Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

SEMINAR AKUNTANSI

IAS 2A – INVENTORY

Nama : ALVINA

NIM : 2011070369

Kelas : Akuntansi Kelas Karyawan (1K25B)

Perbanas Institute
PEMBAHASAN

PENILAIAN

Menurut IAS 2 dalam buku IFRS Interpretation and Application of International Financial
Reporting Standards, “Inventories are defined ad items that are held for sale in the ordinary
course of business; int the process of production for such sale; or in the form of materials or
supplies to be consumed in the production process or in the rendering of services”, yang bila
diartikan, Persediaan didefinisikan sebagai barang-barang yang dimiliki untuk dijual dalam
kegiatan usaha sehari, dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau dalam bentuk bahan
atau perlengkapan untuk dikonsumsi dalam proses produksi atau pemberian jasa.

IAS 2 mendiskripsikan bahwa basis utama akuntansi persediaan adalah kas, dan kas
didefinisikan sebagai jumlah kas pembelian atau kas konversi, termasuk kas lain untuk membuat
persediaan ada di lokasi perusahaan dan dalam kondisi seperti pada saat pelaporan persediaan.
Dikatakan bahwa kas atas pembelian persediaan mencakup harga beli, biaya angkut, asuransi,
dan biaya penanganan persediaan (handling costs). Potongan tunai, rabat, dan jenis-jenis
potongan pembelian lain jika ada harus dikurangkan ke biaya persediaan. Dapat disimpulkan
bahwa sampai dengan titik ini, tidak ada perbedaan kententuan pengukuran kas persediaan antara
IFRS dengan US GAAP, keduanya membuat aturan yang boleh dikatakan sama persis, karena
memang untuk kasus kas perolehan persediaan tidak ada ruang untuk penerapan konsep
principles-based, sehingga mau tidak mau harus menggunakan konsep rules-based

Untuk kasus persediaan yang memerlukan proses produksi cukup lama, IAS 23 mengatur bahwa
bagian dari biaya pendanaan (borrowing costs) harus diperlakukan sebagai bagian dari biaya
persediaan. Dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa IFRS justru sangat mengatur tentang
bagaimana biaya pendanaan harus diperlakukan, atau justru menggunakan rules-based dan
bukannya menggunakan principles-based. Semestinya jika konsisten menggunakan principles-
based, financing costs untuk keperluan proses produksi yang panjang semacam ini tetap
diperlakukan sebagai period costs dan bukannya diperlakukan sebagai production costs, karena
jika manajemen memutuskan untuk tidak menggunakan dana luar dalam proses produksinya,
maka financing costs tidak akan pernah terjadi.

IAS 2 menyebutkan bahwa biaya konversi untuk proses produksi persediaan mencakup seluruh
biaya yang berhubungan langsung dengan proses produksi persediaan, seperti biaya tenaga kerja
langsung dan biaya overhead. Alokasi biaya overhead harus dilakukan secara sistematis dan
rasional, dan dalam kasus biaya overhead tetap, yaitu yang jumlahnya tidak berubah-ubah
menyesuaikan dengan volume produksi, alokasi harus dilakukan berdasarkan tingkat produksi
normal. Dalam periode tingkat produksi turun secara tidak normal, sebagian dari biaya overhead
tetap harus dibebankan langsung ke periode terjadinya biaya, atau dengan kata lain harus
diperlakukan sebagai biaya periode (period costs), dan tidak diperhitungkan sebagai bagian dari
biaya persediaan. Dalam kasus standard pengukuran biaya produksi ini, sekali lagi dapat
dirasakan bahwa IFRS membuat aturan dengan cukup jelas tetang bagaimana pengukuran biaya
produksi harus dilakukan, sama sekali tidak berbeda dengan standard pengukuran biaya produksi
versi US GAAP, sehingga dapat disimpulkan baik IFRS maupun US GAAP tetap menggunakan
konsep rules-based, dan bukannya menggunakan konsep principles-based. Berdasarkan paparan
dalam paragraf ini, sama sekali tidak ada alasan untuk bisa mengatakan IFRS
menggunakan principles-based dan US GAAP menggunakan konsep rules-based.

