PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
a. Supaya mahasiswa mampu mengetahui definisi dari imobilisasi.
b. Supaya mahasiswa mampu mengetahui tentang pembalutan.
c. Supaya mahasiswa mampu mengetahui tentang pembidaian.
d. Supaya mahasiswa mampu mengetahui tentang gips.
2.1. Definisi
Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi ) didefinisikan oleh North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu kedaaan dimana individu
yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik. Individu
yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik antara lain :
lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari
3 hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic akibat perubahan
fisiologik (kehilangan fungsi motorik, klien dengan stroke, klien penggunaa kursi
roda), penggunaan alat eksternal (seperti gips atau traksi), dan pembatasan
gerakan volunter (Potter, 2005).
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab
utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kogmitif berat seperti pada
demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan
imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orang
usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun dirumah
sakit (Setiati dan Roosheroe, 2007).
Beberapa tehnik yang dapat dilakukan untuk imobilisasi yaitu pembalutan,
pembidaian, dan gips.
2.2. Pembalutan
Pembalutan adalah penutupan suatu bagian tubuh yang cedera dengan bahan
tertentu dan dengan tujuan tertentu. Pembalut adalah bahan yang digunakan untuk
mempertahankan penutup luka
a. Tujuan
1. Untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan
2. Untuk meminimalkan kontaminasi
3. Untuk stabilisasi benda yang menancap
4. Menahan sesuatu seperti:
Menahan penutup luka
Menahan pita traksi kulit
Menahan bidai
5. Menghindari bagian tubuh agar tidak bergeser pada tempatnya
b. Indikasi
1. Pada luka terbuka yang memungkinkan terkontaminasi dengan
lingkungan luar.
2. Ada perdarahan eksternal, sehingga darah mengalir melalui luka yang
ada.
3. Ada luka tusuk dengan benda yang masih menancap, dengan
kemungkinan benda tersebut menembur arteri atau pembuluh darah
besar.
c. Prinsip-prinsip Pembalutan
1. Balutan harus rapat rapi jangan terlalu erat karena dapat mengganggu
sirkulasi.
2. Jangan terlalu kendor sehingga mudah bergeser atau lepas.
3. Ujung-ujung jari dibiarkan terbuka untuk mengetahui adanya gangguan
sirkulasi.
4. Bila ada keluhan balutan terlalu erat hendaknya sedikit dilonggarkan
tapi tetap rapat, kemudian evaluasi keadaan sirkulasi.
d. Syarat-syarat Pembalutan
1. Mengetahui tujuan yang akan dikerjakan mengetahui seberapa batas
fungsi bagian tubuh tersebut dikehendaki dengan balutan.
2. Tersedia bahan-bahan memadai sesuai dengan tujuan pembalutan,
bentuk besarnya bagian tubuh yang akan dibalut.
g. Cara Membalut
1. Dengan mitella
a) Salah satu sisi mitella dilipat 3 – 4 cm sebanyak 1-3 kali
b) Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan di luar bagian yang
akan dibalut, lalu ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi itu
diikatkan
c) Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada
ikatan atau diikatkan pada tempat lain maupun dapat dibiarkan
bebas, hla ini tergantung pada tempat dan kepentingannya.
2. Dengan dasi
a) Pembalut mitella dilipat-lipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk
pita dengan masing-masing ujung lancip
b) Bebatkan pada tempat yang akan dibalut sampai kedua ujungnya
dapat diikatkan
3. Dengan Pita
a) Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih
pembalutan pita ukuran lebar yang sesuai
b) Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salah satu ujung
yang diletakkan dari proksimal ke distal menutup sepanjang bagian
tubuh yang akan dibalut kemudian dari distal ke proksimal
dibebatkan dengan arah bebatan saling menyilang dan tumpang
tindih antara bebatan ynag satu dengan bebatan berikutnya
c) Kemudian ujung yang dalam tadi diikat dengan ujung yang lain
secukupnya.
