Anda di halaman 1dari 5

Sutan Sjahrir: Masa Muda, Kiprah, Penculikan, dan Akhir

Hidup

Sutan Sjahrir adalah seorang pemimpin dan perdana menteri kemerdekaan revolusioner

Indonesia. Ia digambarkan sebagai seorang intelektual Indonesia yang idealis. Sutan

Sjahrir menjadi perdana menteri Indonesia pertama pada 1945, setelah berkarier sebagai

penyelenggara utama nasionalis Indonesia tahun 1930-an dan 1940-an. Dari situ, Sjahrir

mulai bekerja keras sebagai Perdana Menteri untuk memastikan Indonesia memenuhi

namanya. Ia dianggap sebagai seorang intelektual karena Sjahrir lebih mementingkan

kepentingan bersama daripada kepentingan politiknya. Sjahrir mengutamakan

negaranya di atas kebutuhannya sendiri.

Awal Hidup Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909.

Sjahrir merupakan putra dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin

Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah. Sang ayah menjabat sebagai

penasehat Sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Pada awal 1926, Sutan

Sjahrir menyelesaikan pendidikannya di MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau

Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda. Setelah itu, ia ke sekolah

lanjutan atas (AMS) di Bandung. AMS menjadi sekolah termahal pada waktu itu di Hindia

Belanda. Di AMS, Sjahrir bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia

(Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. Setiap hasil pementasan

digunakan Sjahrir untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volksuniversiteit atau
Cahaya Universitas Rakyat. Di kalangan sekolah AMS, Sjahrir menjadi seorang bintang.

Ia menjadi murid yang aktif dalam klub debat di sekolahnya. Sjahrir juga terjun dalam

aksi pendidikan melek huruf secara gratis untuk anak-anak dari keluarga yang tidak

mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit. Pada 20 Februari 1927, Sjahrir masuk dalam

sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesië.

Perhimpunan ini kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Pemuda

Indonesia menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia, kongres monumental yang

mencetus Sumpah Pemuda 1928. Pengasingan Pada 1929, Sjahrir sampai di Belanda

untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Amsterdam. Kemudian, ia menjadi

mahasiswa hukum di Universitas Leiden. Sutan Sjahrir sempat menjadi sekretaris

Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi pelajar Indonesia di Belanda. Sjahrir juga

menjadi salah satu pendiri Jong Indonesia, sebuah perkumpulan pemuda Indonesia

untuk membantu perkembangan pemuda Indonesia untuk generasi berikutnya. Selama

aktivitas politiknya sebagai mahasiswa di Belanda, Sjahrir menjadi lebih dekat dengan

aktivis kemerdekaan, Mohammad Hatta. Pada 1931, Sjahrir kembali ke Indonesia.

Sekembalinya Sjahrir ke Indonesia, ia bergabung ke dalam organisasi Partai Nasional

Indonesia (PNI Baru) pada Juni 1932 yang kemudian diketuainya. Pada 1932,

Mohammad Hatta yang juga telah kembali ke Indonesia, turut memimpin PNI Baru.

Bersama dengan Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak

para kader pergerakan. Karena merasa takut akan potensi revolusioner PNI Baru, pada

Februari 1934, pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan Sjahrir beserta

Hatta. Mereka menghabiskan masa pembuangan selama enam tahun di Banda Neira,

Kepulauan Banda.
Proklamasi Indonesia Pada masa pendudukan Jepang, Sjahrir membangun jaringan

gerakan bawah tanah anti-fasis (gerakan radikal ideologi nasional). Sjahrir meyakini

bahwa Jepang tidak akan memenangkan perang. Oleh karena itu, kaum pergerakan

harus mempersiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di waktu yang tepat. Saat itu,

Sutan Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia secara sembunyi-sembunyi

dengan mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Berita ini kemudian

disampaikan Sjahrir kepada Moh. Hatta. Sjahrir yang didukung dengan para pemuda lain

mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan

Indonesia pada 15 Agustus, karena Jepang sudah menyerah tanpa syarat kepada

Sekutu. Soekarno dan Hatta yang belum mendengar berita menyerahnya Jepang pun

tidak melakukan apa-apa. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang. Proklamasi

juga harus dilakukan sesuai prosedur lewat keputusan Panita Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI), bentukan Jepang. Rencana PPKI, kemerdekaan Indonesia akan

diproklamasikan pada 24 September 1945. Tindakan yang dilakukan oleh Soekarno dan

