Anda di halaman 1dari 122

LAPORAN ILMIAH AKHIR

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE


(CHF) DENGAN PENERAPAN DEEP BREATHING EXERCISE DAN
ACTIVE RANGE OF MOTION (ROM) UNTUK PENURUNAN
DYSPNEA DI RUANG IGD RSUP
DR. M. DJAMIL PADANG

Pemintanan Keperawatan Gawat Darurat

YUZA KEMALA, S.Kep


Bp. 1741312047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2018

10
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILURE
(CHF) DENGAN PENERAPAN DEEP BREATHING EXERCISE DAN
ACTIVE RANGE OF MOTION (ROM) UNTUK PENURUNAN
DYSPNEA DI RUANG IGD RSUP
DR. M. DJAMIL PADANG

Pemintanan Keperawatan Gawat Darurat

YUZA KEMALA, S.Kep


Bp. 1741312047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASEIN CONGESTIVE HEART FAILURE
(CHF) DENGAN PENERAPAN DEEP BREATHING EXERCISE DAN
ACTIVE RANGE OF MOTION (ROM) UNTUK PENURUNAN
DYSPNEA DI RUANG IGD RSUP
DR. M. DJAMIL PADANG

Pemintanan Keperawatan Gawat Darurat

Untuk memperoleh gelar Ners (Ns)


pada Fakultas Keperawatan
Universitas Andalas

oleh
YUZA KEMALA, S.Kep
Bp. 1741312047

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
LA PORAN I LM I AKi I I R

AS U IIAN KE PEIt V AT N r
»A POS I EN
( I DENGAN PEN ERA PAN DEEP
OF 3f O TION (RO3I) U NT U K PL N U It
DYSPN EA D I RUING IGD Rsu LIN AN
DR. M. DIAM IL PA DANG

UZA KEMALA, S.Kcp


Bp. 1741312047

Laporan iliniah akhir ini sudah disetujui


Tanggal Scplernber 20 l h

Pernbiiiab ing I
Ferubimbing II

Ns. Dally Rahman, M. Kep Sp.Kep.M.B Nbrsa Mi i F SK


NUPN. 991 0677083 NIP.19740206 1999 032094

Kooi'dfqQ@ Bidang Profesi


Universitas Andalas
i i' ''

'"'’“ •>''* s“
’?- -’"’* r, t rev*”'
Kafka-F;ftñis o a M Ke S .Ke .M.B NIP 19800, 14 200604 2 001
PE N ETAPA N PENG U.TI LAPORAN I LMIAH AKHIR

AStJ HAN KE PERAWATAN PADA PASIE N CONGES T JE HEAD T FAIL THE


(CH F) IENC•AN PEN ERAPAN DEEP BREAYHING EXERCISE DAN
AGTI BE RANGE OF MOYION (ROM) UNTU K PEPS URUNAN
DYSPWEA DI R UANG IGD RSUP
DR. M. DJAMIL PADANG

Laporan ilmiah akhir ini telah diuji dan dinilai olehtim pengui di RSUP Dr. M. Djamil
Padang pada tanggal 03 Oktober 2018

Tim Penguji,

Ketua : Ns. Daily Rahman, M. Kep Sp.Kep.M.B

Anggota : Ns. Mimi Febrianny, S.Kep

: Elvi Oktarina, M. Kep, Ns.Sp. Kep. M.B

: Ns. Ade Wahyu Alii, S. Kep


UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT. atas segala nikmat dan rahmat Nya

yang selalu dicurahkan kepada seluruh makhluk Nya. Salawat serta salam

dikirimkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah dengan nikmat dan

hidayah-Nya, peneliti telah dapat menyelesaikan laporan imiah akhir ini dengan

judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Congestive Heart Failure (CHF)

Dengan Penerapan Deep Breathing Exercise Dan Active Range Of Motion

(ROM) Untuk Penurunan Dyspneadi Ruang IGD RSUP Dr. M. Djamil

Padang. Laporan ilmiah akhir ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar program Ners (Ns).

Terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada bapak Ns.

Dally Rahman M.Kep Sp. Kep M.B dan Ibu Ns Mimi Febrianny, S.Kep sebagai

pembimbing penulis yang telah dengan telaten dan penuh kesabaran membimbing

peneliti dalam menyusun proposal ini. Terima kasih yang tak terhingga juga

disampaikan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. dr. Rizanda Machmud, M.Kes, FISPH., FISCM selaku Dekan

Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.

2. Ibu Ns. Rika Fatmadona, M.Kep Sp KepMB selaku ketua program studi

praktek profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Andalas.


3. Dewan penguji yang telah memberikan kritik beserta saran demi kebaikan

karya ilmiah akhir ini.

4. Pihak RSUP Dr M.Djamil padang yang turut membantu dalam pelaksanaan

praktik peminatan keperawatan gawat darurat

5. Seluruh staf IGD RSUP Dr M.Djamil padang yang telah memberikan

dukungan dan memberikan ilmu selama penulis menjalankan prektik profesi

peminatan keperawatan gawat darurat.

6. Orang tua dan keluarga tercinta yang selama ini selalu memberikan dukungan

maksimal dan doa tulus kepada peneliti dalam seluruh tahapan proses

penyusunan proposal ini. Doa apak, doa amak, dukungan Uni dan Uda serta

keluarga besar yang memberikan semangat dan doa terbaik untuk peneliti.

7. Teman-teman kelompok terimaik yang telah menemani penulis dalam

menjalankan praktek profesi, wanita strong yang telah berjuang bersama

menikamati indahnya peminatan di IGD, paramitha yang selalu mengeluh

dengan kepala barasok saat banyak yang ia pikirkan, serik yang selalu dengan

gayanya yang menyebalkkan dari goyang-goyang ngak jelas sampai mencibir

serta fanny mei yang selalu dengan good day gorengan tingakahnya yang

maele-ele dan menjadi bahan tertawaan. Sangat berwarna peminatan ini guys.

Terima kasih untuk satu tahun ditempat yang penuh cobaan dan hujatan tapi

kita bisa melawatinya ya gina, stepan, fanny, serik dan paramitha. Gina yang

selalu ketinggalan dalam momen-momen berharga bersama tamu yang tidak

di undangang dan stepan yang selalu di dalam kamar saat didatangi tamu tak

di undang datang dan keluar saat keadaan sudah kondusif. Hal itu adalah
kenangan dan perjuangan untuk melewati profesi dan sampai di karya ilmiah

akhir ini wahai teman-temanku. Untuk bol-bol (Acy,Carla) dan sarifhatul

semangat ya untuk sampai ke tahap ini. Peminatan itu cuma sebentar jadi

nikmati lah setiap prosesnya karena itu adalah cerita untuk kalian di dalam

lembarab ucaparn terima kasih ini.

Peneliti menyadari bahwa laporan ilimiah akhir ini masih jauh dari

kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat

diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya.

Akhirnya harapan peneliti semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi kita

semua.

Padang, September 2018

Peneliti
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
LAPORAN ILMIAH AKHIR
SEPTEMBER, 2018

Yuza Kemala, 1741312047

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CONGESTIVE HEART


FAILURE(CHF) DENGAN PENERAPAN DEEP BREATHING
EXERCISE DAN ACTIVE RANGE OF MOTION (ROM)
UNTUK PENURUNAN DYSPNEA DI RUANG
IGD RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

ABSTRAK

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung
untuk memompa darah secara adekuat keseluruh tubuh. Tanda dan gejala yang sering
dirasakan pada pasien CHF adalah sesak nafas atau dyspnea. Penatalaksanaan non
farmakologi yang dilakukan bertujuan untuk menjaga stabilisasi fisik, menghindari
perburukan kondisi pasien gagal jantung. Penulisan karya ilmiah akhir ini untuk
membahas asuhan keperawatan pada pasien CHF dengan penerapan deep breathing
exercise dan active range of motion terhadap pengurangan dyspnea. Prosedur yang
dilakukan mengikuti proses keperawatan. Diagnosa yang ditegakkan sesuai
pengakajian adalah pola nafas tidak efektif, penurunan curah jantung dan risiko
perfusi renal tidak efektif serta risiko ketidakseimbangan cairan. Implementasi yang
dilakukan yaitu monitoring tanda-tanda vital, monitoring status pernafasan, evaluasi
adanya nyeri dada, dan atur periode latihan dan istirahat. Inovasi penerapan deep
breathing exercise dan active ROM dilakukan untuk mengatasi masalah yang ada
pada pasien. Evaluasi yang didapatkan dari implementasi deep breathing axercise dan
active ROM adalah masalah teratasi sebagian pada pola nafas dan intoleransi
aktivitas. Dimana terjadi penurunan dyspnea yang terlihat dari pernafasan klien yang
awalnya 28x/i menjadi 24x/i dan pasien merasa lebih nyaman dan bisa mnegontrol
energi untuk melakukan aktvitas sehar-hari. Saran kepada ruangan agar dapat
menerapkan inovasi deep breathing exercise dan active ROM pada pasien setelah
diberikan terapi oksigen dan posisi karena penerapan deep breathing exercise dan
active ROM dapat menghindari perburukan kondisi pasien dan menurunkan dyspnea.

Kata kunci : congestive heart failure, deep breathing exericse, dyspnea


Daftar pustaka: 51 (2006-2017)
NURSING FACULTY
ANDALAS UNIVERSITY
FINAL SCIENTIFIC REPORT
SEPTEMBER, 2018

Yuza Kemala, 1741312047

NURSING CARE IN PATEINT CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) WITH


APPLICATION OF DEEP BREATHINGEXERCISE AND ACTIVE
RANGE OF MOTION (ROM) FOR DECREASING
DYSPNEA IN INSTALATION EMERGENCY DR. M.
DJAMIL PADANG

ABSTRACT

Congestive Heart Failure (CHF) or heart failure is the inability of the heart to pump
blood adequately throughout the body. Signs and symptoms that are often felt in
patient with CHF are shortness of breath or dyspnea. Non-pharmacological
management carried out aims to maintain physical stabilization, avoid worsening of
the patient's failed condition. The writing of this final scientific work is to discuss
nursing care in CHF patients with deep breathing exercise and active range of
motion to reduce dyspnea. The procedure performed follows the nursing process.
Diagnosis established according to assessment is an ineffective breathing pattern,
decreased cardiac output and risk for ineffective renal perfusion, inbalance nutrition
less than body requirements Implications made are monitoring vital signs,
monitoring respiratory status, evaluating the presence of chest pain, and adjusting
the period of exercise and rest. Innovation in applying deep breathing exercise and
active ROM is done to overcome the problems that exist in patients. Evaluation
obtained from the implementation of deep breathing axercise and active ROM is a
part of the problem of breathing patterns and activity intolerance. Where there is a
decrease in dyspnea seen from the client's breathing which is initially 28x to 24x / i
and the patient feels more comfortable and can control energy to carry out daily
activities. Suggestions to the room to be able to apply this innovation to patients after
being given oxingen therapy and position because the application of deep breathing
exercise and active ROM can avoid worsening of the patient's condition.

Keywords : congestive heart failure, deep breathing exericse,


dyspnea Reference :51 (2006-2017)
DAFTAR ISI

Halaman Sampul Dalam.........................................................................................i


Halaman Prasyarat Gelar.......................................................................................ii
Lembar Persetujuan Pembimbing.........................................................................iii
Penetapan Penguji Laporan Ilmiah Akhir............................................................iv
Ucapan Terimakasih................................................................................................v
Abstrak......................................................................................................................viii
Abstract......................................................................................................................ix
Daftar Isi...................................................................................................................x
Daftar Tabel.............................................................................................................xiii
Daftar Gambar.........................................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Tujuan Penelitian.......................................................................................7
1. Tujuan Umum......................................................................................7
2. Tujuan Khusus.....................................................................................7
C. Manfaat......................................................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep Teoritis Congestive Heart Filure (CHF)......................................10
1. Defenisi................................................................................................10
2. Etiologi................................................................................................11
3. Manifestasi Klinis................................................................................13
4. Patofisiologi.........................................................................................16
5. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................19
6. Penatalaksanaan...................................................................................20
7. Komplikasi..........................................................................................23
B. Evidence Based Practice Nursing..............................................................24
1. Deep Breathing Exercise.....................................................................24
2. Range Of Motion.................................................................................27
C. Asuhan keperawatan Teoritis CHF............................................................31
1. Pengkajian primer...............................................................................31
2. Pengkajian sekunder...........................................................................32
3. Masalah keperawatan..........................................................................35
4. Implementasi Keperawatan................................................................47
5. Evaluasi keperawatan.........................................................................47

BAB III LAPORAN KASUS


A. Pengkajian Primer......................................................................................48
1. Identitas Umun....................................................................................48
2. Pengkajian Primer...............................................................................48
3. Diagnosa Keperawatan Pimer.............................................................50
4. Intervensi Keperawatan Primer..........................................................50
5. Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan Primer..............................52
B. Pengakjian Sekunder.................................................................................55
1. Riwayat Kesehatan Sekarang.............................................................55
2. Riwayat Kesehatan Dahulu................................................................56
3. Riwayat Kesehatan Keluarga.............................................................56
4. Pemeriksaan Head To Toe..................................................................56
5. Pemeriksaan Penunjang......................................................................58
6. Diagnosa Keperawatan Sekunder.......................................................61
7. Rencana Asuhan Keperawatan Sekunder...........................................61
8. Implementasi Dan Evaluasi Keperawatan Sekunder..........................64

BAB IV PEMBAHASAN
A. Manajemen Asuhan keperawatan..............................................................68
1. Pengkajian...........................................................................................68
2. Diagnosa..............................................................................................70
B. Evidence Based Practice Nursing..............................................................82

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................86
B. Saran..........................................................................................................87

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................89

LAMPIRAN

Lampiran 1. WOC.................................................................................................95
Lampiran 2. Dokumentasi.....................................................................................97
Lampiran 3. Lembar Bimbingan I......................................................................101
Lampiran 4. Lembar Bimbingan II.....................................................................102
Lampiran 5. Curriculum Vitae............................................................................103
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Congertive Heart Failure......................................................16


Tabel 2.2 Diagnosa Keperawatan NANDA NOC NIC Dan
Implementasi Keperawatan......................................................................36
Tabel 3.1 Prioritas Masalah Primer.........................................................................49
Tabel 3.2 Hasil Laboratorium..................................................................................58
Tabel 3.3 Priotitas Masalah Keperawatan Sekunder...............................................60
Tabel 3.4 Monitoring Tanda–Tanda Vital................................................................62
Tabel 3.5 Monitoring Dyspnea.................................................................................63
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Gambaran EKG.......................................................................................59


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masalah kesehatan yang utama pada negara berkembang ataunpun negara

maju adalah penyakit pembuluh darah dan jantung. Pada tahun 2030 diperkirakan

akan terjadi peningkatan angka menjadi 23.3 juta karena telah menjadi penyebab

utama kematian di dunia (Yancy, 2013; Depkes, 2014). Data World Health

Organization (WHO) menunjukkan 17,5 juta orang di dunia meninggal akibat

penyakit kardiovaskuler atau 31% dari 56,5 juta kematian di seluruh dunia. Dari

seluruh kematian akibat penyakit kardiovaskuler 7,4 juta (42,3%) di antaranya

disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan 6,7 juta (38,3%) disebabkan

oleh stroke (Artikel DepKes, 2017).

Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia diperkirakan mencapai

0,13% atau 229.696 orang dari total penduduk Indonesia dan Provinsi yang

memiliki prevalansi tertinggi adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu

0,25% (Depkes, RI 2014; PERKI, 2015). Meningkatnya prevalensi tersebuat akan

menimbulkan masalah penyakit seperti kecacatan serta masalah sosial ekonomi

bagi keluarga pasien. Selain itu juga akan memberikan masalah di masyarakat dan

negara (Depkes RI, 2014, Ziaeian, 2016).


Penyakit Congestive Heart Failure (CHF) memiliki tanda dan gejala yang

berhubungan dengan aktivitas fisik pada pasien. Pada pasien CHF tanda dan gejala

yang muncul diantaranya yaitu dyspnea, gelisah dan fatigue. Dyspnea adalah

gejala yang timbul pada penderita CHF dan sering keluhkan. Wawancara yang

dilakukan pada 8 orang pasien didapatkan hasil bahwa 80% dari pasien

mengeluhkan aktivitas sehari-hari mereka terganggu karena dyspnea yang mereka

rasakan. Gagal jantung kongestif akan mengakibatkan cairan tertumpuk di alveoli

karena tergangunya fungsi pulmonal. Keadaan tersebut menjadikan suplai oksigen

terganggu karena tidak maksimalnya jantung untuk memompakan darah. Selain

itu, akan terjadi perubahan pada otot-otot respiratori sehingga mengakibatkan

suplai oksigen ke seluruh tubuh menjadi terganggu sehingga terjadilah dyspnea

(Johnson, 2008; Wendy, 2010). Menurut New York Heart Assosiation (NYHA)

pada pasien CHF biasanya mengalami dyspnea yang berhubungan dengan

aktivitas sehingga CHF dibagi menjaid 4 kategori sesuai dengan tanda dan

gejalanya (Johnson, 2010; Wendy; 2010).

Dyspnea adalah suatu keadaan dimana usaha pasien untuk meningkatkan

usaha pernapasan. Kondisi ini dapat muncul saat istirahat atau dengan aktivitas

minimal. Pasien sadar akan mengalami kegagalan dalam mengambil nafas yang

cukup. Hipoksemia menyebabkan dyspnea pada pasien dengan edema paru akut.

