PENDAHULUAN
0
dapat menimbulkan kematian pada ODHA. Pada akhirnya, diharapkan kualitas hidup
ODHA akan meningkat. .
DASAR HUKUM
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
760/MENKES/SK/VI/2007 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan
bagi Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1508/MENKES/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka Menengah
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan
HIV/AIDS tahun 2005-2009, Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3273);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4437);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3447);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
8. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
9. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994 tentang Pembentukan Komisi
Penanggulangan HIV dan AIDS;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Jenis
Penyakit Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian
Laporan dan Tata Cara Penanggulangannya;
11. Keputusan Menteri Kesejahteraan Rakyat Nomor 9/KEP/1994 tentang Strategi
Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang
Pedoman Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyakit Menular Seksual;
13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1507/Menkes/SK/X/2005 tentang
Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV dan AIDS Secara Sukarela
(Voluntary Counselling and Testing);
1
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
15. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 832/Menkes/SK/X/2006 tentang
Penetapan Rumah Sakit Rujukan bagi ODHA dan Standar Rumah Sakit Rujukan
ODHA dan Satelitnya
16. Kepmenkes RI No. 1932/MenkesSK/IX/2011 tentang pokja pengendalian HIV
AIDS Kemenkes
17. SK Direktur Utama RSK Dr. Sitanala Nomor. HK.02.04/I/01968/2015 tentang
pembentukan Tim HIV- AIDS RSK Dr. Sitanala Tangerang.
18. SK Direktur Utama RSK Dr. Sitanala Nomor. HK.02.03/XXXI/02105/2018
tentang Susunan Tim HIV- AIDS RSK Dr. Sitanala Tangerang.
19.
2
BAB II
PROFIL RS Dr. SITANALA
3
11. dr. Luwiharsih, MSc. : Tahun 2007-2011
12. drg. Liliana Lazuardy, M.Kes. : Tahun 2011- 2015
13. dr. Ali Muchtar, Sp.PK, MARS : Tahun 2015- sekarang
Sejalan dengan telah diterbitkannya Surat Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 398/MENKES/SK/IV/1994, tentang Organisasi dan Tata Kerja
RSK Dr. Sitanala Tangerang pada pasal 1 ditetapkan bahwa RSK Dr. Sitanala
Tangerang adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia dan berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, yang
mempunyai tugas melaksanakan pelayanan pasien kusta secara menyeluruh, terpadu
dan berkesinambungan, kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian dan
pengembangan kesehatan di bidang kusta sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Dalam rangka menghilangkan leprophobia pada masyarakat dan untuk
meningkatkan pendayagunaan sumber daya, memperluas cakupan pelayanan maka
melalui Surat Izin Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor IR.01.01.3.2.613
tertanggal 17 Februari 1997, RSK Dr. Sitanala Tangerang diberi wewenang untuk
melaksanakan pelayanan bagi pasien umum, disamping melaksanakan fungsi
utamanya melayani penderita kusta.
4
penyakit kusta. Dilihat dari kemampuan sumber daya yang ada, adanya payung
hukum, dan surat izin Direktur Jenderal Pelayanan Medik No. IR.01.3.2.613
tertanggal 17 Februari 1997 tentang izin prinsip untuk mendirikan pelayanan umum
dalam rangka meningkatkan dan memperluas cakupan pelayanan medis wilayah
Kota Tangerang dan sekitarnya.
Dalam melaksanakan tugas RSK Dr. Sitanala Tangerang menyelenggarakan
fungsi sebagai berikut :
1. Melaksanakan pelayanan peningkatan kesehatan.
2. Melaksanakan pelayanan pencegahan penyakit kusta.
3. Melaksanakan pelayanan penyembuhan pasien penyakit kusta.
4. Melaksanakan rehabilitasi medik, rehabilitasi karya dan rehabilitasi sosial
terhadap mantan penderita kusta.
5. Melaksanakan asuhan dan pelayanan keperawatan.
6. Melaksanakan pelayanan rujukan.
7. Melaksanakan kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
8. Melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan serta penyebarluasan
hasilnya.
9. Melaksanakan administrasi umum dan keuangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, tentang pola
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), semua rumah sakit dapat
menerapkan PK-BLU, termasuk RSK Dr. Sitanala Tangerang yang sudah menjadi
Badan Layanan Umum.
Untuk itulah, maka manajemen RSK Dr. Sitanala Tangerang bersama
jajarannya sudah berkomitmen akan melaksanakan upaya-upaya peningkatan mutu
yang meliputi peningkatan mutu sumber daya manusia, peningkatan cakupan
pelayanan medis, penunjang medis dan rehabilitasi medis, disamping itu juga akan
dilakukan upaya peningkatan dan pengembangan fasilitas serta sarana prasarana
baik untuk sentra pelayanan maupun untuk sentra perkantoran.
5
Lainnya
c. Meningkatkan Upaya Pelayanan Bedah Rekonstruksi Secara
Komprehensif
d. Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Menuju
Profesionalisme Pelayanan
3. TataNilai - Empati
- Responsif
- Profesional
- Bermartabat
4. Motto : Melayani dengan Ramah, Sabar, dan Kasih Sayang
BAB III
6
DIAGNOSIS HIV AIDS
Definisi
HIV (human immunodeficiency virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi
sel sistem kekebalan manusia terutama CD4+T cell dan makrofag, komponen vital dari
sistem-sistem kekebalan tubuh dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka.
Infeksi HIV menyebabkan pengurangan cepat dari system kekebalan tubuh yang
menyebabkan kekurangan imun.
HIV adalah suatu virus yang dapat menyebabkan AIDS. AIDS (Aquired immune
deficiency virus) adalah sindrom kurang daya tahan melawan penyakit atau kumpulan
gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi didapat
dari hasil penularan yang disebabkan oleh HIV.
Epidemiologi
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada
kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para Pekerja Seks (PS) dan
pengguna NAPZA suntikan (penasun), kemudian diikuti dengan peningkatan pada
kelompok lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) dan perempuan berisiko
rendah. Saat ini dengan prevalensi rerata sebesar 0,4% sebagian besar wilayah di
Indonesia termasuk dalam kategori daerah dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi.
Sementara itu, Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas, dengan prevalensi
HIV sebesar 2,3%. Hasil estimasi tahun 2012, di Indonesia terdapat 591.823 orang
dengan HIV positif dan tersebar di seluruh provinsi. Dari Laporan Bulanan Perawatan
HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan November 2014 tercatat jumlah ODHA
yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 49.217 dari 34 provinsi dan 300
kabupaten/kota.
Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk
sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp4. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua
rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). Virus ini
terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi
berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami
mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Cara Penularan
1. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan
7
dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan
seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan
kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
b. Heteroseksual
2. Transmisi Non Seksual
a. Transmisi Parenteral: akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkoba.
b. Darah/produk darah: transmisi melalui transfusi atau produk darah
c. Transmisi transplasental: penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke
anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,
melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk
penularan dengan resiko rendah.
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja
kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV.
8
petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.
b. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara klien dan
petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/ klien. Konfidensialitas
dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien
untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.
c. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk
memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien.
Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, Konseling
pra-tes dan Konseling pasca-tes yang berkualitas baik.
d. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti
standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus
dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh
tenaga kesehatan yang memeriksa.
e. Connections to, care, treatment and prevention services. Pasien/klien harus
dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.
Penyelenggaraan KT HIV,adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi
HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah dan swasta. KT HIV didahului dengan dialog antara klien/pasien
dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan memberikan informasi tentang HIV dan
AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.
B. Tes Diagnosis HIV
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi tes HIV,
yaitu:
1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi
infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.
Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari orang tua/wali yang
memiliki hak hukum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orang tua asuh, bila orang
tua kandung meninggal atau tidak ada) merujuk pada peraturan lain terkait anak.
Sedikit berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak memerlukan tes HIV pada
kondisi di bawah ini:
9
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis
atau berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan
pencegahan penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi
HIV (pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya
didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab yang
tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang
terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain, Anak yang
mengalami kekerasan seksual.
Sesuai dengan perkembangan program serta inisiatif SUFA maka tes HIV juga
harus ditawarkan secara rutin kepada:
1. Populasi Kunci (Pekerja seks, Penasun, LSL, Waria) dan diulang minimal setiap
6 bulan sekali
2. Pasangan ODHA
3. Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi
4. Pasien TB
5. Semua orang yang berkunjung ke fasyankes di daerah epidemi HIV meluas
6. Pasien IMS
7. Pasien Hepatitis
8. Warga Binaan Pemasyarakatan
9. Lelaki Beresiko Tinggi (LBT)
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:
1. Tes serologi
Tes serologi terdiri atas:
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk
Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1
maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih
sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit
bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-antibodi
dapat dideteksi dengan perubahan warna.
