Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH REFLEKS

PENGONTROLAN VENTILASI

Disusun oleh :
Kelompok 5
1. Ira Hadnasari (P1337420617050)
2. Fina Fitriana (P1337420617041)
3. Inna Nur Hayati (P1337420617015)
4. Astika Nugraheni (P1337420617069)
5. Putri Purwaningrum (P1337420617070)
6. Aska Fauzan (P1337420617028)
7. Achmad Faozi (P1337420617047)

Prodi S1 Terapan Keperawatan Semarang


Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Semarang
Tahun Akademik 2017/2018
LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Makalah : Reflek Pengontrolan Ventilasi


2. Ketua Tim
a. Nama Lengkap : Aska Fauzan
b. Program Studi : S1 Terapan Keperawatan Semarang
c. NIM : P1337420617028
3. Pembimbing
a. Nama Lengkap : Rodhi Hartono, S.Kp, Ns, MBiomed
b. NIP : 197306181998031002

Semarang, 26 November 2017

Pembimbing, Ketua Tim,

Rodhi Hartono, S.Kp, Ns, Mbiomed Aska Fauzan

NIP. 197306181998031002 NIM. P1337420617028

I
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah yang berjudul “Reflek Pengontrolan Ventilasi” ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Semarang, 26 November 2017

Penyusun

II
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 2
C. TUJUAN 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. PENGERTIAN VENTILASI 3
B. PUSAT PERNAPASAN DI BATANG OTAK 3
C. PENGATUR VENTILASI 6
D. PENGARUH OLAHRAGA TERHADAP VENTILASI 14
E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VENTILASI 16

BAB III PENUTUP 18

A. KESIMPULAN 18

DAFTAR PUSTAKA 19

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai makhluk hidup kita masih hidup sampai saat ini karena setiap saat kita

selalu bernafas menghirup udara. Makhluk hidup, di dunia ini, baik itu hewan maupun

manusia akan mati (wafat) jika sudah tidak dapat bernafas lagi. Sebenarnya bagaimana

sistem pernafasan yang terdapat dalam tubuh kita ? maka dari itu penulis ingin

mengetahui lebih banyak tentang sistem pernapasan pada mammalia khususnya manusia.

Sistem pernapasan secara garis besarnya terdiri dari paru-paru dan susunan saluran

yang menghubungkan paru-paru dengan yang lainnya, yaitu hidung, tekak, pangkal

tenggorok, tenggorok, cabang tenggorok. Metabolisme normal dalam sel-sel makhluk

hidup memerlukan oksigen dan karbon dioksida sebagai sisa metabolisme yang harus

dikeluarkan dari tubuh. Pertukaran gas O2 dan CO2 dalam tubuh makhluk hidup di sebut

pernapasan atau respirasi. O2 dapat keluar masuk jaringan dengan cara difusi.

Pernapasan atau respirasi dapat dibedakan atas dua tahap. Tahap pemasukan

oksigen ke dalam dan mengeluarkan karbon dioksida keluar tubuh melalui organ-organ

pernapasan disebut respirasi eksternal. Pengangkutan gas-gas pernapasan dari organ

pernapasan ke jaringan tubuh atau sebaliknya dilakukan oleh sistem respirasi. Tahap

berikutnya adalah pertukaran O2 dari cairan tubuh (darah) dengan CO 2 dari sel-sel dalam

jaringan, disebut respirasi internal.

Pada kondisi tertentu frekuensi respirasi dapat meningkat atau menurun. Medulla

oblongata dan pons mengatur frekuensi nafas. Pusat nafas tediri daerah berirama medulla

(medulla rithmicity) dan pons. Daerah berirama medulla terdiri dari area inspirasi dan

ekspirasi. Sedangkan pons terdiri dari pneumotaxic area dan apneustic area. Pneumotaxic

area menginhibisi sirkuit inspirasi dan meningkatkan iram respirasi. Sedangkan apneustic

area mengeksitasi sirkuit inspirasi.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah proses
Kontrol Pernafasan ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui proses kontrol pernafasan pada system respirasi

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pusat pernafasan dibatang otak pada system respirasi

b. Untuk mengetahui pengatur ventilasi pada system respirasi

c. Untuk mengetahui pengaruh Olahraga terhadap ventilasi pada system

respirasi

d. Untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi ventilasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian

Ventilasi merupakan proses pergerakan udara ke dan dari dalam paru.

Proses ini berfungsi untuk menyediakan/menyalurkan oksigen dari udara luar yang

dibutuhkan sel untuk metabolisme dan membuang karbondioksida hasil sisa

metabolisme sel ke luar tubuh. Proses terdiri atas dua tahap, yaitu inspirasi,

pergerakan udara dari luar ke dalam paru dan ekspirasi, pergerakan udara dari dalam

ke luar paru.

