Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu


sindrom/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang
sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh,
maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal,
yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh
Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc
Montagnier pada tahun 1983.
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan
pada tahun 1987, yaitu pada seorang warga negara Belanda yang sedang berlibur ke
Bali. Sebenarnya sebelum itu, yaitu pada tahun 1985 telah ditemukan kasus yang
gejalanya sangat sesuai dengan HIV/AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali diulang
dinyatakan positif. Tetapi tes Western Blot hasilnya negatif, sehinga tidak dilaporkan.
Kasus kedua ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo pada
pasien hemofilia.
Masalah HIV AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan
banyak Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas
dari HIV. Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah ODHA (Orang dengan HIV dan
AIDS) mencapai 33,3 juta, dengan kasus baru sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari
7000 orang telah terinfeksi HIV, 97 % dari negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %, usia produktif 41%
( 15-24 th), dan anak-anak (WHO, 2010). HIV dan AIDS menyebabkan krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara, krisis ekonomi,
pendidikan, dan juga krisis kemanusiaan. (Djoerban Z dkk, 2006).
Di Indonesia sendiri, jumlah ODHA terus meningkat. Data terakhir pada tahun
2008 menunjukkan bahwa jumlah ODHA di Indonesia telah mencapai 22.664 orang.
(Depkes RI, 2008). Menurut UNAIDS, Indonesia merupakan negara dengan
pertumbuhan epidemik tercepat di Asia. Pada tahun 2007 Indonesia menempati urutan
ke-99 di dunia, namun karena pemahaman dari gejala penyakit dan stigmata sosial
masyarakat, hanya 5-10 % yang terdiagnosa dan dilakukan pengobatan.
Pada era sebelumnya upaya penanggulangan HIV/AIDS diprioritaskan pada
upaya pencegahan. Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang
memerlukan terapi ARV, maka strategi penanggulangan HIV/AIDS dilaksanakan
dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta
pengobatan. Indonesia secara nasional telah memulai terapi antiretroviral (ART) pada
tahun 2004. Hal ini dapat menurunkan risiko infeksi oportunistik (IO) yang apabila berat

0
dapat menimbulkan kematian pada ODHA. Pada akhirnya, diharapkan kualitas hidup
ODHA akan meningkat. .
DASAR HUKUM
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
760/MENKES/SK/VI/2007 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan
bagi Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) Menteri Kesehatan Republik
Indonesia
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1508/MENKES/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka Menengah
Perawatan, Dukungan dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan
HIV/AIDS tahun 2005-2009, Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3273);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4437);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1981 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3447);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah
dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
8. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
9. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994 tentang Pembentukan Komisi
Penanggulangan HIV dan AIDS;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Jenis
Penyakit Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah, Tata Cara Penyampaian
Laporan dan Tata Cara Penanggulangannya;
11. Keputusan Menteri Kesejahteraan Rakyat Nomor 9/KEP/1994 tentang Strategi
Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang
Pedoman Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyakit Menular Seksual;
13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1507/Menkes/SK/X/2005 tentang
Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV dan AIDS Secara Sukarela
(Voluntary Counselling and Testing);

1
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan;
15. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 832/Menkes/SK/X/2006 tentang
Penetapan Rumah Sakit Rujukan bagi ODHA dan Standar Rumah Sakit Rujukan
ODHA dan Satelitnya
16. Kepmenkes RI No. 1932/MenkesSK/IX/2011 tentang pokja pengendalian HIV
AIDS Kemenkes
17. SK Direktur Utama RSK Dr. Sitanala Nomor. HK.02.04/I/01968/2015 tentang
pembentukan Tim HIV- AIDS RSK Dr. Sitanala Tangerang.
18. SK Direktur Utama RSK Dr. Sitanala Nomor. HK.02.03/XXXI/02105/2018
tentang Susunan Tim HIV- AIDS RSK Dr. Sitanala Tangerang.
19.

2
BAB II
PROFIL RS Dr. SITANALA

A. Sejarah RSK Dr. Sitanala Tangerang


RSK Dr. Sitanala Tangerang adalah rumah sakit rujukan kusta untuk
regional Indonesia tengah. Berjarak 26 Km sebelah barat Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dan menempati area seluas 54 Ha, RSK Dr. Sitanala Tangerang merupakan
pemindahan dari Leprosarium Lenteng Agung. Kemudian pada tahun 1951 Rumah
Sakit Kusta tersebut oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia diberi nama
“Rumah Sakit Sewan“ karena berada di Kampung Sewan Kelurahan Neglasari
Kecamatan Batu Ceper Propinsi Jawa Barat. Dengan perkembangan penduduk yang
cukup pesat, Pemerintah melakukan pemekaran wilayah sehingga sekarang Rumah
Sakit Kusta dr. Sitanala terletak di Kelurahan Karangsari Kecamatan Neglasari Kota
Tangerang Provinsi Banten.
Pada tanggal 28 Juli 1951 dilakukan peletakan batu pertama oleh Ny.
Rahmi Hatta, Ibu wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Untuk
menghargai jasa seorang dokter Indonesia yang pertama kali berkecimpung dalam
menangani penderita kusta, yaitu dr. J.B. Sitanala,seorang dokter dari Maluku, maka
pada tahun 1962 “ Rumah Sakit Sewan “ diubah namanya menjadi “ Pusat
Rehabilitasi Sitanala “ oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Prof. Dr. Satrio.
Melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 140
Tahun 1978 “ Pusat Rehabilitasi Sitanala “ ditetapkan namanya menjadi “ Rumah
Sakit Kusta Sitanala “ yang merupakan Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan berada dibawah Direktorat Jenderal
Bina Pelayanan Medik.
Berikut nama-nama Direktur yang pernah memimpin Rumah Sakit Kusta
dr. Sitanala Tangerang :
1. dr. E. G. E. Van Der Heyde : Tahun 1953-1958
2. dr. Oem Bin Thio : Tahun 1958-1959
3. dr. Med. H. Kamal Mahmud, SH. : Tahun 1959-1965
4. dr. M. Adhyatma, MPH. : Tahun 1965-1971
5. dr. Aloysius Dharmawan : Tahun 1971-1975
6. dr. Berbudi : Tahun 1975-1983
7. dr. Ign. Haryanto : Tahun 1983-1989
8. dr. M. R. Teterissa, MPH. : Tahun 1989-1994
9. dr. H. Sudarmadji, MPH. : Tahun 1994-2001
10. dr. H. Mgs. Johan Thamrin Saleh, MSc. : Tahun 2001-2007

3
11. dr. Luwiharsih, MSc. : Tahun 2007-2011
12. drg. Liliana Lazuardy, M.Kes. : Tahun 2011- 2015
13. dr. Ali Muchtar, Sp.PK, MARS : Tahun 2015- sekarang
Sejalan dengan telah diterbitkannya Surat Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 398/MENKES/SK/IV/1994, tentang Organisasi dan Tata Kerja
RSK Dr. Sitanala Tangerang pada pasal 1 ditetapkan bahwa RSK Dr. Sitanala
Tangerang adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia dan berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, yang
mempunyai tugas melaksanakan pelayanan pasien kusta secara menyeluruh, terpadu
dan berkesinambungan, kegiatan pendidikan, pelatihan, penelitian dan
pengembangan kesehatan di bidang kusta sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Dalam rangka menghilangkan leprophobia pada masyarakat dan untuk
meningkatkan pendayagunaan sumber daya, memperluas cakupan pelayanan maka
melalui Surat Izin Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor IR.01.01.3.2.613
tertanggal 17 Februari 1997, RSK Dr. Sitanala Tangerang diberi wewenang untuk
melaksanakan pelayanan bagi pasien umum, disamping melaksanakan fungsi
utamanya melayani penderita kusta.

B. Tugas Pokok Dan Fungsi RSK Dr. Sitanala Tangerang


Undang Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dikemukakan
bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat
kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan melalui upaya kesehatan
dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan, pencegahan,
penyembuhan dan pemulihan kesehatan, yang dilaksanakan secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan.
Dalam menghadapi era globalisasi masa kini, rumah sakit pemerintah di
Indonesia akan menghadapi tantangan persaingan yang cukup berat, baik terhadap
rumah sakit swasta dalam negeri maupun rumah sakit milik asing yang akan
didirikan di Indonesia. Secara geografis Tangerang merupakan salah satu
penyangga Ibu Kota Negara dan termasuk kota industri yang cukup pesat
perkembangannya, hal ini sudah tentu merupakan suatu tantangan, tuntutan
sekaligus peluang utnuk kemajuan RSK Dr. Sitanala Tangerang pada masa yang
akan datang.
Untuk mengantisipasi kondisi seperti di atas, sudah waktunya RSK Dr.
Sitanala Tangerang berbenah diri mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi
tantangan tersebut. Seperti kita ketahui bahwa RSK Dr. Sitanala Tangerang adalah
salah satu unit pelaksana teknis di lingkungan Kementerian Kesehatan RI dan
masuk kategori rumah sakit khusus, yaitu dengan pelayanan utamanya di bidang

4
penyakit kusta. Dilihat dari kemampuan sumber daya yang ada, adanya payung
hukum, dan surat izin Direktur Jenderal Pelayanan Medik No. IR.01.3.2.613
tertanggal 17 Februari 1997 tentang izin prinsip untuk mendirikan pelayanan umum
dalam rangka meningkatkan dan memperluas cakupan pelayanan medis wilayah
Kota Tangerang dan sekitarnya.
Dalam melaksanakan tugas RSK Dr. Sitanala Tangerang menyelenggarakan
fungsi sebagai berikut :
1. Melaksanakan pelayanan peningkatan kesehatan.
2. Melaksanakan pelayanan pencegahan penyakit kusta.
3. Melaksanakan pelayanan penyembuhan pasien penyakit kusta.
4. Melaksanakan rehabilitasi medik, rehabilitasi karya dan rehabilitasi sosial
terhadap mantan penderita kusta.
5. Melaksanakan asuhan dan pelayanan keperawatan.
6. Melaksanakan pelayanan rujukan.
7. Melaksanakan kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan.
8. Melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan serta penyebarluasan
hasilnya.
9. Melaksanakan administrasi umum dan keuangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005, tentang pola
pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), semua rumah sakit dapat
menerapkan PK-BLU, termasuk RSK Dr. Sitanala Tangerang yang sudah menjadi
Badan Layanan Umum.
Untuk itulah, maka manajemen RSK Dr. Sitanala Tangerang bersama
jajarannya sudah berkomitmen akan melaksanakan upaya-upaya peningkatan mutu
yang meliputi peningkatan mutu sumber daya manusia, peningkatan cakupan
pelayanan medis, penunjang medis dan rehabilitasi medis, disamping itu juga akan
dilakukan upaya peningkatan dan pengembangan fasilitas serta sarana prasarana
baik untuk sentra pelayanan maupun untuk sentra perkantoran.

C. Visi, Misi, Dan Motto RSK Dr. Sitanala Tangerang


Rumah Sakit Kusta dr. Sitanala Tangerang perlu mempunyai visi baru yang
diaktualisasikan dalam misi yang dicerminkan pada langkah strategis untuk
mencapai tujuan.
1. Visi : Terwujudnya RSK Dr.Sitanala Sebagai Rujukan Kusta Nasional
Tahun 2019
2. Misi : a. Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Yang Bermutu dan
Terjangkau Kepada Masyarakat Dalam Rangka Meningkatkan
Derajat Kesehatan
b. Meningkatkan Kegiatan Pendidikan, Pelatihan dan Penelitian
Serta Pengembangan Dibidang Kusta dan Pelayanan Penunjang

5
Lainnya
c. Meningkatkan Upaya Pelayanan Bedah Rekonstruksi Secara
Komprehensif
d. Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Menuju
Profesionalisme Pelayanan
3. TataNilai - Empati
- Responsif
- Profesional
- Bermartabat
4. Motto : Melayani dengan Ramah, Sabar, dan Kasih Sayang

BAB III

6
DIAGNOSIS HIV AIDS

Definisi
HIV (human immunodeficiency virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi
sel sistem kekebalan manusia terutama CD4+T cell dan makrofag, komponen vital dari
sistem-sistem kekebalan tubuh dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka.
Infeksi HIV menyebabkan pengurangan cepat dari system kekebalan tubuh yang
menyebabkan kekurangan imun.
HIV adalah suatu virus yang dapat menyebabkan AIDS. AIDS (Aquired immune
deficiency virus) adalah sindrom kurang daya tahan melawan penyakit atau kumpulan
gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi didapat
dari hasil penularan yang disebabkan oleh HIV.
Epidemiologi
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada
kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para Pekerja Seks (PS) dan
pengguna NAPZA suntikan (penasun), kemudian diikuti dengan peningkatan pada
kelompok lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) dan perempuan berisiko
rendah. Saat ini dengan prevalensi rerata sebesar 0,4% sebagian besar wilayah di
Indonesia termasuk dalam kategori daerah dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi.
Sementara itu, Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas, dengan prevalensi
HIV sebesar 2,3%. Hasil estimasi tahun 2012, di Indonesia terdapat 591.823 orang
dengan HIV positif dan tersebar di seluruh provinsi. Dari Laporan Bulanan Perawatan
HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan November 2014 tercatat jumlah ODHA
yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 49.217 dari 34 provinsi dan 300
kabupaten/kota.
Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk
sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp4. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua
rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). Virus ini
terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi
berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami
mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Cara Penularan
1. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan

7
dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan
seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan
kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
b. Heteroseksual
2. Transmisi Non Seksual
a. Transmisi Parenteral: akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya
(alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkoba.
b. Darah/produk darah: transmisi melalui transfusi atau produk darah
c. Transmisi transplasental: penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke
anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,
melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk
penularan dengan resiko rendah.
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja
kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV.

