Anda di halaman 1dari 16

Handis Fajar Ramadhan

1102015088

Kelompok A-9

1. Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas


1.1. Definisi
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas dimana tubuh bereaksi dengan
respon imun secara berlebihan terhadap bahan asing.
(“Immunologi Dasar” by FKUI dan kamus “Dorland”)
1.2. Klasifikasi
Ada 2 pembagian reaksi Hipersensitivitas :
A. Menurut waktu timbulnya reaksi
1) Reaksi Cepat
Reaksi cepat yang terjadi dalam hitungan detik, dan akan menghilang dalam 2
jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis
sistermik atau nafilaksis lokal.
2) Reaksi Intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan akan menghilang dalam 24
jam. Reaksi inin melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK / ADCC. Manifestasi
reaksi intermediet dapat berupa :
 Reaksi transfusi darah, eritoblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun.
 Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES.
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
3) Reaksi Lambat
Reaksi lambat terlihat sampau sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan
reaksi penolakan tandur.

Hipersensitivitas Tipe I

Definisi

Reaksi Hipersensitivitas tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Istilah alergi yang
pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1960 yang berasal dari alol (Yunani)
yang berarti perubahan dari asalnya yang dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan
reaktivitas organisma.
(“Immunologi Dasar” by FKUI)

Etiologi
Yang sering menjadi penyebab reaksi tipe I adalah serbuk sari, bisa serangga, alergen
hewan, jamur, obat, dan makanan

Mekanisme

Pada reaki tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respons imun berupa
produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan
kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast / basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast / basofil dengan aktivitas farmakologik.
(“Immunologi Dasar” by FKUI)

Manifestasi

Manifestasi reaksi tipe I dapat bervariasi dari lokal, ringan sampai berat dan keadaan yang
mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat.
a) Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Kecenderungan untuk
menunjukan reaksi tipe I adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20%
populasi menunjukan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma,
dan dermatitis atopi.
b) Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit
saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs tipe I atau reaksi
alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan
basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Rekasi dapat dipacu
berbagai alergen seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat atau sengatan
serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostik lainnya. Pada 2/3
pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c) Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE. Mekanisme alergi
merupakan jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi tipe I
sepeti syok, urtikaria, bronkkospasme, anafilaksis, pruritus, tetapi tidak berdasarkan
atau reaksi imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga sulit dibedakan satu
dari lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan
sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan
yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.
(“Immunologi Dasar” by FKUI)

Hipersensitivitas Tipe II

Definisi
Reaksi Hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuk antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang
merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori
dan metabolisme sel dilibatkan.

Etiologi

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan


imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.

(“Immunologi Dasar” by FKUI)


Mekanisme
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek
toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga
sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui
ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel
normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil
dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada
reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan
inflamasi.

Tiga Mekanisme Utama Hipersensitivitas Tipe II


Hemolytic diseases of the newborn (HDN)

Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG yang
berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan
melapisi permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II.
HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki Rhesus negatif dan mempunyai janin dengan
Rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena
itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya,
limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat menembus placenta dan
mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis
fetalis).

Anemia hemolitik

Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi


nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang
selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis
dengan dan anemia progresif.

(“Immunologi Dasar” by FKUI)

Manifestasi

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat
juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
a) Reaksi transfusi
Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat
transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan
golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang
ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran
golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell dan Duffy.
b) Penyakit hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh imkompabilitas Rh dalam
kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negatif dan janin dengan
Rhesus posiif (Eritoblastosis Fetalis).
c) Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu sperti penisilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa
kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk
antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
(“Immunologi Dasar” by FKUI dan “Ilmu Penyakit Dalam” by Aru W.Sudoyo et al.)
Hipersensitivitas Tipe III

Definisi
Reaksi hipersensitivitas tipe III ini disebut juga kompleks imun. Dalam keadaan normal
kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan disana
dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa
bantuan komplemen.

