Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN

TUTORIAL LBM 2 “AKU SESAK NAPAS”


BLOK RESPIRASI 2

Disusun Oleh:

Nama : Renaldo Tegar Prasetyo D


NIM : 018.06.0022
Blok SP : Respirasi 2
Kelas/SGD : B/6
Tutor : dr. Ida Ayu Made Mahayani, S. Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-
AZHAR MATARAM
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Tutorial LBM
2 “AKU SESAK NAPAS” Blok Respirasi 2 dan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan laporan
dengan baik.
2. dr. Ida Ayu Made Mahayani, S. Ked selaku fasilitator dalam SGD kelompok 6 atas segala
masukan, bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi keterbatasan kami.
3. Keluarga dan teman yang saya cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi. Saya menyadari bahwa dalam proses pembuatan laporan ini sampai dengan selesai
masih banyak kekurangannya, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan laporan ini. Saya berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 2 Februari 2022

Penyusun
BAB I

Skenario

LBM 2
AKU SESAK NAPAS

Seorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke UGD RS di antar oleh keluarga dengan
keluhan sesak. Sesak dirasakan sejak 7 hari yang lalu dan memberat sejak 3 jam yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak dua minggu yang lalu. Pasien tidak memliki
riwayat penyakit lain. Keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat
merokok sejak usia 20 tahun. Pasien rata-rata merokok 1 bungkus per hari dan baru berhenti
sejak 3 tahun yang lalu.

Pemeriksaan fisik, didapatkan TD : 130/70 mmhg, Nadi : 109 x/m, suhu 36,9 0C, RR : 35
x/m. Napas cuping hidung, dyspnea, otot-otot bantu napas aktif, retraksi subcosta, dan
menurunnya rasio inspirasi/ekspirasi, ronkhi diffuse (-), wheezing eskpiratorik (-). Suara dasar
vesikuler kanan menurun dari SIC II – bawah. Dari pemeriksaan penunjang TCM dahak
didapatkan MTB detected medium.

DESKRIPSI MASALAH

Pasien dalam skenario di atas yang berusia 60 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan
sesak. Sesak ini sudah dirasakan 7 hari yang lalu tetapi memberat sejak 3 jam yang lalu. Selain
sesak, pasien ini juga mengeluhkan batuk berdahak sejak dua minggu yang lalu. Setalah
dilakukannya anamnesa lebih lanjut, pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain dan juga
keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa. Pasien juga ternyata merokok rata-rata 1 bungkus
per hari dan baru berhenti sejak 3 tahun yang lalu. Dari anamnesis tersebut, dicurigai kelianan
terdapat di bagian paru sehingga dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital terlebih dahulu dan
pemeriksaan fisik paru. Didapatkan tekanan darah pasien meningkat yaitu 130/70 mmhg, nadi
meningkat yaitu 109x/menit, suhu normal yaitu 36,9ºC, dan respiration rate meningkat yaitu
35x/menit. Pada inspeksi, didapatkan napas cuping hidung, dyspneu, otot-otot bantu napas aktif,
retraksi subcosta, dan menururnya rasio inspirasi/ekspirasi. Pada auskultasi didapatkan suara
vesikuler kanan
menurun dari ICS II sampai ke bawah sedangkan suara napas abnormal lainnya seperti ronkhi
dan wheezing tidak ditemukan. Karena didapatkan batuk berdahak serta sesak napas, dilakukan
Tes Cepat Molekuler (TCM) dahak didapatkan MTB medium.

