Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang lanjut usia menyebutkan
bahwa umur 60 tahun adalah usia tua. Proses menua dan lanjut usia
merupakan proses alami yang dialami oleh setiap orang (KemenKes RI,
2014). Di kawasan Asia Tenggara populasi Lansia sebesar 8% atau sekitar
142 juta jiwa. Pada tahun 2010 jumlah Lansia (9,77%) dan tahun 2020
diperkirakan jumlah lansia mencapai (11,34%). Jumlah lansia di Indonesia
pada tahun 2017 sebesar (8,97%), tahun 2018 sebesar (9,3%) dan pada
tahun 2025 diperkirakan sebesar (11,3%) (Depkes, 2017).

Data lansia di Indonesia pada tahun 2017, penduduk lansia mencapai 10%
dari total penduduk di Indonesia dan termasuk dalam lima besar negara
dengan jumlah lanjut usia terbanyak di dunia. Jumlah penduduk lansia di
Jawa barat pada tahun 2015 sebanyak 3,77 juta jiwa, meningkat menjadi
4,16 juta jiwa ditahun 2017 (Kemenkes RI, 2017). Berdasarkan hasil
Badan Pusat Statistik (BPS) kota Bandung tahun 2018, jumlah penduduk
lanjut usia di kota Bandung pada tahun 2016 sebesar 7,82 persen dari total
keseluruhan penduduk kota Bandung.

Kebijakan kementrian kesehatan dalam pelayanan kesehatan lanjut usia


bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia yang
berkualitas melalui penyediaan kesehatan yang ramah bagi lanjut usia
untuk mencapai lanjut usia yang berdayaguna bagi keluarga dan
masyarakat. Upaya yang dikembangkan untuk mendukung kebijakan
tersebut antara lain meningkatkan upaya kesehatan bagi lanjut usia
dipelayanan kesehatan dasar dengan pendekatan Pelayanan Santun lanjut
usia, meningkatkan upaya rujukan kesehatan bagi lanjut usia melalui

1
pengembangan Poliklinik Geriatri Terpadu di rumah sakit, dan
menyediakan sarana prasarana yang ramah bagi lanjut usia. Dalam acara
temu media yang dihadiri Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia
(PERGEMI), beberapa kegiatan yang dilakukan PERGEMI antara lain
membantu pemerintah dalam membantu kebijakan dalam pelayanan
kesehatan lanjut dan melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan pada
masyarakat dan kelompok usia lanjut, (Depkes, 2015).

Perubahan yang terjadi pada lansia adalah perubahan proses penuaan yang
ditandai dengan tahapan tahapan menurunnya berbagai fungsi organ
tubuh, dengan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan
penyakit. Masalah kesehatan lansia terutama yang berhubungan dengan
proses penuaan adalah penyakit degeneratif yang semakin meningkat
(Kemenkes RI, 2013).

Perubahan yang terjadi akibat proses menua salah satunya adalah


perubahan sistem kardiovaskuler dimana katup jantung menebal dan kaku,
mengakibatkan elastisitas pembuluh darah menurun, sehingga terjadi
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer yang menyebabkan lansia
mengalami peningkatan tekanan darah (Maryam dkk, 2008). Hipertensi
termasuk peringkat pertama dari 10 penyebab rawat jalan pada kelompok
lanjut usia (Buletin lansia, 2013). Komplikasi dari hipertensi antara lain
stroke, transient ischemic attack (TIA), gagal jantung, infark miokart akut
(IMA) Sarif (2012).

Penatalaksanaan hipertensi bertumpu pada pengobatan farmakologi dan


non farmakologi. Penatalaksanaan hipertensi dengan penggunaan obat
membutuhkan waktu yang lama sehingga membuat banyak pasien yang
tidak patuh dalam menjalani pengobatan yang menyebabkan tidak
terkontrolnya tekanan darah. Salah satu faktor yang mempengaruhi

2
tekanan darah pasien hipertensi yaitu, tingkat kepatuhan minum obat
(Nopitasari, 2018).

Kepatuhan minum obat diartikan sebagai perilaku pasien yang menaati


semua nasehat dan petunjuk yang dianjurkan oleh tenaga medis dalam
mengkonsumsi obat, meliputi keteraturan waktu dan cara minum obat,
sehingga merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
terapi, terutama untuk penyakit hipertensi (Oktaviani, 2011). Faktor yang
mempengaruhi kepatuhan minum obat pada lansia salah satunya adalah
tingkat stres. Stres merupakan keadaan yang membuat tegang yang terjadi
ketika seseorang mendapatkan masalah atau tantangan dan belum
mendapatkan jalan keluar yang menggangu seseorang terhadap aktifitas
yang akan dilakukannya (Wayan, 2017).

Perubahan fungsi fisiologis yang dialami lansia salah satunya dipengaruhi


oleh penyakit, faktor lingkungan dan dukungan keluarga. Perubahan
tersebut dapat mempengaruhi perilaku lansia dan dapat menyebabkan
stres. Respons terhadap stres pada lansia berbeda beda tergantung
bagaimana lansia tersebut menanganinya. Lansia yang rentan terhadap
stress salah satunya lansia dengan penyakit degeneratif salah satunya
hipertensi (Hidayah 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Seke dkk (2016) mengenai Hubungan


kejadian stres dengan penyakit hipertensi pada lansia di balai penyantunan
lanjut usia senja cearah kecamatan mapanget kota manado. Denagan
jumlah responden 50 orang didapatkan penderita hipertensi 80% dengan
kejadian stres 80%. Hasil uji statistik (p value = 0,021) yang artinya
terdapat hubungan antara stres dengan kejadian hipertensi pada lansia
senja cearah kecamatan mapanget kota manado.

3
Penelitian lain yang dilakukan oleh Susanto (2016) tentang Hubungan
dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien hipertensi lansia
di wilayah kerja puskesmas sungai cuka kabupaten tanah laut. Dengan
jumlah responden 164 orang, dengan hasil menunjukan ada hubungan
antara dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat pasien hipertensi
lansia di wilayah kerja puskesmas sungai cuka kabupaten tanah laut.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada 29 mei 2019, yang dilakukan


terhadap perawat yang bertugas di Balai Perlindungan Sosial Tresna
Werdha (BPSTW) pakutandang ciparay didapatkan 111 orang lansia
menderita penyakit hipertensi dan 6 orang lansia menderita stroke dari 146
orang lansia dengan umur 60 tahun keatas. Lansia yang mengkonsumsi
obat hipertensi sebanyak 111 orang dalam jangka waktu yang lama dan
untuk pemberian obat diberikan untuk diminum selama 3 hari. Masalah
yang dialami terkait dengan perilaku kepatuhan minum obat antara lain
lansia merasa jenuh dan tidak patuh dalam pengobatan. Faktor yang
mempengaruhi antara lain, lamanya menderita hipertensi, tidak adekuatnya
dukungan keluarga, faktor lingkungan, dan antara teman di satu wisma,
yang menyebabkan terjadinya stres pada lansia. Kegiatan yang dilakukan
di BPSTW Ciparay meliputi diadakan senam setiap pagi 3 kali dalam
seminggu, kegiatan keagamaan, kesenian, pendidikan kesehatan dan
terdapat klinik untuk mengontrol kesehatan lansia di BPSTW Ciparay.

Dari hasil wawancara pada petugas kesehatan dan lansia yang ada di Balai
Perlindungan Sosial Tresana Werdha Pakutandang Ciparay, penyakit
hipertensi yang dialami lansia sudah diderita sejak lama, dari faktor
keluarga, untuk keluarga yang datang hanya beberapa saja dalam jangka
waktu yang lama dikarenakan sebagian besar lansia yang ada disana
datang dari keluarga yang tidak mampu. faktor lingkungan, sebagian
lansia belum bisa beradaptasi dikarenakan berada di lingkungan baru dan
jauh dari keluarga. Hal tersebut dapat memicu terjadinya stres, tingkat

4
stres terbagi menjadi tiga yaitu stres ringan, stres sedang, dan stres berat.
Stres yang dialami lansia bergantung pada lansia itu sendiri bagaimana
lansia tersebut mengaasi masalah dan dampak dari stres terhadap dirinya
sendiri.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan


penelitian untuk mengetahiu hubungan tingkat stres dengan kepauhan
minum obat pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Pakutandang Ciparay

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penelitian yaitu
“Adakah hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat
pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay?”.

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara tingkat stres dengan tingkat kepatuhan
minum obat penderita hipertensi pada lanjut usia di Balai Perlindungan
Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi tingkat stres pada lanjut usia di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
b. Mengidentifikasi tingkat kepatuhan pengobatan pada lanjut usia di
Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
c. Menganalisa hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan
minum obat penderita hipertensi pada lanjut usia di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.

D. Manfaat

5
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi atau
referensi dalam pengembangan ilmu keperawatan gerontic terkait
dengan tingkat stres dan kepatuhan minum obat pada lanjut usia
hipertensi.

2. Manfaat praktis
a. Bagi institusi pendidikan
Diharapkan dapat menambah referensi dan juga dapat menjadi
bahan untuk menambah wawasan ataupun informasi mengenai
hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat pada
lanjut usia hipertensi dan dapat melakukan pengabdian masyarakat
terkait penyuluhan bagaimana mengendalikan stres pada lansia
b. Bagi panti werdha
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi mengenai
tingkat stres dan tingkat kepatuhan minum obat pada lansia
hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay.
c. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi sunber informasi dan wawasan
bagi peneliti dalam mengembangkan penelitian selanjutnya terkait
faktor faktor yang berhubungan dengan tingkat stres pada lanjut
usia hipertensi di BPSTW Pakutandang Ciparay

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Stres
1. Pengertian Stres
Stres adalah keadaan yang membuat tegang yang terjadi ketika
seseorang mendapatkan masalah atau tantangan dan belum
mendapatkan jalan keluarnya atau banyak pikiran yang menggangu
seseorang terhadap sesuatu yang akan dilakukannya, Wayan, dkk
(2017). Situasi yang menuntut tersebut dipandang sebagai beban atau
melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres adalah
segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang dapat mengganggu
keseimbangan seseorang (Maramis, 2005). Dari pernyataan ini, faktor
penting yang ditekankan adalah adaptasi agar keseimbangan selalu
terjaga didalam diri kita.