10
c. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit
Bayi dan anak umur usia kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat
dan belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk dilakukan tes serologis pada umur 9
bulan (saat bayi dan anak mendapatkan imunisasi dasar terakhir). Bila hasil tes tersebut:
a. Reaktif harus segera diikuti dengan pemeriksaan tes virologis untuk
mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.
b. Non reaktif harus diulang bila masih mendapatkan ASI. Pemeriksaan ulang
dilakukan paling cepat 6 minggu sesudah bayi dan anak berhenti menyusu.
c. Jika tes serologis reaktif dan tes virologis belum tersedia, perlu dilakukan
pemantauan klinis ketat dan tes serologis diulang pada usia 18 bulan.
Bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga
disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani tes serologis dan jika hasil tes tersebut:
a. Reaktif diikuti dengan tes virologis.
b. Non reaktif tetap harus diulang dengan pemeriksaan tes serologis pada usia 18
bulan.
Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan
oleh infeksi HIV tetapi tes virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif. Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang
masih mendapat ASI, prosedur diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan
pemberian ASI. Anak yang berumur di atas 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana
yang dilakukan pada orang dewasa.
2. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari
18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau
Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah.
Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan tes
virologis paling awal pada umur 6 minggu. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan
virologis pertama hasilnya positif, maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat
yang sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis
kedua.
Tes virologis terdiri atas:
a. HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan
antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
b. HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan
untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV
DNA tidak tersedia.
11
Diagnosis HIV pada bayi dapat dilakukan dengan cara tes virologis, tes antibodi,
dan presumtif berdasarkan gejala dan tanda klinis.
1. Diagnosis HIV pada bayi berumur kurang dari 18 bulan, idealnya dilakukan
pengulangan uji virologis HIV pada spesimen yang berbeda untuk informasi
konfirmasi hasil positif yang pertama sebagaimana Bagan di bawah ini
Bagan 1. Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan
2. Diagnosis presumtif infeksi HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan
Bila ada bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi
HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk HIV DNA kualitatif tidak tersedia, tenaga
kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara diagnosis presumtif
Tabel 1. Diagnosis HIV presumtif pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan
Minimal 2 gejala
Bila ada 1 kriteria berikut berikut
12
Pneumocystis (PCP),
• Pneumonia berat
meningitis kriptokokus,
kandidiasis esofagus atau • Sepsis berat
• Kematian ibu yang berkaitan
dengan
• Toksoplasmosis HIV atau penyakit HIV yang
lanjut
• Malnutrisi berat yang
pada ibu
tidak membaik dengan Jumlah persentase CD4 <
• 20%
pengobatan standar
13
Bagan 2. Alur diagnosis HIV pada anak ≥ 18 bulan, remaja, dan dewasa
Keputusan klinis dari hasil pemeriksaan anti HIV dapat berupa positif, negatif,
dan indeterminate.
Berikut adalah interpretasi hasil dan tindak lanjut yang perlu dilakukan.
14
Tabel 2. Kriteria interpretasi tes anti-HIV dan tindak lanjutnya
15
BAB III
TATA LAKSANA TERAPI ARV
Tabel 3. Definisi kasus HIV berdasarkan stadium WHO untuk dewasa dan anak
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF
Stadium klinis 1
Asimtomatik Tidak ada keluhan maupun -
tanda
Limfadenopati Kelenjar limfe membesar atau Histologi
generalisata persisten membengkak >1 cm pada 2
atau lebih lokasi yang tidak
berdekatan (selain inguinal),
sebabnya tidak diketahui,
bertahan selama 3 bulan atau
lebih
Stadium klinis 2
Penurunan berat Anamnesis adanya penurunan Penurunan berat badan dari
badan derajat sedang berat badan. Pada kehamilan, pemeriksaan fisik sebesar <10%
yang tidak dapat berat badan gagal naik
dijelaskan (<10% BB)
Infeksi saluran napas Kumpulan gejala ISPA, seperti Pemeriksaan laboratorium bila ada,
atas berulang (episode nyeri wajah unilateral dengan misal, kultur cairan tubuh yang
saat ini, ditambah 1 sekret nasal (sinusitis), nyeri terkait
episode atau lebih dan radang di membran
dalam 6 bulan) timpani (otitis media), atau
tonsilofaringitis tanpa tanda
infeksi virus (coryza, batuk)
Herpes zoster Vesikel nyeri dengan distribusi Diagnosis klinis
dermatomal, dengan dasar
eritem atau hemoragik, tidak
menyeberangi garis tengah
16
dengan pigmentasi pasca
inflamasi. Sering juga
ditemukan pada anak yang
tidak terinfeksi, kemungkinan
skabies atau gigitan serangga
harus disingkirkan
Dermatitis seboroik Kondisi kulit bersisik dan gatal, Diagnosis klinis
umumnya di daerah berambut
(kulit kepala, aksila, punggung
atas, selangkangan)
Infeksi jamur pada Paronikia (dasar kuku Kultur jamur dari kuku
kuku membengkak, merah dan nyeri)
atau onikolisis (lepasnya kuku
dari dasar kuku) dari kuku
(warna keputihan, terutama di
bagian proksimal kuku, dengan
penebalan dan pelepasan kuku
dari dasar kuku). Onikomikosis
proksimal berwarna putih
jarang timbul tanpa disertai
imunodefisiensi
Hepatosplenomegali Pembesaran hati dan limpa Diagnosis klinis
persisten yang tidak tanpa sebab yang jelas
dapat dijelaskan
Eritema linea gingiva Garis/pita eritem yang Diagnosis klinis
mengikuti kontur garis
gingiva yang bebas, sering
dihubungkan dengan
perdarahan spontan
Infeksi virus wart luas Lesi wart khas, tonjolan kulit Diagnosis klinis
berisi seperti buliran beras
ukuran kecil, teraba kasar, atau
rata pada telapak kaki (plantar
warts) wajah, meliputi > 5%
permukaan kulit dan merusak
penampilan
Stadium klinis 3
Penurunan berat Anamnesis adanya penurunan Penurunan berat badan dari
17
badan derajat sedang berat badan dan terlihat pemeriksaan fisik sebesar <10%
yang tidak dapat penipisan di wajah, pinggang
dijelaskan (<10% BB) dan ekstremitas disertai
wasting yang kentara atau
Indeks Massa Tubuh (IMT)
<18,5. Dapat terjadi masking
penurunan berat badan pada
kehamilan
Diare kronik selama >1 Anamnesis adanya diare kronik Tidak diharuskan, namun perlu
bulan yang tidak dapat (feses lembek atau cair ≥3 kali untuk konfirmasi apabila ≥3 feses
dijelaskan sehari) selama lebih dari 1 tidak cair dan ≥2 analisis feses tidak
bulan ditemukan patogen
Demam persisten yang Dilaporkan sebagai demam Pemeriksaan fisik menunjukkan
tidak dapat dijelaskan atau keringat malam yang suhu >37.6 0C, dengan kultur darah
(>37,5oC intermiten berlangsung >1 bulan, baik negatif, Ziehl-Neelsen negatif, slide
atau konstan, > 1 intermiten atau konstan, tanpa malaria negatif, Rontgen toraks
bulan) respons dengan pengobatan normal atau tidak berubah, tidak ada
antibiotik atau antimalaria. fokus infeksi yang nyata
Sebab lain tidak ditemukan
pada prosedur diagnostik.