2. Pusat pernapasan di batang otak pada Sistem Respirasi

Bernapas, seperti denyut jantung, harus berlangsung dalam pola siklik dan

kontinu agar proses kehidupan dapat terus berjalan. Otot jantung harus berkontraksi

dan berelaksasi secara berirama untuk secara bergantian mengosongkan darah dari

jantung dan mengisinya kembali. Demikian juga, otot-otot pernapasan harus secara

berirama berkontraksi dan berelaksasi agar udara dapat masuk dan keluar paru

secara bergantian. Kedua aktivitas tersebut berlangsung secara otomatis tanpa usaha

sadar. Akan tetapi, mekanisme yang mendasari dan kontrol terhadap kedua sistem

ini sangaat berbeda. Jantung mampu menghasilkan iramanya sendiri melalui

aktivitas pemacu intrinsic, sedangkan otot pernapasan, karena merupakan otot

rangka, memerlukan rangsangan saraf agar berkontraksi. Pola ritmik bernapas

diciptakan oleh aktivitas saraf siklis ke otot-otot pernapasan.

Dengan kata lain, aktivitas pemacu yang menciptakan ritmisis bernapas

terleteak di pusat kontrol pernapasan di otak, bukan di paru atau otot pernapasan itu

sendiri. Persarapan ke jantung, karena tidak diperlukan untuk memulai denyut

jantung, hanya berfungsi untuk modifikasi kecepatan dan kekuatan kontraksi jantung.

3
Sebaliknya, persarapan ke sistem pernapasan merupakan kebutuhan mutlak

untuk mempertahankan pernapasan dan untuk secara refleks menyesuaikan tingkat

ventilasi untuk memenuhi kebutuhan penyerapan O 2 dan penegeluaran CO2 yang

terus berubah-ubah. Selain itu, tidak seperti aktivitas jantung, yang tidak berada di

bawah control keasadaran, aktivitas pernapasan dapat dimodifikasi seacara senagaja

untuk berbicara, bernyanyi, bersiul, memainkan instrument tiup, atau menahan napas

ketika berenang.

Kontrol saraf atas pernapasan melibatkan tiga komponen terpisah :

(1) Faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk menghasilkan irama

inspirasi/ekspirasi berganti-ganti,

(2) Faktor-faktor yang mengatur kekuatan ventilasi (yaitu, kecepatan dan

kedalaman bernapas) agar sesuai dengan kebutuhan tubuh, dan

(3) Faktor-faktor memodifikasi aktivitas pernapsan untuk memenuhi tujuan lain.

Modifikasi yang terakhir dapat bersifat volunteer, misalnya control bernapas

pada saat berbicara, atau involunter, misalnya maneuver pernapasan yang terjadi

pada saat batuk atau bersin.

Pusat kontrol pernapasan yang terletak di batang otak betangggung jawab

untuk menghasilkan pola bernapas yang berirama. Pusat kontrol pernapasan primer,

pusat pernapasan medulla (medullary respiratory center), terdiri dari beberapa

agregat badan sel saraf di dalam medulla yang menghasilkan keluaran ke otot

pernapasan.

Selain itu, terdapat dua pusat pernapasan lain yang lebih tinggi di batang otak

di pons, pusat apnustik dan pusat pneumotaksik. Pusat-pusat di pons ini

mempengaruhi keluaran dari pusat pernapasan medulla.

4
Neuron Inspirasi dan Ekspirasi di Pusat Medula dalam keadaan tenang, kita

bernapas secara berirama karena kontraksi dan relaksasi berganti-ganti otot-otot

pernapasan, yaitu diafragma dan otot anatariga eksternal, yang masing-masing

dipersarafi oleh saraf frenikus dan saraf interkortalis. Badan sel dari serat-serat saraf

yang membentuk saraf-saraf tersebut terletak di korda spinalis. Impuls yang berasal

dari puasat medual berakhir di badan sel neuron motorik ini. Pada saat diaktifkan,

neuron-neuron motorik ini kemudian merangsang otot-otot pernapasan, sehingga

terjadi inspirasi; sewaktu neuron-neuron ini tidak aktif , otot-otot inspirasi melemas

dan terjadi ekspirasi.

Pusat pernapasan medulla terdiri dari dua kelompok neuron yang dikenal

sebagai kelompok pernapasan ventral. Kelompok respirasi dorsal (dorsal respiratory

group, DRG) terutama terdiri dari neuron inspirasi yang serat-serat densendensnya

berakhir di neuron motoric yang memepersarafi otot-otot inspirasi.

Neuron-neuron inspirasi ini diperkirakan memeperlihatkan aktivitas pemacu

dan secara repetitive mengalami potensial aksi spontan seperti nodus SA di jantung.

Pada saat neuron-neuron inspirasi DRG membentuk potensial aksi, terjadi inspirasi;

ketika mereka berhenti melepaskan muatan, terjadi ekspirasi. Ekspirasi berakhir pada

saat neuron-neuron inspirasi kembali mencapai ambang dan melepaskan muatan.

Dengan demikian, DRG pada umumnya dianggap sebagai penentu irama adasar

ventilasi.

Namun, kecepatan neuron inspirasi membentuk potensial aksi dipengaruhi oleh

masukan sinaptik dari daerah-daerah lain di otak dan dari bagian tubuh lainnya.