Biaya produksi selain bahan baku dan biaya konversi (biaya tenaga kerja langsung dan biaya
overhead) hanya akan dibebankan sebagai bagian dari biaya persediaan pada saat biaya tersebut
dipandang sangat diperlukan untuk membuat persediaan dalam kondisi siap untuk dijual atau
dilaporkan dalam laporan keuangan. Contoh biaya semacam ini adalah biaya perancangan
produk dan biaya persiapan produksi untuk memenuhi kepuasan sekelompok pelanggan tertentu.
Di sisi lain, seluruh biaya riset dan pengembangan produk, berdasarkan IAS 38, tidak boleh
diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan. Biaya lain yang juga tidak perperbolehkan
diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan adalah biaya administrasi dan biaya penjualan
atas persediaan, biaya sisa bahan-bahan produksi, serta biaya penggudangan persediaan. Biaya
lain yang harus dimasukkan sebagai bagian dari biaya overhead, dan oleh karenanya
diperlakukan sebagai bagian dari biaya persediaan adalah biaya perbaikan dan pemeliharaan
mesin, biaya peralatan produksi, biaya sewa peralatan produksi, biaya tenaga kerja tidak
langsung, biaya gaji pengawas produksi, biaya bahan-bahan produksi tidak langsung, biaya
pengendalian dan pengawasan kualitas produk, dan biaya atas peralatan kecil yang tidak
dikapitalisasi. Ketentuan dalam IFRS atas biaya produksi selain biaya bahan baku dan biaya
konversi, yang diuraikan dalam paragraf ini, juga memperjelas fakta bahwa untuk kasus ini IFRS
tidak menggunakan principles-based, tetapi menggunakan rules-based sebagaimana yang terjadi
pada US GAAP.

PENDAHULUAN

Persediaan merupakan salah satu aktiva yang paling aktif dalam operasi kegiatan perusahaaan
dagang. Sebagaian besar sumber daya perusahaan yang diinvestasikan dalam bentuk barang-
barang yang dibeli atau diproduksi. Biaya barang – barang ini harus dicatat, dikelompokan, dan
diikhtisarkan selama periode akuntansi. Pada akhir periode, biaya dialokasikan diantara aktivitas
periode berjalan dan aktivitas periode mendatang yaitu diantara barang – barang yang berada
dalam persediaan untuk dijual periode mendatang.

Persediaan juga merupakan aktiva lancar terbesar dari perusahaan manufaktur maupun dagang.
Pengaruh persediaan terhadap laba lebih mudah terlihat ketika kegiatan bisnis berfluktuasi.
Selama iklim usaha baik, penjualan menjadi tinggi dan persediaan bergerak lebih cepat dari
pembelian ke penjualan. Namun ketika kondisi ekonomi menurun, tingkat penjualan juga
menjadi menurun, persediaan bertumpuk dan perlu dilakukan penjualan meskipun mengalami
kerugian.

Pengertian persediaan menurut Skousen, Stice dan Stice (2004:653) adalah sebagai berikut : “
Kata persediaan ditujukan untuk barang- barang yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan bisnis
normal, dan dalam kasus perusahaan manufaktur, maka kata ini ditujukan untuk proses produksi
atau yang ditempatkan dalam kegiatan produksi“.

IAS 2 merupakan standard akuntansi keuangan international yang mengatur mengenai


persediaan. Tujuan dari IAS 2 adalah untuk menentukan perlakuan akuntansi untuk persediaan.
IAS 2 memberikan panduan untuk menentukan biaya persediaan dan untuk selanjutnya
mengakui beban, termasuk setiap penurunan-down menjadi nilai realisasi bersih. Hal ini juga
memberikan panduan rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan. IAS 2
menyatakan dasar penentuan dan akuntansi untuk persediaan sebagai suatu aset, hingga
pendapatan yang terkait diakui. Standar juga memberikan pedoman mengenai penilaian
persediaan dan konsekuensi penghapusannya sebagai suatu beban (expense), dan perlakuan yang
harus di adopsi atas pendapatan terkait yang di akui.