Malaria harus disingkirkan pada
daerah endemis
Kandidiasis oral Plak kekuningan atau Diagnosis klinis
(di luar masa 6-8 putih yang persisten atau
minggu pertama berulang, dapat diangkat
kehidupan) (pseudomembran) atau bercak
kemerahan di lidah, palatum
atau garis mulut, umumnya
nyeri atau tegang (bentuk
eritematosa)
18
Stomatitis, ginggivitis, Nyeri hebat, ulserasi papila Diagnosis klinis
atau periodontitis gusi, gigi lepas, perdarahan
ulseratif nekrotikans spontan, bau busuk, hilangnya
akut jaringan lunak dan/atau tulang
dengan cepat
Anemi yang tidak Tidak ada diagnosis klinis Diagnosis dengan pemeriksaan
dapat dijelaskan (<8g/ presumtif laboratorium, tidak disebabkan oleh
dl), netropenia (<1000/ kondisi non-HIV lain, tidak berespons
mm3) dan/atau atau dengan terapi standar hematinik,
trombositopenia kronik antimalaria atau antihelmintik sesuai
(<50,000/ mm3, >1 pedoman nasional, WHO IMCI atau
bulan) pedoman lainnya
Malnutrisi sedang yang Penurunan berat badan: berat Pemetaan pada grafik pertumbuhan,
tidak dapat dijelaskan di bawah - 2 SD menurut umur, BB terletak dibawah – 2SD, berat
bukan karena pemberian tidak naik dengan tata laksana
asupan makan yang kurang standar dan sebab lain tidak dapat
dan atau adanya infeksi lain, diketahui selama proses diagnosis
dan tidak berespons secara
baik pada terapi standar
19
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF
Pneumonia Sesak saat aktivitas atau batuk Sitologi atau gambaran
Pneumocystis (PCP) kering onset baru (dalam mikroskopik imunofluoresens dari
3 bulan terakhir), takipneu, sputum terinduksi atau bilasan
demam bronkoalveolar atau histopatologi
DAN jaringan paru
Rontgen toraks menunjukkan
infiltrat interstisial bilateral difus
DAN
Tidak ada gejala dan tanda
pneumonia bakterial. Pada
asukultasi terdengar krepitasi
bilateral dengan atau tanpa
penurunan inspirasi
Pneumonia bakterial Episode saat ini ditambah satu Kultur positif atau tes antigen dari
berulang (episode episode atau lebih dalam 6 organisme yang sesuai
saat ini ditambah satu bulan. Gejala (misal, demam,
episode atau lebih batuk, dispneu, nyeri dada)
dalam 6 bulan terakhir) memiliki onset akut (<2 minggu)
DAN
Pemeriksaan fisik atau
radiografi menunjukkan
konsolidasi baru, berespons
dengan antibiotik
Infeksi herpes simpleks Ulserasi anogenital atau Kultur positif atau DNA (PCR) HSV
kronik (orolabial, orolabial progresif disertai atau sitologi atau histologi yang
genital atau anorektal) nyeri; lesi disebabkan oleh sesuai
selama >1 bulan, atau infeksi HSV berulang dan
viseral tanpa melihat sudah dikeluhkan >1 bulan. Ada
lokasi ataupun durasi. riwayat episode sebelumnya.
HSV viseral memerlukan
diagnosis definitif
Kandidiasis Onset baru, nyeri retrosternal Gambaran makroskopik pada
esophageal atau sulit menelan (makanan endoskopi atau bronkoskopi, atau
dan cairan) bersamaan dengan mikroskopik atau histopatologi
kandidiasis oral
TB ekstraparu Gejala sistemik (misal, demam, Isolasi M. tuberculosis atau
keringat malam, malaise, histopatologi yang sesuai dari lokasi
penurunan berat badan). Gejala infeksi terkait, disertai dengan gejala
atau tanda TB ekstraparu atau atau tanda yang sesuai (bila kultur
diseminata tergantung dari atau hisopatologi dari spesimen
lokasi: pleuritis, perikarditis, pernapasan, harus ada bukti
peritonitis, meningitis, penyakit ekstraparu lainnya)
limfadenopati mediastinal atau
abdominal, osteitis.
TB milier: foto toraks
menunjukkan bayangan milier
kecil atau mikronodul yang
20
muda atau merah lebam, lesi
kulit biasanya berkembang
menjadi plak atau nodul
Infeksi sitomegalovirus Retinitis CMV: dapat Histopatologi yang sesuai atau CMV
(retinitis atau infeksi didiagnosis oleh klinisi ditemukan di cairan serebrospinal
CMV pada organ lain berpengalaman. Lesi mata khas melalui kultur atau DNA (PCR)
kecuali liver, limpa dan pada pemeriksaan funduskopi:
KGB) bercak diskret keputihan
pada retina berbatas tegas,
menyebar sentrifugal, mengikuti
pembuluh darah, dikaitkan
dengan vaskulitis retina,
perdarahan dan nekrosis
Toksoplasmosis otak Onset baru gejala neurologis Antibodi toksoplasma positif di serum
fokal atau penurunan DAN
kesadaran (Bila tersedia) lesi massa intrakranial
DAN tunggal atau multipel pada CT atau
Merespons dalam 10 hari MRI
dengan terapi spesifik
Ensefalopati HIV Adanya disfungsi kognitif Diagnosis eksklusi dan, bila ada, CT
dan/atau motorik yang atau MRI
menyebabkan disabilitas pada
aktivitas sehari-hari, progresif
dalam beberapa minggu atau
bulan, tanpa adanya penyakit
atau kondisi lainnya selain
HIV yang dapat menyebabkan
manifestasi klinis tersebut
Kriptokokosis Meningitis: biasanya subakut, Isolasi Cryptococcus neoformans
ekstrapulmonar demam dengan sakit kepala dari lokasi ekstraparu atau tes
(termasuk meningitis) yang bertambah berat, antigen kriptokokus (CRAG) positif di
meningismus, bingung, LCS atau darah
perubahan perilaku, dan
respons dengan terapi
kriptokokus
Infeksi mikobakteria Tidak ada diagnosis klinis Penemuan mikobakterium atipikal
non-tuberkulosis presumtif di feses, darah, cairan tubuh atau
diseminata jaringan lainnya selain paru
21
(termasuk Salmonella presumtif
non-tifoid)
Limfoma (sel B non- Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi spesimen terkait atau,
Hodgkin atau limfoma presumtif untuk tumor SSP, pencitraan otak
serebral) atau tumor
solid terkait HIV
lainnya
Karsinoma serviks Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi atau sitologi
invasif presumtif
Leishmaniasis Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi (penampakan
diseminata atipikal presumtif amastigot) atau kultur dari spesimen
terkait
Nefropati terkait HIV Tidak ada diagnosis klinis Biopsi ginjal
(HIVAN) presumtif
Kardiomiopati terkait Tidak ada diagnosis klinis Kardiomegali dan adanya
HIV presumtif gangguan fungsi ventrikel kiri pada
ekokardiografi
Malnutrisi, wasting dan Penurunan berat badan Tercatatnya berat menurut tinggi
stunting berat yang persisten, tidak disebabkan atau berat menurut umur kurang dari
tidak dapat dijelaskan oleh pola makan yang buruk – 3 SD +/- edema
dan tidak berespons atau inadekuat, infeksi lain
terhadap terapi standar dan tidak berespons adekuat
dengan terapi standar selama
2 minggu. Ditandai dengan :
wasting otot yang berat, dengan
atau tanpa edema di kedua
kaki, dan/atau nilai BB/TB
terletak – 3SD, sesuai dengan
pedoman IMCI WHO
22
Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500
Ringan 30 – 35 25 – 30 20 – 25 350−499
Sedang 25 – 30 20−25 15−20 200−349
Berat <25 <20 <15 <200 atau <15%
23
Tabel 5. Rekomendasi tes laboratorium untuk persiapan inisiasi ART
Inisiasi ARV Jumlah sel CD4 Serum kreatinin dan/atau eGFR, dipstik
urin untuk penggunaan TDF
Hemoglobin
SGPT untuk penggunaan NVP
Populasi Rekomendasi
Dewasa Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4 ≤
dan anak 350 sel/mm3
> 5 tahun
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4
• Koinfeksi TBa
• Koinfeksi Hepatitis B
• Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
• Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif (pasangan serodiskordan),
untuk mengurangi risiko penularan
• LSL, PS, Waria, atau Penasunb
• Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas
Anak < 5 Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4 c
tahun
1. Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4
kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan
TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu
pengobatan kriptokokus.
2. Dengan memperhatikan kepatuhan
3. Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif, maka
harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis konfirmasi
(mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu
24
sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu
dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya
negatif, maka pemberian ARV dihentikan.
a. Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit, atau pada
kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginja
b. Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c. Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV
2. Paduan ART lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun
Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa, yaitu menggunakan
kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI dengan pilihan seperti pada Tabel 8.