Hatta ini membuat para pemuda merasa kecewa. Sebab itu, agar Soekarno dan Hatta

tidak terpengaruh oleh Jepang, Sjahrir bersama para pemuda lain menculik Soekarno

dan Hatta pada 16 Agustus 1945. Mereka diasingkan ke Rengasdengklok. Setelah

didesak oleh para pemuda, Soekarno dan Hatta pun setuju untuk memproklamasikan

kemerdekaan Indonesia, yaitu pada 17 Agustus 1945.

Penculikan Soekarno dan Hatta Pada 26 Juni 1946, setelah Sjahrir menjadi Perdana

Menteri Indonesia, ia diculik oleh oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas
diplomasi yang dilakukan Kabinet Sjahrir II. Peristiwa ini terjadi di Surakarta. Diplomasi

Sutan Sjahrir dianggap sangat merugikan perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu.

Kelompok ini ingin mendapat pengakuan kedaulatan penuh yang dicetuskan oleh Tan

Malaka. Sedangkan Kabinet Sjahrir II hanya menuntut pengakuan atas Jawa dan

Madura. Perdana Menteri Sjahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Ia

diculik oleh kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Mayor Jenderal

Soedarsono dan 14 pimpinan sipil. Salah satu di antara mereka adalah Tan Malaka.

Presiden Soekarno yang mendengar kabar penculikan ini merasa sangat marah. Ia

memerintahkan Polisi Surakarta untuk menangkap para pimpinan tersebut. Pada 1 Juli

1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Sehari

kemudian, 2 Juli 1946, tentara Divisi 3 dipimpin Mayor Jenderal Soedarsono menyerang

Wirogunan dan membebaskan ke-14 pimpinan yang ditahan. Pada 3 Juli 1946, Mayjen

Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjata dan ditangkap di dekat

Istana Presiden di Yogyakarta.

Diplomasi Setelah tragedi penculikan, Sjahrir hanya bertugas menjadi Menteri Luar

Negeri. Tugas Perdana Menteri pun diambil alih Presiden Soekarno. Namun, pada 2

Oktober 1946, Soekarno kembali menunjuk Sjahrir untuk menjadi Perdana Menteri agar

dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati. Perundingan ini kemudian berhasil

ditandatangani pada 15 November 1946. Agar Republik Indonesia tidak runtuh, Sjahrir

menjalankan siasatnya. Sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat

(BP KNIP), ia menjadi pencetus perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet

Parlementer. Kabinet Parlementer bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga


yang punya fungsi legislatif. RI sendiri juga menganut sistem multipartai. Kepada massa

rakyat, Sutan Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti kekerasan.

Dengan siasat-siasat tersebut, Sjahrir berusaha menunjukkan ke dunia intenrasional

bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan

demokratis. Belanda kerap melakukan propaganda bahwa orang-orang di Indonesia

merupakan gerombolan yang brutal, suka membunuh, merampok, dan lainnya. Untuk

mematahkan propaganda tersebut, Sjahrir menginisiasi penyelenggaraan pameran

kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri. Akhir

Hidup Tahun 1955, Partai Sosialis Indonesia gagal mendapat suara banyak dalam

pemilihan umum pertama di Indonesia. Tahun 1962 sampai 1965, Sjahrir ditangkap dan

dipenjarakan tanpa diadili sampai mengalami stroke. Sutan Sjahrir ditangkap karena

partai yang ia dirikan, Partai Sosialis Indonesia diduga telah terlibat dalam

pemberontakan PRRI. Setelah itu, Sjahrir diizinkan untuk berobat ke Zürich Swiss.

Sjahrir meninggal di Swiss pada 9 April 1956. Di tanggal yang sama, melalui Keppres

Nomor 76 Tahun 1966, Sutan Sjahrir dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai