Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TOKOH PENDIDIKAN

DASAR DASAR ILMU PENDIDIKAN

Dosen: Dra. Zuwirna, M.Pd dan Dra.Eldarni,M.Pd

Disusun Oleh:

KELOMPOK 14

1. WISMAYA DEWI (20023107)


2. RIZKI RAMADHAN (20076064)
3. RIO FERDIANTO PUTRA (20076063)

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah untuk memenuhi nilai Dasar Dasar Ilmu
Pendidikan ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ibu Dra.
Zuwirna, M.Pd dan juga ibu Dra.Eldarni,M.Pd pada mata kuliah Dasar - Dasar Ilmu
Pendidikan . Makalah ini berisikan tentang tokoh pendidikan nasional.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu, selaku selaku dosen Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan yang telah mengayomi dan mengajarkan kami dalam mata kuliah ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini, dan juga kepada teman
rekan kelompok yang telah bekerja sama.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang..............................................................................................................1

Rumusan Masalah........................................................................................................1

Tujuan Masalah............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Ki Hajar Dewantara..................................................................................... ....2


B. Mohammad Syafei...........................................................................................4
C. KH Ahmad Dahlan............................................................................................7
D. Rahmah Elyunisiah...........................................................................................9

BAB III PENUTUP

Kesimpulan...............................................................................................................13

Saran… ………………………………………………………………………………………………………………..13

Daftar pustaka..........................................................................................................13

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia.


Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha sadar manusia untuk memanusiakan
manusia itu sendiri, artinya pendidikan dimaksudkan untuk membudayakan
manusia. Pendidikan sekarang ini tidaklah terlepas dari usaha-usaha para tokoh pendidikan
yang dahulu telah merintisnya dengan perjuangan yang sangat berat dan tidak mengenal
lelah.

Jauh sebelum kemerdekaan RI, banyak tokoh indonesia yang memiliki pemikiran maju,
khususnya dalam bidang pendidikan. Beberapa tokoh pendidikan seperti Ki Hajar
Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Syafei, Rahmah Elyunisiah merupakan sejumlah
tokoh pendidikan pribumi yang memberikan warna pendidikan sampai saat ini. Tokoh-tokoh
tersebut adalah insan-insan bermartabat yang memperjuangkan pendidikan dan sekaligus
pejuang kemerdekaan yang berjuang melepaskan cengkeraman penjajah dari bumi
Indonesia.

Pada dasarnya cukup banyak tokoh pelaku sejarah yang sangat berjasa dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Namun, dalam kesempatan ini hanya sebagian yang bisa
dikemukakan, dengan tidak mengurangi dan mengecilkan arti perjuangan dan jasa-jasa
tokoh lain. 

RUMUSAN MASALAH
1. Siapa tokoh nasional dalam pendidikan?
2. Lembaga apa yang didirikan oleh tokoh pendidikan?

B. TUJUAN MASALAH
Pembaca dapat mengetahui tentang tokoh nasional dalam pendidikan.
BAB II

PEMBAHASAN

Sebelum kemerdekaan terdaoat banyak tokoh yang mempunyai pemikiran maju, yang
membuat sebagian dari mereka ingin memerdekakan indonesia dalam hal pendidikan
karena negara maju bukan hanya merdeka negaranya tetapi juga dengan majunya
warganya. Berikut beberapa tokoh pendidikan nasional :

A. Ki Hajar Dewantara

“Ing Ngarsa sung tulodha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani"

Semboyan tersebut muncul dari seorang tokoh yang jasanya selalu diingat dalam dunia
pendidikan di Indonesia Ki Hajar Dewantara. Semboyan tersebut artinya “Di depan memberi
teladan, di tengah memberi bimbingan, dan di belakang memberi dorongan". Hingga saat
ini, semboyan tersebut relevan dan diterapkan dalam pendidikan di Indonesia.

Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.
Kini, tanggal 2 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas).

Sebagai putra dari GPH Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III, tampak jelas bahwa
Soewardi lahir dan tumbuh  di lingkungan Pakualaman. Ia mengenyam pendidikan di ELS
yang merupakan sekolah dasar Belanda. Ia lalu melanjutkan ke Sekolah Dokter untuk
Bumiputera atau STOVIA. Namun, Soewardi tak tamat di Stovia.

Ia aktif di Boedi Oetomo, organisasi pergerakan yang berdiri pada 1908. Ia juga aktif di
'Insulinde' organisasi multietnik yang didominasi darah campuran Belanda dan pribumi
untuk memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda.

Keterlibatan Soewardi di Insulinde tak lain adalah berkat pengaruh Ernest Douwes Dekker
alias Danudirja Setiabudi yang nantinya membentuk Indische Partij bersama dr. Tjipto
Mangunkusumo.

Di awal karirnya, Soewardi adalah jurnalis di berbagai surat kabar seperti Oetoesan Hindia,
De Expres, Kaoem Moeda dan Tjahaja Timor. Saat menjadi wartawan inilah Soewardi
membuat pusing pemerintah Kolonial.

Ia menulis artikel bertajuk "Als ik een Nederlander was" yang artinya Seandainya Aku
Seorang Belanda di De Express pimpinan Danudirja pada 13 Juli 1913. Artikel ini menohok
para pejabat kolonial. Berdasarkan arsip nasional, berikut Penggalan artikel tersebut.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta


kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan
jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander
(pribumi) memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu."

Soewardi diciduk Belanda. Ia lalu meminta diasingkan ke Pulau Bangka, namun Danudirja
dan Tjipto tak setuju. Ketiganya pun diasingkan ke Belanda pada 1913 dan saat itu juga tiga
pria ini disebut Tiga Serangkai.

Soewardi pulang ke Indonesia pada September 1919. Setelah sempat bergabung dengan
sekolah binaan saudaranya, ia kemudian mengembangkan konsep mengajar.

Dari konsep itu, Soewardi mendirikan sekolah yang ia dirikan pada 3 Juli 1922 . Sekolah itu
diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional
Tamansiswa untuk masyarakat.

Soewardi mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara untuk menanggalkan gelar


kebangsawanan 'Raden Mas' yang tersemat di namanya. Sehingga, ia lebih dekat dengan
masyarakat.

Tamansiswa memberikan dampak besar pada pendidikan masyarakat, khususnya pribumi.


Saat itu, para pribumi non bangsawan begitu sulit mendapatkan pendidikan dengan sistem
yang baik.

Pada saat di Tamansiswa ini pula, semboyan “Ing Ngarsa sung tulodha, Ing madya mangun
karsa, Tut wuri handayani" muncul.

Setelah Indonesia merdeka, Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi menteri Pendidikan,


Pengajaran, dan Kebudayaan Pengajaran Indonesia pada kabinet pertama di bawah
Presiden Soekarno pada tanggal 28 April 1959, beliau wafat di Yogyakarta.

Untuk menghormati dan mengingat jasa Ki Hadjar Dewantara ini, tanggal kelahirannya
diaperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hardiknas ditetapkan setelah adanya Surat
Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959.

B. Muhammad Syafei
Beberapa sumber mengatakan Engku Mohammad Syafei lahir pada 21 Januari 1896 adapula
menuliskan tahunnya 1899. Lain lagi kata Ali Akbar Navis, penulis kisah Robohnya Surau
Kami yang merupakan alumnus INS Kayutanam. Lewat bukunya yang berjudul Filsafat Dan
Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam, Ali Akbar menyebut tanggal
kelahiran Syafei ialah 31 Oktober 1893.

Meskipun berdarah Jawa asal Kediri, ia dianggap sebagai tokoh masyarakat di Sumatra
Barat. Hal ini tidak lepas dari peran ayah angkatnya, Ibrahim Marah Sutan (1860-1954).
Marah Sutan yang beristrikan Chalijah adalah tokoh terpandang pada saat itu. Ia merupakan
seorang tokoh pendidik dan pengarang pada awal abad ke-20 yang notabene merupakan
putra Minangkabau asal Kayutanam, tamatan Kweekschool (Sekolah Raja) Bukittinggi, yaitu
sekolah guru yang paling bergengsi dan satu-satunya di Sumatra. Sebagian alumnus di
sekolah ini menorehkan tinta emas dalam sejarah bangsa Indonesia, di antaranya ialah Tan
Malaka dan Abdul Haris Nasution.

Prestasi sekolah Syafei kecil rupanya sangat membanggakan sang ayah, sehingga setelah
menamatkan sekolah rakyat di sana ia dikirim ke Sekolah Raja Bukittinggi, di mana Marah
Soetan pernah bersekolah. Setelah tamat dari Sekolah Guru di Bukit Tinggi, Syafei bekerja
sebagai guru pada Sekolah Kartini di Jakarta selama 6 tahun.

Sama seperti Ki Hadjar Dewantara - tokoh pendidikan pendiri Taman Siswa, Syafei termasuk
sosok yang berupaya mengawinkan sekolah dan politik. Perkenalannya dengan dunia politik
telah dimulai ketika ia bersama ayah angkatnya, Marah Sutan, tinggal di Batavia (Jakarta).
Bertemu dengan banyak tokoh pergerakan yang berkunjung ke rumah mereka. Sejak itulah,
Syafei menjadi anggota partai ayahnya, Insulinde, dan ia juga menyediakan waktunya untuk
mengajar di Taman Siswa. Ia pun sangat menghayati cita-cita ayahnya, yang ingin
mendirikan sekolah sendiri yang berada di luar sistem kolonial, sebuah sekolah yang
memerdekakan jiwa dan kreativitas anak-anak di luar pakem pendidikan kolonial.

Syafei pernah merantau ke Belanda atas usaha sendiri untuk belajar di sana. Saat itu ia
berangkat menimba ilmu di negeri kincir angin pada usia 29 tahun pada 31 Mei 1922.

Dari negeri Belanda, Syafei memperoleh empat ijazah, yaitu ijazah guru Eropa,
menggambar, pekerjaan tangan, dan musik. Di samping itu ia ikut aktif dalam organisasi
pelajar yang didirikan oleh Mohammad Hatta yaitu "Indonesische Vereeniging" dan menjadi
redaktur rubrik pendidikan pada organisasi itu.

Setelah sering berdiskusi, Hatta dan Syafei sepakat soal pentingnya pendidikan bagi
kemerdekaan. Tak heran jika Syafei menolak tawaran mengajar di sekolah pemerintah dan
memilih membangun sekolah sendiri. Ia bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat
mengembangkan bakat-bakat murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat
Indonesia.

Sekembalinya dari Belanda pada 1925, Syafei lantas mendirikan INS di Kayutanam, Padang
Pariaman, Sumatra Barat pada 31 Oktober 1926. Berdirinya INS Kayutanam merupakan
simbol perlawanan terhadap penjajah. Sekolah ini merupakan jawaban terhadap corak
pendidikan Belanda saat itu yang dinilai intelektualistik hanya mementingkan kecerdasan
tetapi kurang memperhatikan bakat-bakat anak. Melalui INS, Syafei berharap para siswanya
tidak menjadi cendekiawan setengah matang yang angkuh, tetapi menjadi pekerja cekatan
yang rendah hati.

Dalam memimpin sekolahnya, Syafei menolak secara keras bantuan dari luar, terutama bila
bantuan tersebut bersifat mengikat dan tidak memberinya kebebasan. Semua bangunan
dan fasilitas sekolah adalah hasil buah karya dan kemandirian murid-muridnya sendiri.

Pada awal pendiriannya, INS Kayutanam hanya menyewa rumah penduduk di lahan seluas
18 ha dengan murid awal sebanyak 79 orang yang kemudian bertambah menjadi 110 orang.
Tidak ada bangku untuk duduk, tetapi para murid mesti belajar di atas tikar. Keadaan seperti
itu berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu, secara bergotong royong, murid-murid
mendirikan sebuah bangsal yang sederhana di tengah-tengah kebun kopi. Bangsal tersebut
dijadikan 4 kelas di mana saat itu muridnya sudah bertambah menjadi 200 orang.

INS Kayutanam dikategorikan sebagai sekolah swasta kejuruan. Semboyannya yang sangat
terkenal olehnya ialah: ''Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya ingat dan
yang saya perbuat saya tahu.'' Adapun tujuan sekolah yang diselenggarakan oleh Syafei
adalah:

4. Mendidik anak-anak agar mampu berpikir secara rasional


5. Mendidik anak-anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh
6. Mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang berwatak baik
7. Menanamkan rasa persatuan

Tampak bahwa unsur kebangsaan amat kuat dalam pemikiran Syafei yang dituangkan di INS.
Hal itu cukup beralasan karena tujuan ia mendirikan sekolah INS untuk menumbuhkan jiwa
patriotisme rakyat dan tidak bergantung pada bangsa lain. Ia didorong semangat zaman
yang menjiwai pemikiran pendidikannya, yaitu semangat nasionalisme anti-kolonial. Semua
ini tercermin dari paradigma pendidikan yang dikembangkannya, yang kesemuanya
diarahkan untuk memperkuat karakter bangsa.

C. KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan memiliki nama asli Muhammad Darwis, lahir di Yogyakarta, 1 Agustus
1868. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang ada di keluarga KH
Abu Bakar. Ayahnya seorang tokoh agama terkemuka, khatib di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta di era Hindia Belanda. Ibunya, Siti Aminah, adalah putri Haji Ibrahim, penghulu di
Kesultanan Yogyakarta pada masa itu.

Ditelusuri lebih jauh, silsilah Kiai Dahlan sampai pada salah satu Wali Songo, yaitu Maulana
Malik Ibrahim yang juga terhubung ke Nabi Muhammad SAW. Muhammad Darwisy bin K.H.
Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilyas bin Demang
Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.

Dahlan mengenyam pendidikan di pesantren. Pada usia 15 tahun, ia berangkat haji dan


menetap di Kota Mekkah selama 5 tahun. Selama di Mekkah, Kiai Dahlan memperdalam
ilmu agama dan juga berinteraksi dengan Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan
Ibnu Taimiyah yang memiliki pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam. 

Pada usia 20 tahun pada 1888, ia kembali pulang ke kampung dan mengubah namanya
Muhammad Darwis menjadi Ahmad Dahlan. Namanya itu diberi oleh seorang syekh dari
perguruan syariat Syafi’i yang bernama Sayyid Bakri Shatta. Di Mekkah, Kiai Dahlan
berhubungan juga dengan jemaah haji dari Jawa Barat, Minangkabau, Aceh, Sulawesi dan
daerah lain yang memiliki kepercayaan kuat terhadap Islam. 

Organisasi Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta. Ahmad Dahlan adalah
sosok intelektual Islam yang sederhana. Selain mempelajari ilmu agama di Mekkah, ternyata
Ahmad Dahlan pernah menimba ilmu agama Islam tradisional.

Selain itu, ketika KH Ahmad Dahlan berada di Mekkah untuk menimba ilmu, di sana ternyata
sedang terjadi puncaknya pengaruh Wahabiyah.
Haedar Nashir dalam Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 8 Mei 2017, menjelaskan bahwa
sebutan Wahabi atau Wahabiyah adalah merupakan kontruksi atau gambaran yang
diberikan terhadap orang atau kelompok yang dianggap mengikuti paham Muhammad bin
Abdil Wahhab, biasanya hal ini dianggap julukan yang negatif.
Muhammadiyah misalnya, oleh mereka yang tidak suka sering dikaitkan dengan Wahhabi,
baik dulu maupun saat ini, padahal sama sekali tidak.

Sementara buku Haedar Nashir berjudul “Muhammadiyah Gerakan Pembaruan” (2016:1),


mengungkapkan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi sosial yang banyak
berkegiatan dalam ranah pendidikan, kesehatan, dan gerakan sosial lainnya yang
melibatkan unsur keagamaan dalam seluruh kegiatan organisasinya.
Muhammadiyah juga terkenal luas sebagai organisasi beraliran Tajdid atau “Pembaharuan”.
Beragam Predikat yang sepadan dengan gerakan pembaharuan ini banyak disamakan para
ahli dengan gerakan kebangkitan Islam yaitu The Revival of Islam al- Shawa al- Islamy, al-
ba’ats al- Islamy.
Sementara Abu Bakar Atjeh menyebutnya sebagai gerakan kembali pada ajaran Salaf (Muhyi
Atsari al- Salaf).
Begitupun dengan pakar sosial Eropa sekelas C. Geerzt, George Kahin, dan Robert van Neil.
Mereka mengelompokkan Muhammadiyah kedalam gerakan sosio kultural. Pada hakikatnya
gerakan Muhammadiyah berangkat dari semangat Tajdid atau Pembaharuan.

D. Rahma El Yunusiah
Rahmah El-Yunuisiah lahir pada tanggal 20 Desember 1900 di Padang Panjang tanah
Minangkabau. Dia anak bungsu dari bersaudara.

Ayahnya bernama Syaikh Muhammad Yunus (1846-1906M) yang terkenal sebagai ulama
besar dan seorang qadhi/hakim yang ahli falak dan hisab di Pandai Sikat. Riwayat pendidikan
ayahnya pernah belajar selama 4 tahun di tanah suci Mekkah. Sedangkan ibunya bernama
Rafi’ah dari keturunan suku Sikumbang yang berasal dari negeri Langkat, Bukit Tinggi.
Ibunya Rafiah masih berdarah ulama, masih ada hubungan darah mamak Haji Miskin, sang
pembaharu gerakan Paderi.
Kakeknya bernama Syeikh Imaduddin terkenal sebagai ulama ahli ilmu falak dan tokoh
tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Tanah Minang, Beliau merupakan masih ada darah
keturunan dengan pembaharu Islam juga tokoh Paderi, Tuanku Nan Pulang di Rao.

Latar belakang kental dari ulama, Rahmah menempuh pendidikan dari Ayahnya, namun
masa belajar itu hanya berlangsung singkat karena ayahnya meninggal masih kanak-kanak.
Peran Rahmah dibesarkan oleh Ibu dan Kedua Kakak yakni Zainuddin Labay EL Yunusiy dan
M. Rasyad yang sudah bekeluarga.

Kakak Rahmah, Zainudin merupakan seorang tokoh pembaharu di Sumatera Barat.


Zainuddin Labay sendiri pendiri dinniyah School di Sumatra. Kakaknya itu menguasai
beberapa Inggris, Arab dan belanda sehingga banyak membantu Rahmah mengakses
literatur asing. Baginya, kakaknya sumber motivasi karena membuka pengetahuan bagi
Rahmah.

Dari keturunan yang terpandang dan berpendidikan yang kuat menjadikan Rahmah Kecil
tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh pendidikan. Rahmah pada masa-masa itu,
dibilang berutung dengan keaadanya perempuan sebaya di sekitar. Tapi, perempuan
sesabaya Rahmah memperoleh pendidikan dasar yang cukup dibekali keterampilan
mempersiapkan diri menjadi isteri dan mengurusi rumah tangga.

Dalam tradisi minang membuat Rahmah mengikuti jejak ibunya. Ia menikah sangat belia
yang berumur 16 tahun dengan seorang mubalig dan ulama muda berpikiran maju bernama
H. Baharudin Latif dari Sumpur Pandang Panjang. Tapi perkawinan hanya berlangsung hanya
enam tahun.

Pada tahun 1922 atas kehendak kedua belah pihak dan memutuskan untuk mengagap
sebagai dua bersaudara. Dari pernikahan ini Rahmah tidak memperoleh keturuan. Sejak
percarian tersebut Rahmah tidak menikah lagi, sehingga kiprah Rahmah difokuskan dalam
mendidikasikan dalam madrasah yang dibangun.

Konsep Rahmah EL Yunusiah dalam pendidikan ditulis Rohmatun Lukluk Isnaini yang
berjudul Ulama Perempuan dan Dedikasi dalam Pendidikan Islam mengatakan, semangat
mengangkat harkat kaum muslimah ini rupanya terpatri dengan mendapat landasan yang
kokoh dalam ajaran Islam yang secara tegas menyebutkan : “Menuntut Ilmu itu Wajib Bagi
Tiap-Tiap Orang Islam Laki-Laki dan Perempuan”.

Jika kaum perempuan tidak mendapatkan ilmu yang memadai, maka bahaya akan datang
dalam lingkungan masyarakat. Namun jika pendidikan yang diberikan kepada mereka itu
keliru, maka tidak sedikit pula malapetaka yang akan menimpa bagi segenap masyarakat
manusia. Berhubung dengan itu Pendidikan terhadap kaum wanita hendaknya disertai
dengan berbagai macam kebijaksanan, tidak boleh dilakukan serampangan.

Dimulai berumur 23 tahun, Rahmah mempunyai semangat dan keinginan yang besar untuk
memajukan kaumnya dan mengeluarkan kaum dari kebodohan kehidupannya, utamanya
dalam rumah tangga. Akhirnya pada tanggal 1 November 1923 Rahmah dan temen-temen
perempuan mendiriikan PMDS (Persatuan murid-murid Diniyah School) sekolah khusus
perempuan Diniyah School Putri atau Madrasah Diniyah Li al Banat yang bertempat di
Masjid Pasang Ulang.

Setelah tujuh tahun mendirikan sekolah Diniyah School Putri, sekitar tahun 1931-1935.
Rahmah memperdalam menuntut ilmu kesehata dengan mengikuti kursus ilmu kebidanan di
RSU Kayu Tanam dan mendapat izin praktek. Disamping itu masih dalam bidang kesehatan
Rahmah belajar kesehatan dan pertolangan pertama pada kecelakaan (P3K) dan terakhir
demi mengembangkan sekolah Rahmah mempelajari olahraga dan senam dari seorang guru
di Normal School di Guguk Malintang.

