20150610256
Kelas G
A. PEMBAHASAN
1. Kekuasaan legislatif
Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu badan
yang berhak khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakkan
pada suatu badan tertentu, maka mungkinkah tiap golongan atau tiap orang
mengadakan undang-undang untuk kepentingan sendiri.Di dalam negara
demokrasi yang peraturan-perundangannya harus berdasarkan kedaulatan rakyat,
maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang dan yang disebut
“legislative”.
Badan ini adalah yang terpenting dalam susunan kenegaraan, karena undang-
undang adalah ibarat tiang yang menegakkan hidup perumahan negara dan sebagai
alat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan negara.Sebagai badan
pembentuk undang-undang maka legislatif itu hanyalah untuk mengadakan
undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undang-
undang itu harus diserahkan kepada suatu badan lain. kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang adalah “eksekutif”.
2. Kekuasaan eksekutif
Kekuasaan menjalankan undang-undang ini dipegang oleh kepala negara.
Kepala negara tentu tidak dapat sendirian menjalankan segala undang-undang
ini.oleh karena itu, kekuasaan dari kepala negara dilimpahkan (didelegasikannya)
kepada peabat-pejabat pemerintah/negara yang bersama-sama merupakan suatu
badan pelaksana undang-undang (badan eksekutif). Badan ini berkewajiban
menjalankan kekuasaan eksekutif.
3. Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman
Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman) ialah kekuasaan
yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak untuk
memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudikatif lah yang berkuasa
memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran
undangundang yang telah diadakan dan dijalankan. Walaupun hakim itu biasanya
diangkat oleh kepala negara (eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan yang
istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena ia tidak diperintah oleh kepala
negara yang mengangkatnya, bahkan ia adalah badan yang berhak menghukum
kepala negara, jika melanggar hukum.
Berbeda dengan Jhon Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif dalam kekuasaan
eksekutif, Montesquiue memandang pengadilan itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Hal ini
disebabkan ia dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai seorang hakim telah mengetahui bahwa
kekuasaan eksekutif adalah berlainan daripada kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh
Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang oleh Jhon Locke disebut “federatif”
dimasukkan ke dalam kekuasaan eksekutif.Pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu
merupakan pemisahan kekuasaan secara keras seperti halnya dengan monarki terbatas. Oleh
karena itu cara yang paling ideal untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan tersebut yaitu
melalui pemisahan kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh Ivor Jenning yaitu pemisahan
kekuasaan dalam artian formil yaitu pembagian kekuasaan yang tidak secara tegas
mempertahankan pemisahan tersebut.
Dalam praktik ketatanegaraan di banyak negara melalui konstitusinya dapat diketahui pula
bahwa dari segi bentuknya pembagian kekuasaan dikenal dua jenis yaitu: pembagian kekuasaan
secara horizontal dan pembagian kekuasaan secara vertikal.Menurut Jimly Asshidiqie bahwa
pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-
fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara sederajat dan saling mengimbangi (check
and balances), sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaa
itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembagalembaga tinggi negara di bawah lembaga
pemegang kedaulatan rakyat
Di Indonesia selama ini UUD 1945 menganut paham kekuasaan secara vertikalbukan
pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Pendapat tersebut tampaknya disandarkan pada
pemikiran, bahwa tugas kewenangan lembagalembaga tinggi negara di bawah MPR, yaitu
Presiden, DPR-MA, dan yang lainnya merupakan derivasi dari kekuasaan MPR sebagai pemegang
kedaulatan rakyat. Namun prinsip derivasi kekuasaan MPR tersebut tidak lagi berlaku karena
UUD 1945 setelah Amandemen tepatnya Pasal 1 ayat (2) menentukan kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Terdapat dua istilah yang berhubungan dengan teori pemisahan kekuasaan yang diutarakan
oleh Jhon H Garvey dan T. Alexander Aleinikooff. Kedua istilah tersebut terjabarkan dalam teori
pemisahan kekuasaaan yang mengenal dua bentuk pembagian kekuasaan yaitu pembagian
kekuasaan secara vertikal dan horizontal. Desentralisasi berhubungan dengan pembagian
kekuasaan secara vertikal antara pemerintah pusat dan daerah atau negara bagian, sedangkan
fungsi negara berhubungan dengan pembagian kekuasaan secara horizontal antara fungsi negara
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Teori yang mencakup kedua pembagian kekuasaan baik dalam tatanan pembagian kekuasaan
fungsi negara maupun tatanan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan negara bagian
atau pemerintah daerah juga dikemukakan oleh Arthur Maass. Menurut Arthur Maass pembagian
kekuasaan dapat bersifat horizontal disebut sebagai capitaldivision of powers, sedangkan
pembagian kekuasaan secara vertikal disebut sebagai areal division of power. Dalam rangka
capital division of powers , fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif masingmasing diberikan
kepada suatu badan. Dalam rangka areal division of powers, fungsi-fungsi tertentu misalnya
moneter dan hubungan luarnegeri diberikan kepada pemerintah pusat, sedangkan fungsi-fungsi
lainnya diberikan kepada negara bagian atau pemerintah daerah.
Seperti di Indonesia, pembagian kekuasaan secara vertikal tercermin dalam hubungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 hasil
amandemen bahwa Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukam sebagai urusan pemerintah.
