Anda di halaman 1dari 10

Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu

(punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.

Yang lebih mengejutkan lagi, kalau kita perhatikan bumi yang kita tempati ini,
ternyata komponen yang terbanyak adalah air, bukankah lautan luasnya 3 kali lipat
dari daratan? Sungguh Maha Benar Allah, jauh sebelumnya Allah telah menyatakan
hal ini di dalam salah satu firman-Nya:

“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup, apakah mereka beriman?.”
(Qs Al Anbiya:30)

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kalau kita ingin hidup yang lebih sempurna dan
lebih sehat hendaknya kita mengkomsumsi air dalam jumlah yang cukup, baik untuk
diminum, atau untuk membersihkan diri dan lingkungan, maupun untuk bersuci.
           Para ahli menjelaskan bahwa air merupakan komponen utama sel, jaringan,
dan organ manusia. Penurunan total cairan tubuh bisa menyebabkan penurunan
volume cairan, baik intrasel maupun ekstrasel, yang dapat berimbas pada kegagalan
organ, bahkan kematian.

(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang


bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan
baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari
khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang
disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan
ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan
diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?

Salah satu ajaran Islam adalah anjuran untuk hidup bersih dan sehat. Islam
menganjurkan agar manusia memperhatikan kebersihan diri sebagai salah satu cara
untuk menjaga kesehatan. Dalam masalah kebersihan diri, Islam memiliki sikap yang
tidak dapat ditandingi oleh agama apapun. Islam memandang kebersihan diri sebagai
ibadah dan sekaligus cara untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Islam
mengkategorikan kebersihan diri sebagai salah satu kewajiban setiap muslim, seperti
wudhu, mandi junub, tayamum, dan lain-lain (Muzalifah, 2013). Sebagaimana firman
Allah:

“Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya


mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah
lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang
ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bersih.” (Q.S At Taubah (9): 108)
Dalam membangun konsep kebersihan diri, maka berbicara tentang thaharah yang
berarti kebersihan badan yang merupakan syarat untuk melaksanakan ibadah.
Thaharah terbagi dua, thaharah hukmiyyah yaitu suci daripada hadast khususnya
badan dan thaharah hissiyyah adalah suci daripada kotoran yang biasanya ada pada
badan, baju dan tempat (Mughniyah, 2002). Bersuci dari segi kesehatan dapat
mencegah bakteri-bakteri, parasit-parasit, dan telur-telur cacing yang dapat
menginfeksi manusia. Selain dua itu, ada taharah maknawiyyah yang berarti
membersihkan diri dari segala jenis dosa seperti kemaksiatan, syirik atau kufur. Cara
membersihkan kotoran ini adalah dengan cara bertaubat, zikir, dan lain-lain (Abatasa,
2012).
Islam menyukai mereka yang mencintai kebersihan dan menjaga kebersihan
dirinya. Kebersihan diri akan melahirkan keluarga yang sehat dan sejahtera.
Membersihkan badan dari kotoran atau najis dapat dilakukan dengan;
• Membersihkan diri dengan Istinja’
Islam telah mensyariatkan beristinja’ untuk menyempurnakan kebersihan pada
manusia. Istinja’ adalah menghilangkan sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul
dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-
benda lain yang menempati kedudukan air dan batu. Kata istinja’ diambil dari
beberapa istilah yaitu, al- Naja‟ yang berarti selamat dan terhindar dari penyakit, dan
al-Najw yang berarti sesuatu yang keluar dari dubur. Jadi, Istinja’ merupakan
tindakan yang dilakukan untuk membersihkan diri guna melepaskan diri dari najis dan
penyakit.
Rasulullah SAW mensunahkan untuk membuang hajat di tempat yang jauh dari
manusia atau tertutup, hal ini dimaksudkan agar aurat tetap terjaga.
Sebagai seorang muslim ada baiknya jika membaca doa ke sebuah tempat
melakukan istinja’ dengan membacakan,

“dengan menyebut nama Allah, ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu


dari syaithon laki-laki dan syaithon perempuan.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)