Etiologi

 Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap
adalah organ yang diinfektif dan ginjal.

 Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah
ginjal, sendi, dan pembuluh darah.

 Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.

(“Immunologi Dasar” by FKUI)

Mekanisme

1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah


Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan
yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) ata dari
jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disetai antigen dalam jumalh
yang berlebihan,tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Makrofag ang
diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag
dirangsng terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun yang terdiri atas antigen sirkulasi dan IgM atau IgG3 (dapat juga
IgA) diendapkan di membran basal vaskular dan membran basal ginjal yang
menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi dapat
menimbulkan agregrasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan mediator inflamasi dan bahan
kemotaktik serta influksi neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat
menimbulkan kerusakan jaringan setempat.
2. Kompleks imun mengendap di jaringan
Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan ialah
ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskular yang meningkat, antara
lain karena histamin yang dilepas sel mast.
(“Immunologi Dasar” by FKUI)

Manifestasi

Manifestasi klinis reaksi tipe III dapat berupa : urtikaria, angioedema, eritema,
makulopapula, eritema multiforme, dll. Gejala tersebut sering disertai pruritus, demam,
kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi, limfadenopati.
Gejala timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumya pernah mendapat
obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.
Terdapat dua bentuk reaksi :
a) Reaksi lokal atau Fenomen Arthus
Fenomena arthus merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun yang awalnya
menimbulkan reaksi hebat saat disuntik berkali-kali di tempat yang sama, dan
awalnya terjadi eritem dan oedema dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Lalu keesokan
harinya menghilang. Tetapi akan timbul lagi edema dan eritem yang lebih besar dan
suntikan yang ke 5-6 akan menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit
disembuhkan. Antibodi yang ditemukan jenis presipitin.

Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut:


1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan
tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa
pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema) sampai
nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a juga bekerja
sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan trombosit ke tempat
reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian menimbulkan statis dan obstruksi
total aliran darah.

3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-bahan


seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama trombosit
sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis jaringan
setempat.
b) Reaksi tipe III sistemik – Serum sickness

Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan mekanisme
sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a)
yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah
yang tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh
darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv tersebut
mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil yang
terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi akan tetap
melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih banyak kerusakan
jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-
mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan

Dari mekanisme diatas, beberapa hari – minggu setelah pemberian serum asing akan
mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di
beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat berupa vaskulitis
sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi tersebut dinamakan reaksi
Pirquet dan Schick.

(“Ilmu Penyakit Dalam” by Aru W.Sudoyo et al.)

Hipersensitivitas Tipe IV

Definisi

Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin, bersama
dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat
pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi
oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
(“Immunologi Dasar” by FKUI)

Mekanisme

1 Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV


Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi
intrakutan dari tuberculin, suatu protein- lipopolisakarida yang merupakan
komponen dari tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi,
terjadi kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak
dalam 24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh
akumulasi sel mononuklear disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah
“perivascular cuffing”. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas
mikrovaskular yang disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya.
Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan deposisi
fibrin di interstisial. Yang terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang
menjadi ciri DTH. Pada lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi
limfosit akan menunjukkan hipertrofi atau hiperplasia endotel.
Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkel bacilli yang
berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang muncul di
awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu. Makrofag yang
terakumulasi seringkali mengalami perubahan morfologis menjadi sel epiteloid
(mirip sel epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit, disebut dengan granuloma. Pola inflamasi yang kadang terlihat pada
hipersensitivitas tipe IV ini disebut dengan inflamasi granulomatosa.
Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika seorang
individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel bacilli, sel
CD4+ T naïve mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II
pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naïve menjadi
sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH
bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel
Th1 akan memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu
yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang sebelumnya
terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang
ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini akan menyekresi sitokin, terutama
IFN-γ, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling
relevan dalam reaksi ini dan kerja mereka adalah sbb:

 IL-12, sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk
induksi respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag dan sel
dendritik menyekresi IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel
Th1. Hal ini akan menyebabkan diproduksinya sitokin lain, yang disebutkan di
bawah ini. IL-12 juga merupakan inducer poten dari sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel
NK. IFN-γ akan memperbanyak diferensiasi sel Th1.