4. Dengan Plester
a) Jika ada luka terbuka
1) Luka diberi obat antiseptic
2) Tutup luka dengan kassa
3) Baru lekatkan pembalut plester
b) Jika untuk fiksasi
Balutan plester dibuat “strapping” dengan membebat berlapis-lapis
dari distal ke proksimal dan untuk membatasi gerakan tertentu perlu
kita yang masing-masing ujungnya difiksasi dengan plester.
2. Tahap Orientasi
a) Memberikan salam kepada paien, siapa nama pasien dan
memperkenalkan diri
b) Memberitahu klien tujuan dan prosedur tindakan
c) Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien
4. Tahap terminasi
a) Mengevaluasi tindakan yang baru dilakukan (subyektif dan
obyektif), hasil pembalutan : mudah lepas, mengganggu peredaran
darah, mengganggu gerakan lain)
b) Berikan reinforcement positif pada klien
c) Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu, kegiatan, tampat)
d) Merapikan dan kembalikan alat
e) Mencuci tangan
f) Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan
2.3. Pembidaian
Bidai atau splak adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain yang
kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian
tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi), memberikan istirahat dan
mengurangi rasa sakit.
a. Tujuan
1. Immobilisasi sehingga membatasi pergerakan antara 2 bagian tulang
yang patah saling bergesekan
2. Mengurangi nyeri
3. Mencegah kerusakan jaringan lunak, pembuluh darah dan syaraf di
sekitarnya.
4. Mengurangi terjadinya cedera baru.
5. Mengistirahatkan anggota yang patah.
6. Mempercepat penyembuhan
b. Syarat-syarat Pembidaian
1. Siapakan alat-alat selengkapnya
c. Indikasi
1. Pasien dengan multiple trauma
2. Jika terdapat tanda patah tulang pada ekstremitas
e. Jenis Bidai
1. Bidai Kaku/Rigid Splint (bahan apapun, kayu, logam)
2. Bidai Lunak/Soft Splint (air splint, bantal)
3. Bidai Traksi/Traction Splint (Thomas splint, hare traction splint)
3. Tahap Kerja
a) Tutup sketsel
b) Cuci tangan dan pakai hand schone
c) Dekatkan alat-alat didekat pasien
d) Berikan penjelasan kepada pasien tentang prosedur tindakan yang
akan dilakukan
e) Bagian ekstremitas yang cidera harus tampak seluruhnya, pakaian
harus dilepas kalau perlu digunting
f) Periksa nadi, fungsi sensorik dan motorik ekstremitas bagian
distaldari tempat cidera sebelum pemasangan bidai
g) Jika nadi tidak ada, coba luruskan dengan tarikan secukupnya, tetapi
bila terasa ada tahanan jangan diteruskan, pasang bidai dalam posisi
tersebut dengan melewati 2 sendi
2.4. Gips
Gips dalam bahasaa latin disebut kalkulus, dalam bahasa ingris disebut
plaster of paris, dan dalam belanda disebut gips powder. Gips merupakan mineral
yang terdapat di alam berupa batu putih tang mengandung unsur kalsium sulfat
dan air. Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang kaku yang di cetak sesuai
dengan kontur tubuh tempat gips di pasang. (Brunner & Sunder, 2000)
Gips merupakan suatu bahan kimia yang pada saat ini tersedia dalam
lembaran dengan komposisi kimia (CaSO4)2 H2O + 3 H2O = 2 (SaSO42H2O) dan
bersifat anhidrasi yang dapat mengikat air sehingga membuat kalsium sulfat hidrat
menjadi solid/keras. Pada saat ini sudah tersedia gips yang sangat ringan.
Jadi gips adalah alat imobilisasi eksternal yang terbuat dari bahan mineral
yang terdapat di alam dengan formula khusus dengan tipe plester atau fiberglass.
