Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring
selama lebih dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat
perubahan fisiologik. Imobilisasi merupakan salah satu masalah yang cukup besar
di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial
yang diderita. Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta tahun 2000 didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada
tahun 2001 sebesar 31,5%. (Setiati dan Roosheroe, 2007)
Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperberat kondisi
pasien, memperlambat proses penyembuhan, serta dapat menyebabkan kematian.
Oleh karenaitu, penting bagi para mahasiswa kedokteran untuk memahami
berbagai hal mengenai imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya.
Penulisan laporan ini diharapkan dapatmembantu penulis dan mahasiswa
kedokteran pada umumnya untuk memahami berbagai aspek yang menjadi tujuan
pembelajaran dalam blok geriatri dalam skenario sebagai trigger

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
a. Supaya mahasiswa mampu mengetahui definisi dari imobilisasi.
b. Supaya mahasiswa mampu mengetahui tentang pembalutan.
c. Supaya mahasiswa mampu mengetahui tentang pembidaian.
d. Supaya mahasiswa mampu mengetahui tentang gips.

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 1


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi ) didefinisikan oleh North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu kedaaan dimana individu
yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik. Individu
yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik antara lain :
lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari
3 hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic akibat perubahan
fisiologik (kehilangan fungsi motorik, klien dengan stroke, klien penggunaa kursi
roda), penggunaan alat eksternal (seperti gips atau traksi), dan pembatasan
gerakan volunter (Potter, 2005).
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan penyebab
utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kogmitif berat seperti pada
demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga menyebabkan
imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat menyebabkan orang
usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di rumah maupun dirumah
sakit (Setiati dan Roosheroe, 2007).
Beberapa tehnik yang dapat dilakukan untuk imobilisasi yaitu pembalutan,
pembidaian, dan gips.

2.2. Pembalutan
Pembalutan adalah penutupan suatu bagian tubuh yang cedera dengan bahan
tertentu dan dengan tujuan tertentu. Pembalut adalah bahan yang digunakan untuk
mempertahankan penutup luka

a. Tujuan
1. Untuk mengurangi atau menghentikan perdarahan
2. Untuk meminimalkan kontaminasi
3. Untuk stabilisasi benda yang menancap
4. Menahan sesuatu seperti:
Menahan penutup luka
Menahan pita traksi kulit
Menahan bidai
5. Menghindari bagian tubuh agar tidak bergeser pada tempatnya

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 2


6. Mencegah terjadinya pembengkakan
7. Menyokong bagian tubuh yang cedera dan mencegah agar bagian itu
tidak bergeser
8. Melindungi bagian tubuh yang cedera
9. Memberikan “support” terhadap bagian tubuh yang cedera

b. Indikasi
1. Pada luka terbuka yang memungkinkan terkontaminasi dengan
lingkungan luar.
2. Ada perdarahan eksternal, sehingga darah mengalir melalui luka yang
ada.
3. Ada luka tusuk dengan benda yang masih menancap, dengan
kemungkinan benda tersebut menembur arteri atau pembuluh darah
besar.

c. Prinsip-prinsip Pembalutan
1. Balutan harus rapat rapi jangan terlalu erat karena dapat mengganggu
sirkulasi.
2. Jangan terlalu kendor sehingga mudah bergeser atau lepas.
3. Ujung-ujung jari dibiarkan terbuka untuk mengetahui adanya gangguan
sirkulasi.
4. Bila ada keluhan balutan terlalu erat hendaknya sedikit dilonggarkan
tapi tetap rapat, kemudian evaluasi keadaan sirkulasi.

d. Syarat-syarat Pembalutan
1. Mengetahui tujuan yang akan dikerjakan mengetahui seberapa batas
fungsi bagian tubuh tersebut dikehendaki dengan balutan.
2. Tersedia bahan-bahan memadai sesuai dengan tujuan pembalutan,
bentuk besarnya bagian tubuh yang akan dibalut.