Dari keluhan dan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien telah mengalami
komplikasi dari tuberculosis yaitu efusi pleura. Hal ini dikarenakan Mycobacterium Tuberculosis
yang sudah menginfeksi paru sehingga akan terjadi batuk berdahak sudah menyebar khusunya
pada skenario tersebut yaitu ke pleura parietalis sehingga akan meningkatkan permeabilitas
vascular pada pleura parietalis. Akibatnya, cairan akan banyak masuk ke dalam rongga pleura
melebihi kapasitas saluran limfe untuk mengosongkan cairan pleura ketika terjadi akumulasi
cairan. Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti rontgen thorax untuk melihat
apakah terdapat akumulasi cairan pada pleura yang ditandai dengan sudut kostofrenikus yang
tumpul ataupun tedapat meniscus sign yaitu garis batas antara air-udara yang melengkung seperti
kurva. Selain itu juga bisa dilakukan Rivalta test untuk menilai kandungan cairan pleura
sehingga bisa ditentukan apakah termasuk efusi pleura transudate dan eksudate.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Apa itu suara dasar vesikuler kanan menurun dari ICS II bawah dan mengapa bisa
menurun?
Pada auskultasi ditemukan suara vesikuler yang menurun pada dada kanan
sedangkan pada kiri normal. Semua abnormalitas yang ditemukan pada pasien
disebabkan karena timbunan cairan pada rongga pleura kanan. (Bayu Dian, 2017).
Adanya penurunan suara vesikuler dari SIC II ke bawah pada pemeriksaan
auskultasi. Dikarenakan karena hal tersebut menandakan adanya penumpukan cairan
yang massif dari daerah SIC II ke bawah sehingga suara vesikuler pun menurun.
2. Organ penghasil lendir dan bagaimana lendir bisa dihasilkan?
Sputum adalah lendir dan materi lainnya yang dibawa dari paru-paru, bronkus,
dan trakea yang mungkin dibatukkan dan dimuntahkan atau ditelan.Kata “sputum” yang
dipinjam langsung dari bahasa Latin “meludah.”Disebut juga dahak (Kamus Kesehatan,
2017).Orang dewasa normal membentuk sputum ± 100 ml/hari. Jika produksi berlebihan,
proses pembersihan mungkin tidak efektif lagi sehingga sputum akan tertimbun. Perlu
dipelajari sumber sputum, warna, volume, dan kosistensi sputum (Muttaqin, 2008).
Sputum (dahak) adalah bahan yang dikeluarkan dari paru dan trakea melalui
mulut.Sputum yang dikeluarkan oleh seseorang hendaknya dapat dievaluasi sumber,
warna, volume dan konsistensinya karena kondisi sputum biasanya memperlihatkan
secara spesifik proses kejadian patologik pada pembentukan sputum itu sendiri.
Pemeriksaan sputum penting dilakukan untuk mendiagnosis etiologi berbagai penyakit
pernafasan.Pemeriksaan mikroskopis dapat menjelaskan organisme penyebab pada
berbagai pneumonia bacterial, tuberculosis, serta berbagai jenis infeksi jamur.Waktu
terbaik untuk pengumpulan sputum adalah setelah bangun tidur, karena sekresi abnormal
bronkus cenderung untuk berkumpul pada waktu idur (Somantri, 2012).
Proses terbentuknya sputum, yang dimana orang dewasa normal bisa
memproduksi mucus sejumlah 100 ml dalam saluran napas setiap hari.Mucus ini digiring
ke faring dengan mekanisme pembersihan silia dari epitel yang melapisi saluran
pernapasan. Keadaan abnormal produksi mucus yang berlebihan (karena gangguan fisik,
kimiawi atau
infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak
berjalan secara normal sehingga mucus ini banyak tertimbun. Bila hal ini terjadi
membran mukosa akan terangsang dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intra
thorakal dan intra abdominal yang tinggi, dibatukkan udara keluar dengan akselerasi yg
cepat beserta membawa sekret mucus yang tertimbun tadi. Mucus tersebut akan keluar
sebagai sputum. Sputum yang dikeluarkan oleh seorang pasien hendaknya dapat
dievaluasi sumber, warna, volume dan konsistensinya, kondisi sputum biasanya
memperlihatkan secara spesifik proses kejadian patologic pada pembentukan sputum itu
sendiri (Sylvia, 2011).
3. Pembahasan DD (Definisi, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
fisik dan penunjang)?
A. EFUSI PLEURA
Efusi pleura merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan adanya
penumpukan cairan pada rongga pleura yang berada di permukaan pleura visceral dan
pleura pariental. Efusi pleura adalah penyakit primer yang termasuk jarang terjadi
akan tetapi terhadap penyakit lain efusi pleura merupakan penyakit sekunder. Selain
berisi cairan, dalam efusi pleura juga terdapat penumpikan pus dan darah. Efusi
pleura merupakan salah satu penyakit yang dapat mengancam jiwa (Saferi & Mariza,
2013).
 Klasifikasi
Menurut (Mansjoer, 2001) secara umum diklasifikasikan sebagai transudate
dan eksudat, tergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan
efusi tersebut.
a. Efusi pleura Transudat
Pada efusi pleura jenis transudat ini keseimbangan kekuatan menyebabkan
pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya transudat
karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan onkotik
(hipoalbumin) dan tekanan negatif intra pleura yang meningkat. Biasa terjadi
pada penderita gagal jantung, sindroma nefrotik,hipoalbuminemia, dan sirosis
hepatis. Ciri-ciri cairan transudat serosa jernih, bj biasanya rendah
(dibawah1.012), terdapat limposit dan mesotel tetapi tidak ada netrofil, protein
<3%.
b. Efusi pleura Eksudat
Eksudat ini terbentuk karena penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan
dengan peningkatan permaebilitas kapiler atau drainase limfatik yang kurang.
Biasa terjadi pada penderita pneumonia bakterialis, karsinoma, infark paru,
dan pleuritis. Ciri-ciri eksudat berat jenis>1.015, kadar protein>3%, rasio
protein pleura berbanding LDH serum 0.6, warna keruh.
 Etiologi
Efusi pleura umumnya dibagi menjadi dua, yaitu transudatif dan eksudatif.
Efusi pleura transudatif disebabkan oleh meningkatnya tekanan dalam pembuluh
darah atau rendahnya kadar protein dalam darah. Hal ini mengakibatkan cairan
merembes ke lapisan pleura. Sedangkan efusi pelura eksudatif disebabkan oleh
peradangan, cedera pada paru-paru, tumor, dan penyumbatan pembuluh darah
atau pembuluh getah bening. (PDPI, 2017).
 Epidemiologi
Secara epidemiologi insiden terjadinya efusi pleura sulit untuk ditentukan
