PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang lanjut usia menyebutkan
bahwa umur 60 tahun adalah usia tua. Proses menua dan lanjut usia
merupakan proses alami yang dialami oleh setiap orang (KemenKes RI,
2014). Di kawasan Asia Tenggara populasi Lansia sebesar 8% atau sekitar
142 juta jiwa. Pada tahun 2010 jumlah Lansia (9,77%) dan tahun 2020
diperkirakan jumlah lansia mencapai (11,34%). Jumlah lansia di Indonesia
pada tahun 2017 sebesar (8,97%), tahun 2018 sebesar (9,3%) dan pada
tahun 2025 diperkirakan sebesar (11,3%) (Depkes, 2017).
Data lansia di Indonesia pada tahun 2017, penduduk lansia mencapai 10%
dari total penduduk di Indonesia dan termasuk dalam lima besar negara
dengan jumlah lanjut usia terbanyak di dunia. Jumlah penduduk lansia di
Jawa barat pada tahun 2015 sebanyak 3,77 juta jiwa, meningkat menjadi
4,16 juta jiwa ditahun 2017 (Kemenkes RI, 2017). Berdasarkan hasil
Badan Pusat Statistik (BPS) kota Bandung tahun 2018, jumlah penduduk
lanjut usia di kota Bandung pada tahun 2016 sebesar 7,82 persen dari total
keseluruhan penduduk kota Bandung.
1
pengembangan Poliklinik Geriatri Terpadu di rumah sakit, dan
menyediakan sarana prasarana yang ramah bagi lanjut usia. Dalam acara
temu media yang dihadiri Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia
(PERGEMI), beberapa kegiatan yang dilakukan PERGEMI antara lain
membantu pemerintah dalam membantu kebijakan dalam pelayanan
kesehatan lanjut dan melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan pada
masyarakat dan kelompok usia lanjut, (Depkes, 2015).
Perubahan yang terjadi pada lansia adalah perubahan proses penuaan yang
ditandai dengan tahapan tahapan menurunnya berbagai fungsi organ
tubuh, dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan
penyakit. Masalah kesehatan lansia terutama yang berhubungan dengan
proses penuaan adalah penyakit degeneratif yang semakin meningkat
(Kemenkes RI, 2013).
2
tekanan darah pasien hipertensi yaitu, tingkat kepatuhan minum obat
(Nopitasari, 2018).
3
Penelitian lain yang dilakukan oleh Susanto (2016) tentang Hubungan
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien hipertensi lansia
di wilayah kerja puskesmas sungai cuka kabupaten tanah laut. Dengan
jumlah responden 164 orang, dengan hasil menunjukan ada hubungan
antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien hipertensi
lansia di wilayah kerja puskesmas sungai cuka kabupaten tanah laut.
Dari hasil wawancara pada petugas kesehatan dan lansia yang ada di Balai
Perlindungan Sosial Tresana Werdha Pakutandang Ciparay, penyakit
hipertensi yang dialami lansia sudah diderita sejak lama, dari faktor
keluarga, untuk keluarga yang datang hanya beberapa saja dalam jangka
waktu yang lama dikarenakan sebagian besar lansia yang ada disana
datang dari keluarga yang tidak mampu. faktor lingkungan, sebagian
lansia belum bisa beradaptasi dikarenakan berada di lingkungan baru dan
jauh dari keluarga. Hal tersebut dapat memicu terjadinya stres, tingkat
4
stres terbagi menjadi tiga yaitu stres ringan, stres sedang, dan stres berat.
Stres yang dialami lansia bergantung pada lansia itu sendiri bagaimana
lansia tersebut mengaasi masalah dan dampak dari stres terhadap dirinya
sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian yaitu
“Adakah hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat
pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay?”.
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara tingkat stres dengan tingkat kepatuhan
minum obat penderita hipertensi pada lanjut usia di Balai Perlindungan
Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi tingkat stres pada lanjut usia di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
b. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan pengobatan pada lanjut usia di
Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
c. Menganalisa hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan
minum obat penderita hipertensi pada lanjut usia di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
D. Manfaat
5
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi atau
referensi dalam pengembangan ilmu keperawatan gerontic terkait
dengan tingkat stres dan kepatuhan minum obat pada lanjut usia
hipertensi.
2. Manfaat praktis
a. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan dapat menambah referensi dan juga dapat menjadi
bahan untuk menambah wawasan ataupun informasi mengenai
hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat pada
lanjut usia hipertensi dan dapat melakukan pengabdian masyarakat
terkait penyuluhan bagaimana mengendalikan stres pada lansia
b. Bagi panti werdha
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi mengenai
tingkat stres dan tingkat kepatuhan minum obat pada lansia
hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay.
c. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi sunber informasi dan wawasan
bagi peneliti dalam mengembangkan penelitian selanjutnya terkait
faktor faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada lanjut
usia hipertensi di BPSTW Pakutandang Ciparay
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Stres
1. Pengertian Stres
Stres adalah keadaan yang membuat tegang yang terjadi ketika
seseorang mendapatkan masalah atau tantangan dan belum
mendapatkan jalan keluarnya atau banyak pikiran yang menggangu
seseorang terhadap sesuatu yang akan dilakukannya, Wayan, dkk
(2017). Situasi yang menuntut tersebut dipandang sebagai beban atau
melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres adalah
segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang dapat mengganggu
keseimbangan seseorang (Maramis, 2005). Dari pernyataan ini, faktor
penting yang ditekankan adalah adaptasi agar keseimbangan selalu
terjaga didalam diri kita.
7
Lansia yang menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan
fungsi fisiologis pada orang yang menderitanya. Perubahan fungsi
tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dapat
menyebabkan stress pada kaum lansia yang mengalaminya.
Macam perubahan fungsi fisiologis yang dialami seseorang
tergantung pada penyakit yang dideritanya. Semakin sehat
jasmani lansia semakin jarang ia terkena stress, dan sebaliknya,
semakin mundur kesehatannya, maka semakin mudah lansia itu
terkena stress. Para lansia yang rentan terhadap stress misalnya
lansia dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani
perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatis
kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta lansia
dengan isolasi sosial.
b. Kondisi psikologi
Kondisi psikologis lansia, misalnya pengalaman, sifat, jenis
kepribadian dan cara pandang. dapat berpengaruh dalam
menghadapi stress. Cara pandang lansia yang positif dalam
menghadapi masalah, dapat menyelesaikan masalah tersebut
melalui proses mekanisme penyelesaian yang positif pula.