DIAGNOSIS HIV AIDS


A. Konseling dan Tes HIV
Untuk mengetahui status HIV seseorang, maka klien/pasien harus melalui
tahapan konseling dan tes HIV (KT HIV). Secara global diperkirakan setengah ODHA
tidak mengetahui status HIV-nya. Sebaliknya mereka yang tahu sering terlambat
diperiksa dan karena kurangnya akses hubungan antara konseling dan tes HIV dengan
perawatan, menyebabkan pengobatan sudah pada stadium AIDS. Tujuan konseling dan
tes HIV adalah harus mampu mengidentifikasi ODHA sedini mungkin dan segera
memberi akses pada layanan perawatan, pengobatan dan pencegahan.KT HIV
merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan. Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses
universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting 3 zeroes. Konseling dan tes HIV
harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar
yang disebut 5C (informed consent; confidentiality; counseling; correct test results;
connections to care, treatment and prevention services). Prinsip 5C tersebut harus
diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV.
a. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan
laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah
mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara lengkap oleh

8
petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.
b. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara klien dan
petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan
diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/ klien. Konfidensialitas
dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien
untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.
c. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk
memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien.
Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk
membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan
pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Layanan
konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS, Konseling
pra-tes dan Konseling pasca-tes yang berkualitas baik.
d. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti
standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus
dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh
tenaga kesehatan yang memeriksa.
e. Connections to, care, treatment and prevention services. Pasien/klien harus
dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan
pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.
Penyelenggaraan KT HIV,adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi
HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah dan swasta. KT HIV didahului dengan dialog antara klien/pasien
dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan memberikan informasi tentang HIV dan
AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.
B. Tes Diagnosis HIV
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi tes HIV,
yaitu:
1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi
infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.
Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari orang tua/wali yang
memiliki hak hukum atas anak tersebut (contoh nenek/kakek/orang tua asuh, bila orang
tua kandung meninggal atau tidak ada) merujuk pada peraturan lain terkait anak.
Sedikit berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak memerlukan tes HIV pada
kondisi di bawah ini:

9
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti TB berat atau
mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang dan diare kronis
atau berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan tindakan
pencegahan penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang didiagnosis terinfeksi
HIV (pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara kandungnya
didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal oleh sebab yang
tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik yang
terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain, Anak yang
mengalami kekerasan seksual.
Sesuai dengan perkembangan program serta inisiatif SUFA maka tes HIV juga
harus ditawarkan secara rutin kepada:
1. Populasi Kunci (Pekerja seks, Penasun, LSL, Waria) dan diulang minimal setiap
6 bulan sekali
2. Pasangan ODHA
3. Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi
4. Pasien TB
5. Semua orang yang berkunjung ke fasyankes di daerah epidemi HIV meluas
6. Pasien IMS
7. Pasien Hepatitis
8. Warga Binaan Pemasyarakatan
9. Lelaki Beresiko Tinggi (LBT)
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:
1. Tes serologi
Tes serologi terdiri atas:
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk
Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1
maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih
sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit
bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih.
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-antibodi
dapat dideteksi dengan perubahan warna.

10
c. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit
Bayi dan anak umur usia kurang dari 18 bulan terpajan HIV yang tampak sehat
dan belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk dilakukan tes serologis pada umur 9
bulan (saat bayi dan anak mendapatkan imunisasi dasar terakhir). Bila hasil tes tersebut:
a. Reaktif harus segera diikuti dengan pemeriksaan tes virologis untuk
mengidentifikasi kasus yang memerlukan terapi ARV.
b. Non reaktif harus diulang bila masih mendapatkan ASI. Pemeriksaan ulang
dilakukan paling cepat 6 minggu sesudah bayi dan anak berhenti menyusu.
c. Jika tes serologis reaktif dan tes virologis belum tersedia, perlu dilakukan
pemantauan klinis ketat dan tes serologis diulang pada usia 18 bulan.
Bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan dengan gejala dan tanda diduga
disebabkan oleh infeksi HIV harus menjalani tes serologis dan jika hasil tes tersebut:
a. Reaktif diikuti dengan tes virologis.
b. Non reaktif tetap harus diulang dengan pemeriksaan tes serologis pada usia 18
bulan.
Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang sakit dan diduga disebabkan
oleh infeksi HIV tetapi tes virologis tidak dapat dilakukan, diagnosis ditegakkan
menggunakan diagnosis presumtif. Pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan yang
masih mendapat ASI, prosedur diagnostik awal dilakukan tanpa perlu menghentikan
pemberian ASI. Anak yang berumur di atas 18 bulan menjalani tes HIV sebagaimana
yang dilakukan pada orang dewasa.
2. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari
18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap atau
Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah.
Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa dengan tes
virologis paling awal pada umur 6 minggu. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan
virologis pertama hasilnya positif, maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat
yang sama dilakukan pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis
kedua.
Tes virologis terdiri atas:
a. HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan
antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
b. HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan
untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV
DNA tidak tersedia.

11
Diagnosis HIV pada bayi dapat dilakukan dengan cara tes virologis, tes antibodi,
dan presumtif berdasarkan gejala dan tanda klinis.
1. Diagnosis HIV pada bayi berumur kurang dari 18 bulan, idealnya dilakukan
pengulangan uji virologis HIV pada spesimen yang berbeda untuk informasi
konfirmasi hasil positif yang pertama sebagaimana Bagan di bawah ini

Bagan 1. Alur diagnosis HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan

2. Diagnosis presumtif infeksi HIV pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan
Bila ada bayi dan anak berumur kurang dari 18 bulan dan dipikirkan terinfeksi
HIV, tetapi perangkat laboratorium untuk HIV DNA kualitatif tidak tersedia, tenaga
kesehatan diharapkan mampu menegakkan diagnosis dengan cara diagnosis presumtif
Tabel 1. Diagnosis HIV presumtif pada bayi dan anak umur kurang dari 18 bulan

Minimal 2 gejala
Bila ada 1 kriteria berikut berikut

• Pneumonia • Oral thrush (Kandidiasis oral)

12
Pneumocystis (PCP),
• Pneumonia berat
meningitis kriptokokus,
kandidiasis esofagus atau • Sepsis berat
• Kematian ibu yang berkaitan
dengan
• Toksoplasmosis HIV atau penyakit HIV yang
lanjut
• Malnutrisi berat yang
pada ibu
tidak membaik dengan Jumlah persentase CD4 <
• 20%
pengobatan standar

3. Diagnosis HIV pada Anak > 18 bulan, Remaja dan Dewasa


Tes untuk diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi menggunakan strategi III
(pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang berbeda sensitivitas
dan spesivisitasnya).

13
Bagan 2. Alur diagnosis HIV pada anak ≥ 18 bulan, remaja, dan dewasa
Keputusan klinis dari hasil pemeriksaan anti HIV dapat berupa positif, negatif,
dan indeterminate.
Berikut adalah interpretasi hasil dan tindak lanjut yang perlu dilakukan.

14
Tabel 2. Kriteria interpretasi tes anti-HIV dan tindak lanjutnya

15
BAB III
TATA LAKSANA TERAPI ARV

A. Pengkajian Setelah Diagnosis HIV


Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis
adanya penyakit penyerta serta infeksi oportunistik, dan pemeriksaan laboratorium.
Untuk menentukan stadium infeksi HIV dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Untuk
selanjutnya ODHA akan mendapatkan paket layanan perawatan dukungan pengobatan
yang dapat di lihat pada Bagan 3. Selanjutnya dilakukan pencatatan pada Ikhtisar
Perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral (Formulir 1).

Tabel 3. Definisi kasus HIV berdasarkan stadium WHO untuk dewasa dan anak
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF
Stadium klinis 1
Asimtomatik Tidak ada keluhan maupun -
tanda
Limfadenopati Kelenjar limfe membesar atau Histologi
generalisata persisten membengkak >1 cm pada 2
atau lebih lokasi yang tidak
berdekatan (selain inguinal),
sebabnya tidak diketahui,
bertahan selama 3 bulan atau
lebih
Stadium klinis 2
Penurunan berat Anamnesis adanya penurunan Penurunan berat badan dari
badan derajat sedang berat badan. Pada kehamilan, pemeriksaan fisik sebesar <10%
yang tidak dapat berat badan gagal naik
dijelaskan (<10% BB)
Infeksi saluran napas Kumpulan gejala ISPA, seperti Pemeriksaan laboratorium bila ada,
atas berulang (episode nyeri wajah unilateral dengan misal, kultur cairan tubuh yang
saat ini, ditambah 1 sekret nasal (sinusitis), nyeri terkait
episode atau lebih dan radang di membran
dalam 6 bulan) timpani (otitis media), atau
tonsilofaringitis tanpa tanda
infeksi virus (coryza, batuk)
Herpes zoster Vesikel nyeri dengan distribusi Diagnosis klinis
dermatomal, dengan dasar
eritem atau hemoragik, tidak
menyeberangi garis tengah

KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF


Keilitis angularis Sariawan atau robekan pada Diagnosis klinis
sudut mulut bukan karena
defisiensi vitamin atau besi,
membaik dengan terapi
Antifungal
Sariawan berulang Ulserasi aptosa dengan bentuk Diagnosis klinis
(2 episode atau lebih khas halo dan pseudomembran
berwarna kuning-keabuan, nyeri
dalam 6 bulan)
Erupsi Papular Pruritik Lesi papular pruritik, seringkali Diagnosis klinis

16
dengan pigmentasi pasca
inflamasi. Sering juga
ditemukan pada anak yang
tidak terinfeksi, kemungkinan
skabies atau gigitan serangga
harus disingkirkan
Dermatitis seboroik Kondisi kulit bersisik dan gatal, Diagnosis klinis
umumnya di daerah berambut
(kulit kepala, aksila, punggung
atas, selangkangan)
Infeksi jamur pada Paronikia (dasar kuku Kultur jamur dari kuku
kuku membengkak, merah dan nyeri)
atau onikolisis (lepasnya kuku
dari dasar kuku) dari kuku
(warna keputihan, terutama di
bagian proksimal kuku, dengan
penebalan dan pelepasan kuku
dari dasar kuku). Onikomikosis
proksimal berwarna putih
jarang timbul tanpa disertai
imunodefisiensi
Hepatosplenomegali Pembesaran hati dan limpa Diagnosis klinis
persisten yang tidak tanpa sebab yang jelas
dapat dijelaskan
Eritema linea gingiva Garis/pita eritem yang Diagnosis klinis
mengikuti kontur garis
gingiva yang bebas, sering
dihubungkan dengan
perdarahan spontan
Infeksi virus wart luas Lesi wart khas, tonjolan kulit Diagnosis klinis
berisi seperti buliran beras
ukuran kecil, teraba kasar, atau
rata pada telapak kaki (plantar
warts) wajah, meliputi > 5%
permukaan kulit dan merusak
penampilan

KOKNDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF


Moluskum Lesi: benjolan kecil sewarna Diagnosis klinis
kontagiosum luas kulit, atau keperakan atau
merah muda, berbentuk kubah,
dapat disertai bentuk pusat,
dapat diikuti reaksi inflamasi,
meliputi 5% permukaan tubuh
dan ganggu penampilan
Moluskum raksasa
menunjukkan imunodefiensi
lanjut
Pembesaran kelenjar Pembengkakan kelenjar Diagnosis klinis
parotis yang tidak parotis bilateral asimtomatik
dapat dijelaskan yang dapat hilang timbul, tidak
nyeri, dengan sebab yang tidak
diketahui

Stadium klinis 3
Penurunan berat Anamnesis adanya penurunan Penurunan berat badan dari

17
badan derajat sedang berat badan dan terlihat pemeriksaan fisik sebesar <10%
yang tidak dapat penipisan di wajah, pinggang
dijelaskan (<10% BB) dan ekstremitas disertai
wasting yang kentara atau
Indeks Massa Tubuh (IMT)
<18,5. Dapat terjadi masking
penurunan berat badan pada
kehamilan
Diare kronik selama >1 Anamnesis adanya diare kronik Tidak diharuskan, namun perlu
bulan yang tidak dapat (feses lembek atau cair ≥3 kali untuk konfirmasi apabila ≥3 feses
dijelaskan sehari) selama lebih dari 1 tidak cair dan ≥2 analisis feses tidak
bulan ditemukan patogen
Demam persisten yang Dilaporkan sebagai demam Pemeriksaan fisik menunjukkan
tidak dapat dijelaskan atau keringat malam yang suhu >37.6 0C, dengan kultur darah
(>37,5oC intermiten berlangsung >1 bulan, baik negatif, Ziehl-Neelsen negatif, slide
atau konstan, > 1 intermiten atau konstan, tanpa malaria negatif, Rontgen toraks
bulan) respons dengan pengobatan normal atau tidak berubah, tidak ada
antibiotik atau antimalaria. fokus infeksi yang nyata
Sebab lain tidak ditemukan
pada prosedur diagnostik.
Malaria harus disingkirkan pada
daerah endemis
Kandidiasis oral Plak kekuningan atau Diagnosis klinis
(di luar masa 6-8 putih yang persisten atau
minggu pertama berulang, dapat diangkat
kehidupan) (pseudomembran) atau bercak
kemerahan di lidah, palatum
atau garis mulut, umumnya
nyeri atau tegang (bentuk
eritematosa)

KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF


Oral hairy leukoplakia Lesi putih tipis kecil linear atau Diagnosis klinis
berkerut pada tepi lateral lidah,
tidak mudah diangkat
Gejala kronik (bertahan Isolasi Mycobacterium tuberculosis
TB Paru selama 2-3 minggu): batuk, pada kultur sputum atau
hemoptisis, sesak napas, nyeri histopatologi biopsi paru (sejalan
dada, penurunan berat badan, dengan gejala yang muncul)
demam, keringat malam,
ditambah:
Sputum BTA negatif
ATAU
Sputum BTA positif
DAN
Gambaran radiologis (termasuk
infiltrat di lobus atas, kavitasi,
fibrosis pulmoner, pengecilan,
dan lain-lain). Tidak ada bukti
gejala ekstrapulmoner
Infeksi bakterial berat Demam disertai gejala atau Isolasi bakteri dari spesimen
(seperti pneumonia, tanda spesifik yang melokalisasi klinis yang sesuai (di lokasi yang
meningitis, empiema, infeksi dan merespons terhadap seharusnya steril)
piomiositis, infeksi terapi antibiotik yang sesuai
tulang atau sendi,
bakteremia, radang
panggul berat.)

18
Stomatitis, ginggivitis, Nyeri hebat, ulserasi papila Diagnosis klinis
atau periodontitis gusi, gigi lepas, perdarahan
ulseratif nekrotikans spontan, bau busuk, hilangnya
akut jaringan lunak dan/atau tulang
dengan cepat
Anemi yang tidak Tidak ada diagnosis klinis Diagnosis dengan pemeriksaan
dapat dijelaskan (<8g/ presumtif laboratorium, tidak disebabkan oleh
dl), netropenia (<1000/ kondisi non-HIV lain, tidak berespons
mm3) dan/atau atau dengan terapi standar hematinik,
trombositopenia kronik antimalaria atau antihelmintik sesuai
(<50,000/ mm3, >1 pedoman nasional, WHO IMCI atau
bulan) pedoman lainnya
Malnutrisi sedang yang Penurunan berat badan: berat Pemetaan pada grafik pertumbuhan,
tidak dapat dijelaskan di bawah - 2 SD menurut umur, BB terletak dibawah – 2SD, berat
bukan karena pemberian tidak naik dengan tata laksana
asupan makan yang kurang standar dan sebab lain tidak dapat
dan atau adanya infeksi lain, diketahui selama proses diagnosis
dan tidak berespons secara
baik pada terapi standar

KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF


TB kelenjar Limfadenopati tanpa rasa nyeri, Dipastikan dengan pemeriksaan
tidak akut, lokasi terbatas satu histologik pada sediaan dari aspirat
regio. Membaik dengan terapi dan diwarnai dengan pewarnaan
TB standar dalam 1 bulan atau kultur Ziehl -Neelsen
Pneumonitis interstisial Tidak ada pemeriksaan Diagnosis dengan Ro dada: infiltrat,
limfoid (PIL) simtomatik presumtif interstisial, retikulonodular bilateral,
berlangsung > 2 bulan, tanpa ada
respons pada terapi antibiotik, dan
tidak ada patogen lain ditemukan.
Saturasi oksigen tetap di < 90%.
Mungkin terlihat bersama cor
pulmonale dan kelelahan karena
peningkatan aktivitas fisik. Histologi
memastikan diagnosis
Penyakit paru Riwayat batuk produktif, lendir Pada Ro paru dapat diperlihatkan
berhubungan dengan purulen (pada bronkiektasis) adanya kista kecil-kecil dan atau
HIV, termasuk dengan atau tanpa disertai area persisten opasifikasi dan /atau
bronkiektasis bentuk jari tabuh, halitosis dan destruksi luas paru dengan fibrosis,
krepitasi dan atau mengi pada dan kehilangan volume paru
saat auskultasi
Stadium klinis 4
HIV wasting syndrome Anamnesis adanya penurunan Pemeriksaan fisik menunjukkan
berat badan (>10% BB) dengan adanya penurunan berat badan
wasting yang jelas atau (>10% BB) ditambah patogen negatif
IMT<18,5, ditambah: Diare pada dua atau lebih feses ATAU
kronik yang tidak dapat Pemeriksaan fisik menunjukkan
dijelaskan (feses lembek atau adanya peningkatan suhu melebihi
cair ≥3 kali sehari) selama >1 37,6°C tanpa penyebab lain. Kultur
bulan ATAU Demam atau darah negatif, slide malaria negatif,
keringat malam selama >1 bulan dan radiografi normal atau tidak
tanpa penyebab lain dan tidak berubah
merespons terhadap antibiotik
atau antimalaria. Malaria harus
disingkirkan pada daerah
endemis

19
KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF
Pneumonia Sesak saat aktivitas atau batuk Sitologi atau gambaran
Pneumocystis (PCP) kering onset baru (dalam mikroskopik imunofluoresens dari
3 bulan terakhir), takipneu, sputum terinduksi atau bilasan
demam bronkoalveolar atau histopatologi
DAN jaringan paru
Rontgen toraks menunjukkan
infiltrat interstisial bilateral difus
DAN
Tidak ada gejala dan tanda
pneumonia bakterial. Pada
asukultasi terdengar krepitasi
bilateral dengan atau tanpa
penurunan inspirasi
Pneumonia bakterial Episode saat ini ditambah satu Kultur positif atau tes antigen dari
berulang (episode episode atau lebih dalam 6 organisme yang sesuai
saat ini ditambah satu bulan. Gejala (misal, demam,
episode atau lebih batuk, dispneu, nyeri dada)
dalam 6 bulan terakhir) memiliki onset akut (<2 minggu)
DAN
Pemeriksaan fisik atau
radiografi menunjukkan
konsolidasi baru, berespons
dengan antibiotik
Infeksi herpes simpleks Ulserasi anogenital atau Kultur positif atau DNA (PCR) HSV
kronik (orolabial, orolabial progresif disertai atau sitologi atau histologi yang
genital atau anorektal) nyeri; lesi disebabkan oleh sesuai
selama >1 bulan, atau infeksi HSV berulang dan
viseral tanpa melihat sudah dikeluhkan >1 bulan. Ada
lokasi ataupun durasi. riwayat episode sebelumnya.
HSV viseral memerlukan
diagnosis definitif
Kandidiasis Onset baru, nyeri retrosternal Gambaran makroskopik pada
esophageal atau sulit menelan (makanan endoskopi atau bronkoskopi, atau
dan cairan) bersamaan dengan mikroskopik atau histopatologi
kandidiasis oral
TB ekstraparu Gejala sistemik (misal, demam, Isolasi M. tuberculosis atau
keringat malam, malaise, histopatologi yang sesuai dari lokasi
penurunan berat badan). Gejala infeksi terkait, disertai dengan gejala
atau tanda TB ekstraparu atau atau tanda yang sesuai (bila kultur
diseminata tergantung dari atau hisopatologi dari spesimen
lokasi: pleuritis, perikarditis, pernapasan, harus ada bukti
peritonitis, meningitis, penyakit ekstraparu lainnya)
limfadenopati mediastinal atau
abdominal, osteitis.
TB milier: foto toraks
menunjukkan bayangan milier
kecil atau mikronodul yang

KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF


terdistribusi merata dan difus.
Infeksi TB di KGB servikal
umumnya dianggap sebagai TB
ekstraparu yang lebih ringan
Sarkoma Kaposi Gambaran khas di kulit atau Gambaran makroskopik pada
orofaring berupa bercak datar, endoskopi atau bronkoskopi atau
persisten, berwarna merah mikroskopik melalui histopatologi

20
muda atau merah lebam, lesi
kulit biasanya berkembang
menjadi plak atau nodul
Infeksi sitomegalovirus Retinitis CMV: dapat Histopatologi yang sesuai atau CMV
(retinitis atau infeksi didiagnosis oleh klinisi ditemukan di cairan serebrospinal
CMV pada organ lain berpengalaman. Lesi mata khas melalui kultur atau DNA (PCR)
kecuali liver, limpa dan pada pemeriksaan funduskopi:
KGB) bercak diskret keputihan
pada retina berbatas tegas,
menyebar sentrifugal, mengikuti
pembuluh darah, dikaitkan
dengan vaskulitis retina,
perdarahan dan nekrosis
Toksoplasmosis otak Onset baru gejala neurologis Antibodi toksoplasma positif di serum
fokal atau penurunan DAN
kesadaran (Bila tersedia) lesi massa intrakranial
DAN tunggal atau multipel pada CT atau
Merespons dalam 10 hari MRI
dengan terapi spesifik
Ensefalopati HIV Adanya disfungsi kognitif Diagnosis eksklusi dan, bila ada, CT
dan/atau motorik yang atau MRI
menyebabkan disabilitas pada
aktivitas sehari-hari, progresif
dalam beberapa minggu atau
bulan, tanpa adanya penyakit
atau kondisi lainnya selain
HIV yang dapat menyebabkan
manifestasi klinis tersebut
Kriptokokosis Meningitis: biasanya subakut, Isolasi Cryptococcus neoformans
ekstrapulmonar demam dengan sakit kepala dari lokasi ekstraparu atau tes
(termasuk meningitis) yang bertambah berat, antigen kriptokokus (CRAG) positif di
meningismus, bingung, LCS atau darah
perubahan perilaku, dan
respons dengan terapi
kriptokokus
Infeksi mikobakteria Tidak ada diagnosis klinis Penemuan mikobakterium atipikal
non-tuberkulosis presumtif di feses, darah, cairan tubuh atau
diseminata jaringan lainnya selain paru

KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF


Progressive multi focal Tidak ada diagnosis klinis Kelainan neurologis progresif
leukoencephalopathy presumtif (disfungsi kognitif, bicara/berjalan,
(PML) visual loss, kelemahan tungkai dan
palsi saraf kranial) disertai gambaran
hipodens di substansi alba otak pada
pencitraan, atau PCR poliomavirus
(virus JC) positif di LCS
Kriptosporidiosis kronik Tidak ada diagnosis klinis Identifikasi kista pada pemeriksaan
presumtif mikroskopik feses menggunakan
modifikasi Ziehl-Neelsen
Isosporiasis kronik Tidak ada diagnosis klinis Identifikasi Isospora
presumtif
Mikosis diseminata Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi, deteksi antigen atau
(histoplasmosis, presumtif kultur dari spesimen klinis atau kultur
coccidiomycosis) darah
Septisemia berulang Tidak ada diagnosis klinis Kultur darah

21
(termasuk Salmonella presumtif
non-tifoid)
Limfoma (sel B non- Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi spesimen terkait atau,
Hodgkin atau limfoma presumtif untuk tumor SSP, pencitraan otak
serebral) atau tumor
solid terkait HIV
lainnya
Karsinoma serviks Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi atau sitologi
invasif presumtif
Leishmaniasis Tidak ada diagnosis klinis Histopatologi (penampakan
diseminata atipikal presumtif amastigot) atau kultur dari spesimen
terkait
Nefropati terkait HIV Tidak ada diagnosis klinis Biopsi ginjal
(HIVAN) presumtif
Kardiomiopati terkait Tidak ada diagnosis klinis Kardiomegali dan adanya
HIV presumtif gangguan fungsi ventrikel kiri pada
ekokardiografi
Malnutrisi, wasting dan Penurunan berat badan Tercatatnya berat menurut tinggi
stunting berat yang persisten, tidak disebabkan atau berat menurut umur kurang dari
tidak dapat dijelaskan oleh pola makan yang buruk – 3 SD +/- edema
dan tidak berespons atau inadekuat, infeksi lain
terhadap terapi standar dan tidak berespons adekuat
dengan terapi standar selama
2 minggu. Ditandai dengan :
wasting otot yang berat, dengan
atau tanpa edema di kedua
kaki, dan/atau nilai BB/TB
terletak – 3SD, sesuai dengan
pedoman IMCI WHO

