Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


“DIABETES MELLITUS”

DISUSUN OLEH :
ENDANG KARTASARI
22221046

INSTITUTE KESEHATAN DAN TEKNOLOGI


MUHAMMADIYAH PALEMBANG
PROGRAM PROFESI NERS
TAHUN 2021-2022

i
ii
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Diabetes Melitus Tipe 2


1. Definisi
Diabetes mellitus, lebih sederhana disebut diabetes adalah
kondisi kronis yang terjadi ketika adanya peningkatan kadar glukosa
dalam darah karena tubuh tidak dapat memproduksi atau cukup
hormon insulin, atau tidak efektif menggunakan insulin yang
dihasilkannya (International Diabetes Federation, 2019).
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau
diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit ketika individu mengalami
penurunan sensitivitas terhadap insulin ( resistensi insulin) dan
kegagalan fungsi sel β yang mengakibatkan penurunan produksi
insulin. Isidensi terjadi lebih umum pada usia > 30 tahun, obesitas,
herediter, dan faktor lingkungan (American Diabetes Association,
2015).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Diabetes Melitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
jumlah hormon insulin yang tidak mencukupi atau tidak dapat bekerja
secara normal, padahal hormon ini memiliki peran utama dalam
mengatur kadar glukosa dalam darah.

2. Etiologi Dan Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe 2


Diabetes Mellitus Tipe 2 disebabkan oleh kegagalan relatif sel
dan resistensi β insulin. Resisten Insulin adalah turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer
dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperglikemia kronik dan dalam jangka
panjang dapat terjadi komplikasi yang serius. Secara keseluruhan
gangguan ini bersifat merusak dan memburuk secara progresif dengan
berjalannya waktu. Sel ᵦ yang tidak mampu mengimbangi resistensi
3

insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.


Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
ransangan glukosa, keadaan inilah yang menyebabkan adanya
keterlambatan sekresi insulin yang cukup untuk menurunkan kadar
glukosa postprandial pada jaringan perifer seperti jaringan lemak dan
jaringan otot (Raymond, 2016).
Pasien yang mengalami diabets melitus tipe 2 sebagian besar
berhubungan dengan obesitas (kegemukan). Pengaruh genetik juga
menyebabkan kemungkinan seseorang mengalami penyakit ini.
Kemungkinan adanya sifat genetik belum diidentifikasi yang yang
dapat menyebabkan pankreas mengeluarkan insulin atau reseptor
insulin yang tidak berespon terhdapa insulin secara
adekuat.Kemungkinan lain karena adanya kaitan rangkai genetik
antara yang dikaitkan dengan kegemukan dan ransangan reseptor
insulin yang terdapat di sel tubuh menurun, penurunan ini disebut
downregulation (American Diabetes Association, 2015).
Menurut PERKENI (2015), fakto risiko diabetes melitus tipe 2
antara lain :
1. Faktor Risiko yang Tidak Bisa Dimodifikasi atau diubah
1) riwayat keluarga dengan DM
2) ras dan etnik
3) Umur : risiko untuk menderita intolerasi glukosa meningkat
seiring dengan meningkatnya usia. Usia >45 tahun harus
dilakukan pemeriksaan DM.
4) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram
atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
5) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang
lebih tinggi dibanding dengan bayi yang lahir dengan BB
normal.
2. Faktor Risiko Yang Bisa Dimodifikasi Atau Diubah
1) Berat badan lebih (IMT =23 kg/m) atau obesitas
2) Aktifitas fisik yang kurang
3) Hipertensi (>140/90 mmHg)
4

4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan/atau trigliserida > 250


mg/dl)
5) Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi glukosa
dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita
prediabetes / intoleransi glukosa dan DMT2.
3. Faktor lain
1) Penderita Polycysti ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan
klinis lain yang terkait dengan resistensi
2) Penderita sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi
glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) sebelumnya.
3) Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular,
seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases)

3. Anatomi Fisiologi Sistem Endokrin


a. Anatomi Pankreas
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang
panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum
sampai ke limpa dan beratnya rata-rata 60-90 gram. Terbentang
pada vertebrata lumbalis I dan 2 di belakang lambung.
Pankreas juga merupakan kelenja: endokrin terbesar yang
terdapat di dalam tubub baik hewan maupun manusia. Bagian
depan (kepala) kelenjar pancreas terletak pada Iekukan yang
dibentuk oleh duodenum dan bagian pylorus dari larmbung
Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini
merentang ke arah limpa dengan bagian ekorya menyentuh atau
terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis,
kelenjar pancreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan
epitel yang membentuk usus.
5

Gambar 2.1 Anatomi Pankreas


b. Fisiologi Pankreas
Pankreas disebut sebagai organ rangkap, mempunyai dua fungsi
yaitu :
1) Fungsi eksorin yaitu membentuk getah pancreas yang berisi
elektrolit dan enzim yang dapat menghidrolisis protein,
lemak, dan karbohidrat.
2) Fungsi endokrin yaitu menghasilkan hormon insulin dan
glukagon yang memegang peranan penting pada
metabolisme karbohidrat. Kelenjar pankreas dalam mengatur
metabolisme glukosa dalam tubuh berupa hormon-hormon
yang disekresikan oleh sel sel di pulau langerhans. Hormon
ini dapat diklasifikasikan sebagai hormo yang
menrendahkan kadar glukosa yaitu adalah insulin dan
hormon yang dapat menigkatka glukosa darah yaitu
glukagon.
a) Pulau langerbans
Pulau-pulau langerbans terdiri tiga jenis sel yaitu sel
alpha (sekitar 20-40 %), menghasilkan glukogon menjadi
faktor hiperglikemik, mempunyai anti-insulin aktif, Sel
delta (sekitar 5-15%), menghasilkan somatostatin yang
menghambat pelepasan insulin dan glucagon. Sel beta
6

(sekitar 60-80 %) dari sel yang terletal terutama ditengah


setiap pulau dan mensekresikan insulin. Granula sel β
merupakan bungkusan insulin dalam sitoplasma sel. Tiap
bungkusan bervariasi antara spesies satu dengan yang
lain. Dalam sel β muloekus insulin membentuk polimer
komplek dengan seng, perbedaan dalam bentuk
bungkusan ini mungkin karena perbedaan ukuran polimer
auakregat sel dari insulin. Insulin dosintesis dalam
retikulum endoplasma sel β kemudian diangkut ke
apartuskolgi, tempat ini dibungkus dalam granula yang
diikat membran. Kranula ini bergerak kedinding sel oleh
suatu proses yang mengeluarkan insulin kedaerah luar
ganggang exsosotosis. Kemudian insulin melintasi
membran basalis sel β serta kapiler berdekatan dan
endotel fenetra kapiler untuk mencapai aliran darah.
b) Hormon Insulin
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau
langerhans menyebabkan timbulnya pengaturan secara
langsung sekresi beberapa hormon lainnya, contoh
insulin menghambat sekresi glukogan, somatostin
menghambat sekresi glukogan dan insulin. Insulin
dilepaskan pada suatu kadar batas oleh sel-sel β pulau
langerhans. Rangsangan utama pelepasan insulin diatas
kadar basal adalah peningkatan kadar glukosa darah.
Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal adalah
80-90 mg/dl. Insulin bekerja dengan cara berkaitan
dengan reseptor insulin dan setelah berikatan, insulin
bekerja melalui perantara kedua untuk menyebabkan
peningkatan transportasi glukosa kedalam sel dan dapat
segera digunakan untuk menghasilkan energi atau dapat
disimpan didalam hati ( Guyton Hall, 2014 ).
Insulin terdiri dari dua rantai asam amino satu sama
lian dihubungkan oleh ikatan disulfide. Sekresi insulin
diatur oleh glukosa darah dan asam amino yang
memegang peran penting. Efek insulin terhadap
7

metabolisme karbohidrat yaitu : menambah kecepatan


metabolisme glukosa, megurangi konsentrasi gula darah,
dan menambah penyimpanan glukosa kejaringan.
c) Glukagon
Glukagon adalah suatu hormon yang disekresikan oleh
sel sel alfa pulau langerhans mempunyai beberapa fungsi
berlawanan dengan insulin fungsi terpenting adalah
meningkatkankonsentrasi glukosa dalam darah. Ada dua
efek glukago pada metabolisme glukosa darah yaitu :
pemecahan glikagon (glikogenolisis) dan peningkatan
glikogen (glikogenesis). Diabetes mellitus disebabkan
oleh rusaknya sebagian kecil dari sel β sari pulau
pulaulangerhans pada pankreas yang berfungsi
menghasilkan insulin, akibatanya kekurangan insulin.

4. Patofisiologi
Pada Diabetes Melitus Tipe 2 terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di
dalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Melitus Tipe 2 disertai
dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Pada pasien toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi


akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi Diabetes Melitus Tipe 2.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Melakukan aktivitas dan olahraga secara teratur dapat
8

mengurangi resistensi insulin sehingga insulin dapat dipergunakan


lebih baik oleh sel-sel tubuh (Brunner & Suddarth, 2015).
Insulin adalah hormon pembangun (anabolik). Tanpa insulin,
tiga masalah metabolik mayor terjadi : penurunan pemanfaatan
glukosa, peninkatan mobilisasi lemak, dan peningkatan pemanfaatan
protein (Black & Hawks, 2014).
Ketika jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel berkurang
(resistensi insulin). Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa
tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia.
Ginjal tidak dapat menahan keadaan hiperglikemi ini, karena
ambang batas reabsorpsi ginjal untuk gula darah adalah 180 mg/dL
bila melebihi ambang batas ini, ginjal tidak bisa menyaring dan
mereabsorpsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehingga kelebihan
glukosa dalam tubuh dikeluarkan bersama dengan urin yang disebut
dengan glukosuria.
Glukosuria menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
ditandai dengan pengeluaran urin yang berlebihan (poliuria). Poliuria
pada pasien DM mengakibatkan terjadinya dehidrasi intraseluler. Hal
ini merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus
menerus sehingga pasien akan banyak minum (Polidipsia). Glukosa
yang hilang melalui urin dan resistensi insulin menyebabkan
kurangnya glukosa yang akan diubah menjadi energi sehingga
menimbulkan rasa lapar yang menyebabkan pasien DM banyak makan
(Polifagia) sebagai kompensasi terhadap kebutuhan energi, pasien akan
merasa mudah lelah dan mengantuk jika tidak ada kompensasi
terhadap kebutuhan energi.
Menurunnya transport glukosa ke sel menyebabkan terjadinya
katabolisme glikogen, lemak dan protein yang menyebabkan pasien
DM sering mengalami kelelahan dan kelemahan otot, terlalu banyak
pemecahan lemak dapat meningkatkan produksi keton yang
menyebabkan peningkatan keasaman darah (Asidosis). Defisiensi
insulin mempengaruhi sintesis protein menyebabkan penurunan
anabolisme protein sehingga menurunkan sistem kekebalan tubuh dan
meningkatkan resiko infeksi pada pasien dengan diabetes melitus.
Keadaan.
15

5. Pathway
Bagan 2.1 Alur Pathway Diabetes Melitus Tipe 2
Faktor Pemicu Dan Faktor Resiko (Kerusakan dan Resistensi sel β, faktor genetik, obesitas, gaya hidup dan linkungan, usia > 30 tahun)

Diabetes Melitus tipe 2

Defisiensi Insulin

Lemak, protein, karbohidrat tidak Menurunnya transport Penyerapan glukosa & reaksi autoimun
Pankreas
Penumpukan glukosa dalam darah Sel -sel kekurangan makanan Hiperglikemi
Kegagan sel β
Penumpukan plag dalam darah Karbohidrat, lemak, & Ginjal tidak menyaring & memproduksi nsulin
Protein menipis mengabsorbsi glukosa darah
Macrovaskular Merusak & merangsang Produksi insulin

Ujung syaraf tepi Poliphagia Poliuria


Aterosklerotic Tubuh defisiensi insulin, glukosa
Pengeluaran neuro Asidosis Dehidrasi tidak dapat diserap sel-sel tubuh
Gangguan Sirkulasi jaringan perifer transmiter
Ketonemia Haus / Polidipsia Glukoneogenesis
Gagguan sensasi (kesemutan/kram) Medula Spinalis
pH menurun Glukosa menumpuk
Timbul luka & luka sulit sembuh Hipotalamus Hipovolemi
(Ulkus Diabetic) Suplai Nutrisi terganggu Peningkatan kadar gula darah
Syaraf afferent
Pembentukan ATP terganggu
Persepsi nyeri Ketidakseimbangan (Lemah)
Kerusakan Nutrisi kurang dari Ketidakseimbangan

Integritas kulit Nyeri akut kebutuhan tubuh kadar gula darah Defisit Pengetahuan Keletihan
11

6. Manisfestasi Klinis
a. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus
Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke
penderita lain bervariasi bahkan, mungkin tidak menunjukkan
gejala apa pun sampai saat tertentu.
1) Poliuri (Peningkatan pengeluaran urin)
Peningkatan pengeluaran urine mengakibatkan glikosuria karena
glukosa darah sudah mencapai kadar “ambang ginjal”, yaitu
180 mg/dL pada ginjal yang normal. Dengan kadar glukosa
darah 180 mg/dL, ginjal sudah tidak bisa mereabsobsi glukosa
dari filtrat glomerulus sehingga timbul glikosuria. Karena
glukosa menarik air, osmotik diuresis akan terjadi
mengakibatkan poliuria (Anggit, 2017).
2) Polidipsia (Peningkatan rasa haus)
Peningkatan pengeluaran urine yang sangat besar dapat
menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti
penurunan gradien konsentrasi ke plasma yang hipertonik
(sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH
(Antidiuretic Hormone) dan menimbulkan rasa haus (Anggit,
2017).
3) Polifagia (Peningkatan rasa lapar)
Sel tubuh mengalami kekurangan bahan bakar sehingga pasien
merasa sering lapar dan lemas, hal tersebut disebabkan karena
glukosa dalam tubuh semakin habis sedangkan kadar glukosa
dalam darah cukup tinggi (PERKENI, 2015).
4) Rasa Lelah Dan Kelemahan Otot
Rasa lelah dan kelemahan otot terjadi karena katabolisme
protein diotot dan ketidakmampuan organ tubuh untuk
menggunakan glukosa sebagai energy sehingga hal ini membuat
pasien dengan diabetes mellitus sering merasa lelah (Anggit,
2017).
12

5) Berat Badan Turun


Turunnya berat badan pada pasien dengan diabetes melitus
disebabkan karena tubuh terpaksa mengambil dan membakar
lemak dan protein sebagai energi (Anggit, 2017).
b. Gejala Kronik Diabetes Melitus
1) Kesemutan
Kerusakan saraf yang disebebkan oleh glukosa yang tinggi
merusak dinding pembuluh darah dan akan mengganggu nutrisi
pada saraf. Karena yang rusak adalah saraf sensoris, keluhan
yang paling muncul adalah rasa kasemutan atau tidak berasa,
terutama pada tangan dan kaki, selanjutnya bisa timbul rasa
nyeri pada anggota tubuh, betis, kaki, lengan dan tangan.
2) Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk jarum
3) Rasa tebal kulit
4) Mudah mengantuk
5) Penglihatan kabur
Glukosa darah yang tinggi akan menarik pula cairan dari dalam
lensa mata sehingga lensa mejadi tipis. Mata seseorang pun
mengalami kesulitan untuk fokus dan penglihatan kabur (Price
& Wilson, 2012).

7. Penatalaksanaan
Menurut PERKENI (2015), Penatalaksanaan DM dimulai
dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan
aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan
obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau
kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik
berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang
menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk
ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
13

Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala


hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tersebut dapat dilakukan
setelah mendapat pelatihan khusus. a. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu
dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan
merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM
secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi
tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
1) Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Primer yang meliputi:
a) Materi tentang perjalanan penyakit DM.
b) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
secara berkelanjutan.
c) Penyulit DM dan risikonya.
d) Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
e) Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
anti hiperglikemia oral atau insulin serta obatobatan lain.
f) Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil
glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan
glukosa darah mandiri tidak tersedia).
g) Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
h) Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
i) Pentingnya perawatan kaki.
j) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
2) Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi: a)
Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
b) Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
c) Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
d) Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
14

e) Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-


hari sakit).
f) Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan
teknologi mutakhir tentang DM.
g) Pemeliharaan/perawatan kaki.

b. Terapi Nutrisi
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal
makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada
mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi
insulin atau terapi insulin itu sendiri. Diet yang dianjurkan
yaitu diet rendah kalori, rendah lemak, rendah lemak jenuh, dan
tinggi serat. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai
berat badan ideal. Selain itu, karbohidrat kompleks merupakan
pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga
tidak menimbulkan puncak glukosa darah yang tinggi setelah
makan. Pengaturan pola makan dapat dilakukan berdasarkan 3J
yaitu jumlah, jadwal dan jenis diet
1) Jumlah yaitu jumlah kalori setiap hari yang diperlukan oleh
seseorang untuk memenuhi kebutuhan energi. Jumlah kalori
ditentukan sesuai dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) dan
ditentukan dengan satuan kilo kalori (Kkal).

IMT = B B (k g)/T B (m 2 )

Setelah itu kalori dapat ditentukan dengan melihat indikator


berat badan ideal yaitu :
15

Tabel 2.1. Kisaran kalori tubuh

Indikator Berat Badan Ideal Kalori


Kurus < 18,5 2.300 – 2.500
Kkal
Normal 18,5 – 22,9 1.700 – 2.100
Kkal
Gemuk >23 1.300 – 1.500
Kkal
2) Jadwal makan diatur untuk mencapai berat badan ideal.
Sebaiknya jadwal makannya diatur dengan interval 3 jam
sekali dengan 3 kali makan besar dan 3 kali selingan dan
tidak menunda jadwal makan sehari-hari.
Tabel 2.2. Jadwal makan pada pasien Diabetes Melitus

No Jadwal Waktu
1 Makan besar I Pukul 07.00
2 Selingan I Pukul 10.00
3 Makan besar II Pukul 13.00
4 Selingan II Pukul 16.00
5 Makan besar III Pukul 19.00
6 Selingan III Pukul 21.00

(PERKENI, 2015)

3) Jenis diet yang digunakan sebagai bahan penatalaksanaan


diabetes melitus dikontrol berdasarkan kandungan energi,
protein, lemak dan karbohidrat. Ada beberapa jenis
makanan yang dianjurkan dan jenis makanan yang tidak
dianjurkan atau dibatasi bagi penderita diabetes mellitus
yaitu:
a) Jenis bahan makanan yang dianjurkan untuk penderita
diabetes melitus adalah :
(1) Karbohidrat
16

(a) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total


asupan energi. Terutama karbohidrat berserat
tinggi.

(b) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak


dianjurkan.
(c) Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga
penyandang diabetes dapat makan sama dengan
makanan keluarga yang lain.
(d) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan
energi.
(e) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai
pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman
konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ ADI).
(f) Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu
dapat diberikan makanan selingan seperti buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori
sehari (PERKENI, 2015).
(2) Lemak
(a) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan
kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total
asupan energi.
(b) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang
banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans,
antara lain : daging berlemak dan susu fullcream.
(c) Konsumsi kolesterol dianjurkan <200 mg/hari
(PERKENI, 2015).
(3) Protein
(a) Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan
energi.
17

(b) Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi,


daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu
rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
(c) Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu
penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/KgBB/hari atau 10% dari kebutuhan energi,
dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi.
(d) Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani
hemodialisa asupan protein menjadi 1-1,2
g/KgBB/hari (PERKENI, 2015).
(4) Natrium
(a) Anjuran asupan natrium untuk penderita DM sama
dengan orang sehat yaitu <2300 mg/ hari.
(b) Penderita DM yang juga menderita hipertensi perlu
dilakukan pengurangan natrium secara individual.
(c) Sumber natrium antara lain adalah garam dapur,
vetsin, soda dan bahan pengawet seperti natrium
benzoat dan natrium nitrit (PERKENI, 2015).
(5) Serat
(a) Penderita DM dianjurkan megkonsumsi serat dari
kacang-kacangan,buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat.
(b) Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gr/hari
yang berasal dari berbagai sumber bahan makanan
(PERKENI, 2015).
(6) Pemanis alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak
melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ADI)
(PERKENI, 2015).

c. Latihan Fisik
18

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani


teratur (3-4 kali seminggu kurang lebih selama 30 menit), jeda
antar latihan jasmani tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
diabetes Tipe 2. Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan
dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dimaksud adalah jalan, bersepeda santai, jogging atau berenang.
Sebelum melakukan latihan jasmani dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan glukosa darah. Apabila kadar glukosa
darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan kesegaran jasmani. Intensitas latihan jasmani pada
penyandang DM yag relatif sehat bisa ditingkatkan,
sedangkan pada penyandang DM yang
disertai dengan komplikasi intensitas latihan perlu dikurangi
dan disesuaikan dengan masing-masing individu. Kegiatan
sehari-hari seperti berjalan kaki kepasar, menggunakan tangga,
berkebun tetap dilakukan. Batasi atau jangan terlalu lama
melakukan aktivitas yang kurang aktivitas fisik seperti
menonton televisi (PERKENI, 2015).
d. Monitor Kadar Gula Darah
Pemantauan DM merupakan pengendalian kadar gula
darah mencapai kondisi senormal mungkin. Dengan
terkendalinya kadar glukosa darah maka akan terhindar dari
keadaan hiperglikemia dan hipoglikemia serta mencegah
terjadinya komplikasi. Hasil Diabetes Control And
Complication Trial (DCCT) menunjukkan bahwa pengendalian
diabetes yang baik dapat mengurangi komplikasi diabetes antara
20-30%. Prosedur pemantauan glukosa darah adalah :
19

1) Tergantung dari tujuan pemeriksaan tes dilakukan pada waktu


a) Sebelum makan.
b) 2 jam sesudah makan (postpradial).
c) Sebelum tidur malam (pada jam 22.00).
2) Pasien dengan kendali buruk atau tidak stabil dilakukan tes
setiap hari.

3) Pasien dengan kendali baik atau stabil sebaiknya tes tetap


dilakukan secara rutin. Pemantauan dapat dilakukan lebih jarang
(minggu sampai bulan) apabila pasien terkontrol baik secara
konsisten.
4) Pemantauan glukosa darah pada pasien yang mendapat
terapi insulin, ditujukan juga untuk penyesuaian dosis insulin
dan memantau timbulnya hipoglikemia.
5) Tes lebih sering dilakukan pada pasien yang melakukan
aktivitas tinggi, pada keadaan krisis atau pada pasien yang sulit
mencapai target terapi (selalu tinggi atau sering mengalami
hipoglikemia), juga pada saat perubahan dosis terapi
(PERKENI, 2015).
Tabel 2.3. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus

No Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus


1. Gejala klasik Diabetes Mellitus + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL (11,1
mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik Diabetes Mellitus + glukosa plasma puasa <126 mg/dL (7,0
mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam.
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
(IDF, 2017)
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes melitus pada
sedikitnya 2 kali pemeriksaan adalah :
1) Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL (11,1 mmol/L).
20

2) Glukosa plasma puasa >140 mg/dL (7,8 mmol/L).


3) Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian
sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial)
>200 mg/dL (11,1 mmol/L) (Nanda NIC NOC, 2015)
e. Farmakologi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang
utama dalam penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat
dilakukan bersamaan dengan pemberian
obat

antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi. Pemberian obat


antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan respons kadar glukosa darah (PERKENI, 2015).

8. Komplikasi
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang dapat
menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain : a. Komplikasi
Metabolik Akut
Komplikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus
terdapat tiga macam yang berhubungan dngan gangguan
keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek, dintaranya :
1) Hipoglikemia
Hipoglikemia (kadar gula darah yang abnormal rendah)
terjadi ketika kadar glukosa darah turun di bawah 50 hingga
60 mg/dL (2,7 hingga 3,3 mmol/L). Keadaan ini dapat
terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang
berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau
karena aktivitas fisik yang berat (Brunner & Suddart, 2015).
2) Ketoasidosis Diabetik (KAD)
Ketoasidosis Diabetik (KAD) disebabkan karena kelebihan
kadar glukosa dalam darah sedangkan kadar insulin dalam
21

tubuh sangat menurun hingga mengakibatkan terjadinya


pemecahan lemak yang menyebabkan peningkatan kadar
keton dalam tubuh, KAD ditandai dengan trias
hiperglikemia, dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis
(Brunner & Suddart, 2015).
3) Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketonik
(HHNK) yang merupakan komplikasi diabetes melitus yang
ditandai dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa
serum lebih dari 600 mg/dL (Brunner & Suddart, 2015).
b. Komplikasi Kronis
Angka kematian yang berkaitan dengan ketoasidosis dan
infeksi pada pasien- pasien diabetes tampak terus menurun,
tetapi kematian akibat komplikasi kardiovaskuler dan renal
mengalami kenaikan yang mengkhawatirkan. Komplikasi
jangka panjang atau komplikasi kronis diabetes dapat
menyerang semua sistem organ dalam tubuh. Komplikasi kronis
diabetes antara lain :
1) Komplikasi Mikrovaskular
a) Retinopati Diabetik
Komplikasi pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler) yaitu, kerusakan retina mata
(retinopati) yang merupakan suatu mikroangiopati
ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh
darah kecil pada retina mata (Brunner & Suddart,
2015).
b) Nefropati Diabetik
Komplikasi mikrovaskuler lainnya adalah kerusakan
ginjal yang pada pasien diabetes melitus ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 mg/ 24 jam).
Nefropati diabetik merupakan penyebab utama
terjadinya gagal ginjal terminal (Brunner & Suddart,
2015).
22

c) Neuropati Diabetik
Neuropati Diabetik juga merupakan komplikasi yang
paling sering ditemukan pada pasien diabetes melitus.
Neuropati diabetik mengacu pada sekelompok penyakit
yang menyerang semua tipe syaraf, termasuk saraf
perifer (sensorimotor) dan otonom. Kelainan tersebut
tampak beragam secara klinis bergantung pada lokasi
sel syaraf yang terkena (Brunner & Suddart, 2015).
2) Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi pada pembuluh darah besar (makrovaskuler)
yaitu :
a. Penyakit arteri Koroner
Perubahan atherosklerotik dalam pembuluh arteri
koroner menyebabkan peningkatan insidens infark
miokard pada pasien diabetes. Pada penyakit diabetes
terdapat pengingkatan kecenderungan untuk mengalami
komplikasi infark miokard dan kecenderungan untuk
mendapatkan serangan infark yang kedua. Salah satu
ciri unik pada panyakit arteri koroner yang diderita oleh
pasien-pasien diabetes adalah tidak terdapatnya gejala
iskemik yang khas. Jadi, pasien mungkin tidak
memperlihatkan tanda-tanda awal penurunan aliran
darah koroner dan dapat mengalami infark miokard
asimtomatik (silent) dimana keluhan sakit dada atau
gejala khas lainnya tidak dialaminya. Kurangnya gejala
iskemik ini disebebkan oleh neuropati otonom (Brunner
& Suddart, 2015).
b. Penyakit Serebrovaskular
Kemudian pasien dengan diabetes melitus berisiko dua
kali lipat dibandingkan dengan pasien non diabetes
melitus untuk terkena penyakit serebrovaskular.
23

Gejala yang ditimbulkan menyerupai gejala pada


komplikasi akut DM , seperti adanya keluhan pusing
atau vertigo, gangguan penglihatan, kelemahan dan
bicara pelo. Karena itu pemeriksaan kadar gula darah
sangat penting pada pasien yang mengeluhkan semua
gejala diatas (Brunner & Suddart, 2015).
c. Penyakit Vaskuler Perifer
Perubahan atheroskerotik dalam pembuluh darah besar
pada ekstremitas bawah merupakan penyebab
meningkatnya insidens penyakit oklusi arteri perifer
pada pasien diabetes. Tanda dan gejala penyakit
vaskuler perifer dapat mencakup berkurangnya denyut
nadi perifer dan klaudikasio intermitten (nyeri pada
pantat atau betis ketika berjalan). Bentuk penyakit
oklusif arteri yang parah pada ekstremitas bawah ini
merupakan penyebab utama meningkatnya insidens
gangren dan amputasi pada pasien-pasien diabetes
(Brunner & Suddart, 2015).

9. Pemeriksaan Penunjang
Menurut PERKENI (2015), pada praktek sehari-hari, hasil
pengobatan DMT2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah: a. Pemeriksaan Kadar
Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
1) Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
2) Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai
sasaran terapi
Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:
1) Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
2) Glukosa 2 jam setelah makan, atau
24

3) Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala


sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai
HbA1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.

Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c


diperiksa setiap 3 bulan atau tiap bulan pada keadaan HbA1c
yang sangat tinggi (> 10%). Pada pasien yang telah
mencapai sasran terapi disertai kendali glikemik yang stabil
HbA1C diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun. HbA1C
tidak dapat dipergunakan sebagai alat untuk evaluasi pada
kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat
transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang
mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
dengan menggunakan darah kapiler.
d. Glycated Albumin (GA)
Saat ini terdapat cara lain seperti pemeriksaan (GA) yang
dapat dipergunakan dalam monitoring. GA dapat digunakan
untuk menilai indeks kontrol glikemik yang tidak dipengaruhi
oleh gangguan metabolisme hemoglobin dan masa hidup
eritrosit seperti HbA1c. HbA1c merupakan indeks kontrol
glikemik jangka panjang (2-3 bulan). Sedangkan proses
metabolik albumin terjadi lebih cepat daripada hemoglobin
dengan perkiraan 15 – 20 hari sehingga GA merupakan
indeks kontrol glikemik jangka pendek.
25

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Identitas Penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, status pernikahan, suku bangsa, nomor
register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki atau tungkai bawah, rasa raba
yang menurun atau adanya luka yang tidak sembuh-sembuh.

c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya rasa kesemutan, kapan
menurunnya perabaan dan terjadinya luka, penyebab
terjadinya luka, serta upaya yang telah dilakukan oleh
penderita untuk mengatasinya.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit-penyakit lain
yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya
penyakit pankreas, adanya riwayat penyakit jantung, obesitas,
atheroskelosis, dan gejala-gejala awal diabetes seperti
poliuria, polidipsi, polifagia, kulit kering dan penurunan berat
badan (Brunner & Suddart, 2015).
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota
keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan
yang dapat meningkatkan risiko terjadinya DM seperti
hipertensi.
4) Riwayat Psikososial
Meliputi informasi mengenai perilaku, perasaan dan emosi
yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta
tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
5) Riwayat Spiritual
26

Perlu dikaji tentang keyakinan dan persepsi pasien terhadap


penyakit dan kesembuhannya dihubungkan dengan agama
yang pasien anut. Bagaimana aktifitas spiritual pasien selama
pasien menjalani perawatan di rumah sakit dan siapa yang
menjadi pendorong atau pemberi motivasi untuk
kesembuhannya.
d. Pola Fungsional Gordon
1) Pola promosi kesehatan
Kaji adakah riwayat infeksi sebelumnya, persepsi pasien dan
keluarga mengenai pentingnya kesehatan bagi anggota
keluarganya
2) Pola nutrisi
Kaji pola makan dan minım sehari-hari, jumlah makanan dan
minuman yang dikonsumsi, jenis makanan dan minuman,
firekuensi makan dan minum perhari, nafsu makan menurun
atau tidak, jenis makanan yang disukai, penurunan berat
badan
3) Pola Eliminasi dan pertukaran
Kaji pola BAB dan BAK sebelum dan setelah sakit, mencatat
konsistensi, warna, bau dan frekeunsi sehari, konstipasi.
4) Pola aktivitas/istirahat
Kaji reaksi setelah beraktivitas (muncul keringat dingin/tidak,
kelelahan dan keletihan), perubahan pola nafas setelah
aktifitas, kemampuan pasien dalam aktivitas secara mandiri.
Kaji berapa jam tidur dalam sehari, kebiasaan tidur siang,
gangguan selama tidur (sering terbangun), nyenyak dan
nyaman
5) Pola persepsi kognitif
Kaji konsentrasi, daya ingat dan kemampuan mengetahui
penyebab penyakitnya.
6) Pola persepsi dan konsep diri
27

Kaji adakah perasaan terisolasi diri atau perasaan tidak


percaya diri karena sakit yang diderita
7) Pola Hubungan peran
Kaji hubungan antar keluarga, interaksi dan komunikasi
8) Pola seksualitas
9) Pola koping/toleransi stress
Kaji pengendalian emosi, kecemasan yang muncul tanpa
alasan yang jelas, takut terhadap penyakitnya.
10) Pola prinsip hidup
Kaji pengambilan keputusan dalam keluarga, gangguan
beribadah selam sakit, ketaatan berdo'a dan beribadah.
11) Pola keamanan/perlindungan
Kaji adanya cedera fisik, resiko jatuh, suhu tubuh
hipertermi/hipotermi
12) Pola kenyamanan
Kaji ada keluhan nyeri/tidak, mual, muntah

e. Pemeriksaan Fisik
1) Status Kesehatan Umum
Meliputi keadaan pasien, kesadaran, tinggi badan, berat
badan dan tanda-tanda vital.
2) Kepala dan Leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adanya gangguan
pendengaran, lidah sering terasa tebal, adanya penglihatan
kabur atau ganda, diplopia dan lensa mata keruh.
3) Sistem Integumen
Adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembapan
dan suhu kulit di daerah sekitar luka, kemerahan pada kulit
sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
4) Sistem Pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum dan nyeri dada.
5) Sistem Kardiovaskuler
28