Tenofovir (TDF)
25
Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali atau lebih
sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan. Tes laboratorium yang
direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rekomendasi Tes Laboratorium Setelah Pemberiamn ARV
Fase penatalaksanaan HIV Rekomendasi Yang diperlukan (bila ada atau atas
indikasi)
Selama menggunakan ARV Jumlah sel CD4 (tiap 6 serum kreatinin tiap 6 bulan pada
bulan) penggunaan TDF
Hb pada penggunaan AZT (dalam
3 bulan pertama perlu pemeriksaan
intensif)
Fungsi hati (SGPT/SGOT) tiap 6 bulan
HIV RNA (6 bulan setelah inisiasi ARV,
tiap 12 bulan setelahnyaa)
Gagal terapi Jumlah sel CD4 HBsAg (bila sebelum switch belum
HIV RNA pernah di tes, atau jika hasil baseline
sebelumnya negatif)
b. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi
karena (satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
c. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier
jika timbul ikterus)
d. Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara
umum adalah:
a. Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat
ARV, beri terapi suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan
paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1 ARV untuk obat
yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
b. Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan
pemberian ARV secara keseluruhan
c. Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati
perifer) memerlukan penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan
untuk tetap melanjutkan pengobatan; jika tidak ada perubahan dengan
terapi simtomatis, pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis obat ARV
26
d. Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
e. Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi
ringan dan sedang
f. Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang
mengancam jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing-masing obat untuk
menghindari kejadian resistansi.
Berikut dalam Tabel 12 adalah toksisitas ARV lini pertama yang mungkin
terjadi,faktor risiko, dan pilihan substitusinya.
Tabel 12. Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat substitusi pada dewasa dan anak
usia 5 (lima) tahun ke atas
TDF Disfungsi tubulus Sudah ada penyakit ginjal sebelumnya AZT atau d4T
Renalis Usia lanjut
Sindrom Fanconi IMT < 18,5 atau BB < 50 kg
DM tak terkontrol
Hipertensi tak terkontrol
Penggunaan bersama obat nefrotoksik
lain atau boosted PI
AZT Anemia atau anemia atau neutropenia sebelum mulai Dewasa: TDF
neutropenia berata, terapi Anak: d4T atau ABC
miopati, lipoatrofi Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 (dewasa)
Atau
Lipodistrofi
27
gunakan ABC
atau hepatomegali Penggunaan nukleosida analog yang
dengan steatosis, lama
pankreatitis akut
28
Berbagai faktor seperti akses pengobatan, obat ARV dan faktor individu
mempengaruhi kepatuhan terhadap ARV. Faktor individu dapat berupa lupa minum
obat, bepergian jauh, perubahan rutinitas, depresi atau penyakit lain, bosan minum obat,
atau penggunaan alkohol dan zat adiktif. Faktor obat ARV meliputi efek samping,
banyaknya obat yang diminum dan restriksi diet. Pendekatan khusus perlu diperhatikan
pada populasi tertentu seperti wanita hamil dan menyusui, remaja, bayi dan anak-anak,
serta populasi kunci (LSL, PS, dan Penasun).
Untuk menjaga kepatuhan secara berkala perlu dilakukan penilaian kepatuhan
dan jika diperlukan dapat dilakukan konseling ulang.
4. Diagnosis kegagalan terapi ARV
Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis,
imunologis, dan klinis, seperti dalam Tabel 13. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis,
namun bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis.
Sebaiknya tidak menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini
selanjutnya lebih dini.
ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal
terapi dalam keadaan kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau
berhenti minum obat, penilaian kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara
teratur minimal 3-6 bulan seperti dalam Bagan 4.
Tabel 13. Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan (Switch) ARV
Kegagalan Definisi Keterangan
Gagal klinis Dewasa dan remaja: Kondisi klinis harus dibedakan dengan
Munculnya infeksi oportunistik baru IRIS yang muncul setelah memulai terapi
atau berulang (stadium klinis WHO ARV.
4) Untuk dewasa, beberapa stadium klinis
Anak: WHO 3 (TB paru atau infeksi bakteri berat
Munculnya infeksi oportunistik baru lainnya) atau munculnya EPP kembali
atau berulang (stadium klinis WHO dapat mengindikasikan gagal terapi.
3 atau 4, kecuali TB)
Gagal Dewasa dan anak > 5 tahun Tanpa adanya infeksi lain yang
imunologis CD4 turun ke nilai awal atau lebih menyebabkan penurunan jumlah CD4
rendah lagi Kriteria klinis dan imunologis memiliki
ATAU sensitivitas rendah untuk mengidentifikasi
CD4 persisten di bawah 100 gagal virologis, terlebih pada kasus yang
sel/mm3 setelah satu tahun memulai ARV dan mengalami gagal terapi
pengobatan pada jumlah CD4 yang tinggi. Namun saat
ATAU ini belum ada alternatif yang valid untuk
CD4 turun >50% dari jumlah CD4 mendefinisikan gagal imunologis selain
tertinggi kriteria ini.
29
Bagan 4. Alur Pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV
BAB IV
INFEKSI OPORTUNISTIK
30
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV.
Tabel. Rekomendasi Pemakaian Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Kriteria Kriteria
Usia Dosis Monitoring
Inisiasi pemberhentian
Semua bayi
Sampai resiko
dimulai usia 6
Bayi Dosis Trimetoprim 4 Transmisi HIV Dilihat klinis
minggu setelah
terpajan – 6 mg / kgBB sekali berakhir atau dengan interval
lahir
HIV sehari ( sesuai IDAI ) infeksi HIV sudah tiap 3 bulan
disingkirkan
Semua Bayi Sampai usia 5
Bayi HIV tahun tanpa melihat
< 1 tahun % CD4 atau gejala
klinis
Stadium Klinis
WHO 2,3 dan 4 Dosis trimetoprim 5 Dilihat klinis
tanpa melihat % mg /kg/BB sekali dengan interval
Anak CD4 atau sehari tiap 3 bulan
Bila CD4 mencapai
HIV 1 – stadium klinis
> 25 %
5 tahun WHO
berapapun dan
CD4 <25 %
atau semuanya
Stadium klinis Juka CD4 ≥200
WHO sel/mm³ setelah 6
berapapun dan bulan ARV jika
CD4 < 200 Anak : Trimetoprim 5 tidak tersedia
sel/mm³ Atau mg/kgBB sekali pemeriksaan CD4, Dilihat klinis
>5 Tahun
stadium klinis sehari PPK diberhentikan dengan interval
- Dewasa
WHO 2,3, atau Dewasa : 960 mg setelah 2 tahun tiap 3 bulan
4 sekali sehari ART
Tuberkulosis Sampai pengobatan
aktif berapapun TB selesai apabila
nilai CD4 CD4 > 200 sel/mm³
Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 dibawah 200
sel/mm³, dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal
tersebut berguna untuk tes kepatuhan ODHA dalam minum obat dan menyingkirkan
efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat
bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping kotrimoksasol.
2. Tuberkulosis
Gejala klinis TB pada ODHA tidak spesifik. Pada sebagian besar ODHA gejala
klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan,
sedangkan keluhan batuk pada ODHA seringkali tidak spesifik seperti yang dialami
terduga TB pada umumnya.
31
Bagan. Alur diagnosis TB paru pada ODHAdi fasyankes dengan akses tes cepat
Xpert MTB/RIF
32
Obat Toxoplasmosis Dosis
Loading 200 mg PO selanjutnya:
BB <50 kg: 2 x 25 mg per hari PO
BB >50 kg: 3 X 25 mg per hari PO
Pirimetamin
Dapat disertai dengan suplemen asam folinat 10 -20 mg/hari
untuk mencegah efek samping anemia akibat pirimetamin
b. Meningitis TB
Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi tuberkulosis paru yang paling
berat. Pengobatan meningitis TB adalah sama dengan pengobatan TB extra
paru yang berat.
Tabel. Panduan terapi meningitis TB pada orang dewasa
Tahapan Dosis
Fase Intensif Isoniazid ( 5 mg/kg )PO 300mg
(2 bulan ) setiap Rifamphisin ( 10 mg/kg )PO 450 mg
hari . Pyrazinamid ( 25mg/KgBB, maksimal 2gr/ hari )
Ethambutol ( 20mg/KgBB, maksimal 1,2 g/hari)
Streptomisin IM ( 20 mg/KgBB, maksimal 1g/hari)
Diberikan jika ada riwayat pemberian anti TB sebelumnya.
Fase Lanjutan Isoniazid ( 5 mg/kg ) Po 300mg
(7 – 10 bulan ) Rifamphisin ( 10 mg/Kg )PO 450 mg
Setiap hari
c. Meningitis Kriptokokus
Diagnosis pasti ditegakkan jika didapatkan jamur dengan bentuk khas (budding)
di dalam LCS dengan pewarnaan Tinta India. Pemeriksaan jamur ini dapat pula
dilakukan dengan pemeriksaan antigen (cryptococcal antigen/CrAg),
pemeriksaan antibodi (cryptococcal latex agglutination test/CLAT), kultur atau
pemeriksaan histologi.