Dengan demikian sifat on-off siklus pernafasan kompleks karena interaksi DRG

dengan daerah-daerah lain tersebut.

5
DRG memiliki interkoneksi penting dengan kelompok respirasi ventral. VRG

terdiri dari neuron inspirasi dan neuron ekpirasi, yang keduanya tetap inaktif selama

bernafas tenang. Daerah ini diaktifkan oleh DRG sebagai mekanisme “overdrive”

(penambah kecepatan) selama periode pada saat kebutuhan akan ventilasi meningkat.

VRG terutama penting ppada ekpirasi aktif. Selama bernafas tenang tidak ada impuls

yang dihasilkan di jalur-jalur desendens dari neuron ekpirasi. Hanya selama ekpirasi

aktif neuron-neuron ekpirasi merangsang neuron motoric yang mempersarafi otot

ekpirasi (otot abdomen dan antar iga internal.) Selain itu, neuron inspirasi VRG,

apabila dirangsang oleh DRG, memacu aktivitas inspirasi saat kebutuhan akan

ventilasi meningkat.

Pengaruh Pusat Pneumatik dan Apnustik pusat-pusat di pons menghasilkan

pengaruh “Fine Tuning” pada pusat medulla untuk membantu “mematikan” neuron

inspirasi, sehingga durasi inpirasi dibatasi. Sebaliknya, pusat apnustik mencegah

neuron inpirasi dari proses “Switch Off”, sehingga menambah dorongan inspirasi.

Pada sistem check and balance ini pusat pneumotaksik lebih dominan daripada

apnustik, membantu inspirasi berhenti dan memungkinkan ekpirasi berlangsung

normal. Tanpa rem pneumotaksik, pola bernafas akan berupa inspirasi

berkepanjangan yang mendadak berhenti karena di selingi oleh ekpirasi. Pola

bernafas abnormal ini di sebut apnusis, dengan demikian, pusat yang bertanggung

jawab untuk pola bernafas ini adalah pusat apnustik. Apnusis dapat terjadi pada

kerusakan otak jenis tertentu yang parah.

3. Pengatur Ventilasi pada Sistem Respirasi.

Seberapapun banyaknya O2 yang diekstraksi dari darah atau CO 2 yang

ditambahkan ke dalamnya di tingkat jaringan, PO 2 dan PCO2 darah arteri sistemik

yang meninggalkan paru tetap konstan, yang menunjukkan bahwa kandungan gas

darah arteri diatur secara ketat. Gas gas darah arteri dipertahankan dalam rentang

normal secara ekslusif dengan megubah-ubah kekuatan ventilasi untuk memenuhi

6
kebutuhan tubuh akan penyerapan O 2 dan pengeluaran CO2. Jika lebih banyak O2

yang diekstrasikan dari alveolus dan lebih banyak CO 2 yang masuk ke darah karena

jaringan lebih aktif melakukan metabolisme, ventilasi akan meningkat untuk

menyerap lebih banyak O2 segara dan mengeluarkan lebih banyak CO2.

Pusat pernafasan medulla menerima masukan yang memberi informasi

mengenai kebutuhan tubuh akan pertukaran gas. Kemudian pusat ini berespon

dengan mengirim sinyal-sinyal yang sesuai neuron motorik yang mempersarafi otot-

otot pernafasan untuk menyesuaikan kecepatan dan kedalaman ventilasi untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dua sinyal yang paling jelas untuk

meningkatkan ventilasi adalah penurunan PO 2 anteri dan peningkatan PO 2 arteri.

Secara intuitif, anda akan menduga bahwa apabila kadar O 2 dalam darah arteri turun

atau jika terjadi aku mulasi CO 2 ventrikel akan di rangsang untuk memperoleh lebih

banyak O2 atau mengelimanasi kelebihan CO2.

Kedua faktor ini memang mempengaruhi tingkat fentilasi, tetap tidak dengan

derajat yang sama dan melalui jalur yang sama. Juga terjadi faktor ketiga H + yang

berpengaruh besar pada tingkat aktifitas pernafasan.kita akan membahas peran tiap-

tiap faktor kimia penting ini dalam kontrol ventilasi.

Peran penurunan PO2 ateri dalam mengatur ventilasi PO 2 di pantau oleh

kemoreseptor perifer yang di kenal sebagai badan karotis dan badan aorta, yang

masing-masing terletak di biforkasio (percabangan) ateri karotis komuniti dan arkus

(lengkung) aorta. Komereseptor yang berespont terhadap perubahan spesifk

kanduang kimia darah ateri yang membahasi mereka ini, berbeda dari baroreaptor

sinus karotikus dan arkous aorta yang terletak berdekatan. Yang terakhir, karena

penting dalam pengetahuan tekanan darah ateri sistemik, memantau perubahan

tekanan dan bukan perubahan kimia.

Kemoreseptor perifer tidak peka terhadap penurunan biasa Po 2 arteri. Po2 ateri

harus turun di bawah mmHg (reduksi >40%) sebelum kemoreseptor perifet berespon

7
dengan mengirim impuls aferen ke neuron inspirasi medulauntuk secara reflek ke

neuron inapirasi medulla untuk secara reflek meningkatkan ventilasi.