Namun, dyspnea juga terlihat pada pasien yang lebih banyak mengalami gagal

jantung tipe kronis dan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan yang

dibangkitkan tekanan darah kapiler pulmonal atau hemodinamik lainnya

(Alkan,etc 2017).
Dyspnea kronis saat istirahat atau dengan aktivitas minimal muncul

tergantung pada beberapa mekanisme perifer termasuk kelelahan otot pernafasan,

peningkatan area kematian fisiologis, peningkatan resistensi saluran napas,

disfungsi endotel, metabolisme otot rangka abnormal. Dypsnea mempengaruhi

aktivitas fisik dan kualitas hidup dan secara negatif dengan meningkatkan risiko

perkembangan gaya hidup menetap pada pasien (Alkan,et al 2017). Dari berbagai

penelitian didapatkan hasil bahwa penurunan dyspnea dapat dilakukan dengan

berbagai teknik saah satunya yaitu denagn Deep Breathing Exercise (Ziaeian,

2016).

Deep Breathing Exercise adalah teknik respirasi yang digunakan untuk

mengambil respirasi di bawah kontrol dan membebaskannya. Ini adalah teknik

respirasi digunakan untuk mengontrol dypsnea dan menghilangkannya dalam

situasi di mana kebutuhan untuk respirasi meningkat selama latihan dan kegiatan

sehari-hari. Metode ini digunakan untuk mendapatkan kontrol dan membuat

pengosongan alveoli lebih mudah untuk level maksimum selama ekspirasi.

Menghirup respirasi melalui bibir dapat meningkatkan pertukaran gas,

menurunkan tingkat pernapasan, meningkat volume tidal, dan meningkatkan

aktivitas otot inspirasi dan ekspirasi. Respirasi ini dapat mengurangi dyspnea dan

sering digunakan pada keadaan akut karena aktivitas, kecemasan, dan gangguan

pernafasan (Alkan,et al 2017).

Deep Breathing Exercise juga disebut dengan latihan pernapasan dimana

latihan ini mendorong diafragma ke atas oleh otot-otot perut selama ekspirasi.

Keadaan ini juga meningkat efisiensi diafragma sebagai otot inspirasi. Karena otot
diafragma digunakan selama respirasi diafragma bukannya otot-otot lain, kerja

pernapasan menurun dan karena itu, tingkat aserasi paru-paru meningkat dan

respirasi meningkat. Latihan pernapasan dapat digunakan sebagai metode yang

mengurangi kecemasan selama serangan dyspnea akut atau sebagai teknik

relaksasi. Secara umum, latihan pernapasan dapat memberikan bantuan pada

pasien dyspnea dan memiliki kontrol lebih besar pada pernapasan serta lebih

dalam efektif untuk mengurangi dyspnea (Alkan,et al 2017).

Latihan pernafasan dalam mampu mencegah udara yang terperangkap di

paru-paru yang dapat menyebabkan pasien merasa sesak napas. Dengan demikian

pasien bisa menghirup udara yang lebih segar (Westerdahl, 2014; Muttaqin, 2012).

Latihan pernapasan akan memeprbaki fungsi pernapasan jika dilakukan dengan

teratur karena mampu mengoptimalkan paru saat mengembang dan penggunaan

otot bantun yang minimal saat melakukan pernapasan (Potter, 2005).

Range of motion (ROM) merupakan latihan gerak bertujuan untuk

meningkatkan perfusi jaringan perifer dengan terjadinya peningkatan aliran darah

ke otot (Babu, 2010). Peningkatan sirkulasi terjadi karena adanya keteraturan

dalam menggerakkan tubuh yeng akan menurunkan resistensi pembuluh darah

melulai dilatasi arteri otot. Dengan sirkulasi yang lancar maka trasportasi oksigen

ke jaringan akan terpenuhi dengan baik dan adekuat. Latihan fisik akan

meningkatkan curah jantung karena volume darah dan hemoglobin akan

meningkat dengan diperbaikinya penghantaran oksigen di dalam tubuh. Keadaan

tersebut akan berdampak pada penurunan dyspnea (Artur, 2006). Derajat dyspnea

pada pasien gagal jantung juga sangat efektif diturunkan dengan breathing
exercise dengan salah satunya yaitu deep breathing exercise, penelitian ini sudah

dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Sepdianto, 2013).

Pasien dengan kelas IV akan merasa terengah-engah dan merasa kesulitan

dalam mekaukan aktivias sehari-hari atau dalam beristirahat. Keadaan ini terjadi

karena dyspnea berpengaruh pada penurunan produksi energi yang mengakibatkan

penuruanan pada kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas, dengan demikian

juga dapat menurunkan kualitas hidup pasien (Sepdianto, 2013). Sedangkan pada

pasien gagal jantung dengan kategori kelas II dan kelas III dapat dilakukan

rehabilitasi untuk mencegah perburukan kondisi (Sagar, 2015). Perawat

mempunyai tugas untuk menyelesaikan masalah pasien denagn tindakan mandiri

ataupun kolaborasi dalam pemberian asuhan keprawatan yang komprehensif Jika

masalah ini tidak di selesaikan, maka akan memperberat kondisi dari pasien CHF

tersebut. Diagnosa keperawatan untuk pasien yang mengalami dyspnea adalah

pola napas tidak efektif dengan demikian dapat diberikan intervensi yang dapat

diberikan berupa penagturan posisi seperti posisi semifowler dan berkolaborasi

tenaga kesehatan lain utuk memeberikan terapi oksigen (NANDA, 2014; NIC,

2015).

Berdasarkan data yang diperoleh selama mahasiswa melaksanakan

peminatan di IGD RSUP M. Djamil Padang yaitu mulai tanggal 6 Agustus 2018 –

25 Agustus 2018 pasien yang menderita CHF yaitu berjumlah 72 orang. Terdapat

peningkatan pada 2 bulan terakhir di tahun 2018. Dimana ditemukan data pada

bulan Juli berjumlah 37 kasus CHF sedangkan pada bulan Agustus terdapat 45

kasus CHF. Dari 3 orang pasien CHF yang di temui selama dinas peminatan IGD
klien mengeluh sesak nafas dan kelelahan. Pasien yang di temui di CVCU 2 dari 3

orang pasein juga mengeluhkan sesak nafas dan kelelahan jika melakukan

aktivitas. Masalah yang timbul harus di antisipasi agar tidak terjadinya komplikasi

yang dapat mengancam kehidupan pasien.

Pada semua pasien yang di temui selama peminatan di IGD, keluhan utama

pada pasien tersebut adalah sesak nafas. Pemeriksaan fisik yang dilakukan di

temukan data yaitu pergerakan dinding dada dan penggunaan otot bantu nafas.

Selain itu tanda-tanda vital pasien tidak normal dimana RR pasien >24 x/i. Dari

data yang ditemukan itu intervensi yang dilakukan yaitu pemberian posisi

semifowler untuk memaksimalkan ventilasi dan memberikan terapi oksigen sesuai

order. Setelah di lakukan implementasi evaluasi yang didapat, pasein masih

mengeluh sesak nafas. Maka dari keadaan itu penulis tertarik untuk menambahkan

intervensi dan implementasi untuk mengurangi dyspnea pada pasien CHF. Salah

satu implementasi yang dilakukan untuk mengurangi dyspnea adalah deep

breathing exercise dan ROM karena berbagai penilitian mengungkapakan bahwa

latihan pernapasan efektif untuk mengurangi dyspnea

Berdasarkan dengan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan asuhan keperawatan pada pasien CHF (Congestive Heart Failure)

dengan penerapan Deep Breathing Exercise dan ROM (Range Of Motion) untuk

mengurangi dyspnea di ruangan IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memaparkan hasil asuhan keperawatan pada pasien

CHF (Congestive Heart Failure) dengan pemberian Deep Breating Exercise

dan ROM (Range Of Motion) untuk mengurangi dypsnea di ruangan IGD

RSUP Dr.M.Djamil Padang.

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan hasil pengkajian pada pasien dengan CHF (Congestive

Heart Failure) dengan dyspnea di ruangan IGD RSUP Dr.M.Djamil

Padang.

b. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan CHF

(Congestive Heart Failure) dengan dyspnea di ruangan IGD RSUP

Dr.M.Djamil Padang.

c. Menjelaskan perencanaan pengelolaan pasien dengan CHF (Congestive

Heart Failure) dengan dyspnea dengan penerapan Deep Breathing

Exercise dan ROM (Range Of Motion) untuk mengurangi dypsnea di

ruangan IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang.

d. Menjelaskan implementasi pada pasien dengan CHF (Congestive Heart

Failure) dengan dyspnea dengan penerapan Deep Breathing Exercise

dan ROM (Range Of Motion) untuk mengurangi dypsnea di ruangan

IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang.

e. Menjelaskan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan sesuai

dengan rencana keperawatan pada dengan CHF (Congestive Heart

Failure) dengan dyspnea dengan penerapan Deep Breathing Exercise


dan ROM (Range Of Motion) untuk mengurangi dyspnea di ruangan

IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang.

C. Manfaat

1. Bagi Pelayanan Kesehatan

Diharapkan laporan Ilmiah Akhir ini dapat memberikan manfaaat bagi

pelayanan keperawatan yaitu:

a. Memberikan gambaran dan menjadi acuan asuhan keperaatan pada

pasien CHF yang mengalami dypsnea dengan penerapan Deep

Breathing Exercise dan ROM di ruangan IGD RSUP Dr.M.Djamil

Padang.

b. Memberikan pilihan intervensi pada pasien CHF yang mengalami

dypsnea dengan penerapan Deep Breathing Exercise dan ROM di

ruangan IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang

2. Bagi Peneliti

Hasil Laporan Akhir Ilmiah ini dapat digunakan sebagai referensi

tambahan untuk penelitian selanjutnya tentang penatalaksanaan keperawatan

yang dapat dilakukan pada pasien CHF dengan keluhan dyspnea dengan cara

pemberian deep breathing exercise dan ROM di ruangan IGD RSUP

Dr.M.Djamil Padang.

3. Bagi Rumah Sakit

Laporan Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai

SOP dalam memberikan asuhan keperawatan mandiri pada pasien CHF yang
mengalami dyspnea dengan penerapan Deep Breathing Exercise dan ROM di

ruangan IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang.

4. Bagi Institusi Pendidikan

Penulisan ini diharapkan menjadi referensi dan masukan dalam

menyusun asuhan keperawatan pada pasien dengan pasien CHF yang

mengalami dyspnea dengan penerapan Deep Breathing Exercise dan ROM di

ruangan IGD RSUP Dr.M.Djamil Padang.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Teoritis Congestive Heart Failure (CHF)

1. Defenisi

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung adalah

ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara adekuat keseluruh

tubuh (Ebbersole, Hess, 2008). Gagal jantung adalah keadaan klinik yang

ditandai dengan adanya kelainan pada struktur atau fungsi jantung yang

mengakibatkan jantung tidak dapat memompa darah untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme jaringan (Rachma, 2014).

Gagal jantung kongestif adalah suatu kondisi dimana jantung

mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan

sel-sel tubuh akan nutrient dan oksigen secara adekuat. Hal ini

mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah

lebih banyak untuk dipompakan keseluruh tubuh atau mengakibatkan otot

jantung kaku dan menebal. Jantung hanya mampu memompa dengan kuat.

Sebagai akibatnya, ginjal sering merespon dengan menahan air dan garam.

Hal ini akan menagibatkan bendungan cairan dalam beberapa oragan tubuh

seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi

bengkak (congestive) (Udjianti, 2011).


2. Etiologi

Menurut Smeltzer & Bare (2008), ada beberapa penyebab gagal jantung

kongestif antara lain :

1) Kelainan otot jantung

Gagal jatung sering dialami oleh penderita kelainan otot jantung yang

disebabkan oleh menurunnya kontraktilitas jantung. Hal tersebut

terjadi karena kelainan fungsi otot mencakup atriosklerosis kororner,

hipertensi arterial, dan penyakit dengeneratif atau inflamasi.

2) Aterosklerosis koroner

Aterosklerosis koroner akan mengganggu aliran darah ke otot jantung

karena terjadinya difungsi miokardium. Hal tersebut akan

menyebabkan hipoksia dan sianosis (akibat penumpukan asam laktat)

infark miokardium (kematian sel jantung) yang biasanya mendahului

terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit mioardium

degenerative sangat berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi

tersebut akan meruasak serabut jantung sehingga menyebakan

kontarktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload)

Keadaan ini akan meningkatkan beban kerja jantung dan akan

mengakibatkan hipertrofi serabut jantung.

4) Penyakit jantung lainnya

Gagal jantung secara langsuanga akan memepengaruhi jantung yang

meruapakn akibat dari penyakit jantung yang sebenarnya. Mekanisme


yang biasanya terjadi mencakup gangguan aliran darah yang masuk ke

jantung, ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah dan

peningkatan mendadak afterload.

5) Faktor sistemik

Beberapa faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya

gagal jantung adalah meningkatnya laju metabolisme (misalnya:

demam torotoksikosis), hipoksia dan anemia. Hal tersebut akan

peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhna oksigen

sistemik. Hipoksia dan anemia adalah penyebab menurunnya suplai

oksigen ke jantung. Selain itu, keadaan asidosis respiratorik atau

metabolic dan abnormalitas elektronik akan menurunkan kontraktilitas

jantung.

Menururt Price dan Wilson (2006) penyebab lain dari gagal jantung

adalah sebagai berikut:

a) Meningkatkan beban awal seperti reguirgitasi aorta dan cacat

septum ventrikel.

b) Meningkatkan beban akhir, seperti stenosis aorta dan hipertensi

sistemik.

c) Meningkatkan kontraktilitas miokardium


3. Manifestasi Klinis

American Heart Association (2012) menjelaskan beberapa manifestasi

klinik yang dapat diamati pada penderita CHF, antara lain :

1) Dispnea, atau sesak nafas

Dispnea atau sesak nafas adalah manifestasi gagal jantung yang

paling umum dan biasanya sering dialami saat melakukan kegiatan, saat

istirahat ataupun tidur. Hal ini disebabkan karena peningakatan kerja

pernafasan akibat kongestif vascular paru yang mengurangi kelenturan

paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan dispnea saat

beraktifitas menunjukkan kegagalan jantung sisi kiri. Selain itu sesak

juga disebabkan karean jantung tidak mampu menyalurkan aliran balik

darah di vena pulmonal ke paru-paru sehingga terjadi bendungan darah

di paru-paru

2) Penumpukan cairan pada jaringan (edema)

Edema terjadi akibat pemimbunan cairan dalam ruang intertisial

yang disebabkan oleh lambatnya aliran yang keluar dari jantung. Selain

antung keadan ginjal yang tidak mampu mengelurkan natrium dan air

juga menyebabkan retensi cairan dalam jaingan. Tanda dari penumpukan

cairan dijaringan dapat di lihat dari bengkaknya kaki maupun

pembesaran perut penderita CHF.

3) Mengi atau batuk persisten

Hal ini disebabkan oleh penumpukan cairan di paru akibat aliran

balik darah ke paru-paru.


4) Kelelahan (fatigue)

Pada penderita CHF hal yang paling biasa ditemukan adalah

perasaan lelah sepenjang waktu dan kesulitan untuk melakukan aktivitas

sehari-hari. Keadan itu disebabkan karena jantung tidak mampu

memompakan darah secara cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.

Pada kondisi seperti itu tubuh akan mengalihkan darah ke jantung dan

otak dari organ yang kurang penting terutama otot-otot tungkai.

5) Penurunan nafsu makan dan mual

Mual, begah atau tidak nafsu makan sering di keluhakan oleh

penderita CHF. Hal ini terjadi dikarenakan darah yang diterima oleh

sistem percernaan kurang sehingga menyebabkan masalah dengan

pencernaan. Untuk perasaan mual dan begah disebabkan oleh adanya

asites yang menekan lambug atau saluran cerna.

6) Peningkatan denyut nadi

Hal tersebut dapat diamati dari denyut jantung yang berdebar-debar

(palpitasi) yang merupakan upaya kompensasi jantung terhadap

penurunan kapasitas untuk memompa darah.

7) Kebingungan atau gangguan berpikir

Keadaan ini disebabkan oleh perubahan jumlah zat tertentu dalam

darah seperti sodium yang dapat menyebabkan penurunan kerja implus

saraf. Selain itu kebingungan dan gangguan berpikir juga dapat

disebabkan oleh penurunan jaringan ke otak akibat penurunan curah

jantung.
8) Gangguan tidur

Menurut Smletzer dan Bare (2002), gangguan kebutuhan dasar pada

penderita CHF akan mengakibatkan masalah keperawatan yang salah

satunya yaitu gangguan kebutuhan istirahat atau gangguan pola tidur

berhubungan dengan perubahan posisi tidur yang menyebabkan sesak.

Black & Hawks (2009) mengelompokkan manifestasi klinis CHF

dari kekhasan yang timbul dari tipe gagal jantung yang dialami antara

lain:

1) Pada gagal jantung dengan kegagalan ventrikel kiri, manifestasi

yang biasanya muncul adalah dispnea, paroxysmal noctrunal

disease (PND), pernapsan cheyne-stroke, batuk, kecemasan,

kebingunan, imsomnia, krusakan memori, kelelahan, dan

kelemahan otot seta nokruta (dieresis malam hari)

2) Gagal jantung dengan kegagalan ventrikel kanan biasanya

mengakibtkan edema, pembesaran hati, penurunan nafsu makan,

mual dan perasaan begah.

