PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Menurut UNICEF dan WHO, pneumonia merupakan
pembunuh anak paling utama yang terlupakan (major“forgotten killer of
children”). Pneumonia merupakan penyebab kematian yang lebih tinggi (19%).
Setiap tahun, lebih dari 2 juta anak meninggal karena pneumonia. Hampir semua
kematian akibat pneumonia (99,9%), terjadi di negara berkembang dan kurang
berkembang (least developed).
Di Indonesia, prevalensi pneumonia pada anak adalah 11,2%, dan
mempunyai kontribusi besar terhadap kematian bayi dan anak. Pneumonia
menduduki tempat ke-2 sebagai penyebab kematian bayi dan balita setelah diare,
yaitu sebesar 15,5% dan menduduki tempat ke-3 sebagai penyebab kematian
pada neonatus.
Kejang atau bangkitan adalah gangguan neurologi yang sering pada anak.
Hal ini terlihat bahwa sekitar 10% anak menderita paling tidak satu kali kejadian
kejang dalam 16 tahun pertama hidupnya. Penderita tertinggi ditempati oleh
anak yang berusia kurang dari tiga tahun. Data epidemiologi menunjukkan
sekitar 150.000 anak mendapatkan kejang dan 30.000 diantaranya berkembang
menjadi status epilepsi.
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang
demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis,
ketidakseimbangan elektrolit, dan overdosis obat. Meskipun penyebab dari
kejang beragam namun pada fase awal tidak perlu untuk melabelnya masuk pada
kelompok mana, karena manajemen jalan nafas dan penghentian kejang adalah
prioritas awal pada pasien dengan kejang aktif.
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia Anak
2.1.1 Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.
Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim
paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.
2.1.2 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah
kesehatan utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia
dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian
anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal
setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%
angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia
disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada
anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari
seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun Insiden
pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100
anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100
anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian
pertahun pada anak balita di negara berkembang.
2.1.3 Etiologi
2
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran
klinis dan strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan
bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif
seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang
lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan
pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering
juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae 2.
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV)
yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B,
parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Daftar etiologi
pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari data di
Negara maju dapat dilihat di tabel.
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir - 20 hari Bakteri: E.colli, Bakteri : Bakteri
Streptococcus grup B, anaerob,Streptococcus grup
Listeria monocytogenes D,Haemophillus
influenza,Streptococcus
pneumonie
Virus : CMV,HMV
3 minggu-3 bulan Bakteri: Clamydia trachomatis, Bakteri: Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza tipe B,
Virus : Adenovirus, influenza, Moraxella catharalis
Parainfluenza 1,2,3 Staphylococcus aureus
Virus :CMV
4 bulan-5 tahun Bakteri: Clamydia pneumonia, Bakteri: Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumonia, tipe B
Streptococcus pneumoniae Moraxella catharalis
Virus: Adenovirus, Rinovirus Staphylococcus aureus
Influenza, Parainfluenza Neisseria meningitides
Virus: Varisela Zoster
5 tahun-remaja Bakteri: Clamydia pneumonia Bakteri: Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus: Adenovirus, Epstein-
Barr, Rinovirus, Varisela
3
zoster, Influenza /
Parainfluenza
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia dinegara
maju.
2.1.4 Klasifikasi
4
Pneumonia berat
Batuk atau sesak nafas disertai salah satu di bawah ini :
- Retraksi dinding dada
- Nafas cuping hidung
- Grunting (merintih)
Auskultasi : ronki (+), suara nafas menurun, suara nafas bronkial.
Pneumonia sangat berat
Batuk atau sesak nafas disertai salah satu di bawah ini :
- Sianosis sentral
- Tidak bisa minum
- Muntah
- Kejang, letargi, kesadaran menurun
- Anggukan kepala
Auskultasi : ronki (+), suara nafas menurun, suara nafas bronkial
Sedangkan dalam MTBS/IMCI:
Diagnosis Klinis Klasifikasi (MTBS)
Pneumonia berat (rawat inap) :
-tanpa gejala hipoksemia Penyakit sangat berat
-dengan gejala hipoksemia (Pneumonia berat)
-dengan komplikasi
Pneumonia ringan (rawat jalan) Pneumonia
Infeksi respiratorik akut atas Batuk : bukan pneumonis
Tabel 2 Hubungan antara diagnosisi klinis dan Klasifikasi Pneumonia(MTBS)
5
2. Menurut agen etiologinya :
a. Pneumonia bakterial/tipikal.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella
dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d.Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh
lemah (immunocompromised).
3. Menurut lokasinya :
a. Pneumonia lobaris menyerang segmen luas pada satu lobus atau
lebih
b.Bronkopneumonia dimulai pada ujung bronkiolus dan mengenai
lobulus yang terdekat.
c. Pneumonia intersisial menyerang dinding alveolus dan jaringan
peribronkial serta lobular.
2.1.5 Patogenesis
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk
mencegah infeksi yang terdiri dari : susunan anatomis rongga hidung,
jaringan limfoid di nasofaring, bulu getar epitel traktus respiratorius,
refleks batuk, refleks epiglotis, drainase sistem limfatis dan fungsi
menyaring kelenjar limfe regional, fagositosis aksi limfosit dan respon
imunohumoral terutama dari Ig A, sekresi enzim – enzim dari sel-sel
yang melapisi trakeo-bronkial.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba
di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
6
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
7
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula
Gambar 1. PatofisiologiPneumonia
8
Gambar 2 Algoritma Patofisiologi bronkhopneomonia
9
2.1.7 Diagnosis Banding
Diagnosis Gejala klinis yang ditemukan
Bronkiolitis - episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
- gejala pada pneumonia juga dapat dijumpaikurang atau tidak ada
respon dengan bronkodilator
Tuberculosis - riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
(TB) - uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥ 5 mm)
- pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
- demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
- batuk kronis (≥ 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang
spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut,
falang.
Asma - riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk
dan pilek
- hiperinflasi dinding dada
- ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator.
Tabel 3 Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan
atau kesulitan bernafas
2.1.8 Diagnosis
Pneumonia Ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat
saja. Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia
berat.Kriteria napas cepat :
- Pada anak umur
2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit
- Pada anak umur
1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit
10
Pneumonia Berat
Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah
satu hal berikut :
Kepala terangguk – angguk
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini napas cepat :
Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit
Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/menit
Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/menit
Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit
Suara merintih (grunting) pada bayi muda
Pada auskultasi terdengar :Crackles (ronki), suara pernapasan
menurun, dan suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :
Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya
Kejang, letargis atau tidak sadar
Sianosis
Distres pernapasan berat
11
- Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Pemeriksaan radiologi
12
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di
rumah sakit.Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat
berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus,
darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
2.1.10 Penatalaksanaan
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.
Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit,
misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada
penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan
usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.
Bayi Anak
Saturasi oksigen < 92%, sianosis Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 kali/menit Frekuensi napas > 50 kali/menit
Distres pernapasan, apnea intermiten, atau Distres pernapasan
grunting
Tidak mau minum/menetek Grunting
Keluarga tidak bisa merawat di rumah Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Tabel 4 Kriteria rawat inap pneumonia
Penetalaksanaan pneumonia menurut panduan WHO
berat :
a. Pneumonia ringan
13
2. Diberikan antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2
b. Pneuomonia Berat
2. Terapi antibiotik :
atau ampisilin-gentamisin.
14
e. Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila
3. Terapi oksigen
15
e. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti
4. Perawatan penunjang
cepat.
perlahan.
dalam menerimanya.
16
5. Pemantauan
kontrol
17
ataupun tanpa ditambah sediaan
aminoglikosida aminoglikosida
2.1.11 Komplikasi
Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna
atau kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau
refleks batuk hilang.
Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam
rongga pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang
meradang.
Infeksi sitemik
- Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
- Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
2.1.12 Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih
tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-
protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
18
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama
diketahui.Infeksi berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan
makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial
tubuh.Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif
pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
2.1.13 Pencegahan
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.Selain itu hal-hal yang
dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita
terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan
makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan,beristirahat yang cukup,
rajin berolahraga, dan lainnya.
Vaksinasi pneumokokus dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15
bulan. Pada umur 17-12 bulan diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ;
pada usia > 1 tahun di berikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan
1 kali pada usia 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada
anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
2.2.2 Epidemiologi
19
Kejang atau bangkitan adalah gangguan neurologi yang sering
pada anak.Hal ini terlihat bahwa sekitar 10% anak menderita paling
tidak satu kali kejadian kejang dalam 16 tahun pertama hidupnya.
Penderita tertinggi ditempati oleh anak yang berusia kurang dari tiga
tahun. Data epidemiologi menunjukkan sekitar 150.000 anak
mendapatkan kejang dan 30.000 diantaranya berkembang menjadi
status epilepsy.
