Anda di halaman 1dari 3

GIZI OPTIMAL UNTUK KELUARGA MILENIAL

(Peringatan Hari Gizi Nasional ke 62)

Eduardus Johanes Sahagun, M.A


Calon Widyaiswara Perwakilan BKKBN Provinsi NTT

Tanggal 25 Januari merupakan Hari Gizi Nasional (HGN) yang diselenggarakan untuk
memperingati dimulainya pengkaderan tenaga gizi Indonesia yang saat itu ditandai dengan
berdirinya Sekolah Juru Penerang Makanan pada 25 Januari 1951. Sejak berdirinya sekolah
tersebut, pendidikan tenaga gizi terus berkembang pesat di banyak perguruan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah itulah, maka disepakati bahwa setiap tanggal 25 Januari diperingati
sebagai Hari Gizi Nasional Indonesia, (Kompas.com 25/01/21).
Upaya perbaikan gizi masyarakat telah dimulai sejak tahun 1950 yakni saat Menteri
Kesehatan Dokter J. Leimena mengangkat Prof. Poorwo Soedarmo sebagai Kepala Lembaga
Makanan Rakyat (LMR). Sosok Prof. Poorwo Soedarmo dikenal sebagai Bapak Gizi Indonesia.
Peringatan Hari Gizi Nasional prtama kali diadakan oleh LMR pada pertengahan tahun 1960-an,
yang kemudian dilanjutkan oleh Direktorat Gizi Masyarakat sejak tahun 1970-an hingga
sekarang.
Kita tahu Bersama bahwa peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) sejatinya merupakan
bagian penting dalam menggalang kepedulian dan meningkatkan komitmen dari berbagai pihak
untuk bersama membangun gizi menuju NTT sehat dan produktif melalui gizi seimbang dan
produksi pangan berkelanjutan. Berbagai permasalahan gizi saat ini, baik gizi kurang, gizi lebih,
maupun stunting, terjadi hampir di seluruh strata ekonomi masyarakat, baik di pedesaan maupun
perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa yang mendasari terjadinya masalah gizi tersebut bukan
hanya kemiskinan, namun juga kurangnya pengetahuan masyarakat akan pola hidup sehat dan
pemenuhan gizi yang optimal.
Jika melihat keadaan atau status gizi masyarakat saat ini, berdasarkan data dari Studi
Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, ditemukan bahwa prevalensi bayi stunting (tinggi
badan/umur) NTT berada di angka 37,8% dan Kabupaten dengan angka stunting tertinggi adalah
Kabupaten TTS dengan 48,3%. Selain itu, NTT juga memiliki prevalensi balita wasting atau
kurus (berat badan/tinggi badan) yang cukup tinggi, yakni berada diangka 10,1%. Sedangkan
untuk prevalensi balita underweight (berat badan/umur), NTT berada diangka 29,3%. Angka
yang terpampang dari data SSGI ini harus mendapat atensi serius dari kita semua, terlebih dari
pemangku kebijakan agar bisa memberikan intervensi yang lebih terfokus pada masalah stunting,
wasting maupun underweight di setiap wilayah masing-masing.
Problematika gizi di NTT memang sangat berpengaruh pada masa depan generasi
penerus, khususnya para milenial. Sebab, pembangunan kesehatan dengan investasi utama
pembangunan sumber daya manusia NTT akan memberikan manfaat jangka panjang dan
berkelanjutan. Salah satu komponen terpenting dalam pembangunan kesehatan adalah
terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat yang diawali dari dalam keluarga. Mengapa keluarga?
karena dari dan dalam keluargalah seorang mendapatkan semua hal, baik itu informasi
kesehatan, maupun nilai dan norma sosial. Karakter dan perilaku seseorang ditentukan dari
interaksinya di dalam keluarga.
Menilik perkembangan zaman sekarang, keluarga muda saat ini lebih didominasi oleh
generasi milenial (Gen-Y). Sebab itu, hemat saya, pemahaman makna keluarga, rasanya perlu
kembali didefinisikan sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu yang sangat berbeda
adalah dengan adanya pergeseran peran dan fungsi dalam satu keluarga. Terlebih lagi bagi
kalangan milenial yang sekarang menjadi cermin akan bentuk keluarga modern.
Jika ditarik dengan konteks sekarang, keluarga milenial adalah sebuah keluarga yang
