada pasien sepsis yang parah (Beesley et al., 2017; Morelli et
al., 2013). Pada pasien dengan tekanan darah diastolik yang rendah, penggunaan
norepinefrin dapat memperbaiki hemodinamik dan tekanan perfusi sistemik
(Hamzaoui et al., 2010). Peningkatan cardiac troponin pada pasien yang kritis
sebanding dengan tingkat hipotensi, menimbulkan peran hipotensi dalam
menyebabkan miokardium (Landesberg et al., 2014). Pemulihan tonus vaskular dan
pemberian cairan yang adekuat tidak menutupi disfungsi sistolik ventrikel kiri yang
merupaka mekanisme adaptif dan tidak berhubungan dengan hasil yang merugikan
pada pasien sepsis (Vallabhajosyula et al., 2017; Boissier et al., 2017).
Pasien-pasien kritis, terutama dengan sepsis, menghadapi disregulasi dari
kaskade inflamasi dan koagulasi yang berhubungan dengan kerusakan organ akhir di
jantung, ginjal, dan otak yang tidak bergantung pada status hemodinamik (Kotecha et
al., 2017; Kress, 2010). Implikasi langsung dari keadaan hipotensi dan sepsis ini
mungkin ambang batas yang aman untuk target tekanan darah lebih tinggi pada
populasi pasien ICU (Khanna et al., 2018). Oleh karena itu, pasien sepsis yang kritis
mungkin membutuhkan tekanan perfusi yang lebih tinggi untuk menjaga integritas
organ vital. Dalam percobaan klinis pasien sepsis, resusitasi dengan target MAP 65
mmHg berkaitan dengan mortalitas yang sama dengan pasien dengan target MAP 85
mmHg (Asfar et al., 2014). Target MAP yang lebih tinggi berkaitan dengan efek
merugikan yang lebih banyak terkait katekolamin seperti aritmia, tetapi mungkin
telah berkaitan dengan penurunan tingkat acute kidney injury (AKI), khususnya pada
pasien dengan hipertensi kronis (Asfar et al., 2014). Hasil tersebut menekankan
keseimbangan yang tipis antara efek samping yang berkaitan dengan hipotensi dan
obat-obatan vasoaktif.
Hipotensi, bahkan secara sementara, di ruang operasi berkaitan dengan hasil
yang lebih buruk. Hubungan ini didefinisikan dalam durasi waktu dan batas MAP di
ruang operasi (Walsh et al., 2013; Mascha et al., 2015; Salmasi et al., 2017). Analisis
post-hoc baru-baru ini dari Perioperative Ischemic Evaluation 2 (POISE-2)
membuktikan peningkatan substantial dalam risiko infark miokard dan mortalitas
pada pasien dengan hipotensi klinis yang penting pada hari 1-4 pasca operasi, setelah
penyesuaian untuk pembaur yang relevan (Sessler et al., 2017). Di ICU, data dari
pasien sepsis dan non-sepsis dengan syok distributif telah menunjukkan bahwa baik
durasi dan luasnya hipotensi berhubungan dengan perkembangan kelainan ginjal
(Janssen et al., 2014). Dalam retrospektif besar kohort lainnya, rata-rata MAP <65
mmHg pada pasien dengan syok septik adalah prediktor terkuat kematian setelah
tingkat laktat serum (Houwink et al., 2016). Data dari kohort pada pasien kritis
operasi non-jantung di ICU selama 7 hari pasca operasi awal menunjukkan bahwa
MAP <75 mmHg dikaitkan dengan kerusakan miokardial setelah operasi non-jantung
dan kematian. Selain itu, ambang batas muncul lebih tinggi dan hubungan hampir
linier untuk AKI [21]. Di antara pasien dengan sepsis, mereka yang memiliki riwayat
hipertensi tampaknya berisiko lebih tinggi mengalami AKI ketika dirawat dengan
target MAP lebih rendah dari 65 mmHg versus 85 mmHg (Asfar et al., 2014).