 IFN-γ memiliki banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH.
Paling penting adalah merupakan aktivator makrofag yang kuat. Makrofag yang
teraktivasi berperan dalam mengeliminasi antigen yang menyerang; jika aktivasi
tetap berlangsung maka inflamasi tetap berlanjut dan terbentuk fibrosis.

 IL-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan autokrin dari sel T, menyebabkan


akumulasi di situs DTH.
 TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel
endotel: (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah
dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-selektin, molekul
adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3) induksi dan
sekresi kemokin seperti IL-8.

 Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut lebih banyak lagi
leukosit ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.
Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan terhadap beragam
patogen intrasel, termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu, dan juga
berperan dalam rejeksi transplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga
dapat menyebabkan penyakit. Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas
jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak dengan
urushiol, komponen antigen dari poison ivy atau poison oak dan bermanifestasi
dalam bentuk dermatitis vesikular. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang
dijelaskan sebelumnya untuk sensitivitas tuberculin. Pada pajanan berulang terhadap
tanaman tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis, kemudian
bermigrasi menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan sitokin yang
merusak keratinosit, menyebabkan pemisahan dari sel=sel ini dan pembentukan
vesikel intraepidermal.

Formasi Granuloma pada Hipersensitivitas Tipe IV

2 Sitokin yang berperan pada DTH


Diantara sitokin yang diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan mengaktifkan
makrofag ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF menginduksi hematopoesis lokal dari
sel garis granulosit-monosit. Neutrofil dan monosit dalam sirkulasi menempel pada
molekul adhesi sel endothel dan bergerak keluar dari vaskular menuju rongga
jaringan. Neutrofil nampak dini pada reaksi, memuncak pada 6 jam. Infiltrasi
monosit terjadi antara 24-48 jam setelah pajanan dengan antigen monosit yang
masuk jaringan menjadi mekrofag yang ditarik ke tempat DTH oleh kemokin seperti
MCP-1/CCL2. MIF mencegah makrofag untuk berimigrasi keluar dari lokasi reaksi
DTH.
(“Immunologi Dasar” by FKUI)

Manifestasi

Manifestasi pada reaksi hipersensitivitas tipe IV :


a) Dermatitis kontak
Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan
bahan tidak berbahaya, merupakan contoh reaksi DTH. Kontak dengan bahan seperti
formaldehid, nikel, terpenting dan berbagai bahan aktif dalam cat rambut yang
menimbulkan dermatitis kontak terjadi melalui sel Th1.
b) Hipersensitivitas tuberkulin
Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik terhadap produk
filtrat biarkan M. Tuberkulosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan
reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel
limfosit CD4+ T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberkulin atau derivat protein
yang dimurnikan (PPD), daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan
dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit
bengkak terjadi pada hari ke 7-10 pasca induksi. Reaksi dapat dipindahkan melalui
sel T.
c) Reaksi Jones Mote
Reaksi jones mote adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap antigen protein
yang berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok di kulit di bawah dermis.
Reaksi juga disebut hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding dengan
hipersensitivitas tipe IV lainnya, reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa hari
setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi
dpaat diinduksi dengan suntikan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan
freund.
d) T cell cytolysis (penyakit CD8+)
Dalam T cell mediated cytolysis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+ / CTL / Tc
yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas
selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik.
Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan
ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi.
Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel
dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme
selular, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self-antigen
dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.
(“Immunologi Dasar” by FKUI)
LO 2 Memahami dan menjelaskan alergi

2.1 Definisi

Alergi adalah reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap sesuatu yang dianggap berbahaya walaupun
sebenarnya tidak berbahaya. Ini bisa berupa substansi yang masuk atau bersentuhan dengan tubuh