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai persediaan berdasarkan IAS 2, yaitu ruang lingkup,
dasar penilaian, pengukuran biaya perolehan, dan pengungkapan.

RUANG LINGKUP IAS 2

Sebelum tahun 2005 IAS 2 membolehkan penggunaan tiga alternatif pengukuran kas persediaan,
yaitu metode FIFO dan rata-rata tertimbang yang oleh IAS 2 disebut sebagai benchmark
treatments, serta satu lagi metode yang oleh IAS 2 disebut sebagai allowed alternative
treatments yaitu metode LIFO. Namun efektif mulai 1 Januari 2005 IFRS tidak membolehkan
penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang berlaku tinggal metode FIFO
dan metode Rata-rata Tertimbang. Pembatasan penggunakan metode akuntansi semacam ini
merupakan indikasi bahwa IFRS pada dasarnya tidak sepenuhnya menggunakan principles-
based, bahkan dalam kasus akuntansi persediaan menjadi lebih rules-based dibanding US
GAAP.

Tujuan Pernyataan ini adalah mengatur perlakuan akuntansi untuk persediaan. Permasalahan
pokok dalam akuntansi persediaan adalah penentuan jumlah biaya yang diakui sebagai aset dan
perlakuan akuntansi selanjutnya atas aset tersebut sampai pendapatan terkait diakui. Pernyataan
ini menyediakan panduan dalam menentuan biaya dan pengakuan selanjutnya sebagai beban,
termasuk setiap penurunan menjadi nilai realisasi neto. Pernyataan ini juga memberikan panduan
rumus biaya yang digunakan untuk menentukan biaya persediaan.

Persediaan adalah salah satu aset lancar signifikan bagi perusahaan pada umumnya, terutama
perusahaan dagang, manufaktur, pertanian, kehutanan, pertambangan, kontraktor bangunan, dan
penjual jasa tertentu. Hal ini menyebabkan akuntansi untuk persediaan menjadi suatu masalah
penting bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut IAS No.2 inventory atau persediaan adalah :

• Tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal


• Dalam proses produksi untuk penjualan tersebut, atau
• Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi
atau pemberian jasa

Terdapat beberapa poin penting terkait dengan definisi tersebut diatas :

a. Persediaan merupakan aset yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal. Ini
berarti aset yang dikelompokkan sebagai persediaan adalah aset yang memang selalu
dimaksudkan untuk dijual atau digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
b. Perlengkapan yang dimaksudkan sebagai persediaan adalah perlengkapan yang digunakan
dalam proses produksi, sehingga perlengkpan kantor (seperti alat tulis kantor) dengan tujuan
untuk digunakan administrasi kantor dan bukan untuk dijual, bukanlah bagian dari
persediaan.
c. Perlengkapan tersebut juga harus merupakan perlengkapan yang digunakan secara regular
dalam proses produksi dan bukan perlengkapan yang hanya bisa digunakan bersamaan
dengan aset tetap.

IAS 2 diterapkan untuk semua persediaan, kecuali :

a) Barang dalam proses yang timbul menurut kontrak konstruksi (IAS 11 mengenai kontrak
konstruksi)
b) Instrumen keuangan (misal saham, surat hutang, obligasi) yang dimiliki sebagai
persediaan (IAS 32 mengenai instrumen keuangan)
c) Aset biologis dan memproduksi yang terkait dengan aktivitas pertanian (IAS 41
mengenaipertanian).
IAS 2 ini tidak berlaku untuk pengukuran persediaan bagi pialang-pedagang komoditi yang
mengukur persediaannya pada nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk menjual, sesuai dengan
praktik yang berlaku pada industri. Ketika persediaan tersebut diukur pada nilai wajar setelah
dikurangi biaya untuk menjual, maka perubahan nilai wajar setelah dikurangi biaya untuk
menjual diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya .

DASAR PENELITIAN

a. Nilai Realisasi Neto

Nilai realisasi neto adalah estimasi harga jual dalam kegiatan usaha biasa dikurangi estimasi
biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk membuat penjualan. Nilai realisasi
neto mengacu kepada jumlah neto yang entitas berharap untuk direalisasi dari penjualan
persediaan dalam kegiatan usaha biasa. Nilai wajar mencerminkan suatu jumlah di mana
persediaan yang sama dapat dipertukarkan antara pembeli dan penjual yang berpengetahuan dan
berkeinginan di pasar. Nilai realisasi neto adalah nilai khusus entitas sedangkan nilai wajar tidak
tergantung pada nilai khusus entitas. Nilai realisasi neto untuk persediaan bisa tidak sama dengan
nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual.

IAS 2 menyatakan bahwa estimasi net realizable value harus diterapan untuk setiap jenis
persediaan atau item demi item, kecuali terdapat sekelompok persediaan yang sejenis dan dapat
dinilai secara tepat per kelompok jenis persediaan. Sebagai pedoman umum, penilaian harus
dilakukan untuk setiap jenis persediaan untuk mencegah kemungikan terjadinya
kompensasi unrealized gain dengan unrealized loss kelompok persediaan lain, sehingga
menurunkan jumlah rugi yang harus diakui, hal ini penting untuk diperhatikan mengingat IFRS
melarang pengakuan unrealized gain pada laporan rugi-laba. Dikatakan bahwa evaluasi
penurunan nilai persediaan yang dilakukan atas sekelompok persediaan, tidak atas item per item
persediaan, adalah merupakan mekanisme tidak langsung atau ?backdoor mechanism? untuk
mengakuiunrealized gain yang seharusnya tidak diakui, sehingga perlu ditegaskan bahwa
tuntutan dasar evaluasi penurunan nilai persediaan adalah diterapkan atas item demi item
persediaan. Paparan dalam dua paragraf di atas menegaskan bahwa IAS 2 sangat mengatur
penerapan net realizable value, yaitu harus diterapkan item demi item demi untuk mencegah
potensi pengakuan unrealized gain secara tidak langsung, di sisi lain US GAAP tidak mengatur
hingga sedetil ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa IFRS ternyata justru lebih condong
ke rules-based dan bukannya berbasis pada konsep principles-based.

Recoveries of previously recognized losses. Untuk kasus terjadinya kenaikan kembali nilai
persediaan, IAS 2 mendeskripsikan bahwa pengukuran net realizable value harus dilakukan pada
setiap periode pelaporan keuangan, dan pada saat tidak terdapat lagi fakta adanya penurunan
nilai persediaan, misalnya karena nilai persediaan mengalami kenaikan kembali, maka
penurunan nilai persediaan harus dibatalkan dengan membuat jurnal koreksi, dan karena
penurunan nilai persediaan telah dimasukkan ke dalam laporan rugi-laba, maka jurnal koreksi
atas penurunan nilai persediaan juga harus direfleksikan dalam laporan rugi-laba. Juga
ditegaskan bahwa jurnal koreksi atau recovery hanya diperkenankan maksimum sebesar
penurunan nilai yang telah diakui pada periode sebelumnya. Dalam kasus ini perbedaannya
dengan US GAAP adalah bahwa dalam US GAAP penurunan nilai persediaan yang telah diakui
pada periode sebelumnya tidak boleh ditutup dengan kenaikan nilai pada periode berikutnya.
Dari sudut pandang istilah konsep principles-based dan ruled-based, ternyata untuk kasus inipun
keduanya lebih bisa dikatakan sama-sama menggunakan ruled-based.

b. Nilai wajar

Nilai wajar adalah jumlah di mana suatu aset dipertukarkan, atau kewajiban diselesaikan, antara
pihak yang berpengetahuan dan berkeinginan dalam suatu transaksi yang wajar.

c. Komoditi

Komoditi adalah barang dagangan yang menjadi subjek kontrak berjangka yang diperdagangkan
di bursa berjangka
d. Nilai Khusus Entitas

Nilai khusus entitas adalah nilai kini dari arus kas yang diharapkan oleh suatu entitas yang
timbul dari penggunaan aset berkelanjutan dan dari pelepasannya pada akhir umur manfaat atau
yang diharapkan terjadi ketika penyelesaian kewajiban.