2. Penyebab terjadinya stress pada lanjut usia


Menurut Hidayat (2013) terdapat lima faktor penyebab terjadinya stres
pada lansia, antara lain :
a. Kondisi kesehatan fisik
Proses penuaan mengakibatkan perubahan (penurunan) struktur
dan fisiologis pada lanjut usia seperti : penglihatan, pendengaran,
sistem paru, persendian tulang. Seiring dengan penurunan fungsi
fisiologis tersebut, ketahanan tubuh lansia pun semakin menurun
sehingga terjangkit berbagai penyakit. Penurunan kemampuan
fisik ini dapat menyebabkan lansia menjadi stress, yang dulunya
semua pekerjaan bisa dilakukan sendirian, kini terkadang harus
dibantu orang lain. Perasaan membebani orang lain inilah yang
dapat menyebabkan stress.

7
Lansia yang menderita penyakit dapat mengakibatkan perubahan
fungsi fisiologis pada orang yang menderitanya. Perubahan fungsi
tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang dapat
menyebabkan stress pada kaum lansia yang mengalaminya.
Macam perubahan fungsi fisiologis yang dialami seseorang
tergantung pada penyakit yang dideritanya. Semakin sehat
jasmani lansia semakin jarang ia terkena stress, dan sebaliknya,
semakin mundur kesehatannya, maka semakin mudah lansia itu
terkena stress. Para lansia yang rentan terhadap stress misalnya
lansia dengan penyakit degeneratif, lansia yang menjalani
perawatan lama di rumah sakit, lansia dengan keluhan somatis
kronis, lansia dengan imobilisasi berkepanjangan serta lansia
dengan isolasi sosial.
b. Kondisi psikologi
Kondisi psikologis lansia, misalnya pengalaman, sifat, jenis
kepribadian dan cara pandang. dapat berpengaruh dalam
menghadapi stress. Cara pandang lansia yang positif dalam
menghadapi masalah, dapat menyelesaikan masalah tersebut
melalui proses mekanisme penyelesaian yang positif pula.
Berorientasi pada masalah, selalu mencari jalan tengah,
berdasarkan pertimbangan pengalaman yang baik maupun kurang
baik. Orang yang selalu menyikapi positif segala tekanan hidup
akan kecil resiko terkena stress. Semakin luas dan semakin tinggi
harapan seseorang tentang hidup (optimis), berdampak pada sikap
yang bijaksana, menerima apa yang telah diberikan Tuhan
kepadanya (pasrah), menunjukkan kasih sayang kepada sesama,
dengan demikian lansia mampu menentramkan hati dan
menjernihkan pikiran sehingga akan semakin jauh dari stress.

8
c. Keluarga
Lansia sangat membutuhkan peran besar keluarga dalam
menjauhkan atau menghindari stress. Kurangnya perhatian pada
lansia dipersepsikan sebagai sikap mengabaikan. Acuh tak acuh
pada lansia yang disebabkan karna lansia merepotkan, bawel, dan
temperamen. Keluarga juga menyatakan bahwa faktor kurang
perhatian pada lansia karena kesibukan pekerjaan. Jika terdapat
masalah dalam keluarga, hal ini dapat menjadi pemicu stress bagi
lansia, misalnya kematian pasangan, konflik dalam keluarga
karena perebutan harta warisan, hubungan antara anak dan
pasangannya tidak harmonis, keluarga enggan merawat lansia
yang sakit sehingga lansia merasa menjadi beban keluarga dan
takut ditelantarkan, dan sebagainya. Peran keluarga sangat besar
dalam menjauhkan stress pada lansia. Keluarga memberikan
dukungan (informasi, finansial, emosional, fisik, sosial) yang
ditunjukkan melalui penghargaan, rasa hormat, rasa peduli,
perhatian dan pendengar yang baik, sangat besar pengaruhnya
dalam menjauhkan atau menghindarkan lansia dari stress.
d. Lingkungan
Stress juga dapat dipicu oleh hubungan sosial dengan orang lain
di sekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya. Contohnya seperti
stres adaptasi lingkungan baru, beberapa teman yang sudah tidak
ada lagi (meninggal dunia), penurunan fungsi indera pengelihatan
menyebabkan sulit mengenal tempat, penurunan muskuloskeletal
sehingga sulit berjalan dan sebagainya. Lansia juga bisa terkena
stress karena lingkungan tempat tinggalnya. Lingkungan yang
padat, macet, dan bising bisa menjadi sumber stress. Selain itu,
lingkungan yang kotor, buruk, penuh dengan pencemaran juga
dapat membuat merasa tidak nyaman dan pikiran selalu was-was
akan dampak buruk pencemaran pada kesehatannya, sehingga
lama-kelamaan dapat membuat lansia stress.

9
e. Ekomomi
Pada usia lansia beresiko memasuki tahap pensiun, pada tahap ini
lansia dapat mengalami penurunan kondisi keuangan yang dapat
menjadi pemicu stres bagi lansia. Apalagi adanya tuntutan untuk
pemenuhan nafkah keluarga. Jika lansia memilih bekerja, maka
pilihan pekerjaan yang tidak terlalu berat, tidak bertarget, tidak
bersaing, dan tidak ada deadline. Beberapa kegiatan pekerjaan
sangat baik bagi lansia, selain sehat berolahraga karena kegiatan
dalam bekerja, juga menambah pendapatan bagi keluarga apabila
hobi tersebut menghasilkan finansial.

3. Tahapan stres
Menurut Hidayat (2014) tahapan stres terbagi atas :
a. Tahap pertama. Tahap ini merupakan tahap stres yang paling
ringan dan biasanya ditandai dengan munculnya semangat yang
berlebih, penglihtan lebih “tajam” dari biasanya, dan merasa
mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya (namun
tanpa disadari cenderung energi dihabiskan dan timbulnya rasa
gugup yang berlebih).
b. Tahap kedua. Pada tahap ini, dampak stres yang semula
menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan
yang sering dikemukakan antara lain merasa letih sewaktu bangun
pagi dalam kondisi normal, badan (seharusnya terasa segar),
mudah lelah susah makan siang, cepat lelah menjelang sore,
sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung
berdebar-debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang, dan
tidak bisa santai.
c. Tahap ketiga. Jika tahap sters sebelumnya tidak di tanggapi
dengan memadai, maka keluhan akan semakin nyata, seperti
gangguan lambung dan usus (gastritis atau maag, diare),
ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan

10
pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun tengah malam dan
sukar kembali tidur), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.
d. Tahap keempat. Orang yang mengalami tahap-tahap stres diatas
ketika memeriksakan diri ke dokter seringkali dinyatakan tidak
sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ
tubuhnya. Pada kondisi berkelanjutan, gejala seperti ketidak
mampuan untuk melakukan aktivitas rutin karena perasaan bosan,
kehilangan semangat, terlalu lelah karena gangguan pola tidur,
kemampuan mengingat dan konsentrasi menurun, serta muncul
rasa takut dan cemas yang tidak jelas penyebabnya.
e. Tahap kelima, tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang
sangat, tidak mampu menyelesaikan ringan dan sederhana,
gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, serta semaking
meningkatnya rasa takut dan cemas.
f. Tahap keenam, tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya
ditandai dengan timbulnya rasa panik dan takut mati yang
mengakibatkan jantung berdetak semakin cepat, kesulitan untuk
bernapas, tubuh bergemetar dan berkeringat, dan adanya
kemungkinan terjadinya kolaps atau pingsan.

4. Tingkatan stres
Menurut (Nasir dan Muhith, 2011), tingkatan stres terbagi tiga antara
lain :
a. Stres ringan
Tingkat stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek
fisiologi. Stres ringan biasanya dialami oleh setiap individu,
kondisi yang dapat membuat seseorang waspada dan situasi dalam
kehidupan sehari hari dapat memicu terjadinya stres ringan. Situasi
ini tidak akan menimbulkan penyakit kecuali dihadapi secara terus
menerus.

11
b. Stres Sedang
Stres sedang biasanya terjadi lebih lama, beberapa jam hingga hari.
Pada tingkat ini respons yang dirasakan adalah gangguan pada
lambung dan usus, misalnya maag, buang air besar tidak teratur,
daya konsentrasi dan daya ingat menurun. Contoh stresor dari stres
sedang yaitu beban kerja berlebihan, anggota keluarga yang pergi
dalam waktu yang lama, mengharapkan pekerjaan yang baru.
c. Stres berat
Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai beberapa tahun. Hal ini biasanya dirasakan pada stres berat
yaitu gangguan pencernaan berat, sesak napas, tremor, cemas,
perasaan takut yang meningkat, merasa bingung dan panik. Contoh
dari sters berat yaitu hubungan yang tidak harmonis, masalah
ekonomi, dan penyakit fisik yang lama.

5. Pengukuran tingkat stres


Metode yang digunakan dalam pengukuran tingkat stres menggunakan
perceived stress scale (PSS) yang dikembangkan oleh Cohen,
Kamarck, dan Mermelstrein (1983), instrumen ini mengukur persepsi
individu terhadap stres. Masing masing item dalam skala ini didesain
untuk mendeteksi seberapa besar individu menemukan bahwa hal hal
dalam hidupnya tidak diprediksi (unpredictable), tidak terkontrol
(uncontrollable), dan beban berlebih (0verload).