e. Alat dan Bahan


1. Mitella adalah pembalut berbentuk segitiga
2. Dasi adalah mitella yang berlipat-lipat sehingga berbentuk seperti dasi
3. Pita adalat pembalut gulung.
4. Plester adalah pembalut berperekat
5. Pembalut yang spesifik
6. Kassa steril

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 3


f. Prosedur pembalutan
1. Perhatikan tempat atau letak yang akan dibalut dengan menjawab
pertanyaan ini:
a) bagian dari tubuh yang mana?
b) Apakah ada luka terbuka atau tidak?
c) Bagaimana luas luka tersebut?
d) Apakah perlu membatasi gerak bagian tubuh tertentu atau tidak?
2. Pilih jenis pembalut yang akan dipergunakan dapat salah satu atau
kombinasi
3. Sebelum dibalut jika luka terbuka perlu diberi desinfeksi atau dibalut
dengan pembalut yang mengandung desinfeksi atau dislokasi perlu
direposisi.
4. Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan:
a) Dapat membatasi pergeseran atau gerak bagian tubuh yang memang
perlu difiksasi
b) Sesedikit mungkin gerak bagian tubuh yang lain
c) Usahakan posisi balutan yang paling nyaman untuk kegiatan pokok
penderita
d) Tidak menggangu peredaran darah, misalanya pada balutan berlapis-
lapis yang paling bawah letaknya di sebelah distal
e) Tidak mudah kendor atau lepas

g. Cara Membalut
1. Dengan mitella
a) Salah satu sisi mitella dilipat 3 – 4 cm sebanyak 1-3 kali
b) Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan di luar bagian yang
akan dibalut, lalu ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi itu
diikatkan
c) Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada
ikatan atau diikatkan pada tempat lain maupun dapat dibiarkan
bebas, hla ini tergantung pada tempat dan kepentingannya.

2. Dengan dasi
a) Pembalut mitella dilipat-lipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk
pita dengan masing-masing ujung lancip
b) Bebatkan pada tempat yang akan dibalut sampai kedua ujungnya
dapat diikatkan

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 4


c) Diusahakan agar balutan tidak mudah kendor dengan cara sebelum
diikat arahnya saling menarik
d) Kedua ujungnya diikatkan secukupnya

3. Dengan Pita
a) Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih
pembalutan pita ukuran lebar yang sesuai
b) Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salah satu ujung
yang diletakkan dari proksimal ke distal menutup sepanjang bagian
tubuh yang akan dibalut kemudian dari distal ke proksimal
dibebatkan dengan arah bebatan saling menyilang dan tumpang
tindih antara bebatan ynag satu dengan bebatan berikutnya
c) Kemudian ujung yang dalam tadi diikat dengan ujung yang lain
secukupnya.

4. Dengan Plester
a) Jika ada luka terbuka
1) Luka diberi obat antiseptic
2) Tutup luka dengan kassa
3) Baru lekatkan pembalut plester
b) Jika untuk fiksasi
Balutan plester dibuat “strapping” dengan membebat berlapis-lapis
dari distal ke proksimal dan untuk membatasi gerakan tertentu perlu
kita yang masing-masing ujungnya difiksasi dengan plester.

h. Standart Operating Procedure (SOP) Pembalutan


1. Tahap Pre-Interaksi
a) Mengecek dokumentasi/data klien
b) Mencuci tangan
c) Menyiapkan alat

2. Tahap Orientasi
a) Memberikan salam kepada paien, siapa nama pasien dan
memperkenalkan diri
b) Memberitahu klien tujuan dan prosedur tindakan
c) Menanyakan persetujuan/kesiapan pasien

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 5


3. Tahap Kerja
a) Memberikan kesempatan kepada klien untuk bertanya
b) Menanyakan keluhan utama klien
c) Memeriksa bagian tubuh yang akan dibalut, cedera dengan inspeksi
dan palpasi gerakan
d) Melakukan tindakan pra-pembalutan (membersihkan luka,
mencukur, memberi desinfektan, kasa steril)
e) Memilih jenis pembalutan yang tepat
f) Cara pembalutan dilakukan dengan benar (posisi dan arah balutan)

4. Tahap terminasi
a) Mengevaluasi tindakan yang baru dilakukan (subyektif dan
obyektif), hasil pembalutan : mudah lepas, mengganggu peredaran
darah, mengganggu gerakan lain)
b) Berikan reinforcement positif pada klien
c) Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu, kegiatan, tampat)
d) Merapikan dan kembalikan alat
e) Mencuci tangan
f) Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan

2.3. Pembidaian
Bidai atau splak adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain yang
kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian
tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi), memberikan istirahat dan
mengurangi rasa sakit.
a. Tujuan
1. Immobilisasi sehingga membatasi pergerakan antara 2 bagian tulang
yang patah saling bergesekan
2. Mengurangi nyeri
3. Mencegah kerusakan jaringan lunak, pembuluh darah dan syaraf di
sekitarnya.
4. Mengurangi terjadinya cedera baru.
5. Mengistirahatkan anggota yang patah.
6. Mempercepat penyembuhan

b. Syarat-syarat Pembidaian
1. Siapakan alat-alat selengkapnya

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 6


2. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum
dipasang diukur terlebih dahulu pada anggota badan yang tidak sakit
3. Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor
4. Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan
5. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah
tempat yang patah
6. Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah
dibidai
7. Sepatu, gelang, jam tangan dann alat pengilat perlu dilepas.

c. Indikasi
1. Pasien dengan multiple trauma
2. Jika terdapat tanda patah tulang pada ekstremitas

d. Prinsip Umum Pembidaian


1. Lihat bagian yang mengalami cedera dengan jelas
2. Periksa dan catat sensasi, motoris dan sirkulasi distal sebelum dan
sesudah pembidaian
3. Jika terdapat angulasi hebat dan denyut nadi tidak teraba, lakukan
fiksasi dengan lembut. Jika terdapat tahanan, bidai ekstremitas dalam
posisi angulasi.
4. Tutup luka terbuka dengan kassa steril sebelum dibidai, pasang bidai di
sisi yang jauh dari luka tersebut
5. Gunakan bidai yang dapat mengimobilisasi satu sendi di proksimal dan
distal jejas
6. Pasang bantalan yang memadai
7. Jangan mencoba untuk menekan masuk kembali segmen tulang yang
menonjol, jaga agar ujung segmen fraktur tetap lembab
8. Jika ragu akan adanya fraktur, lakukan pembidaian pada cedera
ekstremitas

e. Jenis Bidai
1. Bidai Kaku/Rigid Splint (bahan apapun, kayu, logam)
2. Bidai Lunak/Soft Splint (air splint, bantal)
3. Bidai Traksi/Traction Splint (Thomas splint, hare traction splint)

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 7


f. Ketentuan Umum Pembidaian
Walau membidai dengan alat atau cara apapun ada ketentuan yang berlaku
pada semua pembidaian.
1. Sedapat mungkin informasikan rencana tindakan kepada penderita
2. Paparkan seluruh bagian yang cedera dan rawat perdarahan bila ada
3. Selalu buka atau bebaskan pakaian pada daerah sendi sebelum
membidai. Buka perhiasan di daerah patah atau di bagian distal.
4. Nilai GSS (Gerak, Sensasi, Sirkulasi) / PSM (Awal) = process safety
management
5. Siapkan alat-alat selengkapnya
6. Jangan berupaya merubah posisi bagian yang cedera. Upayakan
membidai dalam posisi ketika ditemukan
7. Jangan berusaha memasukkan bagian tulang yang patah
8. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Ukur bidai pada
anggota badan yang sehat
9. Bila cedera pada sendi, bidai kedua tulang yang mengapit sendi
tersebut. Upayakan juga membidai sendi distalnya.
10. Lapisi bidai dengan bahan yang lunak, bila memungkinkan.
11. Isilah bagian yang kosong antara tubuh dengan bidai dengan bahan
pelapis.
12. Ikatan jangan terlalu keras dan jangan terlalu longgar.
13. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sendi yang banyak
bergerak, kemudian sendi atas dari tulang yang patah.
14. Selesai dilakukan pembidaian,dilakukan pemeriksaan gerakan-
sensasi-sirkulasi (GSS) kembali, bandingkan dengan pemeriksaan
GSS pertama
15. Jangan membidai berlebihan

g. Standart Operating Procedure (SOP) Pembidaian


1. Persiapan Alat dan Bahan
a) Bidai sesuai dengan kebutuhan (panjang dan jumlah)
b) Kassa gulung
c) Gunting
d) Kassa steril (bila perlu)
e) Plester
f) Hand schoen

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 8


2. Persiapan Pasien
a) Inspeksi adanya gangguan integritas kulit yang ditandai dengan
abrasi, perubahan warna, luka, atau edema. (Lihat dengan teliti
daerah penonjolan tulang).
b) Observasi sirkulasi dengan mengukur suhu permukaan, warna kulit,
dan sensasi bagian tubuh yang akan dibalut.
c) Khusus untuk di UGD, perhatikan jika ada luka maka bersihkan
luka, dan berikan balutan atau jahitan jika luka terbuka.
d) Khusus untuk di Unit Perawatan, Kaji ulang adanya program khusus
dalam catatan medis yang berhubungan dengan pemasangan perban
elastic. Perhatikan area yang akan dipasang perban, jenis perban
yang dibutuhkan, frekuensi penggantiannya dan respon sebelumnya
terhadap terapi.
e) Kaji kebutuhan atau kelengkapan alat.
f) Identifikasi rencana perawatan dan pengobatan.
g) Menjelaskan prosedur kepada klien. Jelaskan bahwa tekanan lembut
dan ringan yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan sirkulasi
vena, mencegah terbentuknya bekuan darah, mencegah gerakan
lengan, menurunkan/mencegah timbulnya bengkak, memfiksasi
balutan operasi dan memberikan tekanan.
h) Mengatur posisi pasien. Bantu agar pasien mendapat posisi yang
nyaman dan benar sesuai anatomik.
i) Mencuci tangan.

3. Tahap Kerja
a) Tutup sketsel
b) Cuci tangan dan pakai hand schone
c) Dekatkan alat-alat didekat pasien
d) Berikan penjelasan kepada pasien tentang prosedur tindakan yang
akan dilakukan
e) Bagian ekstremitas yang cidera harus tampak seluruhnya, pakaian
harus dilepas kalau perlu digunting
f) Periksa nadi, fungsi sensorik dan motorik ekstremitas bagian
distaldari tempat cidera sebelum pemasangan bidai
g) Jika nadi tidak ada, coba luruskan dengan tarikan secukupnya, tetapi
bila terasa ada tahanan jangan diteruskan, pasang bidai dalam posisi
tersebut dengan melewati 2 sendi

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 9


h) Bila curiga adanya dislokasi pasang bantal atas bawah, jangan coba
diluruskan
i) Bila ada patah tulang terbuka, tutup bagian tulang yang keluar
dengan kapas steril dan jangan memasukkan tulang yang keluar ke
dalam lagi, kemudian baru dipasang bidai dengan melewati 2 sendi
j) Periksa nadi, fungsi sensori dan motorik ekstremitas bagian distal
dari tempat cidera setelah pemasangan bidai
k) Bereskan alat-alat dan rapikan pasien
l) Lepas hand schone dan cuci tangan

