Anda di halaman 1dari 7

1.

Pendidikan sebagai barang publik

Pendidikan merupakan faktor yang mendasar dalam siklus kehidupan manusia mulai hari
lahir hingga akhir hayat (Long Life Education). Berdasarkan konsep, pendidikan merupakan
upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta
mengembangkan manusia Indonesai seutuhnya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan
sebagai suatu proses Transfer Of Knowledge yang dilakukan oleh guru kepada anak didiknya.

Selain itu, pendidikan diartikan juga sebagai alat yang dilakukan untuk merubah cara
berpikir kita dari cara berpikir tradisional ke cara berpikir ilmiah (modern). Barang publik
adalah barang yang tidak memiliki pesaing dalam konsumsi dan/atau distribusi manfaatnya
tidak mungkin dikecualikan. Sehingga barang publik memiliki dua karakteristik yaitu tidak
bersaingan (nonrivalry) dan tidak eksludabel (nonexcludability). Pengertian tidak bersaingan
merupakan sifat suatu barang dimana jika pemanfaatan oleh satu orang akan mengurangi
kesempatan orang lain untuk memanfaatkannya. Sedangkan eksludabilitas merupakan sifat
suatu barang yang bisa mencegah orang lain untuk memanfaatkannya. Pendidikan sebagai
barang publik tidak dibatasi pada siapa penggunanya, seseorang tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk mendapatkannya, pendidikan sebagai barang publik bila dikonsumsi oleh individu
tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut.

Pemerintah dalam tanda kutip Kementerian Pendidikan memiliki peranan penting


dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, terutama pada ketersediaan sarana dan
prasarana seperti gedung yang layak pakai, fasilitas sekolah yang mewadai siswa dalam belajar
dan biaya pendidikan yang terjangkau. Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan
tentang kurikulum yang berlaku. Kurikulum yang sering berubah seiring dengan rezim
pemerintahan menyebabkan perserta didik menjadi korbannya. Kita pahami bahwa masalah
pendidikan menjadi kewajiban pemerintah untuk menuntaskannya, pendidikan pada umumnya
menjadi barang publik (public goods) yang berartinya pendidikan sebagai barang publik
sehingga menjadi kewajiban pemerintah.

2. Definisi Komersialisasi

Seperti namanya, komersialisasi melekat dengan arti barang dagangan. Dalam konteks
pendidikan, komersialisasi pendidikan berarti menjadikan pendidikan sebagai barang
dagangan, sehingga mengubah konsep pendidikan yang seharusnya merupakan barang publik.
Lebih spesifiknya lagi, Komersialisasi pendidikan menurut Agus Wibowo (2008 : 111)
mengacu pada dua pengertian yang berbeda bahwa :

1) Komersialisasi hanya mengacu pada lembaga pendidikan dengan program pendidikan


serta perlengkapan yang serba mahal. Selain itu, komersialisasi pendidikan juga
mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mementingkan penarikan
uang pendaftaran dan uang sekolah saja, tetapi mengabaikan kewajiban yang harus
diberikan kepada siswa.
2) Komersialisasi pendidikan yang mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan yang
hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang kuliah, tetapi mengabaikan
kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasa dilakukan oleh
lembaga atau sekolah-sekolah yang menjanjikan pelayanan pendidikan, tetapi tidak
sepadan dengan uang yang pungut.

Menurut Satriyo Brojonegoro, Komersialisasi pendidikan dianggap sebagai misi


lembaga pendidikan modern mengabdi kepada kepentingan pemilik modal dan bukan sebagai
sarana pembebasan bagi kaum tertindas sehingga pendidikan yang humanisasi tidak tercapai
dalam proses pendidikan karena adanya komersialisasi pendidikan yang membuat pendidikan
hanya mampu dinikmati oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki modal untuk mengakses
pendidikan ( Darmaningtyas, 2005 : 31).