Pengobatan meningitis kriptokokus fase akut:
• Minggu 1- 2
o Amfoterisin-B 0,7-1 mg/kg per hari dalam infus dekstrosa 5 % dan
diberikan selama 4-6 jam (jangan dilarutkan dengan NaCl).
o Dikombinasi dengan flukonazol 800 mg per hari PO.
• Minggu 3-10
• Flukonazol 800 mg per hari PO.
d. Hepatitis B dan C
Koinfeksi HIV-Hepatitis B: Adanya koinfeksi HIV dengan HBV secara bermakna
dapat mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepatitis B. ODHA dengan infeksi
hepatitis B kronik memiliki jumlah HBV DNA yang lebih tinggi. Adanya HIV
33
berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan karsinoma
hepatoseluler. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit hati pada
ODHA dengan koinfeksi HBV disebabkan oleh beberapa hal, yaitu peningkatan
replikasi virus hepatitis B, penurunan kejadian bersihan spontan HBeAg, peningkatan
risiko infeksi hepatitis B kronik, dan peningkatan progresivitas penyakit hati.
34
ulkus genital, dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV.
Manifestasi IMS pada infeksi HIV menjadi tidak khas, umumnya lebih parah,
lebih sukar sembuh. Misalnya, ulkus pada sifilis primer yang umumnya
soliter, bisa menjadi multipel, bentuk tidak bulat, bisa iregular, indurasi tidak
terlalu jelas, dapat disertai nyeri, dan kadang disertai tanda-tanda infeksi
susunan saraf pusat. Herpes genitalis bisa lebih nyeri dan lesinya lebih luas.
Kutil kelamin dapat berukuran besar atau berjumlah banyak.
2) HPV dan Kanker Serviks
Saat ini HPV merupakan penyebab infeksi menular seksual yang paling
sering. ODHA perempuan dengan HIV positif dua kali lebih berisiko terkena
infeksi HPV dibandingkan yang HIV negatif (64% vs 28%). Insiden kanker
serviks 8,8 kali lebih tinggi pada perempuan dengan HIV dibandingkan
dengan populasi umum. Skrining HPV merupakan salah satu pemeriksaan
ginekologis paling penting pada perempuan dengan HIV, terutama jika
berperilaku seksual berisiko tinggi, mempunyai kanker atau high-grade
cervical atau vulval lesions, kondiloma akuminatum, mempunyai pasangan
seksual dengan kondiloma akuminatum.
f. Diagnosis dan tatalaksana infeksi oportunistik lainnya
Tabel. Diagnosis dan tatalaksana Infeksi Oportunistik Lainnya
Infeksi Oportunistik Terapi
Terapi pilihan: Kotrimoksasol (TMP 15-20 mg + SMZ
75-100
mg/kg/ hari) dibagi dalam 3-4 dosis selama 21 hari
Terapi alternative
• Klindamisin 600-900 mg IV setiap 6 sampai 8 jam
atau 300-
450 mg PO 4 kali sehari + primakuin 15-30 mg oral
sekali
Pnemonia Pneumocystis
sehari selama 21 hari bila ODHA alergi terhadap sulfa
jiroveci (PCP)
• Untuk ODHA yang parah dianjurkan pemberian
prednisone
2x40 mg PO selama 5 hari, selanjutnya 4x40 mg/hari
selama 5 hari, kemudian 20 mg/hari sampai terapi
selesai.
Metilprednisolon IV dapat diberikan dengan dosis
75% dari
dosis prednison.
Kandidiasis Dewasa:
Kandidiasis oral:
• suspensi nistatin kumur 4x 4-6 ml PO selama 7 – 14
hari
• flukonazol kapsul 4 x 100-400 mg/hari PO selama 7-14
hari
• itrakonazol 4 x 200 mg/hari PO selama 7-14 hari
Kandidiasis esofagus:
• Flukonazol 4 x 200 mg/hari PO atau IV selama 14-21
hari
• Itrakonazol 4 x 200 mg/hari PO selama 14-21 hari
35
• Amfoterisin B IV 0,6-1 mg/kg/hari selama 14-21 hari
Anak:
Kandidiasis oral:
• Nistatin 400.000-600.000 unit, 5x/hari, selama 7 hari..
• Bila tidak ada respons dalam 7 hari berikan flukonazol
oral 3-6 mg/kgBB, 1x/hari, selama 14 hari.
Kandidiasis esofagus:
flukonazol oral 3 – 6 mg/kgBB, 1x/hari selama 14 -21
hari
Dewasa :
asiklovir 5 x 200 mg/hari PO atau 3 x 400 mg/hari PO
selama 7 hari.
Infeksi primer : 2x 500 mg/hari sampai semua lesi kering
dan menjadi krusta.
Infeksi sekunder : 2x 500 mg dalam 24 jam pertama bila
dimulai dalam 24 jam pertama sejak muncul tanda dan
gejala, sampai semua lesi kering dan menjadi krusta
Herpes simpleks
Anak :
• HSV gingivostomatitis : Asiklovir oral 20
mg/kgBB/dosis, 3x/hari,atau asiklovir IV 5 – 10
mg/kgBB/dosis,3x/hari selama 7 – 14 hari.
• HSV diseminata atau ensefalitis : Asiklovir IV 10
mg/kg/dosis, atau 500 mg/m²/dosis, 3x/hari selama 21
hari.
Dewasa :
Infeksi primer ( Varisela ) dan herpes zoster rekuren,
terlokalisasi :
• Asiklovir IV 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
• Asiklovir PO 5 x 800 mg/hari
• Vasiklovir 3x1000 mg/hari
Herpes zoster rekuren,deseminata: asiklovir IV 30
mg/kbBB terapi diberikan minimal 7 hari atau sampai
Herpes zoster seluruh lesi kering dan menjadi krusta.
Anak :
• Infeksi varisela primer : Asiklovir IV 10
mg/kgBB/dosis, atau 500 mg/m²/dosis, 3x /hari selama 7
hari pada anak imunosupresi sedang sampai
berat.Formulasi oral hanya digunakan pada
imunosupresi ringan.
• Herpes Zooster : Asiklovir oral 20 mg/kgBB/dosis,
4x/hari ( maksimum 800mg/dosis )selama 7 hari.
Dewasa :
Pilihan terapi
• Klaritomisin 2x500 mg+ etambutol 15 mg/kgBB, atau
• Azitromisin 1x 500 mg + etambutol 15 mg/kgBB
Mycrobacterium Avium Obat tambahan untuk kuman resisten makrolid
Complex ( MAC) • Moksifloksasin 1x400 mg
Anjuran : Penghentian terapi kronik dapat dihentikan
setelah 12 bulan terapi tanpa gejala dan tanda MAC,
disertai peningkatan CD4> 100 sel/uL menetap selama 6
bulan dengan pemberian ARV.
Anak:
• Terapi minimal dengan 2 obat: klaritromisin 7,5 – 15
mg/kgBB, 2x/hari ( Maksimum 500 mg/dosis ),
ditambah etambutol 15 – 25 mg/kgBB, 1x/hari
( maksimum 1 g/dosis )
36
• Dipertimbangkan menambah obat ke tiga,seperti
amikasin atau ciprofloksasinuntuk kasus berat.lama
pengobatan : minimal 12 bulan.
Dewasa :
Gejala menghilang seiring dengan membaiknya status
imunitas dengan pemberian ARV, Paromomisin dapat
ditambahkan.
Kriptosporidiosis Anak :
• ARV yang efektif merupakan satu – satu nya terapi
yang mengontrol kriptosporidiosis persisten
• Terapi suportif meliputi hidrasi, koreksi abnormalitas
elektrolit dan suplemenitas nutrisi.
Terapi pilihan :
Kotrimoksasol 2x960 mg PO selama 10 hari, biasanya
membaik setelah pemberian kotrimoksasol 2 – 3 hari
Terapi alternative :
Isosporiasis • Pirimetamin 50 – 75 mg/hari PO + asam leukovin 5 – 10
mg/hari selama 10 hari
• Cyprofloksasin 2x 500 mg PO selama 10 hari
• Fluorokuinolon lain
Terapi suportif : Cairan dan majemen nutrisi, ARV
Terapi pilihan :
• Fase akut berat : Amfoterisin B IV 0,7 mg/kgBB/hari
selama 3 – 10 hari
• Fase lanjutan : Itrakonazol 2x 200mg PO selama 12
minggu, kemudian terapi rumatan dengan itrakonazol 2x
200mg atau flukonazol 4x 800 mg PO.