Karena PO2 ateri turun di bawah 60 mmHg hanya keadaan-keadaan yang

tidak lazim, misalnya penyakit paru berat atau penurunan PO 2 atmosfer, PO2 arteri

tidak berperan dalam pengetahuan pernafasan normal.

Pada permulaan, kenyataan ini tampaknya mengejukan karena salah satu

fungsi primer ventilasi tidak perlu tingkatkan sampai PO 2 ateri turun di bawah 60

mmHg karna batas keamanan % saturasi HB yang di timbulkan oleh bagian darat

(plateau) kurfa di sosilasi O2-Hb. Hemoglobin masih 90% tersatu pada Po 2 ateri 60

mmHg, tetapi% satu rassi Hb turun drastic jika PO2 turun di bawa kadar tersebut.

Dengan demikian, stimulasi reflex pernafasan oleh kemoreseptor perifet

berfungsi sebagai mekanisme darurat penting pada keadaan PO 2 ateri yang sangat

rendah dan membahayakan. Memang, meknisme refleks ini bersifat

menyelamatkan nyawa,kerena PO2 areri yang rendag cenderung secara langsung

menekan pusat pernafasan, seperti yang di lakukannya pada bagian otak lainnya.

Kecuali kemoreseptor perifer, tingkat aktifas di semua jaringan saraf akan menirun

jika terjadi kekurangan O2. Jika tidak terdapat intervensi stimulasi dari

komereseptor perifer saat PO2 arteri turun sangat rendah, terjadi lingkaran setan

yang akhirnya menyebabkan pernapasan berhenti. Penekanan langsung pusat

pernapasan oleh PO2 arteri yang sangat rendah akan sangat menurunkan ventilasi,

sehingga PO2 arteri semakin turun, yang pada gilirannya semakan menekan pusat

pernapasan sampai pentilasi berhenti dan yang bersangkutan meninggal.

Karena kemoreseptor perifer berespons terhadap PO 2 darah, bukan

kandungan O2 total, kandungan O2 dalam darah arteri dapat turun ketingkat atau

kadar yang berbahaya atau bahkan fatal tanpa menimbulkan respons pada

kemoreseptoe perifer. Ingat lah bahwa hanya O 2 yang larut secara fisik yang

menentukan PO2 darah.

8
Kandungan O2 total dalam darah arteri dapat menueun pada keadaan

anemia, ketika Hb mengangkut O2 berkurang, atau pada keracunan CO2, pada saat

Hb lebih cenderung mengikat molekul ini dari pada O2.

Pada kedua keadaan ini, PO2 arteri normal sehingga respirasi tidak terstimulasi,

walaupun penyaluran O2 kejaringan mungkin sangat berkurang, sehingga yang

bersangkutan meninggal akibat sel-selnya kekurangan O2.

Peran peningkatan PCO2 arteri dalam mengatur ventilasi Berbeda dengan Po2

arteri, yang tidak berperan dalam pengaturan pernapasan secara terus menerus

(menit-ke-menit), PCO2 arteri merupakan masukan terpenting yang mengetur

besarnya ventilasi pada keadaan istirahat. Peran ini sesuai, kerena perubahan ventilasi

alveolus menimbulkan efek yang segera dan mencolok pada PC O2 arteri, sementara

perubahan pentilasi kurang member efek pada % saturasi Hb dan ketersediaan O 2

kejaringan sampai PO2 turun lebih dari 40 %. Bahkan perubahan ringan PC O2 arteri

akan menginduksi efek refleks yang bermakna pada ventilasi. peningkatan PCO2 arteri

secara refleks merangsang pusat pernapasan, yang menyebabkan peningkatan

ventilasi yang mendorong eliminasi kelebihan CO 2 ke atmosfer. Sebaiknya,

penurunan PCO2 secara refleks menurunkan dorongan untuk bernapas. Ventilasi yang

menurun selanjutnya menyebabkan CO2 yang di produksi melalui metabolism

terakumulasi, sehingga PCO2 kembali ketingkat normal.

Yang mengejutkan, walaupun PCO2 arteri berperan sentrel dalam mengatur

pernapasan, tidak ada kemoreseptor PCO 2 sendiri. Badan karotis dan aorta berespon

secara lemeh terhadap perubahan PCO 2, sehingga keduanya kurang berperan dalam

merangsang ventilasi secara refleks sebagai respons terhadap peningkatan PCO 2

arteri.

Yang lebih penting dalam kaitan antara perubahan PCO 2 arteri dan

penyesuaian-penyesuaian kompensantorik ventilasi adalah kemoreseptor sentral,

yang terletak di medula di dekat pusat pernapasan. Namun,kenoreseptor sentral ini

9
tidak memantau CO2 itu sendiri: kemoreseptor ini peka terhadap konsentrasi H+ yang

di induksi oleh CO2 dalam cairan ekstrasel (CES) otak yang membasahinya.