2.4. Gips
Gips dalam bahasaa latin disebut kalkulus, dalam bahasa ingris disebut
plaster of paris, dan dalam belanda disebut gips powder. Gips merupakan mineral
yang terdapat di alam berupa batu putih tang mengandung unsur kalsium sulfat
dan air. Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang kaku yang di cetak sesuai
dengan kontur tubuh tempat gips di pasang. (Brunner & Sunder, 2000)
Gips merupakan suatu bahan kimia yang pada saat ini tersedia dalam
lembaran dengan komposisi kimia (CaSO4)2 H2O + 3 H2O = 2 (SaSO42H2O) dan
bersifat anhidrasi yang dapat mengikat air sehingga membuat kalsium sulfat hidrat
menjadi solid/keras. Pada saat ini sudah tersedia gips yang sangat ringan.
Jadi gips adalah alat imobilisasi eksternal yang terbuat dari bahan mineral
yang terdapat di alam dengan formula khusus dengan tipe plester atau fiberglass.
Pemasangan gips merupakan salah satu pengobatan konservatif pilihan (terutama
pada fraktur) dan dapat dipergunakan di daerah terpencil dengan hasil yang cukup
baik bila cara pemasangan, indikasi, kontraindikasi serta perawatan setelah
pemasangan diketahui dengan baik.
a. Tujuan Pemasangan Gips
1. Imobilisasi kasus dislokasi sendi
2. Fiksasi fraktur yang telah di reduksi
3. Koreksi cacat tulang
4. Imobilisasi padakasus penyakit tulang setelah dilakukan operasi
5. Mengoreksi deformitas

b. Bentuk-bentuk Pemasangan Gips


1. Bentuk lembaran sehingga gips menutup separuh atau dua pertiga
lingkaran permukaan anggota gerak.

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 10


2. Gips lembaran yang dipasang pada kedua sisi antero-posterior anggota
gerak sehingga merupakan gips yang hampir melingkar.
3. Gips sirkuler yang dipasang lengkap meliputi seluruh anggota gerak.
4. Gips yang ditopang dengan besi atau karet dan dapat dipakai untuk
menumpu atau berjalan pada patah tulang anggota gerak bawah

c. Indikasi
1. Untuk pertolongan pertama pada faktur (berfungsi sebagai bidal).
2. Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan mengurangi nyeri
misalnya gips korset pada tuberkulosis tulang belakang atau pasca
operasi seperti operasi pada skoliosis tulang belakang.
3. Sebagai pengobatan definitif untuk imobilisasi fraktur terutama pada
anak-anak dan fraktur tertentu pada orang dewasa.
4. Mengoreksi deformitas pada kelainan bawaan misalnya pada talipes
ekuinovarus kongenital atau pada deformitas sendi lutut oleh karena
berbagai sebab.
5. Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis.
6. Imobilisasi untuk memberikan kesempatan bagi tulang untuk menyatu
setelah suatu operasi misalnya pada artrodesis.
7. Imobilisas setelah operasi pada tendo-tendo tertentu misalnya setelah
operasi tendo Achilles.
8. Dapat dimanfaatkan sebagai cetakan untuk pembuatan bidai atau
protesa.

d. Jenis-jenis Gips
Kondisi yang ditangani dengan gips menentukan jenis dan ketebalan gips
yang dipasang. Jenis-jenis gips sebagai berikut:
1. Gips lengan pendek
Gips ini dipasang memanjang dari bawah siku sampai lipatan telapak
tanga, dan melingkar erat didasar ibu jari.
2. Gips lengan panjang
Gips ini dipasang memanjang. Dari setinggi lipat ketiak sampai
disebelah prosimal lipatan telapak tangan. Siku biasanya di imobilisasi
dalam posisi tegak lurus.
3. Gips tungkai pendek
Gips ini dipasang memanjang dibawah lutut sampai dasar jari kaki, kaki
dalam sudut tegak lurus pada posisi netral,