B. Kepatuhan
1. Pengertian
Kepatuhan adalah taat mengikuti suatu rangkaian tindakan yang
dianjurkan atau yang disarankan oleh tenaga kesehatan pada seseorang
(Albery, 2011). Supadmi (2012) menyebutkan bahwa kepatuhan
merupakan tindakan pasien sesuai dengan ketentuan yang disarankan
oleh tenaga kesehatan profesional. Kepatuhan minum obat diartikan

12
sebagai perilaku pasien yang menaati semua nasehat dan petunjuk
yang dianjurkan oleh tenaga medis dalam mengkonsumsi obat,
meliputi keteraturan waktu dan cara minum obat, (Oktaviani, 2011)

2. Pengukuran Tingkat Kepatuhan


Keberhasilan pengobatan pada pasien hipertensi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu peran aktif pasien dan kesediaanya untuk
memeriksakan ke dokter sesuai dengan jadwal yang ditentukan serta
kepatuhan dalam meminum obat antihipertensi. Kepatuhan pasien
dalam mengonsumsi obat dapat diukur menggunakan berbagai metode,
salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode Modifed
Morisky Adherence Scale (MMAS-8) (Evadewi, 2013). Morisky secara
khusus membuat skala untuk mengukur kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat dengan delapan item yang berisi pernyataan-
pernyataan yang menunjukan frekuensi kelupaan dalam minum obat,
kesengajaan berhenti minum obat tanpa sepengetahuan dokter,
kemampuan untuk mengendalikan dirinya untuk tetap minum obat
(Morisky &Muntner, P, 2009).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat


Berdasarkan Puspita (2016), faktor yang mempengaruhi kepatuhan
pengobatan hipertensi meliputi :
a. Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang
secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki
dan perempuan (Rostyaningsih, 2013). Jenis kelamin berkaitan
dengan peran kehidupan dan perilaku yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat. Dalam hal menjaga kesehatan,
kaum perempuan lebih memperhatikan kesehatanya dibandingkan
dengan laki-laki. Perbedaan pola perilaku sakit juga dipengaruhi

13
oleh jenis kelamin, perempuan lebih sering mengobatkan dirinya
dibandingkan dengan laki-laki (Notoatmodjo, 2010).
b. Tingkat pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UU RI no. 20 tahun 2003)
c. Tingkat stres
Kepatuhan penderita hipertensi di Indonesia untuk berobat dan
kontrol cukup rendah. Semakin lama seseorang menderita
hipertensi dapat menjadi pemicu terjadinya stres akibat penyakit
yang dialami dan dapat perpengaruh pada tingkat kepatuhan dalam
pengobatan, hal ini menyebabkan kebanyakan penderita akan
merasa jenuh untuk berobat (Gama, 2014).
d. Tingkat pengetahuan tentang hipertensi
Penelitian yang dilakukan Ekarini (2011) menunjukan pengetahuan
berhubungan dengan tingkat kepatuhan pengobatan penderita
hipertensi (p=0,002). Semakin baik pengetahuan seseorang, maka
kesadaran untuk berobat ke pelayanan kesehatan juga semakin
baik.
e. Keterjangkauan Akses ke Pelayanan Kesehatan
perilaku dan usaha yang dilakukan dalam menghadapi kondisi
sakit, salah satu alasan untuk tidak bertindak karena fasilitas
kesehatan yang jauh jaraknya. Akses pelayanan kesehatan
merupakan tersedianya sarana kesehatan (seperti rumah sakit,
klinik, puskesmas), tersedianya tenaga kesehatan, dan tersedianya
obat-obatan (Depkes RI, 2012).

14
f. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga merupakan sikap, tindakan dan penerimaan
terhadap penderita yang sakit. Hipertensi memerlukan pengobatan
seumur hidup, dukungan sosial dari orang lain sangat diperlukan
dalam menjalani pengobatanya. Dukungan dari keluarga dan
teman-teman dapat membantu seseorang dalam menjalankan
program-program kesehatan dan juga secara umum orang yang
menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka
butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih
mudah mengikuti nasehat medis (Suprianto, 2009)
g. Motivasi Berobat
Motivasi merupakan dorongan dari dalam diri manusia untuk
bertindak atau berperilaku (reasoning) seseorang untuk bertindak
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian motivasi
tidak terlepas dari kata kebutuhan atau keinginan. Motivasi pada
dasarnya merupakan interaksi seseorang dengan situasi tertentu
yang dihadapinya. (Notoatmodjo, 2010).

C. Lanjut Usia
1. Pengertian lansia
Menurut pasal 1 ayat (2),(3),(4), UU No. 13 tahun 1998 tentang kesehatan
dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia
lebih dari 60 tahun (Maryam, 2011). Lansia bukan penyakit namun
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan
penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan.
2. Tugas perkembangan lansia
Dalam Maryam, dkk (2011) terdapat enam tugas perkembangan lansia,
meliputi :
a. Mempersiapkan diri untuk kondisi menua
b. Mempersiapkan diri untuk pensiun

15
c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya
d. Memp ersiapkan kehidupan baru
e. Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat
secara santai
f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangannya
3. Klasifikasi Lansia
Siklus hidup manusia merupakan perjalanan hidup manusia sejak lahir
sampai meninggal dunia. Menurut WHO dalam Muhith & Siyoto (2016)
Klasifikasi pada lansia yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59
tahun.
b. Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun.
c. Lanjut usia tua (old), antara 60 - 75 dan 90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun.

4. Proses menua
a. Definisi proses menua
Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normal nya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses
menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara
alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami semua makhluk
hidup (Muhith & Siyoto, 2016)

Proses menua setiap individu pada organ tubuh juga tidak sama
cepatnya. Ada kalanya orang belum tergolong lanjut usia (masih
mudah) tetapi mengalami kekurangan-kekurangan yang menyolok
atau diskrepasi (Nugroho, 2006). Menjadi tua merupakan kodrat yang
harus dijalani oleh semua insan di dunia. Namun, seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, proses penuaan dapat

16
diperlambat atau dicegah (smith, 2001). Jadi tua atau aging adalah
suatu proses hilangnya kemampuan jaringan secara perlahan-lahan
untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur
serta fungsi normalnya. Akibatnya, tubuh tidak dapat bertahan
terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut
(Cunnningham, 2003). Proses penuaan ini akan terjadi pada seluruh
organ tubuh, meliputi organ dalam tubuh, seperti jantung, paru-paru,
ginjal, indung telur, otak, dan lain-lain, juga organ terluar dan terluas
tubuh yaitu kulit (Yaar & Gilchrest, 2007).

b. Teori Proses Menua


Teori tentang penuaan dalam Sunaryo dkk, (2015), antara lain :
1. Teori biologis
Teori ini berfokus pada proses fisiologis dalam kehidupan
seseorang dari lahir sampai meninggal, teori ini lebih menekankan
pada perubahan kondisi tingkat struktural sel/organ tubuh. Teori
biologis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori stokastik dan
teori Nonstokastik..
a. Teori stokastik
Teori ini mengatakan bahwa penuaan merupakan suatu
kejadian yang terjadi secara acak atau random dan akumulasi
setiap waktu. Termasuk teori menua dalam lingkup proses
menua biologis dan bagian dari teori stokastik/stochastic
theories, antara lain :
1) Teori kesalahan (Error Theory)
Error Theory atau teori kesalahan yaitu didasarkan pada
gagasan manakala kesalahan dapat terjadi dalam rekaman
sintesis DNA. Kesalahan ini diabadikan dan secepatnya
didorong kearah sistem yang tidak berfungsi di tingkatan
yang optimal. Jika proses transkripsi dari DNA terganggu

17
maka akan mempengaruhi suatu sel dan akan terjadi
penuaan yang berakibat pada kematian.
2) Teori keterbatasan Hayflick (Hayflick Limit Theory)
Theori ini dikemukakan oleh Hayflik (1987), dalam teori ini
protein mengalami metabolisme tidak normal sehingga
banyak memproduksi sampah dalam sel dan kinerja
jaringan tidak dapat efektif dan efisien. Menurut Hayflik
dan Moorehead (1961) bahwa sel-sel mengaami perubahan
kemampuan reproduksi sesuai dengan bertambahnya usia.
Teori Hayflick menekankan bahwa perubahan kondisi fisik
pada manusia dipengaruhi oleh adanya kemampuan
reproduksi dan fungsional sel organ yang menurun sejalan
dengan bertambahnya usia.
3) Teori Pakai dan Usang (Wear and Tear Theory)
Dalam teori ini, dinyatakan bahwa sel-sel tetap ada
sepanjang hidup manakala sel-sel tersebut digunakan secara
terus menerus. Teori ini dikenalkan oleh Weisman (1891).
Weisman menyatakan bahwa kematian merupakan akibat
dari tidak dipergunakannya sel-sel karena dianggap tidak
diperlukan lagi dan tidak dapat meremajakan lagi sel-sel
tersebut secara mandiri.
4) Teori Imunitas (Immunity Theory)
Dalam teori ini penuaan dianggap oleh adanya penurunan
fungsi sistem imun. Perubahan itu lebih tampak secara
nyata pada Limposit-T, disamping perubahan juga terjadi
pada Limposit-B. Perubahan yang terjadi meliputi
penurunan sistem imun humoral, yang dapat menjadi faktor
predisposisi pada orang tua.
5) Teori Radikal Bebas (Free Radical Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Christiansen dan Grzybowsky
(1993), yang menyatakan bahwa penuaan disebabkan

18
akumulasi kerusakan ireversibel akibat senyawa
pengoksidan. Radika bebas adalah produk metabolisme
selular yang merupakan bagian molekul yang sangat reaktif.
Radikal bebas yang reaktif mampu merusak sel, termasuk
mitokondria yang akhirnya mampu menyebabkan cepatnya
kematian (apoptosis) sel yang menghambat proses
reproduksi sel.
6) Teori ikatan silang (Cross Linkage Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Oen (1993), teori ini
mengatakan bahwa manusia diibaratkan seperti mesin
sehingga perlu adanya perawatan. Penuaan merupakan hasil
dari penggunaan. J. Bjorksten (1942), menekankan pada
postulat bahwa proses menua terjadi sebagai akibat adanya
ikatan-ikatan dalam kimawi tubuh. Teori ini menyebutkan
bahwa secara normal, struktur molrkular dan sel diberikan
secara bersama-sama membentuk reaksi kimia.

b. Teori Nonstokastik/NonStochastic theories.