Pemasangan gips merupakan salah satu pengobatan konservatif pilihan (terutama
pada fraktur) dan dapat dipergunakan di daerah terpencil dengan hasil yang cukup
baik bila cara pemasangan, indikasi, kontraindikasi serta perawatan setelah
pemasangan diketahui dengan baik.
a. Tujuan Pemasangan Gips
1. Imobilisasi kasus dislokasi sendi
2. Fiksasi fraktur yang telah di reduksi
3. Koreksi cacat tulang
4. Imobilisasi padakasus penyakit tulang setelah dilakukan operasi
5. Mengoreksi deformitas
c. Indikasi
1. Untuk pertolongan pertama pada faktur (berfungsi sebagai bidal).
2. Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan mengurangi nyeri
misalnya gips korset pada tuberkulosis tulang belakang atau pasca
operasi seperti operasi pada skoliosis tulang belakang.
3. Sebagai pengobatan definitif untuk imobilisasi fraktur terutama pada
anak-anak dan fraktur tertentu pada orang dewasa.
4. Mengoreksi deformitas pada kelainan bawaan misalnya pada talipes
ekuinovarus kongenital atau pada deformitas sendi lutut oleh karena
berbagai sebab.
5. Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis.
6. Imobilisasi untuk memberikan kesempatan bagi tulang untuk menyatu
setelah suatu operasi misalnya pada artrodesis.
7. Imobilisas setelah operasi pada tendo-tendo tertentu misalnya setelah
operasi tendo Achilles.
8. Dapat dimanfaatkan sebagai cetakan untuk pembuatan bidai atau
protesa.
d. Jenis-jenis Gips
Kondisi yang ditangani dengan gips menentukan jenis dan ketebalan gips
yang dipasang. Jenis-jenis gips sebagai berikut:
1. Gips lengan pendek
Gips ini dipasang memanjang dari bawah siku sampai lipatan telapak
tanga, dan melingkar erat didasar ibu jari.
2. Gips lengan panjang
Gips ini dipasang memanjang. Dari setinggi lipat ketiak sampai
disebelah prosimal lipatan telapak tangan. Siku biasanya di imobilisasi
dalam posisi tegak lurus.
3. Gips tungkai pendek
Gips ini dipasang memanjang dibawah lutut sampai dasar jari kaki, kaki
dalam sudut tegak lurus pada posisi netral,
f. Kelebihan
1. Mudah didapatkan.
2. Murah dan mudah dipergunakan oleh setiap dokter.
3. Dapat diganti setiap saat.
4. Dapat dipasang dan dibuat cetakan sesuai bentuk anggota gerak.
5. Dapat dibuat jendela/lubang pada gips untuk membuka jahitan atau
perawatan luka selama imobiliasi.
6. Koreksi secara bertahap jaringan lunak dapat dilakukan membuat sudut
tertentu.
7. Gips bersifat rediolusen sehingga pemeriksaan foto rontgen tetap dapat
dilakukan walaupun gips terpasang.
8. Merupakan terapi konservatif pilihan untuk menghindari operasi.
j. Perawatan Gips
Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah pemasangan gips adalah :
1. Gips tidak boleh basah oleh air atau bahan lain yang mengakibatkan
kerusakan gips.
2. Setelah pemasangan gips harus dilakukan follow up yang teratur,
tergantung dari lokalisasi pemasangan.
3. Gips yang mengalami kerusakan atau lembek pada beberapa tempat,
harus diperbaiki.
3.1. Kesimpulan
Imobilisasi merupakan suatu keadaan tidak bergerak atau tirah baring
selama lebih dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat
perubahan fisiologik. Individu yang beresiko mengalami keterbatasan gerakan
fisik antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan
kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic
akibat perubahan fisiologik, penggunaan alat eksternal, dan pembatasan gerakan
volunter.
Imobilisasi dapat disebabkan karena adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan
otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Beberapa tehnik yang dapat
dilakukan untuk imobilisasi yaitu pembalutan, pembidaian, dan gips.