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 11


4. Gips tungkai panjang
Gips ini memanjang dari perbatasan sepertiga atas dan tengah paha
sampai dasar jari kaki, lutut harus sedikit fleksi.
5. Gips berjalan
Gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat lebih kuat dan dapat
disertai telapak untuk berjalan
6. Gips tubuh
Gips ini melingkar di batang tubuh
7. Gips spika
Gips ini melibatkan sebagian batang tubuh dan satu atau dua
ekstremitas (gips spika tunggal atau ganda)
8. Gips spika bahu
Jaket tubuh yang melingkari batang tubuh, bahu dan siku
9. Gips spika pinggul
Gips ini melingkari batang tubuh dan satu ekstremitas bawah (gips
spika tunggal atau ganda)

e. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan


1. Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan.
2. Gips patah tidak bisa digunakan.
3. Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien.
4. Jangan merusak atau menekan gips.
5. Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips/ menggaruk.
6. Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama.

f. Kelebihan
1. Mudah didapatkan.
2. Murah dan mudah dipergunakan oleh setiap dokter.
3. Dapat diganti setiap saat.
4. Dapat dipasang dan dibuat cetakan sesuai bentuk anggota gerak.
5. Dapat dibuat jendela/lubang pada gips untuk membuka jahitan atau
perawatan luka selama imobiliasi.
6. Koreksi secara bertahap jaringan lunak dapat dilakukan membuat sudut
tertentu.
7. Gips bersifat rediolusen sehingga pemeriksaan foto rontgen tetap dapat
dilakukan walaupun gips terpasang.
8. Merupakan terapi konservatif pilihan untuk menghindari operasi.

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 12


g. Kekurangan
1. Pemasangan gips yang ketat akan memberikan gangguan atau tekanan
pada pembuluh darah, saraf atau tulang itu sendiri.
2. Pemasangan yang lama dapat menyebabkan kekakuan pada sendi dan
mungkin dapat terjadi.
3. Disus osteoporosis dan atrofi.
4. Alergi dan gatal-gatal akibat gips.
Berat dan tidak nyaman dipakai oleh penderita.

h. Alat Pemasangan Gips


Persiapan alat –alat untuk pemasangan gips:
1. Bahan gips dengan ukuran sesuai ekstremitas tubuh yang akan di gips
2. Baskom berisi air biasa (untuk merendam gips)
3. Baskom berisi air hangat
4. Gunting perban
5. Bengkok
6. Perlak dan alasnya
7. Waslap
8. Pemotong gips
9. Kasa dalam tempatnya
10. Alat cukur
11. Sabun dalam tempatnya
12. Handuk
13. Krim kulit
14. Spons rubs (terbuat dari bahan yang menyerap keringat)
15. Padding (pembalut terbuat dari bahan kapas sintetis)

i. Teknik Pemasangan Gips


1. Siapkan pasien dan jelaskan pada prosedur yang akan dikerjakan
2. Siapkan alat-alat yang akandigunakan untuk pemasangan gips
3. Daerah yang akan di pasang gips dicukur, dibersihkan,dan di cuci
dengan sabun, kemudian dikeringkan dengan handuk dan di beri krim
kulit
4. Sokong ekstremitas atau bagian tubuh yang akan di gips.
5. Posisikan dan pertahankan bagian yang akan di gips dalam posisi yang
di tentukan dokter selama prosedur