Teori ini dikemukakan oleh Jhon Wiley& Sons, dalam teori ini
dikatakan bahwa proses penuaan disesuaikan menurut waktu
tertentu. Termasuk teori menua dalam lingkup proses menua
biologis dan bagian dari teori Nonstokastik/NonStochastic
theories adalah Programmed Theory dan Immunity Theory.
1) Programmed Theory, dikemukakan oleh Baratawidjaya
K.G(1993). Teori ini mengemukakan bahwa pembelahan
sel dibatasi oleh waktu sehingga suatu saat tidak dapat
regenerasikan kembali.
2) Immunity Theory, dikemukakan oleh Adler W.H (1990).
Teori ini mengemukakan bahwa mutasi yang berulang
atau perubahan protein pascatransiasi, dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali

19
dirinya sendiri. Mutasi somatik menyebabkan terjadinya
kelainan pada antigen permukaan sel.

2. Teori psikologis
Erikson, (1994) tentang perkembangan psikososial lansia
memasuki tahap integrity vs despair (integritas dan kekecawaan).
Masa ini dimulai pada usia 60 tahun, ketika seseorang mulai
meninggalkan masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap untuk
hidup lebih menyendiri. Tugas saat ini adalah mengembangkan
ego integrity (integritas diri), suatu rasa harga diri untuk tidak takut
mati karena telah melalui hidup dengan baik. Lawan dari integritas
diri adalah despair atau rasa putus asa, orang-orang yang putus asa
pada masa usia lanjut ini ditandai dengan adanya perasaan tidak
berguna pada diri mereka sendiri terhadap kegagalan mereka, cara
mereka menyia nyiakan hidup. Orang-orang ini sering penuh
amarah pada mereka yang juga gagal, menganggap itu hasil
kebodohan mereka sendiri.

3. Teori Sosial
a. Teori interaksi sosial (Social exchange Theori)
Menurut teori ini pada lansia terjadi penurunan kekuasaan dan
prestasi sehingga interaksi sosial mereka juga berkurang, yang
tersisa hanyalah hargadiri dan kemampuan mereka untuk
mengikuti perintah.
b. Teori penarikan diri (Disengagement theory)
Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat
kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan
menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Lansia mengalami
kehilangan ganda, yang meliputi, kehilangan peran, hambatan
kontak sosial, berkurangnya komitmen.

20
c. Teori aktivitas (Activity theory)
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
pada bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam
melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut
lebih penting dibandingkan kualitas dan aktivitas yang
dilakukan.
d. Teori keseimbangan
menurut teori ini setiap orang pasti berubah menjadi tua namun
kepribadian dasar dan pola prilaku individu tidak akan
mengalami perubahan. Pengalaman hidup seseorang pada suatu
saat merupakan gambaran kelak saat menjadi tua.
e. Teori subkultur
menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dari sub
kultur. Secara antropologis, berarti lansia memiliki norma dan
standar budaya sendiri. Standar dan norma budaya ini meliputi
perilaku, keyakinan, dan harapan yang membedakan lansia dari
kelompok lainnya.
5. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang menunjukan adanya
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu
tersebut tentang kehidupan.

d. Perubahan sistem kardiovaskular


Perubahan usia mempengaruhi dua dari tiga lapisan pembuluh darah, dan
konsekuensi fungsional bervariasi, tergantung pada lapisan yang
terpengaruh. Perubahan pada lapisan pembuluh darah tersebut dapat
dicontohkan dalam perubahan tunika intima (lapisan terdalam) memiliki
akibat fungsional yang paling serius dalam perkembangan atcrosklerosis,
sedangkan perubahan di tunika media (lapisan tengah) berhubungan
dengan hipertensi.

21
Perubahan usia mempengaruhi tunika media yaitu peningkatan kolagen,
tunika media menipis dan mengerasnya serat elastin, sehingga pembuluh
darah kaku. Perubahan pada tunika media terutama terjadi di dalam
aorta, diameter lumen meningkat untuk mengkompensasi kakunya arteri
yang berkaitan dengan usia. Vena menjadi lebih tebal, lebih melebar, dan
kurang elastis dengan bertambahnya usia. Katup vena pada kaki
mengalami pembesaran sehingga menjadi kurang efisien dalam
mengembalikan darah ke jantung atau gangguan aliran balik vena
(Gioiella & Bevil, 1985).

Pada lansia, penyebab potensial penurunan curah jantung dapat dikaitkan


dengan ketidak seimbangan cairan, disritmia, dan penurunan
kontraktilitas akibat infark miokardium atau cedera miokardium (Harizi,
Bianco, & Alpert, 1988; Wong, Gold, Fukuyama, & Blanchette, 1989).
Perubahan terkait usia pada tingkat anatomik dan tingkat sel, dapat
dihubungkan dengan penurunan fungsi sistolik dan diastolik. Perubahan
pada pertautan silang jaringan ikat interseluler menyebabkan peningkatan
kekakuan miokardium. Hipertrofi ventrikel kiri dan penyusutan ruang
ventrikular kiri merupakan gambaran jantung yang menua, meskipun
tidak ada penyakit kardiovaskular (Maas, 2011).

D. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam
jangka waktu lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada
ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak
(menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat
pengobatan yang memadai, (Kemenkes RI, 2014).

22
2. Faktor yang mempengaruhi tekanan darah
Faktor yang mempengaruhi tekanan darah (Perry dan Potter, 2010),
antara lain :
a. Usia
Tekanan darah pada orang dewasa akan meningkat sesuai usia.
Tekanan darah optimal untuk dewasa usia paru baya adalah
dibawah 120/80 mmHg. Nilai 120-139/80-89 mmHg dianggap
sebagai prehipertensi (National High Blood Pressure Education
Progress, NHBPEP, 2013). Lansia biasanya mengalami
peningkatan tekanan darah sistolik yang berhubungan dengan
elastisitas pembuluh darah yang menurun.
b. Stres
Kegelisahan, ketakutan, nyeri, dan stres emosional dapat
mengakibatan stimulus simpatis yang meningkatkan frekwansi
denyut jantung, curah jantung dan restitensi vaskular. Efek
simpatis ini meningkatkan tekanan darah. Kegelisahan
meningkatkan tekanan darah sebesar 30 mmHg.
c. Etnik
Insiden hipertensi pada ras Afrika Amerika lebih tinggi
dibandingkan dengan keturunan Eropa. Ras Afrika Amerika
cenderung menderita hipertensi yang lebih berat pada usia yang
lebih muda dan memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita
komplikasi seperti struk dan serangan jantung. Faktor genetik dan
lingkungan merupakan faktor yang cukup besar mempengaruhi.
Kematian yang berkaitan dengan hipertensi juga lebih tinggi pada
ras Afrika Amerika.
d. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan tekanan darah yang berarti antara remaja
pria dan wanita stelah pubertas, pria cenderung memiliki tekanan
darah yang lebih tinggi

23
3. Klasifikasi
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7, antara lain :

Tabel 2.1

Klasifikasi pengukuran tekanan darah menurut JNC-VII

Tekaran darah sistolik Tekanan darah diastolik


Klasifikasi Tekanan Darah
(mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi ≥ 140 90
Hipertensi Stage 1 140-159 90 – 99
Hipertensi Stage 2 ≥ 160 ≥ 100
Sumber : JNC-VII (2009) pusat data dan informasi kemenkes RI 2013

4. Jenis jenis hipertensi pada lansia


Berdasarkan Martono dan Pranarka (2009) dalam klasifikasi dari JNC-
VII maka hipertensi pada usia lanjut dapat dibedakan :
a. Hipertensi sistolik (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-
12% penderita diatas usia 60 tahun, terutama pada wanita. Insidensi
meningkat dengan bertambahnya umur.
b. Hipertensi diastolik (Diastolic hypertension), terdapat pada 12-14%
penderita diatas usia 60 tahun, terutama pada pria. Insidensi
menurun dengan bertambahnya umur.
c. Hipertensi sistolik diastolik, terdapat pada 6-8% penderita usia >60
tahun, lebih banyak pada wanita. Meningkat dengan bertambahnya
umur.

5. Tanda & Gejala Hipertensi


Tanda dan gejala hipertensi dalam KemenKes RI, (2014), antara lain :
a. Sakit kepala atau pusing
b. Perubahan penglihatan seperti pandangan menjadi kabur yang terjadi
karena adanya keruasakan pada otak,mata,jantung dan ginjal

24
c. Mual muntah
d. Detak jantung tak teratur
e. Sesak nafas
f. Kesemutan pada kaki dan tangan
g. Gelisah
h. Kelelahan

6. Komplikasi Hipertensi
Menurut Sharif (2012) komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
a. Penyakit pembuluh darah otak
1) Stroke
2) Perdarahan otak
3) Transient ischemic attack (TIA)
b. Penyakit jantung
1) Gagal jantung
2) Angina pectoris
3) Infark miocard acut (IMA)
c. Penyakit ginjal
b. Gagal ginjal
d. Penyakit mata
1) Perdarahan retina
2) Penebalan retina
3) Oedema pupil

7. Penatalaksanaan Hipertensi

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penderita hipertensi


dalam menjalani pengobatan menurut Puspita (2016), antara lain :

a. Terapi Non farmakologis


Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan melakukan
pengendalian Faktor Risiko, yaitu:

25
1) Kebutuhan Gizi Seimbang
Modifikasi diet terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada
pasien hipertensi. Dianjurkan untuk makan buah dan sayur 5 porsi
per-hari, karena cukup mengandung kalium yang dapat
menurunkan tekanan darah sistolik (TDS) 4,4 mmHg dan tekanan
darah diastolik (TDD) 2,5 mmHg. Asupan natrium hendaknya
dibatasi <100 mmol (2g)/hari serata dengan 5g (satu sendok teh
kecil) garam dapur, cara ini berhasil menurunkan TDS 3,7 mmHg
dan TDD 2 mmHg. Bagi pasien hipertensi, asupan natrium
dibatasi lebih rendah lagi, menjadi 1,5 g/hari atau 3,5 – 4 g
garam/hari. Walaupun tidak semua pasien hipertensi sensitif
terhadap natrium, namun pembatasan asupan natrium dapat
membantu terapi farmakologi menurunkan tekanan darah dan
menurunkan risiko penyakit kardioserebrovaskuler (Depkes RI,
2013).
2) Mempertahankan IMT
Insiden hipertensi meningkat 54 sampai 142 % pada penderita
yang gemuk. Penerunun berat badan dalam waktu yang pendek
dalam jumlah yang cukup besar biasanya disertai dengan
penurunan tekanan darah (Suwarso, 2010). Hubungan erat antara
obesitas dengan hipertensi telah banyak dilaporkan. Upayakan
dalam mempertahankan IMT pada batas normal 18,5-22,9 kg/m2,
lingkar pinggang <90 cm untuk laki-laki atau <80 cm untuk
perempuan dapat menurunkan resiko terjadinya hipertensi
(Depkes RI, 2013).
3) Melakukan olahraga teratur
Olahraga isotonik seperti berjalan kaki, jogging, berenang dan
bersepeda berperan dalam penurunan tekanan darah. Aktivitas
fisik yang cukup dan teratur membuat jantung lebih kuat. Hal
tersebut berperan pada penurunan Total Peripher Resistance yang
bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah. Melakukan