karena banyaknya etiologi penyakit yang menyebabkan kelainan tersebut. Namun
insiden efusi pleura di Amerika diperkirakan sekitar 1,5 juta kasus/tahun dan
umumnya sering disebabkan karena gagal jantung, pneumonia karena bakteri
serta keganasan. Sedangkan insiden efusi pleura secara internasional sekitar 320
kasus/100.000 penduduk. Di Indonesia sendiri penyebab terbanyak efusi pleura
dalah karena penyakit tuberkulosis paru. Pada efusi pleura tidak ditemukan
adanya perbedaan jenis kelamin yang signifikan antara pria dan wanita.
Sedangkan untuk usia, efusi pleura ini relatif lebih banyak ditemukan pada usia
dewasa muda dan orang tua. Namun efusi pleura ini sering ditemukan pada anak
terutama anak dengan pneumonia. (Tahri, 2018).
 Manifestasi Klinis
Gejala utama dari efusi pleura yakni sesak nafas. Adanya timbunan cairan
mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak
rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas. Pada anak
masalah pernapasan adalah hal yang paling sering dikeluhkan. Apabila
dihubungkan dengan penyebabnya berupa pneumonia maka gejala yang muncul
adalah batuk, demam, sesak napas, menggigil. Apabila penyebabnya bukan
pneumonia, maka gejala pada
anak mungkin tidak ditemukan sampai efusi yang timbul telah mencukupi untuk
menimbulkan gejala sesak napas atau kesulitan bernapas. Adanya gejala-gejala
penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis
(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis), banyak keringat,
batuk, banyak riak. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika
terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan. (Ferry, 2020).
 Pemeriksaan Fisik
Paru: retriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada , fremitus taktil
menghilang , perkusi redup, bunyi napas menurun karena ada efusi, splinting
(Pada daerah paru yang terkena). Kadang ditemukan egobronkofoni pada batas
cairan atas bila terjadi kompresi parenkim paru. Focal fremitus melemah pada
perkusi didapati pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis
melengkung (garis ellis damoiseu) (sudoyo, 2014).
 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Darmanto (2016), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
pada pasien efusi pleura antara lain sebagai berikut :
1) Gambaran Rontgen
Kelainan pada foto rontgen PA baru akan terlihat jika akumulasi cairan pleura
mencapai 300 mL. Pada mulanya, cairan berkumpul pada dasar hemitoraks di
antara permukaan inferior paru dan diafragma terutama disebelah posterior,
yaitu sinus pleura yang dalam. Jika cairan pleura terus bertambah banyak,
maka cairan akan menuju ke atas yaitu ke daerah paru yang cekung dan
mencapai ke bagian atas. Diafragma dan sinus kostofrenikus tidak akan
terlihat jika cairan pleura mencapai 1000 mL. jika pada foto PA efusi pleura
tampak tidak jelas maka dapat dilakukan foto lateral decubitus. (Darmanto,
2016).
2) Pemeriksaan Mikroskopik dan Sitologi
Jika dalam cairan pleura disapatkan sel darah putih sebanyak >1000/mL,
keadaan tersebut menunjukan empyema. Neutrophil menunjukan
kemungkinan adanya pneumonia, infark paru, tuberculosis paru fase awal,
atau pankreatitis. Limfosit dalam jumlah banyak mengacu pada tuberculosis,
limfoma maupun
keganasan. Jika pada torakosintesis di dapat banyak eosinophil maka
tuberculosis dapat disingkirkan. (Darmanto, 2016).
3) Pemeriksaan kimia pH
Selain pemeriksaan mikroskopik dan sitology dilakukan, pemeriksaan lainnya
adalah dengan pemeriksaan kimia dan pH. Yang di periksa adalah glukosa,
amylase dan enzim-enzim lainnya. (Darmanto, 2016).
B. TB PARU
Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberkulosis. Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, namun dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini
termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding sel mengandung komplek
lipida glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. (PDPI, 2014).
 Etiologi
Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium
microti dan Mycobacterium cannettii. Mycobacterium tuberculosis, hingga saat
ini merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular antar manusia
melalui rute udara.
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus yang keluar ketika seorang yang
terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik juga
dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang
menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan
jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter
1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius, dan
dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil,
percik renik ini memiliki kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru,
dimana bakteri kemudian melakukan replikasi. (Kemenkes, 2019).
 Epidemiologi
Secara global, pada tahun 2018 terdapat 11,1 juta kasus insiden TB paru yang
setara dengan 130 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden
kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Data
berdasarkan usia diperkirakan sebanyak 57% kasus paling banyak terinfeksi TB
paru yaitu pria yang berusia lebih dari 15 tahun, wanita 32% dan anak-anak yang
berusia kurang dari 15 tahun dengan persentase sebanyak 11%. Delapan Negara
yang menjadi peringkat pertama untuk kejadian TB paru adalah India sebanyak
27%, Cina sebanyak 9%, Indonesia sebanyak 8%, Filipina sebanyak 6%, Pakistan
sebanyak 5%, Nigeria sebanyak 4%, Bangladesh sebanyak 4% dan Afrika Selatan
sebanyak 3% (WHO Global Tuberculosis Report, 2019).
 Manifestasi Klinis
Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang
disertai batuk yang timbul pertama kali dan sering dikeluhkan awalnya tidak
produktif selanjutnya bisa berdahak yang disertai darah apabila terjadi adanya
jaringan yang rusak, sesak napas bila kerusakan parenkim, hemoptisis, demam,
tidak nafsu makan, keringat malam dan mudah lelah. (PDPI, 2014)
Gejala umum yang terjadi pada pasien TB Paru adalah anoreksia dan berat
badan menurun, adanya terasa lelah dan lesu pada tubuh, demam terus-menerus
dan mengalami keringat dingin pada malam hari. (Soedarto, 2013).
 Pemeriksaan Fisik