2.2.4 Patofisiologi
20
Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara
berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi
fungsi motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks
(kognitif, emosional) secara lokal atau umum. Mekanisme terjadinya
kejang ada beberapa teori:
Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-
K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan
hipoglikemia.Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara
GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.
21
Gambar 4 Skema Patofisiologi Kejang
2.2.5 Manifestasi Klinis
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut International League
Against Epilepsi (1981):
1. Bangkitan parsial/fokal
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian
dari otak atau satu hemisfer serebrum.Kejang terjadi pada satu sisi
atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih
baik.
22
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
Postural
Versify
Disertai gangguan fonasi
b. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris special (halusinasi
sederhana)
Visual
Auditoris
Olfaktoris
Gustatoris
c. Dengan gejala otonomik
Sensasi epigastrium
Pucat
Berkeringat
Dilatasi pupil
piloereksi
d. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfagia
Kognitif
Afektif
Ilusi
halusinasi
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti penurunan
kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
23
Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik,
tonik atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan
umum.
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan
umum.
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum.
2. Bangkitan Umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian
besar dari otak atau kedua hemisfer serebrum.Kejang terjadi pada
seluruh bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
1) Kejang lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal.Serangan terjadi secara
tiba-tiba, tanpa di dahului aura.Hilangnya kesadaran sessat
(beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.Serangan tersebut
tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga
sering tidak terdeteksi.
2) Kejang mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan
singkat.Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.Muncul
akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang
muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.
Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama
serangan.Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi
dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan
terjadinya cepat.
3) Bangkitan tonik
Terjadinya peningkatan kontraksi otot yang menetap beberapa
detik hingga menit.Ditandai dengan kaku dan tegang pada
24
otot.Penderita sering mengalami jatuh akibat hilangnya
keseimbangan. Biasanya melibatkan oto kepala, batang tubuh, dan
ekstremitas.
25
air liur, dan peningkatan denyut jantung.Secara tiba-tiba penderita
akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak
kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan
kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki).
Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah
atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca
serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan
tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
3. Tidak Tergolongkan
Dapat timbul bila :
a. Tak terduga, tak tentu waktunya
b. Setelah mendapat rangsangan (non sensorik (lelah, alkhol, emosi)
sensoris (cahaya yang berkedip).
26
menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic spell dan pallid spell.
Pada cyanotic spell, anak menangis kuat diikuti dengan menahan
napas, sianosis, rigiditas otot dan pincang, serta seringkali disertai
dengan gerakan seperti kejang pada ekstremitas.Pallid spell terjadi
dengan rangsangan nyeri, diikuti dengan penderita tampak pucat dan
kehilangan kesadaran yang singkat.
3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran,
yang sering diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan
kehilangan postur tubuh.
4. Paroxysmal movement disorders
Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik
yang abnormal dan dapat menyerupai kejang dan penurunan
kesadaran jarang terjadi. Tics adalah gerakan berulang dan singkat
dan dapat terjadi pada bagian tubuh manapun. Tics muncul terutama
pada keadaan stres dan biasanya dapat ditekan kemunculannya.
Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh yang
berlangsung selama beberapa detik dan setelah itu kembali ke
aktivitas normal. Distonia akut ditandai dengan kontraksi wajah dan
batang tubuh secara involunter dengan postur yang abnormal dan
wajah yang meringis.
5. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada
paroxysmal movement disorders.Pseudoseizures sulit dibedakan
dengan kejang yang sebenarnya dan sering terjadi pada anak – anak
dengan riwayat epilepsi.
6. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat
karaterisktik perubahan perilaku yang terjadi.Night terrors terjadi
pada anak usia sebelum masuk sekolah. Anak tiba – tiba terbangun
dari tidurnya, diikuti dengan menangis, berteriak dan tidak bisa
27
didiamkan. Lalu anak kembali ke tidurnya dan tidak dapat mengingat
kejadian tersebut.Sleepwalking atau somnabulisme dapat ditemukan
pada anak usia sekolah yang terbangun dari tidurnya dan berjalan
tanpa tujuan dan disertai dengan pandangan kosong lalu anak
tersebut kembali ke tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan pada
anak usia remaja dengan perubahan kesadaran disertai rasa kantuk
tak tertahan. Narcolepsy sering disertai dengan katapleksi, yaitu
kehilangan tonus otot secara tiba – tiba.