Praktik komersialisasi pendidikan secara jelas menjadi penyebab utama terjadinya


peningkatan biaya pendidikan, terutama untuk masuk peguruan tinggi. subijanto menyebutkan
bahwa sekurang-kurangnya terdapat 5 (rima) indikator sebuah lembaga pendidikan
dikategorikan bersifat komersial yaitu:

a. Penyelenggaraan pendidikan dijadikan komoditi yang diperjualbelikan. sekolah


merupakan institusi penyelenggara pendidikan yang ditujukanr untuk turut serta
mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. sebagai
institusi pendidikan yang bergerak di bidang sosial, lembaga pendidikan semestinya
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagisetiap negara untuk memperoleh
pendidikan yang layak oleh karena itu tidak layak jika lembaga pendidikan
menjadikan pendidikan sebagai 'barang' yang diperjualbelikan.
b. Penyelenggaraan pendidikan memerlukan biaya mahal. Sekalipun dalam
penyelenggaraan pendidikan, setiap lembaga pendidikan memiliki hak otonomi
untuk mengelola sendiri tetapi dalam menentukan biaya sebaiknya memperhatikan
kemampuan berbagai kalangan masyarakat. Hal ini berartidalam menentukan
besarnya biaya operasional yang harus dikeluarkan, harus mempertimbangkan
kondisi ekonomi masyarakat.
c. Penyelenggaraan pendidikan tidak memberikan kesempatan pada peserta didik dari
kalangan masyarakat kurang/tidak mampu/miskin. Lembaga pendidikan seharusnya
memberikan kesempatan bagi peserta didik dari kalangan masyarakat kurang
mampu, untuk dapat menikmati pendidikan secara proporsional. Hal ini dimaksudkan
untuk memberi kesempatan bagi peserta didik yang memiliki prestasi dan/atau bagi
peserta didik yang orang tuanya kurang mampu, dapat memperoleh hak yang sama
dalam dunia pendidikan.
d. Penyelenggaraan pendidikan tidak memberikan 'subsidi silang/dispensasi’ uang
sekolah bagi peserta didik yang orang tuanya tidak mampu secara ekonomi.
Pemberian subsidi silang bagi peserta didik yang kurang mampu merupakan bentuk
kontribusi lembaga penyelenggara pendidikan. Kebijakan semacam ini sangat
diperlukan agar kelangsungan pendidikan bagi peserta didik yang kurang mampu
dapat menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang tertentu
e. Penyelenggaraan pendidikan lebih berorientasi mencari keuntungan. Pada
hakikatnya penyelenggaraan pendidikan bermuatan sosial dan bukan untuk mencari
keuntungan semata. Namun saat ini pendidikan telah menjadi 'ladang' industri, bukan
sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Berbagai praktek jual-beli
gelar, jual-beli ijasah dan jual-beli nilai, menjadikan tumbuhnya bisnis pendidikan
yang semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk.

Beberapa indikator tersebut memunculkan pemikiran bahwa pendidikan memang menjadi


tempat yang rentan bagi terjadinya praktek-praktek komersial.

3. Data-data Pendukung

Kebijakan perubahan PTN-BLU menjadi PTN-BH menuai kontra dari berbagai


kalangan, khususnya mahasiswa karena berpotensi menciptakan praktik komersialisasi
pendidikan. Pada tahun 2016, mahasiswa Universitas Brawijaya melakukan aksi-aksi
penolakan pergantian status Universitas Brawijaya dari PTN-BLU menjadi PTN-BH, hal ini
dikarenakan pendapat mahasiswa yang menyatakan perubahan status UB menjadi PTN-BH
akan memberikan kerugian terhadap mereka. Isu yang diangkat didominasi oleh aspek
keuangan, mulai dari naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga isu liberalisasi pendidikan.
Selain itu, komersialisasi pendidikan terkait perubahan PTN-BLU menjadi PTN-BH
nampaknya juga dialami oleh Universitas Sebelas Maret. Menteri Analisis Kampus dan
Pendidikan Tinggi BEM UNS 2020, Firdausi Shofia, menilai bahwa berdasarkan kajian SPI
Aliansi UNS Peduli Pendidikan Tahun 2019, penentuan SPI didasarkan pada minat dari prodi
yang bersangkutan. Semakin besar angka ketetatan prodi, maka akan semakin besar pula
nominal SPI. Hal ini menjadi indikasi adanya komersialisasi pendidikan karena melihat pasar
dalam menentukan jumlah nominal pembayaran. Situasi ini akan berdampak pada masyarakat
bawah yang kurang mampu untuk membayar biaya pendidikan. “PTN-BH menjadikan kampus
mempunyai otonom besar untuk mengurus segala bentuk aktivitas kampus,” jelas Firdausi.

Pada tahun 2020, terjadi juga unjuk rasa yang dilakukan oleh Gerakan Mahasiswa Jakarta
Bersatu (GMJB) di depan gedung Kemendikbud. Latar belakang dari unjuk rasa ini adalah
mereka mendesak pemerintah melalui Kemendikbud untuk membuat regulasi potongan biaya
pendidikan sebesar 50 persen di tengah masa pandemi COVID-19 serta menuntut untuk
mengentikan komersialisasi dan liberalisasi dunia pendidikan.

Meskipun terdapat program pemerintah berupa dana Bantuan Operasional Sekolah


(BOS) yang dicanangkan untuk meringankan beban peserta didik terutama dijenjang
pendidikan Sekolah Dasar maupun Sekolah Menengah, tetapi pada kenyataannya kurang
membantu meringankan beban peserta didik. Dalam perubahan masyarakat inilah yang
kemudian memuculkan kelas-kelas yaitu kelas atas yang memegang kekuasaan untuk
mengendalikan dan menindas kelas bawah. Selain tingginya Sumbangan Penyelenggaraan
Pendidikan (SPP) masih banyak pungutan-pungutan diluar pungutan wajib seperti buku-buku
pelajaran, maupun kegiatan-kegiatan di luar sekolah juga. Dengan demikian, walaupun
bantuan dari pemerintah sudah digalakkan untuk meringankan beban peserta didik, tetapi biaya
pendidikan masih mahal menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang mampu membiayai
pendidikan karena tingkat ekonominya relative rendah dan dituntut untuk membiayai
pelaksanaan pendidikan yang tinggi.

Komersialisasi pendidikan dianggap sebagai misi lembaga pendidikan modern mengabdi


kepada kepentingan pemilik modal dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi kaum
tertindas”. Akibatnya pendidikan yang humanisasi tidak tercapai dalam proses pendidikan
karena adanya komersialisasi pendidikan menurut Satriyo Brojonegoro hanya mampu
dinikmati oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki modal untuk mengakses pendidikan
(Darmaningtyas, 2005 : 31). persoalan mengenai besarnya biaya pendidikan yang timbul tidak
dapat dianggap persoalan yang kecil, karena masalah tersebut menyangkut keadilan dan hak
bagi seluruh anggota masyarakat untuk bersamasama mendapat pendidikan yang bermutu dan
berkualitas. Akibatnya masyarakat yang mempunyai penghasilan dibawah rata-rata tidak bisa
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Data kemendukbud ditahun 2020 menunjukkan
bahwa angka putus kuliah dimasa pandemi mencapai angka 50 % khususnya di perguruan
tinggi.

Dasar hukum atau peraturan yang berkaitan dengan peluang munculnya komersialisasi
pendidikan akibat pemberian otonomi dari Pemerintah ke pihak Perguruan Tinggi Negeri
ketika menjadi PTN-BH, yaitu :

1. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, berkaitan dengan
pembiayaan pasal 114 ayat 1: “Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari
sumber pemerintah, masyarakat, dan pihak luar negeri. Dana dari masyarakat: (1)
Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP); (2). biaya seleksi ujian masuk; (3). hasil
kontrak kerja; (4). hasil penjualan produk (5). sumbangan dan hibah perorangan,
lembaga Pemerintah atau lembaga non-pemerintah; dan (6). penerimaan dari
masyarakat lainnya.
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU ini
merupakan acuan seluruh pendidikan Indonesia. Terkait pendanaan pedidikan tinggi,
masyarakat diwajibkan memberikan dukungan sumberdaya di pendidikan tinggi (pasal
9), peserta didik diwajibkan menanggung biaya pendidikan (pasal 12),
memperbolehkan perguruan tinggi untuk mencari pendanaannya sendiri dari
masyarakat (pasal 24), pendanaan pedidikan tinggi ditanggung bersama antara
pemerintah, pemda, dan masyarakat, tetapi tidak diatur detailnya (pasal 46).
pengalokasiaan dana pendidikan (pasal 49), kemandirian pengelolaan (pasal 50), Badan
Hukum Pendidikan (BHP) (pasal 53), diperbolehkannya lembaga pendidikan asing di
Indonesia (pasal 64 dan 65).
3. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 yang digantikan dengan Peraturan
Pemerintah No 74 tahun 2012 terkait ola keuangan BLU (Badan Layanan Umum) untuk
PTN dengan prinsip diperbolehkan mencari sumber dana sendiri dan diberikan
keleluasaan untuk menerapkan prinsip bisnis dalam pelayanan pada masyarakat
sehingga dikti dimaksudkan sebagai komoditas jasa yang diperjual belikan tanpa profit
4. Pasal 1 Ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) No 26 Tahun 2015 tentang Bentuk dan
Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi menyatakan bahwa PTN berbadan hukum
adalah perguruan tinggi negeri yang didirikan oleh pemerintah dan berstatus sebagai
subjek hukum yang otonom.
5. Pasal 76 Undang-Undang No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Dalam
Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa perguruan tinggi yang berstatus PTN-BH
memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan.