METODE PENILAIAN PERSEDIAAN

Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:235), ada tiga metode yang dapat digunakan untuk
menilai persediaan, yaitu :
1. First-in, first out (FIFO).
2. Last-in, first-out (LIFO).
3. Average cost.

Seperti yang sudah dibahas diawal, bahwa pada tanggal 1 Januari 2005 IAS 2 sudah tidak
membolehkan penggunaan metode LIFO, sehingga metode pengukuran kas yang berlaku tinggal
metode FIFO dan metode Rata-rata Tertimbang.

a. Metode First-in, First Out (FIFO).


Metode FIFO mengasumsikan persediaan yang dibeli pertama kali akan dijual terlebih dahulu.
Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) pengakuan cost of goods sold dengan
menggunakan metode FIFO adalah sebagai berikut : “Under the FIFO method, the costs of the
earliest goods purchased are the first to be recognized as cost of goods sold”. Sedangkan, untuk
perhitungan persediaan akhir (ending inventory) dengan menggunakan metode FIFO menurut
Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:236) adalah sebagai berikut : “Under FIFO, the cost of
ending inventory is found by taking the unit cost of the most recent purchase and working
backward until all units of inventory are costed”.

Dengan menggunakan metode FIFO, perusahaan akan menghasilkan laba yang lebih besar
dibandingkan dengan menggunakan metode LIFO maupun metode rata-rata karena biaya unit
yang lebih rendah dari pembelian persediaan pertama kali. Tetapi, dengan laba yang besar, maka
perusahaan juga akan membayar pajak yang lebih besar sehingga tidak dapat dilakukan
penghematan pajak jika menggunakan metode FIFO. Manajemen perusahaan akan lebih memilih
untuk menggunakan metode FIFO karena dengan nilai laba perusahaan yang besar akan
menunjukkan bahwa kinerja manajemen perusahaan tersebut bagus dan manajemen akan
mendapatkan kompensasi berupa bonus yang cukup besar dari perusahaan. Perusahaan yang
menggunakan metode FIFO pada saat terjadi inflasi akan menghasilkan laba yang besar
sedangkan pada saat terjadi deflasi, perusahaan yang menggunakan metode FIFO akan
menghasilkan laba yang kecil.

b. Metode Rata-Rata Tertimbang - AVERAGE


Metode rata-rata mengasumsikan persediaan yang tersedia untuk dijual memiliki rata-rata biaya
per unitnya sama. Menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2005:238) perhitungan unit cost
berdasarkan formula rata-rata tertimbang adalah sebagai berikut : “Under this method, the cost of
goods available for sale is allocated on the basis of the weighted-average unit cost”. Berikut
adalah formula perhitungan unit cost berdasarkan metode rata-rata tertimbang (weighted-
average method) :

Setelah dilakukannya perhitungan unit cost, selanjutnya menurut Weygandt, Kieso, dan Kimmel
(2005:238) untuk mengetahui nilai biaya dari persediaan akhir adalah sebagai berikut : “The
weighted-average unit cost is then applied to the units on hand. This computation determines the
cost of the ending inventory”.