Dedikasi Rahmah El-Yunusiah dalam dunia pendidikan di tanah minang mendorong arus
pembaruhan bagi kaum perempuan. Meskipun demikian Rahmah tidak memiliki gagasan
bahwa kondisi keterbelakangan kaumnya akibat kondisi sosial yang cenderung patriakhis
sebagai penindasan karena kaum laki-laki.

Pijakan awal Rahmah El-Yunusiah yang dibawa oleh Rahmdah konsep tentang pendidikan
kaum perempuan jelas berbeda dengan asumsi dasar kaum femenis yang menggangap
bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi.

Secara kultural kembali budaya alam Minangkabau yang dari beberapa sisi cenderung
memuliakan kaum perempuan, maka pemberdaan antar kesadaran awal Rahmah EL-
Yunusiah bukanlah upaya membebaskan atau memerdekakan sebagaimana konsep
emasipasi barat. Sebab hakikakatnya wanita di ranah Minang memang tidak dalam
diperbudak atau terjajah oleh pria. Ia hanya mengingankan agar wanita agar wanita
mendapatkan posisinya ajaran Islam menempatkan kaum perempuan.

Pandangan Rahmah El-Yunusiah terletak jelas berpangkal dari ajaran Islam. Fakta sosial
tentang adanya ketimpangan atau penindasan kadang terjadi di kalangan masyarakat Islam
lebih banyak terjadi disebabkan oleh praktik dan tradisi masyarakat yang bersangkutan,
ketimbang oleh ajaran Islam.

Rahmah menilai posisi kaum perempuan dalam Islam Cukup sentral, dalam hal ini tidak ada
perbedaan kaum laki-laki. Perbedaan peran memang ada, namun ini bukan merupakan
wilayah yang kemudian dijadikan oembenaran sebagai bukti suatu diskriminasi. Pandangan
ini agar berupaya memperbaiki wanita melalui bidang pendidikan, sebab menurutnya
wanita pada akhirnya akan berperan sebagai seorang ibu.

Ibu merupakan madrasah awal bagi anak-anaknya sebelum terhubung dengan alam
pandang (worldview) yang lebih luas di lingkungan sekitarnya. Melalui ibu inilah menjadi
penting bagi Rahmah memberikan bekal bagi kaum perempuan ilmu-ilmu agama dan ilmu
terkait lainnya sehingga bisa memiliki pengetahuan yang sama dengan laki-laki. Disni akan
terbentuk pandangan bahwa wanita merupakan tiang negara dan penentu masa depan
bangsa.

Waba’du, akhir masa hidupnya Rahmah El-Yunusiyah wafat pada usia 68 tahun pada tahun
26 Februari 1969. Seorang pejuang pendidikan dari tanah minang, walaupun sudah tak ada
tapi dedikasi terhadap pembaruan pendidikan tak pudar. Perngorbanan dalam hidupnya
banyak memberikan manfaat besar bagi agama, kehidupan masyarakat dan negara. Inilah
seorang nama besar Rahmah El-Yunusiah sebagai ulama perempuan yang dimiliki Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Indonesia memiliki banyak tokoh nasional terutama dalam pendidikan. Tokoh-tokoh
pendidikan di Indonesia sangat berpengaruh dan andil dalam perkembangan sistem
perkembangan pendidikan di Indonesia yang memiliki pemikiran maju, khususnya dalam
bidang pendidikan.

B. SARAN
Sebagai anggota akademik yang berpendidikan,ada baiknya jika kita mengenal tokoh dan sedikit
sejarahnya dalam majunya pendidikan di negara tercinta Indonesia

C.DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/q9qa6b430

https://www.google.com/amp/s/www.goodnewsfromindonesia.id/2020/11/08/engku-mohammad-
syafei-melawan-sistem-pendidikan-belanda-dengan-ins-kayutanam/amp

https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/skola/read/2020/05/02/150000169/willem-
iskander-dan-mohammad-syafei--tokoh-pendidikan-yang-terlupakan

https://www.tagar.id/profil-kiai-haji-ahmad-dahlan-pendiri-muhammadiyah/amp/

https://www.google.com/amp/s/www.harapanrakyat.com/2020/07/kh-ahmad-dahlan-penggagas-
lahirnya-muhammadiyah/amp/

https://geotimes.co.id/opini/rahmah-el-yunusia-pejuang-pendidikan-dari-minang/

Anda mungkin juga menyukai