Perpindahan sebagai zat menembus kapiler otak di batasi oleh sawar darah –

otak. Karena sawar ini mudah di lewati oleh CO 2, setiap peningkatan PCO2 akan

meningkatkan peningkatan serupa PCO 2 CES otak karena CO2 berdifusi mengikuti

penurunan gradient tekanan dari pembuluh darah otak ke CES otak. Peningkatan

PCO2 di CES otak menyebabkan peningkatan konsentrasi H+ sesuai hukum aksi

massa yang berlaku yang bereaksi :Co2+H2O…. H2CO3….H+ + HCO3.

Peningkatan konsentrasi H+ di CES otak secara langsung merangsang kemoreseptor

sentral, yang pada gilirannya meningkatkan ventilasi dengan merangsang pusat

pernapasan melalui hubungan sinaps.

Setelah kelebihan CO2 kemudian di kurangi, PCO2 atreri dan Pco2 serta

konsentrasi H+ CES otak kembali normal. Sebaiknya, penurunan PCO 2 arteri di

bawah normal akan di ikuti oleh penurunan PCO 2 dan H+ di CES otak, menyebabkan

penurunan pentilais melalui jalur yang di perantarai oleh kemoreseptor sentral.

Setelah CO2 yang di hasilkan oleh metabolimse di biarkan terakumulasi, PCO 2 arteri

serta PCO2 dan H+ CES otak kembali pulih kembali normal.

Tidak seperti CO2, H+tidak mudah menembus sewar darah ortak, sehingga H+

yang terdapat di plasma tidak mencapai kemoreseptor. Dengan demikian,

kemoreseptor sentral hanya peka terhadap H+ yang di hasilkan kedalam CES otak itu

sendiri akibat masuknya CO2.

Dengan demikian, mekanisme utama yang mengontrol ventilasi pada keadaan

istirahat secara khusus di tujuakan untuk menatur konsentrasi H+ CES otak, yang

pada gilirannya merupakan pencerminan langsung PCO 2 arteri.

Kecuali apa bila terjadi keadaan-keadaan yang meringankan, misalnya

berkurangnya ketersediaan O2 dalam udara inspirasi, PO2 arteri secara “kebetulan”

10
juga di pertahankan dalam nilai normalnya oleh mekanisme ventilasi yang di dorong

oleh H+ CES otak.

Pengaruh kuat kemoreseptor sentral pusat pernapasan merupakan penyebab

utama anda secara sengaja menahan nafas secara sengajah lebih dari satu menit.

Sementara anda menahan nafas, CO2 yang di hasilkan peruses metabolism terus

tertimbun dalam darah anda dan selanjutakan meningkatkankonsentrasi H+ di CES

otak.

Akhirnya, stimulasi pada pernapasan yang di timbulkan oleh PCO 2-H+

menjadi demikian kuat,sehingga masukan eksitatorik kemoreseptor sentral

mengalahkan masukan inhibitorik volunteer untuk resipitasi, sehingga bernapas

kembali di mulai dari walaupun anda berusaha menghentikannya. Bernapas lebih

pulih sebelum PO2 atreri turun kekadar yang sangat rendah yanga mengancam nyawa

dan memicu kemoreseptor perifer. Dengan demikian, anda tidak dapat secara sengaja

menahan napas untuk menciptakan kadar CO 2 yang tinggi atau kadar O2 yang rendah

di darah ateri yang dapat mengancam nyawa.

Berbeda dengan efek stimulatorik norma yang di timbulkan peningkatan PCO 2-

H+ pada aktifitas pernapasan, kadar CO 2 yang sangat tinggi secara langsung menekan

seluruh otak, termaksud pada pernapasan, seperti kadar O 2 yang sangat rendah.

Sampai PCO2 70-80 mmHg, kadar PCO2 yang secara progresif meningkat akan

meningkat akan menginduksi usaha pernapasan yang semakin kuat sebagian cara

untuk mengeluarkan kelebihan CO2.

Namun, peningkatan lebih lanjut PCO 2 melebihi 70-80 mmHg tidak semakin

meningkatkan ventilasi, tetapi sebenarnya menekan neuron-neuron pernapasan.

Karena itu,di lingkungan-lingkungan yang tertutup,misalnya mesin anestesi

sirkuit-trtutup, kapal selam, atau pesawat ruang angkasa,harus di tambahkan O 2 dan

CO2 harus di keluarkan apa pabila tidak demikian CO 2 dapat mencapai kadar yang

11
mematikan,tidak saj karena efek penekanan pernapasan, tetapi juga karena timbulnya

asidosis respiratorik yang hebat.

Selama hipoventilasi berkepanjangan yang di sebabkan oleh jenis-jenis

penyakit paru kronik, terjadi peningkatan PCO2 bersamaan pada penurunan mencolok

PO2. Pada sebagian besar kasus, PCO 2 yang meningkat (bekerja melalui

kemoreseptor sentral) dan PO2 yang menurung (bekerja melalui kemoreseptor

perifer) bersifat sinergistik; yaitu, efek estimulatorik gabungan pada pernapasan daru

kedua factor tersebut bersama lebih besar dari pada jumlah pengaruh independen

mereka.