Menurut Price dan Wilson (2006) manifestasi klinis gagal jantung

juga mempertimbangkan terhadap lathan fisik. Pada awalnya, secara

khas gejala hanya muncul saat beraktivitas. Tetap dengan bertambah

bertannya gagal jantung, toleransi muncul lebih awal dengan aktivitas

yang lebih ringan. Menurut The New York Heart Association (NYHA)
klasifikasi Congestive Heart Failure (CHF) berdasarkan tingkat

keterbatasan aktivitas fisik dan tingkat keparahan

Tabel 2.1 Klasifikasi Congertive Heart Failure

Kelas I Tidak ada keterbatasan dalam melakukan


aktivitas fisik.aktivitas fisik tidak
menyebabkan sesak, palpitsi atauun fatigue

Kelas II Sedikit mengalami keterbatasan dalam


melakukan aktivitas fisik. Merasa nyaman saat
beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas
fisik mulai merasakan sedikit sesak, palpitasi
ataupun fatigue

Kelas III Ditandai dengan keterbatasan dalam


melakukan aktivitas fisik, saat melakukan
aktivitas fisik yang sangat ringan dapat
menimbulkan sesak, palpitasi atupun fatigue

Kelas IV Tidak dapat memkukan aktivitas fisik kerena


ketidaknyamanan. Saat istirahat gejala bisa
muncul dan jika melakukan ativitas fisik maka
gejala akan meningkat

4. Patofisiologi

Ketika curah jantung tidak mencukupi kebutuhan tubuh akiba gagal

jantung, maka tubuh mememrlukan mekaniasme kompiensasi. Mekanisme

kompensasi yang terjadi untuk meningkatkan curah jantung antara lain

dilatasi ventrikel, peningkatan stimulasi sistem saraf simpatis dan aktivasi


sistem renin-angiotensin.Mekanisme kompensasi tersebut akan membantu

meningkatkan kontraksi dan mengatur sirkulasi, tetapi jika terus menerus

berlangsung dapat menyebabkan pertumbuhan otot jantung yang abnormal

dan remodeling jantung (Black & Hawks, 2009).

Fase kompensasi yang dilakukan oleh jantung untuk meningkatkan

cardiac output antara lain:

a) Fase Kompensasi

1) Dilatasi Ventrikel

Dilatasi ventrikel adalah keadaan dimana terjadi pemanjangan

jaringan-jaringan otot sehingga meningkatkan volume dalam ruang

jantung. Keadaan ini menyebabkan peningkatan preload dan curah

jantung, namun dilatasi memiliki keterbatasan sebagai mekanisme

kompensasi. Hal ini disebabkan oleh otot yang teragang pada

akhirnya tidak akan efektif lagi dan akan terajdi hipoksia jantung

akibat menurunnya kontraksi jantung (AHA, 2012; Black & Hawks,

2009)

2) Peningkatan Stimulasi Saraf Simpatis

Peningkatan aktivitas adrenergik simpatis akan menyebabkan

vasokontriksi arteriol, takikardi, dan peningkatan kontraksi

miokardium. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan curah

jantung serta penyaluran oksigen dan nutrisi ke jaringan. Selalin

membantu dalam meningkatkan curah jantung kedaan ini juga

memiliki efek diamna akan menyebabkan peningkatan resistensi


pembuluh darah perifer (menyebabkan peningkatan afterload) dan

kerja otot jantung untuk memompa darah. (Black & Hawks, 2009;

Muttaqin, 2009)

3) Stimulasi Sistem Renin-Angiotensin

Ketika aliran darah dalam arteri menururn akan terjadi pengeluaran

renin yang akan berinteraksi dengan angontensin dan membentuk

angiontensin I. Angiotensin I sebagian besar akan diubah di paru-

paru menjadi angiotensin II apabila berinteraksi dengan angiotensin

converting enzyme (ACE). Angiotensin II merupakan

vasokonstriktor yang kuat dan mampu memelihara homeostasis

sirkulasi dengan meningkatkan vasokontriksi, dan menyebabkan

pelepasan norepinefrin dari ujung saraf simpatis serta menstimulasi

medula untuk mensekresi aldosteron sehingga meningkatkan

absorpsi natrium dan air. Stimulasi ini akan menyebabkan

peningkatan volume plasma sehingga preload akan meningkat

(Black & Hawks, 2009; Muttaqin, 2009).

b) Fase Dekompensasi

Fase dekompensasi terjadi setelah kegagalan dari fase kompensasi

yang ditandai dengan remodeling dan aktivitas aktivasi neurohormonal

yang terus menerus. Remodelling terjadi selama fase kompensasi diaman

terajadi perubahan pada beberapa struktur ventrikel. Hal ini adalah hasil

dari hipertrofi sel otot jantung serta aktivasi sistem neurohormonal yang

terus menerus. Hipertrofi sel otot jantung akan mengakibatkan


pengerasan dinding ventrikel untuk mengurangi stress didning ventrikel.

Perubahan pada otot jantung yang terajdi seperti penurunan kontraktilitas

otot jantung, meningkatnya stress dinding ventrikel dan permintaan

oksigen tinggi akan menyebabkan kematian sel otot jantung sehingga

akan menyebabkan penurunan fungsi jantung (Black & Hawks, 2009).

Selain itu aktivitas simpatis dalam jangka panjang memberikan efek

toksik secara langsung pada jantung dan akan menyebabkan hipertrofi

serta kematian sel. Selain itu, efek simpatis yanag akan terajdia adalah

penurunan sirkulasi dan tekanan arteri di ginjal. Hal tersebut akan

menyebabkan penurunan glomerular filtration rate (GFR) sehingga

meningkatkan retensi natrium dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal

akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin yang salah satu efeknya

akan meningkatkan retensi natrium dan air akibat diaktikfkannya sistem

renin angiotensin merupakan saalah satu efek dari penururnan aliran

darah. Proses tersebut menyebabkan peningkatan volume darah lebih

dari 30% dan terjadilah edema.(Black & Hawks, 2009).

5. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Karson (2012) pmeriksaan penunjang atau diagnostik pada pasien

CHF meliputi:

1) EKG, mengetahui hipertofi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis,

iskemik adanya sinus takikardi, infark/fibrilasi atrium, ventrikel

hipertrofi, difungsi penyakit katub jantung.


2) Rontgen dada, menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan

mencerimkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam

pembuluh darah atau peningkatan tekanan pulmonal.

3) Kateterisasi jantung; tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan

membantu membedakan gagal jantung sisi kiri dan kanan, stenosis

katub atau insufisiensi serta mengkaji potensi arteri koroner.

4) Elektrolit; terjadi perpindahan cairan atau penururnan funsi ginjal.

5) Oksimtri nadi; saturasi oksigen rendah.

6) SGD; gagal jantung kiri di tandai alkalosis respiratoik ringan atau

hipoksemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida.

7) Enzim jnatung; meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan

jantung, misalnya infark miokard.

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan bertujuan untuk menurunkan kerja otot jantung,

memberikan perfusi adekuat pada organ penting, meningkatkan kemampuan

pompa ventrikel dan mencegah bertambah parahnya gagal jantung dan

merubah gaya hidup (Black & Hawks, 2009).

Penatalaksanaan pasien gagal jantung dapat diterapkan sebagai berikut:

a) Menurunkan Kerja Otot Jantung

Penurunan kerja otot jantung dapat dilakukan dengan pemberian

diuretik, vasodilator dan beta-adrenergic antagonis (beta bloker).

- Diuretik yang biasanya dipakai adalah loop diuretic, seperti

furosemid, yang akan menghambat reabsorbsi natrium di


ascending loop henle. Hal tersebut diharapkan dapat menurunkan

volume sirkulasi, menurunkan preload, dan meminimalkan

kongesti sistemik dan paru.

- Vasodilator atau obat-obat vasoaktif dapat menurunkan preload

dan afterload sehingga meningkatkan cardiac output.

- Beta bloker digunakan untuk menurunakn kebutuhan jantung

dengan menghambat efek sistem saraf simpatis (Black & Hawks,

2009).

b) Elevasi Kepala

Pemberian posisi high fowler bertujuan untuk mengurangi kongesti

pulmonal dan mengurangi sesak napas. (Black & Hawks, 2009).

c) Mengurangi Retensi Cairan

Dapat dilakukan dengan membatasi cairan dan mengontrol asupan

natrium. Pembatasan natrium dilakukan dalam diet sehari-hari untuk

membantu mencegah, mengontrol, dan menghilangkan edema serta

pembatasan cairan hingga 1000 ml/hari direkomendasikan pada gagal

jantung yang berat.

d) Meningkatkan Pompa Ventrikel Jantung

Penggunaan adrenergic agonist atau obat inotropik termasuk salah satu

cara yang sangat efektif untuk meningkatkan kontraktikitas otot dan

curah jantung. Obat-obatan ini akan meningkatkan kemampuan pompa

ventrikel sehingga kontraktlitas jantung juga akan meningkat. Salah satu

inotropik yang sering digunakan adalah dobutamin.


e) Pemberian Oksigen dan Kontrol Gangguan Irama Jantung

Pemberian oksigen dengan nasal kanula bertujuan untuk mengurangi

sesak napas, dan hipoksia serta membantu pertukaran oksigen dan

karbondioksida. Oksigenasi yang baik dapat meminimalkan terjadinya

gangguan irama jantung.

f) Mencegah Miokardial Remodelling

ACE inhibitor dapat menurunkan afterload dengan memblok produksi

angiotensin, yang merupakan vasokonstriktor kuat. Selain itu, ACE

inhibitor juga menurunkan restensi vaskuler vena dan tekanan darah

yang menyebabakan peningkatan jantung

g) Merubah Gaya Hidup

Perubahan gaya hidup merupakan kunci yang paling utama dalam

mempertahankan fungsi jantung dan mencegah kekembuhan. Ada

beberapa faktor penyebab terjadinya rawat inap ulang pada pasien gagal

jantung diantaranya yaitu kurangnya pendidikan kesehatan tentang

bagaimana perawatan diri di rumah, dan kurangnya perencanaan tindak

lanjut saat pasien pulang (Bradke, 2009). Perubahan gaya hidup yang

harus dilakukan oleh pasien yaitu latihan fisik secara teratur, diit,

pembatasan natrium, berhenti merokok dan minum alkohol (Suhartono,

2011).
7. Komplikasi

1) Syok kardiogenik

Keadaan ini ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri yang

mengakibatkan gangguan fungsi ventrikel kiri yaitu mengakibatkan

gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke

jaringan yang khas pada syok kardiogenik yang disebabkan oleh

infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jarngan otot

pada ventrikel kiri dan nekris vocal di seluruh ventrikel karena

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium.

2) Edema paru

Keadaan ini terjadi dengan cara yang sama seperti edema dimana

saja didalam tubuh. Faktor apapun yang menyebabkan cairan

interstitial paru meningkat dari batas negatif menjadi batas positif.

Penyebab kelainana paru yang paling umum yaitu :

- Gagal jantung kiri dengan akibat peningkatan tekanan kapiler

paru dan membanjiri ruang interstial dan alveoli.

- Kerusakan pada membran kapiler paru yang disebabakan oleh

infeksi seperti pneumonia atau terhirupmya bahan-bahan yang

berbahaya seperti gas klorin atau gas sulfur dioksida. Masing-

masing menyebabkan kebocoran protein plasma dan cairan

secara cepat keluar dari kapiler.


B. Evidence Based Practice Nursing Deep Breathing Exercise dan Range of

motion (ROM)

1. Deep Breathing Exercise

a. Pengetian

Deep Breathing Exercise atau latihan nafas dalam merupakan latihan

pernapasan dengan teknik bernapas secara perlahan dan dalam

menggunakan otot diagfragma, sehingga memungkinkan abdomen

terangkat perlahan dan dada mengembang penuh (Smeltzer, et al., 2008).

Deep breathing exercise adalah salah satu latihan pernafasan yang

dapat meningkatkan fungsi paru. Latihan ini bertujuan untuk meningkatka

kemampuan otot-otit pernafasan yang berguna untuk meningkatkan

compliance paru untuk meningkatkan fungsi ventilasi dan memperbaiki

aksigenasi dan menurunkan sesak nafas (Priyanto, 2010).

Latihan pernapasan dengan teknik deep breathing membantu

meningkatkan compliance paru untuk melatih kembali otot pernapasan

berfungsi dengan baik serta mencegah distress pernapasan (Ignatavicius,

et al, 2006).

Tujuan latihan deep breathing adalah untuk meningkatkan volume

paru, meningkatkan dan redistribusi ventilasi, mempertahankan alveolus

tetap mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan

sekresi, mobilisasi torak dan meningkatkan kekuatan dan daya tahan serta

efisiensi dari otot- otot pernapasan (Brunner & Suddarth, 2002).


b. Manfaat Deep Breathing Exercise

Upaya peningkatan kapasitas vital paru dapat di lakkan melalui

latihan pernafasan dan doharapkan dpat memeperbaiki fungsi ventilasi

paru ( Inggnatavicius & Workman, 2006). Adanya peningkatan tahapan

jalan udara dan penurunan udara residu mengakibatkan kekuatan otot

inspirasi yang dibutuhkan menjadi minimal (Amin, 2009).

Deep breathing exercise merupakan latihan pernafasan yang

memiliki beberapa manfaat, diantaranya:

1) Breathing ecxercise didesain untuk meperbaiki fungsi otot-otot

respirasi, menungkatlan oskigenasi dan ventilasi.

2) Exercise aktive ROM pada shoiler dan trunk akan membantu ekspansi

thorax, menfasilitasi deep breathing dan sering digunakan untuk

menstimulasi reflek batuk

3) Merupakan bagian dari program teratmenta yang didesain untuk

meningatkan status pilminal, endurance dan fungsi ADL.

4) Pada konsisi tertentu, breathing exercise sering dikombinasikan

dengan pengobatan dan program conditioning.

c. Mekanisme

Selama metode inspirasi dengan deep breathing berlangsung, akan

menyebabkan abdomen dan rongga dada terisi penuh mengakibatkan

terjadinya peningkatan tekanan intratoraks di paru. Hal ini menyebabkan

peningkatan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh. Oksigen yang


meningkat akan mengaktivasi kemoreseptor yang peka terhadap

perubahan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh, kemudian kemoreseptor

akan mentransmisikan sinyal saraf ke pusat pernapasan tepatnya di

medula

oblongata yang juga menjadi tempat medullary cardiovascular centre.

Sinyal yang ditransmisikan ke otak akan menyebabkan aktivitas kerja

saraf parasimpatis meningkat dan menurunkan aktivitas kerja saraf

simpatis sehingga akan menyebabkan penurunan tekanan darah.

Peningkatan tekanan intratoraks di paru tidak hanya menyebabkan

peningkatan oksigen jaringan, namun juga mampu mengaktivasi refleks

baroreseptor melalui peningkatan tekanan arteri di pembuluh akibat

terjadinya peningkatan stroke volume dan curah jantung di jantung kiri.

Akibatnya adalah terjadi penurunan tekanan darah dari aktivasi refleks

baroreseptor yang mengirimkan sinyal ke medullary cardiovascular centre

di medula oblongata yang menyebabkan peningkatan kerja saraf

parasimpatis dan penurunan kerja saraf simpatis (Joohan, 2000).

d. Metode Latihan Deep Breathing

Deep breathing exercise merupakan bagian dari fisioterapi khususnya

dalam kasus yang berhubungan dengan sistem kardiorespirasi. Latihan

pernapasan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan otot-otot

pernapasan yang berguna untuk meningkatkan compliance paru untuk

meningkatkan fungsi ventilasi dan memperbaiki oksigenasi.


Teknik deep breathing exercise yang dipublikasikan oleh Smeltzer, et

al., (2008) adalah sebagai berikut:

1) Posisikan klien di tempat tidur/kursi dengan semi fowler/fowler. Ini

memungkinkan dada mengembang lebih lengkap.

2) Meletakkan satu tangan klien di atas abdomen (tepat di bawah iga) dan

tangan lainnya pada tengah dada

3) Menarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan

abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tertutup selama

inspirasi, tahan napas selama 2 detik;

4) Menghembuskan napas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit

terbuka sambil mengontraksikan otot- otot abdomen dalam 4 detik;

5) Melakukan pengulangan selama 1 menit dengan jeda 2 detik setiap

pengulangan, mengikuti dengan periode istirahat 2 menit;

6) Melakukan latihan dalam 5 siklus selama 15 menit, 2 kali sehari.

2. Range Of Motion ( ROM )

a. Definisi ROM

Latihan range of motion (ROM) merupakan latihan gerakan sendi

yang dilakukan untuk mempertahankan pergerakan otot dengan gerakan

aktif ataupun pasif. Latihan ROM dapat dialkuakn untuik

memepertahankan gerakan sendi agar tidak terjadi kontarktur (Potter &

Perry, 2005). Latihan ROM dapat diguankan untuk melihat batasan


gerakan sendi yang abnormal dengan melihat gerakan yang normal sebagai

batsan karakterstik (Muttaqin, 2008).

Latihan ROM diklasifikasikan menjadi dua, yatiu:

1) Latihan ROM pasif

Latihan ROM pasif merupakan latihan ROM yang di lakukan oleh

pasien dengan bantuan perawat pada setiap-setiap gerakan. Indikasi

latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan

keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua

latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau

pasien dengan paralisis ekstermitas total (Suratun, dkk, 2008).

2) Latihan ROM aktif

Latihan ROM aktif adalah gerakan yang dilakukan sendiri oleh

pasien dan perawat hanya memberikan arahan dan motivasi.

b. Prinsip Dasar Latihan ROM

1) Minimal di ulang 2 kali sehari atau minimal sekitar 8 kali

2) Dilakukan saat kondisi kalin sudah stabil

3) Harus memperhatikan umur pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan

lamanya tirah baring.

4) Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan adalah leher, jari-jari

tangan, lengan, siku, bahu, kaki, dan pergelangan kaki.

5) Dapat dilakukan pada semua sendi namun harus dilihat kondisi

sendi tersebut

6) Melakukan sesuia dengan waktu


c. Tujuan ROM

1) Memelihara fleksibilitas dan kekuatan otot

2) Mempertahankan mobilitas persendian

3) Melancarkan sirkulasi darah

4) Menghindari kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur

5) Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan

d. Manfaat ROM

1) Meningkatkan mobilisasi sendi

2) Memperbaiki toleransi otot untuk latihan

3) Memperbaiki tonus otot

4) Meningkatkan massa otot.