Pada sistem periodik, metode rata-rata disebut metode rata-rata tertimbang (weighted
average method) dan pada sistem perpetual disebut dengan metode rata-rata bergerak (moving
average method) (Abdullah dan Djalil, 2004) dalam Metallia (2007). Dengan menggunakan
metode rata-rata, perusahaan akan dapat melakukan penghematan pajak (tax saving) dikarenakan
laba yang di dapat perusahaan dengan menggunakan metode tersebut akan lebih kecil. Tetapi,
pada saat menggunakan metode rata-rata akan dapat menghasilkan nilai akhir persediaan di
antara FIFO dan LIFO.

c. Metode Last In First Out (LIFO)


Metode LIFO mengasumsikan persediaan yang terakhir dibeli akan dijual terlebih dahulu.
Weygandt, Kieso dan Kimmel (2005:237) menyatakan bahwa pengakuan cost of goods sold
dengan menggunakan metode LIFO adalah sebagai berikut : “Under the LIFO method, the
costs of the latest goods purchases are the first to be assigned to cost of goods sold”. Sedangkan,
untuk mengetahui nilai persediaan akhir (ending inventory) dengan menggunakan metode LIFO
adalah sebagai berikut : “Under the LIFO method, the cost of ending inventory is found by
taking the unit cost of the oldest goods and working forward until all units of inventory are
costed”.

Dengan menggunakan metode LIFO, perusahaan akan menghasilkan laba yang kecil sehingga
dapat melakukan penghematan pajak. Pada saat inflasi, perhitungan harga beli terakhir
dibebankan ke operasi dalam periode kenaikan harga sehingga mengurangi laba dan
menghasilkan pengurangan pajak.

SISTEM PENCATATAN PERSEDIAAN

Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan ke dalam dua cara yaitu:

a. Sistem Periodic Atau Fisik (Physical Method)


Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem periodik ialah sistem persediaan di mana
jumlah yang ditentukan hanya berkala oleh perhitungan fisik. Menurut Weygandt, Kieso dan
Kimmel (2007:p2461), dalam sistem persediaan periodik, rincian catatan persediaan barang yang
dimiliki tidak disesuaikan secara terus menerus dalam satu periode. Harga pokok penjualan
barang ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi.
Menurut sistem ini setiap pembelian atau pemasukan maupun penjualan (pengeluaran)
persediaan tidak dicatat atau dibukukan kedalam perkiraan persediaan. Pembelian barang
dibukukan keperkiraan-keperkiraan pembelian dan beberapa perkiraan lain seperti potongan
pembelian dan pengembalian pembelian. Penjualan dibukukan ke perkiraan penjualan.
Dengan sistem ini jumlah persediaan akhir diketahui setelah dilakukan perhitungan fisik
(invertory taking) terhadap barang yang ada digudang. Selanjutnya setelah perhitungan fisik
maka perlu dilakukan closing (penutup) terhadap persediaan awal. Jadi dalam buku besar
persediaan hanya terdapat jumlah persediaan awan dan persediaan akhir. Bagi perusahaan
dagang jika menggunakan metode ini maka sistem pencatatannya adalah sebagai berikut:

Saat Pembelian:

Purcahase Rp xxx

Cash/Account Payable Rp xxx

Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:

Cash/Account Payable Rp xxx

Purchase Return Rp xxx

Saat penjualan:

Cash/Account Receivable Rp xxx

Sales Rp xxx

Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:

Sales Return Rp xxx

Cash/Account Receivable Rp xxx


b. Sistem Perpetual atau Kontinyu (Perpetual Method)
Menurut Weygandt, Kieso dan Kimmel (2007:p2461), Dalam sistem persediaan perpetual,
rincian catatan mengenai setiap pembelian dan penjualan persediaan disimpan. Sistem ini secara
terus menerus menunjukkan persediaan yang harus dimiliki untuk setiap jenis barang.
Berdasarkan sistem persediaan perpetual, harga pokok penjual ditentukan setiap kali terjadi
penjualan. Menurut Epstein dan Jermakowicz (2007:p176), Sistem perpetual ialah sistem
persediaan di mana pembaruan catatan jumlah persediaan selalu dilakukan dan disimpan.