2.2.7 Diagnosis
1. Anamnesa
- Kejadian Pre-Iktal
Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang
seperti keadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti
mencium bau-bauan, melihat cahaya yang sangat terang,
mendengar suara-suara, mual, merasa ketakutan dan
sebagainya?
Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang
anak mengkonsumsi obat – obatan tertentu?
Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah
anak sedang demam sebelum kejang terjadi?
Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang
terdahulu sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat
rutin dan mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian
kepala, beberapa jam atau hari sebelum kejang?
- Iktal (kejadian saat kejang)
28
Berapa lama kejang berlangsung?
Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu
episode kejang terjadi?
Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap
sadar atau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
- Kejadian post – iktal
Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang
berhenti atau anak tampak seperti tidak terjadi apa – apa?
Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh.Tanda-
tanda vital meliputi denyut nadi, laju pernapasan dan terutama suhu
tubuh harus diperiksa, karena demam merupakan penyebab utama
kejang pada anak-anak.Periksa kepala apakah ada kelainan bentuk,
tanda-tanda trauma kepala, serta tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial.Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk.Pemeriksaan
neurologis secara menyeluruh juga penting dilakukan.
29
- Anak yang telah menerima antibiotik sebelum kejang dan
didiagnosa sebagai meningitis, dalam kasus ini dilakukan
pungsi lumbal tanpa memandang usia. Bahkan jika pungsi
lumbal dilakukan dan hasilnya negatif, dapat dipertimbangkan
untuk pemberian pengobatan meningitis, karena cairan
cerebrospinal (CSF) mungkin normal pada fase awal
perjalanan penyakit meningitis.
- Iritasi meningens Pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun,
tanda-tanda iritasi meningens adalah tanda-tanda di atas atau
rasa gelisah atau rewel selama manipulasi kepala atau kaki
oleh dokter dan atau menggembungnya fontanel. Perlu
ditekankan bahwa tanda-tanda klinis meningitis tidak sensitif
dan jika klinisi curiga bahwa meningitis positif, pungsi lumbal
tidak boleh ditunda sampai tanda-tanda ini muncul.
2) Pencitraan
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode kejang
demam sederhana, tapi bisa dipertimbangkan ketika ada fitur
klinis dari gangguan neurologis, misalnya mikrosefali atau
makrosefali, defisit neurologis yang sudah ada, defisit neurologis
post-iktal bertahan selama lebih dari beberapa jam, atau ketika
ada kejang demam berulang yang kompleks, atau kejang yang
dicurigai bukan kejang demam Magnetic Resonance Imaging
lebih sensitif dibandingkan Computed Tomography untuk
mendeteksi proses intrakranial yang dapat menyebabkan kejang.
3) Electroencephalography (EEG)
Kelainan epileptiform relatif umum didapatkan pada anak-
anak dengan kejang demam. EEG sendiri memiliki sensitivitas
yang rendah pada anak di bawah usia tiga tahun dengan kejang
dan peran yang terbatas dalam diagnosis gangguan ensefalopatik
akut.
30
2.2.9 Penatalaksanaan
1. Penanganan fase akut yaitu yaitu membebaskan jalan nafas dan
memantau fungsi vital tubuh dan pemberian obat antikejang.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan
pungsi lumbal pada saat pertama kali terjadinya kejang demam.
Pungsi lumbal dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena
gejala neurologis sulit ditemukan.Terapi bedah khususnya pada
epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh
daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan
otak normal didekatnya.Operasi biasanya menjadi pilihan terakhir
dalam penanganan kejang.Rasio kesuksesan unruk menghentikan
kejang sekitar 50– 90% tergantung penyebab dari kejang tersebut
dan lokasi dari kelainan yang terdapat di otak.
3. Pengobatan profilaksis.
Pada kejang demam :
Intermittent : anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien
demam (suhu rektal lebih dari 38◦C) dengan menggunakan
diazepam oral atau rektal, klonazepam atau kloralhidrat
supositoria.10
Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam
valproat tiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam.
3. Terapi nutrisi
Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam menghambat
kejang masih belum diketahui secara pasti.Hasil studi yang
dilakukan menyatakan terjadi pengurangan sekitar 50% sampai 70%
kejang pada anak – anak dengan penanganan diet ketogenik ini.Inti
dari terapi ini adalah puasa. Dimana kondisi puasa dalam jangka
waktu panjang akan menciptakan kondisi ketosis yang mengurangi
kejang pada anak. Terapi dengan cara ini dilakukan sekitar 5 hingga
7 hari dengan dirawat di rumah sakit hingga kondisi ketosis dicapai.
Terapi ini dapat menyebabkan hipoglikemia selama fase puasa dan
31
kadar gula darah pasien harus selalu dipantau selama dilakukannya
terapi ini. Muntah dan dehidrasi terkadang juga terjadi selama fase
terapi ini.Lalu diet dengan 3 atau 4 porsi lemak dan 1 porsi
karbohidrat dalam sehari diberikan dan pemberian suplemen
diberikan untuk menghindari defisiensi vitamin.
Gambar 6 Algoritme Penatalaksanaan Kejang Akut
32
Tipe kejang Lini pertama Lini kedua
Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absans Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absans atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Phenobarbitone Clonazepam
Piracetam Lamotrigine
Levetiracetam
Tabel 5Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010)
2.2.10 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis baik
dan tidak menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing
mendapat angka kematian 0,46% dan 0,74%. Dari penelitian yang
ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25-50% yang
umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Prognosis kejang pada anak bergantung pada jenis
kejangnya.Kebanyakan anak-anak prognosis baik dapat mengikuti
33
sekolah biasa dan tidak memiliki keterbatasan.Pengecualian terjadi
pada anak yang memiliki gangguan perkembangan lainnya seperti
cerebral palsy dan anak dengan kejang neonatal dan kejang
infantile.Selain itu, komplikasi lainnya seperti kerusakan otak dan
retardasi mental sering terjadi.
Epilepsi terjadi kurang dari 5 persen anak dengan kejang
demam. Kejang pada umumnya tidak berbahaya kecuali jika terjadi
status epileptikus.Namun, anak dengan status epileptikus memiliki
risiko rendah meninggal akibat kejang yang berkepanjangan.
Anak-anak dengan kejang demam dapat reda biasanya di atas 6
tahun. Sebagian besar anak yang pernah mengalami kejang demam
akan tumbuh dan berkembang secara normal tanpa adanya kelainan.
BAB III
34
LAPORAN KASUS
Nama : TJJ
Agama : Hindu
No. RM : 279511
3,2 Anamnesa
Kejang
Pasien datang dalam keadaan sadar diantar oleh keluarga ke IGD RSU
Pasien kejang sebanyak 2 kali yaitu pukul 07.00 WITA dan pukul 11.00
pasien menangis. Diantara kejang yang satu dengan yang lainnya pasien
Selain kejang pasien juga dikeluhkan batuk sejak 3 hari yang lalu. Batuk
berdahak namun dahak tidak bisa dikeluarkan. Batuk disertai sesak yang
35
mulai muncul 3 hari yang lalu, saat sesak suara nafas berbunyi (terdengar
keras) hingga mengganggu tidur pasien. Saat paien sesak tampak kebiruan.
berdebu. Batuk juga disertai sesak dan demam. Demam dirasakan sejak
awal batuk, demam hilang timbul, naik pada malam hari turun pada pagi
hari, demam dirasakan tidak sampai menggigil. Keluhan lain seperti batuk
darah, mual, muntah, disangkal oleh ibu pasien, tidak ada keluhan ruam
kemerahan pada kulit, tidak ada riwayat gusi berdarah, mimisan, BAB
berdarah maupun berpergian keluar kota. BAB tidak ada keluhan, terakhir
BAB pada pagi hari pada saat MRS. Tidak ada keluhan BAK, nafsu
dokter dan diberikan obat penurun panas dan obat batuk namun tidak ada
lahir prematur.
36
3.2.5 Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa. Tidak ada
2. USG 2 kali
BCG : 1 kali
Polio : 2 kali
Hepatitis B : 3 kali
DPT : 2 kali
Campak : (-)
3.3 Pemeriksaan Fisik
37
Nadi : 120x/menit, kuat angkat, reguler
Temperatur : 38,3˚C
Thoraks :
38
Batas kiri : ICS V midklavikula sinistra
gallop (-)
tekan (-)
Genetalia eksterna
Anus (+)
3.4 Resume
Pasien datang dalam keadaan sadar diantar oleh keluarga ke IGD RSU
Bangli. Pasien dikeluhkan kejang. Pasien dikatakan kejang sejak pagi. Pasien
kejang sebanyak 2 kali yaitu pukul 07.00 WITA dan pukul 11.00 WITA.