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 13


6. Pasang spongs rubs (bahan yang menyerap keringat) pada bagian
tubuh yang akan di pasang gips, pasang dengan cara yang halus dan
tidak mengikat. Tambahkan bantalan di daerah tonjolan tulang dan
pada jalur saraf.
7. Masukkan gips dalam baskom berisi air, rendam beberapa saat sampai
gelembung-gelembung udara dari gips habis keluar. Selanjutnya,
diperas untuk mengurangi air dalam gips.
8. Pasang gips secara merata pada bagian tubuh. Pembalutan gips secara
melingkar mulai dari distal ke proksimal tidak terlalu kendor atau
ketat. Pada waktu membalut, lakukan dengan gerakan
bersinambungan agar terjaga ketumpang tidihan lapisan gips.
Dianjurkan dalam jarak yang tetap (kira-kira 50% dari lebar gips)
lakukan dengan gerakan yang bersinambungan agar terjaga kontak
yang konstan dengan bagian tubuh.
9. Setelah pemasangan, haluskan tepinya, potong serta bentuk dengan
pemotong gips.
10. Bersihkan partikel bahan gips dari kulit yang terpasang gips.
11. Sokong gips selama pergeseran dan pengeringan dengan telapak
tangan. Jangan diletakkan pada permukaan keras atau pada tepi yang
tajam dan hindari tekanan pada gips.

j. Perawatan Gips
Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah pemasangan gips adalah :
1. Gips tidak boleh basah oleh air atau bahan lain yang mengakibatkan
kerusakan gips.
2. Setelah pemasangan gips harus dilakukan follow up yang teratur,
tergantung dari lokalisasi pemasangan.
3. Gips yang mengalami kerusakan atau lembek pada beberapa tempat,
harus diperbaiki.

k. Alat Pelepasan Gips


Alat yang di gunakan untuk pelepasan gips
1. Gergaji listrik/pemotong gips
2. Gergaji kecil manual
3. Gunting besar
4. Baskom berisi air hangat
5. Gunting perban

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 14


6. Bengkok dan plastic untuk tempat gips yang di buka
7. Sabun dalam tempatnya
8. Handuk
9. Perlak dan alasnya
10. Waslap
11. Krim atau minyak

l. Teknik pelepasan gips


1. Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakukan
2. Yakinkan pasien bahwa gergaji listrik atau pemotong gips tidak akan
mengenai kulit
3. Gips akan di belah dengan menggunakan gergaji listrik
4. Gunakan pelindung mata pada pasien dan petugas pemotong gips
5. Potong bantalan gips dengan gunting
6. Sokong bagian tubuh ketika gips di lepas
7. Cuci dan keringkan bagian yang habis di gips dengan lembut oleskan
krim atau minyak
8. Ajarkan pasien secara bertahap melakukan aktifitas tubuhsesuai
program terapi
9. Ajarkan pasien agar meninggikan ekstremitas atau mengunakan elastic
perban jika perlu untuk mengontrol pembengkakan.

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 15


BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Imobilisasi merupakan suatu keadaan tidak bergerak atau tirah baring
selama lebih dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat
perubahan fisiologik. Individu yang beresiko mengalami keterbatasan gerakan
fisik antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan
kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic
akibat perubahan fisiologik, penggunaan alat eksternal, dan pembatasan gerakan
volunter.
Imobilisasi dapat disebabkan karena adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan
otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Beberapa tehnik yang dapat
dilakukan untuk imobilisasi yaitu pembalutan, pembidaian, dan gips.

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 16


DAFTAR PUSTAKA

Gabriel. JF. dr. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta : EGC.


Rasjad, Chairuddin, Prof. MD,PhD. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi.
Makassar : Binatang Lamumpatue.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddart. Jakarta : EGC.
http://aseptumardi.blogspot.com/2011/12/sop-pembalutan-dan-pebidaian.html
http://celanacingkrang.blogspot.com/2012/06/memahami-pemasangan-gips-pada-
fraktur.html
https://id.scribd.com/doc/193554291/Pembalutan-Dan-Pembidaian
https://id.scribd.com/doc/74979434/Immobilisasi-Dan-Komplikasinya
http://nersayyi89.blogspot.com/2012/12/prosedur-melakukan-pembidaian.html

Standar Operasional Prosedur Fiksasi/Imobilisasi | 17

Anda mungkin juga menyukai