Kerusakan Ginjal dan Serebral


Dalam ginjal, perubahan dalam hemodinamik renal akibat hipotensi dapat
berhubungan dengan AKI (Kotecha et al., 2017). Dalam meta-analysis 160 penelitian
pada pasien sepsis, aliran darah ginjal normal atau meningkat tercatat sekitar 30%
pasien (Langenberg et al., 2006) . Pengalihan aliran darah ginjal ke arah korteks
ginjal mengakibatkan hipoksia meduler relatif ginjal telah dinyatakan bertanggung
jawab untuk iskemia ginjal dan tubular nekrosis akut (Wan et al., 2008). Pada pasien
kritis, AKI berkaitan dengan lama rawat inap lebih lama dan peningkatan mortalitas
pada populasi pasca bedah dan sepsis (Walsh et al., 2013; Kotecha et al., 2017).
Selain jantung dan ginjal, hipotensi juga membahayakan sirkulasi serebral. Dalam
sirkulasi serebral, tekanan perfusi serebral dikontrol secara ketat dalam rentang MAP
yang diberikan. Namun, pergeseran hemodinamik yang cepat mengakibatkan
hipoperfusi yang berkontribusi terhadap gangguan autoregulasi (Donelly et al., 2016).
Hipotensi dalam kombinasi dengan inflamasi, penggunaan sedatif-hipnotik dan
ketidakseimbangan neurotransmitter berkaitan dengan ensefalopati dan delirium pada
pasien yang kritis, yang berhubungan dengan hasil jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih buruk (Kress, 2010; Singh et al., 2017).

Syok Refrakter
Ketidakmampuan untuk mencapai target MAP meskipun meningkatkan terapi
vasopressor, kebutuhkan terhadap terapi vasopressor penyelamat atau kebutuhan
terhadap vasopresor dosis tinggi adalah metode untuk menentukan syok refrakter
pada populasi (Khanna et al., 2017; Brown et al., 2013). Kejadian dan hasil dari syok
refrakter bervariasi dengan perbedaan definisi dan cut-off obat vasoaktif, namun
secara konsisten dikaitkan dengan hasil yang buruk (Bassi et al., 2013). Etiologi
reversibel yang berkontribusi terhadap perburukan syok termasuk infeksi yang tidak
diobati, asidosis metabolik berat, hipokalsemia, overdosis sedasi dan hipovolemia
(Kotecha et al., 2017; Bassi et al., 2013). Patofisiologi, diagnosis dan manajemen
syok refrakter telah dijelaskan sebelumnya oleh Jentzer et al (2018).

Gambaran Klinis dan Evaluasi Diagnostik


Hipoperfusi organ akhir dalam syok bermanifestasi dengan perubahan status
mental, penurunan output urin, penurunan pengisian kapiler dan bintik-bintik pada
ekstremitas. Pasien dengan syok akan mengalami hipotensi, sering takikardika, dan
biasanya membutuhkan terapi vasopressor; takipnea dan hipoksemia sering terjadi,
terutama yang bersamaan dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS)
(Rhodes et al., 2017). Hipoperfusi organ akhir dapat terjadi pada pasien hipertensi
kronis pada nilai MAP yang lebih tinggi mendefinisikan subkelompok yang mungkin
mendapat manfaat dari pemeliharaan target MAP yang lebih tinggi selama resusitasi
(Asfar et al., 2014). Selain itu, pasien yang kritis dengan sepsis mungkin memiliki
ambang tekanan darah yang cukup tinggi, meskipun datanya hanya sementara dan
hanya berdasarkan hubungan asosiatif. Diagnosis, evaluasi dan manajemen syok pada
penyakit kritis sering terjadi secara bersamaan (Vincent dan De Backer, 2013).
Langkah utama adalah mengevaluasi gambaran hemodinamik untuk
membedakan tipe syok dan kemungkinan etiologi. Ultrasonografi bedside sering
digunakan dalam praktik klinis saat ini untuk mendiagnosis dan mengelola syok.
Perhitungan hemodinamik invasif, seperti pulmonary artery wedge pressure (PAWP)
dan central venous pressure (CVP), lebih jarang digunakan dalam praktik modern
untuk mengevaluasi status hemodinamik (Cecconi et al., 2014). Pasien bedah jantung
sering memiliki kateter arteri pulmonal in-dwelling dari ruang operasi yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi parameter hemodinamik. Praktik modern telah beralih
dari variabel statis status hemodinamik seperti itu sebagai tekanan pengisian ke
pengukuran yang lebih andal dari penilaian cairan dinamis (Rhodes et al., 2017).
Biasanya syok vasodilatori muncul sebagai sirkulasi hiperdinamik dengan penurunan
resistensi pembuluh darah sistemik, curah jantung yang tinggi dan fungsi ventrikel
yang dipertahankan; saturasi vena sentral atau campuran biasanya normal atau
meningkat. Review lengkap pemantauan hemodinamik dan respon cairan berada di
luar ruang lingkup ulasan ini.
Parameter laboratorium biasanya mencerminkan anion-gap asidosis metabolik
dengan peningkatan asam laktat pada pasien ini, seringkali dengan alkalosis
respiratorik yang mungkin terjadi sebelum pengembangan asidosis metabolik.
Campuran asidosis respiratorik dan metabolik atau campuran anion-gap dan non-gap
asidosis menjamin evaluasi untuk etiologi alternatif, seperti AKI, ARDS, iskemia
mesenterika dan tumor lysis syndrome (Kimmoun et al., 2015). Identifikasi cepat dan
koreksi gangguan metabolik dan elektrolit, seperti asidosis berat (pH <7,15),
hipokalsemia, atau hiperglikemia, merupakan ukuran tambahan penting dalam
memulihkan tonus pembuluh darah.
Syok vasodilatori sering dipersulit oleh gangguan metabolisme hati dan
koagulopati karena hepatitis iskemik dan/atau koagulasi intravaskular diseminata.
Evaluasi awal untuk sumber infeksi, kontrol sumber yang tepat waktu dan inisiasi
terapi antimikroba yang cepat tetap menjadi landasan manajemen sepsis dan telah
terbukti menurunkan mortalitas independen dari aspek lain dari perawatan sepsis
(Rhodes et al., 2017; Seymor et al., 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Algarni KD, Maganti M, Yau TM (2011). Predictors of low cardiac output syndrome
after isolated coronary artery bypass surgery: trends over 20 years. Ann
Thorac Surg 92:1678–1684