26
aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik sekitar 5-
10 mmHg. Olahraga secara teratur juga berperan dalam
menurunkan jumlah dan dosis obat anti hipertensi (Agnesia,
2012).Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama
30-45 menit (sejauh 3 kilometer) lima kali per-minggu, dapat
menurunkan TDS 4 mmHg dan TDD 2,5 mmHg. Berbagai cara
relaksasi seperti meditasi, yoga, atau hipnosis dapat mengontrol
sistem syaraf, sehingga menurunkan tekanan darah (Depkes RI
2013).
4) Berhenti Merokok
Merokok sangat besar perananya dalam meningkatkan tekanan
darah, hal tersebut disebabkan oleh nikotin yang terdapat didalam
rokok yang memicu hormon adrenalin yang menyebabkan
tekanan darah meningkat. Tekanan darah akan turun secara
perlahan dengan berhenti merokok. Selain itu merokok dapat
menyebabkan obat yang dikonsumsi tidakbekerja secara optimal
(Agnesia, 2012). Tidak ada cara yang benar-benar efektif untuk
memberhentikan kebiasaan merokok. Beberapa metode yang
secara umum dicoba adalah menggunakan permen yang
mengandung nikotin, kelompok program, dan
konsultasi/konseling ke klinik berhenti merokok (Depkes RI,
2013).

b. Terapi Farmakologis
Berdasarkan Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular dalam
Kemenkes RI, (2016), Prinsip Pemberian Obat Anti hipertensi
meliputi :
a. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan
pengobatan penyebabnya.

27
b. Pengobatan hipertensi essensial ditujukan untuk menurunkan
tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan
mengurangi timbulnya komplikasi.
c. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan
obat anti hipertensi.
d. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang,
bahkan pengobatan seumur hidup.
e. Jika tekanan darah terkontrol maka pemberian obat
antihipertensi di Puskesmas dapat diberikan disaat kontrol
dengan catatan obat yang diberikan untuk pemakaian selama 30
hari bila tanpa keluhan baru.
f. Untuk penderita hipertensi yang baru didiagnosis (kunjungan
pertama) maka diperlukan kontrol ulang disarankan 4 kali dalam
sebulan atau seminggu sekali, apabila tekanan darah sitolik >160
mmHg atau diastolik >100 mmHg sebaiknya diberikan terapi
kombinasi setelah kunjungan kedua (dalam dua minggu)
tekanan darah tidak dapat dikontrol.

c. Jenis obat Antihipertensi


Jenis obat Antihipertensi yang sering digunakan menurut Depkes
RI, (2013), antara lain sebagai berikut:
1) Diuretik
Pada awalnya obat jenis diuretik ini bekerja dengan
menimbulkan pengurangan cairan tubuh secara keseluruhan
(karena itu urin akan meningkat pada saat diuretik mulai
digunakan). Selanjutnya diikuti dengan penurunan resistansi
pembuluh darah diseluruh tubuh sehingga pembuluh-pembuluh
darah tersebut menjadi lebih rileks. Diuretik terdiri dari 4
subkelas yang digunakan sebagai terapi hipertensi yaitu tiazid,
loop, penahan kalium dan antagonis aldosteron. Diuretik
terutama golongan tiazid merupakan lini pertama terapi

28
hipertensi. Bila dilakukan terapi kombinasi, diuretik menjadi
salah satu terapi yang direkomendasikan.
2) Penghambat beta (Beta Blocker)
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui
penurunan laju nadi dan daya pompa jantung. Obat golongan
beta blocker dapat menurunkan risiko penyakit jantung
koroner, prevensi terhadap serangan infark miokard ulangan
dan gagal jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada pende
rita asma bronkial. Pemakaian pada penderita diabetes harus
hari-hari, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (dimana
kadar gula darah turun menjadi sangat rendah sehingga dapat
membahayakan penderitanya).
3) Golongan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE)
dan angiotensin receptor blocker (ARB)
Penghambat angiotensin converting enzyme (ACE
inhibitor/ACEI) menghambat kerja ACE sehingga perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokontriktor)
terganggu. Sedangkan angiotensin receptor blocker (ARB)
menghalangi ikatan zat angiotensi II pada reseptornya. Baik
ACEI maupun ARB mempunyai efek vasodilatasi, sehingga
meringankan beban jantung. ACEI dan ARB diindikasikan
terutama pada pasien hipertensi dengan gagal jantung, diabetes
melitus, dan penyakit ginjal kronik. Menurut penelitian ON
TARGET, efektifitas ARB sama dengan ACEI. Secara umum,
ACEI dan ARB ditoleransi dengan baik dan efek sampinya
jarang. Obat-obatan yang termasuk golongan ACEI adalah
valsartan, lisinopril, dan ramipril
4) Golongan Calcium Channel Blockers (CCB)
Golongan Calcium Channel Blockers (CCB) menghambat
masuknya kalsium kedalam sel pembuluh darah arteri,
sehingga menyebabkan dilatasi arteri koroner dan juga arteri

29
perifer. Ada dua kelompok obat CCB, yaitu dihidropyridin dan
nondihidropyridin, keduanya efektif untuk pengobatan
hipertensi pada usia lanjut. Secara keseluruhan, CCB
diindikasikan untuk pasien yang memiliki faktor risiko tinggi
penyakit koroner dan untuk pasien-pasien diabetes. Calcium
Channel Blockers dengan durasi kerja pendek tidak
direkomendasikan pada praktek klinis.

E. Hubungan tingkat stres dengan kepatuhan minum obatpada lanjut


usia hipertensi
Wayan, dkk (2017) menyatakan, stres adalah keadaan yang membuat
tegang yang terjadi ketika seseorang mendapatkan masalah atau tantangan
dan belum mendapatkan jalan keluarnya atau banyak pikiran yang
menggangu seseorang terhadap sesuatu yang akan dilakukannya.
Hipertensi merupakan penyakit seumur hidup yang tidak bisa
disembuhkan secara permanen. Penatalaksanaan hipertensi bertumpu pada
pengobatan farmakologi dan non farmakologi. Pengobatan farmakologi
hipertensi membutuhkan periode pengobatan jangka panjang sehingga
beresiko mengalami ketidak patuhan (Nopitasari, 2018). Oleh karna itu,
dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat stres dengan
kepatuhan minum obat pada lanjut usia hipertensi di Panti Sosial Tresna
Werdha Ciparay.

30
F. Kerangka Teori
Skema 2.1

Faktor yang mempengaruhi Tingkat Stres


stres pada lansia : pada lansia : Tingkat Kepatuhan minum
obat hipertensi pada lansia
Stres ringan
- Kondisi kesehatan fisik
Tinggi, Sedang, Rendah
- Kondisi psikologis Stres sedang
- Keluarga Stres berat
- Lingkungan
Faktor yang mempengaruhi
kepatuhan minum obat pada
lansia:

- Jenis kelamin
- Tingkat pendidikan
- Tingkat stres
- Dukungan keluarga
- Motivasi berobat

Sumber : Muhith dan Siyoto (2016), Puspita (2016)

31
G. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari suatu penelitian. Setelah
melalui pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesis ini dapat benar atau
salah, dapat diterima atau ditolak (Notoatmodjo, 2010). Hipotesis dalam
penelitian ini adalah:
HA :
Terdapat hubungan antara tingkat stres dengan kepatuhan minum obat
pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay
HO :
Tidak terdapat hubungan antara tingkat stres dengan kepatuhan minum
obat pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna
Werdha Pakutandang Ciparay

32
BAB III

METODE PENELITAN

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan dalam bagan dibawah ini
Skema 3.1

Tingkat Stres pada Tingkat kepatuhan


lansia minum obat pada
lansia

Ada hubungan Tidak ada hubungan

Sumber : Modifikasi dari Cohen (1994), Evadewi (2013)

B. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh secara
analitik korelasional dengan pendekatan cross sectional. Pada penelitian ini
metode yang digunakan adalah korelasional yaitu penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel lainnya (Sylvia,
2011).

33
C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang
hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2018). Variabel
dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas (independent)
Variabel bebas merupakan variabel yang mempegaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau
terikat (Sugiyono, 2018). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
tingkat stress pada lanjut usia.
2. Variabel terikat (dependent)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2018).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan minum
obat pada lanjut usia hipertensi.

34
D. Definisi Operasional
Tabel 3.1

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur


Suatu keadaan yang menyebabkan Perceived Stress Scale Ordinal Ringan = 1-14
1. Tingkat Stress lansia mengalami reaksi gelisah, (PSS) Sedang = 15-26
sering marah, tegang, yang terjadi Berat = >26
ketika seseorang belum mendapatkan
jalan keluar dari masalah yang
dihadapi dan dibagi berdasarkan tiga
tingkatan stres tinggi, sedang, dan
ringan
Tingkat kepatuhan pasien dalam Morisky Medication Ordinal Tinggi = 7-8
2. Tingkat minum obat berdasarkan prilaku Adherence Scale Sedang = 5 - 6
kepatuhan pasien mengikuti anjuran pengobatan (MMAS-8) Rendah = < 5
minum obat yang diberikan dengan mentaati
waktu dan cara minum obat yang
tepat dibagi berdasarkan tingkatan
tinggi, sedang, dan rendah.