Namun, sebagian pasien dengan penyakit paru kronik yang parah kehilangan

kepekaan terhadap peningkatan PCO2 arteri. Karena trjadi peningkatan pembentukan

H+ di CES otak akibat retensi CO 2 berkepanjangan,cukup banyak HCO3 yang dapat

melintasi sawar darah oetak untuk menyangga,atau”menetralisasi”, kelebihan H+.

tambahan HCO3 berikatan dengan kelebihan H+, menyingkarkannya dari larutan

sehingga tidak lagi menentukan konsentrasi H+bebes.

Dengan meningkatkan konsentrasi HCO3 CES otak, konsentrasi H+ CES otak

di pulihkan ke normal. Walaupun PCO2 arteri dan PCO2 ces kitak lebih tinggi.

Kemoreseptor sentral tidak lagi menyadari adanya peningkatan PCO 2 karena

H+ CES otak normal, karena kemoreseptor sentral tidak lagi merangsang pusat

pernapasan secara refleks sebagai respon terhadap peningkatan PCO 2, pada pasien-

pasien dorongan untuk mengeliminasi CO2 hilang; yaitu,tingkat ventilasih mereka

terlalu rendah di bandingkan dengan PCO2 arteri mereka yang tinggi.

Pada para pasien ini, dorongan terhadap ventilasi terutama di timbulkan oleh

hipoksia, berbeda dengan orang normal,dengar kadar PCO 2 arteri yang merupakan

factor dominan yang mengatur tingkat ventilasi. Ironisma pemberian O 2 kepada

pasien tersebut untuk mengurangi hipoxsia dapat secara mencolok menekan

keinginan mereka untuk bernapas karena terjadi peningkatan PO 2 arteri yang

12
menghilangkan stimulus utama yang mendorog respirasi. Karena bahaya ini, terapi

O2 harus di berikan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit paru kronik.

Peran peningkatan konsentrasi H+ arteri dalam mengatur ventilasi

Perubahan konsentrasi H+ arteri tidak dapat mempengaruhi kemoreseptor sentral

karena H+ tidak mudah menembus sawar otak. Namun, kemoreseptor perifer badan

aorta dan karotis sangat tanggap terhadap fluktuasi H+ arteri, perbedaan dengan

rendahnyapenyekaan terhadap penyimpanan PCO 2 arteri serta ketidak pekaan mereka

terhadap PO2 arteri sampai tekanan darah parsiar itu turun 40% dibawah normal

Setiap perubahan PCO2 arteri akan menimbulkan perubahan yang setara

konsentrasi H+ darah serta CES otak. Perubahan H+ di darah arteri yang di induksi

oleh CO2 ini di deteksi oleh perifer; hasilnya adalah stimulasi ventilasi secara reflek

sebagai respons terhadap peningkatan konsentrasi H+ arteri dan depersi ventilasi

yang berkaitan dengan penueunan konsentrasi H+arteri. Walaupun demikian,

perubahan-perubahan ventilasi yang di dipenrantarai oleh kemoreseptor perifer ini

kurang penting di bandingkan dengan mekanisme kemoreseptor sentral yang jauh

lebih kuat dalam menyesuaikan ventilasi sebagai respons terhadap perubahan

konsentrasi H+ yang di timbulkan oleh CO2.

Kemoreseptor perifer berperan besar pada penyesuaian ventilasi sebagai

respons terhadap perubahan konsentrasi H+ arteri yang tidak berkaitan dengan

fluktuasi PCO2. Pada berbagai keadaan, walau PCO2 normal, konsentrasin H+ arteri

berubah akibat penambahan atau pengurangan asan non-karbonat dari tubuh.

Sebagai contoh konsentrasi H+ arteri meningkat pada diabetes mellitus karena

adanya asam-asam keto penghasil H+ yang di periduksi secara abnormal dan di

tambahkan kedarahpeningkatan konsentrasi H+ atreri secara refleksmerangsang

ventilasi melalui kemoreseptor perifer.

13
Sebaiknya, kemoreseptor perifrt secara fleks menekan aktifitas pernapasan

sebagai respons terhadap penurunan kosnsentrasi H+ arteri yang di timbulkan oleh

kausa non-respirasi. Perubahan ventilasi mekanisme ini sangat penting untuk

mengatur keseimbangan asam-basa tubuh. Dengan mengubag-ubah tungkat ventilasi,

jumlah CO2 menghasilkan asam yang dieliminasi dapat di ubah-ubah. Penyesuaian

jumlah H+ yang di tambahkan ke darah oleh CO 2 dapat mengkonpensasi H+ arteri

yang ditimbulakan oleh kausa non-respirasi yang pertama kali memici respons

pernapasan tersebut.