menangis. Diantara kejang yang satu dengan yang lainnya pasien sadar.
kejang pasien juga dikeluhkan batuk sejak 3 hari yang lalu. Batuk berdahak
39
namun dahak tidak bisa dikeluarkan. Batuk disertai sesak yang mulai muncul
3 hari yang lalu, saat sesak suara nafas berbunyi (terdengar keras) hingga
mengganggu tidur pasien. Saat pasien sesak tampak kebiruan. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca, aktivitas maupun lingkukan yang berdebu. Batuk juga
disertai sesak dan demam. Demam dirasakan sejak awal batuk, demam hilang
timbul, naik pada malam hari turun pada pagi hari, demam dirasakan tidak
sampai menggigil. Keluhan lain seperti batuk darah, mual, muntah, disangkal
oleh ibu pasien, tidak ada keluhan ruam kemerahan pada kulit, tidak ada
kota. BAB tidak ada keluhan, terakhir BAB pada pagi hari pada saat MRS.
Tidak ada keluhan BAK, munafsu makan pasien menurun. Pasien sebelumnya
sempat dibawa berobat ke dokter dan diberikan obat penurun panas dan obat
batuk namun tidak ada perubahan. Pasien pertama kali mengalami hal seperti
ini.
+/+, ronchi +/+, mulut dan rongga mulut tidak terdapat lidah kotor, pada
- Bronkopneumonia
40
- Bronkiolitis
Elektrolit (02-11-2018)
Parameter Hasil
K 4,03
Na 136,3
Cl 108,7
nCa 0,84
Tca 1,68
41
3.7 Diagnosa Kerja
3.8 Penatalaksanaan
- O2 sungkup 5 lpm
42
- Monitoring
Vital sign @ 2 jam
Kejang
Cek saturasi
3.9 Follow Up
Tanggal Follow Up
43
Rujukan
44
@12 jam
- Sanmol flash k/p 3 x 3,5 cc iv
05/11/2018 S: sesak (+) batuk (+)
O: KU : lemah
Suhu : 36,5 C
Nadi : 148x/menit
RR: 53x/menit
SpO2: 98%
Foto Thorax AP
baik
45
Kesan : Gambaran mendukung
bronchopneumonia
46
Nadi : 148x/menit
RR: 48x/menit
SpO2: 98%
A: Obs konvulsi ec SOL dd epilepsi dd hipoksia +
bronkopneumonia sangat berat
P:
- IVFD D5 ¼ NS
= 350 x 60 mikro/ 24 x 60
= 14,58 = 15 tpm
- Phenitoin = dosis 5-10 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 2 dosis (100 mg/2 ml)
= 17,5 mg/hari
= 2x8,75 mg
- Cefotaxim dosis 50-180 mg/kg/BB/hari (1 vial
0,5 gram atau 500 mg)
= 630 mg/hari
= 2 x 315 mg
- Dexamethason iv (dosis 0,1-0,25 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 3 dosis/hari 1 ampul 5mg/ml)
= 0,875 mg
= 3x1 mg atau 3x 1/5 cc
- Nebulizer combivent 0,5 cc + Nacl 3 ml @8 jam
- Sanmol drop k/p = 10-15 mg/kgBB/kali = 35
mg/kali
= 35 mg/60 mg x 0,6 ml
= 0,35 ml = 4 x 0,4 ml
- Ambroxol syr dosis 1,2-1,6 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 3 dosis, 15mg/5 ml
- = 5,6 mg/hari
- = 3x 1,86 mg atau 3x0,1 cth
- Plan CT Scan kepala
47
7/11/2018 S: sesak berkurang, batuk (+)
O: KU : tampak sakit sedang
Suhu : 36,2 C
Nadi : 148x/menit
RR: 48x/menit
SpO2: 98%
Hasil CT Scan Kepala (7-11-2018)
hiperdens
normal
48
berat
P:
- IVFD D5 ¼ NS = 350 x 60 mikro/ 24 x 60
- = 14,58 = 15 tpm
- Phenitoin 2x8 mg = 5-10 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 2 dosis (100 mg/2 ml)
= 17,5 mg/hari = 2x8,75 mg (1 vial 0,5 gram atau
500 mg)
- Cefotaxim dosis 50-180 mg/kg/BB/hari
= 630 mg/hari = 2 x 315 mg
- Dexamethason 3x 1/5 cc (iv) (dosis 0,1-0,25
mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis/hari 1 ampul
5mg/ml)
= 0,875 mg = 3x1 mg atay 3x 1/5 cc
- Nebulizer combivent 0,5 cc + Nacl 3 ml @8 jam
- Sanmol drop k/p = 10-15 mg/kgBB/kali = 35
mg/kali
= 35 mg/60 mg x 0,6 ml
= 0,35 ml = 4 x 0,4 ml
- Ambroxol syr dosis 1,2-1,6 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 3 dosis, 15mg/5 ml
= 5,6 mg/hari = 3x 1,86 mg atau 3x0,1 cth
8/11/2018 S: sesak berkurang, batuk (+)