Berorientasi pada masalah, selalu mencari jalan tengah,
berdasarkan pertimbangan pengalaman yang baik maupun kurang
baik. Orang yang selalu menyikapi positif segala tekanan hidup
akan kecil resiko terkena stress. Semakin luas dan semakin tinggi
harapan seseorang tentang hidup (optimis), berdampak pada sikap
yang bijaksana, menerima apa yang telah diberikan Tuhan
kepadanya (pasrah), menunjukkan kasih sayang kepada sesama,
dengan demikian lansia mampu menentramkan hati dan
menjernihkan pikiran sehingga akan semakin jauh dari stress.
8
c. Keluarga
Lansia sangat membutuhkan peran besar keluarga dalam
menjauhkan atau menghindari stress. Kurangnya perhatian pada
lansia dipersepsikan sebagai sikap mengabaikan. Acuh tak acuh
pada lansia yang disebabkan karna lansia merepotkan, bawel, dan
temperamen. Keluarga juga menyatakan bahwa faktor kurang
perhatian pada lansia karena kesibukan pekerjaan. Jika terdapat
masalah dalam keluarga, hal ini dapat menjadi pemicu stress bagi
lansia, misalnya kematian pasangan, konflik dalam keluarga
karena perebutan harta warisan, hubungan antara anak dan
pasangannya tidak harmonis, keluarga enggan merawat lansia
yang sakit sehingga lansia merasa menjadi beban keluarga dan
takut ditelantarkan, dan sebagainya. Peran keluarga sangat besar
dalam menjauhkan stress pada lansia. Keluarga memberikan
dukungan (informasi, finansial, emosional, fisik, sosial) yang
ditunjukkan melalui penghargaan, rasa hormat, rasa peduli,
perhatian dan pendengar yang baik, sangat besar pengaruhnya
dalam menjauhkan atau menghindarkan lansia dari stress.
d. Lingkungan
Stress juga dapat dipicu oleh hubungan sosial dengan orang lain
di sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti
stres adaptasi lingkungan baru, beberapa teman yang sudah tidak
ada lagi (meninggal dunia), penurunan fungsi indera pengelihatan
menyebabkan sulit mengenal tempat, penurunan muskuloskeletal
sehingga sulit berjalan dan sebagainya. Lansia juga bisa terkena
stress karena lingkungan tempat tinggalnya. Lingkungan yang
padat, macet, dan bising bisa menjadi sumber stress. Selain itu,
lingkungan yang kotor, buruk, penuh dengan pencemaran juga
dapat membuat merasa tidak nyaman dan pikiran selalu was-was
akan dampak buruk pencemaran pada kesehatannya, sehingga
lama-kelamaan dapat membuat lansia stress.
9
e. Ekomomi
Pada usia lansia beresiko memasuki tahap pensiun, pada tahap ini
lansia dapat mengalami penurunan kondisi keuangan yang dapat
menjadi pemicu stres bagi lansia. Apalagi adanya tuntutan untuk
pemenuhan nafkah keluarga. Jika lansia memilih bekerja, maka
pilihan pekerjaan yang tidak terlalu berat, tidak bertarget, tidak
bersaing, dan tidak ada deadline. Beberapa kegiatan pekerjaan
sangat baik bagi lansia, selain sehat berolahraga karena kegiatan
dalam bekerja, juga menambah pendapatan bagi keluarga apabila
hobi tersebut menghasilkan finansial.
3. Tahapan stres
Menurut Hidayat (2014) tahapan stres terbagi atas :
a. Tahap pertama. Tahap ini merupakan tahap stres yang paling
ringan dan biasanya ditandai dengan munculnya semangat yang
berlebih, penglihtan lebih “tajam” dari biasanya, dan merasa
mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya (namun
tanpa disadari cenderung energi dihabiskan dan timbulnya rasa
gugup yang berlebih).
b. Tahap kedua. Pada tahap ini, dampak stres yang semula
menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan
yang sering dikemukakan antara lain merasa letih sewaktu bangun
pagi dalam kondisi normal, badan (seharusnya terasa segar),
mudah lelah susah makan siang, cepat lelah menjelang sore,
sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung
berdebar-debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang, dan
tidak bisa santai.
c. Tahap ketiga. Jika tahap sters sebelumnya tidak di tanggapi
dengan memadai, maka keluhan akan semakin nyata, seperti
gangguan lambung dan usus (gastritis atau maag, diare),
ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan
10
pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun tengah malam dan
sukar kembali tidur), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.
d. Tahap keempat. Orang yang mengalami tahap-tahap stres diatas
ketika memeriksakan diri ke dokter seringkali dinyatakan tidak
sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ
tubuhnya. Pada kondisi berkelanjutan, gejala seperti ketidak
mampuan untuk melakukan aktivitas rutin karena perasaan bosan,
kehilangan semangat, terlalu lelah karena gangguan pola tidur,
kemampuan mengingat dan konsentrasi menurun, serta muncul
rasa takut dan cemas yang tidak jelas penyebabnya.
e. Tahap kelima, tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang
sangat, tidak mampu menyelesaikan ringan dan sederhana,
gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, serta semaking
meningkatnya rasa takut dan cemas.
f. Tahap keenam, tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya
ditandai dengan timbulnya rasa panik dan takut mati yang
mengakibatkan jantung berdetak semakin cepat, kesulitan untuk
bernapas, tubuh bergemetar dan berkeringat, dan adanya
kemungkinan terjadinya kolaps atau pingsan.
4. Tingkatan stres
Menurut (Nasir dan Muhith, 2011), tingkatan stres terbagi tiga antara
lain :
a. Stres ringan
Tingkat stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek
fisiologi. Stres ringan biasanya dialami oleh setiap individu,
kondisi yang dapat membuat seseorang waspada dan situasi dalam
kehidupan sehari hari dapat memicu terjadinya stres ringan. Situasi
ini tidak akan menimbulkan penyakit kecuali dihadapi secara terus
menerus.