4. Pengaruh Olahraga Terhadap Ventilasi pada System Respirasi

Ventilasi alveolus dapat meningkatkan sampai dua puluh kali lipat selama

olahraga berat untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan penyerapan O 2 dan

pengeluaran CO2. Penyebab perubahan ventilasi selama olahraga masih bersifat

spekulatif. Dapatlah diterima akal sehat bahwa penurunan “tiga besar” factor kimia-

penurunan PO2 peningkatan PO2 dan peningkatan H+ dapat menyebabkan

peningkatan ventilasi tersebut.

Namun,tampaknya hasil ini tidak sepenuhnya benar.

a. Walaupun terjadi peningkatan mencolok pemakaian O 2 selama olahraga, Po2

arteri tidak menurun tetapi tetap normal atau bahkan sedikit meningkat. Hal

ini disebabkan oleh karena peningkatan ventilasi alveolus mengimbangi atau

bahkan sedikit lebih peningkat kecepatan konsumsi O2.

b. Demikian juga, walaupun terjadi peningkatan mencolok produksi CO2 selama

olahraga, CO2 arteri tidak meningkat tetapi tetap normal atau sedikit

berkurang. Hal ini terjadi karena CO 2 tambahan itu dikeluarkan sama cepatnya

atau bahakan lebih cepat daripada tingkat pembentukannya akibat peningkatan

ventilasi.

c. Selama olahraga ringan atau sedang, konsentrasi H + tidak meningkat karena

CO2 berhasil H+ ditahan dalam kadar konstan. Selama olahraga berat,

14
konsentarsi H+ memang agak meningkat karena pembebasan asam laktat

penghasil H+ kedalam darah akibat metabolisme anaerob diotot. Walaupun

demikian, peningkatan konsentrasi H+ yang terjadi akibat pembentukan asam

laktat tidak cukup besar untuk menimbulkan peningkatan ventilasi yang

menyertai olahraga.

Beberapa penelitian berpendapat bahwa menetapnya ketiga faktor kimia

diatas selama olahraga merupakan bukti bahwa respons ventilasi terhadap

olahraga memang dikontrol oleh faktor-faktor tersebut-terutama oleh Pco 2, faktor-

faktor tersebut merupakan pengontrol yang dominan selama bernapas tenang.

Sesuai dengan pemahaman ini, bagaimana lagi ventilasi alveolus dapat

ditingkatkan setara persis dengan produksi CO 2 sehingga Pco2 konstan? Akan

tetapi, pendapat ini tidak menjelaskan pengamatan bahawa selama olahraga berat

ventilasi alveolus dapat meningkat relatif terhadap peningkatan produksi CO 2,

sehingga sebenarnya terjadi penurunan ringan Pco 2. Demikian juga, ventilasi

peningkatan dengan cepat pada permulaan olahraga (dalam beberapa detik), jauh

sebelum perubahan gas darah arteri menjdi cukup berpengaruh terhadap pusat

pernapasan (yang memerlukan waktu beberapa menit).

Para peneliti berependapat bahwa sejumlaha faktor lain, termasuk yang berikut,

berperan dalam respons ventilasi terhadap olahraga :

1) Refleks yang terjadi dari gerak tubuh. Respon-respon disendi dan otot

terektisitasi selama kontraksi otot akan secara refleks merangsang pusat

pernapasan dan dengan cepatnya meningkatkan respirasi bahakan gerakan

pasif anggota badan (misalnya, orang lain secara bergantian melakuakan

fleksi dan ekstensi seseorang) dapat meningkatakan ventilasi beberapa kali

lipatan melalui pengaktifan reseprot-reseptor tersebut, walaupun sebnaranya

tidak terjadi olahraga. Demikian, proses mekanisme pada olaharaga diyakini

berperan penting dalam mengkordinasikan aktivitas pernapasan dengan

kebutuhan metabolisme otot-otot yang aktif.

15
2) Peningkatan suhu tubuh. Banyak energi yang dihasilkan selama kontraksi

otot diubah menjadi panas dan bukan menjadi kerja mekanis. Mekanisme

pengeluaran panas, misalnya berkaitan, sehingga tidak mampu mengimbangi

peningkatan produksi panas yang menyertai aktivitas fisik tersebut sehingga

suhu tubuh sering meningkat selama olahraga. Karena peningkatan suhu

tubuh merangsang ventilasi, pembentukan panas terkait olahraga ini jelas

berperan menemukan respons pernapasan terhadap olahraga. Dengana alasan

yang sama demam sering disertai oleh peningkatan ventilasi.

3) Penegeluaran epinefrin. Hormon medula adrenal epinefrin juga merangsang

ventilasi. Kadar epinefrin dalam sirkulasi peningkatan selama olahraga

sebagai respon terhadap pembentukan potensial aksi disistem saraf simpatis

yang meneyertai peningkatan aktivitas fisik.

4) Impuls dan korteks serebrum. Terutama pada permulaan olahraga daerah-

daerh motorik korteks serebrum diperkirakan secara simultan merangsang

otot pernapasan medula dan mengaktifkan neuron-neuron motorik otot.