O: KU : tampak sakit
Suhu : 36,5 C
Nadi : 100x/menit
RR: 20x/menit
SpO2: 98%
A: Obs konvulsi susp epilepsi + hipoksia +
bronkopneumonia sangat berat
49
P:
- IVFD D5 ¼ NS = 350 x 60 mikro/ 24 x 60 =
14,58 = 15 tpm
- Phenitoin 2x8 mg = 5-10 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 2 dosis (100 mg/2 ml)
= 17,5 mg/hari = 2x8,75 mg (1 vial 0,5 gram atau
500 mg)
- Cefotaxim dosis 50-180 mg/kg/BB/hari
= 35 mg/60 mg x 0,6 ml
= 0,35 ml = 4 x 0,4 ml
- Ambroxol syr dosis 1,2-1,6 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 3 dosis, 15mg/5 ml
= 5,6 mg/hari = 3x 1,86 mg atau 3x0,1 cth
9/11/2018 S: sesak (-), batuk (-), kejang (-)
O: KU : baik
Suhu : 36,6 C
Nadi : 110x/menit
RR: 30x/menit
SpO2: 90%
A: Obs konvulsi ec hipoksia dd susp epilepsi
P: - BPL
50
- Phenitoin (oral) 2x7,5 mg
BAB IV
PEMBAHASAN
51
kedua lapang paru dan perselubungan di lapangan paru atas kanan menunjukkan
gambaran mendukung bronchopneumonia.
BAB V
KESIMPULAN
52
DAFTAR PUSTAKA
1. Breton A. N. 2013. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency &
Critical Care UK Annual Congress.
2. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines.
2009. NSW Department of Health.
3. Convulsions in Children. 2006. Pediatric Guidelines. October;1-3.
4. Deliana M. 2006. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri
:2(4);59-62.
5. Fallah R, Karbasi A.S, Golestan M. 2009. Efficacy and Safety of Lamotrigene
in Lennox – Gastaut Syndrome. Iran Journal Child Neurology. 33-38.
6. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al. 2008.
Epilepsy. Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition:
McGraw Hill.
7. Febrile Convulsions in Children. 2010. Victoria Departement of Health.
8. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child
With a Simple Febrile Seizure. 2011. Pediatrics 2(127);390-394.
9. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. 2006. Seizures in Children. Pediatric Clin N
Am. 53:257-277.
10. Garna, Herry, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bandung :
UNPAD.
11. Guidelines and Protocols Advisory Committe. 2010. Febrile Seizure. British
Columbia Medical Association.
12. Hegar, Badriul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : IDAI.
53
13. Latief, Abdul, dkk. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit Standar
WHO. Jakarta : Depkes.
14. Major P, Thiele E.A. 2007. Seizures in Children: Determining the Variation.
Pediatrics in Review.28:363-371.
15. Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Volume 2.Jakarta :EGC.
16. Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. 2004. Community-Acquired
Pneumonia In Infants And Children. Am fam physician 20:899-908.
17. Price, Sylvia Anderson.1994. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC.
18. Rahajoe, Nastini.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi. Edisi 1. Jakarta :
IDAI.
19. Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershon A. 2012. Rudolph’s
Pediatrics 22nd Edition. San Fransisco:McGraw-Hill.
20. Sampson HA dan Leung D. 2007. Seizures in Childhood. Di dalam: Kliegman
et al. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th edition. Philadelphia: Elsevier Inc.
21. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. 2009. Panduan Pelayanan Medis Dept. IKA.
Jakarta : RSCM
22. Tavazolli A,Ghofrani M,Rouzrokh M,Eznollah A. 2010. Efficacy of
Oxarbazepine Add – On Therapy on Intractable Seizures in Children. Journal
of Neuroscience and Behavioural Health 3:30-34.
54