11
b. Stres Sedang
Stres sedang biasanya terjadi lebih lama, beberapa jam hingga hari.
Pada tingkat ini respons yang dirasakan adalah gangguan pada
lambung dan usus, misalnya maag, buang air besar tidak teratur,
daya konsentrasi dan daya ingat menurun. Contoh stresor dari stres
sedang yaitu beban kerja berlebihan, anggota keluarga yang pergi
dalam waktu yang lama, mengharapkan pekerjaan yang baru.
c. Stres berat
Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Hal ini biasanya dirasakan pada stres berat
yaitu gangguan pencernaan berat, sesak napas, tremor, cemas,
perasaan takut yang meningkat, merasa bingung dan panik. Contoh
dari sters berat yaitu hubungan yang tidak harmonis, masalah
ekonomi, dan penyakit fisik yang lama.
B. Kepatuhan
1. Pengertian
Kepatuhan adalah taat mengikuti suatu rangkaian tindakan yang
dianjurkan atau yang disarankan oleh tenaga kesehatan pada seseorang
(Albery, 2011). Supadmi (2012) menyebutkan bahwa kepatuhan
merupakan tindakan pasien sesuai dengan ketentuan yang disarankan
oleh tenaga kesehatan profesional. Kepatuhan minum obat diartikan
12
sebagai perilaku pasien yang menaati semua nasehat dan petunjuk
yang dianjurkan oleh tenaga medis dalam mengkonsumsi obat,
meliputi keteraturan waktu dan cara minum obat, (Oktaviani, 2011)
13
oleh jenis kelamin, perempuan lebih sering mengobatkan dirinya
dibandingkan dengan laki-laki (Notoatmodjo, 2010).
b. Tingkat pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UU RI no. 20 tahun 2003)
c. Tingkat stres
Kepatuhan penderita hipertensi di Indonesia untuk berobat dan
kontrol cukup rendah. Semakin lama seseorang menderita
hipertensi dapat menjadi pemicu terjadinya stres akibat penyakit
yang dialami dan dapat perpengaruh pada tingkat kepatuhan dalam
pengobatan, hal ini menyebabkan kebanyakan penderita akan
merasa jenuh untuk berobat (Gama, 2014).
d. Tingkat pengetahuan tentang hipertensi
Penelitian yang dilakukan Ekarini (2011) menunjukan pengetahuan
berhubungan dengan tingkat kepatuhan pengobatan penderita
hipertensi (p=0,002). Semakin baik pengetahuan seseorang, maka
kesadaran untuk berobat ke pelayanan kesehatan juga semakin
baik.
e. Keterjangkauan Akses ke Pelayanan Kesehatan
perilaku dan usaha yang dilakukan dalam menghadapi kondisi
sakit, salah satu alasan untuk tidak bertindak karena fasilitas
kesehatan yang jauh jaraknya. Akses pelayanan kesehatan
merupakan tersedianya sarana kesehatan (seperti rumah sakit,
klinik, puskesmas), tersedianya tenaga kesehatan, dan tersedianya
obat-obatan (Depkes RI, 2012).
14
f. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan
terhadap penderita yang sakit. Hipertensi memerlukan pengobatan
seumur hidup, dukungan sosial dari orang lain sangat diperlukan
dalam menjalani pengobatanya. Dukungan dari keluarga dan
teman-teman dapat membantu seseorang dalam menjalankan
program-program kesehatan dan juga secara umum orang yang
menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka
butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih
mudah mengikuti nasehat medis (Suprianto, 2009)
g. Motivasi Berobat
Motivasi merupakan dorongan dari dalam diri manusia untuk
bertindak atau berperilaku (reasoning) seseorang untuk bertindak
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian motivasi
tidak terlepas dari kata kebutuhan atau keinginan. Motivasi pada
dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu
yang dihadapinya. (Notoatmodjo, 2010).
C. Lanjut Usia
1. Pengertian lansia
Menurut pasal 1 ayat (2),(3),(4), UU No. 13 tahun 1998 tentang kesehatan
dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun (Maryam, 2011). Lansia bukan penyakit namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan.
2. Tugas perkembangan lansia
Dalam Maryam, dkk (2011) terdapat enam tugas perkembangan lansia,
meliputi :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi menua
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun
15
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Memp ersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat
secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangannya
3. Klasifikasi Lansia
Siklus hidup manusia merupakan perjalanan hidup manusia sejak lahir
sampai meninggal dunia. Menurut WHO dalam Muhith & Siyoto (2016)
Klasifikasi pada lansia yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59
tahun.
b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (old), antara 60 - 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.
4. Proses menua
a. Definisi proses menua
Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normal nya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses
menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami semua makhluk
hidup (Muhith & Siyoto, 2016)
Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama
cepatnya. Ada kalanya orang belum tergolong lanjut usia (masih
mudah) tetapi mengalami kekurangan-kekurangan yang menyolok
atau diskrepasi (Nugroho, 2006). Menjadi tua merupakan kodrat yang
harus dijalani oleh semua insan di dunia. Namun, seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, proses penuaan dapat
16
diperlambat atau dicegah (smith, 2001). Jadi tua atau aging adalah
suatu proses hilangnya kemampuan jaringan secara perlahan-lahan
untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur
serta fungsi normalnya. Akibatnya, tubuh tidak dapat bertahan
terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut
(Cunnningham, 2003). Proses penuaan ini akan terjadi pada seluruh
organ tubuh, meliputi organ dalam tubuh, seperti jantung, paru-paru,
ginjal, indung telur, otak, dan lain-lain, juga organ terluar dan terluas
tubuh yaitu kulit (Yaar & Gilchrest, 2007).
17
maka akan mempengaruhi suatu sel dan akan terjadi
penuaan yang berakibat pada kematian.
2) Teori keterbatasan Hayflick (Hayflick Limit Theory)
Theori ini dikemukakan oleh Hayflik (1987), dalam teori ini
protein mengalami metabolisme tidak normal sehingga
banyak memproduksi sampah dalam sel dan kinerja
jaringan tidak dapat efektif dan efisien. Menurut Hayflik
dan Moorehead (1961) bahwa sel-sel mengaami perubahan
kemampuan reproduksi sesuai dengan bertambahnya usia.