• Infeksi ringan sedang: Itrakonazole 2x200mg PO
Histoplasmosis
selama 12 minggu.
• Meningitis : Amfoterisin B IV 3 mg/kg/hari,dilanjutkan
dengan itrakonazole 4x200mg PO
Terapi Alternatif :
• Infeksi Akut : Itrakonazol 400 mg IV/hari
• Infeksi Ringan : Flukonazole 1x 800 mg PO ( kurang
efektif dibandingkan itrakonazol)
Terapi inisial:
Terapi pilihan:
• Flukonazol 1x 400-800 mg/hari PO atau
itrakonazol 2 x 200 mg PO
• Meningitis : flukonazol 1 x 400 -800 mg/hari IV
koksidioidomikosis atau PO Terapi alternatif : Amfoterisin B IV 0,5-1
mg/kgBB/hari sampai didapatkan perbaikan klinis
Terapi rumahan: Flukonazol 1 x 400 mg/hari atau
itrakonazol 2 x
200-400 mg/hari PO.
Infeksi sitomegalovirus (CMV) Dewasa: salah satu dari terapi dibawah ditambah dengan
inisiasi ARV lebih cepat.
Retinitis
Terapi pilihan :
Lesi dengan ancaman kebutaan : Gansiklovir 2 mg
intravitreal sebanyak 1-4 dosis dalam periode 7-10 hari
ditambah salah satu dari terapi sistemik. Pilihannya adalah
valgansiklovir 2 x 900 mg PO saat makan selama 14-21
hari, selanjutnya 900 mg/hari.
37
Lesi perifer : valgansiklovir 2 x 900 mg PO saat makan
selama 14-21 hari, selanjutnya 900 mg/hari.
Terapi alternatife :
Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 14-21 hari,
kemudian valgansiklovir 4 x 900 mg PO
Valgansiklovir 2 x 900 mg PO selama 21 hari,
selanjutnya 900 mg/hari
Infeksi gastrointestinal :
Valgansiklovir 2 x 900 mg/hari PO saat makan
selama 3-4 minggu
Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 3-4 minggu
Infeksi sistem saraf : gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB
selama 3-6 minggu, selanjutnya rumatan dengan
gansiklovir IV atau valgansiklovir PO
Pneumonitis :
Gansiklovir 2 x 5 mg/kgBB selama >21 hari, atau
Valgansiklovir 2 x 900 mg PO selama 21 hari
Anak :
Gansiklovir IV 5 mg/kgBB/dosis, 2x/1hari selama 14-21
hari diikuti dengan terapi pemeliharaan seumur hidup.
Bila tidak tersedia gansiklovir, pemberian ARV segera
dimulai.
Terapi ARV yang efektif dan steroid topical potensi
sedang sampai tinggi disertai antihistamin hingga gejala
Erupsi papular pruritik
menghilang seiring dengan membaiknya status imunitas
dengan pemberian ARV.
Steroid topikal
Steroid potensi sedang seperti triamsinolon 0,1 %
hidrokortison 2,5% untuk wajah + krim
ketokonazol 2% 2x sehari sampai lesi hilang
Dermatitis seboroik sampo :
Selenium sulfida (selsun) atau zinc pyrithione
(head & shoulders) setiap hari atau sampo
ketokonazol 2x/minggu.
BAB V
PROFILAKSIS PASCA PAJANAN HIV (PPP),
PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK (PPIA), &
PROGRAM PENANGGULANGAN NAPZA
38
1. Profilaksis Pasca Pajanan HIV
Pencegahan pasca pajanan (PPP) adalah pemberian ARV dalam waktu singkat
untuk mengurangi kemungkinan didapatnya infeksi HIV setelah terpapar ketika bekerja
atau setelah kekerasan seksual. PPP sebaiknya ditawarkan pada kedua kelompok pajanan
tersebut dan diberikan sesegera mungkin dalam waktu 72 jam setelah paparan. Penilaian
kebutuhan PPP harus berdasarkan status HIV sumber paparan jika memungkinkan, dan
pertimbangan prevalensi dan epidemiologi HIV di tempat tersebut. PPP tidak diberikan
jika orang yang berisiko terpapar sebenarnya HIV positif atau sumber paparannya HIV
negatif. Lamanya pemberian PPP HIV adalah 28-30 hari. Pilihan obat PPP harus
didasarkan pada paduan ARV lini pertama yang digunakan, juga mempertimbangkan
kemungkinan resistansi ARV pada sumber paparan. Oleh karena itu, sebelum pemberian
PPP sebaiknya diketahui jenis dan riwayat ARV sumber paparan, termasuk
kepatuhannya.
Saat ini PPP juga dianjurkan untuk diberikan pada kasus kekerasan seksual.
Mengingat banyaknya kesulitan menyelesaikan paduan PPP ini, diperlukan dukungan
dan konseling kepatuhan sebelum dan selama menggunakan ARV untuk PPP.
Tabel. Pilihan Paduan untuk PPP
39
beserta anak dan keluarganya.
Untuk menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia subur, layanan PPIA
dilaksanakan melalui layanan kesehatan reproduksi, khususnya layanan Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Pada layanan KIA, karena mempunyai sasaran dan pendekatan yang serupa, layanan
PPIA saat ini diintegrasikan dengan upaya pencegahan sifilis kongenital. Pintu masuk
layanan PPIA adalah tes HIV pada ibu hamil. Bersamaan dengan pemeriksaan rutin
lainnya pada layanan antenatal terpadu, tes dapat dilakukan mulai dari kunjungan
pertama hingga menjelang persalinan.
Setelah diketahui status HIV positif pada ibu hamil, upaya pencegahan
selanjutnya bertujuan agar bayi yang dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi
tetap hidup dan sehat. Upaya ini terdiri dari: 1) pemberian ARV pada ibu hamil; 2)
persalinan yang aman; 3) pemberian ARV pencegahan pada bayi; dan 4) pemberian
nutrisi yang aman pada bayi.
a. Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV
Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV
yang dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, option B+). Pemeriksaan
CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan, bukan sebagai acuan untuk
memulai terapi. Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada
orang dewasa lainnya. Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada
trimester pertama, belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik
dibandingkan bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012 WHO
mengeluarkan kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada ibu hamil.
Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV berapapun
usia kehamilan. Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat
diteruskan tanpa perlu diganti. ARV tetap diteruskan setelah melahirkan hingga
seterusnya.
b. Persalinan yang aman
Persalinan untuk ibu dengan HIV dapat berupa persalinan per vaginam maupun
seksio sesarea. Persalinan seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk penularan
terhadap bayi, namun perlu dipertimbangkan risiko lainnya. Persalinan per
vaginam dapat dipilih jika ibu sudah mendapat pengobatan ARV dengan teratur
selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1.000 kopi/mm3
pada minggu ke-36. Persalinan per vaginam maupun seksio sesarea tersebut
dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat
pelindung diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur
kewaspadaan standar.
c. Pemberian ARV pencegahan pada bayi
40
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun
susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama enam minggu.
d. Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pilihan nutrisi yang aman bagi
bayinya sebelum melahirkan. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau
susu formula saja (bukan mixed feeding). Ibu dengan HIV boleh memberikan
susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya,
jika seluruh syarat AFASS (affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana,
acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat
dipenuhi. Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO
menganjurkan pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu
mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.
41
Mendiskusikan strategi pengurangan risiko dari hubungan seksual, dan
penggunaan alat suntik bersama (termasuk kapas swab, sendok, dan lainnya)
terkait penggunaan napza
Mendiskusikan strategi penurunan penularan lewat pembuatan tato, dan
penindikan bagian tubuh.
Mendorong pasien untuk mengikuti terapi rehabilitasi Napza sesuai jenis zat
yang digunakannya, seperti terapi rumatan metadon atau buprenorfina untuk
mereka yang ketergantungan opioida, atau terapi lainnya termasuk yang
berorientasi abstinensia melalui program rehabilitasi rawat inap jangka panjang.
Mengkaji permasalahan lain yang dialami pasien, seperti gangguan kejiwaan,
masalah legal, ketiadaan dukungan keluarga/sosial, dan permasalahan lain yang
dapat menghambat adanya perubahan perilaku.