2.2 Etiologi

Alergi makanan Alergi makanan adalah merupakan respon alamiah imun tubuh yang bersifat
negatif terhadap protein dari makanan yang kita konsumsi. Intolerance atau alergi terhadap jenis
makanan, umumnya dapat berpengaruh pada siapa saja serta dapat menimbulkan reaksi yang
berbeda pada tiap individunya.
 Maka tidak semua intolerance atau alergi makanan itu nantinya dapat menyebabkan
terganggunya sistem imunitas tubuh manusia
makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi alergi yaitu makanan yang berasal dari laut,
seperti udang, lobster, kepiting, ikan dan telur, kacang polong Pada anak-anak, penyebab alergi
makanan yang paling sering yaitu telur, susu, kacang, dan
 

Alergi obat-obatan
Reaksi alergi obat merupakan reaksi alergi di mana system kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan terhadap obat-obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang. yang diberikan tubuh
pun sangat keras. Contohnya dapat menyebabkan gatal-gatal, terdapat bercak- bercak merah pada
kulit, mual dan muntah. Obat yang berpotensi menimbulkan alergi antara lain antibiotic alergi
(sulfonamid), vaksin , dan obat non alergik ( kontras x-ray, aspirin, antibiotic, dan obat tekanan
darah tinggi.
 

 
Alergi debu
Alergi debu disebabkan ketidakbiasaan tubuh dalam menerima kehadiran debu. Hal ini dapat
menimbulkan penderita dapat mengalami bersin-bersin dalam frekuensi yang sering, flu, rasa
gatal, dan hidung tersumbat

Alergi suhu udara (dingin/panas)


Alergi ini diakibatkan oleh alergen udara. Ketidakmampuan sistem imun menerima udara dingin
misalnya dapat mengakibatkan jaringan dalam hidung menjadi  bengkak, sehingga hidung pun
menjadi tersumbat.
2.3 Patologi

 Bersin-bersin.
 Batuk-batuk.
 Sesak napas.
 Ruam pada kulit.
 Hidung beringus.
 Terjadi pembengkakan di bagian tubuh yang berpapasan dengan alergen, misalnya wajah,
mulut dan lidah.
 Gatal dan merah pada mata.
 Mata merah,  berair.
2.4 Mekanisme

Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan mastosit atau basophil
bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen dengan IgE yang menyebabkan ikat-
silang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan degranulasi sel dan penglepasan substansi-substansi
tertentu misalnya histamin, vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi
dapat terjadi kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-
IgE.

2.5 Manifestasi Klinis

Anafilaksis  edema laring, hipotensi, bronkospasme


 urtikaria/angioedema, pruritus, ruam makulopapular
morbiliform, erupsi obat fikstum, dermatitis kontak, vaskulitis,
Erupsi kulit eritema nodusum, eritema multiform, sindrom Stevens-Johnson,
nekrolisis epidermal toksik, dermatitis eksfoliatif, reaksi
fotosensitivitas
 anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia

Kelaianan hematologik
 nefritis interstisialis, glomerulonefritis, sindrom nefrotik

Kelainan renal

3Memahami dan Menjelaskan Farmakologi Antihistamin dan Kortikosteroid


a. Farmakokinetik
Antihistamin
- Antagonis reseptor H1 (AH1)
 Farmakodinamik
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam
otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin
endogen berlebihan.
- Antagonis reseptor H2 (AH2)
 Simetidin dan Ranitidin
 Farmakodinamik
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan
ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
 Famotidin
 Farmakodinamik
Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh
pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali
lebih poten daripada simetidin.
 Nizatidin
 Farmakodinamik
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.

Kortikosteroid
- Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.selain itu
juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf dan
organ lain.
(“Farmakologi” by FKUI)
b. Farmakodinamik
Antihistamin
- Antagonis reseptor H1 (AH1)
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral
dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar
tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot,
dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah
hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk
metabolitnya.
- Antagonis reseptor H2 (AH2)
Simetidin dan Ranitidin
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan
bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang efek
pada periode pascamakan. Ranitidn mengalami metabolisme lintas pertama di
hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan
metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja.