Teori Hayflick menekankan bahwa perubahan kondisi fisik
pada manusia dipengaruhi oleh adanya kemampuan
reproduksi dan fungsional sel organ yang menurun sejalan
dengan bertambahnya usia.
3) Teori Pakai dan Usang (Wear and Tear Theory)
Dalam teori ini, dinyatakan bahwa sel-sel tetap ada
sepanjang hidup manakala sel-sel tersebut digunakan secara
terus menerus. Teori ini dikenalkan oleh Weisman (1891).
Weisman menyatakan bahwa kematian merupakan akibat
dari tidak dipergunakannya sel-sel karena dianggap tidak
diperlukan lagi dan tidak dapat meremajakan lagi sel-sel
tersebut secara mandiri.
4) Teori Imunitas (Immunity Theory)
Dalam teori ini penuaan dianggap oleh adanya penurunan
fungsi sistem imun. Perubahan itu lebih tampak secara
nyata pada Limposit-T, disamping perubahan juga terjadi
pada Limposit-B. Perubahan yang terjadi meliputi
penurunan sistem imun humoral, yang dapat menjadi faktor
predisposisi pada orang tua.
5) Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Christiansen dan Grzybowsky
(1993), yang menyatakan bahwa penuaan disebabkan
18
akumulasi kerusakan ireversibel akibat senyawa
pengoksidan. Radika bebas adalah produk metabolisme
selular yang merupakan bagian molekul yang sangat reaktif.
Radikal bebas yang reaktif mampu merusak sel, termasuk
mitokondria yang akhirnya mampu menyebabkan cepatnya
kematian (apoptosis) sel yang menghambat proses
reproduksi sel.
6) Teori ikatan silang (Cross Linkage Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Oen (1993), teori ini
mengatakan bahwa manusia diibaratkan seperti mesin
sehingga perlu adanya perawatan. Penuaan merupakan hasil
dari penggunaan. J. Bjorksten (1942), menekankan pada
postulat bahwa proses menua terjadi sebagai akibat adanya
ikatan-ikatan dalam kimawi tubuh. Teori ini menyebutkan
bahwa secara normal, struktur molrkular dan sel diberikan
secara bersama-sama membentuk reaksi kimia.
19
dirinya sendiri. Mutasi somatik menyebabkan terjadinya
kelainan pada antigen permukaan sel.
2. Teori psikologis
Erikson, (1994) tentang perkembangan psikososial lansia
memasuki tahap integrity vs despair (integritas dan kekecawaan).
Masa ini dimulai pada usia 60 tahun, ketika seseorang mulai
meninggalkan masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap untuk
hidup lebih menyendiri. Tugas saat ini adalah mengembangkan
ego integrity (integritas diri), suatu rasa harga diri untuk tidak takut
mati karena telah melalui hidup dengan baik. Lawan dari integritas
diri adalah despair atau rasa putus asa, orang-orang yang putus asa
pada masa usia lanjut ini ditandai dengan adanya perasaan tidak
berguna pada diri mereka sendiri terhadap kegagalan mereka, cara
mereka menyia nyiakan hidup. Orang-orang ini sering penuh
amarah pada mereka yang juga gagal, menganggap itu hasil
kebodohan mereka sendiri.
3. Teori Sosial
a. Teori interaksi sosial (Social exchange Theori)
Menurut teori ini pada lansia terjadi penurunan kekuasaan dan
prestasi sehingga interaksi sosial mereka juga berkurang, yang
tersisa hanyalah hargadiri dan kemampuan mereka untuk
mengikuti perintah.
b. Teori penarikan diri (Disengagement theory)
Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat
kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan
menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Lansia mengalami
kehilangan ganda, yang meliputi, kehilangan peran, hambatan
kontak sosial, berkurangnya komitmen.
20
c. Teori aktivitas (Activity theory)
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
pada bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam
melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut
lebih penting dibandingkan kualitas dan aktivitas yang
dilakukan.
d. Teori keseimbangan
menurut teori ini setiap orang pasti berubah menjadi tua namun
kepribadian dasar dan pola prilaku individu tidak akan
mengalami perubahan. Pengalaman hidup seseorang pada suatu
saat merupakan gambaran kelak saat menjadi tua.
e. Teori subkultur
menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dari sub
kultur. Secara antropologis, berarti lansia memiliki norma dan
standar budaya sendiri. Standar dan norma budaya ini meliputi
perilaku, keyakinan, dan harapan yang membedakan lansia dari
kelompok lainnya.
5. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang menunjukan adanya
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu
tersebut tentang kehidupan.
21
Perubahan usia mempengaruhi tunika media yaitu peningkatan kolagen,
tunika media menipis dan mengerasnya serat elastin, sehingga pembuluh
darah kaku. Perubahan pada tunika media terutama terjadi di dalam
aorta, diameter lumen meningkat untuk mengkompensasi kakunya arteri
yang berkaitan dengan usia. Vena menjadi lebih tebal, lebih melebar, dan
kurang elastis dengan bertambahnya usia. Katup vena pada kaki
mengalami pembesaran sehingga menjadi kurang efisien dalam
mengembalikan darah ke jantung atau gangguan aliran balik vena
(Gioiella & Bevil, 1985).
D. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam
jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada
ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak
(menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat
pengobatan yang memadai, (Kemenkes RI, 2014).
22
2. Faktor yang mempengaruhi tekanan darah
Faktor yang mempengaruhi tekanan darah (Perry dan Potter, 2010),
antara lain :
a. Usia
Tekanan darah pada orang dewasa akan meningkat sesuai usia.