 Pemeriksaan Penunjang
1) Rontgen dada, menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas,
timbunan kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang
menunjukkan perkembangan Tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan area
fibrosa. ( Zulkifli, Asril. PAPDI ).
2) Kultur bertujuan untuk mengidentifikasikan suatu mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi klinis pada sistem pernapasan. Bahan yang digunakan
dalam pemeriksaan kultur yaitu sputum dan apus tenggorokan. Bahan
pemeriksaan sputum dapat mengidentifikasi berbagai penyakit seperti Tb
paru, pneumonia, bronkitis kronis dan bronkiektasis (Manurung, 2018).
3) Pemeriksaan sputum akan di temukannya kuman BTA diagnosis tuberculosis
sudah dapat di pastikan. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali yaitu dahak
sewaktu datang, dahak pagi dan dahak sewaktu kunjungan kedua. Bila
didapatkan hasil dua kali positif maka dikatakan mikroskopik BTA positif.
Bila satu positif, dua kali negatif maka pemeriksaan perlu diulang kembali.
Pada pemeriksaan ulang akan didapatkan satu kali positif maka dikatakan
mikroskopik BTA negatif. ( Zulkifli, Asril. PAPDI )
4) Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum). Positif jika diketemukan bakteri
taham asam.
5) Biopsi jaringan paru akan menampakkan adanya sel-sel yang besar yang
mengindikasikan terjadinya nekrosis.
6) Pemeriksaan fungsi paru ditandai dengan turunnya kapasitas vital,
meningkatnya ruang fungsi, meningkatnya rasio residu udara pada kapasitas
total paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi parenkim
/ fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari
tuberkulosis kronis). ( Zulkifli, Asril. PAPDI ).
4. Penentuan Dx?
Berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan pada scenario, pasien pada scenario
terkena efusi pleura et causa TB, karena salah satu gejala khas dari efusi pleura dan
membedakannya dengan asma dan PPOK adalah adanya Suara dasar vesikuler kanan
menurun dari SIC II – bawah, dan tidak adanya suara tambahan wheezing yang dimana
pada PPOK dan asma akan terdengar suara tambahan nafas berupa wheezing. Dan
kenapa et causa TB karena kita ketahui pemeriksaan TCM dan MTB merupakan
pemeriksaan yang
khas pada TB (sudoyo, 2014). Jadi dapat disimpulakn bahwa pasien pada skenario
terkena Efusi Pleura et causa TB.
5. Pembahasan Dx (Patofisiologi, tatalaksana farmakologi dan non farmakologi,
komplikasi, prognosis, KIE)?
 Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada etiologinya yang dapat
mempengaruhi keseimbangan antara cairan dengan protein di dalam rongga pleura.
Sebelum memahami mekanisme efusi pleura tersebut, sangat penting untuk
mengetahui fisiologi dari cairan pleura terlebih dahulu. Pleura terdiri atas suatu
lapisan parietal yang menerima darah dari arteri sistemik dan lapisan viseral yang
menerima darah dari sistem arteri pulmonalis. Diantara kedua lapisan pleura tersebut
terdapat cairan pleura yang berfungsi untuk melicinkan dan mengurangi gesekan
pleura parietal dan viseral selama gerakan nafas terjadi. Cairan pleura dalam keadaan
normal dibentuk melalui proses filtrasi di pembuluh darah kapiler sebanyak 10-20 cc
per hari. Cairan pleura akan selalu diproduksi dalam jumlah tetap apabila terdapat
keseimbangan antara proses produksi oleh pleura viseralis dengan proses reabsorpsi
oleh pleura parie 11 /2: sistem limfatik. Proses produksi dan reabsorpsi tersebut
terjadi melalui pertukaran pada dinding kapiler. Proses pertukaran pada dinding
kapiler terjadi dalam dua cara, yaitu difusi pasif menuruni gradien konsentrasi yang
merupakan mekanisme utama untuk pertukaran zat-zat terlarut dan bulk flow yang
merupakan mekanisme untuk menentukan distribusi volume cairan ekstra seluler
(CES) antara kompartemen vaskular (plasma) dengan cairan interstisium sehingga