Asfar P, Meziani F, Hamel JF et al (2014). High versus low blood-pressure target in


patients with septic shock. N Engl J Med 370:1583–1593

Bassi E, Park M, Azevedo LC (2013). Therapeutic strategies for high-dose


vasopressor-dependent shock. Crit Care Res Pract 2013:654708

Beesley SJ, Wilson EL, Lanspa MJ et al (2017). Relative bradycardia in patients


with septic shock requiring vasopressor therapy. Crit Care Med 45:225–233

Boissier F, Razazi K, Seemann A et al (2017). Left ventricular systolic dysfunction


during septic shock: the role of loading conditions. Intensive Care Med
43:633–642

Brown SM, Lanspa MJ, Jones JP et al (2013). Survival after shock requiring high-
dose vasopressor therapy. Chest 143:664–671

Cecconi M, De Backer D, Antonelli M et al (2014). Consensus on circulatory shock


and hemodynamic monitoring. Task force of the European Society of Intensive
Care Medicine. Intensive Care Med 40:1795–1815

Champion S, Belcour D, Vandroux D et al (2015). Stress (Tako-tsubo)


cardiomyopathy in critically-ill patients. Eur Heart J Acute Cardiovasc Care
4:189–196

De Backer D, Biston P, Devriendt J et al (2010). Comparison of dopamine and


norepinephrine in the treatment of shock. N Engl J Med 362:779–789

Donnelly J, Budohoski KP, Smielewski P, Czosnyka M (2016). Regulation of the


cerebral circulation: bedside assessment and clinical implications. Crit Care
20:129

Hamzaoui O, Georger JF, Monnet X et al (2010). Early administration of


norepinephrine increases cardiac preload and cardiac output in septic
patients with life-threatening hypotension. Crit Care 14:R142

Houwink AP, Rijkenberg S, Bosman RJ, van der Voort PH (2016). The association
between lactate, mean arterial pressure, central venous oxygen saturation
and peripheral temperature and mortality in severe sepsis: a retrospective
cohort analysis. Crit Care 20:56

Janssen van Doorn K, Verbrugghe W, Wouters K, Jansens H, Jorens PG (2014). The


duration of hypotension determines the evolution of bacteremia-induced acute
kidney injury in the intensive care unit. PLoS One 9:e114312