Tekanan darah optimal untuk dewasa usia paru baya adalah
dibawah 120/80 mmHg. Nilai 120-139/80-89 mmHg dianggap
sebagai prehipertensi (National High Blood Pressure Education
Progress, NHBPEP, 2013). Lansia biasanya mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik yang berhubungan dengan
elastisitas pembuluh darah yang menurun.
b. Stres
Kegelisahan, ketakutan, nyeri, dan stres emosional dapat
mengakibatan stimulus simpatis yang meningkatkan frekwansi
denyut jantung, curah jantung dan restitensi vaskular. Efek
simpatis ini meningkatkan tekanan darah. Kegelisahan
meningkatkan tekanan darah sebesar 30 mmHg.
c. Etnik
Insiden hipertensi pada ras Afrika Amerika lebih tinggi
dibandingkan dengan keturunan Eropa. Ras Afrika Amerika
cenderung menderita hipertensi yang lebih berat pada usia yang
lebih muda dan memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita
komplikasi seperti struk dan serangan jantung. Faktor genetik dan
lingkungan merupakan faktor yang cukup besar mempengaruhi.
Kematian yang berkaitan dengan hipertensi juga lebih tinggi pada
ras Afrika Amerika.
d. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan tekanan darah yang berarti antara remaja
pria dan wanita stelah pubertas, pria cenderung memiliki tekanan
darah yang lebih tinggi
23
3. Klasifikasi
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7, antara lain :
Tabel 2.1
24
c. Mual muntah
d. Detak jantung tak teratur
e. Sesak nafas
f. Kesemutan pada kaki dan tangan
g. Gelisah
h. Kelelahan
6. Komplikasi Hipertensi
Menurut Sharif (2012) komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
a. Penyakit pembuluh darah otak
1) Stroke
2) Perdarahan otak
3) Transient ischemic attack (TIA)
b. Penyakit jantung
1) Gagal jantung
2) Angina pectoris
3) Infark miocard acut (IMA)
c. Penyakit ginjal
b. Gagal ginjal
d. Penyakit mata
1) Perdarahan retina
2) Penebalan retina
3) Oedema pupil
7. Penatalaksanaan Hipertensi
25
1) Kebutuhan Gizi Seimbang
Modifikasi diet terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi. Dianjurkan untuk makan buah dan sayur 5 porsi
per-hari, karena cukup mengandung kalium yang dapat
menurunkan tekanan darah sistolik (TDS) 4,4 mmHg dan tekanan
darah diastolik (TDD) 2,5 mmHg. Asupan natrium hendaknya
dibatasi <100 mmol (2g)/hari serata dengan 5g (satu sendok teh
kecil) garam dapur, cara ini berhasil menurunkan TDS 3,7 mmHg
dan TDD 2 mmHg. Bagi pasien hipertensi, asupan natrium
dibatasi lebih rendah lagi, menjadi 1,5 g/hari atau 3,5 – 4 g
garam/hari. Walaupun tidak semua pasien hipertensi sensitif
terhadap natrium, namun pembatasan asupan natrium dapat
membantu terapi farmakologi menurunkan tekanan darah dan
menurunkan risiko penyakit kardioserebrovaskuler (Depkes RI,
2013).
2) Mempertahankan IMT
Insiden hipertensi meningkat 54 sampai 142 % pada penderita
yang gemuk. Penerunun berat badan dalam waktu yang pendek
dalam jumlah yang cukup besar biasanya disertai dengan
penurunan tekanan darah (Suwarso, 2010). Hubungan erat antara
obesitas dengan hipertensi telah banyak dilaporkan. Upayakan
dalam mempertahankan IMT pada batas normal 18,5-22,9 kg/m2,
lingkar pinggang <90 cm untuk laki-laki atau <80 cm untuk
perempuan dapat menurunkan resiko terjadinya hipertensi
(Depkes RI, 2013).
3) Melakukan olahraga teratur
Olahraga isotonik seperti berjalan kaki, jogging, berenang dan
bersepeda berperan dalam penurunan tekanan darah. Aktivitas
fisik yang cukup dan teratur membuat jantung lebih kuat. Hal
tersebut berperan pada penurunan Total Peripher Resistance yang
bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah. Melakukan
26
aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik sekitar 5-
10 mmHg. Olahraga secara teratur juga berperan dalam
menurunkan jumlah dan dosis obat anti hipertensi (Agnesia,
2012).Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama
30-45 menit (sejauh 3 kilometer) lima kali per-minggu, dapat
menurunkan TDS 4 mmHg dan TDD 2,5 mmHg. Berbagai cara
relaksasi seperti meditasi, yoga, atau hipnosis dapat mengontrol
sistem syaraf, sehingga menurunkan tekanan darah (Depkes RI
2013).
4) Berhenti Merokok
Merokok sangat besar perananya dalam meningkatkan tekanan
darah, hal tersebut disebabkan oleh nikotin yang terdapat didalam
rokok yang memicu hormon adrenalin yang menyebabkan
tekanan darah meningkat. Tekanan darah akan turun secara
perlahan dengan berhenti merokok. Selain itu merokok dapat
menyebabkan obat yang dikonsumsi tidakbekerja secara optimal
(Agnesia, 2012). Tidak ada cara yang benar-benar efektif untuk
memberhentikan kebiasaan merokok. Beberapa metode yang
secara umum dicoba adalah menggunakan permen yang
mengandung nikotin, kelompok program, dan
konsultasi/konseling ke klinik berhenti merokok (Depkes RI,
2013).
b. Terapi Farmakologis
Berdasarkan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular dalam
Kemenkes RI, (2016), Prinsip Pemberian Obat Anti hipertensi
meliputi :
a. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan
pengobatan penyebabnya.
27
b. Pengobatan hipertensi essensial ditujukan untuk menurunkan
tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan
mengurangi timbulnya komplikasi.
c. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan
obat anti hipertensi.
d. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang,
bahkan pengobatan seumur hidup.
e. Jika tekanan darah terkontrol maka pemberian obat
antihipertensi di Puskesmas dapat diberikan disaat kontrol
dengan catatan obat yang diberikan untuk pemakaian selama 30
hari bila tanpa keluhan baru.
f. Untuk penderita hipertensi yang baru didiagnosis (kunjungan
pertama) maka diperlukan kontrol ulang disarankan 4 kali dalam
sebulan atau seminggu sekali, apabila tekanan darah sitolik >160
mmHg atau diastolik >100 mmHg sebaiknya diberikan terapi
kombinasi setelah kunjungan kedua (dalam dua minggu)
tekanan darah tidak dapat dikontrol.
28
hipertensi. Bila dilakukan terapi kombinasi, diuretik menjadi
salah satu terapi yang direkomendasikan.