5) Mengurangi kehilangan tulang

e. Indikasi ROM

1) Penurunan kesadaran atau stroke

2) Kelemahan otot

3) Fase rehabilitasi fisik

4) Klien dengan tirah baring lama

f. Gerakan – Gerakan Range Of Motion (ROM)

Berikut ini gerakan ROM menurut Rendi dan Margareth, 2012 yaitu:

1. Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan

- Fleksi : menggerakkan tangan ke sisi lengan bawah bagian dalam

- Ekstensi : mennggerakkan jari-jari sehingga berada dalama arah

yang sama dengan lengan bawah


2. Fleksi dan ekstensi siku

a. Fleksi : menggerakkan lengan dengan menjauhi sisi tubuh dan

sejajar dengan bahu

b. Ekstensi: meluruskan siku

3. Pronasi dan supinasi lengan bawah

a. Pronasi : mengarahkan telapak tangan ke atas

b. Supinasi : mengarahkan telapak tangan ke araha bawah

4. Abduksi, adduksi dan rotasi bahu

a. Abduksi : gerakan menaikkan lengan menjauhi tubuh.

b. Adduksi : gerakkan menurukan mendekati tubuhnya

c. Rotasi : gerakan memutar bahu

5. Fleksi dan ekstensi jari-jari

a. Fleksi: gerakan membuta genggam

b. Ekstensi : gerakan meluruskan jari-jari tanagn

6. Invers dan eversi kaki

a. Inversi: gerakan memutar telapak kaki ke arah dalam

b. Eversi : gerakan memutar telapak kaki ke arah luar .

7. Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki

a. Fleksi: gerakan melengkungkan pergeralngan kaki ke arah

bawah

b. Ekstensi: gerakan meluruskan pergerangan kaki kembali

8. Rotasi pangkal paha gerakan menggangkat kaki dari tempat tidur dan

menjauhi badan kembali mendakati badan.


C. Asuhan Keperawatan Teroritis CHF

1) Pengakajan primer

a. Airway

Masalah yang perlu diperlukan adalah jalan nafas yang paten.

Apakah ada sembatan jalan nafas total atau parsial akan berdampak

buruk pada respirasi pasien. Sumbatan jalan nafas bisa terjadi akibat

penumpukan sekret, aspirasi isi lambung atau karena benda asing.

b. Breathing

Hal yang harus di kaji adalah kemamapuan bernafas spontan.

Selain itu yang perlu diperhatikan adalah iraman nafas, pola nafas dan

juga frekuensi pernapasan. Biasanya pasien akan mengeluhkan nafas

sesak dan juga batuk. Bunyi nafas tambah mungkin akan terdengar

jelas berupa ronkhi basah di paru.

c. Circulation

Status hemodinamik pasien sangat dipengaruhi oleh sirkulasi.

Oleh karena itu perlu dikaji tekanan darah yang ekstrim, denyut nadi

(apakah takikardi/bradikardi, kuat/lemah, teratur/tidak), CRT, akral

dan adanya tanda-tanda hipoventilasi jaringan (sianosis). Kemudian

dikaji juga adanya edema pada ektremitas dan pengeluaran urine.

d. Disability

Penurunan kesadaran atau tidak, sesak saat beraktivitas, reflek

pupil, pupil isokor atau anisokor dan ukuran pupil.


e. Exposure/EKG

Pemeriksaan EKG harus dilakukan pada semua pasien yang

diduga gagal jantung. Abnomalitas EKG yang mungkin terjadi

meliputi sinur takikardi, sinus bradikardi, atrial takikardi, atrial

fibrilasi, atrial ventrikel, iskemik/infark, gelompak Q dan hipertrofi

ventrikel.

2) Pengkajian sekunder

a. Alasan masuk

Dada terasa berat, palpitasi, orthopnea, sesak nafas yang

memberat saat melakukan aktivitas, adanya batuk, tidur menggunakan

bantal, tidak nafsu makan, mual dan muntah, fatigue (kelelahan),

insomnia, kaki bengkak dan berat badan bertambah. Faktor

predisposisi dan persipitasi adalah faktor pencetus yang meningkatkan

kerja jantung dan mempercepat perkembangan CHF dan biasanya

adalah asma dan obesitas.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Hal yang dikaji adalah riwayat dari penyakit hipertensi, ada atau

tidaknya angina infark miokard dan diabetes mellitus serta disritmia.

c. Riwayat kesehatan keluarga

Hal yang dikaji adalah ada atau tidaknya keluarga klien yang

memiliki gejala dari yang sama dengan pasien atau memiliki faktor

risiko untuk memperberat CHF.


d. Pemeriksaan fisik

- Kepala : lihat bentuk kepala, rambut dan

kerontokan, biasaya tidak ada kelainan

- Mata : Mata simetris kiri dan kanan, pupil isokor,

dengan ukuran, reflek pupil konjungtiva

anemis atau tidak, skelera an-ikterik atau

ikterik, ada atau tidaknya edema pada

palpebra.

- Telinga : melihat ada atau tidak serumen dan

bagaimana fungsi pendengaran

- Hidung : kesimetrisan kiri dan kanan, adanya masa

atau tidak, ada atau tidaknya nafas cuping

hidung.

- Mulut : bagaimana keadaan mukosa bibir sianosis

atau tidak

- Leher : melihat pembesaran KGB dan kelenjar

tiroid.

- Thorak

 Paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris atau tidak

Palpasi : fermitus kiri dan kanan sama atau tidak

Perkusi : sonor atau pekak

Auskultasi : mendengar suara nafas tambahan,

bronkovesikuler, adanya ronkhi atau tidak,

ada atau tidaknya wheezing

 Jantung

Inspeksi : apakah iktus kordis tidak terlihat atau tidak

Palpasi : apakah iktus kordis teraba atau tidak

Perkusi : mengetahui batas jantung batas jantung

normal

Auskultasi : kiri RCI 2 linea parastrenalis sinistra dan

RIC 4 linea miclavikula sinistra, kanan

RIC 2 dan RIC 4 linea parasternalis dextra

 Abdomen

Inspeksi : ada atau tidaknya distensi dan asites

Palpasi : apakah hepar tidak teraba atau teraba


Perkusi : timpani atau pekak

Auskultasi : mendengarkan bissing usus

 Ekstremitas : Terdapat edema, pada ekstremitas bawah,

nilai pitting edema, melihat ada atau

tidaknya lesi

Masalah Keperawatan NANDA,NOC,NIC

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi.


Penuruanancuarahjantungberhubungandenganpenurunan kontraktilitas ventrikel
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan tubuh.
Diagnosa Keperawatan NANDA NOC NIC dan Implementasi Keperawatan

N Diagnosa Krteria Hasil Intervensi Keperawatan


o Keperawatan
1 Bersihan jalan nafas - Status respirasi : a. Manajemen jalan nafas
tidak efektif ventilasi
- Posisikan pasien
- Status respirasi :
Definisi : untuk memaksimalkan
kepatenan jalan nafas
ketidakmampuan ventilasi
- Aspirasi kontrol
untuk membersihkan - Identivikasi pasien
sekresi atau obstruksi Indikator perlunya pemasangan
dari saluran - Mendemonstrasikan alat jalan nafas buatan
pernafasan untuk batuk efektif dan - Lakukan fisioterapi
mempertahankan suara nafas yang dada jika perlu
kebersihan jalan nafas. bersih, tidak sianosis - Keluarkan secret
dan dyspneu (mampu dengan batuk atau
mengeluarkan suction
Batasan karakteristik: sputum, mampu - Auskultasi suara
bernafas dengan nafas, catat adanya
- Dispneu mudah, tidak ada suara tambahan
- Penurunan suara punet lips). - Berikan bronkodilator
nafas - Menunjukkan jalan bila perlu
- Cyanosis nafas yang paten - Berikan pelembab
- Kelainan suara ( klien tidak merasa udara kassa basah
nafas(rales,wheezi tercekik, irama nafas, NaCl lembab
ng) frekuensi pernafasan - Atur intake untuk
- Kesulitan berbicara cairan
normal, tidak ada
- Batuk tidak efektif suara nafas abnormal) mengoptimalkan
atau tidak ada - Mampu keseimbangan
- Mata melebar - Peningkatan Batuk
mengidentifikasikan
- Produksi sputum - Bantu pasien untuk
dan mencegah faktor
- Gelisah posisi duduk dengan
yang dapat
- Perubahan kepala agak fleksi,
menghambat jalan
frekuensi dan nahu relaks, dan lutut
nafas
irama fase fleksi
Faktor –faktor yang - Dukung pasien untuk
berhubungan: mengambil nafas
- Lingkungan : dalam, tahan selama
merokok, dua detik, batuk dua
menghirup asap atau tiga kali dalan
rokok, perokok sesi
pasif, infeksi - Anjurkan pasien
- Fisiologis : untuk nafas dalam
disfungsi beberapa kali,
neuromuskular, mengeluarkan dengan
hiperplasia dinding perlahan, dan
bronkus, alergi membatukkan pada
jalan nafas, asma akhir
- Obstruksi jalan pengeluaran/exhalasi
nafas : - Anjurkan pasien
Spasme jalan untuk menguti batuk
nafas, sekresi dengan inhalasi
tertahan, pernafasan maksimal
banyaknya mukus, - Tingkatkan sistem
adanya jalan nafas hidrasi cairan dengan
buatan, sekresi
tepat.
bronkus, adanya
b.Terapi Oksigen :
ensudat di
alveolus, adanya - Bersihkan mulut,
benda asing dijalan hidung dan
nafas.
pengeluaran trakea
- Pertahankan jalan
nafas yang paten
- Aturkan peralatan
oksigenasi
- Berikan oksigen
tambahan sesuai order
- Monitor aliran
oksigen
- Monitor efektifitas
terapi oksigen dengan
tepat

c.Monitor pernafasan
- Monitor frekuensi,
irama, hidung dan
pengeluaran trakea
- Catat pergerakan
dada, lihat
kesemetrisannya,
penggunaan otot
bantu nafas, retrasi
otot supraklaviculator
dan intercostal
- Monitor suara nafas,,
seperti dengkul
- Monitor pola nafas :
bradipnea, takipnea,
kussmaul,
hiperventilasi, cheyne
stokes, biot
- Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan/ tidak
adanya ventilasi dan
suara tambahan
- Auskultasi suara paru
sebelah tindakan
untuk mengetahui
hasilnya
- Monitor vital sign :
- Ukur tekanan udara,
denyut nadi,,
temperatur dan status
pernafasan
- Monitor adanya
sianosis
2 Pola nafas tidak a. Status respirasi : a. Manajemen jalan nafas
efektif berhubungan ventilasi - Membuka jalan napas ,
dengan hambatan - Jumlah pernafasan dengan menggunakan
upaya nafas - Ritme pernafasan teknik jaw thrust yang
Definisi: inspirasi atau - Kedalamn inspirasi sesuai
ekspirasi tidak - Retraksi dada - Posisikan pasien untuk
memadai dalam - Sesak nafas saat memaksimalkan potensi
ventilasi beristirahat ventilasi
- ortopnea - Masukkan jalan napas
Batasan karakteristik: b. Tingkatan melalui mulut atau
- Nafas dalam ketidaknyamanan nasofaring yang sesuai
- Perubahan - Rasa nyeri - Bersihkan sekret dengan
gerakan dada - Rasa cemas menganjurkan batuk atau
- Mengambil - Rasa stress suction
posisi tiga - Rasa takut - Menggunakan teknik
titik - Depresi menyenangkan untuk
- Bradipnea - Rasa gelisah mendorong pernapasan
- Perubahan dalam untuk anak-anak
tekanan - Menginstruksikan cara
ekspirasi batuk efektif
- Penurunan - Auskultasi bunyi nafas,
tekanan mencatat daerah
inspirasi menurun atau hilangnya
- Penurunan ventilasi dan bunyi
ventilasi tambahan
semenit - Mengajarkan pasien
- Penurunan bagaimana
kapasitas vital menggunakan inhaler
- Dispnea yang ditentukan sesuai
- Peningkatan - Mengatur asupan cairan
diameter untuk mengoptimalkan
anterior- keseimbangan cairan
posterior - Posisi untuk mengurangi
- Nafas cuping dyspnea
hidung - Memonitor pernapasan
- Fase ekspirasi dan status oksigenasi
yang lama yang sesuai
- Pernapasan
pursed-lip
b. Terapi relaksasi
- Takipneu
- Memebrikan gambaran
- Penggunaan
otot-otot bantu
untuk bernapas kepada klien mengenai
keuntungan batasan dan
Faktor yang jenis-jenis relaksasi
berhubungan: - Menentukan jadwal yang
sesuai untuk relaksasi
- Ansietas klien
- Posisi tubuh - Menciptaka kenyamanan
- Deformitas pada klien
tulang - Mengajarkan klien
- Deformitas
teknik –yeknik relaksasi
dinding dada
- Mengevaliasi dan
- Kerusakan
mendokumentasikan
kognitif
respon klien terhadap
- Kelelahan
teknik relaksasi
- Hiperventilasi c. Terapi oksigen
- Sindrom - Bersihkan mulut, hidung
hipoventilasi dan pengeluaran trakea
- Kerusakan dengan tepat
muskuloskelet - Pertahankan patensi
al jalan nafas
- Imaturitas - Siapkan peralatan
neurologis oksigen dan jalankan
- Disfungsi setelah dipanaskan,
neuromuskular system dilembabkan
- Obesitas - Berikan oksigen
- Nyeri tambahan sesuai order
- Kerusakan - Monitor liter oksigen
persepsi - Monitor posisi alat
- Kelelahan bantu oksigen
otot-otot - Instruksikan pasien
respirasi
tentang pentingnya
- Cedera tulang menghidupkan alat bantu
belakang oksigen
- Cek secara berkala alat
bantu oksigen untuk
memastikan bahwa
konsentrasi yang
diresepkan lancar
- Monitor efektifitas terapi
oksigen dengan tepat
- Pastikan penggantian
masker oksigen/ kanula
setiap perangkat
dilepaskan
- Observasi tanda
hipoventilasi induk
sioksigen
- Monitor peralatan
oksigen untuk
memastikan bahwa tidak
mengganggu usaha
bernafas
- Instruksikan pasien dan
keluarga tentang
penggunaan oksigen di
rumah

3 Gangguan pertukaran - Status respirasi : a. Manajemen Asam Basa :


gas pertukaran gas Asidosis Respiratory
- Respiratory status :
Defenisis: kelebihan - Menjaga kepatenan jalan
ventilation
atau kekurangan nafas
- Vital sign status
dalam oksigenasi dan - - Pantau pola nafas
Kriteria hasil :
atau pengeluaran - - Menjaga akses paten IV
Mendemonstrasikan
karbondioksida di peningkatan ventilasi - Mendapatkan specimen
dalam membran untuk analisis
dan oksigenasi yang
kapiler al veoli laboratorium
adekuat
keseimbangan asam basa
Batasan karakteristik : - Memelihara
(AGD, Urine, dan
kebersihan paru-paru
- Gas darah arteri tingkat serum)
dan bebas dari tanda-
abnormal tanda distress - Pantau kemungkinan
- pH arteri pernafasan penyebab kelebihan
abnormal - Mendemonstrasikan asam karbonat dan
- abnormal batuk efektif dan suara asidosis pernafasan
pernapasan nafas yang bersih, - Berikan terapi oksigen
- warna kulit tidak ada sianosis dan - Berkan agen mikroba
abnormal dyspneu ( mampu dan bronkodilator
- kebingungan bernafas dengan - Pantau status neurologis
- sianosis mudah, tidak ada - Pantau kerja pernafasan (
- penurunan CO2 pursel lips) laju pernafasan, denyut
- Dhiaphoresis - Tanda tanda vital jantung, penggunaan otot
- Sesak nafas dalam rentang normal aksesori, diaphoresis)
- Hiperkapnia
- Sakit kepala
b.Respiratory Monitoring
ketika bangun
- Hipoksemia - Monitor rata-rata,
- Iritabilitas kedalaman,irama dan
- Nasal faring usaha respirasi
- Gelisah - Catat pergerakan dada,
- Mengantuk amati kesimetrisan,
- Takikardi penggunaan otot,
- Gangguan visual tambahan, retraksi otor
supraklavicular dan
intercostal
- Monitor pola nafas :
bradipe, takipenia,
kussmaul, hiverventilasi,
cheyne stokes, biot
- Catat lokasi trakea
- Monitor kelelahan otot
diagfragma
- Auskultasi suara paru
setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
- Terapi oksigen :
- Bersihkan mulut, hidung
dan pengeluaran trakea
- Monitor efektifitas terapi
oksigen dengan tepat.
4 Penurunana curah a. Keefektifan pompa a. Perawatan jantung
jantung berhubungan jantung - Mengevaluasi nyeri
dengan penurunan - Tekanan darah dada pada klien
kontraktilitas ventrikel hasil yang (intensitas, lokasi,
Definisi: keadaan diharapkan durasi, dan faktor-faktor
pompa darah oleh - Kecepatan jantung yang mempengaruhi
jantung yang tidak yang digarapkan lainnya)
adekuat untuk - Indek jantuhng - Memonitor tanda-tanda
mencapai kebutuhan yang diharapkan dan gejala penrunan
metabolisme tubuh - Fraks ejeksi yang COP
diharapkan - Memeonitor ttv
Batas karakteristik - Toleransi aktifitas - Memonitor status
a. Perubahan yang diharapkan kardiovaskuler
kecepatan - Nadi perifer kuat - Memonitor ststus
jantung/irama - Ukuran jantung pernapasan yang
- Aritmia normal merupakan gejalan gagal
- Bradikardi - Warna kulit jantung
- Perubahan - Distensi vena leher - Memonitor gangguan-
EKG tidak ada gangguan pada tekanan
- Palpitasi - Disaritmia tidak darah
- Takikardi ada - Memonitor toleransi
b. Perubahan - Bunyi jantung klien dalam beraktivitas
preload abnormal tidak ada - Membantu mengurangi
- Edema - Angina tidak ada stress klien
- Perubahan - Edema peripheral - Memberikan dukungan
tekanan vena tidak ada spiritual kepada klien
central - Edema pulmonal dan keluarga
- Penurunan tidak ada b. Manajemen energy
tekanan arteri - Diaphoresis - Mengkaji startus
paru sedalam-dalanya fisiologi klien mengenai
- Kelemahan tidak ada tingakat kelelahan
- Peningkatan - Kelemahan yang dalam konteks
tekanan vena ekstrim tidak ada perkembangan dan usia
sentar b. Status TTV - Menjelaskan mengenai
- Peningkatan - Kecepatan nadi penyebab-penyebab
tekanan arteri apical kelelahan kepada klien.
- Distensi vena - Kecepatan nadi - Memberikan obat
jugularis radial kepada klien untuk
- Murmur - Kecepatan menguragi rasa lelah.
- Peningkatan pernapasan - Memonitor intake
BB - Tekanan darah nutrisi klien
sistolik - Memonitor penyebab
c. Perubahan - Tekanan darah kelelahan pada klien
afterload diastolik - Memonitor lokasi nyeri
- Kulit dirasakan oleh klien
berkeringat - Mengajarakan klien
- Dispnea teknik-teknik
- Penurunan memanaemen waktu
nadi perifer untuk menghindari
- Penurunan kelelahan
resistensi - Mengajaran klen tekn-
pembuluh teknik dan gejala-gejala
darah kelelahan
pulmonal - Mengevaluasi
- Penurunan peningkatan-
tahanan peningkatan ativitas
tekanan darah pada klien
sistemik c. Manajemen diri- penyakit
- Peningkatan jantung
resistensi - Mencari informasi
pembuluh tentang metode-metode
darah sistemik untuk memelihara
- Peningkatan kesehatan
tahanan kardiovaskuler
tekanan darah - Memonitor banyak dan
sistemik frekuensi gejala
- Oliguria - Melapaporkan gejala-
- Pengisia gejala yang
kembali dari memperburuk penyakit
periferperubah - Melaporkan tanda-
an warna kulit tanda dna geala-gejalan
- Hasil untuk menggurangi
pembacaan risiko komplikasi
tekanan darah - Memonitor denyut dan
berbeda-beda ritme nadi
d. Perubahan - Memonitor tekanan
kontrraktilitas darah
- Ronki basah - Memonitor berat badan
- Batuk - Menggunakan strategi-
- Fraksi ejeksi strategi yang efektif
<40% untuk mengontrol berat
- Penurunan badan
index beban - Memelihara berat
kerja ventrikel badan yang optimal
kiri - Menyeimbangkan
- Penurunan antara aktivitas dan
index volume istirahat
gerak - Menggunakan teknik-
- Penurunan teknik untuk
index Antung memanajemen stres
- Ortpnea
- Dispnea
nocturnal
paroksimal
- S3 atau S4
(bunyi jantung
)
e. Tingkah
laku/emosional
- Kegelisahan
- Keresahan