Jentzer JC, Vallabhajosyula S, Khanna AK, Chawla LS, Busse LW, Kashani KB
(2018). Management of refractory vasodilatory shock. Chest.
https://doi.org/10.1016/j.chest.2017.12.021 (Jan 9, Epub ahead of print)

Khanna A, English SW, Wang XS et al (2017). Angiotensin II for the treatment of


vasodilatory shock. N Engl J Med 377:419–430Vincent J-L, De Backer D
(2013) Circulatory shock. N Engl J Med 369:1726–1734

Khanna A, Mao G, Liu L et al (2018). Hypotension increases acute kidney injury,


myocardial injury and mortality in surgical critical care. Crit Care Med 46:71
(abst)

Kimmoun A, Novy E, Auchet T, Ducrocq N, Levy B (2015). Hemodynamic


consequences of severe lactic acidosis in shock states: from bench to bedside.
Crit Care 19:175

Kotecha A, Vallabhajosyula S, Coville HH, Kashani K (2017). Cardiorenal


syndrome in sepsis: a narrative review. J Crit Care 43:122–127

Kress JP (2010). The complex interplay between delirium, sepsis and sedation. Crit
Care 14:164

Landesberg G, Jaffe AS, Gilon D et al (2014). Troponin elevation in severe sepsis


and septic shock: the role of left ventricular diastolic dysfunction and right
ventricular dilatation. CritCare Med 42:790–800

Langenberg C, Wan L, Egi M, May CN, Bellomo R (2006). Renal blood flow in
experimental septic acute renal failure. Kidney Int 69:1996–2002

Leone M, Asfar P, Radermacher P, Vincent J-L, Martin C (2015). Optimizing mean


arterial pressure in septic shock: a critical reappraisal of the literature. Crit
Care 19:101

Mascha EJ, Yang D, Weiss S, Sessler DI (2015). Intraoperative mean arterial


pressure variability and 30-day mortality in patients having noncardiac
surgery. Anesthesiology 123:79–91
Mekontso-Dessap A, Houel R, Soustelle C, Kirsch M, Thebert D, Loisance DY
(2001). Risk factors for post-cardiopulmonary bypass vasoplegia in patients
with preserved left ventricular function. Ann Thorac Surg 71:1428–1432

Morelli A, Ertmer C, Westphal M et al (2013). Effect of heart rate control with


esmolol on hemodynamic and clinical outcomes in patients with septic shock:
a randomized clinical trial. JAMA 310:1683–1691

Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W et al (2017). Surviving Sepsis Campaign:


international guidelines for management of sepsis and septic shock: 2016.
Intensive Care Med 43:304–377

Salmasi V, Maheshwari K, Yang D et al (2017). Relationship between intraoperative


hypotension, defined by either reduction from baseline or absolute thresholds,
and acute kidney and myocardial injury after noncardiac surgery: a
retrospective cohort analysis. Anesthesiology 126:47–65

Sessler DI, Meyhoff CS, Zimmerman NM et al (2017). Period-dependent


associations between hypotension during and for 4 days after noncardiac
surgery and a composite of myocardial infarction and death: A sub-study of
the POISE-2 trial. Anesthesiology
https://doi.org/10.1097/ALN.0000000000001985 (Nov 21, Epub ahead of
print)

Seymour CW, Gesten F, Prescott HC et al (2017) Time to treatment and mortality


during mandated emergency care for sepsis. N Engl J Med 376:2235–2244

Singh TD, O’Horo JC, Gajic O et al (2017). Risk factors and outcomes of critically ill
patients with acute brain failure: a novel end point. J Crit Care 43:42–47

Vallabhajosyula S, Jentzer JC, Geske JB et al (2017). New-onset heart failure and


mortality in hospital survivors of sepsis-related left ventricular dysfunction.
Shock. https://doi.org/10.1097/SHK.0000000000000952 (Jul 19, Epub ahead
of print)

Walsh M, Devereaux PJ, Garg AX et al (2013). Relationship between intraoperative


mean arterial pressure and clinical outcomes after noncardiac surgery:
toward an empirical definition of hypotension. Anesthesiology 119:507–515

Wan L, Bagshaw SM, Langenberg C, Saotome T, May C, Bellomo R (2008).


Pathophysiology of septic acute kidney injury: what do we really know? Crit
Care Med 36(4 Suppl):S198–S203

Anda mungkin juga menyukai