pemimpin keluarganya baik ibu dan ayah adalah orang yang lahir antara tahun 1981 hingga
1994. Dalam sistem pemikiran, jelas generasi Y atau milenial berbeda dari baby boomers dan
generasi X. Selain hidup di era pembauran teknologi, generasi Y ditawarkan sebuah fasilitas
yang membuat semua informasi menjadi lebih cepat tanpa mengenal batasan waktu. Karena
itulah, maka informasi mengenai status gizi atau gizi seimbang perlu selalu digaungkan sekreatif
mungkin agar bisa memikat keluarga milenial untuk mempelajari dan memenuhi kebutuhan gizi
keluarganya.
Kita ketahui bersama bahwa keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang
tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan
bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan
oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi
langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi
oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial-ekonomi, budaya dan politik (Unicef, 1990).
Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam
pembangunan nasional.
Karena itu, setiap keluarga milenial perlu mendapat pemenuhan pangan secara optimal.
Pemenuhan hak atas pangan dicerminkan pada definisi ketahanan pangan yaitu, ‘kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga (keluarga), yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau’. Kecukupan pangan yang
baik akan mendukung tercapainya status gizi yang baik bagi anggota keluarga, sehingga akan
menghasilkan generasi baru yang berkualitas.
Sudah dipaparkan sebelumnya bahwa NTT masih dihadapkan pada berbagai
permasalahan gizi, yaitu masih tingginya prevalensi stunting, underweight, wasting, dan juga
anemia pada ibu hamil serta semakin meningkatnya obesitas pada orang dewasa (Riskesdas,
2018). Berbagai masalah gizi tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup generasi mendatang
dan menjadi beban Pemerintah akibat dampak masalah kesehatan yang ditimbulkan. Oleh karena
itu berbagai upaya intervensi gizi, baik dari pemerintah maupun masyarakat perlu ditingkatkan,
agar keluarga milenial bisa memiliki pemahaman yang komprehensif terkait gizi seimbang.
Intervensi gizi bagi keluarga milenial memang harus dikemas dengan gaya yang berbeda.
Hemat saya, kita perlu memanfaatkan teknologi saat ini, untuk mengedukasi para keluarga
milenial agar bisa memahami secara tepat gizi yang seimbang dan optimal. Penggunaan sosial
media, seperti instagram, youtube, facebook, dan lain sebagainya sebagai platform edukasi juga
perlu dipelajari agar penyampaian informasi mengenai gizi seimbang lebih cepat sampai ke
keluarga milenial yang notabene sangat lekat dan erat dengan gadget di tangan. Dan tentu saja
informasi mengenai gizi seimbang itu harus kredibel, benar, dan valid, mengingat akses internet
yang sangat terbuka ini, banyak sekali berita atau informasi hoaks yang dapat memengaruhi
psikologi keluarga milenial jika mereka tidak kritis dan jeli melihatnya.
Status gizi keluarga milenial harus benar-benar diberi perhatian agar bisa melahirkan
generasi yang sehat, unggul, cerdas, dan kuat. Sebagai Badan yang menangani pembangunan
keluarga, kependudukan, dan keluarga berencana (Bangga Kencana), BKKBN tentu selalu
berupaya untuk berinovasi, memberikan KIE yang baik dan benar tentang pentingnya
perencanaan keluarga, pentingnya membangun keluarga kecil bahagia, menjaga jarak kelahiran
agar ibu menjadi lebih sehat, serta memberikan edukasi mengenai gizi secara umum dengan
konten yang menarik dan kekinian, agar kelak, tidak melahirkan generasi yang stunting.
Mengingat, BKKBN saat ini sedang memegang peran sebagai ketua percepatan penurunan
stunting di Indonesia. Selamat memperingati Hari Gizi Nasional ke 62.

Anda mungkin juga menyukai