Faktor yang
berhubungan
- Perubahan
kecepatan
jantung
- Perubahan irama
- Perubahan
volume gerak
- Perubahan
afterload
- Perubahan
kontraktilitas
- Perubahan
preload
5 Intoleransi aktivitas a. Toleransi aktivitas a. Terapi aktivitas
berhbungan dengan - Denyut nadi saat - Memonitor program
ketidak seimbangan beraktivitas aktivitas klien
suplai oksigen dengan - Jumlah pernafasan - Membantu klien untuk
kebutuhan tubuh saat beraktivitas melakuan aktivitas yang
- Tekanan darah biasa dilakukan
Definisi: sostolik saaat - Menjadwalkan klien
ketidakcukupan beraktivitas untuk latihan –latihan
energy psikologis atau - Tekanann darah fisisk secara rutin
fisiologi untuk diastolic saat - Membantu klen dengan
melanjutkan atau beraktivitas aktivitas-aktivitas fisik
myelesaikan ativitas - Warna kulit - Memeonitor respon
kehidupan sehari-hari - Kekeuatan tubuh fisik, sosial, dan
yang harus atau yang bagian atas spiritual dari klien
ingin dilakukan - Kekuatan tubuh terhadap aktivitasnya
bagian bawah - Membantu klien untuk
Faktor yang memeonitor kemajuan
berhubungan : b. Daya tahan tubuh dari pencapaian tujuan
- Tirah baring - Aktivitas
- Kelemahan - Daya than otot b. Pengarjaran: penentuan
umum - Hemoglobin aktivitas dan latihan
- Ketidakseimbnga - Hematokri - Tujuan dan keguanaan
n antara suplai - Glukosa darah aktiviats dan latihan
dan kebutuhan - Serum elektrolit - Bagaimana cara
oksigen - Rasa lelah melakukan suatu
- Imobilisasi aktivitas
- Gaya hidup yang c. Perawatan diri : - Bagaimana cara
monoton aktivitas-aktivitas memonitor tolerasni
sehari-hari aktivitas
- Pola makan - Bagaimanan menjaga
- Berjalan latihan
- Aktivitas - Memberikan informasi
kepada klien bagiamana
teknik-teknik untuk
menyimpan energy
- Memberikan informasi-
informasi seputar
kesehatan fisik klien
4) Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan tahap yang dilakukan setalah menyusun

intervensi untuk menyeesaikan masalah klien berupa serangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh perawat dapat meningkatkan status kesehatan yang lebih baik dan

dapat menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Perawat diharuskan

memiliki kemampuan kognitif (intelektual, kemampuan dalam hubungan

interpersonal, dan keterampilan dalam melakukakn tindakan) untuk mencapai

rencana keperawatan (Hidayat, 2009).

5) Evaluasi Keperawatan

Tahap evaluasi adalah tahap dimana melihat perbandingan sistemik antara

tujuan yang telah ditetapkan dengan yang direncanakan, serta yang dilakukan

pada pasien dengan berkesinambungan Evaluasi keperawatan merupakan suatu

kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang ditentukan dengan tujuan

untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur

hasil dari proses keperawatan (Hidayat, 2009).


BAB III

LAPORAN KASUS

A. Pengkajian Primer

1. Identitas Umum Pasien

Pasien Ny.M berumur 53 tahun jenis kelamin perempuan (MR:

01.02.55.19), masuk melalui IGD RSUP. Dr. M. Djamil padang pada tanggal

26 Agustus 2018 pukul 12.12 WIB, pasien adalah rujukan dari RSUD Dr.

Adnaan Payakumbuh dengan Diagnosa Medis CHF+CKD stage V+DM tipe

II. Pasien masuk IGD dengan keluhan utama nafas terasa sesak sehari

sebelum masuk rumah sakit.

2. Pengkajian Primer (26 Agustus 2018)

A (Airway)

Tidak ada sumbatan jalan nafas, reflek batuk (+), secret (-), gurgling

(-)

B (Breathing)

RR : 28x/i menit, dispneu (+), suara nafas ronchi (+/+), penggunaan otot

bantu nafas (+) pergerakan dinding dada (+) nafas cuping hidung (+),

ekspirasi memanjang SaO2 98%

C (Circulation)

Tekanan darah : 157/65 mmHg, Heart Rate (HR) : 97x/I, Nadi teraba lemah

dan cepat, akral teraba hangat, suhu tubuh: 37˚ C, CRT < 2 detik, edema (+)
D (Disability)

GCS 15, pupil isokor, ukuran pupil 2 mm/ 2 mm, reflek cahaya +/+, nyeri (-)

E (Elektrokardiografi) / Jam 12:21:56

EKG : irama teratur, sinus rythm, lebar gelombang P 0,12 detik, interval PR

0,16 detik, HR 83x/i, kompleks QRS 0,16 detik.

Tabel 3.1 Prioritas Masalah Primer

Diagnosa
No Analisa Data
Keperawatan

1 DS : Pola nafas tidak efeketif


- Dispnea (+) b.d hambatan upaya
- Pasien mengatakn nafas sesak nafas
- Pasein mengatakan sesak bertambah jika
beraktivitas

DO :
- Nafas cuping hidung (+)
- Suara nafas ronchi (+)
- Ekspirasi memanjang (+)
- penggunaan otot bantu pernafasan (+)
- RR 28 x/menit

2 DS : Penurunan curah
- Dyspneu (+) jantung b/d perubahan
- Pasien mengatakan batuk preload dan perubahan
- Pasien mangatakan sesak nafas afterload
- Pasien mengatakan badan terasa lelah
DO :

- Edema pada ekstremitas bawah


- Tekanan darah: 157/65 mmHg
- EKG : irama teratur, sinus rythm, lebar
gelombang P 0,12 detik, interval PR 0,16
detik, HR 83x/i, kompleks QRS 0,16 detik

3. Diagnosa Keperawatan

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas

ditandai dengan dyspnea (+) pasien mengatakan sesak, nafas cuping

hidung, penggunaan otot bantu nafas dan RR: 28x/i

b. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan

perubahan afterload di tandai dengan tekanan darah 157/65 mmHg,

dyspnea (+) dan edema pda ekstremitas bawah.

4. Intervensi Keperawatan Primer

Berdasarkan diagnosa yang ditegakkan maka disusunlah beberapa

rencana tindakan yaitu:

a. Pola nafas tidak efeketif b.d hambatan upaya nafas

Diagnosa pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas

mempunyai tujuan untuk mengatasi gangguan pola nafas yang terjadi.

Ada beberapa NOC sebagai acuan dalam mengatasi masalah

keperawatan yaitu peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat,

klien kemudahan bernafas, tidak adanya suara nafas tambahan, tidak ada

penggunaan otot bantu nafas, dan tidak ada retraksi dinding dada.
Dilihat dari masalah diatas intervensi keperawatan yang telah

direncanakan yaitu : 1). Terapi oksigen: mempertahankan jalan nafas

yang paten, mengkolaborasikan pemberian oksigen tambahan sesuai

order, memonitor aliran oksigen, memonitor efektifitas terapi oksigen

dengan tepat, pertahankan posisi pasien dalm pemberian oksigen,

observasi tanda-tanda hipoventilasi, monitor kecemasan pasien terhadap

pemberian oksigen Selanjutnya yaitu : 2).Monitoring pernafasan,

aktivitas memonitor frequensi, kedalaman irama dan usaha bernafas,

mencatat retraksi dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan,

memonitoring pola pernafasan dan melakukan auskultasi bunyi nafas.

Selanjutnya yaitu dengan memonitoring vital sign dengan aktivitas

memonitor TD, nadi, suhu, dan RR, mencatat adanya fluktuasi tekanan

darah, memonitor kualitas dari nadi, frekuensi dan irama pernapasan,

suara paru dan pola pernapasan yang abnormal.

b. Penurunan curah jantung b/d perubahan preload dan perubahan

afterload

Diagnosa keperawatan kedua yang diangkat yaitu penurunan curah

jantung b.d perubahan preload dan aftreload. Ada beberapa intervensi

keperawatan yang akan dilakukan sesuai penilaian kriteria hasil yang

mengacu pada nursing outcome classification (NOC) yaitu pasien tidak

sesak, tidak tampak pucat, tidak lemah, CRT normal, saturasi oksigen

normal dan hasil EKG normal.

Berdasarkan diagnosa keperawatan diatas disusun intervensi

keperawatan yang akan dilakukan yaitu: 1). Perawatan jantung :Akut


dengan mengevaluasi nyeri dada (seperti: intesitas, lokasi, penyebaran,

durasi, faktor prespitasi, dan faktor yang meringankan), memantau ritme

dan denyut jantung, melakukan auskultasi bunyi jantung, dan

mendapatkan 12-lead EKG. 2). Monitoring vital sign dengan melakukan

monitoring tekanan darah, nadi, dan status pernapasan, monitor tekanan

nadi yang melebar atau menyempit, monitor irama dan tekanan jantung,

monitor irama dan laju pernapasan, monitor pola pernapasa yang

abnormal, identifikasi penyebab perubahan tanda-tanda vital.

5. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan Primer

Implementasi keperawatan yang diberikan dilakukan sesuai dengan

penyusunan rencana keperawatan yang telah disusun sebelumnya.

a. Pola nafas tidak efeketif b.d hambatan upaya nafas

Implementasi dilakukan pada tanggal 26 Agustus 2018 jam 12.15

dengan melakukan memonitor pernafasan (frequensi, irama, dan usaha

nafas, pola nafas, penggunaan otot bantu nafas), memberikan terapi

oksigen binasal 5liter/menit, memonitor saturasi oksigen dan memantau

tanda-tanda vital pasien. Dari implementasi yang dilakukan didapatkan

hasil sesak mulai berkurang, klien tidak bisa tidur karena sesaknya, RR

26x/i, TD= 157/68 mmHg, Nadi=96x/i, pasien tampak tenang, nafas

cuping hidung (-), penggunaan otot bantu nafas, suara nafas ronchi (+),

wheezing (-), ekspirasi memanjang

Implementasi dilanjutkan dengan penerapan (Evidence Based

Practice) pada jam 12.30 dengan menginformasikan kepada keluarga


dan klien dapat melakukan deep breathing exercise/ latihan nafas dalam

sebagai salah satu teknik untuk mengurangi sesak pada klien, latihan

nafas dalam bisa dilakukan 5 siklus dalam 2 menit. Setelah

menginformasikan langsung diajarkan dan diterapkan pada klien. Klien

melakukan latihan nafas dalam 5 siklus dengan arahan perawat.

Pada jam 12.40 dilakukan penerapan (Evidence Based Practice)

deep breathing exercise dan active range of motion (ROM) dalam

mengurangi sesak nafas dari klien dengan gerakan kepala tangan dan

kaki. Gerakan berselang 5 menit dan diberi waktu istirahat selama 1

menit..

Evaluasi keperawatan dari implementasi yang dilakukan didapatkan,

sesak berkurang, klien merasakan lebih nyaman, klien mengatakan lebih

bisa mengatur nafas. Klien mengatakan setelah di gerakan badan klien

lebih terasa nyaman.

b. Penurunan curah jantung b/d perubahan preload dan perubahan

afterload

Implementasi untuk diagnosa kedua dilanjutkan dengan melakukan

pemeriksaan EKG, memantau tekanan darah, memantau keefektifan

terapi oksigen, mengevaluasi nyeri, memonitoring perubahan tanda-tanda

vital klien, memonitong tekanan nadi yang melebar atau menyempit,

memonitoring irama dan laju pernapasan, serta mengidentifikasi

penyebab perubahan tanda-tanda vital klien. Dari implementasi yang

dilakukan didapatkan hasil pasein mengatakan nafas sesak saat berbaring

dan bergerak, RR 26x/i, TD= 15768 mmHg, Nadi:96x/i teraba kuat


teratur, CRT < 2 detik, mual (+) muntah (-), suara nafas ronkhi (+), Akral

dingin, EKG : irama teratur, sinus rythm, lebar gelombang P 0,12 detik,

interval PR 0,16 detik, HR 83x/i, kompleks QRS 0,16 detik, edema di

kaki kiri dan kanan dan suhu: 37˚ C.

Implementasi dilanjutkan pada jam 12.30 dengan melakukan

penilaian nyeri secara komprehensif, mengkaji ketidaknyamanan secara

non verbal, monitor tanda-tanda vital dan mengatur posisi untuk

meningkatkan kenyamanan. Dari implementasi yang dilakukan

didapatkan hasil nyeri sudah tidak ada, hanya sesak nafas pasien yang

masih terasa, tanda-tanda vital klien Tekanan darah: 157/84 mmHg,

Nadi:78x/I RR:26x/i, suara nafas ronkhi (+), dan tekanan nadi melebar.

B. Pengkajian Sekunder

1) Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada saat pengkajian tanggal 26 Agustus 2018 pukul 12.30, tingkat

kesadaran pasien compos metis. Pasien mengeluh masih merasakan sesak

nafas dengan tanda-tanda vital : nadi: 96x/i, tekanan darah:157/68 mmHg,

suhu:37°C, pernapasan: 26 x/i dan saturasi oksigen: 98%, sesak nafas

dirasakan saat melakukan aktivitas ringan, nafas tidak menciut, sesak tidak

dipengaruhi oleh makanan dan cuaca, klien mengatkan badan terasa lemah

dan saat melakukan aktivitas klien merasa lelah, dan klien juga mengeluh

mual (+).
Faktor Pencetus:

Pasien telah lama terdiagnosa hipertensi dan diabetes melitus namun tidak

terkontrol namun pasien hanya meminum obat hipertensi dan untuk obat

diabetes melitus disaat pundak terasa sakit saja. Pasien juga jarang

melakukan kontol ke dokter spesialis.

Lamanya Keluhan:

Pasien sebelumnya sudah sering merasakan sesak nafas namun dibiarkan

saja dan dibawa istirahat. Namun sesak nafas saat ini lebih kuat

dibandingkan dengan sebelumnya dan di tambah dengan sesak nafas ini

pasien tiak bisa tidur dengan nyaman.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi

Pasien dibawa oleh keluarga ke RSUD Dr. Adnaan Payakumbuh dengan

keluhan sesak nafas, lalu dari RSUD Dr. Adnaan Payakumbuh pasien di

rujuk ke RSUP DR. M. Djamil Padang.

Diagnosa Medis : CHF + CKD stage V

2) Riwayat Kesehatan Dahulu

Pasien mengatakan sebelumnya pernah merasakan sesak nafas dan

pernah dirawwat di RSUD Dr. Adnaan Payakumbuh. Pasien memiliki

riwayat hipertensi tidak terkontrol sejak 10 tahun yang lalu dan DM tipe II

sejak 6 tahun yang lalu.

3) Riwayat Kesehatan Keluarga

Anak dari Ny.M mengatakan bahwa kedua orang tua dari Ny.M

memiliki riwayat hipertensi. Dan salah satu dari saudara kandung Ny.M

juga telah ada yang meninggal dikarenakan penyakit jantung.