35
E. Populasi dan Sample
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan element yang akan dijadikan wilayah
generalisasi. Dalam hal ini populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas, objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2018). Populasi pada penelitian ini
adalah 111 orang lansia yang mempunyai penyakit hipertensi di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut. Untuk menentukan besarnya sampel menggunakan
rumus Slovin dengan pendekatan menggunakan teknik Sampling
Purposive, merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya (Sugiyono, 2018).
Rumus Slovin adalah rumus penentuan besarnya sampel (Nursalam,
2013) adalah :

N
n=
1+ N (d) ²

Keterangan :

n : besar sampel minimum

N : jumlah populasi

d : kesalahan (absolut) yang dapat ditoleransi (0,1)

36
Hasil :

N
n=
1+ N ( d) ²

111
n=
1+111(0,01)

111
n=
1+1,11

111
n=
2,11

n=52,6

n=53

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan menggunakan rumus


Slovin didapatkan sampel sebanyak 53 orang lansia.

Kriteria inklusi dan ekslusi yaitu sebagai berikut :


a. Kriteria Inklusi
1. Lansia yang mempunyai penyakit hipertensi
2. Lansia dengan SPMSQ sedang sampai utuh dengan skor (0-7)
3. Lansia yang mengkonsumsi obat hipertensi
b. Kriteria Eksklusi
1. Lansia dengan penyakit berat
2. Lansia yang mengundurkan diri sebagai responden

F. Instrumen
Instrumen dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan lembar
kuesioner, yaitu :
1. Tingkat stress
Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan kuesioner perceived
stress scale (PSS) yang dikembangkan oleh Cohen, Kamarck, dan

37
Mermelstrein (1983), instrumen ini mengukur persepsi individu
terhadap stres. Masing masing item dalam skala ini didesain untuk
mendeteksi seberapa besar individu menemukan bahwa hal hal dalam
hidupnya tidak diprediksi (unpredictable), tidak terkontrol
(uncontrollable), dan beban berlebih (0verload). Terdapat 10
pernyataan dalam skala ini dengan skor Stres ringan : 1-14, Sres
sedang : 15-26, Stres berat : >26.
2. Kepatuhan minum obat
Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Morisky
Medication Adherence Scale (MMAS-8) merupakan kuesioner
pengembangan dari MMAS-4 yang pada tahun 1980 ditemukan oleh
Morisky sebagai penilaian terhadap perilaku minum obat. Dengan skor
kepatuhan tinggi memiliki nilai 7-8, kepatuhan sedang 5-6, dan
kepatuhan rendah 0-4. Dengan jumlah item 8 pertanyaan. Skala
MMAS-8 telah memiliki versi indonesia dan telah digunakan
diberbagai penelitian tentang kepatuhan minum obat.

G. Uji Validitas & Reabilitas


Instrumen yang digunakan dalam pengumpul data ada dua syarat yaitu
harus valid dan reliabel sehingga instrumen tidak dapat langsung
digunakan untuk mengumpulkan data, tetapi terlebih dahulu diuji validitas
dan reliabilitasnya sebelum diberikan kepada responden penelitian untuk
diisi. Hal ini berarti menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap
konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoarmojo,
2010).

38
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu yang menunjukan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010). Alat ukur dalam
penelitian ini:
a. Perceived Stress Scale (PSS)
Instrumen Tingkat stres tidak dilakukan uji validitas karena
instrumen yang digunakan sudah baku dan sudah pernah dipakai
dalam beberapa penelitian sebelumnya. Skala ini sudah melalui
uji validitas oleh Cohen, Kamarck, dan Mermelsrein (1983)
dengan hasil r dihitung (0,410-0,831) > r table (0,561). Di
Indonesia sudah dilakukan beberapa penelitian tentang PSS salah
satunya dilakukan oleh Hary (2017) hubungan antara kelekatan
terhadap ibu dengan tingkat stres pada mahasiswa perantau,
dengan hasil uji validitas > r table (0,672).

b. Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8)


Hasil uji Validitas dilakukan oleh Morisky (1980) dalam Validity
and reability of Morisky Medication Adherence Scale 8 to
measure statin adherence among military pilots dengan
ditentukan menggunakan Known groups validity, Hasil uji Known
groups validity menunjukan korelasi signifikan (XÂ2 = 26,987;
P<0,005) analisa menunjukkan bahwa kuesioner MMAS-8 yang
digunakan valid dengan r hitung semua pertanyaan > r tabel
(0,883). Penelitian tentang MMAS-8 dilakukan oleh Rosyida
(2015) kepatuhan pasien pada penggunaan obat antidiabetes
dengan metode Pill-Count dan MMAS-8 dipuskesmas kedurus
surabaya, dengan hasil uji validitas > r table (0,784).

Nilai validitas diperoleh dengan cara mengkorelasikan skor item


dengan total item. Jika koefisiennya sama atau diatas 0,5 maka

39
item pertanyaan dinyatakan valid, bila korelasinya di bawah 0,5
maka item pertanyaan dinyatakan tidak valid.

2. Uji Reliabilitas
a. Perceived Stress Scale (PSS)
Skala PSS memiliki nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.80
dilakukan oleh Cohen, Kamarck, & Mermelstein (1983). Dengan
demikian skala ini reliabel karena memiliki nilai koefisien Alpha
Cronbach mendekati 1.00. Hasil uji reliabilitas dalam penelitian
yang dilakukan oleh Hary (2017) dilakukan terhadap 80 orang
dengan hasil koefisien sebesar 0,81.
b. Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8)
Kuesioner MMAS-8 telah digunakan di beberapa penelitian di
Indonesia. Hasil analisa menunjukkan bahwa instrumen reliabel
dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,74 > 0,6 dilakukan oleh
Morisky (1980) dalam Validity and reability of Morisky
Medication Adherence Scale 8 to measure statin adherence among
military pilots. Penelitian tentang MMAS-8 dilakukan oleh Rosyida
(2015) kepatuhan pasien pada penggunaan obat antidiabetes
dengan metode Pill-Count dan MMAS-8 dipuskesmas kedurus
surabaya, hasil analisa menunjukan bahwa instrumen reliabel
dengan koefisien reabilitas sebesar 0,66.

H. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah menggunakan kuesioner.
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden
untuk dijawabnya (Sugiyono, 2018).
1. Tahap Persiapan
a. Mengajukan surat perizinan studi pendahuluan dan penelitian
kepada Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa, Politik provinsi jawa

40
barat, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dan Balai perlindungan
sosial tresna werdha pakutandang ciparay.
b. Melakukan studi pendahuluan di balai perlindungan sosial tresna
werdha pakutandang ciparay.
2. Tahap Pelaksanaan
b. Setelah peneliti mendapatkan perizinan peneliti melakukan
wawancara dengan kepala panti dan perawat diruangan
c. Peneliti melakukan skrining lansia yang mengalami hipertensi
dan melakukan tes SPMSQ
d. Peneliti membagikan kuesioner penelitian kepada lansia dengan
dibantu rekan, bagi lansia yang tidak bisa membaca peneliti
membantu membacakan pertanyaan kuesioner
3. Tahap Akhir
Data yang telah didapatkan kemudian diolah dan dianalisis dengan
cara membandingkan antara tingkat stres dengan kepatuhan minum
obat. Setelah itu disusun dalam bentuk laporan akhir penelitian berupa
skripsi. Selanjutnya, sidang skripsi untuk mempertanggung jawabkan
hasil penelitian, revisi skripsi, serta penggandaan skripsi.

I. Teknik Pengolahan dan Analisis Data


1. Teknik pengolahan data
a. Editing
Melakukan pencegahan terhadap isi angket mencakup kelengkapan
data antara lain jumlah kuesioner yang terkumpul, kelengkapan
jawaban, dan pengisian lembar jawaban.
b. Coding
Kegiatan merubah data membentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/bilangan. Kegunaannya untuk mempermudah peneliti pada saat
analisa data dan nuga pada saat entry data.

41
c. Processing/ Entry data
Setelah data di coding maka langkah selanjutnya adalah melakukan
entry data dari angket kedalam program computer yang menggunakan
paket program perangkat lunak komputer.
d. Cleaning
Kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada
kesalahan atau tidak. Tujuannya untuk mengetahui missing data dan
variasi data (Riyanto, 2011).

2. Teknik analisis data


Analisa data suatu penelitian, biasanya melalui prosedur bertahap
(Notoatmojo, 2010), antara lain:
a. Analisis Univariate
Analisa univariate bertujuan menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisa univariate
tergantung pada jenis datanya untuk data numerik digunakan nilai
mean atau rata-rata, median dan standar deviasi. Pada umumnya dalam
analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekwensi dan presentase
dari tiap variabel.
1. Tingkat stres
Menggunakan kuesioner perceived stress scale (PSS). Terdapat 10
pernyataan dalam skala ini dengan skor Stres ringan : 1-14, Sres
sedang : 15-26, Stres berat : >26.
Dilakukan pelaporan hasil penelitian dengan cara menghitung
persentase (%) menggunakan rumus (Sudjana, 2005) :

f
P= x 100 %
n
Keterangan :
P : Persentase
f : Frekuensi tiap kategori
n : Jumlah sampel

42
Dari hasil perhitungan diinterpretasikan berdasarkan kriteria
sebagai berikut (Sudjana, 2005) :
91% - 100% = Seluruh responden
80% - 90% = Hampir seluruh responden
60% - 79% = Sebagian besar dari seluruh responden
40% - 59% = Sebagian dari seluruh responden
20% - 39% = Sebagian kecil dari seluruh responden
1% - 19% = Hampir tidak ada dari seluruh responden
0% = Tidak ada dari seluruh responden

2. Tingkat kepatuhan minum obat


Menggunakan kuesioner Morisky Medication Adherence Scale
(MMAS-8). Dengan 8 item pertanyaan, skor yang digunakan
kepatuhan tinggi 7-8, kepatuhan sedang 5-6, dan kepatuhan rendah
0-4. Dilakukan pelaporan hasil penelitian dengan cara menghitung
persentase (%) menggunakan rumus (Sudjana, 2005) :

f
P= x 100 %
n
Keterangan :
P : Persentase
f : Frekuensi tiap kategori
n : Jumlah sampel

Dari hasil perhitungan diinterpretasikan berdasarkan kriteria


sebagai berikut (Sudjana, 2005) :
91% - 100% = Seluruh responden
80% - 90% = Hampir seluruh responden
60% - 79% = Sebagian besar dari seluruh responden
40% - 59% = Sebagian dari seluruh responden
20% - 39% = Sebagian kecil dari seluruh responden

43
1% - 19% = Hampir tidak ada dari seluruh responden
0% = Tidak ada dari seluruh responden

b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi. Analisis yang digunakan adalah
analisis korelasi untuk variabel berbentuk ordinal dan tidak harus
berdistribusi normal. Rumus yang digunakan menggunakan korelasi
spearman rho yaitu mencari hubungan atau menguji signifikan bila
masing-masing variabel yang dihubungkan berbentuk ordinal
(Sugiyono, 2018). sebagai berikut.
Rumus:

Keterangan :

𝜌 = koefisien korelasi spearman rho

𝑏𝑖 = selisih peringkat setiap data


n = jumlah data

Dasar pengambilan keputusan

 Jika nilai signifikasi < 0,05, maka berkorelasi


 Jika nilai signifikasi ≥ 0,05, maka tidak berkorelasi

Nilai korelasi spearman berada diantara -1≤ p ≤ 1. Bila nilai = 0,


berarti tidak ada korelasi atau tidak ada hubungan antara variabel
dependen dan independen. Nilai p = +1 berarti terdapat hubungan yang
positif antara independen. Nilai p = -1 berarti terdapat hubungan yang

44
negativ antara variabel independen dan variabel dependen. dengan kata
lain, tanda “+” dan “-“ menunjukkan arah hubungan diantara variabel
yang sedang dioperasionalkan. Uji signifikasi spearman menggunakan
Uji Z karena distribusi spearman mendekati distribusi
normal.Kekuatan hubungan antar variabel ditunjukkan melalui nilai
korelasi. Berikut adalah table nilai korelasi beserta makna nilai
tersebut :
Tabel 3.2

Nilai Makna

0,00 – 0,19 Sangat rendah / sangat lemah

0,20 – 0,39 Rendah / lemah

0,40 – 0,59 Sedang

0,60 – 0,79 Tinggi / kuat

0,80 – 1,00 Sangat tinggi / sangat kuat

Martono, 2010. Statistik Sosial Teori dan Aplikasi Program SPSS.

J. Etika Penelitian
Etika penelitian berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Komisi Etik Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan adalah prinsip atau kaidah dasar yang baru
diterapkan dalam pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan yang
meliputi menghormati harkat martabat manusia (respect for person). Prinsip
berbuat baik (beneficence), dan tidak merugikan (non-maleficence), dan
prinsip keadilan (justice). (Permenkes, 2016).
Dalam penelitian peneliti perlu menjaga dan memperhatikan unsur-unsur yang
terkandung dalam penelitian (Notoatmodjo, 2012):

45
a. Peneliti memberi informasi secara lisan dan tertulis dalam lembar
permohonan kesediaan responden tentang tujuan penelitian yang akan
dilaksanakan (informed consent).
b. Responden sepenuhnya mempunyai hak-hak dalam pengambilan
keputusan untuk berpartisipasi menjadi responden atau tidak (autonomy).
c. Peneliti selalu berupaya agar segala tindakan baik metode dan konsep
yang diberikan terhadap responden mengandung prinsip kebaikan
(beneficence).
d. Peneliti menjamin bahwa penelitian tidak mengandung unsur
membahayakan, merugikan atau mengancam jiwa responden (non-
maleficence).
e. Peneliti menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden
(confidentiality).

Etika penelitian diperlukan untuk menjamin suatu penelitian tidak melanggar


norma-norma sosial dan kaidah professional. Kriteria ini diantaranya sebagai
berikut : toleran, dapat dipahami, kerahasiaan responden terjaga, dan
menghormati norma (Notoatmodjo, 2012).

K. Lokasi dan Waktu


1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay.
2. Waktu
Waktu yang ditentukan dalam penelitian ini yaitu pada bulan Maret
sampai dengan Juli 2019.

46
L. Rencana Pelaksanaan
Tabel 3.3

KET
WAKTU
N .
KEGIATAN
O MARET APRIL MEI JUNI JULI
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 CARA PENYUSUNAN PROPOSAL   √                                       
 
2 PENGAJUAN JUDUL     √  √                                 

3 PENGAJUAN PROPOSAL           √  √  √  √ √ √ √                  
4 SEMINAR PROPOSAL                         √ √            
5 PROSES PENELITIAN                             √ √          
PENULISAN LAPORAN HASIL    
6                                 √    
PENELITIAN √ √
7 SIDANG SKRIPSI                                       √  

Saya yang membuat pernyataan,


Bandung, Maret 2019

(David Fransisco)

47
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan hasil dan pembahasan penelitian dengan menentukan
frekuensi dan presentasi, kemudian analisis untuk melihat ada hubungan antara
dua variabel yaitu variabel tingkat stres dan variabel tingkat kepatuhan minum
obat pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay, yang dilakukan pada bulan maret sampai juli 2019.

A. Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Tingkat stres pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan
Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi tingkat stres pada lanjut usia hipertensi
di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang
Ciparay.

Variabel Kriteria Frekuensi Presentase


Ringan 16 30,1%
Tingkat Stres Sedang 33 62,2%
Berat 4 7,5%

Total 53 100%

Berdasarkan tabel 4.1 tingkat stres pada lanjut usia hipertensi sebagian
besar dari seluruh responden mengalami stres sedang (62,2%) dan
hampir tidak ada dari responden tingkat stres berat (7,5%)

48
b. Tingkat kepatuhan minum obat hipertensi pada lanjut usia di
Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi tingkat kepatuhan minum obat


hipertensi pada lanjut usia di Balai Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.

Variabel Kriteria Frekuensi Presentase


Tingkat Tinggi 13 24,5%
Kepatuhan Sedang 19 35,8%
Minum Obat Rendah 21 39,6%
Total 53 100%

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan sebagian kecil dari responden


dengan tingkat kepatuhan rendah (39,6%).

2. Analisa Bivariat

49
Hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat pada
lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay.
Tabel 4.3 Analisis hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan
minum obat pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan
Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.

P
Tingkat Tingkat Kepatuhan Minum Obat Total
value
Stres Tinggi Sedang Rendah
F % F % F % F %
Ringan 6 37,5 6 37,5 4 25,0 16 30,1
Sedang 7 21,2 13 39,4 13 39,4 33 62,2 0,021
Berat 0 0,0 0 0,0 4 100 4 7,5
Total 13 24,5 19 35,8 21 39,6 53 100

Berdasarkan tabel 4.3 Dari hasil uji statistik menggunakan Spearman


Rho didapatkan hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan
kepatuhan minum obat dengan P value 0,021 < 0,05 yang berarti Ho
ditolak dengan demikian terdapat hubungan yang signifikan antara
tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat lanjut usia hipertensi
di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.

B. Pembahasan

50
1. Tingkat stres pada lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial
Tresna Werdha Pakutandang Ciparay

Berdasarkan hasil penelitian tingkat stres pada lanjut usia hipertensi di


BPSTW Pakutandang Ciparay menunjukan (30,1%) dengan tingkat stres
ringan, (62,2%) dengan tingkat stres sedang, dan (7,5%) dengan tingkat
stres berat. Stres adalah keadaan yang membuat tegang yang terjadi ketika
seseorang mendapatkan masalah atau tantangan dan belum mendapatkan
jalan keluarnya atau banyak pikiran yang menggangu seseorang terhadap
sesuatu yang akan dilakukannya. Situasi yang menuntut tersebut
dipandang sebagai beban atau melebihi kemampuan individu untuk
mengatasinya.

Faktor penyebab terjadinya stres antara lain bersumber dari : 1) Kondisi


kesehatan fisik. Seiring dengan penurunan fungsi fisiologis, ketahanan
tubuh lansia pun semakin menurun sehingga terjangkit berbagai penyakit.
Perubahan fungsi tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang
yang dulunya semua pekerjaan bisa dilakukan sendirian, kini terkadang
harus dibantu orang lain. Perasaan membebani orang lain inilah yang
dapat menyebabkan stress pada lansia. 2) Kondisi psikologis, dapat
dipengaruhi dari pengalaman, sifat, jenis kepribadian dan cara pandang.
Cara pandang lansia yang positif dalam menghadapi masalah, dapat
menyelesaikan masalah tersebut melalui proses mekanisme penyelesaian
yang positif pula. 3) Keluarga, lansia sangat membutuhkan peran besar
keluarga dalam menjauhkan atau menghindari stres. Kurangnya perhatian
pada lansia dipersepsikan sebagai sikap mengabaikan.4) Lingkungan,
lingkungan yang baru membuat lansia harus beradaptasi lagi dengan
lingkungan sosial, kehilangan teman yang lama menjadi pemicu
terjadinya stres, penurunan fungsi indra penglihatan membuat lansia susah
mengenal tempat yang baru, dan keadaan lingkungan sekitar yang kotor,

51
buruk, penuh dengan pencemaran juga dapat menjadi pemicu terjadinya
stres (Hidayat, 2013).