Perfusi jaringan perifer menurun, nadi perifer lemah atau


berkurang, takikardi atau bradikardi,
hipertensi atau hipotensi, aritmia.
6) Sistem Gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare,
konstipasi, dehidrasi dan perubahan berat badan.
7) Sistem Urinary
Poliuri, retensi urin atau inkontinensia urin.
8) Sistem Muskoloskeletal
Adanya deformitas, cepat lelah, lemah serta adanya ganggren
di ekstremitas.
9) Sistem Neurologis
Terjadinya penurunan sensoris, parathesia, anasthesia,
letargi, mengantuk, refleks lambat dan disorientasi.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap
pengalaman/respon individu, keluarga, atau komunitas pada masalah
kesehatan/ risiko masalah kesehatan atau pada proses kehidupan.
Diganosa keperawatan merupakan bagian vital dalam menentukan
asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu klien mencapai
kesehatan yang optimal (SDKI, 2016). Pada pasien dengan Diabetes
Melitus Tipe 2, terdapat beberapa diagnosa keperawatan yang dapat
muncul, yaitu :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
b. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan berhubungan dengan
Neuropati perifer
c. Ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan
Hiperglikemia, disfungsi Pankreas
d. Defisit Nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (mis, stres,
keengganan untuk makan
29

e. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis (mis. penyakit


kronis)
f. Hivopolemi berhubungan dengan Kehilangan cairan aktif
(Polidipsi)
g. Defisit Pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi
30

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)


1 Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan selama ...x24 jam, diharapkan status tingkat 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak nyeri dapat teratasi, ditandai dengan: Kriteria kualitas, intensitas nyeri
atau lamat dan berintensitas ringan hingga berat Hasil 2. Identifikasi skala nyeri
yang berlangsung kurang 3 bulan. Indikator T 3. Identifikasi respon non verbal
Penyebab Keluhan Nyeri 1 4. Identifikasi faktor yang memperberat
1. Agen pencedera fisiologis (mis. infarmasi, Meringis 1 dan memperingan nyeri
lakemia, neoplasma) Diaforesis 1 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, Keterangan: nyeri
bahan kimia iritan) 1. Menurun 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
3. Agen pencedera fisik (mis.abses, 2. Cukup Menurun nyeri
amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat 3. Sedang 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
berat, prosedur operasi, trauma, latihan 4. Cukup Meningkat 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
fisik berlebihan) 5. Meningkat sudah diberikan
Gejala dan Tanda Mayor Indikator T 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Subjektif Frekuensi Nadi 5 Terapeutik
1. Mengeluh nyeri Pola Nafas 5 10. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi
Objektif Tekanan Darah 5 rasa nyeri (mis., TENS, hipnosis, akupressure,
1. Tampak meringis Keterangan: terapi musik, biofeedback, terapi pijat,aromaterapi,
2. Bersikap protektif (mis. waspada, posisi 1. Memburuk teknik imajinasi terbimbing, kompres
menghindari nyeri) 2. Cukup memburuk hangat/dingin, terapi bermain)
3. Gelisah 3. Sedang 11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
4. Frekuensi nadi meningkat 4. Cukup membaik (mis., suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
5. Sulit tidur 5. Membaik 12. Fasilitasi istirahat dan tidur
Gejala dan Tanda Minor 13. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
Subjektif pemilihan strategi meredakan nyeri
31

(tidak tersedia) Edukasi


Objektif 14. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
1. Tekanan darah meningkat 15. Jelaskan strategi meredakan nyeri
2. Pola napas berubah 16. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
3. Nafsu makan berubah 17. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
4. Proses berpikir terganggu 18. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
5. Menarik diri mengurangi rasa nyeri
6. Berfokus pada diri sendiri Kolaborasi
7. Diaforesis 19. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2 Gangguan Integritas Kulit/Jaringan Integritas Kulit dan Jaringan Perawatan Luka


Definisi Ekspetasi: setelah dilakukan Observasi
Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) tindakan keperawatan selama ...x24 - Monitor karakteristik luka (mis., drainase, warna,
atau jaringan (membran mukosa, kornea, fasia, jam, diharapkan integritas kulit dan ukuran, bau)
otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi jaringan dapat meningkat, ditandai - Monitor tanda-tanda infeksi
dan/atau ligamen). dengan: Terapi
Penyebab Kriteria Hasil - Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
1. Perubahan Sirkulasi Indikator T - Cukur rambut di sekitar luka, jika perlu
2. Perubahan status nutrisi (kelebihan atau Nyeri 1 - Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih
kekurangan) Perdarahan 1 nontoksik, sesuai kebutuhan
3. Kekurangan/kelebihan volume cairan Hematoma 1 - Bersihkan jaringan nekrotik
4. Penurunan mobilitas Kerusakan lapisan kulit 1 - Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
5. Bahan kimia iritatif Skala Indikator: - Basang balutan sesuai jenis luka
6. Suhu lingkungan yang ekstrim 1. Meningkat - Pertahankan teknik steril saat
7. Faktor mekanis (mis., penekanan pada 2. Cukup meningkat melakukan
tonjolan tulang, gesekan) atau faktor eletris 3. Sedang perawatan luka
(elektrodiatermi, energi listrik bertegangan 4. Cukup menurun - Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
tinggi) 5. Menurun - Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau
8. Efek samping terapi radiasi sesuai kondisi pasien
9. Kelembaban - Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari
10. Proses penuaan dan protein 1,25-1,5 g/kgBB/hari
11. Neuropati perifer - Berikan suplemen vitamin dan mineral, sesuai
indikasi
32