Hal yang perlu diperhatikan adalah interaksi dan efek samping obat:
Efavirenz dan Nevirapin dapat mengurangi kadar Metadon dalam darah. Kadar
Metadon dalam darah dapat menurun hingga 60%. Oleh karena itu seringkali
diperlukan peningkatan dosis Metadon untuk menangani gejala putus zat yang
timbul
Ritonavir dapat menurunkan kadar Metadon hingga 36% dalam darah
42
Metadon dapat meningkatkan kadar AZT dalam darah, sehingga
direkomendasikan pemberian AZT dengan dosis setengah dari biasa pada ODHA
dalam substitusi Metadon.
Pada ODHA dalam substitusi Metadon yang mendapatkan ARV, maka
peningkatan dosis dilakukan lebih cepat tergantung dari keluhan dan gejala klinis
Pada ODHA dengan substitusi Metadon yang kemudian mendapatkan
Rimfapisin juga perlu diperhatikan interaksi obat dan efek samping yang
ditimbulkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar Metadon dalam darah
sehingga dibutuhkan penyesuaian pemberian dosis Metadon sesuai dengan gejala
klinis yang ditimbulkan dan HIV.
43
BAB V
PELAYANAN HIV AIDS DI RS Dr. SITANALA
44
Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-
lain.
2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan
pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi
oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan
pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka
kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan
meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian
tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral
(ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang
meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan
kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan
dan lain-lain.
Bagan alur pelayanan HIV-AIDS RSK Dr. Sitanala sesuai pedoman nasional ARV dan
HIV adalah:
Informed concent
Konseling + Tes HIV
45
Rawat jalan Rawat inap
IGD Perbaiki Keadaan umum, rawat
isolasi
Isi Konseling
- Informasi faktual tentang infeksi HIV dan penyakit yang terkait, cara
penularan, dampak, cara pencegahan
- Penilaian tingkat risiko infeksi HIV
46
- Mengkaji kemungkinan sumber infeksi pasien
- Informasi untuk menurunkan risiko (harm reduction) dengan perubahan
perilaku berisiko
Konseling dilakukan oleh orang-orang terlatih, tergabung dalam tim konseling VCT
RSK Sitanala.
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP – PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan
termasuk RSK Sitanala yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan
tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan
tanda klinis diduga terinfeksi HIV (lihat Tabel 1), pasien dari kelompok berisiko
(penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS
dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan
tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan
informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga
kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent, confidentiality)
47
5.2.4 Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang
untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas
tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela (window period). Bila tes HIV
yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu
dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
48
Interpretasi hasil laboratorium
49
Ketenagaan
- Tenaga medis : terdiri dokter dari bidang bidang terkait sesuai yang kelainan
yang ditemukan (keadaan klinik penderita)
- Tenaga perawat : terdiri dari semua tenaga perawat yang bertugas
- Tenaga laboratoris : semua tenaga laboratoris/analis di laboratorium
Proteksi ketenagaan
- sarana : jas lab lengan panjang : perawat/analis, skort, sarung tangan dispossable,
masker, tutup kepala, tutup mata (kaca mata pelindung), sepatu bot karet
- Fasilitas/sarana medik dan keperawatan
- Non medis : kasur, bantal, selimut, seprei, perlak, handuk, baju penderita, sandal
jepit, alat makan, sedangkan alat keperluan pribadi membawa sendiri : cukur
jenggot, sabun dll.
Proteksi
- Konseling keluarga dilakukan atas ijin penderita dan seyogyanya pemberitahuan
pertama dilakukan oleh penderita sendiri kecuali bila penderita meminta tolong
kepada dokter untuk memberitahu kepada keluarganya.
- Pengunjung bila rawat inap hanya dibatasi keluarga terdekat
2. Pihak Terkait
1. Laporan ke Dirjen melalui TK I,Kota Tangerang secara berkala
3. Melakukan kerjasama rujukan pasien HIV AIDS ke RS rujukan HIV AIDS di
Tangerang atau luar Tangerang
3. Prosedur Khusus HIV-AIDS pada keadaan tertentu
50
Perawatan bayi di kamar bersalin
APGAR Score baik:
- bayi langsung di bungkus dengan kain steril
- diletakkan di meja resusitasi yang sudah dihangatkan dengan lampu
- jalan jafas dibersihkan dengan penghisap lendir steril dispossable dihisap dengan
spuit 50 cc pelan pelan dan berulang ulang
- O2 diberikan melalui slang
- bayi bila sudah baik (nafas teratur, menangis berat) tidak usah dimandikan hanya
dibersihkan dengan air hangat yang diberi byclean® konsentrasi 0,5 %
- kalau perlu dengan minyak kelapa steril untuk membersihkan vernix casseosa
- bila bayi sudah bersih dan keadaan umumnya baik (tangis berat, gerakan aktif,
tidak sesak) bayi diletakkan bersama ibu di kamar bersalin, sebelum dibawa ke
ruang rawat gabung (isolasi) oleh petugas kamar bersalin
- bayi diletakkan di dalam inkubator dan diobservasi
- bayi tidak boleh menyusui pada ibunya dan diberi susu pengganti/formula
- sampel darah diambil oleh petugas khusus yang ditunjuk oleh Tim AIDS pada
saat tali pusat dipotong atau sewaktu‐waktu diperlukan
Bila keadaan bayi jelek, APGAR Score 0‐4
- resusitasi aktif oleh dokter spesialis anak
- pemberian Na Bic intra umbilikal untuk menanggulangi asidosis
- pemberian antibiotik, vit. K per parenteral, glukosa 40% i.v dan infuse
- bayi diletakkan didalam inkubator didekat ibunya, bila keadaan asfiksia sudah
teratasi
- observasi ketat
51
- dampak jangka panjang dan belum ada obat terpilih (DOC) terhadap etiologi
- penularan melalui hubungan seksual, limbah ibu ke bayi atau dapat menularkan
kepada dokter penolong/paramedis
- kombinasi dan atau rentan terhadap penyakit infeksi lain
- penularan dapat melewati limbah ibu, ceceran darah kering, peralatan
"reuseable" yang belum/tidak sempurna proses dekontaminasinya
- memerlukan pengamanan khusus alat dan bahan "reuseable/dispassable" untuk
menghindari penularan kepada masyarakat luas (termasuk pemakai kali/sungai
Bila dalam keadaan darurat atau pasien bersangkutan belum jelas terdeteksi
sebagai HIV AIDS, maka:
a. ANC ibu dengan infeksi tersebut sama dengan ibu hamil yang lain. Pra dan pasca
pemeriksaan penderita, penolong cuci tangan terlebih dulu dengan air mengalir
dan/atau air klorin (60 cc byclean/2000 cc air steril) kemudian keringkan dengan
handuk kering atau alat pengering listrik
b. penanganan obstetri ibu hamil dan bersalin sama dengan yang tidak berpenyakit
tersebut, kecuali :
- Herpes Genitalis (labia, vagina, cervix) : terapi dengan asiklovir oral dan
topikal sesuai dengan dosis anjuran dan konsultasi ke spesialis kulit dan
kelamin. Ketuban Pecah Dini (KPD) kurang 4 jam dilakukan SC primer
(indikasi perinatal), untuk KPD 4 jam atau lebih ekspektatif kecuali indikasi
obstetri untuk SC dengan memberitahu dokter perinatologi
- Condylomata accuminata: Selama hamil dapat diterapi dengan asam triclor
asetat 80% topical kemudian diguyur dengan aquades, diulang pada ANC
berikutnya. Hanya pada Condyloma accuminata , SC primer atas indikasi
bahaya perdarahan pada ibu dan Konsultasike Spesialis Kulit Kelamin dan
memberitahu dokter Spesialis Anak.
- Untuk kedua penyakit di atas , apabila tidak memungkinkan, pasien dapat
dirujuk oleh SpOG ke RS rujukan HIV AIDS.
c. Dalam keadaan darurat, bila terjadi persalinan, kala IV ditunda menjadi 4 jam
untuk karier infeksi HIV, kecuali ada monitoring kemungkinan besar komplikasi
yang sudah diperkirakan, pasien baru dipindah bila dipandang sudah aman.
Untuk infeksi virus lain kala IV 2 jam. Pemeriksaan laboratorium tambahan
rutin dan deteksi infeksi sekunder ( hepatitis B , rubella, toxoplasma, CMV,
chlamidia) perlu dilakukan. Hal ini memerlukan pengamanan khusus berupa
ruang khusus bersalin dan dengan pengamanan khusus. Oleh karena itu
diharapkan penegakan dini diagnosis HIV AIDS sebaiknya dilakukan sebelum
terjadi keadaan darurat.
d. Pengamanan dan dekontaminasi Kamar Bersalin, alat dan limbah .
52
e. Tempat tidur bersalin dan bayi diberi alas plastik (bila mungkin membungkus
tempat tidurnya). Setelah penderita dipindahkan ke kamar nifas, alas tempat tidur
dapat dilakukan dekontaminasi air chlorin 0,5% selama 10 menit dan pencucian
dengan air kemudian dijemur.
f. Penolong/operator dan asisten penolong ibu dan bayi menggunakan handschoen
steril, memakai baju "astronot" steril dan tidak tembus air, memakai handschoen
steril lagi (rangkap dua), masker dan kacamata lebar, topi steril ( kelengkapan
baju astronot)
g. Penyedotan air ketuban dari rongga mulut dan hidung bayi dengan mesin
"suction" berkekuatan sedot tidak besar. Penyedotan dengan alat hisap lendir
bayi di trakea untuk yang air ketubannya mekonial kental (bila jernih dibiarkan),
sebaiknya tidak dengan mulut asisten penolong bayi, tetapi disambung dengan
alat suntik besar.
h. Pembersihan badan ibu setelah bersalin dengan waslap air klorin (60 cc bayclin
dalam 2000 cc air), untuk bayi dengan waslap air klorin (60 cc bayclin dalam
2000 cc air). Dilanjutkan pengamanan baju penderita, handuk terpakai, waslap,
sesuai prosedur dekontaminasi dengan air klorin 0,5% selama 10 menit,
selanjutnya dimasukkan dalam tas plastik untuk dikirim kebagian pencucian
Rurnah Sakit.
i. Setelah ibu nifas dan bayi dipindah ke kamar nifas khusus (berkamar mandi‐WC
dalam satu kamar, pembuangan air mandi kedalam bak resapan/tidak ke riol
Rumah Sakit) alas tempat tidur direndam dalam air clorin 0,5% selama 10 menit,
tempat tidur dicuci dengan air detergen cair terutama yang mengandung
kontaminasi air ketuban‐darah‐lochea kemudian dicuci dengan air clorin 0,5%
dan dibilas dengan air.
j. Kamar Bersalin khusus ini digenangi dengan air klorin selama 10 menit
kemudian kran pembuangan dibuka untuk mengalirkan air genangan kedalam
bak resapan.
Pencegahan
1. Amat penting, khususnya terhadap semua staf Kamar bersalin dan perawatan
nifas/perinatal
2. Umumnya terhadap pasien lain, pihak keluarga terdekat dan masyarakat luas
3. Segenap petugas tidak perlu merasa takut tapi harus hati‐hati dan waspada terhadap:
a. Limbah ibu termasuk yang menempel pada bayi
b. Alat medik terpakai
c. Sampah penderita
d. Tempat perawatan terpakai
4. Ruang persalinan dan kala IV diberikan tersendiri di Kamar bersalin terpisah dari
bagian Kamar Bersalin yang lain, dengan perlengkapan tersendiri, yaitu :
53
- Alat pertolongan partus normal dan abnormal (2 set )
- Tempat tidur persalinan yang mampu sebagai "dwarsbed"
- Antiseptik dengan air klorin. Untuk mencuci tangan 60 cc Baycllin dalam 2000 cc
air steril ( untuk tangan tanpa handscoen, wajah/muka), disediakan untuk
penolong, asisten penolong ibu, dan bayi.
- Untuk mencuci dan merendam alat (dekontaminasi) : larutan klorin 0,5% (1 bagian
BAYCLIN ditambah 9 bagian air steril), 10 selama menit, efektif terhadap spora
kuman tetanus.
2. Proses pencucian : penyikatan dengan ditergen cair (absolut tidak diperbolehkan
dengan ditergen bubuk atau bubuk yang dimasukkan air) dan dibilas dengan air steril
(membunuh mikroba sampai 80%). Khususnya yang mengandung darah beku dan
bahan organik dari ibu dan bayi. Awas alat dari logam yang mengandung darah beku
di daerah "terpencil" sering terlewatkan dari pembersihan.
3. Proses Desinfektasi Tingkat Tinggi (DTT) : Air klorin 0,5 % selama 20 menit
kemudian dibilas dengan air steril, dilanjutkan proses pengeringan, selanjutnya
sebagai alat steril siap pakai. Atau merebus dalam air mendidih 20 selama menit
(menyingkirkan mikroba sampai 95% kuman mati) dilanjutkan dengan proses
pengeringan
4. Proses Sterilisasi
Dengan sterilisasi panas sistim kering 170° C selama 60 menit dan ditunggu menjadi
dingin kembali setelah 120‐150 menit (baru dibuka dan dikeluarkan) untuk siap
pakai; 121° C selama semalam (membunuh 100 % mikroba). Hati‐hati untuk alat dari
logam bukan stainless sangat mudah rusak terkena air klorin tanpa pembilasan.
Cairan klorin untuk membersihkan tempat tidur bersalin/meja operasi/tempat tidur
nifas dan bayi berupa air klorin 0,5 %. Cairan klorin 0.5 % untuk merendam baju,
bekas terpakai penolong dan asisten penolong, terkontaminasi darah dan limbah ibu
dan bayi.
5. Alat ‐ bahan dispossible/not reusable harus dibuang kedalam kantong plastik hitam
tersedia:
- Handscoen
- Tangue spatel kayu
- Tampon, diaper
- Potongan sisa benang terpakai
- Alat pembalut wanita
- Alat makan minum
- Alat suntik
- Bekas botol suntik
- Perlengkapan alat infus/transfusi bekas
- Kateter karet bekas
54
6. Alat tulis terkontamimasi darah dan limbah ibu akan diproses sesuai prosedur yang
berlaku
7. Perawatan Nifas : prinsip Roomingin baik ibu / bayi patologik dalam 1 ruang/kamar
yang ada kamar mandi/WC tersendiri dengan pembuangan langsung ke peresapan.
8. Pengamanan semua yang terkontaminasi limbah ibu antara yang "reuseable" dan "not
reuseable"
9. Sampai lebih kurang 10 hari nifas (sama dengan yang SC) untuk karier HIV 3‐5 hari
untuk Hepatitis B/C/D, Condyloma akuminata, Herpes genitalis.
10. Proses defekasi/mandi dan dekontaminasi baju kotor dalam kamar mandi ibu.
Selama dalam perawatan nifas ibu diberikan KIE :
a. Perawatan dan kebersihan diri sendiri
b. Perawatan dan cara memandikan bayinya dengan air klorin 60 cc Bayclin dalam
2000 cc air
c. Perlindungan 1ingkungan terhadap bahaya penularan dari limbah ibu dan bayi
11. Bila ada kontra indikasi laktasi klien diberitahu sebab‐sebabnya harus menggunakan
PASI dan pasien diberi supresi 1aktasi
12. Perinatal : dirawat oleh staf perinatologi IKA. Pengamanan semua yang
terkontaminasi limbah bayi antara yang "reuseable" dan "notreuseable".
a. Proses pembuangan tinja/air mandi dan dekontaminasi baju kotor bayi didalam
kamar mandi ibu.
b. Program vaksinasi bayi oleh dokter Perinatologi.
c. Perawatan nifas klien karier HIV 10 hari baik yang SC maupun partus normal
untuk follow up ibu dan bayi.
13. Perawatan Ari‐ari. Kebiasaan masyarakat berbagai cara sesuai adat, untuk perawatan
ari‐ari lanjutan setelah direndam dalam larutan klorin 0,5'% selama 10 menit, ari‐ari
hendaknya ditanam ditanah halamannya setelah diberikan pengamanan kedap air
14. Alat reusable : setelah dekontaminasi dengan air klorin 3 tahap dilanjutkan
pembilasan dengan air mengalir, dilanjutkan dengan sterilisasi kering, kemudian
diletakkan dalam tempat alat steril siap pakai. Hanya dipakai untuk penderita
tergolong berpenyakit virus menular lewat kontaminsasi discharge
55
DAFTAR PUSTAKA
3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related
disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL,
Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The
United States of America: McGraw-Hill
5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available
at url: http://www.aidsindonesia.or.id
6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
56
9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive
summary. Geneva. 2010.
10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available
from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040
57