KONDISI KLINIS DIAGNOSIS KLINIS DIAGNOSIS DEFINITIF


Infeksi bakterial Demam disertai gejala atau Diagnosis dengan kultur spesimen
berat yang berulang tanda spesifik infeksi lokal. klinis yang sesuai
(misalnya, empiema, Berespons terhadap antibiotik.
piomiositis, infeksi Episode saat ini ditambah 1
tulang dan sendi, atau lebih episode lain dalam 6
meningitis, kecuali bulan terakhir
pneumonia)
Kandidiasis esofagus Sulit menelan, atau nyeri saat Diagnosis dengan penampilan
(atau trakea, bronkus, menelan (makanan padat atau makroskopik saat endoskopi,
atau paru) cairan). Pada bayi, dicurigai bila mikroskopik dari jaringan atau
terdapat kandidiasis oral dan makroskopik dengan bronkoskopi
anak menolak makan dan/atau atau histologi
kesulitan atau menangis saat
makan

Tabel 4. Klasifikasi Imunodefisiensi

Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4


Imunodefisiensi Jumlah CD4 menurut umur
< 11 bulan 12-35 bulan 36-59 bulan > 5 tahun - dewasa
(%) (%) (%) (sel/mm3)

22
Tidak ada > 35 > 30 > 25 > 500
Ringan 30 – 35 25 – 30 20 – 25 350−499
Sedang 25 – 30 20−25 15−20 200−349
Berat <25 <20 <15 <200 atau <15%

Bagan 3. Alur Tatalaksana HIV di Fasyankes


B. Persiapan Pemberian ARV
Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya
harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah, dikenal dengan highly
active antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART
(antiretroviral therapy) atau terapi AR. Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan
dalam pengobatan ARV dengan pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas,
interaksi obat, kepatuhan, dan harga obat.
Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur hidup dan
keberhasilan terapi. Isi konseling terapi termasuk: kepatuhan minum obat,
potensi/kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak diharapkan atau
terjadinya dinsrom pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome/IRIS)
setelah memulai terapi ARV, dan komplikasi yang berubungan dengan terapi ARV
jangka panjang.
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi
ODHA sebelum inisiasi ARV. Berikut dalam Tabel 5 adalah tes laboratorium yang
direkomendasikan.

23
Tabel 5. Rekomendasi tes laboratorium untuk persiapan inisiasi ART

Fase manajemen HIV Rekomendasi Utama Rekomendasi lain (bila ada)

Setelah diagnosis HIV Jumlah CD4a, skrining HBsAg


TB Anti-HCV
Antigen kriptokokus jika jumlah CD4 ≤
100 sel/mm3d
Skrining infeksi menular seksual
Pemeriksaan penyakit non komunikabel
kronik dan komorbide

Follow up sebelum Jumlah sel CD4


ARV

Inisiasi ARV Jumlah sel CD4 Serum kreatinin dan/atau eGFR, dipstik
urin untuk penggunaan TDF
Hemoglobin
SGPT untuk penggunaan NVP

C. Indikasi Memulai ART


Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk
pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait HIV
dalam populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat dilihat dalam
Tabel 6.
Tabel 6. Rekomendasi Inisiasi ART pada Dewasa dan Anak

Populasi Rekomendasi
Dewasa Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4 ≤
dan anak 350 sel/mm3

> 5 tahun
Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4
• Koinfeksi TBa
• Koinfeksi Hepatitis B
• Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV
• Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif (pasangan serodiskordan),
untuk mengurangi risiko penularan
• LSL, PS, Waria, atau Penasunb
• Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas
Anak < 5 Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4 c
tahun
1. Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4
kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan
TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu
pengobatan kriptokokus.
2. Dengan memperhatikan kepatuhan
3. Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif, maka
harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis konfirmasi
(mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu

24
sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu
dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya
negatif, maka pemberian ARV dihentikan.

D. Paduan ART Lini Pertama


Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum
pernah mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV).
1. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa
Tabel 7. ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk
ibu hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB
ARV lini pertama untuk dewasa
Paduan pilihan TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDTc
Paduan alternatif AZTb + 3TC + EFV (atau NVP)
TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP

a. Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit, atau pada
kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginja
b. Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi
c. Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV

2. Paduan ART lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun

Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa, yaitu menggunakan
kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI dengan pilihan seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. ART lini pertama pada anak <5 tahun

Pilihan NRTI ke-1 Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI


Zidovudin (AZT) Lamivudin (3TC) Nevirapin (NVP)

Stavudin (d4T) Efavirenz (EFV)

Tenofovir (TDF)

D. Pemantauan Setelah Pemberian ARV


Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi respons
pengobatan. Evaluasi ODHA selama dalam pengobatan dilakukan bersama-sama antara
dokter, perawat, dan konselor. Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik,
namun juga psikologis, untuk membantu ODHA dan keluarganya selama menjalani
pengobatan.

1. Jadwal Pemantauan Setelah Pemberian ARV


Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi
ODHA sebelum inisiasi ART dan berguna untuk memonitor respons pengobatan dan
kemungkinan toksisitas obat ARV. Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter
dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ART.

25
Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali atau lebih
sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan. Tes laboratorium yang
direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rekomendasi Tes Laboratorium Setelah Pemberiamn ARV
Fase penatalaksanaan HIV Rekomendasi Yang diperlukan (bila ada atau atas
indikasi)
Selama menggunakan ARV Jumlah sel CD4 (tiap 6 serum kreatinin tiap 6 bulan pada
bulan) penggunaan TDF
Hb pada penggunaan AZT (dalam
3 bulan pertama perlu pemeriksaan
intensif)
Fungsi hati (SGPT/SGOT) tiap 6 bulan
HIV RNA (6 bulan setelah inisiasi ARV,
tiap 12 bulan setelahnyaa)
Gagal terapi Jumlah sel CD4 HBsAg (bila sebelum switch belum
HIV RNA pernah di tes, atau jika hasil baseline
sebelumnya negatif)

2. Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV


Saat ini paduan ART yang dianjurkan (KDT) dalam lini pertama mempunyai
efek samping minimal (jarang terjadi), kurang toksik dan sederhana (sekali sehari),
sehingga akan meningkatkan kepatuhan pengobatan. Efek samping (toksisitas) ARV
dapat terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah inisiasi hingga toksisitas pada
pemakaian lama seperti dalam Tabel 10. Kebanyakan reaksi toksisitas ARV tidak berat
dan dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor dapat
menyebabkan ODHA tidak patuh minum obat, karenanya tenaga kesehatan harus terus
mengkonseling ODHA dan mendukung terapi.
Prinsip penanganan efek samping akibat ARV adalah sebagai berikut:

a. Tentukan beratnya toksisitas

b. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi
karena (satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya
c. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier
jika timbul ikterus)
d. Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi. Penanganan secara
umum adalah:
a. Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat
ARV, beri terapi suportif dan simtomatis; berikan lagi ARV dengan
paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1 ARV untuk obat
yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil
b. Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan
pemberian ARV secara keseluruhan
c. Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati
perifer) memerlukan penggantian obat. Untuk reaksi lain, pertimbangkan
untuk tetap melanjutkan pengobatan; jika tidak ada perubahan dengan
terapi simtomatis, pertimbangkan untuk mengganti 1 jenis obat ARV

26
d. Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi.
e. Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi
ringan dan sedang
f. Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang
mengancam jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing-masing obat untuk
menghindari kejadian resistansi.

Berikut dalam Tabel 12 adalah toksisitas ARV lini pertama yang mungkin
terjadi,faktor risiko, dan pilihan substitusinya.
Tabel 12. Toksisitas ARV lini pertama dan pilihan obat substitusi pada dewasa dan anak
usia 5 (lima) tahun ke atas

ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi

TDF Disfungsi tubulus Sudah ada penyakit ginjal sebelumnya AZT atau d4T
Renalis Usia lanjut
Sindrom Fanconi IMT < 18,5 atau BB < 50 kg
DM tak terkontrol
Hipertensi tak terkontrol
Penggunaan bersama obat nefrotoksik
lain atau boosted PI

Menurunnya Riwayat osteomalasia dan fraktur


densitas mineral patologis
Tulang Faktor risiko osteoporosis atau bone-loss
lainnya

Asidosis laktat Penggunaan NRTI yang lama


atau hepatomegali Obesitas
dengan steatosis

Eksaserbasi Jika TDF dihentikan karena toksisitas Gunakan alternatif


hepatitis B (hepatic lainnya pada koinfeksi hepatitis B obat hepatitis lainnya
flares) seperti Entecavir

AZT Anemia atau anemia atau neutropenia sebelum mulai Dewasa: TDF
neutropenia berata, terapi Anak: d4T atau ABC
miopati, lipoatrofi Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 (dewasa)
Atau
Lipodistrofi

Intoleransi saluran Dewasa: TDF


cerna berat Anak: d4T atau ABC

Asidosis laktat IMT > 25 atau BB > 75 kg (dewasa) Dewasa: TDF


atau hepatomegali Penggunaan NRTI yang lama Anak: ABC, atau LPV/r
dengan steatosis jika ABC tak tersedia

ARV Tipe toksisitas Faktor risiko Pilihan substitusi

d4T Neuropati perifer, Usia tua Dewasa: AZT atau


lipoatrofi atau Jumlah CD4 ≤ 200 sel/mm3 (dewasa) TDF
Lipodistrofi Penggunaan bersama INH atau ddI Anak: AZT atau ABC,
pada asidosis laktat
Asidosis laktat IMT > 25 (atau BB > 75 kg) (dewasa)

27
gunakan ABC
atau hepatomegali Penggunaan nukleosida analog yang
dengan steatosis, lama
pankreatitis akut

EFV Toksisitas Sudah ada gangguan mental atau NVP


susunan saraf depresi sebelumnya Jika ODHA tidak dapat
pusat persisten Penggunaan siang hari mentoleransi NNRTI
(seperti mimpi lain, gunakan LPV/rc
buruk, depresi, atau pada anak dapat
kebingungan, juga digunakan 3
halusinasi, psikosis) NRTIf jika LPV/rc tidak
tersedia

Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit hati sebelumnya


Koinfeksi HBV dan HCV
penggunaan bersama obat hepatotoksik
lain

Kejang Riwayat kejang

Hipersensitivitas Faktor risiko tidak diketahui


obatg Ginekomastia
pada pria

NVP Hepatotoksisitas Sudah ada penyakit liver sebelumnya EFV


Koinfeksi HBV dan HCV Jika ODHA tidak dapat
penggunaan bersama obat hepatotoksik mentoleransi NNRTI
lain lain, gunakan LPV/rc
CD4 >250 sel/mm3 pada wanita atau pada anak dapat
CD4 >400 sel/mm3 pada pria digunakan 3 NRTIf

Hipersensitivitas Faktor risiko tidak diketahui


obat

3. Pemantauan Sindroma Pulih Imun


Penting sekali melakukan pemantauan dalam 6 bulan pertama terapi ARV.
Perbaikan klinis dan imunologis diharapkan muncul dalam masa pemantauan ini, selain
untuk mengawasi kemungkinan terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution
Inflammatory Syndrome/IRIS) atau toksisitas obat. Pemantauan awal dan pemantauan
selanjutnya harus selalu dilakukan untuk memastikan keberhasilan terapi ARV,
memantau efek samping obat dan perlu tidaknya substitusi, mendeteksi masalah terkait
kepatuhan, dan menentukan kapan terapi ARV harus diganti (switch) ke lini selanjutnya.
Kepatuhan pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku ODHA dalam
menjalani pengobatan, sesuai dengan yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Untuk
terapi ARV, kepatuhan yang tinggi sangat diperlukan untuk menurunkan replikasi virus
dan memperbaiki kondisi klinis dan imunologis; menurunkan risiko timbulnya resistansi
ARV; dan menurunkan risiko transmisi HIV. Salah satu yang perlu dilakukan adalah
dukungan kepatuhan, tidak selalu penggantian ke obat ARV alternatif.

28
Berbagai faktor seperti akses pengobatan, obat ARV dan faktor individu
mempengaruhi kepatuhan terhadap ARV. Faktor individu dapat berupa lupa minum
obat, bepergian jauh, perubahan rutinitas, depresi atau penyakit lain, bosan minum obat,
atau penggunaan alkohol dan zat adiktif. Faktor obat ARV meliputi efek samping,
banyaknya obat yang diminum dan restriksi diet. Pendekatan khusus perlu diperhatikan
pada populasi tertentu seperti wanita hamil dan menyusui, remaja, bayi dan anak-anak,
serta populasi kunci (LSL, PS, dan Penasun).
Untuk menjaga kepatuhan secara berkala perlu dilakukan penilaian kepatuhan
dan jika diperlukan dapat dilakukan konseling ulang.
4. Diagnosis kegagalan terapi ARV
Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis,
imunologis, dan klinis, seperti dalam Tabel 13. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis,
namun bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis.
Sebaiknya tidak menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini
selanjutnya lebih dini.
ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal
terapi dalam keadaan kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau
berhenti minum obat, penilaian kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara
teratur minimal 3-6 bulan seperti dalam Bagan 4.
Tabel 13. Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan (Switch) ARV
Kegagalan Definisi Keterangan
Gagal klinis Dewasa dan remaja: Kondisi klinis harus dibedakan dengan
Munculnya infeksi oportunistik baru IRIS yang muncul setelah memulai terapi
atau berulang (stadium klinis WHO ARV.
4) Untuk dewasa, beberapa stadium klinis
Anak: WHO 3 (TB paru atau infeksi bakteri berat
Munculnya infeksi oportunistik baru lainnya) atau munculnya EPP kembali
atau berulang (stadium klinis WHO dapat mengindikasikan gagal terapi.
3 atau 4, kecuali TB)
Gagal Dewasa dan anak > 5 tahun Tanpa adanya infeksi lain yang
imunologis CD4 turun ke nilai awal atau lebih menyebabkan penurunan jumlah CD4
rendah lagi Kriteria klinis dan imunologis memiliki
ATAU sensitivitas rendah untuk mengidentifikasi
CD4 persisten di bawah 100 gagal virologis, terlebih pada kasus yang
sel/mm3 setelah satu tahun memulai ARV dan mengalami gagal terapi
pengobatan pada jumlah CD4 yang tinggi. Namun saat
ATAU ini belum ada alternatif yang valid untuk
CD4 turun >50% dari jumlah CD4 mendefinisikan gagal imunologis selain
tertinggi kriteria ini.

Anak usia di bawah 5 tahun


CD4 persisten di bawah 200 sel/
mm3 atau < 10%
Gagal Pada ODHA dengan kepatuhan Batasan untuk mendefinisikan kegagalan
virologis yang baik, viral load di atas virologis dan penggantian paduan ARV
1000 kopi/mL berdasarkan 2x belum dapat ditentukan
pemeriksaan HIV RNA dengan
jarak 3-6 bulan

29
Bagan 4. Alur Pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV

BAB IV
INFEKSI OPORTUNISTIK

A. Pencegahan, skrining, dan penanganan Infeksi Oportunistik yang Umum


1. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol

30
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV.
Tabel. Rekomendasi Pemakaian Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Kriteria Kriteria
Usia Dosis Monitoring
Inisiasi pemberhentian
Semua bayi
Sampai resiko
dimulai usia 6
Bayi Dosis Trimetoprim 4 Transmisi HIV Dilihat klinis
minggu setelah
terpajan – 6 mg / kgBB sekali berakhir atau dengan interval
lahir
HIV sehari ( sesuai IDAI ) infeksi HIV sudah tiap 3 bulan
disingkirkan
Semua Bayi Sampai usia 5
Bayi HIV tahun tanpa melihat
< 1 tahun % CD4 atau gejala
klinis
Stadium Klinis
WHO 2,3 dan 4 Dosis trimetoprim 5 Dilihat klinis
tanpa melihat % mg /kg/BB sekali dengan interval
Anak CD4 atau sehari tiap 3 bulan
Bila CD4 mencapai
HIV 1 – stadium klinis
> 25 %
5 tahun WHO
berapapun dan
CD4 <25 %
atau semuanya
Stadium klinis Juka CD4 ≥200
WHO sel/mm³ setelah 6
berapapun dan bulan ARV jika
CD4 < 200 Anak : Trimetoprim 5 tidak tersedia
sel/mm³ Atau mg/kgBB sekali pemeriksaan CD4, Dilihat klinis
>5 Tahun
stadium klinis sehari PPK diberhentikan dengan interval
- Dewasa
WHO 2,3, atau Dewasa : 960 mg setelah 2 tahun tiap 3 bulan
4 sekali sehari ART
Tuberkulosis Sampai pengobatan
aktif berapapun TB selesai apabila
nilai CD4 CD4 > 200 sel/mm³

Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 dibawah 200
sel/mm³, dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal
tersebut berguna untuk tes kepatuhan ODHA dalam minum obat dan menyingkirkan
efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat
bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping kotrimoksasol.
2. Tuberkulosis
Gejala klinis TB pada ODHA tidak spesifik. Pada sebagian besar ODHA gejala
klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan,
sedangkan keluhan batuk pada ODHA seringkali tidak spesifik seperti yang dialami
terduga TB pada umumnya.

31
Bagan. Alur diagnosis TB paru pada ODHAdi fasyankes dengan akses tes cepat
Xpert MTB/RIF

Berdasarkan International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) prinsip tata


laksana pengobatan TB pada ODHA sama seperti pasien TB umumnya. Obat TB pada
ODHA sama efektifnya dengan pasien TB umumnya.
3. Infeksi NeuroAIDS
NeuroAIDS adalah istilah umum untuk kelainan pada sistim saraf yang
disebabkan oleh atau yang berhubungan dengan infeksi HIV. Pada bagian ini yang akan
dibicarakan terutama aspek infeksi oportunistik dari NeuroAIDS. Infeksi oportunistik
otak seringkali timbul pada pada ODHA dalam stadium lanjut dengan jumlah CD4 di
bawah 200 sel/mm3. Infeksi oportunistik NeuroAIDS juga terjadi sebagai manifestasi
sindrom pulih imun (immune reconstitution inflammatory syndrome/IRIS). Dari puluhan
penyebab infeksi otak oportunistik yang mungkin dijumpai di Indonesia, terdapat tiga
mikroorganisme yang sangat sering muncul, yaitu parasit Toxoplasma gondii, jamur
Cryptococcus neoformans dan Mycobacterium tuberculosis. Infeksi lainnya seperti
ensefalitis CMV, ensefalitis HSV, meningitis bakterialis akut, abses serebri (bakterial)
dan berbagai penyebab lainnya memiliki frekuensi yang lebih jarang.
a. Toksoplasmosis Otak
Toksoplasmosis otak adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
Toxoplasmagondii varian gondii dan atau gatii di dalam sistem saraf manusia.
Kelainannya dapat berupa ensefalitis (radang otak) atau abses dan merupakan
reaktivasi dari fokus laten.

Tabel. Terapi kombinasi toksoplasmosis otak

32
Obat Toxoplasmosis Dosis
Loading 200 mg PO selanjutnya:
BB <50 kg: 2 x 25 mg per hari PO
BB >50 kg: 3 X 25 mg per hari PO
Pirimetamin
Dapat disertai dengan suplemen asam folinat 10 -20 mg/hari
untuk mencegah efek samping anemia akibat pirimetamin

4 X 600 mg per hari PO


Klindamisin

b. Meningitis TB
Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi tuberkulosis paru yang paling
berat. Pengobatan meningitis TB adalah sama dengan pengobatan TB extra
paru yang berat.
Tabel. Panduan terapi meningitis TB pada orang dewasa
Tahapan Dosis
Fase Intensif Isoniazid ( 5 mg/kg )PO 300mg
(2 bulan ) setiap Rifamphisin ( 10 mg/kg )PO 450 mg
hari . Pyrazinamid ( 25mg/KgBB, maksimal 2gr/ hari )
Ethambutol ( 20mg/KgBB, maksimal 1,2 g/hari)
Streptomisin IM ( 20 mg/KgBB, maksimal 1g/hari)
Diberikan jika ada riwayat pemberian anti TB sebelumnya.
Fase Lanjutan Isoniazid ( 5 mg/kg ) Po 300mg
(7 – 10 bulan ) Rifamphisin ( 10 mg/Kg )PO 450 mg
Setiap hari

c. Meningitis Kriptokokus
Diagnosis pasti ditegakkan jika didapatkan jamur dengan bentuk khas (budding)
di dalam LCS dengan pewarnaan Tinta India. Pemeriksaan jamur ini dapat pula
dilakukan dengan pemeriksaan antigen (cryptococcal antigen/CrAg),
pemeriksaan antibodi (cryptococcal latex agglutination test/CLAT), kultur atau
pemeriksaan histologi.
Pengobatan meningitis kriptokokus fase akut:
• Minggu 1- 2
o Amfoterisin-B 0,7-1 mg/kg per hari dalam infus dekstrosa 5 % dan
diberikan selama 4-6 jam (jangan dilarutkan dengan NaCl).
o Dikombinasi dengan flukonazol 800 mg per hari PO.

• Minggu 3-10
• Flukonazol 800 mg per hari PO.

d. Hepatitis B dan C
Koinfeksi HIV-Hepatitis B: Adanya koinfeksi HIV dengan HBV secara bermakna
dapat mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepatitis B. ODHA dengan infeksi
hepatitis B kronik memiliki jumlah HBV DNA yang lebih tinggi. Adanya HIV

33
berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan karsinoma
hepatoseluler. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit hati pada
ODHA dengan koinfeksi HBV disebabkan oleh beberapa hal, yaitu peningkatan
replikasi virus hepatitis B, penurunan kejadian bersihan spontan HBeAg, peningkatan
risiko infeksi hepatitis B kronik, dan peningkatan progresivitas penyakit hati.

Bagan. Algoritma manajemen koinfeksi HIV- Hepatitis B


Koinfeksi HIV-hepatitis C: Adanya koinfeksi HIV dengan hepatitis C (HCV)
dapat mempengaruhi perjalanan alamiah virus hepatitis C. Tingginya angka
morbiditas dan mortalitas terkait penyakit hati pada ODHA koinfeksi HCV
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain replikasi HCV lebih tinggi,
kemungkinan bersihan HCV (menjadi tak terdeteksi lebih rendah), dan
progresivitas penyakit hati lebih cepat. Pengobatan standar untuk HCV kronis
adalah pemberian kombinasi Pegylated Interferon (peg-IFN) dan Ribavirin
(RBV).

e. Infeksi Menular Seksual dan Kanker Serviks


1) Infeksi Menular Seksual
Beberapa Infeksi Menular Seksual (IMS) dapat memfasilitasi transmisi
infeksi HIV. Baik laki-laki atau perempuan, IMS, terutama yang berupa

34
ulkus genital, dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV.
Manifestasi IMS pada infeksi HIV menjadi tidak khas, umumnya lebih parah,
lebih sukar sembuh. Misalnya, ulkus pada sifilis primer yang umumnya
soliter, bisa menjadi multipel, bentuk tidak bulat, bisa iregular, indurasi tidak
terlalu jelas, dapat disertai nyeri, dan kadang disertai tanda-tanda infeksi
susunan saraf pusat. Herpes genitalis bisa lebih nyeri dan lesinya lebih luas.
Kutil kelamin dapat berukuran besar atau berjumlah banyak.
2) HPV dan Kanker Serviks
Saat ini HPV merupakan penyebab infeksi menular seksual yang paling
sering. ODHA perempuan dengan HIV positif dua kali lebih berisiko terkena
infeksi HPV dibandingkan yang HIV negatif (64% vs 28%). Insiden kanker
serviks 8,8 kali lebih tinggi pada perempuan dengan HIV dibandingkan
dengan populasi umum. Skrining HPV merupakan salah satu pemeriksaan
ginekologis paling penting pada perempuan dengan HIV, terutama jika
berperilaku seksual berisiko tinggi, mempunyai kanker atau high-grade
cervical atau vulval lesions, kondiloma akuminatum, mempunyai pasangan
seksual dengan kondiloma akuminatum.
f. Diagnosis dan tatalaksana infeksi oportunistik lainnya
Tabel. Diagnosis dan tatalaksana Infeksi Oportunistik Lainnya
Infeksi Oportunistik Terapi
Terapi pilihan: Kotrimoksasol (TMP 15-20 mg + SMZ
75-100
mg/kg/ hari) dibagi dalam 3-4 dosis selama 21 hari
Terapi alternative
• Klindamisin 600-900 mg IV setiap 6 sampai 8 jam
atau 300-
450 mg PO 4 kali sehari + primakuin 15-30 mg oral
sekali
Pnemonia Pneumocystis
sehari selama 21 hari bila ODHA alergi terhadap sulfa
jiroveci (PCP)
• Untuk ODHA yang parah dianjurkan pemberian
prednisone
2x40 mg PO selama 5 hari, selanjutnya 4x40 mg/hari
selama 5 hari, kemudian 20 mg/hari sampai terapi
selesai.
Metilprednisolon IV dapat diberikan dengan dosis
75% dari
dosis prednison.
Kandidiasis Dewasa:
Kandidiasis oral:
• suspensi nistatin kumur 4x 4-6 ml PO selama 7 – 14
hari
• flukonazol kapsul 4 x 100-400 mg/hari PO selama 7-14
hari
• itrakonazol 4 x 200 mg/hari PO selama 7-14 hari
Kandidiasis esofagus:
• Flukonazol 4 x 200 mg/hari PO atau IV selama 14-21
hari
• Itrakonazol 4 x 200 mg/hari PO selama 14-21 hari