12. Perubahan pigmentasi - Berikan terapi TENS (stimulasi


13. Perubahan hormonal saraf
14. Kurang terpapar informasi tentang upaya transkutaneous), jika perlu
mempertahankan/melindungi integritas Edukasi
jaringan - Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Gejala dan Tanda Mayor - Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori
Objektif dan protein
1. Kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit - Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Gejala dan Tanda Minor Kolaborasi
Objektif - Kolaborasi prosedur debridement (mis., enzimatik,
1. Nyeri biologis, mekanis, autolitik), jika perlu
2. Perdarahan Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
3. Kemerahan
4. Hematoma
3 Keletihan Tingkat Keletihan Manajemen Energi
Definisi : Penurunan kapasitas kerja fisik dan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
mental yang tidak pulih dengan istirahat selama ...x... jam diharapkan pasien dapat 1. Identifkasi gangguan fungsi tubuh
Penyebab : beraktivitas secara mandiri, dengan kriteria yang
1. Gangguan tidur hasil : mengakibatkan kelelahan
2. Gaya hidup monoton Indikator T 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
3. Kondisi fisiologis (mis. penyakit kronis, Verbalisasi pemulihan energi 5 3. Monitor pola dan jam tidur
penyakit terminal, anemia, malnutrisi, Kemapuan melakukan aktivitas 5 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
kehamilan) rutin melakukan aktivitas
4. Program perawatan/pengobatan Skala Indikator : Terapeutik
jangka panjang 1. Menurun 5. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
5. Peristiwa hidup negatif 2. Cukup menurun (mis. cahaya, suara, kunjungan)
6. Stres berlebihan 3. Sedang 6. Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
7. Depresi 4. Cukup meningkat 7. Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
5. Meningkat 8. Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi
33

9. Anjurkan tirah baring


10. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

11. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan


gejala kelelahan tidak berkurang
12. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan Kolaborasi
13. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang
cara meningkatkan asupan makanan

4 Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Kestabilan Kadar Glukosa Darah Manajemen Hiperglikemia
Definisi : variasi kadar Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
glukosa darah naik/turun dari rentang selama ...x.... jam diharapkan Kestabilan 1. Identifkasi kemungkinan penyebab hiperglikemia
normal. Kadar Glukosa Darah meningkat, dengan 2. Identifikasi situasi yang menyebabkan kebutuhan
Penyebab : kriteria hasil: insulin meningkat (mis. penyakit kambuhan)
Hiperglikemia Indikator T 3. Monitor kadar glukosa darah, jika perlu
1. Disfungsi pangkreas Kadar glukosa dalam darah 1 4. Monitor tanda dan gejala hiperglikemia (mis.
2. Resistensi insulin poliuri, polidipsia, polivagia, kelemahan, malaise,
3. Gangguan toleransi glukosa darah Skala Indikator : pandangan kabur, sakit kepala)
4. Gangguan glukosa darah puasa 1. Menurun 5. Monitor intake dan output cairan
Hipoglikemia 2. Cukup menurun 6. Monitor keton urine, kadar analisa gas darah,
1. Penggunaan insulin atau obat glikemik oral 3. Sedang elektrolit, tekanan darah ortostatik dan frekuensi
2. Hiperinsulinemia (mis. Insulinoma) 4. Cukup meningkat nadi
3. Endokrinopati (mis. Kerusakan adrenal atau 5. Meningkat Terapeutik
pituitari) 7. Berikan asupan cairan oral
4. Disfungsi hati Indikator T 8. Konsultasi dengan medis jika tanda dan gejala
5. Disfungsi ginjal kronis hiperglikemia tetap ada atau memburuk
Lelah / lesu 5
6. Efek agen farmakologis 9. Fasilitasi ambulasi jika ada hipotensi ortostatik
Skala Indikator :
7. Tindakan pembedahan neoplasma Edukasi
1. Meningkat
8. Gangguan metabolok bawaan (mis. 10. Anjurkan olahraga saat kadar glukosa darah lebih
2. Cukup meningkat
Gangguan penyimpanan lisosomal, dari 250 mg/dL
3. Sedang
galaktosemia, gangguan penyimpanan 11. Anjurkan monitor kadar glukosa darah secara
4. Cukup menurun
glikogen) mandiri
5. Menurun
34

12. Anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olahraga


13. Ajarkan indikasi dan pentingnya pengujian keton

urine, jika perlu


14. Ajarkan pengelolaan diabetes (mis. penggunaan
insulin, obat oral, monitor asupan cairan,
penggantian karbohidrat, dan bantuan professional
kesehatan)
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian insulin, jika perlu
16. Kolaborasi pemberian cairan IV, jika perlu
17. Kolaborasipemberian kalium, jika perlu
Manajemen Hipoglikemia
Observasi
1. Identifkasi tanda dan gejala hipoglikemia
2. Identifikasi kemungkinan penyebab hipoglikemia
Terapeutik
3. Berikan karbohidrat sederhana, jika perlu
4. Batasi glucagon, jika perlu
5. Berikan karbohidrat kompleks dan protein sesuai
diet
6. Pertahankan kepatenan jalan nafas
7. Pertahankan akses IV, jika perlu
8. Hubungi layanan medis, jika perlu
Edukasi
9. Anjurkan membawa karbohidrat sederhana setiap
saat
10. Anjurkan memakai identitas darurat yang tepat
11. Anjurkan monitor kadar glukosa darah
12. Anjurkan berdiskusi dengan tim perawatan diabetes
tentang penyesuaian program pengobatan
13. Jelaskan interaksi antara diet, insulin/agen oral, dan
olahraga
35

14. Anjurkan pengelolaan hipoglikemia(tanda dan


gejala, faktor risiko dan pengobatan hipoglikemia)

15. Ajarkan perawatan mandiri untuk mencegah


hipoglikemia (mis. mengurangi insulin atau agen
oral dan/atau meningkatkan asupan makanan untuk
berolahraga
Kolaborasi
16. Kolaborasi pemberian dextros, jika perlu
17. Kolaborasi pemberian glucagon, jika perlu
6 Defisit Nutrisi NOC : Status Nutrisi Manajemen Nutrisi
Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk Setelah dilakukan tindakan keperawatan
memenuhi kebutuhan metabolisme selama ...x.... jam diharapkan pasien Observasi
Penyebab : menunjukkan perbaikan “status nutrisi”, 1. Identifikasi status nutrisi
1. Ketidakmampuan menelan makanan dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
2. Ketidakmampuan mencerna makanan 3. Identifikasi makanan yang disukai
3. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
Kriteria T
4. Peningkatan kebutuhan metabolisme 5. Identifikasi perlunya penggunaan
Porsi makan yang dihabiskan 5
5. Faktor ekonomi (mis. selang
BB atau IMT 5
finansial tidak mencukupi) nasogastrik
Frekuensi makan 5
6. Faktor psikologis (mis. stres, keengganan 6. Monitor asupan makanan
Nafsu makan 5
untuk makan) 7. Monitor berat badan
Skala Indikator :
Gejala dan Tanda Mayor 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
1. Menurun
Subjektif Terapeutik
2. Cukup menurun
(tidak tersedia) 9. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
3. Sedang
Objektif 10. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida
4. Cukup meningkat
1. Berat badan menurun minimal 10% di bawah makanan)
5. Meningkat
rentang ideal 11. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
Gejala dan Tanda Minor sesuai
Subjektif 12. Berikan makan tinggi serat untuk mencegah
1. Cepat kenyang setelah makan konstipasi
2. Kram/nyeri abdomen 13. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
3. Nafsu makan menurun 14. Berikan suplemen makanan, jika perlu
36