4) Pemeriksaan Head to Toe

a) Kepala

Inspeksi : wajah tampak meringis

Keluhan : tidak ada

b) Mata

Mata simetris kiri dan kanan, pupil isokor, dengan ukuran 2mm/2 mm,

reflek pupil +/+, konjungtiva anemis, skelera an-ikterik (-), tidak ada

edema pada palpebra.

c) Telinga

Inspeksi : tidak ada serumen

Fungsi pendengaran baik, fungsi keseimbangan tidak dapat dikaji.

d) Hidung dan sinus

Inspeksi : simetris ki/ka, tidak ada massa, dan ada/tidaknya polip, nafas

cuping hidung (+) terpasang oksigen binasal 4 liter/menit

e) Mulut dan tenggorokan

Mukosa bibir lembab, sianosis (-), dan keadaan gigi lengkap

f) Leher

Tidak terdapat pembesaran KGB dan kelenjar tiroid. Tidak terdapat bising

karotid.

g) Thoraks

a) Paru

Inspeksi :simetris kiri dan kanan , retraksi dada

(+) Palpasi : fermitus kiri dan kanan

Perkusi : sonor
Auskultasi : Bronkovesikuler, ronkhi (+/+) wheezing (-/-)

b) Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di SIC V 2 cm medial linea

midclavicula sinistra

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : bunyi jantung I dan bunyi jantung II normal

h) Abdomen

Inspeksi : tidak terdapat distensi dan tidak ada asites

Palpasi : hepar tidak teraba

Perkusi : timpany

Auskultasi : bising usus 8x/i

i) Ekstremitas

Terdapat edema, pada ekstremitas bawah, pitting edema 2, tidak terdapat

lesi. CRT <2 detik

5) Pengobatan

a. IVFD RL 500cc
6) Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Tabel. 3.2 Hasil Labor (jam: 13:10)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi

Hemoglobin 10,23 12-16 mg/dl

Leukosit 9.700 5.000-10.000 /mm3 N

Trombosit 332.000 150.000-400.000 /mm3 N

Hematokrit 23% 40-48%

GDS 146 mg/dl < 200 mg/dl N

Ureum darah 104 10,0-50,0 mg/dl

Kreatinin 4,1 0,6-1,2 mg/dl

Kalium 7,7 3,5-5,1 Mmol/L

Natrium 131 136-145 Mmol/L

Albumin 3,3 3,8-5,0 g/dl


b. Pemeriksaan

diagnostik Ro. Thorax

EKG
Tabel 3.3 Prioritas Masalah Keperawatan Sekunder

Diagnosa
No Analisa Data
Keperawatan

1 DS :- Risiko perfusi renal


tidak efektif
DO :
- Terdapat edema pada ekstremitas bawah
- Ureum darah: 104 mg/dl
- Kreatinin: 4,1 mg/dl
- Klien tamak pucat

2 DS:- Risiko
ketidakseimbangan
DO: cairan
- Terdapat edema pada ekstremitas bawah
- Ureum darah: 104 mg/dl
- Kreatinin: 4,1 mg/dl
- Kalium: 7,7 Mmol/L
- Natrium: 131 Mmol/L

3 DS: Ketidakseimbanagn
- Pasien mengatakan mual nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
DO: berhubungan dengan
- Pasien tampak pucat ketidakmampuan
- Konjungtiva anemis menyerap nutrisi
- Hb: 10,23mg/dl
- Albumin 3,3 g/dl
- Nadi terasa lemah
7) Diagnosa Keperawatan Sekunder

a) Risiko perfusi renal tidak efektif ditandai dengan faktor risiko gagal

ginjal: adanya edema pada eketremitas bawah ureum darah: 104 mg/dl,

kreatinin: 4,1 mg/dl dan klien tampak pucat.

b) Risiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan faktor risiko penyakit

ginjal: ada edema pada ekstremitas bawah, ureum darah: 104 mg/dl,

kreatinin: 4,1 mg/dl, kalium: 7,7 Mmol/L, natrium: 131 Mmol/L

c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan menyerap nutrisi ditandai dengan konjungtiva

anemis, klien tampak pucat dan albumin 3,3g/dl

8) Rencana Asuhan Keperawatan Sekunder

a. Risiko perfusi renal tidak efektif ditandai dengan faktor risiko gagal

ginjal

Berdasarkan tujuan dari diagnosa risisko perfusi jarinagn tidak

efektif dimana ada NOC sebagai acuan untuk mengetahui teratasi atau

tidaknya masalah keperawatan tersebut yaitu 1) fungsi ginjal dengan

kriteria hasil tidak ada peningkatan kreatinin, tidak ada peninhkatan

serum darah, tidak ada kelelahan dan tidak ada mual dan tidak anemia. 2)

status sirkulasi dimana kriteria hasil yaitu tidak ada suara nafas

tambahan, tidak ada distensi vena leher, tidak ada edema perifer, tidak

ada wajah pucat dan tidak ada kelelahan (NANDA, 2013).

Berdasarkan diagnosa keperawatan pasien diatas maka disusun

intervensi yang akan dilaukan antara lain: 1) pengaturan hemodinamik:

lakaukan penilaian konprehensif terhadap status hemodinamik,


pertimbangkan status volume, monitor adanya tada dan gejala masalah

volume, monitor elektrolit, jaga keseimbanagn cairan dengan pemberian

cairan IV atau deuretik. 2) manajemen hipovolemia: monitor status

hemodinamik, monitor suara paru abnormal, monitor data laboratorium

yang menandakan adanya hemokonsetrasi, monitor intake dan output

monitor adanya pengurangan preload seperti perbaikan suara paru

abnormal, hindari pemberian cairan IV hipotonik.

b. Risiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan fakor risiko penyakit

ginjal

Berdasarkan tujuan dari diagnosa risiko ketidakseimbanagn cairan

ada NOC sebagai acuan untuk mengetahui teratasi atau tidaknya

masalah keperawatan tersebut yaitu keseimbangaan cairan dengan

kriteria hasil tekanan darah dalam normal, turgor kulit baik, hematokrit

normal, kelembaban membran mukosa, tidak ada distensi vena leher,

tidak adda edema perifer, tidak ada asites. (NANDA, 2013).

Intervensi yang di rencanakan untuk diagnosa keperawatan pasien

diatas antara lain : 1) monitorin cairan: tentukan faktor-faktor risiko yang

mungkin menyebabkan ketidakseimbangan cairan, monitor asupan dan

pengeluaran, monitor kadar serum dan elektrolit urin, monitor distensi

vena jugularis, ronkhi di paru,dan edema perifer serta berikan cairan

yang tepat. 2) pencegahan syok: monitor terhadap adanya kompensasi

syok (misalnya, tekana darah normal, tekanan nadi melemah, pucat, mual

dan muntah serta kelemahan), monitor terhadap adanya tanda awal dari

penuruan fungsi jantung, (misalnya penurunan CO dan urine output dan


takikardi, monitor status sirkulasi, monitor sterhadap adanya tanda

ketidakadekuatan perfusi oksingen ke jaringan, monitor hasil

laboratorium, berikan dan pertahankan kepatenan jalan nafas dan berikan

IV sesuai kebutuhan serta monitor tekanan hemodinamik dan urin output.

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan menyerap nutrisi

Berdasarkan tujuan dari diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang

dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menyerap

nutrisi dimana ada NOC sebagai acuan yaitu 1) status nutrisi: asupan

makanan normal dan asupan cairan normal. 2) ststu nutrisi: asupan serat

adekuat, asupan mineral adekuat dan asupan natrium adekuat. Selain itu

kriteria hassil yang diharapakan adalah albumin, hematokrit dan

hemoglobin dalan rentang normal. (NANDA, 2013).

Intervensi yang di rencanakan untuk diagnosa keperawatan pasien

diatas antara lain : 1) manajemen nutrisi: Tentukan status gizi pasien dan

kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi, identifikasi alergi makanan

pada pasien atau intoleransi, tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang

dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, berikan makanan pilihan

sambil menawarkan bimbingan terhadap pilihan yang lebih sehat,

anjurkan pasien pada kebutuhan makanan yang spesifik berdasarkan

perkembangan atau usia, anjurkan pasien untuk memonitor kalori dan

asupan makanan. 2) monitor nutrisi: Monitor kecenderungan naik dan

turun berat badan, monitor turgor kulit dan mobilitas, monitor mual dan

muntah, monitor pucat, kemerahan, dan jaringan konjungtiva yang


kering, melakukan tes laboratorium, monitor hasil (seperti kolesterol,

albumin serum, transferrin, prealbumin, nitrogen urin 24 jam, BUN,

kreatinin, hemoglobin, hematokrit, imun seluler, jumlah total limfosit,

dan level elektrolit), menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi

intake nutrisi.

9) Implementasi dan Evaluasi Diagnosa Sekunder

a. Risiko perfusi renal tidak efektif ditandai dengan faktor risiko gagal ginjal

Implementasi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan penyusunan

rencana keperawatan yang telah disusun. Implementasi dilakukan pada

pasien dengan memonitoring status hemodinamik, memonitorong intake

dan output pasien, menjaga esiembanagn caiaran dean menggunakan

cairan deuretik RL 24jam/kolf memonitoring adanya penguranag preload

dengan tidak adanya suara paru abnormal. Dari implementasi yang

dilakukan didapatkan hasil pasien suara paru nafas abnormal masih ada

dimana rokni (+), klien terpasang cairan IV RL 24jam/kolf serta status

hemodinamik pasien tidak jauh berubah dimana HR = 89x/i, RR = 26

x/menit

b. Risiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan fakor risiko penyakit

ginjal

Implementasi untuk diagnosa risiko ketidakseimbangan cairan

dilakukan dengan memantau faktor risiko risiko yang mungkin

menyebabkan ketidakseimbangan cairan, memonitoring asupan dan

pengeluaran, memonitoring kadar serum dan elektrolit urin, monitoring


distensi vena jugularis, ronkhi di paru, dan edema perifer serta berikan

cairan yang tepat didapatkan hasil bahwa faktor risikonya yaitu penyakit

jantung, kadar serum dibawah normal dan ronki masih ada, serta terdapat

edema pada ekstremitas bawah. Selanjutya dilanjutkan dengan

memonitoring terhadap adanya tanda awal dari penurunan fungsi jantung,

memonitoring status sirkulasi, memonitoring adanya tanda

ketidakadekuatan perfusi oksingen ke jaringan, memberikan dan menjaga

kepatenan jalan nafas, memberikan cariran IV RL 24 jam/kolf dan

memantau status hemodinamik.

Pada pukul 13.30 didapatkan hasil evaluasi masalah belum teratasi

dimana hasil ronkhi masih ada, edema pada ekstremitas bawah, urin yang

dikeluarkan tidak ada, sesak berkurang dengan posisi yang bisa

memaksimalkan ventilasi, CRT< 2detik, dan tanda-tanda vital berubah,

tekanan darah 145/66mmHg, nadi: 79x/i dan RR: 24x/i serta pasien dan

keluarga paham dengan kondisi pasien saat ini.

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan ketidakmampuan menyerap nutrisi.

Implementasi untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh dilakukan dengan menentukan ststsus gizi pasien dan

menegidentifikasi alergi pasien, memonitoring turgir kulit, memonitoring

turgor kulit dan mobilitas, memonitoring mual dan muntah, memonitoring

pucat, kemerahan, dan jaringan konjungtiva yang kering, melakukan tes

laboratorium dan memonitoring hasil menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi intake nutrisi


Pada pukul 13.30 didapatkan hasil evaluasi masalah belum teratasi

dimana hasil klien tidak memiliki alergi terhadapa makanan, turgor kulit

baik, klien masih merasa mual tapi muntah tidaka dan, konjungtiva

anemis, klien masih tampak pucat dan klien telah mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi nutrisi.

10) Monitoring Pasien

Tabel 3.4 Monitoring Tanda-Tanda Vital

Tanda – tanda Vital


NO Waktu TD Nadi RR Suhu
1. 12.12 157/65 mmHg 97x/i 28x/i 37oC
2. 12.30 157/68 mmHg 96x/i 26x/i 37oC

3. 13.00 148/68 mmHg 89x/i 26x/i 36,5oC

4. 13.30 145/66 mmHg 79x/i 24x/i 36,5oC

5 14.00 138/64 mmHg 79x/i 24x/i 36,5oC

Tebel 3.5 Monitoring Dyspnea

No Waktu Pernapasan

1 12.12 28x/i Dengan terapi


oksigen 5l/i
2 12.30 26x/i

3 13.00 26x/i Dengan


penerapan deep
4 13.30 24x/i breathing exercise
dan ROM
5 14.00 24x/i
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Manajemen Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Secara Umum

Pengkajian yang dilakukan pada tanggal 26 Agustus 2018 pada Ny. M

(53 tahun) didapatkan data bahwa pasien mengatakan nafas treasa sesak sejak

satu hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan sesak

bertambah saat melakukan aktivitas ringan, mual (+). Klien di diagnosa

CHF+CKD stage V+ DM tipe II. Bedasarkan teori pada penderita gagal

jantung kongestif akan muncul keluhan edema pada ekstremitas terutama kaki

dan dyspnea yang terjadi akibat pertukaran oksigen yang terganggu, kesulitan

bernafas saat terlentang ataupun berbaring, dan kelelahan yang terjadi akibat

curang jantung yang menurun sehingga otot-otot tidak menerima darah dengan

cukup (Baradero, Dayrit, dan Siswadi, 2008).

Pada Ny.M timbul keluhan yang sesui dengan teori yaitu dyspnea,

kelelahan, bengkak pada kedua kaki dan juga pertambahan berat badan namun

tidak terjadi penumpukan sputum pada Ny. M. Selain itu hal perlu dikaji

menurut Marelli T.M (2008) adalah peningkatan berat badan, bunyi tambahan

pada jantung, sesak nafas saat beraktivitas dan istirahat, anoreksia, takikardia,

dan edema. Pasien dengan gagal jantung biasanya terjadi tanda dan gejala yang

spesifik untuk sesak dan lelah saat melakukan aktivitas ataupun saat

beristirahat, tidak bertenaga atau lemah, edema ekstremitas serta perubahan


struktur dan fungsi jantung (Setiani, 2014). Pada Ny. M juga timbul gejala

diatas, dimana terdapat edema pada kedua ekstremitas bawah, ada penambahan

berat badan dan dyspnea pada saat melakukan aktivitas ringan.

Pelayanan keperawatan gawat darurat menjadi salah satu area yang

paling sensitif pada pelayanan keperawatan karena adanya faktor urgency

(keadaan mendesak) dan crowding (keadaan yang penuh sesak dan ramai)

(Aacharyat al, 2011). Pengkajian keperawatan gawat darurat mendahulukan

pada masalah pasien yang mengancam nyawa atau tingkat kegawatan berat,

selanjutnya turun ke masalah tidak mengancam nyawa. Pengakjian

keperawatan gawat darurat berpedoman pada pengkajian circulation, airway,

breathing, dissability, dan exposure.

Pada pengkajian primer Ny.M didapatkan diagnosa keperawatan pola

nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas dan penuruanan

curah antung berhubungan denagn perubahan preload dan perubahan afterload.

Pada pengkajian sekunder didapatkan diagnosa risiko perfusi renal tidak efektif

ditandai dengan faktor risiko gagal ginjal, risiko ketidakseimbangan cairan

ditandai dengan faktor risiko penyakit ginjal, ketidakseimbangan nutrisi kurang

dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menyerap nutrisi

2. Diagnosa

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan denagn hambatan upaya nafas

Diagnosa pola nafas tidak efektif berhubungan dengana hambatan

upaya nafas menjadi diagnosa pertama yang diangkat berdasarkan dari

data pada bagian breathing. Pola nafas tidak efektif yaitu inspirasi dan atau

ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat atau keadaan


dimana seeorang individu mengalami kehilangan ventilasi yang aktual

(SDKI, 2016). Penyebab terjadinya pola napas tidak efektif adalah

terdorongnya cairan ke jaringan paru akibat ventrikel kiri tidak mampu

memompakan darah dari paru (Nugroh, 2016).

Pada pasien gagal jantung kongestif cenderung terjadi sesak nafas

karena mereka mengalami kesulitan untuk mempertahankan oksigenasi

(Suratinoyo, 2016). Gangguan pada pola nafas akan mengakibatakan

ketidakadekuatan suplai atau kadar oksigen dalam tubuh yang akan

berakibatkan pada kematian sel dan mengancam kehidupan karena oksigen

mempunyai peran yang penting dalam tubuh (Mubaraq dan Chayatin,

2015).

Perumusan diagnosa pola nafas tidak efektif pada Ny. M

berdasarkan pada batarsan karakteristik diantaranya yaitu data subjektif

pasien mengeluh sesak nafas, dan pasien juga mengeluh sulit untuk

tertidur karena sesak nafas yang dirasakan. Data objektif yang didapatkan

pada saat pengkajian pada Ny. M yaitu pasien tampak gelisah, nafas

cuping hidung (+), RR: 28x/I HR: 87x/I, terdapat penggunaan otot bantu

nafas, suara ronchi serta ekspirasi memanjang. Data tersebut sesuai dengan

teori dimana pada psien yang mengalami pola nafas tidak efektif akan

nampak perubahan pada status pernafasan.

Implementasi yang telah dilakuan pada Ny.M pada tanggal 26

Agustus 2019 jam 12.15 sesuai dengan intervensi yang telah di rencanakan

sebelumnya, implementasi yang dilakukan yaitu 1) terapi oksigen:

dilakukan dengan mempertahankan jalan nafas ynag paten, berkolaborasi


untuk memberikan terapi oksigen sesuai order, memonitor aliran oksigen,

memonitor efektifitas terapi tambahan sesuai order, dan mempertahankan

posisi dalam pemberian oksigen. Selanjutnya 2) memonitor status

pernafasan, mencatat pergerakan dinding dada dan mencatat penggunaa

otot bantu nafas, serta mengauskultasi bunyi nafas tambahan. Selain itu

juga dilakukan monitoring vital sign pasien dengan aktivitas memonitor

tekanan darah, nadi sushu dan RR, mencatat adanya fluktasi tekanan

darah, memonitir kualitas nadi, frekuensi dan irama pernafasan serta pola

pernafasan yang abnormal.