Famotidin
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama
adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh
eliminasi dapat melibihi 20 jam.

Nizatidin
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam,
masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam,
disekresi melalui ginjal.

Kortikosteroid
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai kerja
dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan ikatan
protein.
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik.
Untuk mencapai kadar tinggi sebaiknya diberikan secara IV, untuk mendapatkan efek
yang lama kortisol dan esternya diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat
mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah
prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
(“Farmakologi” by FKUI)
c. Indikasi
Antihistamin
Antagonis reseptor H1 (AH1)
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit aergi dan
mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
Antagonis reseptor H2 (AH2)
- Simetidin dan Ranitidin
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan
mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan refluks
lambung-esofagus.

- Famotidin
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks esofagitis,
dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.

- Nizatidin
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari selama 8
minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellion.

Kortikosteroid

Adrenokortikotropin (ACTH)

o ACTH banyak digunakan utk membedakan antara insufisiensi adrenal primer dan
sekunder. pd insufisiensi primer, pemberian ACTH tdk akan menyebabkan
peninggian kadar kortisol dlm darah, karena pd keadaan ini kelenjar adrenal yg
mengalami gangguan. Sebaliknya pd insufisiensi sekunder, di mana gangguan
terietak di kelenjar hipofisis, pemberian ACTH akan menyebabkan peninggian
kadar kortisol darah.
o Pemberian ACTH dapat merangsang sekresi mineralokortikoid shg dapat
menyebabkan retensi air dan elektrolit.

Adrenokortikosteroid dan analog sintetiknya


o Kecuali untuk terapi substitusi pada defisiensi, penggunaan kortikosteroid lebih
banyak bersifat empiris. Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip
terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan :
o Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan dan
harus direvaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit.
o Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya
o Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.

(“Farmakologi” by FKUI)

d. Kontraindikasi
Antihistamin
-
Kortikosteroid
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid. Pemberian
dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang mungkin dapat
merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan yang
mengancam jiwa pasien. Obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu,
kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.
(“Farmakologi” by FKUI)
e. Efek Samping
Antihistamin
Antagonis reseptor H1 (AH1)
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang
berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi,
penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau
diare,mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan
lemah pada tangan.
- Antagonis reseptor H2 (AH2)
Simetidin dan Ranitidin
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten.

Famotidin
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing,
konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.

Nizatidin
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik.

Kortikosteroid
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis,
makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Mekanismenya adalah melalui
pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respons jaringan
terhadap hormon lain.
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
TempatMacam efek samping
1. Saluran cerna
Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster

2. Tulang
Osteoporosis

3. Kulit
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis

4. Mata
Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

5. Susunan saraf pusat


Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah
(“Farmakologi” by FKUI)
4 Memahami dan Menjelaskan Alergi Obat dalam Pandangan Islam
a. Maslahat & Mudharat
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu, pisau
bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syari’at dalam perintah dan larangannya serta hukum-
hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah :
jamak dari maslahat artinya : manfaat  dan kebaikan.
Misal : Allah melarang minuman keras dan judi  karena mudharat (bahayanya) lebih
besar dari pada manfaatnya,  sebagaimana dikatakan dalam QS : Al-Baqorah :219

‫س َوِإ ْث ُم ُه َما َأ ْكبَ ُر ِمنْ نَ ْف ِع ِه َما‬


ِ ‫س ِر قُ ْل فِي ِه َما ِإ ْث ٌم َكبِي ٌر َو َمنَافِ ُع لِلنَّا‬ ِ ‫سَألُونَكَ ع‬
ِ ‫َن ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْي‬ ْ َ‫ي‬

2:219. “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Anda mungkin juga menyukai