Objektif 15. Hentikan pemberian makan melalui


1. Bising usus hiperaktif selang
nasigastrik jika asupan oral dapat ditoleransi

2. Otot pengunyah lemah Edukasi


3. Otot menelan lemah 16. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
4. Membran mukosa pucat 17. Ajarkan diet yang diprogramkan
5. Sariawan Kolaborasi
6. Serum albumin turun 18. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
7. Rambut rontok berlebihan (mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
8. Diare 19. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan,
jika perlu
37

7 Hipovolemia NOC : Keseimbangan Cairan Manajemen Hipovolemia


Definisi : Penurunan cairan intravaskuler, Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
interstisial, dan/atau intraseluler Penyebab selama ...x.... jam diharapkan pasien 1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis.
: menunjukkan perbaikan keseimbangan frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
1. Perubahan status mental cairan yang paten, dengan kriteria hasil: tekanan darah menurun, tekanan nadi
2. Kehilangan cairan aktif Kriteria T menyempit,turgor kulit menurun, membrane
3. Kegagalan mekanisme regulasi Kekuatan nadi 5 mukosa kering, volume urine menurun, hematokrit
4. Peningkatan permeabilitas kapiler Turgor kulit 5 meningkat, haus dan lemah)
5. Kekurangan intake cairan Output urine 5 2. Monitor intake dan output cairan Terapeutik
6. Evaporasi Skala Indikator : 3. Hitung kebutuhan cairan
Gejala dan Tanda Mayor 1. Menurun 4. Berikan posisi modified trendelenburg
Subjektif 2. Cukup menurun 5. Berikan asupan cairan oral
(tidak tersedia) 3. Sedang Edukasi
Objektif 4. Cukup meningkat 6. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
1. Nadi teraba lemah 5. Meningkat 7. Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
2. Tekanan darah menurun Kolaborasi
3. Tekanan Nadi menyempit 8. Kolaborasi pemberian cairan IV issotonis (mis.
4. Turgor kulit menyempit cairan NaCl, RL)
5. Membran mukosa kering 9. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis.
6. Voluem urin menurun glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
7. Hemtokrit meningkat 10. Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin,
Gejala dan Tanda Minor

Subjektif plasmanate)
1. Merasa lemah 11. Kolaborasi pemberian produk darah
2. Mengeluh haus
Objektif
1. Pengisian vena menurun
2. Status mental berubah
3. Suhu tubuh meningkat
4. Konsentrasi urin meningkat
5. Berat badan turun tiba-tiba
38

8 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan intervensi keperawatan Pengajaran proses penyakit


Definisi : Ketiadaan atau kurangnya informasi selama 2 x 24 jam tingkat pengetahuan Aktivitas-aktivitas
kognitif yang berkaitan dengan topik tertentu meningkat, dengan kriteria hasil : Observasi
Penyebab Kriteria T 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses
1. Keteratasan kognitif Kemampuan menjelaskan 5 penyakitnya
2. Gangguan fungsi kognitif pengetahuan sesuai topik Teraupetik
3. Kekeliruan mengikuti anjuran Prilaku sesuai anjuran 5 2. Jelaskan tanda dan gejala yang umum dari penyakit
4. Kurang terpapar informasi Skala Indikator : sesuai kebutuhan
5. Kurang minat dalam belajar 1. Menurun 3. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
6. Kurang mampu mengingat 2. Cukup menurun diperlukan untuk masa depan yang akan datang
7. Ketidaktahuan menemukan 3. Sedang 4. Jelaskan komplikasi kronik yang mungkin
sumber informasi 4. Cukup meningkat diperlukan untyuk masa depan yang akan datang.
Gejala dan Tanda Mayor 5. Meningkat Edukasi
Subjektif 5. Edukasi pasien mengenai tindakan untuk
(tidak tersedia) mengontrol / meminimalkan gejala sesuai
Objektif kebutuhan ( 4 pilar penatalaksanaan DM)
1. Menunjukan perilaku tidak sesuai anjuran 6. Edukasi pasien mengenai tanda gejala yang harus
2. Menunjikan presepsi yang keliru terhadap dilaporkan kepada petugas kesehatan
masalah Kolaborasi
Gejala dan Tanda Minor
1. Menjalani pemeriksaan yang tepat
2. Menunjikan perilaku berlebihan (mis. apatis,
bermusuhan, agitasi, histeria)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat dalam membantu pasien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi menuju kesehatan yang lebih baik sesuai dengan
intervensi atau rencana yang telah dibuat sebelumnya. (Potter & Perry,
2015).
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dari masalah status
kesehatan yang dihadapi menuju kesehatan yang lebih baik sesuai dengan
intervensi atau rencana yang telah dibuat sebelumnya (Ariga, 2020).
Jenis-Jenis Implementasi Keperawatan menurut Tarwoto &
Wartonah (2011) dalam melakukan implementasi keperawatan terdapat
tiga jenis implementasi keperawatan, yaitu :
1) Independent implementations adalah suatu tindakan yang dilakukan
secara mandiri oleh perawat tanpa petunjuk dari tenaga kesehatan
lainnya.
2) Interdependent/collaborative implementations adalah tindakan
perawat yang dilakukan berdasarkan kerjasama dengan tim kesehatan
yang lain
3) Dependen implementations adalah pelaksanaan rencana tindakan
medis/instruksi dari tenaga medis seperti ahli gizi, psikolog,
psikoterapi, dan lain-lain dalam hal pemberian nutrisi kepada klien
sesuai dengan diet yang telah dibuat oleh ahli gizi dan latihan fisik
sesuai dengan anjuran bagian fisioterapi

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua
kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi selama
proses keperawatan berlangsung atau menilai dari respon pasien disebut
evaluasi proses dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan
40

yang diharapkan disebut evaluasi hasil. Terdapat dua jenis evaluasi yaitu
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Evaluasi formatif merupakan evaluasi yang dilakukan pada saat
memberikan intervensi dengan respon segera. Sedangkan evaluasi sumatif
merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada
waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap
perencanaan. Dilakukan setiap hari dan meliputi 4 komponen, yang
dikenal dengan istilah SOAP, yakni subyektif (respon verbal pasien
terhadap tindakan), objektif (respon nonverbal hasil dari tindakan dan data
hasil pemeriksaan), analisa data (menyimpulkan masalah, masih tetap ada,
berkurang, atau muncul masalah baru) dan perencanaan (perencanaan atau
tindak lanjut tindakan yang akan dilakukan selanjutnya berdasarkan hasil analisa
dari respon pasien).

Anda mungkin juga menyukai