4. Hasil Diskusi

Salah satu bentuk komersialisasi yang terjadi di Perguruan Tinggi ialah kenaikan UKT
(Uang Kuliah Tunggal) yang ditetapkan pihak kampus setelah perpindahan status kampus
dari PTN-BLU menjadi PTN-BH. Situasi ini merupakan dampak yang ditimbulkan oleh
peraturan yang memberikan wewenang PTN-BH untuk mengelola keuangannya sendiri.
Pada kenyataannya, penerapan UKT masih memiliki banyak kendala seperti masih terdapat
kekurangan berupa: payung hukum masih lemah dan tidak konsisten, sumber anggaran
tidak maksimal sehingga beban mahasiswa masih tinggi, organsasi pelaksana di tingkat
fakultas tidak terbentuk formal, UKT tidak diperbolehkan ada pungutan lain terkadang
masih terjadi, pertanggungjawaban moral sulit dilakukan, penyaluran dan alokasi golongan
belum tepat sasaran.

Kondisi ini membutuhkan alternatif kebijakan yang mampu menengahi permasalahan


praktek komersialisasi pendidikan, mengingat pendidikan pada hakikatnya merupakan
barang publik. Oleh karena itu, kelompok kami merumuskan beberapa alternatif kebijakan,
yaitu :

1. Melibatkan pihak mahasiswa setiap melakukan proses evaluasi dan transparansi


keuangan kampus PTN-BH guna mendorong akuntabilitas kampus.
2. Melakukan audiensi yang dihadiri oleh komponen masyarakat kampus terkait laporan
keuangan kampus PTN-BH per tiga bulan.
3. Mendorong Pemerintah untuk berpihak ke kebutuhan mahasiswa sehingga Pemerintah
mampu mendesak PTN-BH untuk melakukan pengaturan pembiayaan selalu
berdasarkan kebutuhan mahasiswa (student-based allocation policies).

Prediksi atau peramalan yang berpotensi terjadi di masa depan jika alternatif kebijakan
ini tidak diterapkan adalah :

1. Pendidikan di Indonesia khususnya pada ranah perguruan tinggi tidak akan berkembang
karena praktik komersialisasi yang hanya menguntungkan beberapa pihak.
2. Kebijakan ini dinilai masih menuai polemik dan kontra dari mahasiswa, sehingga akan
mengurangi kepercayaan mahasiswa terhadap pihak kampus (PTN-BH) dan memicu
beberapa gerakan atau aksi-aksi unjuk rasa terkait praktik komersialisasi.
3. Komersialisasi pendidikan memicu angka putus kuliah masyarakat yang kurang
mampu untuk meneruskan pendidikannya karena mahalnya biaya pendidikan. Hal ini
tidak sejalan dengan pendidikan yang seharusnya menjadi barang publik.

Masih terdapat beberapa tekanan mahasiswa terkait ketransparansian kampus dalam


menetapkan biaya pendidikan membuktikan bahwa kebijakan lama harus ditindaklanjuti
dan dicermati kembali.

Daftar Pustaka :

Astri, Herlina. 2011. Dampak Sosial Komfrsialisasi Pendidikan Tinggi Di Indonesia.


Jurnal Kajian, 16(3).

Giddens, Anthony. 2007 . Karsidi, Ravik, 2005. Sosiologi Pendidikan (LPP) US dan
UPT.Surakarta

Pidarta, 2009. Sosiologi pendidikan, Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi


Departemen Pendidikan Nasional.

Soetjipto, Tantangan. 2000. Kebijaksanaan dan Manajemen pendidikan Tinggi


(Terjemahan), Universitas Negeri Jakarta.

Sarvitri, Anne., Sunandar, Asep. 2020. Otonomi Pendidikan Tinggi Dan Pembiayaannya:
antar Kemajuan dan Komersialisasi Pendidikan (Tinjauan terhadap UU Nomor 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi). Jurnal Pendidikan UNSIKA, 8(1).

Sulfasyah., Arifin, J. 2016. Komersialisasi Pendidikan. Jurnal Equilibrium, 4(2).

Zulfikar, Achmad. 2012. Dampak Komersialisasi Pendidikan Terhadap Tata Kelola


Pendidikan Tinggi di Indonesia. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta: Makalah.

Anda mungkin juga menyukai