Menurut sistem ini, setiap saat harus dilakukan pencatatan atas penambahan atau pun
pengurangan persediaan akibat adanya pembelian, pemakaian bahan baku dan penjualan
sehingga jumlah maupun nilai persediaan dapat diketahui sewaktu-waktu tanpa melakukan
perhitungan fisik. Untuk perusahaan dagang, pencatatan yang dilakukan menurut metode ini
adalah sebagai berikut:

Saat pembelian:

Merchandise Inventory Rp xxx

Account Payable/Cash Rp xxx

Jika barang yang telah dibeli dikembalikan karena rusak atau penyebab lainnya:

Account Payable/Cash Rp xxx

Account Payable/Cash Rp xxx

Saat penjualan:

Account Receivable/Cash Rp xxx

Sales Rp xxx

Cost of Good Sold Rp xxx

Merchandise Inventory Rp xxx


Jika barang yang telah dijual dikembalikan karena sesuatu hal:

Sales Return Rp xxx

Cash/Account Receivable Rp xxx

Marchandise Inventory Rp xxx

Cost of Good Sold Rp xxx

Karena sistem perpetual dicatat setiap ada perubahan dalam persediaan, maka saldo dalam
perkiraan yang ada di neraca saldo adalah saldo perkiraan persediaan akhir, sehingga tidak
diperlukan ayat jurnal penyesuaian.

PENGUKURAN BIAYA PEROLEHAN

Persediaan harus diukur berdasarkan biaya atau nilai realisasi neto, mana yang lebih rendah,
Biaya persediaan harus meliputi semua biaya pembelian, biaya konversi, dan biaya lain yang
timbul sampai persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini.

a) Biaya Pembelian
Biaya pembelian persediaan meliputi harga beli, bea impor, pajak lainnya (kecuali yang
kemudian dapat ditagih kembali oleh entitas kepada otoritas pajak), biaya pengangkutan, biaya
penanganan, dan biaya lainnya yang secara langsung dapat diatribusikan pada perolehan barang
jadi, bahan, dan jasa. Diskon dagang, rabat dan hal lain yang serupa dikurangkan dalam
menentukan biaya pembelian.

b) Biaya Konversi
Biaya konversi persediaan meliputi biaya yang secara langsung terkait dengan unit yang
diproduksi, misalnya biaya tenaga kerja langsung. Termasuk juga alokasi sistematis overhead
produksi tetap dan variabel yang timbul dalam mengonversi bahan menjadi barang jadi.
Overhead produksi tetap adalah biaya produksi tidak langsung yang relatif konstan, tanpa
memerhatikan volume produksi yang dihasilkan, seperti penyusutan dan pemeliharaan bangunan
dan peralatan pabrik, dan biaya manajemen dan administrasi pabrik. Overhead produksi variabel
adalah biaya produksi tidak langsung yang berubah secara langsung, atau hampir secara
langsung, mengikuti perubahan volume produksi, seperti bahan tidak langsung dan biaya tenaga
kerja tidak langsung.

c) Biaya Standar
Biaya standar memperhitungkan tingkat normal penggunaan bahan dan perlengkapan, tenaga
kerja, efisiensi dan utilisasi kapasitas. Biaya standar di-review secara reguler dan, jika
diperlukan, direvisi sesuai dengan kondisi terakhir.

d) Metode Eceran
Metode eceran seringkali digunakan dalam industri eceran untuk menilai persediaan dalam
jumlah besar item yang berubah dengan cepat, dan memiliki marjin yang sama saat tidak praktis
untuk menggunakan metode penetapan biaya lainnya.

e) Biaya-biaya Lain
Biaya-biaya lain hanya dibebankan sebagai biaya persediaan sepanjang biaya tersebut timbul
agar persediaan berada dalam kondisi dan lokasi saat ini. Misalnya, dalam keadaan tertentu
diperkenankan untuk memasukkan overhead nonproduksi atau biaya perancangan produk untuk
pelanggan tertentu sebagai biaya persediaan.

Anda mungkin juga menyukai