Dari hasil evaluasi masalah pola nafas tidak efektif dapat terastasi

sebagian setelah diberikan implementasi pada pasien selama 2 jam

meliputi memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi,

memberikan terapi oksigen kepada pasien, dimana pernafasan awal 28x/i

dan turun menjadi 24x/i, selain itu penggunaa otot bantu nafas (+).

Evaluasi subjektif juga di dapatkan dari pasien dimana pasien mengatakn

sesak sudah mulai berkurang dan pasien bisa mengatur nafas sehingga

lebih nyaman.

b. Penuruanan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload

dan perubahan afterload

Diagnosa penuruanan curah jantung berhubungan dengan perubahan

preload dan perubahan afterload menjadi diagnosa kedua setelah pola

nafas tidak efektif. Penurunan curah jantung adalah tidak adekuatnya darah

yang dipompakan oleh jantung untuk tubuh dalam melakukan


metabolisme (Herdman, 2015). Ketidakadekuatan jantung untuk

memompa darah keseluruh tubuh disebabkan oleh pembuluh darah yang

menyumplai darah ke otot tersumbat oleh ateroklerosis, sehingga

menghentikan suplai darah ke bagian miokard dan keadaan ini di kenal

dengan infark miokard. Apabila infark miokard mengenai sebagian otot

jantung, terutaman di ventrikel kiri, membuat curah jantung menurun

karena otot yang tidak terkena tidak lagi dapat berkontraksi, sehingga

pasien akan merasakan gejala seperti nyeri dada, mual, sesak nafas, lemas

dan diaphoresis (berkeringat berlebihan) (Alwi, 2014).

Penurunan curah jantung dijadikan diagnosa pertama karena dengan

kondisi itu akan mengakibatakan kurangnya oksigen pada sel dan

jaringan, edema dan peningkatan tekanan vena (Prihantono, 2013).

Penurunan curah jantung terjadi akibat perubahan struktur dan fungsi

jantung. Perubahan struktur jantung terjadi akibat proses kompensasi yang

terus menerus sehingga menyebabkan terjadinya remodeling. Remodelling

merupakan hasil dari hipertrofi sel otot jantung dan aktivasi sistem

neurohormonal yang terus menerus dengan melakukan dilatasi ventrikel

yang mengakibatkan pengerasan dinding ventrikel oleh hipertrofi otot

jantung (Black & Hawks, 2009).

Penurunan curah jantung juga dapat menimbulkan dampak atau

gangguan pada organ-organ vital diluar jantung sebagai akibat defisit

sirkulasi, misalnya sirkulasi otak, paru, ginjal, hati, limpha dan jantung itu

sendiri. Penurunan curah jantung mengakibatkan kompensasi jantung

gagal mempertahankan perfusi jaringan yang berdampak pada penurunan


kemampuan otot jantung dalam pemenuhan kebutuhan tubuh dan

jaringan, terjadi peningkatan pada sirkulasi paru menyebabkan cairan

didorong ke alveoli dan jaringan interstisium menyebabkan dispnea,

ortopnea dan batuk yang akan mengakibatkan gangguan pola nafas. Selain

itu penurunan curah jantung juga menghambat jaringan dari sirkulasi

normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hati dan

metabolisme yang tidak adekuat dari jaringan dapat menyebabkan lelah

juga akibat dari meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan

insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk, akibatnya

klien akan mengalami intoleransi aktivitas (Brunner & Sudadart, 2012).

Untuk masalah diagnosa penurunan curah jantung dapat diatasi dengan

memberikan pembatasan natrium untuk mengurangi edma serta kolabirasi

dalam pemberian ISDN (Dewi, 2012).

Pada pengkajian Ny.M didapatkan data objektif dimana terdapat

edema pada ekstremitas bawah, tekanan darah: 157/65 mmHg, serta hasil

EKG sebagai berikut: irama teratur, sinus rythm, lebar gelombang P 0,12

detik, interval PR 0,16 detik, HR 83x/I, kompleks QRS 0,16 detik. Pada

data subjektif didapatkan bahwa pasien mengeluh sesak nafas dan badan

terasa lelah. Hasil pengkajian diatas sesuai dengan batasan karakteristik

penurunan curah jantung dalam SDKI (2016) yakni batasan kerakteristik

penurunan curah jantung adalah tekanan darah meningkat/menurun,

takikardi/bradikardi, gambaran EKG aritmia atau konduksi, pasien

mengeluh dispnea dan lelah.


Intervensi yang dilakukan pada pasien dengan penurunan curah

jantung dapat teratasi dengan penilaian yang mengacu pada nursing

outcomes classification (NOC) yaitu pasien tidak sesak, tidak tampak

pucat, tidak lemah, CRT normal, saturasi oksigen normal, hasil intake dan

output seimbang dan hasil EKG normal. Hal ini sesuai dengan teori

dimana kriteria hasil yang ingin dicapai pada diagnosa penurunan curah

jantung berhubungan dengan perubahan preload dan perubahan afterload

adalah adanya TD sistolik 90-120 mmHg, TD diastolic 60-90 mmHg, tidak

adanya sesak nafas saat beraktivitas maupun beristirahat, tidak adanya

mual dan muntah, saturasi oksigen >92%, kelelahan berkurang, CRT< 2

detik , wajah tidak pucat (NANDA, 2013).

Berdasarkan diagnosa keperawatan pasien maka disusun intervensi

yang akan dilakukan adalah perawatan jantung dan monitor tanda tanda

vital. Dengan dilakukannya intervensi diharapkan penurunan curah jantung

dapat teratasi yang nilainya mengacu pada NOC. Implementasi ynag

diberikan pada Ny. M pada tanggal 26 Agustus 2018 sesuai dengan

intervensi yang telah di rencanakan sebelumnya. Implementasi yang

dilkakukan adalah perawatan jantung dimana yang dilakukan pada pasien

yaitu mengevaluasi sesak nafas, memonitor ritme jantung dan

memelakukan pemeriksaan EKG 12 lead serta melakukan monitoring

tanda-tanda vital.

Dari implementasi yang dilakukan didapatkan evaluasi hasil dari

dimana nyeri sudah tidak ada, hanya sesak nafas pasien yang masih terasa,

dan tanda-tanda vital klien TD: 157/84 mmHg, Nadi:78x/I RR:26x/i suara
nafas ronkhi masih ada serta ada penyebab perubahan tanda-tanda vital

dari aktivitas yang dilakukan. Dari evaluasi juga terlihat perubahan tanda-

tanda vital kearah normal walaupun tidak terlalu signifikan

c. Risiko perfusi renal tidak efektif ditandai dengan faktor risiko gagal

ginjal

Diagnosa di angkat berdasarkan pengkajian sekunder dimana yang

dimaksud risisko perfusi renal tidak efektif adalah keadan yang berisiko

menegalami penurunan sirkulasi darah ke ginjal (SDKI, 2016). Pada

kondisi perfusi renal tidak efektof terdapat peningkatan vasokonstriksi dan

penurunan vasodilatasi pada respon yang menunjukkan ginjal post

iskemik. Dengan peningkatan endhotelial dan kerusakan sel otot polos

pembuluh, terdapat peningkatan adhesi leukosit endothelial yang

menyebabkan aktivasi system koagulasi dan obstruksi pembuluh dengan

aktivasi leukosit dan berpotensi terjadi inflamasi.

Pada tingkat tubuler, terdapat kerusakan dan hilangnya polaritas

dengan diikuti oleh apoptosis dan nekrosis, obstruksi intratubular, dan

kembali terjadi kebocoran filtrate glomerulus melalui membrane polos

dasar. Sebagai tambahan, sel-sel tubulus menyebabkan mediator vasoaktif

inflamatori, sehingga mempengaruhi vascular untuk meningkatkan

kerjasama vascular. Mekanisme positif feedback kemudian terjadi sebagai

hasil kerjasama vascular untuk menurunkan pengiriman oksigen ke

tubulus, sehingga menyebabkan mediator vasoaktif inflamatori

meningkatkan vasokonstriksi dan interaksi endothelial-leukosit

(Bonventre, 2008).
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan

takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor

kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi portal,

tanda gagal jantung dan sepsis. Tanda dan gelaja tersebut ada pada Ny.M

sehingga diangnosa ini sesuai dengan keadaan klien.

Pada pengkajian Ny.M didapatkanyang mendukung diagnosa ini

yaitu klien memliki riwayat gagal ginjal, edema pada eketremitas bawah,

nilai laboratorium yang tidak normal, ureum darah: 104 mg/dl, kreatinin:

4,1 mg/dl dan klien tampak pucat. Data yang diperoleh sesuai dengan

kondisi klinis yang terkait denan diagnosa risiko perfusin renal tidak

efektif yaitu gagal ginjal. Kondisi klinis yang terlihat jika mengalami gagal

ginjal adalah nilai laboratorium yang abnormal.

Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa risiko perfusi renal tidak

efektif dapat teratasi dengan berpedoman pada nursing ooutcome

classification (NOC) yaitu tidak ada peningakatan kreatinin dan serum

darah dan mengontrol sehingga tidak ada kelelahan dan mual muntah,

serta mengontrol status sirkulasi diaman edema suara nafas tamabahan dan

wajah pucat tidak ada (NANDA, 2013).

Implememtasi yang dilakukan sesuai dengan yang direcanakan

sebelumnya, dimana pada tanggal 26 Agustus 2018 telah dilakukan

memonitoring status hemodinamik, memeonitir intake dan output pasen,

menjaga esiembanagn caiaran dean menggunakan cairan deuretik RL

24jam/kolf memonitiring adanya oenguranag preload dengan tidaka danya

suara paru abnirmal. Dari implementasi yang dilakukan didapatkan hasil


pasien suara paru nafas abnormal masih ada diaman rokni (+), klien

terpasang cairan IV RL 24jam/kolf serta status hemodinamik pasien tidak

jauh berubah dimana HR = 89x/i, RR = 26 x/menit

d. Risiko ketidakseimbangan cairan ditandai dengan faktor risiko

penyakit ginjal

Diagnosa risiko ketidakseimbangan cairan adalah kondisi yang

berisiko mengalai penurunan, peningkatan atau percepatan perpindahan

cairan dari intravaskular, interstisial atau intraselular. Keadaan ini bisa

terjadi karena beberapa faktor risiko diantaranya trauma/perdarahan, luka

bakar, asites, penyakit ginal dan disfungsi intestinal. Pada pasien ini faktor

risiko yang endukung doagnosa ini adalah penyakit ginjal.

Kebutuhan cairan dan elektrolit merupakan kebutuhan dasar yang

dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Beberapa sistem organ di dalam

tubuh yang membantu dalam proses pemenuhannya, diantaranya yaitu

ginjal, kulit, paru serta gastrointestinal (Hidayat & Musrifatul Uliyah,

2012). Menurut Saputra, L (2013) ada empat organ yang pertama ginjal

sangat berperan penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan

elektrolit. Ketidakseimbangan cairan ditandai dengan defisiensi cairan dan

elektrolit di ruang ekstraselular, tetapi proporsi antara keduanya (cairan

dan elektrolit) mendekati normal, hipovolume dikenal juga dengan

dehidrasi atau hipovolemia (Smeltzer, 2013).

Hasil pengkajian sekunder didapatkan data yang mendukung untuk

diagnosa ini diaman terdapat edema di ekdtermitas bawah, niali

laboratorium yang ridak normal di buktikan dengan ureum darah: 104


mg/dl, kreatinin: 4,1 mg/dl, kaliaum: 7,7 Mmol/L, dan natrium: 131

Mmol/L. Hal ini sesuai dengan teori dimana akan terjadi perubahan hasil

laboratorium dan edema pada pasien yang mengalami CHF karena

perubahan fungsional pulmonal dan memiliki riwayat CKD (Smeltzer,

2013). Selain tanda gejala tersebut sesuai dengan kondisi klinis yang

terkait dengan risiko ketidakseimbangan cairan salah saatunya yaitu

penyakit ginjal dan kondisi tersebut dimiliki oleh Ny.M.

Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa risiko ketidakseimbangan

cairan dapat teratasi dengan berpedoman pada nursing ooutcome

classification (NOC) yaitu keseimbangan cairan dengan kriteria hasil

tekanan darah dalam normal, turgor kulit baik, hematokrit normal,

kelembaban membran mukosa, tidak ada distensi vena leher, tidak adda

edema perifer, tidak ada asites. Kriteri hasil ini di harapkan dapat tercapai

dengan aktivitas monotorng caoran dan pencegahan syok (NANDA,

2013).

Implementasi yang dilakukan sesuai dengan yang direcanakan

sebelumnya, dimana pada tanggal 26 Agustus 2018 telah dilakukan

memantau faktor risiko risiko yang mungkin menyebabkan

ketidakseimbangan cairan, memonitoring asupan dan pengeluaran,

memonitoring kadar serum dan elektrolit urin, monitoring distensi vena

jugularis, ronkhi di paru, dan edema perifer serta berikan cairan yang tepat

didapatkan hasil bahwa faktor risikonya yaitu penyakit jantung, kadar

serum dibawah normal dan ronki masih ada, serta terdapat edema pada

ekstremitas bawah. Selanjutya dilanjutkan dengan memonitoring terhadap


adanya tanda awal dari penuruana fungsi jantung, memonitoring status

sirkulasi, memonitoring adanya tanda ketidakadekuatan perfusi oksingen

ke jaringan, memberikan dan menjaga kepatenan jalan nafas, memberikan

cariran IV RL 24 jam/kolf dan memantau status hemodinamik.

Evaluasi akhir dari masalah belum teratasi dimana hasil ronkhi

masih ada, edema pada ekstremitas bawah, urin yang dikeluarkan tidak

ada, sesak berkurang dengan posisi yang bisa memaksimalkan ventilasi,

CRT< 2detik, dan tanda-tanda vital berubah, tekanan darah 145/66mmHg,

nadi: 79x/i dan RR: 24x/i serta pasien dan keluarga paham dengan kondisi

pasien saat ini

e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan ketidakmampuan menyerap nutrisi

Diagnosa ketidakseimabangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

adalah kondisi dimana intake nutrisi tidak sama dengan status metabolisme

yang diinginkan. Ketidakseimbangan nutrisi dapat dilihat dari salah

satunya nilai albumin. Dimana nilai albumin berkisar 3,5 hingga 5,9 gram

per desiliter (g/dL). Hipoalbuminemia dapat menyebabkan edema, dimana

adanya pembengkakan yang menyeluruh melalui penurunan tekanan

onkotik. Salah satu fungsi utama albumin adalah mempertahankan tekanan

onkotik, kekuatan yang menarik cairan ke dalam sirkulasi darah. Dengan

cara ini, albumin mencegah jumlah cairan yang berlebihan terakumulasi

dalam jaringan atau kompartemen tubuh lainnya. Karena kadar serum

albumin manusia yang berkurang, defisiensi protein yang parah


menyebabkan tekanan onkotik yang lebih rendah. Akibatnya, cairan

menumpuk di jaringan, menyebabkan pembengkakan.

Kadar albumin yang rendah juga tanpa ketahui berdampak pada kulit,

rambut dan kuku menjadi bermasalah. Dimana kulit mengalami

pengelupasan, pecah, kemerahan, bercak-bercak kulit depigmentasi,

rambut menipis, warna rambut pudar, rambut rontok, kuku rapuh dan

lainnya. Hasil pengkajian sekunder didapatkan data yang mendukung

untuk diagnosa ini dimana terdapat pasien tampak pucat, konjungtiva

anemis, Hb: 10,23mg/dl, Albumin 3,3 g/dl, nadi terasa lemah. Hal ini

sesuai dengan teori dimana akan terjadi perubahan hasil laboratorium dan

edema pada pasien yang mengalami CHF karena perubahan fungsional

pulmonal dan memiliki riwayat CKD (Smeltzer, 2013). Selain tanda gejala

tersebut sesuai dengan kondisi klinis yang terkait dengan risiko perfusi

renal tidak efektif salah saatunya yaitu penyakit ginjal dan kondisi tersebut

dimiliki oleh Ny.M.

Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa ketidakseimbangan

nutrsisi dapat teratasi dengan berpedoman pada nursing ooutcome

classification (NOC) yaitu 1) status nutrisi: asupan makanan normal dan

asupan cairan normal. 2) ststu nutrisi: asupan serat adekuat, asupan minera

adekua dan asupan natrium adekuat. Selain itu kriteria hassil yang

diharapakan adalah albumin, hematokrit dan hemoglobin dalan rentang

normal. (NANDA, 2013).