Hasil penelitian tingkat stres di BPSTW Ciparay sebagian besar dari


responden mengalami tingkat stres sedang (62,2%). Hal ini disebabkan
karena berbagai faktor penyebab terjadinya stres pada lansia : kondisi
kesehatan fisik, dukugan keluarga dan lingkungan. Dari hasil studi
pendahuluan didapatkan 111 orang (80%) dari 146 lansia yang menderita
hipertensi dalam waktu yang lama, kondisi kesehatan fisik yang menurun,
dan kurangnya dukungan keluarga dikarenakan lansia sebagian besar
berasal dari keluarga yang tidak mampu dan keluarga yang tidak
diketahui keberadaannya, dari faktor lingkungan lansia yang baru
bertempat tinggal di panti werdha mengalami kesulitan untuk beradaptasi
dilingkungan yang baru, seperti kehilangan teman lama dan harus
menyesuaikan dengan tempat tinggal yang baru sehingga menjadi
penyebab terjadinya stres pada lansia.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Seke dkk,
2016) tentang Hubungan kejadian stres dengan penyakit hipertensi pada
lansia di balai penyantunan lanjut usia senja cearah kecamatan mapanget
kota manado. Denagan jumlah responden 50 orang didapatkan penderita
hipertensi sedang 80% dengan tingkat kejadian stres 80%. Hasil uji
statistik (p value = 0,021) yang artinya terdapat hubungan antara stres
dengan kejadian hipertensi pada lansia senja cearah kecamatan mapanget
kota manado.

Menurut peneliti, tingkat stres pada lansia hipertensi di Balai


Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay bersumber dari
faktor kondisi kesehatan fisik, dukungan keluarga dan faktor lingkungan.
Hal tersebut dapat memicu terjadinya stres. Stres sedang biasanya terjadi
lebih lama, beberapa jam hingga hari. Pada tingkat ini respons yang

52
dirasakan adalah gangguan pada lambung dan usus, misalnya maag,
buang air besar tidak teratur, daya konsentrasi dan daya ingat menurun.
Stres yang dialami lansia bergantung pada mekanisme koping lansia
bagaimana lansia tersebut mengaasi masalah dan dampak dari stres
terhadap dirinya sendiri.

2. Kepatuhan minum obat pada lanjut usia hipertensi di Balai


Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay

Berdasarkan hasil penelitian tingkat kepatuhan minum obat pada lanjut


usia hipertensi di BPSTW Pakutandang Ciparay menunjukan (24,5%)
dengan tingkat kepatuhan tinggi, (35,8%) dengan tingkat kepatuhan
sedang, dan (39,6%) dengan tingkat kepatuhan rendah. Kepatuhan minum
obat diartikan sebagai perilaku pasien yang menaati semua nasehat dan
petunjuk yang dianjurkan oleh tenaga medis dalam mengkonsumsi obat,
meliputi keteraturan waktu dan cara minum obat, (Oktaviani, 2011).

Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat pada lansia


diantaranya 1) tingkat stres, semakin lama seseorang menderita hipertensi
dapat menjadi pemicu terjadinya stres akibat penyakit yang dialami dan
dapat berpengaruh pada kepatuhan dalam pengobatan, 2) dukungan
keluarga, merupakan sikap, tindakan dan penerimaan terhadap penderita
yang sakit. Dukungan sosial dari keluarga sangat diperlukan dalam
menjalani pengobatan dan lebih mudah dalam mengikuti nasehat medis.
3) Motivasi berobat, dorongan dari dalam diri untuk bertindak atau
berprilaku dalam rangka untuk mencapai kesembuhan.

Hipertensi memerlukan pengobatan seumur hidup, dukungan sosial dari


orang lain sangat diperlukan dalam menjalani pengobatanya. Dukungan
dari keluarga dan teman-teman dapat membantu seseorang dalam
menjalankan program-program kesehatan dan juga secara umum orang

53
yang menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka
butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah
mengikuti nasehat medis (Suprianto, 2009). Semakin lama seseorang
menderita hipertensi dapat menjadi pemicu terjadinya stres akibat
penyakit yang dialami dan dapat perpengaruh pada tingkat kepatuhan
dalam pengobatan, hal ini menyebabkan kebanyakan penderita akan
merasa jenuh untuk berobat (Gama, 2014).

Hasil penelitian tingkat kepatuhan minum obat pada lansia hipertensi di


BPSTW Ciparay menunjukan sebagian kecil dari responden tingkat
kepatuhan minum obat sedang dan rendah (39,6%). Hal ini disebabkan
dari beberapa faktor diantaranya 1) Tingkat stres, dari hasil penelitian
didapatkan sebesar (62,2%) lansia mengalami stres sedang, (30,1%) stres
ringan dan (7,5%) mengalami stres berat. 2) Dukungan keluarga, dimana
sebagian besar lansia di BPSTW Pakutandang Ciparay berasal dari
keluarga yang kurang mampu dan sudah mentelantarkan yang
menyebabkan kurangnya dukungan keluarga yang berdampak pada
tingkat kepatuhan minum obat. 3) Motifasi berobat, dari hasil studi
pendahuluan lansia yang menderita hipertensi memiliki keinginan untuk
sembuh dari penyakit yang dialami akan tetapi tidak sejalan dengan
tindakan yang dilakukan yaitu sering lupa dalam minum obat, kadang
kadang berhenti minum obat bila sundah merasa sehat, dan suka
mengalami kesulitan dalam pengobatan. Hal ini mempengaruhi tingkat
kepatuhan minum obat pada lansia hipertensi di BPSTW Pakutandang
Ciparay.

Penelitian ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan oleh Susanto


(2016) terkait dengan tingkat kepatuhan minum obat pada lanjut usia
hipertensi menunjukan responden yang memiliki dukungan keluarga
tinggi hampir seluruhnya memiliki kepatuan minum obat tinggi (52,6%),
responden yang memiliki dukungan keluarga rendah sebagian besar dari

54
seluruh responden tingkat kepatuhan minum obat rendah (89,8%), hal ini
menunjukan ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan
minum obat pasien hipertensi lansia di wilayah kerja puskesmas sungai
cuka kabupaten tanah laut.

3. Hubungan tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat pada


lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha
Pakutandang Ciparay.

Hasil penelitian ini menunjukan terdapat hubungan yang signifikan


antara tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum obat lanjut usia
hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang
Ciparay. Dengan tingkat Coefficient 0,317 yang berarti tingkat keeratan
hubungan rendah antara 0,20 – 0,39.

Stres adalah keadaan yang membuat tegang yang terjadi ketika seseorang
mendapatkan masalah atau tantangan dan belum mendapatkan jalan
keluarnya atau banyak pikiran yang menggangu seseorang terhadap
sesuatu yang akan dilakukannya (Wayan dkk, 2017). Hipertensi
merupakan penyakit seumur hidup yang tidak bisa disembuhkan secara
permanen. Penatalaksanaan hipertensi bertumpu pada pengobatan
farmakologi dan non farmakologi. Pengobatan farmakologi hipertensi
membutuhkan periode pengobatan jangka panjang sehingga beresiko
mengalami ketidak patuhan (Nopitasari, 2018). Salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat kepatuhan minum obat pada lanjut usia hipertensi
adalah tingkat stres, semakin lama seseorang menderita hipertensi dapat
menjadi pemicu terjadinya stres akibat penyakit yang dialami, hal ini
dapat menjadi salah satu penyebab penderita tidak patuh dalam
pengobatan (Gama, 2014).

55
Hasil penelitian ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh puspita
(2016) tentang “Faktor faktor yang berhubungan dengan kepatuahan
pengobatan hipertensi pada lansia binaan puskesmas klungkung 1”
didapatkan hasil lansia yang memiliki stres (68,1%) tidak patuh dan
(31,9%) patuh dalam melakukan pengobatan dari 97 responden. Dengan
hasil Chi-square (p velue = 0,002 < 0,05). Menunjukan ada hubungan
antara tingkat kepatuhan minum obat dengan kejadian stes pada lansia
hipertensi.

Dari hasil penelitian didapatkan sebagian besar dari responden


mengalami stres sedang dengan tingkat kepatuhan minum obat berada di
antara tingkat kepatuhan sedang dan rendah. Artinya terdapat hubungan
yang signifikan antara tingkat stres dengan tingkat kepatuhan minum
obat pada lansia hipertensi. Dilihat dari tingkat stres yang dialami lansia
di BPSTW Ciparay dipengaruhi dari beberapa faktor antara lain dari
kondisi kesehatan fisik, keluarga, dan lingkungan. Hal ini dapat
mempengaruhi lansia dalam mengkonsumsi obat hipertensi. Pada pasien
hipertensi dalam mengkonsumsi obat memerlukan pengobatan dalam
jangka waktu panjang. Hal inilah yang menyebabkan tingkat kepatuhan
minum obat pada lansia hipertensi berada pada tingkat kepatuhan sedang
dan berat, sehingga berdampak pada kondisi kesehatan lansia terutama
pada kejadian hipertensi.

56
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambill kesimpulan sebagai
berikut :
1. Sebagian kecil dari seluruh responden (30,1%) dengan tingkat stres
ringan, Sebagian besar dari seluruh responden (62,2%) dengan tingkat
stres sedang, dan Hampir tidak ada dari seluruh responden (7,5%)
dengan tingkat stres berat.
2. Sebagian kecil dari seluruh responden (24,5%) dengan tingkat
kepatuhan tinggi, Sebagian kecil dari seluruh responden (35,8%)
dengan tingkat kepatuhan sedang, dan Sebagian dari seluruh responden
(39,6%) dengan tingkat kepatuhan rendah.
3. Terdapat hubungan antara tingkat stres dengan tingkat kepatuhan
minum obat lanjut usia hipertensi di Balai Perlindungan Sosial Tresna
Werdha Pakutandang Ciparay. Dengan P value 0,021 < 0,05.

B. Saran
Sebagai tindak lanjut dari hasil penetilian, maka adapun saran yang dapat
penulis sampaikan yaitu sebagai berikut:
a. Bagi institusi pendidikan
Dapat menjadi acuan dalam melakukan pengabdian masyarakat
terkait penyuluhan bagaimana mengendalikan stres pada lansia dan
pendidikan kesehatan terkait kepatuhan minum obat pada lansia
hipertensi di BPSTW Pakutandang Ciparay

57
b. Bagi panti werdha
Dapat melakukan pendidikan kesehatan terkait kepatuhan minum
obat pada lansia hipertensi, diharapkan dapat merancang kegiatan
yang dapat mengurangi tingkat stres pada lansia di setiap wisma di
BPSTW Pakutandang Ciparay
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada lanjut usia di Balai
Perlindungan Sosial Tresna Werdha Pakutandang Ciparay.

58

Anda mungkin juga menyukai