mekanisme bulk flow yang memiliki peranan penting dalam keseimbangan cairan
pleura. Bulk flow adalah proses terjadinya filtrasi suatu volume plasma bebas protein
yang kemudian bercampur dengan cairan interstisium untuk selanjutnya direabsorpsi
kembali. Dinding kapiler memiliki fungsi sebagai penyaring dengan pori berisi air
yang dapat dialiri oleh cairan plasma. Ketika tekanan di dalam kapiler melebihi
tekanan di luar maka cairan terdorong ke luar melalui pori dalam suatu proses yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi. Sebagian protein plasma tetap tertahan di bagian dalam
selama proses ini berlangsung karena efek filtrasi pori (bahan besar tak larut lemak
seperti protein plasma tidak dapat menembus pori yang berisi air) sehingga filtrat
yang dihasilkan adalah suatu plasma
bebas protein. Ketika tekanan di luar kapiler melebihi tekanan di dalam maka cairan
terdorong masuk dari cairan interstisium ke dalam kapiler melalui pori kembali yang
dikenal sebagai reabsorpsi. (Abbas, 2020)
 Tatalaksana
Talaksanaan efusi pleura harus didasari dengan tujuan terrlebih dahulu
meringankan gejala simptomatik dengan cara mengeluarkan akumulasi cairan dari
cavum pleura dan menangani penyebab efusi pleura. Efusi pleura tuberkulosa yang
tidak diterapi akan mengalami resolusi spontan dalam waktu 4-16 minggu dengan
adanya kemungkinan perkembangan TB paru aktif atau TB ekstraparu pada 43-65%
pasien sehingga sangat penting untuk dapat mendiagnosis dan memberikan terapi
yang tepat untuk kasus ini.
Pengobatan dengan obat-obat anti tuberkulosis (Rifampisin /INH/ Pirazinamid/
Etambutol/ Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan yang dibagi dalam dua fase,
yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Fase intensif bertujuan untuk membunuh
sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat, sedangkan fase
lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. (Dessy, 2019).
Berdasakan pedoman tata laksana DOTS pasien dengan sakit berat yang luas
atau adanya efusi pleura bilateral dan sputum BTA positif diberikan terapi kategori I
yang terdiri dari empat macam obat selama 2 bulan fase intensif yang kemudian
dilanjutkan dengan dua macam obat selama 4 bulan fase lanjutan.10 Dosis pemberian
obat disesuaikan dengan berat badan penderita dan cara pemberian obat seperti pada
pengobatan tuberkulosis paru, yaitu:
Kategori I:
2 (HRZE)4 (HR)3 atau 2 (HRZE)4 HR atau 2 (HRZE/6 HE, untuk kasus:
- TB paru BTA (+)
- TB paru BTA(-), Rontgen (+) dengan gejala memberat/lesi luas
- TB ekstra paru kasus berat
Pengobatan dengan obat anti tuberkulosis dapat menyebabkan cairan efusi
diserap kembali oleh tubuh, tetapi untuk mengembalikan fungsi tekanan negatif dan
menghilangkan isi abnormal di dalam cavum pleura dengan cepat dapat dilakukan
terapi sebagai berikut:
1. Water Seal Drainage (tube thoracostomy)
Modalitas terapi yang bekerja dengan menghubungkan cavum pleura yang berisi
cairan abnormal dengan botol perangkat WSD yang nantinya akan menarik keluar
isi cairan abnormal yang ada di dalam cavum pleura dan mengembalikan cairan
pleura seperti semula serta mengurangi kompresi terhadap paru yang tertekan
hingga akhirnya paru akan mengembang kembali.
2. Thoracosintesis
Modalitas terapi yang bekerja dengan cara melakukan aspirasi menggunakan
jarum yang ditusukkan pada linea axillaris media spatium intercostalis. spirasi
dilakukan dengan menggunakan jarum dan spuit atau dapat juga menggunakan
kateter dengan batas maksimal 1000-1500 cc untuk menghindari komplikasi
reekspansi edema pulmonum dan pneumothoraks akibat terapi (Dessy, 2019).
Menurut Mansjoer (2001) penatalaksanaan pada efusi pleura ini adalah
bertujuan untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan kembali
cairan dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dipsneu (sesak napas).
a. Thorakosentasis adalah drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala
subyektif seperti nyeri, dispnea, dan lain-lain. Cairan dikeluarkan segera untuk
mencegah meningkatnya edema paru dan untuk keperluan analisis.
b. Pemberian antibiotik dengan pengawasan dokter.
c. Pleurodesis adalah tindakan untuk mengurangi penumpukan cairan pleura
dirongga pleura dengan menyatukan lapisan visceral dan lapisan pariental pleura
untuk mencegah pembentukan efusi berlebihan dan mencegah pneumotoraks
berulang.
d. Tirah baring adalah pasien berbaring dalam jangka waktu yang lama (bed rest)
e. Biopsi dan aspirasi pleura untuk mengetahui adanya keganasan
 Komplikasi
Faktor risiko terjadinya efusi pleura diakibatkan karena lingkungan yang tidak
bersih, sanitasi yang kurang, lingkungan yang padat penduduk, kondisi sosial
ekonomi yang menurun, serta sarana dan prasarana kesehatan yang kurang dan
kurangnya masyarakat tentang pengetahuan kesehatan. (Berta dkk, 2015)
 Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari kondisi
ini. Morbiditas dan mortalitas efusi pleura berhubungan langsung dengan
penyebabnya, stadium penyakit, dan temuan biokimia dalam cairan pleura. Pada efusi
pleura ganas dikaitkan dengan prognosis yang sangat buruk dengan kelangsungan
hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Yang
paling umum keganasan terkait pada pria adalah kanker paru-paru, dan keganasan
yang paling umum pada wanita adalah kanker payudara. Efusi dari kanker yang lebih
responsif terhadap kemoterapi, seperti limfoma atau kanker payudara, lebih
dihubungkan dengan kelangsungan hidup berkepanjangan, dibandingkan dengan
kanker paru-paru atau mesothelioma (Nurul, 2015).
 KIE
Edukasi dan promosi kesehatan efusi pleura terutama agar pasien memahami bahwa
efusi pleura hanya merupakan kondisi yang diakibatkan oleh penyakit lain. Oleh
karena itu, pasien harus mematuhi pengobatan penyakit yang menyebabkan efusi
pleura hingga tuntas.
Aspek edukasi untuk efusi pleura lainnya adalah sebagai berikut:
- Hindari sumber infeksi, baik dari udara, air, makanan.
- Tidak merokok.
- Segera kontrol ke layanan kesehatan jika mengalami sesak napas, nyeri dada yang
memburuk, batuk berkelanjutan, atau demam.
- Risiko komplikasi bila efusi pleura tidak ditangani dengan baik.
- Bila terpasang selang drainase / kateter interkostal: segera beritahu petugas medis
bila merasa nyeri dada atau sesak bertambah, tidak mengubah posisi atau
melakukan manuver apapun pada selang drainase, serta risiko komplikasi akibat
pemasangan selang drainase. (Karkhanis VS, Joshi JM. Pleural effusion:
diagnosis, treatment, and management. Open Access Emerg Med. 2012).
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, laki-laki pada skenario tersebut
menderita efusi pleura dengan et causa TB. Diagnosis dapat ditegakkan karena terdapat beberapa
gejala klinis yang dipaparkan pada skenario seperti sesak nafas, batuk berdahak dan salah
satunya adalah penurunan suara vesikuler dari SIC II ke bawah. Efusi pleura suatu keadaan
dimana terjadi penumpukan cairan melebihi normal di dalam cavum pleura diantara pleura
parietalis dan visceralis yang mana dapat berupa transudat atau cairan eksudat. Pasien yang
menderita efusi pleura et causa TB ini harus segera diberi tata laksana yang bertujuan untuk
meringankan gejala simptomatik dengan cara mengeluarkan akumulasi cairan dari cavum pleura
dan menangani penyebab efusi pleura. Apabila tidak didiagnosis secara dini dan tidak diberikan
tata laksana yang tepat maka efusi pleura ini dapat menimbulkan komplikasi penyakit lain seperti
atalectaksis, kolaps paru dan empyema. Oleh karena itu penting untuk diberikannya KIE kepada
pasien dan keluarganya agar lebih memahami tentang penyakit efusi pleura ini dan cara
mencegahnya sehingga peluang pasien untuk sembuh lebih besar dan terhindar dari komplikasi-
komplikasi yang lebih parah.
DAFTAR PUSTAKA