Implementasi untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh dilakukan denganmenentukan ststsus gizi pasien dan


menegidentifikasi alergi pasien, memonitoring turgir kulit, memonitoring

turgor kulit dan mobilitas, memonitoring mual dan muntah, memonitoring

pucat, kemerahan, dan jaringan konjungtiva yang kering, melakukan tes

laboratorium dan memonitoring hasil menentukan faktor-faktor yang

mempengaruhi intake nutrisi

Pada pukul 13.30 didapatkan hasil evaluasi masalah belum teratasi

dimana hasil klien tidak memiliki alergi terhadapa makanan, turgor kulit

baik, klien masih merasa mual tapi muntah tidaka da, konjungtiva anemis,

klien masih tampak pucat dan klien telah mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhi nutrisi

B. Evidence Based Practice Nursing

Asuhan keperawatan yang dibetikan pada pasien CHF dalam karya ilmiah

ini adalah dengan penerapan EBN deep breathing exercise dan range on motion

(ROM) yang bertujuan agar pasien mampu dalam mengurangi dyspnea. Gagal

jantung kongestif akan mengakibatkan cairan tertumpuk di alveoli karena

tergangunya fungsi pulmonal. Keadaan tersebut menjadikan suplai oksigen

terganggu karena tidak maksimalnya jantung untk memompakan darah sehingga

terjadi dyspnea. (Jonshon, 2008; Wendy, 2010). Dyspnea adalah suatu keadaan

dimana pasien berusaha untuk meningkatkan usaha nafas. Kondisi ini dapat

muncul saat beristirahat dan atau saat melalukan aktivitas. Dyspnea dapat

mempengaruhi aktivitas fisik dan kualitas hidup secara negatif dengan

menngkatkan resiko perkembangan gaya hidpu yang menetap pada pasien (Alken

et al, 2017).
Penurunan dyspnea dapat dilakukan dengan aktivitas deep breating exercise

(DBE) dan ROM. BDE adalah teknik respirasi yang digunakan untuk mengontrol

dyspnea dan menghilangkannya dalam siatuasi dimana kebutuhan untuk respirasi

meningkat selama melakukan aktivitas. DBE dapat memberikan bantuan pada

pasien dyspnea karena mampu mengontrol lebih besar pernapasan serta lebih

efektif untuk mengurangi dyspnea. Latihan pernafasan akan membantu

perbaikan dalam fungsi pernafasan diamana latihan ini akan mengurangi

penggunaan otot bantu pernafasan dan mengoptimalkan pengembanagan paru jika

dilakukan secara terarur (Potter,2005).

Metode inspirasi dengan DBE membantu pengisisan rongga dada hingga

pebuh dan terjadilah peningkatan tekanan interkosta di paru. Hal ini akan

menyebabkan peningkatan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh dan berdampak

pada penuruanan dyspnea. Deep breathing dapat dilakukan oleh penderita dengan

possi semi fowler dengan menarik nafas melalui hidung selama 4 detik lalu tahan

dalam 2 detik di hembuskan dengan merapatkan bibir. Latihan ini dapat dilakukan

selama 15 menit untuk 5 siklus dan dapat dilakukan 2 kali sehari.

Evaluasi yang dilakukan pada pasien setelah dilakukan deep breathing

exercise 5 siklus didaptkan hasil pasien mampu mengatur nafas dan klien

menegatakan sesak berkurang serta merasa lebih nyaman, pernafasan sudah turun

dari yang awalnya 28x/i menadi 24x/i, dan nadi yang awalnya 97x/i turun menjadi

79x/i serta TD 138/64 mmHg.

Hal tersebut sesui dengan pendapat Sepdianto (2013) dalam penelitainnya

yang menyatakan bahwa berathing exercise dapat meningkatkan saturasi oksigen

dan meruapak salah satu upaya dalam penurunana dysnesa pada pasien gagal
jantung kongestif. Deep breathing exercise merupakan teknik yang mudah

dilakukan, bisa digunakan pada semua aktivitas dan tidak memerlukan peralatan.

Selain dengan latihan pernafasan, dyspnea dapat diturunkan dengan ROM

karena terjadinya perbaikan penghantaran oksigen dalam tubuh yang akan

mengakibatkan curah (Atur, 2006). Dalam keadaan dyspnea penderita CHF lebih

banyak melakukan gaya hidup yang menetap karena aktivitas dipengaruhi oleh

dyspnea. Jika keadaan ini dibiarkan berlama-lama akan meyebabkan kekakuan

dari otot-otot penderita dan memperburuk keadaan penderita CHF. Gerakan ROM

adalah gerak yang dilakukan untuk menggerakan sendi dengan tujuan agar aliaran

darah ke otot meningkat sehingga perfusi jaringan perifer membaik (Babu, 2010).

Outcome yang di sarankan oleh NOC pada penderita CHF adalah mampu

menghemat energi dan mengontrol aktivitas. Salah satu cara menghemat energi

dan megontrol aktivitas yaitu dengan latihan pernafasan dan melakukan gerakan

ROM.

Latihan gerakan ROM dapat dilakukan oleh penderita CHF dengan status

hemodinamik yang sudah stabil. Latihan ini dapat dilakukan sebanyak tiga kali

sehari dalam 3 hari berturut-turut. Untuk gerakan ROM dapat dilakukan lima kali

secara bertahap untuk masing-masing gerakan. Selain untuk penderita CHF yang

dirawat di rumah sakit, latihan gerakan ROM ini dapat dilakukan oleh pasien

selama melakukan aktivitas sehari hari di rumah. Latihan dapat dilakukan setiap

pagi ataupun saat penderita merasakan kelelahan serta saat mengatur nafas.

Evalusai pada pasien setelah dilakukan intervensi ROM yang di

kombinasikan dengan latihan pernafasan didapatkan hasil pasien mampu

melakukan latihan ROM dan mampu mengontrol aktivitas serta klein mengatakan
badan terasa lebih nyaman setelah di gerakan. Hal ini sejalan dengan penelitian

Nirmalasari (2017) dimana deep breathing exercise dan ROM dapat menurunkan

dyspnea pada pasien CHF. Gerakan ROM merupakan gerakan yang mudah untuk

dilakukan dan tidak memerlukan peralatan yang berat sehingga efektif untuk

dilakukan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan dan pelaksanaan asuhan keperawatan pada

Ny.M usia 53 tahun dengan diagnosa CHF+CKD stage V+ DM tipe II pada tanggal

26 Agustus 2018 dapat disimpulkan bahwa :

1. Berdasarkan pengkajian yang dilakukan, data yang ditemukan sesuai dengan

data-data teoritis pasien dengan CHF, seperti adanya sesak nafas, dyspnea,

mual sesak yang bertambah jika beraktivitas dan hasil aritmia pada EKG.

2. Diagnosa keperawatan yang diangkat pada Ny.M sesuai dengan diagnosa

teoritis yang biasa timbul pada penderita dengan CHF, yaitu pola nafas tidak

berhubungan dengan hambatan upaya nafas, penurunan curah jantung

berhubungan dengan perubahaan irama jantung, risiko perfusi renal tidak

efektif ditandai dengan faktir risikogagal ginjal dan risiko ketidakseimbangan

cairan ditandai dengan faktor risiko penyakit ginjal serta ketidakseimbangn

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

3. Intervensi keperawatan untuk pasien CHF telah di sesuai dengan

penatalaksanaan keperawatan untuk mengurangi dyspnea pada masing-

masing diagnosa yang diangkat dengan penerapan Deep Berathing Exercise

dan Range Of Motion dan membantu pasien untuk menghemat energi dan

mengontrol aktivitas.
4. Implementasi keperawatan yang dilakukan adalah evidence based nursing

dengan penerapan deep breathing exercise dan range of motion dengan hasil

sesak nafas pasien berkurang, pasien mengatakan lebih nyaman. Terjadi

perbaikan dalam status hemodinamik diamna TD: 138/64 mmHg, nadi 79x/I,

pernapasan 24x/I, suhu 36,5oC dan SpO2 98%.

5. Hasil evaluasi keperawatan yang didapatkan setelah dilakukan tindakan

keperawatan gawat darurat 2 jam di ruangan resusitasi adalah masalah

teratasi sebagian pada diagnosa pola nafas tidak efektif penurunan curah

jantung dan pada diagnosa risiko perfusi renal tidak efektif, pada diagnosa

risiko ketidakseimbangan cairan serta diagnosa ketidakseimbanagn nutrisi

kurang dari kebutuhan tubuh masalh belum teratasi. Pada penerapan deep

breathing exercise dan ROM dapat mengurangi dypsnea pada pasien CHF.

B. Saran

1. Bagi Pelayanan Keshatan

Hasil dari penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat

meningkatkan kualitas asuhan keperawatan yaitu dengan cara:

a. Menjadikan karya ilmiah ini sebagai panduan dalam melaksanakan

asuhan keperawatan pada pasien CHF yang mengalami dyspnea dengan

mengajarkan pengontrolan nafas setelah berada di posisi yang

memaksilakan ventilasi dan nyaman.

b. Menerapkan deep berathing exercise dan range of motion untuk

menurunkan dypsnea pada penderita CHF sebagai tindakan keperawatan

mandiri setelah diberikan terapi oksingen dan pemberian posisi.


2. Bagi Institusi Rumah Sakit

Hasil dari penulisan Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai panduan asuhan keperawatan mandiri (non farmakologis) bagi

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien CHF dan

pelaksanaan deep breathing exercise dan range of motion untuk mengurangi

dyspnea yang dilakukan setelah memberikan terapai oksingen dan pemberian

posisi serta dapat dipakai sebagai tindakan untuk meningkatkan kualitas

pelayanan asuhan keperawatan.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Penulisan karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat dijadikan referensi

tambahan dalam memberikan asuhan keperawatan pada CHF dengan

penerapan evidance based deep breathing exercise dan range of motion yang

dapat dijadikan referensi tambahan dalam penatalaksanaan nonfarmakologis

untuk mengurangi dyspnea.


DAFTAR PUSTAKA

AHA. (2012). About heart failure. Juni 27, 2013. http://www.heart.org/ HEARTORG
/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/About-HearFailure_UCM_002044_
Article. jsp

(2012). Types of heart failure. Juni 27, 2013. http://www.heart.org/


HEARTORG /Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/Types-of-Heart-
Failure_UCM_306323_Article.jsp

(2012). Understand your risk for heart failure. Mei 22, 2013.
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/UnderstandYourRisk
forHeartFailure/Understand-Your-Risk-for-Heart-
Failure_UCM_002046_Article.jsp

Alkan O, H, Yigit, Z et al. (2017). Influence of Breathing Exercise Education Applied


on Patients with Heart Failure on Dyspnoea and Quality of Sleep: A Randomized
Controlled Study. International Journal of Medical Research &Health Sciences,
2017, 6(9): 107-113

Amin, M.A et al. (2009). Effect of exercise on ventilatory function in welders. Egyptian
Journal of Bronchology, Volume 3. No 1,
http://www.essbronchology.com/journal/june_2009/PDF/7mohamed_elbatanony.
pdf diakses pada tanggal 27 agustus 2017

Arthur C. Guyton. (2006). Textbook of Medical Physiology.Ed. Eleven. Philadelphia


PA: Elsevier Saunders.

Babu A. (2010). Protocol-Guided Phase-1 Cardiac Rehabilitation in Patients with ST-


Elevation Myocardial Infarction in A Rural Hospital.Heart views.11(2):52-6

Baradero, dkk (2008). Klien Gangguan Kardiovaskuler. Editor Monika Ester, Jakarta:
EGC
Berkowitz, Aaron. (2013). Lecture Notes Patofisiologi Klinik Disertai Contoh Kasus
Klinik. Tangerang Selatan: BinarupaPort

Berek, Pius A.L. (2010). Efektivitas slow deep breathing terhadap penurunan tekanan
darah pada pasien hipertensi primer di Atambua Nusa Tenggara Timur: a
randomized controlled trial. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.

Black, Joice M. & Hawks, Jane H. (2009). Medical surgical nursing: clinical
management for positive outcomes (8th ed). Singapore: Elsevier

Bosnak-guclu M et al (2011). Effects of inspiratory muscle training in patients with


heart failure. Respiratory Medicine. (16).

Bradke, Peg. (2009). Transisi depan program mengurangi readmissions untuk pasien
gagal jantung. Juni 22, 2013.
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=enlid&u=http://www.innov
erations.ahrq.gov/content.aspx%3Fid%3D2206

Depkes, (2014). Lingkungan Sehat, Jantung Sehat. 2014. http://www.


Depkes.go.id./article/view/201410080002/lingkungan-sehat-jantungsehat.html.
Diakses 25 Agustus 2018.

Dewi, I. N. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Congestive Heart Failure
(CHF) di Ruang Intensive Coronary Care Unit Dirumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soehadiprijonegoro Sragen. Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Ebbersole, H (2008). Toward Healthy Aging, Human Needs & Nursing Response.
Eighth Edition. Elsevier

Herdman, T. H. (2015). Diagnosa Keperawatan. Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC

Hidayat, A.(2009), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Ignatavicius, Donna dkk, (2006). Medical Surgical Nursing: Critical Thingking For
Collaborative Care. Singapore: Elsevier Saunders.
Johnson, M and Stephen G. (2010). The Management of Dyspnoea in Chronic Heart
Failure. Current Opinion in Supportive and Palliative Care. 4: 63 68

Joohan, J. (2000). Cardiac output and blood pressure. 27 Agustus 2018.


http://www.google.co.id/imgres?imgurl/CO/andMAP/MAPfactors.jpg&im
grefurl.

Karson, (2012). Buku Ajar Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Edisi Pertama. Jakarta:
Nuba Medika.

Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementeria Kesehatan RI.

, (2013). Profil Kesehatan Indonesia 2013.


(http://www.depkes.go.id,diakses tanggal 27 Agustus 2018)

, (2017). Artikel Departemen Kesehatan inilah capaian kinerja


kemenkes republik indonesia tahun 2015- 2017. http://www.depkes.go.id, diakses
tanggal 27 agustus 2018

Mann.D.L (2012). Heart Failure And Cor Pulmonale Ed.17th. In:Harrison’s


Cardiovaculer. Medicine

Muttaqin, A (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika

Nanda International, Inc. (2014). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification


2015-2017. Tenth Edition. Edited By. T. Heather Herdman, Phd, Rn, Fni. Wiley
Blackwell.

Nugroh,T.,Bunga,T.P.(2016). Teori Asuhan Keperawatan Gawat Darurat.


Yogyakarta:Nuha Medika Kemenkes.(2014).Situasi Kelainan Jantung.Jakarta

Nirmalasari, 2017. Deep breathing exercise dan active range of motion efektif
menurunkan dyspnea pada pasien congestive heart failure. Nursingline
Journal.Vol 2 No 2 November 2017. 159-165
Nursing Interventions Classifications (NIC). 6th Edition. Missouri: Mosby Elsevier

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal


Jantung. Edisi pertama. PERKI.

Potter, P. A & Perry, A.G (2009). Fundamental Keperawatan edisi 7. Jakarta: Salemba
Medika

Prihantono, W. E. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Ny. G Dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskuler : Congestive Heart Failure (Gagal Jantung Kongestif) Dibangsal
Anggrek – Bougenville RSUD Pandanarang Boyolali. Surakarta. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Price, Sylvia A dan Lorainne M. Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Priyanto, (2010). Pengaruh deep breathing exercise terhadap pengaruh ventilasi


oksigenasi paru pad klien post ventilasi mekanik. Tesis. http://lontar.ui.ac.id/file?
file*digital/20284827-T520priyanto.pdf. diakses tanggal 27 agustus 2018

Rachma,L.N.(2014).Patomekanisme Penyakit Gagal Jantung Kongestif.Jurnal


Patomekanisme Penyakit,4(2),81-90.

Sagar VA and Davies EJ, et al. 2015. Exercise-based rehabilitation for heart failure?:
systematic review and meta-analysis.

Sepdianto, (2013). Peningkatan Saturasi Oksigen Melalui Latihan Deep Diaphragmatic


Breathing pada Pasien Gagal Jantung. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan. 1(8)

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2006). Brunner & Suddarth’s textbook of
medical surgical nursing 8th ed. (Agung Waluyo et. al., Penerjemah).
Philadelphia: Lippincott
Suhartono, T. (2011). Dampak home based exercise training terhadap kapasitas
fungsional dan kualitas hidup pasien gagal jantung di RSUD Ngudi Waluyo
Wlingi. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Suratun, (2008). Klien Gangguan sistem Muskuloskeletal. Seri Asuhan Keperawatan ;


Editor Monika Ester, Jakarta: EGC.

Udjianti, Wajan (2011). Keperawatan Kardiovaskuler, Jakarta: Salemba Medika

Urell Charlotte, et al. (2011). Deep Breathing Exercises With Positive Expiratory
Pressure at a Higher Rate Improve Oxygenation in the Early Period After
Cardiac Surgery-a Randomised Controlled Trial. European Journal of Cardio-
thoracic Surgery 40. Hal. 162—167.

Wendy, C (2010). Dyspnoea and Oedema in Chronic Heart Failure. Pract Nurse. 39(9)

Westerdahl, E et al (2014). Deep Breathing Exercises Performed 2 Months Following


Cardiac Surgery A Randomized Controlled Trial. Journal Cardiopulmonary
Rehabilitation Prev. 34(1):34-42

WHO. (2013). Cardiovascular disease (CVDs). 27 Agustus 2018


http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/C
lasses-of-Heart-Failure_UCM_306328_Article.jsp

Yancy, Clyde W., et al. (2013). ACCF/AHA Practice Guideline 2013 ACCF / AHA
Guideline for the Management of Heart Failure A Report of the American College
of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. ACCF/AHA Practice Guideline.;128:e240-e327

Ziaeian, Boback and Gregg C. Fonarow. (2016). Epidemiology and etiology of Heart
Failure. Nat Publ Gr. 1-11.http:/ /dx.doi.org/10.1038/nrcardio.2016.25
95

Lampiran 1 WOC
97

Lampiran 2

Dokumentasi
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5

CURICULUM VITAE

Nama : Yuza Kemala, S.Kep

Tempat/Tgl lahir : Pasanehan, 17 Januari 1995

Agama : Islam

Negeri Asal : Agam

Status : Belum Menikah

Nama Ayah : Yunadi

Nama Ibu : Zarnida

Alamat : Jalan M.Hatta, Pauh

Padang Riwayat Pendidikan

a. TK Budi Mulia tahun 2000

b. SDN 03 Pasanehan tahun 2001-2007

c. SMPN 3 Canduang tahun 2007-2010

d. SMAN 3 Teladan Bukittinggi tahun 2010-2013

e. S1 Keperawatan Universitas Andalas Padang 2013-2017

f. Program Profesi Ners Keperawatan Universitas Andalas Padang 2017-sekarang


Uji Turnitin

Anda mungkin juga menyukai