35
• Amfoterisin B IV 0,6-1 mg/kg/hari selama 14-21 hari
Anak:
Kandidiasis oral:
• Nistatin 400.000-600.000 unit, 5x/hari, selama 7 hari..
• Bila tidak ada respons dalam 7 hari berikan flukonazol
oral 3-6 mg/kgBB, 1x/hari, selama 14 hari.
Kandidiasis esofagus:
flukonazol oral 3 – 6 mg/kgBB, 1x/hari selama 14 -21
hari
Dewasa :
asiklovir 5 x 200 mg/hari PO atau 3 x 400 mg/hari PO
selama 7 hari.
Infeksi primer : 2x 500 mg/hari sampai semua lesi kering
dan menjadi krusta.
Infeksi sekunder : 2x 500 mg dalam 24 jam pertama bila
dimulai dalam 24 jam pertama sejak muncul tanda dan
gejala, sampai semua lesi kering dan menjadi krusta
Herpes simpleks
Anak :
• HSV gingivostomatitis : Asiklovir oral 20
mg/kgBB/dosis, 3x/hari,atau asiklovir IV 5 – 10
mg/kgBB/dosis,3x/hari selama 7 – 14 hari.
• HSV diseminata atau ensefalitis : Asiklovir IV 10
mg/kg/dosis, atau 500 mg/m²/dosis, 3x/hari selama 21
hari.
Dewasa :
Infeksi primer ( Varisela ) dan herpes zoster rekuren,
terlokalisasi :
• Asiklovir IV 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
• Asiklovir PO 5 x 800 mg/hari
• Vasiklovir 3x1000 mg/hari
Herpes zoster rekuren,deseminata: asiklovir IV 30
mg/kbBB terapi diberikan minimal 7 hari atau sampai
Herpes zoster seluruh lesi kering dan menjadi krusta.
Anak :
• Infeksi varisela primer : Asiklovir IV 10
mg/kgBB/dosis, atau 500 mg/m²/dosis, 3x /hari selama 7
hari pada anak imunosupresi sedang sampai
berat.Formulasi oral hanya digunakan pada
imunosupresi ringan.
• Herpes Zooster : Asiklovir oral 20 mg/kgBB/dosis,
4x/hari ( maksimum 800mg/dosis )selama 7 hari.
Dewasa :
Pilihan terapi
• Klaritomisin 2x500 mg+ etambutol 15 mg/kgBB, atau
• Azitromisin 1x 500 mg + etambutol 15 mg/kgBB
Mycrobacterium Avium Obat tambahan untuk kuman resisten makrolid
Complex ( MAC) • Moksifloksasin 1x400 mg
Anjuran : Penghentian terapi kronik dapat dihentikan
setelah 12 bulan terapi tanpa gejala dan tanda MAC,
disertai peningkatan CD4> 100 sel/uL menetap selama 6
bulan dengan pemberian ARV.
Anak:
• Terapi minimal dengan 2 obat: klaritromisin 7,5 – 15
mg/kgBB, 2x/hari ( Maksimum 500 mg/dosis ),
ditambah etambutol 15 – 25 mg/kgBB, 1x/hari
( maksimum 1 g/dosis )

36
• Dipertimbangkan menambah obat ke tiga,seperti
amikasin atau ciprofloksasinuntuk kasus berat.lama
pengobatan : minimal 12 bulan.
Dewasa :
Gejala menghilang seiring dengan membaiknya status
imunitas dengan pemberian ARV, Paromomisin dapat
ditambahkan.
Kriptosporidiosis Anak :
• ARV yang efektif merupakan satu – satu nya terapi
yang mengontrol kriptosporidiosis persisten
• Terapi suportif meliputi hidrasi, koreksi abnormalitas
elektrolit dan suplemenitas nutrisi.

Terapi pilihan :
Kotrimoksasol 2x960 mg PO selama 10 hari, biasanya
membaik setelah pemberian kotrimoksasol 2 – 3 hari
Terapi alternative :
Isosporiasis • Pirimetamin 50 – 75 mg/hari PO + asam leukovin 5 – 10
mg/hari selama 10 hari
• Cyprofloksasin 2x 500 mg PO selama 10 hari
• Fluorokuinolon lain
Terapi suportif : Cairan dan majemen nutrisi, ARV
Terapi pilihan :
• Fase akut berat : Amfoterisin B IV 0,7 mg/kgBB/hari
selama 3 – 10 hari
• Fase lanjutan : Itrakonazol 2x 200mg PO selama 12
minggu, kemudian terapi rumatan dengan itrakonazol 2x
200mg atau flukonazol 4x 800 mg PO.
• Infeksi ringan sedang: Itrakonazole 2x200mg PO
Histoplasmosis
selama 12 minggu.
• Meningitis : Amfoterisin B IV 3 mg/kg/hari,dilanjutkan
dengan itrakonazole 4x200mg PO
Terapi Alternatif :
• Infeksi Akut : Itrakonazol 400 mg IV/hari
• Infeksi Ringan : Flukonazole 1x 800 mg PO ( kurang
efektif dibandingkan itrakonazol)
Terapi inisial:
Terapi pilihan:
• Flukonazol 1x 400-800 mg/hari PO atau
itrakonazol 2 x 200 mg PO
• Meningitis : flukonazol 1 x 400 -800 mg/hari IV
koksidioidomikosis atau PO Terapi alternatif : Amfoterisin B IV 0,5-1
mg/kgBB/hari sampai didapatkan perbaikan klinis
Terapi rumahan: Flukonazol 1 x 400 mg/hari atau
itrakonazol 2 x
200-400 mg/hari PO.

Infeksi sitomegalovirus (CMV) Dewasa: salah satu dari terapi dibawah ditambah dengan
inisiasi ARV lebih cepat.
Retinitis
Terapi pilihan :
Lesi dengan ancaman kebutaan : Gansiklovir 2 mg
intravitreal sebanyak 1-4 dosis dalam periode 7-10 hari
ditambah salah satu dari terapi sistemik. Pilihannya adalah
valgansiklovir 2 x 900 mg PO saat makan selama 14-21
hari, selanjutnya 900 mg/hari.

37
Lesi perifer : valgansiklovir 2 x 900 mg PO saat makan
selama 14-21 hari, selanjutnya 900 mg/hari.
Terapi alternatife :
 Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 14-21 hari,
kemudian valgansiklovir 4 x 900 mg PO
 Valgansiklovir 2 x 900 mg PO selama 21 hari,
selanjutnya 900 mg/hari
Infeksi gastrointestinal :
 Valgansiklovir 2 x 900 mg/hari PO saat makan
selama 3-4 minggu
 Gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB selama 3-4 minggu
Infeksi sistem saraf : gansiklovir IV 2 x 5 mg/kgBB
selama 3-6 minggu, selanjutnya rumatan dengan
gansiklovir IV atau valgansiklovir PO
Pneumonitis :
 Gansiklovir 2 x 5 mg/kgBB selama >21 hari, atau
 Valgansiklovir 2 x 900 mg PO selama 21 hari

Anak :
Gansiklovir IV 5 mg/kgBB/dosis, 2x/1hari selama 14-21
hari diikuti dengan terapi pemeliharaan seumur hidup.
Bila tidak tersedia gansiklovir, pemberian ARV segera
dimulai.
Terapi ARV yang efektif dan steroid topical potensi
sedang sampai tinggi disertai antihistamin hingga gejala
Erupsi papular pruritik
menghilang seiring dengan membaiknya status imunitas
dengan pemberian ARV.
Steroid topikal
 Steroid potensi sedang seperti triamsinolon 0,1 %
hidrokortison 2,5% untuk wajah + krim
ketokonazol 2% 2x sehari sampai lesi hilang
Dermatitis seboroik sampo :
 Selenium sulfida (selsun) atau zinc pyrithione
(head & shoulders) setiap hari atau sampo
ketokonazol 2x/minggu.

Terbinafin 4 x 250 mg PO selama 3 bulan


Onikomikosis superficial Itrakonazol 4 x 400 mg PO, diberikan 7 hari dalam
sebulan selama 3 bulan
Tata laksana lesi tunggal berupa kuretase, krioterapi,
elektrokauterisasi, kauterisasi kimiawi (asam
Moluskum kontagiosum
trikloroasetat, podofilin, tretinoin)
Lesi biasanya menghilang dengan terapi ARV

BAB V
PROFILAKSIS PASCA PAJANAN HIV (PPP),
PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK (PPIA), &
PROGRAM PENANGGULANGAN NAPZA

38
1. Profilaksis Pasca Pajanan HIV
Pencegahan pasca pajanan (PPP) adalah pemberian ARV dalam waktu singkat
untuk mengurangi kemungkinan didapatnya infeksi HIV setelah terpapar ketika bekerja
atau setelah kekerasan seksual. PPP sebaiknya ditawarkan pada kedua kelompok pajanan
tersebut dan diberikan sesegera mungkin dalam waktu 72 jam setelah paparan. Penilaian
kebutuhan PPP harus berdasarkan status HIV sumber paparan jika memungkinkan, dan
pertimbangan prevalensi dan epidemiologi HIV di tempat tersebut. PPP tidak diberikan
jika orang yang berisiko terpapar sebenarnya HIV positif atau sumber paparannya HIV
negatif. Lamanya pemberian PPP HIV adalah 28-30 hari. Pilihan obat PPP harus
didasarkan pada paduan ARV lini pertama yang digunakan, juga mempertimbangkan
kemungkinan resistansi ARV pada sumber paparan. Oleh karena itu, sebelum pemberian
PPP sebaiknya diketahui jenis dan riwayat ARV sumber paparan, termasuk
kepatuhannya.
Saat ini PPP juga dianjurkan untuk diberikan pada kasus kekerasan seksual.
Mengingat banyaknya kesulitan menyelesaikan paduan PPP ini, diperlukan dukungan
dan konseling kepatuhan sebelum dan selama menggunakan ARV untuk PPP.
Tabel. Pilihan Paduan untuk PPP

2. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)


Tanpa upaya pencegahan, 20-50% bayi dari ibu HIV dapat tertular HIV, dengan
perincian risiko 5-10% selama masa kehamilan, 10-20% pada saat persalinan, dan 5-
20% pada saat menyusui. Dengan upaya yang tepat, risiko penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%. Bahkan, kurang dari 1% jika viral load ibu sudah tidak
terdeteksi (undetected) dalam terapi antiretroviral sebelum kehamilan.
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV
secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong) sebagai
berikut:
Prong 1: pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular HIV.
Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV.
Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya.
Prong 4: pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV

39
beserta anak dan keluarganya.
Untuk menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia subur, layanan PPIA
dilaksanakan melalui layanan kesehatan reproduksi, khususnya layanan Kesehatan Ibu
dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).
Pada layanan KIA, karena mempunyai sasaran dan pendekatan yang serupa, layanan
PPIA saat ini diintegrasikan dengan upaya pencegahan sifilis kongenital. Pintu masuk
layanan PPIA adalah tes HIV pada ibu hamil. Bersamaan dengan pemeriksaan rutin
lainnya pada layanan antenatal terpadu, tes dapat dilakukan mulai dari kunjungan
pertama hingga menjelang persalinan.
Setelah diketahui status HIV positif pada ibu hamil, upaya pencegahan
selanjutnya bertujuan agar bayi yang dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi
tetap hidup dan sehat. Upaya ini terdiri dari: 1) pemberian ARV pada ibu hamil; 2)
persalinan yang aman; 3) pemberian ARV pencegahan pada bayi; dan 4) pemberian
nutrisi yang aman pada bayi.
a. Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV
Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV
yang dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, option B+). Pemeriksaan
CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan, bukan sebagai acuan untuk
memulai terapi. Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada
orang dewasa lainnya. Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada
trimester pertama, belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik
dibandingkan bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012 WHO
mengeluarkan kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada ibu hamil.
Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV berapapun
usia kehamilan. Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat
diteruskan tanpa perlu diganti. ARV tetap diteruskan setelah melahirkan hingga
seterusnya.
b. Persalinan yang aman
Persalinan untuk ibu dengan HIV dapat berupa persalinan per vaginam maupun
seksio sesarea. Persalinan seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk penularan
terhadap bayi, namun perlu dipertimbangkan risiko lainnya. Persalinan per
vaginam dapat dipilih jika ibu sudah mendapat pengobatan ARV dengan teratur
selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang dari 1.000 kopi/mm3
pada minggu ke-36. Persalinan per vaginam maupun seksio sesarea tersebut
dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang mampu tanpa memerlukan alat
pelindung diri khusus, selama fasilitas tersebut melakukan prosedur
kewaspadaan standar.
c. Pemberian ARV pencegahan pada bayi

40
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun
susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama enam minggu.
d. Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai pilihan nutrisi yang aman bagi
bayinya sebelum melahirkan. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau
susu formula saja (bukan mixed feeding). Ibu dengan HIV boleh memberikan
susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya,
jika seluruh syarat AFASS (affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana,
acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat
dipenuhi. Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO
menganjurkan pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu
mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.