Artinya serupa dengan penyesuaian kardiovaskuler yang dimulai oleh korteks

motorik pada permulaan olahraga. Dengan cara ini, daerah motorik otak

meningkatakan aktivitas ventilasi dan sirkulasi untuk menunjang aktivitas

yang segera dimulai. Penyesuaian aktisipatorik ini bersifat tidak lasim, yaitu

bahawa langkah-langkah regulasi diambil sebelum ada faktor hemeostatik

yang berubah. Pada kedadaan yang biasa, penyesuain-penyesuaian tersebut

berlangsung setelah suatu faktor berubah sebagai usaha untuk memulai

homeostatis.

Tidak ada di antara faktor faktor atau kombinasi faktor tersebut yang

benar benar memuaskan untuk menjelaskan efek olahraga pada ventilasi yang

bersifat mendadak dan kuat. Faktor faktor tersebut juga tidak dapat secara

menyeluruh menemukan tingginya kolerasi antara aktif pernafasan dan

16
kebutuhan tubuh akan pertukaran gas selama olahraga, (untuk membahas

mengenai bagian pengukuran komsumsi O2 selama olahraga dapat di gunakan

untuk menentukan kapasitas kerja maksimum seseorang, lihat pitun menyerta

dalam kotak, lebih dekat tentang fisologi olahraga.)

5. Faktor- faktor yang mempengaruhi ventilasi pada System Respirasi

a. Kecepatan dan kedalaman bernafas

Yang daapat di motofikasikan oleh sebab sebab di luar kebutuhan akan pasokan

O2 atau pengeluaran CO2.

b. Refleks- refleks protektif

Misalnya bersin dan batuk, secara temporel mengatur aktifitas pernafasan

sebagai usaha untuk mengeluarkan bahan – bahan iritan tertentu sering memicu

penghentian ventilasi.

c. Nyeri

Yang berasal dari bagian lain tubuh secara refleks merangsang pusat pernafasan

( sebagai contoh seseorang mengap –mengap jika merasa nyeri ).

d. Modifikasi bernafas secara infolumenter

Modifikasi bernafas secara infloumenter juga terjadi selama ekspirasi sebagai

keadaan emosional, misalnya tertawa, menangis, bernafas panjang, dan mengerang.

Modifikasi yang dicetuskan oleh emosi ini diperantarai oleh hubungan-hubungan

antara sistem limbik otak (bertanggung jawab dalam emosi) dan pusat pernafasan.

Selain itu pusat pernafasan secara reflek dihambat selama proses menelan, pada

saat saluran pernafasan ditutup untuk mencegah makanan masuk ke paru-paru.

e. Kontrol Volunter

Manusia juga memiliki kontrol volunter yang cukup besar terhadap ventilasi.

Kontrol pernafasan secara volunter dilakukan oleh korteks serebrum, yang tidak

bekerja pada pusat pernafasan di otak, teteapi melalui inplus yang dikirim secara

langsung ke neuron neuron motorik dikorda spinalis yang mempersyarafi otot

17
pernafasan. Kita dapat secara sengaja melakukan hiperventilsi (“bernafas

berlebihan”) atau, pada keadaan ekstrim yang lain, menahan nafas kita, tetapi hanya

untuk menjangkau waktu yang singkat.

f. Perubahan – perubahan Kimiawi

Perubahan-perubahan kimiawi yang kemudian terjadi didarah arteri secara

langsung dan secara refleks mempengaruhi pusat pernafasan, yang kemudian

mengalahkan masukan volunter ke neuron motorik otot. Selain bentuk-bentuk

ekstrim pengontrolan pernafasan tadi, tidak juga mengontrol pernafasan untuk

melakukan berbagai tindakan volunter, misalnya berbicara, bernyanyi, dan bersiul.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ventilasi melibatkan dua aspek berbeda, yang keduanya dapat dipengaruhi
oleh control saraf (1) siklus ritmis antara inspirasi dan ekpirasi dan (2)
pengaturan besarnya ventilasi, yang pada gilirannya bergantung pada control
frekuensi bernafas dan kedalaman tidal volume. Irama bernafas terutama
ditentukan oleh aktivitas pemacu yang diperlihatkan oleh neuron-neuron
inspirasi yang terletak dipusat control pernafasan di medulla batang otak.
Sewaktu neuron-neuron inpirasi ini melepaskan muatan secara spontan, impulse
kahirnya mencapai otot-otot inspirasi, sehingga terjadi inspirasi. Apabila neuron
inspirasi berhenti melepaskan muatan, otot inspirasi melemas dan terjadi
ekspirasi di medulla. Irama dasar ini diperhalus oleh keseimbangan aktivitas
dipusat apnustik dan pneumotaksik yang terletak lebih tinggi dibatang otak di
pons. Pusat apnustik memperpanjang inspirasi sementara pusat pneumotaksik
yang lebih kuat membatasi inspirasi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Sherwood, Lauralee, 2001, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Jakarta : EGC

Lusianah, S.Kp, M.Kep, dkk. 2002 Prosedur Keperawatan, Jakarta : Perpustakaan

Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)

https://www.academia.edu/29063515/MAKALAH_KONTROL_PERNAFASAN

19

Anda mungkin juga menyukai