Chakrabarti B, Davies PDO. In : Pleura Tuberculosis. Monaldi Arch Chest Dis 2006; 65: 1, 26-
23.
Efusi Pleura Sinistra Masif Et Causa Tb Pada Anak, Vol. 7 , No.3 2018
Ferry L., dkk. 2018. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. Edisi 5 Jilid 1.
Journal FK Unair Pleural Effusion Juli 2020.
Karkhanis VS, Joshi JM. Pleural effusion: diagnosis, treatment, and management. Open Access
Emerg Med. 2012
Kementrian Kesehatan RI. 2019 “Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis”. 2 Desember 2019.
Kementrian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran.
Molen, T,V,D., 2010, Comorbidities of COPD In Primary Care : Frequency, Relation to COPD,
and Treatment Consequence, Primary Care Respiratory Journal, 19 (4), 326-334.
PDPI Surakarta. “Efusi Pleura”. November 2017.
Pranawa., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
UNAIR, Airlangga University Press.
Rodriguez ES, Light RW. Effusion From Infections: Tuberculosis. TexTBook of pleural Disease.
Ed 2. Hodder Arnold Part Of Heachette Livre. London.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Vinay, Kumar. 2013. “Buku Ajar Patofisiologi Robbins”. Edisi 9. Elsevier.
Yataco J.C., Dweik R.A., 2005. Pleural effusions: Evaluation and Management. Cleveland Clinic
Journal of Medicine.72:855.

Anda mungkin juga menyukai