Manusia ketika itu (usia bayi) masih belum bisa menggunakan akalnya. Ia bergerak dan
bersuara hanya berlandaskan nafsu muthmainnah-nya. Setelah menginjak usia tamyiz, manusia
mulai menggunakan akalnya untuk berfikir. Pada usia ini, manusia merasa bahwa dalam
bereksistensi dengan lingkungannya—selain dengan jasad kasarnya—dalam dirinya ada karunia
ruh, otak, hati, dan nafsu. Ruh sebagai yang menjadikannya hidup dan ditandai dengan (kerja)
keluar-masuknya nyawa yang dipompa oleh jantung dalam tubuhnya. Selanjutnya, otak bekerja
disebut berpikir, hati bekerja disebut merasa dan nafsu berkeinginan disebut mau.
Nah, dalam hal menghasilkan pengetahuan yang kedudukannya lebih tinggi (sains) ini
dibutuhkan cara berfikir teoretis berdasarkan tiga (3) prinsip dasar berfikir falsafi yakni; secara
ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Telaah pertama adalah telaah secara ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana
yang hendak dicapai ilmu.8 Ini berarti sejak awal kita sudah mempunyai pegangan dan
pengamatan sementara terhadap gejala lingkungan yang mengitari kehidupan kita, juga masalah-
masalah sosial. Dalam hal ini menyangkut eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan
terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat
diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik
kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal- hal yang gaib seperti soal surga atau
neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaah kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normative mencapai
kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan
teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkah-
langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan
sarana berpikir ilmiah yang digunakannya.
Telaah ketiga adalah dalam lingkup prinsip aksiologis, yaitu bagaimana pengamalan atau
implementasi dari pengetahuan yang diperoleh dari proses berfikir secara ontologis dan
epistemologis sebagaimana diterangkan di atas.
1. Rasiaonalisme
Menurut rasionalisme akal adalah alat untuk mencari dan pengukur pengetahuan,
mencari dengan akal ialah mencari dengan logis, rasionalisme itu berpendirian, sumber
pengetahuannya terletak pada akal. Dengan akal lah aturan untuk manusia dibuat.
2. empirisme
Sebuah paham Filsafat bahwa sanya mengajarkan yang benar ialah yang logis dan ada
bukti emperis. Dengan emperisme semua aturan untuk manusia dan alam ini di buat,
seorang emperisme biasanya berpendirian, kita dapat memperoleh sebuah
pengetahuan dari pengalaman hidup.
3. kritisme
Merupakan Filsafat yang memulai perjalannya terlebih dulu menyelidiki rasio dan
batasnya. Kritisme adalah paham yang mengkiritik faham rasionalisme dan empirisme.
Yang mana kedua faham tersebut berlawanan.
4. fonomenologi
fenomenologi adalah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk memahami
yang sebenarnya dapat di capai melalui pengamatan terhadap fenomena /pertemuan kita
dengan realita.
5. positivisme
merupakan suatu aliran filsafat modern, positivme berasal dari kata positif, sama artinya
dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta fakta. Positivme adalah suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu satunya sumber pengetahuan yang
benar, positive tidak pernah kenal adanya spekulasi.
Istilah untuk nama teori pengetahuan adalah epistemologi, yang berasal dari kata Yunani
episteme (pengetahuan). Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini:
1. Apakah sumber - sumber pengetahuan? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang,
dan bagaimana manusia dapat mengetahui? Ini semua adalah problem “asal “ (origins)
2. Apakah watak dari pengetahuan? Apakah ada dunia yang riil di luar akal, dan kalau ada,
dapatkah manusia mengetahui?.Ini semua merupakan problem penampilan (apperience)
terhadap realitas.
3. Apakah pengetahuan manusia itu benar (valid). Bagaimana membedakan antara
kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problema memcoba pengetahuan (verification)
Dalam tradisi filsafat kebanyakan dari mereka yang telah mengemukakan jawaban terhadap
persoalan-persoalan tersebut dapat dikelompokkan dalam salah satu dari dua aliran; rasionalisme
dan empirisisme. Kelompok rasionalisme berpendapat bahwa, akal manusia sendirian tanpa bantuan
lain, dapat mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam. Kelompok empiris berpendirian bahwa
semua pengetahuan itu terbatas pada hal-hal yang hanya dapat dialami. Memang jelas terdapat
hubungan yang lazim antara metafisik dan epistemologi. Konsepsi manusia tentang realitas
tergantung pada faham tentang apa yang dapat diketahui. Sebaliknya teori pengetahuan manusia
tergantung kepada pemahaman manusia terhadap diri dalam hubungannya dengan keseluruhan
realitas"
Karena membahas tentang kebenaran,epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang
pikiran atau ilmu tentang metode (cara) berpikir. Tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika
minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya. Seperti
silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan
lingkup epistemologi
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan
observasi ilmu, dan batasan-batasanpengetahuan. Sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan
menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman
penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Metode Epsitemologi
Metode epsitemologi atau metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu.Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Metode, menurut Senn,merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang memiliki
langkahlangkah yang sistematis. Metodologi ilmiah merupakan pengkajian dalam mempelajari
peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Riychia Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Secara ontologis ilmu membatasi masalah yang diamati dan dikaji hanya pada masalah yang terdapat
dalam ruang lingkup jangkauan pengetahuan manusia.Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang
hal-hal di luar jangkauan manusia. Karena yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari
jawabannya pada dunia yang nyata pula. Einstein menegaskan bahwa ilmu dimulai dengan fakta dan
diakhiri dengan fakta, apapun juga teori-teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang
dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi
merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris.Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian
dengan obyek yang dijelaskannya.Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkannya, harus
didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang
pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Jadi, apa
yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita
yang salah. Demikian pula apa yang diyakini karena diamati belum tentu benar karena penglihatan
kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Dari dua sifat kebenaran tersebut, pada muaranya
melahirkan dua tipe kebenaran. Yaitu 1) kebenaran relatif yang bersifat spekulatif dan 2) kebenaran
absolut yang bersifat (bertipe) idealistik.