Bagan. Algoritma Rekomendasi ARV pada Ibu Hamil dan Menyusui


3. Program Penanggulangan NAPZA
Konseling HIV pada Pengguna NAPZA

Dalam konseling HIV ini konselor memiliki tugas sebagai berikut:

 Mengkaji dan mendiskusikan penggunaan Napza yang memperberat terjadinya


gangguan pikiran dan perasaan dan akan menghambat kemampuan penurunan
pencegahan
 Mendiskusikan tentang interaksi silang antara Napza yang digunakan, ARV, obat
infeksi dan farmakoterapi lain yang digunakan dalam pengobatan (termasuk
metadon, buprenorfina dan obat-obat psikiatri)

41
 Mendiskusikan strategi pengurangan risiko dari hubungan seksual, dan
penggunaan alat suntik bersama (termasuk kapas swab, sendok, dan lainnya)
terkait penggunaan napza
 Mendiskusikan strategi penurunan penularan lewat pembuatan tato, dan
penindikan bagian tubuh.
 Mendorong pasien untuk mengikuti terapi rehabilitasi Napza sesuai jenis zat
yang digunakannya, seperti terapi rumatan metadon atau buprenorfina untuk
mereka yang ketergantungan opioida, atau terapi lainnya termasuk yang
berorientasi abstinensia melalui program rehabilitasi rawat inap jangka panjang.
 Mengkaji permasalahan lain yang dialami pasien, seperti gangguan kejiwaan,
masalah legal, ketiadaan dukungan keluarga/sosial, dan permasalahan lain yang
dapat menghambat adanya perubahan perilaku.

ODHA yang menggunakan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat


Adiktif Lainnya) akan mengalami gangguan yang terkait dengan penggunaan NAPZA
tersebut, berupa ketergantungan NAPZA, intoksikasi dan sindrom putus NAPZA.
Penggunaan NAPZA dapat meningkatkan risiko untuk terinfeksi HIV, baik dengan
menggunakan suntikan ataupun yang bukan suntikan. NAPZA golongan stimulan dapat
meningkatkan nafsu seksual yang seringkali menimbulkan hubungan seksual tidak
aman. Pada ODHA yang masih menggunakan NAPZA juga seringkali memiliki
kepatuhan yang buruk. WHO merekomendasikan penatalaksanaan penggunaan NAPZA
pada ODHA tidak boleh ditunda. Penatalaksanaan penggunaan NAPZA dan pemberian
ARV dapat berjalan bersamaan. Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi
ARV pada ODHA dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi
umum. Perhatian khusus harus diberikan pada interaksi obat antara ARV dengan obat
yang diberikan untuk mengatasi penggunaan NAPZA, misalnya, metadon. Oleh karena
itu penting untuk melakukan monitoring terhadap efektivitas dan efek samping obat.
Pemantauan yang baik akan dapat terlaksana dengan optimal dengan pengembangan
program terpadu untuk layanan ketergantungan NAPZA Terapi ARV untuk ODHA yang
menggunakan Metadon Pemberian ARV bukan merupakan suatu kontraindikasi pada
ODHA dalam substitusi Metadon.

Hal yang perlu diperhatikan adalah interaksi dan efek samping obat:

 Efavirenz dan Nevirapin dapat mengurangi kadar Metadon dalam darah. Kadar
Metadon dalam darah dapat menurun hingga 60%. Oleh karena itu seringkali
diperlukan peningkatan dosis Metadon untuk menangani gejala putus zat yang
timbul
 Ritonavir dapat menurunkan kadar Metadon hingga 36% dalam darah

42
 Metadon dapat meningkatkan kadar AZT dalam darah, sehingga
direkomendasikan pemberian AZT dengan dosis setengah dari biasa pada ODHA
dalam substitusi Metadon.
 Pada ODHA dalam substitusi Metadon yang mendapatkan ARV, maka
peningkatan dosis dilakukan lebih cepat tergantung dari keluhan dan gejala klinis
 Pada ODHA dengan substitusi Metadon yang kemudian mendapatkan
Rimfapisin juga perlu diperhatikan interaksi obat dan efek samping yang
ditimbulkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar Metadon dalam darah
sehingga dibutuhkan penyesuaian pemberian dosis Metadon sesuai dengan gejala
klinis yang ditimbulkan dan HIV.

43
BAB V
PELAYANAN HIV AIDS DI RS Dr. SITANALA

1. Kebijakan dan Ruang Lingkup Pelayanan


Kebijakan dan ruang lingkup/batasan yang ditetapkan RS Sitanala dalam
melaksanakan Pelayanan HIV AIDS melalui kebijakan tertulis dan batasan/ruang
lingkup pelayanan sebagai berikut :
1. Ruang lingkup pelayanan HIV AIDS di RS Dr. Sitanala adalah pelayanan tingkat
konseling VCT, PITC, dan pelayanan rujukan.
2. Dalam memberikan pelayanan kesehatan HIV AIDS, RS Dr. Sitanala
membentuk tim pelayanan HIV AIDS RS Dr. Sitanala yang melakukan tugas
antara lain sebagai berikut:
 Menyusun Standar Prosedur Operasional
 Menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai dengan batasan
pelayanan di atas.
 Menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dokter ahli, dokter/dokter gigi,
perawat, apoteker, analis laboratorium,konselor dan manajer kasus sebagai tim
konseling /VCT
 Membentuk tim kelompok kerja/pokja khusus HIV dan AIDS yang terdiri dari
tenaga medis dan non medis yang telah dilatih melalui pelatihan khusus HIV
dan AIDS.
 Melaporkan temuan kasus HIV AIDS di RS Dr. Sitanala kepada Dinas
Kesehatan Kota Tangerang.
 Mempersiapkan fungsi pelayanan VCT dan rujukan di RS Dr. Sitanala.
3. Membuat kerjasama rujukan dengan RS lain yaitu RSUD Tangerang
4. Tatalaksana pada penderita infeksi oportunistikberdasarkan permenkes no 87
tahun 2014 tentang

1.1 PELAYANAN HIV-AIDS RSK Dr. Sitanala


Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4 pilar, yang
semuanya menuju pada paradigma Zero new infection, Zero AIDS-related death
dan Zero Discrimination.

Empat pilar tersebut adalah:


1. Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan HIV melalui
transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di lembaga pemasyarakatan dan
rumah tahanan, pencegahan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child

44
Transmission, PMTCT), pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-
lain.
2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi penguatan dan
pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan infeksi
oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan
pelatihan bagi ODHA. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka
kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan
meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium). Pencapaian
tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral
(ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif (creating enabling environment) yang
meliputi program peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan
kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta penyelarasan kebijakan
dan lain-lain.

5.2.1 Kegiatan pelayanan HIV di RSK Sitanala


Pelayanan terkait HIV meliputi upaya dalam menemukan pasien HIV
secara dini dengan melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang datang ke
fasyankes dengan sistem rujukan ke berbagai fasilitas layanan lain yang
dibutuhkan ODHA. Pelayanan perlu dilakukan secara terintegrasi, paripurna, dan
berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi kronis dengan berbagai
macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial terkait stigma dan
diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan tim.
RSK Dr. Sitanala sebagai bagian dari fasilitas layanan kesehatan
pemerintah menyediakan beberapa komponen layanan HIV yang terdiri dari :
1. Informed consent dan konseling untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya.
2. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah ditentukan
3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
4. Menganjurkan tes HIV pada kelompok risiko tinggi beserta pasangan
seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Melakukan rujukan pada pasien HIV atau tersangka HIV

Bagan alur pelayanan HIV-AIDS RSK Dr. Sitanala sesuai pedoman nasional ARV dan
HIV adalah:

Informed concent
Konseling + Tes HIV

45
Rawat jalan Rawat inap
IGD Perbaiki Keadaan umum, rawat
isolasi

Rujuk RS rujukan HIV AIDS

5.2.3 Konseling dan Tes HIV


Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV
1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling &
Testing)
VCT (Voluntary Counselingand Testing) merupakan kegiatan konseling yang
bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah
untuk HIV.
Tujuan Umum VCT
Untuk mempromosikan perubahan perilaku sehingga risiko infeksi dan
penyebaran infeksi HIV dapat diturunkan
Tujuan Khusus VCT bagi ODHA
1.Meningkatkan jumlah ODHA yang mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV
2.Diagnosis dini HIV
TahapanPelayananVCT
a. KonselingPra-testing:
- Informasi Dasar HIV alasan dilakukannya VCT
- Komunikasi Perubahan Perilaku
- PenilaianRisiko
b. Testing HIV
c. KonselingPasca-testing
d. Konseling Berkelanjutan
e. Perencanaan Rawatan Psikososial Lanjutan

Isi Konseling
- Informasi faktual tentang infeksi HIV dan penyakit yang terkait, cara
penularan, dampak, cara pencegahan
- Penilaian tingkat risiko infeksi HIV

46
- Mengkaji kemungkinan sumber infeksi pasien
- Informasi untuk menurunkan risiko (harm reduction) dengan perubahan
perilaku berisiko
Konseling dilakukan oleh orang-orang terlatih, tergabung dalam tim konseling VCT
RSK Sitanala.
2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP – PITC =
Provider-Initiated Testing and Counseling)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan
termasuk RSK Sitanala yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan
tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan
tanda klinis diduga terinfeksi HIV (lihat Tabel 1), pasien dari kelompok berisiko
(penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL – lelaki seks dengan lelaki), pasien IMS
dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan
tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan
informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua pihak menjaga
kerahasiaan (prinsip 3C – counseling, consent, confidentiality)

Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV

47
5.2.4 Pemeriksaan Laboratorium Untuk Tes HIV
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut
dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang
untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas
tinggi (>99%).
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela (window period). Bila tes HIV
yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ”negatif”, maka perlu
dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.

Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV dewasa

48
Interpretasi hasil laboratorium

Saat ini RSK Sitanala tidak menyediakan pemeriksaan infeksi HIV

PROGRAM KERJA RSK Dr. Sitanala


1. Persiapan RS

49
Ketenagaan
- Tenaga medis : terdiri dokter dari bidang bidang terkait sesuai yang kelainan
yang ditemukan (keadaan klinik penderita)
- Tenaga perawat : terdiri dari semua tenaga perawat yang bertugas
- Tenaga laboratoris : semua tenaga laboratoris/analis di laboratorium
Proteksi ketenagaan
- sarana : jas lab lengan panjang : perawat/analis, skort, sarung tangan dispossable,
masker, tutup kepala, tutup mata (kaca mata pelindung), sepatu bot karet
- Fasilitas/sarana medik dan keperawatan
- Non medis : kasur, bantal, selimut, seprei, perlak, handuk, baju penderita, sandal
jepit, alat makan, sedangkan alat keperluan pribadi membawa sendiri : cukur
jenggot, sabun dll.
Proteksi
- Konseling keluarga dilakukan atas ijin penderita dan seyogyanya pemberitahuan
pertama dilakukan oleh penderita sendiri kecuali bila penderita meminta tolong
kepada dokter untuk memberitahu kepada keluarganya.
- Pengunjung bila rawat inap hanya dibatasi keluarga terdekat
2. Pihak Terkait
1. Laporan ke Dirjen melalui TK I,Kota Tangerang secara berkala
3. Melakukan kerjasama rujukan pasien HIV AIDS ke RS rujukan HIV AIDS di
Tangerang atau luar Tangerang
3. Prosedur Khusus HIV-AIDS pada keadaan tertentu

Prosedur khusus Bayi Lahir dari Ibu HIV (+)


Prosedur ini hanya diberikan pada keadaan gawat darurat obstetri , atau diagnosis HIV
AIDS belum tegak pada pasien. Bila memungkinkan keadaan ibu hamil dirujuk, pasien
dirujuk ke RS rujukan HIV-AIDS
Penolong
Paramedis, mahasiswa dan dokter menggunakan pakaian yang khusus berupa:
- baju dalam terbuat dari kain berlengan pendek
- baju tengah berupa baju dan jelana plastik (dapat digunakan jas hujan lengkap
baju dan celana) dan memakai sarung tangan
- baju luar skort operasi yang terbuat dari kain lengkap baju panjang dan
celananya, serta tangannya menggunakan sarung tangan kedua
- wajah ditutupi dengan masker, kaca mata dan penutup kepala atau dapat
menggunakan penutup kantong plastik tipis yang telah di lubangi atasnya untuk
saluran udara
- kaki memakai plastik sebagai kaos kaki kemudian menggunakan sepatu boot
karet

50
Perawatan bayi di kamar bersalin
APGAR Score baik:
- bayi langsung di bungkus dengan kain steril
- diletakkan di meja resusitasi yang sudah dihangatkan dengan lampu
- jalan jafas dibersihkan dengan penghisap lendir steril dispossable dihisap dengan
spuit 50 cc pelan pelan dan berulang ulang
- O2 diberikan melalui slang
- bayi bila sudah baik (nafas teratur, menangis berat) tidak usah dimandikan hanya
dibersihkan dengan air hangat yang diberi byclean® konsentrasi 0,5 %
- kalau perlu dengan minyak kelapa steril untuk membersihkan vernix casseosa
- bila bayi sudah bersih dan keadaan umumnya baik (tangis berat, gerakan aktif,
tidak sesak) bayi diletakkan bersama ibu di kamar bersalin, sebelum dibawa ke
ruang rawat gabung (isolasi) oleh petugas kamar bersalin
- bayi diletakkan di dalam inkubator dan diobservasi
- bayi tidak boleh menyusui pada ibunya dan diberi susu pengganti/formula
- sampel darah diambil oleh petugas khusus yang ditunjuk oleh Tim AIDS pada
saat tali pusat dipotong atau sewaktu‐waktu diperlukan
Bila keadaan bayi jelek, APGAR Score 0‐4
- resusitasi aktif oleh dokter spesialis anak
- pemberian Na Bic intra umbilikal untuk menanggulangi asidosis
- pemberian antibiotik, vit. K per parenteral, glukosa 40% i.v dan infuse
- bayi diletakkan didalam inkubator didekat ibunya, bila keadaan asfiksia sudah
teratasi
- observasi ketat