2) Penghambat beta (Beta Blocker)
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui
penurunan laju nadi dan daya pompa jantung. Obat golongan
beta blocker dapat menurunkan risiko penyakit jantung
koroner, prevensi terhadap serangan infark miokard ulangan
dan gagal jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada pende
rita asma bronkial. Pemakaian pada penderita diabetes harus
hari-hari, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (dimana
kadar gula darah turun menjadi sangat rendah sehingga dapat
membahayakan penderitanya).
3) Golongan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE)
dan angiotensin receptor blocker (ARB)
Penghambat angiotensin converting enzyme (ACE
inhibitor/ACEI) menghambat kerja ACE sehingga perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokontriktor)
terganggu. Sedangkan angiotensin receptor blocker (ARB)
menghalangi ikatan zat angiotensi II pada reseptornya. Baik
ACEI maupun ARB mempunyai efek vasodilatasi, sehingga
meringankan beban jantung. ACEI dan ARB diindikasikan
terutama pada pasien hipertensi dengan gagal jantung, diabetes
melitus, dan penyakit ginjal kronik. Menurut penelitian ON
TARGET, efektifitas ARB sama dengan ACEI. Secara umum,
ACEI dan ARB ditoleransi dengan baik dan efek sampinya
jarang. Obat-obatan yang termasuk golongan ACEI adalah
valsartan, lisinopril, dan ramipril
4) Golongan Calcium Channel Blockers (CCB)
Golongan Calcium Channel Blockers (CCB) menghambat
masuknya kalsium kedalam sel pembuluh darah arteri,
sehingga menyebabkan dilatasi arteri koroner dan juga arteri
29
perifer. Ada dua kelompok obat CCB, yaitu dihidropyridin dan
nondihidropyridin, keduanya efektif untuk pengobatan
hipertensi pada usia lanjut. Secara keseluruhan, CCB
diindikasikan untuk pasien yang memiliki faktor risiko tinggi
penyakit koroner dan untuk pasien-pasien diabetes. Calcium
Channel Blockers dengan durasi kerja pendek tidak
direkomendasikan pada praktek klinis.
30
F. Kerangka Teori
Skema 2.1
- Jenis kelamin
- Tingkat pendidikan
- Tingkat stres
- Dukungan keluarga
- Motivasi berobat
31
G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu penelitian. Setelah
melalui pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesis ini dapat benar atau
salah, dapat diterima atau ditolak (Notoatmodjo, 2010). Hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
HA :
Terdapat hubungan antara tingkat stres dengan kepatuhan minum obat
pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay
HO :
Tidak terdapat hubungan antara tingkat stres dengan kepatuhan minum
obat pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna
Werdha Pakutandang Ciparay
32
BAB III
METODE PENELITAN
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan dalam bagan dibawah ini
Skema 3.1
B. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh secara
analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Pada penelitian ini
metode yang digunakan adalah korelasional yaitu penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya (Sylvia,
2011).
33
C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang
hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2018). Variabel
dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas (independent)
Variabel bebas merupakan variabel yang mempegaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau
terikat (Sugiyono, 2018). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
tingkat stress pada lanjut usia.
2. Variabel terikat (dependent)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2018).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan minum
obat pada lanjut usia hipertensi.
34
D. Definisi Operasional
Tabel 3.1
35
E. Populasi dan Sample
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan element yang akan dijadikan wilayah
generalisasi. Dalam hal ini populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas, objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2018). Populasi pada penelitian ini
adalah 111 orang lansia yang mempunyai penyakit hipertensi di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Untuk menentukan besarnya sampel menggunakan
rumus Slovin dengan pendekatan menggunakan teknik Sampling
Purposive, merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya (Sugiyono, 2018).
Rumus Slovin adalah rumus penentuan besarnya sampel (Nursalam,
2013) adalah :
N
n=
1+ N (d) ²
Keterangan :
N : jumlah populasi
36
Hasil :
N
n=
1+ N ( d) ²
111
n=
1+111(0,01)
111
n=
1+1,11
111
n=
2,11
n=52,6
n=53
F. Instrumen
Instrumen dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan lembar
kuesioner, yaitu :
1. Tingkat stress
Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan kuesioner perceived
stress scale (PSS) yang dikembangkan oleh Cohen, Kamarck, dan
37
Mermelstrein (1983), instrumen ini mengukur persepsi individu
terhadap stres. Masing masing item dalam skala ini didesain untuk
mendeteksi seberapa besar individu menemukan bahwa hal hal dalam
hidupnya tidak diprediksi (unpredictable), tidak terkontrol
(uncontrollable), dan beban berlebih (0verload). Terdapat 10
pernyataan dalam skala ini dengan skor Stres ringan : 1-14, Sres
sedang : 15-26, Stres berat : >26.
2. Kepatuhan minum obat
Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Morisky
Medication Adherence Scale (MMAS-8) merupakan kuesioner
pengembangan dari MMAS-4 yang pada tahun 1980 ditemukan oleh
Morisky sebagai penilaian terhadap perilaku minum obat. Dengan skor
kepatuhan tinggi memiliki nilai 7-8, kepatuhan sedang 5-6, dan
kepatuhan rendah 0-4. Dengan jumlah item 8 pertanyaan. Skala
MMAS-8 telah memiliki versi indonesia dan telah digunakan
diberbagai penelitian tentang kepatuhan minum obat.
38
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu yang menunjukan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010). Alat ukur dalam
penelitian ini:
a. Perceived Stress Scale (PSS)
Instrumen Tingkat stres tidak dilakukan uji validitas karena
instrumen yang digunakan sudah baku dan sudah pernah dipakai
dalam beberapa penelitian sebelumnya. Skala ini sudah melalui
uji validitas oleh Cohen, Kamarck, dan Mermelsrein (1983)
dengan hasil r dihitung (0,410-0,831) > r table (0,561). Di
Indonesia sudah dilakukan beberapa penelitian tentang PSS salah
satunya dilakukan oleh Hary (2017) hubungan antara kelekatan
terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau,
dengan hasil uji validitas > r table (0,672).
39
item pertanyaan dinyatakan valid, bila korelasinya di bawah 0,5
maka item pertanyaan dinyatakan tidak valid.