Indonesia sudah pernah memberlakukan tujuan implementasi praktik pemisahan kekuasaan
dalam sistem presidensial. Proses perubahan pertama sampai keempat UUD NRI 1945, MPR
memiliki kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan yang mengemuka yaitu: (1) tidak
mengubah Pembukaan UUD NRI Tahun 1945~ (2) tetap mempertahankan NKRI~ (3)
mempertegas sistem pemerintahan presidensial; (4) hal-hal normatif dalam Penjelasan UUD NRI
Tahun 1945 dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh)~ (5) Disepakati dan melakukan
perubahan dengan cara adendum. Selain itu, pembagian kekuasaan dirumuskan dengan tegas
dengan prinsip checks and balances. (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010:458). Teori
konstitusi konvensional menyederhanakan dan mencerminkan perbedaan antara sistem
presidensial dan parlementer. Hal ini, bagaimana sistem parlementer sering mematuhi persyaratan
pemilu karakteristik presidensialisme, seperti sistem presidensial kadang-kadang rentan terhadap
pemilihan secara paksa yang berhubungan lebih dekat dengan parlementarisme. Sistem
presidensial Amerika Serikat sebagai model dalam pemisahan yang rumit menyeimbangkan
kekuatan, perlindungan konstitusional diabadikan atas hak-hak individu kebebasan dan stabilitas
pemerintahannya. Ada keutamaan nilai tukar yang harus diberikan, biasanya terlihat dalam banyak
kebuntuan atau proses antara lembaga formal terpisah dari pemerintah seperti, Kongres vs
Presiden maupun Senat vs DPR (Warwick, 2009: 22). Burhanuddin Muhtadi sebagaimana
mengutip pandangan Giovanni Sartori mengatakan bahwa, perbedaan pokok sistem presidensial
dan parlementer terletak pada tiga hal antara lain: “(1) Presiden terpilih melalui pemilihan
langsung oleh rakyat; (2) selama masa jabatannya berlangsung tidak dapat dijatuhkan oleh
parlemen; (3) memimpin langsung pemerintahan yang diangkat olehnya” (Muhtadi, 2009: 1-6).
Sistem presidensial meniscayakan adanya jabatan presiden terpisah, baik secara kelembagaan,
personal dan parlemen (legislatif) maupun yudikatif.
Montequieu melalui teori trias politika, mengejawantahkan pemisahan kelembagaan dan
personalia secara tegas membedakan sumber kekuasaan dalam negara. Selain itu, prinsip
keterpilihan secara langsung oleh rakyat (direct popular vote) untuk masa jabatan tetap (fixed term
of office) bertujuan memantapkan legitimasi presiden di hadapan rakyat. Prinsip krusial sistem
presidensial adalah presiden sebagai sole executive tidak terbagi kekuasaannya dalam jabatan
kepala negara (head of state) dan jabatan kepala pemerintahan (head of government). Muhtadi
menambahkan bahwa, jabatan presiden dalam sistem presidensial mengandaikan adanya peleburan
kekuasaan seremonial dan kekuasaan politik (fusion of ceremonial and political powers) guna
menghindari terjadinya tumpang tindih fungsi wewenang kekuasaan eksekutif. Sistem presidensial
menutup kemungkinan parlemen menjatuhkan presiden, presiden hanya bertanggung jawab pada
konstitusi dan rakyat. Usaha menjatuhkan presiden hanya dimungkinkan terjadi jika presiden
melanggar hukum (impeachment), bukan karena kesalahan politik. Sistem presidensial memberi
ruang sangat besar dan leluasa pada presiden menjalankan kebijakan politiknya.
Dengan demikian, sistem pemerintahan presidensial banyak diadopsi berbagai negara dunia
salah satunya Indonesia. Pembahasan menunjukkan sebuah awal teori presidensial dapat menguji
keberadaan tujuan implementasi praktik pemisahan kekuasaan dalam sistem pemerintahan
presidensial Indonesia.
B. PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka arah analisis pengaturan dan praktik pemisahan
kekuasaan dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia mengandung materi muatan
pertimbangan landasan filosofis, sosiologis, yuridis maupun politis bersumber Pancasila dan UUD
1945, baik sebelum dan sesudah perubahan UUD NRI Tahun 1945. Khususnya, pascaperubahan
konstitusi keblablasan dan dinyatakan sah oleh lembaga legislatif. Konsekuensinya, padahal ini
merupakan sebuah kekhawatiran. Konsep arah pemisahan kekuasaan dalam konteks kekinian tidak
menunjukkan respon positif. Sistem presidensial meniscayakan adanya jabatan presiden terpisah,
baik secara kelembagaan, personal dan parlemen (legislatif) maupun yudikatif. Selain itu, prinsip
keterpilihan secara langsung oleh rakyat (direct popular vote) untuk masa jabatan tetap (fixed term
of office) bertujuan memantapkan legitimasi presiden di hadapan rakyat. Prinsip krusial sistem
presidensial adalah presiden sebagai sole executive tidak terbagi kekuasaannya dalam jabatan
kepala negara (head of state) dan jabatan kepala pemerintahan (head of government). Jika
indikator penting melihat pelaksanaan pengaturan dan praktik tidak berjalan sesuai rencana. Maka,
praktik politik kekinian dalam
pemisahan kekuasaan sistem pemerintahan bukan sepenuhnya presidensial melainkan semi
presidensial. Secara sosiologis paradigma pengaturan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
berbagai aspek kehidupan kenegaraan, sedangkan landasan yuridis mengatasi permasalahan
kekosongan hukum dan mempertimbangkan aturan yang telah ada, baik diubah maupun dicabut
guna menjamin kepastian hukum serta rasa keadilan masyarakat. Akibatnya, tujuan implementasi
praktik pemisahan kekuasaan antar lembaga dalam sistem presidensial Indonesia secara utuh tidak
mandiri serta saling mengusai melalui deal politik koalisi partai berakhir pada pengharapan
membagi kekuasaan. Artinya, parlemen dapat mengubah hukum apapun setiap saat, maka
pengaturan hukum dan praktik politik kekinian maupun pelaksanaan implementasinya tidak lebih
dari drama yang buruk sebagaimana dirasakan sekarang ini.