Prosedur khusus untuk Penderita HIV/Virus Menular di Kamar bersalin


Prinsip pemeriksaan dan penanganan obstetri
Penanganan kasus obstetri dan ginekologi di RSK Sitanala sampai saat ini belum
dilengkapi oleh sarana prasarana khusus untuk kamar khusus bersalin penyakit khusus
virus. Apabila keadaan dimungkinkan, pasien HIV AIDS dirujuk ke RS rujukan HIV
AIDS untuk penanganan selanjutnya.
Definisi
Ibu hamil/bersalin di kamar bersalin tergolong berpenyakit virus sangat menular ialah:
1. Pengidap HIV
2. Karier Hepatitis virus B/C/D
3. Herpes genitalis
4. Condylomata accuminata
Alasan
Ke 4 penyakit tersebut, mempunyai :

51
- dampak jangka panjang dan belum ada obat terpilih (DOC) terhadap etiologi
- penularan melalui hubungan seksual, limbah ibu ke bayi atau dapat menularkan
kepada dokter penolong/paramedis
- kombinasi dan atau rentan terhadap penyakit infeksi lain
- penularan dapat melewati limbah ibu, ceceran darah kering, peralatan
"reuseable" yang belum/tidak sempurna proses dekontaminasinya
- memerlukan pengamanan khusus alat dan bahan "reuseable/dispassable" untuk
menghindari penularan kepada masyarakat luas (termasuk pemakai kali/sungai
Bila dalam keadaan darurat atau pasien bersangkutan belum jelas terdeteksi
sebagai HIV AIDS, maka:
a. ANC ibu dengan infeksi tersebut sama dengan ibu hamil yang lain. Pra dan pasca
pemeriksaan penderita, penolong cuci tangan terlebih dulu dengan air mengalir
dan/atau air klorin (60 cc byclean/2000 cc air steril) kemudian keringkan dengan
handuk kering atau alat pengering listrik
b. penanganan obstetri ibu hamil dan bersalin sama dengan yang tidak berpenyakit
tersebut, kecuali :
- Herpes Genitalis (labia, vagina, cervix) : terapi dengan asiklovir oral dan
topikal sesuai dengan dosis anjuran dan konsultasi ke spesialis kulit dan
kelamin. Ketuban Pecah Dini (KPD) kurang 4 jam dilakukan SC primer
(indikasi perinatal), untuk KPD 4 jam atau lebih ekspektatif kecuali indikasi
obstetri untuk SC dengan memberitahu dokter perinatologi
- Condylomata accuminata: Selama hamil dapat diterapi dengan asam triclor
asetat 80% topical kemudian diguyur dengan aquades, diulang pada ANC
berikutnya. Hanya pada Condyloma accuminata , SC primer atas indikasi
bahaya perdarahan pada ibu dan Konsultasike Spesialis Kulit Kelamin dan
memberitahu dokter Spesialis Anak.
- Untuk kedua penyakit di atas , apabila tidak memungkinkan, pasien dapat
dirujuk oleh SpOG ke RS rujukan HIV AIDS.
c. Dalam keadaan darurat, bila terjadi persalinan, kala IV ditunda menjadi 4 jam
untuk karier infeksi HIV, kecuali ada monitoring kemungkinan besar komplikasi
yang sudah diperkirakan, pasien baru dipindah bila dipandang sudah aman.
Untuk infeksi virus lain kala IV 2 jam. Pemeriksaan laboratorium tambahan
rutin dan deteksi infeksi sekunder ( hepatitis B , rubella, toxoplasma, CMV,
chlamidia) perlu dilakukan. Hal ini memerlukan pengamanan khusus berupa
ruang khusus bersalin dan dengan pengamanan khusus. Oleh karena itu
diharapkan penegakan dini diagnosis HIV AIDS sebaiknya dilakukan sebelum
terjadi keadaan darurat.
d. Pengamanan dan dekontaminasi Kamar Bersalin, alat dan limbah .

52
e. Tempat tidur bersalin dan bayi diberi alas plastik (bila mungkin membungkus
tempat tidurnya). Setelah penderita dipindahkan ke kamar nifas, alas tempat tidur
dapat dilakukan dekontaminasi air chlorin 0,5% selama 10 menit dan pencucian
dengan air kemudian dijemur.
f. Penolong/operator dan asisten penolong ibu dan bayi menggunakan handschoen
steril, memakai baju "astronot" steril dan tidak tembus air, memakai handschoen
steril lagi (rangkap dua), masker dan kacamata lebar, topi steril ( kelengkapan
baju astronot)
g. Penyedotan air ketuban dari rongga mulut dan hidung bayi dengan mesin
"suction" berkekuatan sedot tidak besar. Penyedotan dengan alat hisap lendir
bayi di trakea untuk yang air ketubannya mekonial kental (bila jernih dibiarkan),
sebaiknya tidak dengan mulut asisten penolong bayi, tetapi disambung dengan
alat suntik besar.
h. Pembersihan badan ibu setelah bersalin dengan waslap air klorin (60 cc bayclin
dalam 2000 cc air), untuk bayi dengan waslap air klorin (60 cc bayclin dalam
2000 cc air). Dilanjutkan pengamanan baju penderita, handuk terpakai, waslap,
sesuai prosedur dekontaminasi dengan air klorin 0,5% selama 10 menit,
selanjutnya dimasukkan dalam tas plastik untuk dikirim kebagian pencucian
Rurnah Sakit.
i. Setelah ibu nifas dan bayi dipindah ke kamar nifas khusus (berkamar mandi‐WC
dalam satu kamar, pembuangan air mandi kedalam bak resapan/tidak ke riol
Rumah Sakit) alas tempat tidur direndam dalam air clorin 0,5% selama 10 menit,
tempat tidur dicuci dengan air detergen cair terutama yang mengandung
kontaminasi air ketuban‐darah‐lochea kemudian dicuci dengan air clorin 0,5%
dan dibilas dengan air.
j. Kamar Bersalin khusus ini digenangi dengan air klorin selama 10 menit
kemudian kran pembuangan dibuka untuk mengalirkan air genangan kedalam
bak resapan.
Pencegahan
1. Amat penting, khususnya terhadap semua staf Kamar bersalin dan perawatan
nifas/perinatal
2. Umumnya terhadap pasien lain, pihak keluarga terdekat dan masyarakat luas
3. Segenap petugas tidak perlu merasa takut tapi harus hati‐hati dan waspada terhadap:
a. Limbah ibu termasuk yang menempel pada bayi
b. Alat medik terpakai
c. Sampah penderita
d. Tempat perawatan terpakai
4. Ruang persalinan dan kala IV diberikan tersendiri di Kamar bersalin terpisah dari
bagian Kamar Bersalin yang lain, dengan perlengkapan tersendiri, yaitu :

53
- Alat pertolongan partus normal dan abnormal (2 set )
- Tempat tidur persalinan yang mampu sebagai "dwarsbed"
- Antiseptik dengan air klorin. Untuk mencuci tangan 60 cc Baycllin dalam 2000 cc
air steril ( untuk tangan tanpa handscoen, wajah/muka), disediakan untuk
penolong, asisten penolong ibu, dan bayi.
- Untuk mencuci dan merendam alat (dekontaminasi) : larutan klorin 0,5% (1 bagian
BAYCLIN ditambah 9 bagian air steril), 10 selama menit, efektif terhadap spora
kuman tetanus.
2. Proses pencucian : penyikatan dengan ditergen cair (absolut tidak diperbolehkan
dengan ditergen bubuk atau bubuk yang dimasukkan air) dan dibilas dengan air steril
(membunuh mikroba sampai 80%). Khususnya yang mengandung darah beku dan
bahan organik dari ibu dan bayi. Awas alat dari logam yang mengandung darah beku
di daerah "terpencil" sering terlewatkan dari pembersihan.
3. Proses Desinfektasi Tingkat Tinggi (DTT) : Air klorin 0,5 % selama 20 menit
kemudian dibilas dengan air steril, dilanjutkan proses pengeringan, selanjutnya
sebagai alat steril siap pakai. Atau merebus dalam air mendidih 20 selama menit
(menyingkirkan mikroba sampai 95% kuman mati) dilanjutkan dengan proses
pengeringan
4. Proses Sterilisasi
Dengan sterilisasi panas sistim kering 170° C selama 60 menit dan ditunggu menjadi
dingin kembali setelah 120‐150 menit (baru dibuka dan dikeluarkan) untuk siap
pakai; 121° C selama semalam (membunuh 100 % mikroba). Hati‐hati untuk alat dari
logam bukan stainless sangat mudah rusak terkena air klorin tanpa pembilasan.
Cairan klorin untuk membersihkan tempat tidur bersalin/meja operasi/tempat tidur
nifas dan bayi berupa air klorin 0,5 %. Cairan klorin 0.5 % untuk merendam baju,
bekas terpakai penolong dan asisten penolong, terkontaminasi darah dan limbah ibu
dan bayi.
5. Alat ‐ bahan dispossible/not reusable harus dibuang kedalam kantong plastik hitam
tersedia:
- Handscoen
- Tangue spatel kayu
- Tampon, diaper
- Potongan sisa benang terpakai
- Alat pembalut wanita
- Alat makan minum
- Alat suntik
- Bekas botol suntik
- Perlengkapan alat infus/transfusi bekas
- Kateter karet bekas

54
6. Alat tulis terkontamimasi darah dan limbah ibu akan diproses sesuai prosedur yang
berlaku

7. Perawatan Nifas : prinsip Roomingin baik ibu / bayi patologik dalam 1 ruang/kamar
yang ada kamar mandi/WC tersendiri dengan pembuangan langsung ke peresapan.

8. Pengamanan semua yang terkontaminasi limbah ibu antara yang "reuseable" dan "not
reuseable"

9. Sampai lebih kurang 10 hari nifas (sama dengan yang SC) untuk karier HIV 3‐5 hari
untuk Hepatitis B/C/D, Condyloma akuminata, Herpes genitalis.

10. Proses defekasi/mandi dan dekontaminasi baju kotor dalam kamar mandi ibu.
Selama dalam perawatan nifas ibu diberikan KIE :
a. Perawatan dan kebersihan diri sendiri
b. Perawatan dan cara memandikan bayinya dengan air klorin 60 cc Bayclin dalam
2000 cc air
c. Perlindungan 1ingkungan terhadap bahaya penularan dari limbah ibu dan bayi

11. Bila ada kontra indikasi laktasi klien diberitahu sebab‐sebabnya harus menggunakan
PASI dan pasien diberi supresi 1aktasi

12. Perinatal : dirawat oleh staf perinatologi IKA. Pengamanan semua yang
terkontaminasi limbah bayi antara yang "reuseable" dan "notreuseable".
a. Proses pembuangan tinja/air mandi dan dekontaminasi baju kotor bayi didalam
kamar mandi ibu.
b. Program vaksinasi bayi oleh dokter Perinatologi.
c. Perawatan nifas klien karier HIV 10 hari baik yang SC maupun partus normal
untuk follow up ibu dan bayi.

13. Perawatan Ari‐ari. Kebiasaan masyarakat berbagai cara sesuai adat, untuk perawatan
ari‐ari lanjutan setelah direndam dalam larutan klorin 0,5'% selama 10 menit, ari‐ari
hendaknya ditanam ditanah halamannya setelah diberikan pengamanan kedap air

14. Alat reusable : setelah dekontaminasi dengan air klorin 3 tahap dilanjutkan
pembilasan dengan air mengalir, dilanjutkan dengan sterilisasi kering, kemudian
diletakkan dalam tempat alat steril siap pakai. Hanya dipakai untuk penderita
tergolong berpenyakit virus menular lewat kontaminsasi discharge

Tangerang, 3 Juni 2015 Mengetahui,


Yang Membuat, Direktur Utama RSK Dr. Sitanala

dr. Eka Komarasari, Sp.KK drg. Liliana Lazuardy, M.Kes


NIP. 197503232005012001 NIP. 195512171982032002

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar.


Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related
disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL,
Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The
United States of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,


editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10]. Available
at url: http://www.aidsindonesia.or.id

6. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

7. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,


Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in
infants and children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

8. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi


HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan 2007

56
9. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive
summary. Geneva. 2010.

10. Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8]; Available
from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

57

Anda mungkin juga menyukai