2. Uji Reliabilitas
a. Perceived Stress Scale (PSS)
Skala PSS memiliki nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.80
dilakukan oleh Cohen, Kamarck, & Mermelstein (1983). Dengan
demikian skala ini reliabel karena memiliki nilai koefisien Alpha
Cronbach mendekati 1.00. Hasil uji reliabilitas dalam penelitian
yang dilakukan oleh Hary (2017) dilakukan terhadap 80 orang
dengan hasil koefisien sebesar 0,81.
b. Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8)
Kuesioner MMAS-8 telah digunakan di beberapa penelitian di
Indonesia. Hasil analisa menunjukkan bahwa instrumen reliabel
dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,74 > 0,6 dilakukan oleh
Morisky (1980) dalam Validity and reability of Morisky
Medication Adherence Scale 8 to measure statin adherence among
military pilots. Penelitian tentang MMAS-8 dilakukan oleh Rosyida
(2015) kepatuhan pasien pada penggunaan obat antidiabetes
dengan metode Pill-Count dan MMAS-8 dipuskesmas kedurus
surabaya, hasil analisa menunjukan bahwa instrumen reliabel
dengan koefisien reabilitas sebesar 0,66.
40
barat, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dan Balai perlindungan
sosial tresna werdha pakutandang ciparay.
b. Melakukan studi pendahuluan di balai perlindungan sosial tresna
werdha pakutandang ciparay.
2. Tahap Pelaksanaan
b. Setelah peneliti mendapatkan perizinan peneliti melakukan
wawancara dengan kepala panti dan perawat diruangan
c. Peneliti melakukan skrining lansia yang mengalami hipertensi
dan melakukan tes SPMSQ
d. Peneliti membagikan kuesioner penelitian kepada lansia dengan
dibantu rekan, bagi lansia yang tidak bisa membaca peneliti
membantu membacakan pertanyaan kuesioner
3. Tahap Akhir
Data yang telah didapatkan kemudian diolah dan dianalisis dengan
cara membandingkan antara tingkat stres dengan kepatuhan minum
obat. Setelah itu disusun dalam bentuk laporan akhir penelitian berupa
skripsi. Selanjutnya, sidang skripsi untuk mempertanggung jawabkan
hasil penelitian, revisi skripsi, serta penggandaan skripsi.
41
c. Processing/ Entry data
Setelah data di coding maka langkah selanjutnya adalah melakukan
entry data dari angket kedalam program computer yang menggunakan
paket program perangkat lunak komputer.
d. Cleaning
Kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada
kesalahan atau tidak. Tujuannya untuk mengetahui missing data dan
variasi data (Riyanto, 2011).
f
P= x 100 %
n
Keterangan :
P : Persentase
f : Frekuensi tiap kategori
n : Jumlah sampel
42
Dari hasil perhitungan diinterpretasikan berdasarkan kriteria
sebagai berikut (Sudjana, 2005) :
91% - 100% = Seluruh responden
80% - 90% = Hampir seluruh responden
60% - 79% = Sebagian besar dari seluruh responden
40% - 59% = Sebagian dari seluruh responden
20% - 39% = Sebagian kecil dari seluruh responden
1% - 19% = Hampir tidak ada dari seluruh responden
0% = Tidak ada dari seluruh responden
f
P= x 100 %
n
Keterangan :
P : Persentase
f : Frekuensi tiap kategori
n : Jumlah sampel
43
1% - 19% = Hampir tidak ada dari seluruh responden
0% = Tidak ada dari seluruh responden
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Analisis yang digunakan adalah
analisis korelasi untuk variabel berbentuk ordinal dan tidak harus
berdistribusi normal. Rumus yang digunakan menggunakan korelasi
spearman rho yaitu mencari hubungan atau menguji signifikan bila
masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal
(Sugiyono, 2018). sebagai berikut.
Rumus:
Keterangan :
44
negativ antara variabel independen dan variabel dependen. dengan kata
lain, tanda “+” dan “-“ menunjukkan arah hubungan diantara variabel
yang sedang dioperasionalkan. Uji signifikasi spearman menggunakan
Uji Z karena distribusi spearman mendekati distribusi
normal.Kekuatan hubungan antar variabel ditunjukkan melalui nilai
korelasi. Berikut adalah table nilai korelasi beserta makna nilai
tersebut :
Tabel 3.2
Nilai Makna
J. Etika Penelitian
Etika penelitian berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Komisi Etik Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan adalah prinsip atau kaidah dasar yang baru
diterapkan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan yang
meliputi menghormati harkat martabat manusia (respect for person). Prinsip
berbuat baik (beneficence), dan tidak merugikan (non-maleficence), dan
prinsip keadilan (justice). (Permenkes, 2016).
Dalam penelitian peneliti perlu menjaga dan memperhatikan unsur-unsur yang
terkandung dalam penelitian (Notoatmodjo, 2012):
45
a. Peneliti memberi informasi secara lisan dan tertulis dalam lembar
permohonan kesediaan responden tentang tujuan penelitian yang akan
dilaksanakan (informed consent).
b. Responden sepenuhnya mempunyai hak-hak dalam pengambilan
keputusan untuk berpartisipasi menjadi responden atau tidak (autonomy).
c. Peneliti selalu berupaya agar segala tindakan baik metode dan konsep
yang diberikan terhadap responden mengandung prinsip kebaikan
(beneficence).
d. Peneliti menjamin bahwa penelitian tidak mengandung unsur
membahayakan, merugikan atau mengancam jiwa responden (non-
maleficence).
e. Peneliti menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden
(confidentiality).
46
L. Rencana Pelaksanaan
Tabel 3.3
KET
WAKTU
N .
KEGIATAN
O MARET APRIL MEI JUNI JULI
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 CARA PENYUSUNAN PROPOSAL √
2 PENGAJUAN JUDUL √ √
√
3 PENGAJUAN PROPOSAL √ √ √ √ √ √ √
4 SEMINAR PROPOSAL √ √
5 PROSES PENELITIAN √ √
PENULISAN LAPORAN HASIL
6 √
PENELITIAN √ √
7 SIDANG SKRIPSI √
(David Fransisco)
47
BAB IV
Bab ini akan menguraikan hasil dan pembahasan penelitian dengan menentukan
frekuensi dan presentasi, kemudian analisis untuk melihat ada hubungan antara
dua variabel yaitu variabel tingkat stres dan variabel tingkat kepatuhan minum
obat pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay, yang dilakukan pada bulan maret sampai juli 2019.
A. Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Tingkat stres pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan
Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi tingkat stres pada lanjut usia hipertensi
di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang
Ciparay.
Total 53 100%
Berdasarkan tabel 4.1 tingkat stres pada lanjut usia hipertensi sebagian
besar dari seluruh responden mengalami stres sedang (62,2%) dan
hampir tidak ada dari responden tingkat stres berat (7,5%)
48
b. Tingkat kepatuhan minum obat hipertensi pada lanjut usia di
Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay
2. Analisa Bivariat
49
Hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat pada
lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay.
Tabel 4.3 Analisis hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan
minum obat pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan
Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
P
Tingkat Tingkat Kepatuhan Minum Obat Total
value
Stres Tinggi Sedang Rendah
F % F % F % F %
Ringan 6 37,5 6 37,5 4 25,0 16 30,1
Sedang 7 21,2 13 39,4 13 39,4 33 62,2 0,021
Berat 0 0,0 0 0,0 4 100 4 7,5
Total 13 24,5 19 35,8 21 39,6 53 100
B. Pembahasan
50
1. Tingkat stres pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Pakutandang Ciparay
51
buruk, penuh dengan pencemaran juga dapat menjadi pemicu terjadinya
stres (Hidayat, 2013).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Seke dkk,
2016) tentang Hubungan kejadian stres dengan penyakit hipertensi pada
lansia di balai penyantunan lanjut usia senja cearah kecamatan mapanget
kota manado. Denagan jumlah responden 50 orang didapatkan penderita
hipertensi sedang 80% dengan tingkat kejadian stres 80%. Hasil uji
statistik (p value = 0,021) yang artinya terdapat hubungan antara stres
dengan kejadian hipertensi pada lansia senja cearah kecamatan mapanget
kota manado.
52
dirasakan adalah gangguan pada lambung dan usus, misalnya maag,
buang air besar tidak teratur, daya konsentrasi dan daya ingat menurun.
Stres yang dialami lansia bergantung pada mekanisme koping lansia
bagaimana lansia tersebut mengaasi masalah dan dampak dari stres
terhadap dirinya sendiri.
53
yang menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka
butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah
mengikuti nasehat medis (Suprianto, 2009). Semakin lama seseorang
menderita hipertensi dapat menjadi pemicu terjadinya stres akibat
penyakit yang dialami dan dapat perpengaruh pada tingkat kepatuhan
dalam pengobatan, hal ini menyebabkan kebanyakan penderita akan
merasa jenuh untuk berobat (Gama, 2014).
54
seluruh responden tingkat kepatuhan minum obat rendah (89,8%), hal ini
menunjukan ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pasien hipertensi lansia di wilayah kerja puskesmas sungai
cuka kabupaten tanah laut.
Stres adalah keadaan yang membuat tegang yang terjadi ketika seseorang
mendapatkan masalah atau tantangan dan belum mendapatkan jalan
keluarnya atau banyak pikiran yang menggangu seseorang terhadap
sesuatu yang akan dilakukannya (Wayan dkk, 2017). Hipertensi
merupakan penyakit seumur hidup yang tidak bisa disembuhkan secara
permanen. Penatalaksanaan hipertensi bertumpu pada pengobatan
farmakologi dan non farmakologi. Pengobatan farmakologi hipertensi
membutuhkan periode pengobatan jangka panjang sehingga beresiko
mengalami ketidak patuhan (Nopitasari, 2018). Salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat pada lanjut usia hipertensi
adalah tingkat stres, semakin lama seseorang menderita hipertensi dapat
menjadi pemicu terjadinya stres akibat penyakit yang dialami, hal ini
dapat menjadi salah satu penyebab penderita tidak patuh dalam
pengobatan (Gama, 2014).
55
Hasil penelitian ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh puspita
(2016) tentang “Faktor faktor yang berhubungan dengan kepatuahan
pengobatan hipertensi pada lansia binaan puskesmas klungkung 1”
didapatkan hasil lansia yang memiliki stres (68,1%) tidak patuh dan
(31,9%) patuh dalam melakukan pengobatan dari 97 responden. Dengan
hasil Chi-square (p velue = 0,002 < 0,05). Menunjukan ada hubungan
antara tingkat kepatuhan minum obat dengan kejadian stes pada lansia
hipertensi.
56
BAB V
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambill kesimpulan sebagai
berikut :
1. Sebagian kecil dari seluruh responden (30,1%) dengan tingkat stres
ringan, Sebagian besar dari seluruh responden (62,2%) dengan tingkat
stres sedang, dan Hampir tidak ada dari seluruh responden (7,5%)
dengan tingkat stres berat.
2. Sebagian kecil dari seluruh responden (24,5%) dengan tingkat
kepatuhan tinggi, Sebagian kecil dari seluruh responden (35,8%)
dengan tingkat kepatuhan sedang, dan Sebagian dari seluruh responden
(39,6%) dengan tingkat kepatuhan rendah.
3. Terdapat hubungan antara tingkat stres dengan tingkat kepatuhan
minum obat lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna
Werdha Pakutandang Ciparay. Dengan P value 0,021 < 0,05.
B. Saran
Sebagai tindak lanjut dari hasil penetilian, maka adapun saran yang dapat
penulis sampaikan yaitu sebagai berikut:
a. Bagi institusi pendidikan
Dapat menjadi acuan dalam melakukan pengabdian masyarakat
terkait penyuluhan bagaimana mengendalikan stres pada lansia dan
pendidikan kesehatan terkait kepatuhan minum obat pada lansia
hipertensi di BPSTW Pakutandang Ciparay
57
b. Bagi panti werdha
Dapat melakukan pendidikan kesehatan terkait kepatuhan minum
obat pada lansia hipertensi, diharapkan dapat merancang kegiatan
yang dapat mengurangi tingkat stres pada lansia di setiap wisma di
BPSTW Pakutandang Ciparay
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada lanjut usia di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
58