Begitu pula saat keluar dari tempat istinja’ membaca,

“aku memohon ampunan-Mu.” (HR. Ashabus Sunan kecuali An-Nasai)


b. Membersihkan diri dengan Wudhu
Wudhu secara etomologi dalam bahasa Arab asal kata (alwadha’ah) berarti
kebersihan dan kecerahan. Sedangkan secara terminologi wudhu adalah menggunakan
air pada tempat-tempat tertentu (wajah, kedua tangan, kepala, dan dua kaki) untuk
menghilangkan sesuatu yang menghalangi sahnya shalat (Shiddiq, 2004). Perintah
wajib wudhu ini sebagaimana firman Allah SWT:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat- Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.(Q.S Al Maidah (5): 6)

Wudhu’ menurut para fuqaha adalah menyampaikan air ke anggota tertentu


dengan cara-cara tertentu dan mereka juga sependapat bahwa perintah wudhu’ ini
diwajibkan bersamaan dengan waktu diwajibkan shalat yang lima waktu, yaitu pada
waktu Isra dan Mi’raj. Hal-hal yang membatalkan wudhu adalah buang air besar,
kencing, keluar angin, tertidur,bersentuhan bukan muhrim, keluar madzi dan wadhi
(Nurwahid, 2011).
Hukum wudhu wajib bagi seseorang yang sudah akil baligh ketika akan
menjalankan shalat, atau ketika akan melakukan sesuatu yang keabsahannya
disyaratkan harus berwudhu seperti shalat dan thawaf di Ka’bah (Hasanuddin, 2007).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata,” Rasullah SAW bersabda,

“Tidak akan diterima shalatnya orang yang berhadats sampai ia berwudhu”


(H.R. Abu Hurairah).

Wudhu memiliki beberapa keuntungan, salah satunya wudhu dapat


menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat manusia. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Maukah ku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang dapat menjadi sebab Allah
menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat.” Mereka -para sahabat-
menjawab, “Tentu saja mau, wahai Rasulullah.” Maka beliau menjawab, “Yaitu
menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang tidak menyenangkan, memperbanyak
langkah menuju masjid, dan menunggu sholat berikutnya sesudah mengerjakan
sholat, maka itulah ribath.” (HR. Muslim dalam Kitab at-Thaharah) 

“Apabila seorang hamba Muslim(mu'min) berwudhu, lalu ia mencuci wajahnya,


maka akan keluar dari wajahnya setiap dosa yang pernah ia lihat (yang haram)
dengan matanya bersamaan dengan air atau bersama tetesan air yang terakhir; bila
ia mencuci kedua tangannya, keluar dari kedua tangannya setiap dosa yang pernah
dilakukan oleh kedua tangannyabersamaan dengan air atau tetesan air yang terakhir.
Dan bila ia mencuci kedua kakinya, akan keluar dosa-dosa yang dilakukan oleh
kedua kakinya bersamaan dengan air atau bersamaan dengan tetesan air yang
terakhir, hingga ia keluar dalam keadaan bersih dari dosa.”

Dalam Islam kebersihan meliputi lahir dan batin. Perintah kebersihan dalam Islam
memiliki kedudukan yang kokoh dan tidak bisa terdapat dalam agama ilahi maupun
bumi lainnya. Islam memperhatikan masalah kesehatan, menjaga kebersihan dan
menyerukan untuk bersikap seimbang dalam konsumsi sebagai tindakan prinsip
dalam menjaga kesehatan. Dengan demikian, kotoran termasuk najis dan perlu
dibersihkan dengan cara khusus dan sarana tertentu. Sebagai sarana yang dijadikan
sebagai penyuci antara lain air, hujan, cahaya matahari dan tanah. Islam menyebut
kotor sebagai faktor penyebab kemiskinan dan sakit dalam beberapa hal, kotoran
sering juga disebut sebagai setan. Pada masa itu, manusia tidak mengetahui tentang
mikroba dan bakteri.
  Dalam kehidupan muslim sendiri menguasai pengetahuan mikrobiologi
sangat penting, bahkan bisa menjadi fardhu kifayah. Di antara muslim sendiri harus
ada yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang mikrobiologi sebagai
sumber pengetahuan tentang makhluk Allah (Al-Jazairi & Jabir, 2006). Kesimpulan
para ulama tidak keluar dari kaidah fikih, bahwa apabila Allah mewajibkan sesuatu
pekerjaan, berarti Dia mewajibkan pula segala sesuatu yang diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan itu. Jika sesuatu diperintahkan, maka berarti perintah itu
ditunjukan pula pada sarana dan prasarananya sebagaimana disebutkan dalam kaidah
fikih:

“perintah terhadap sesuatu berarti (pula) perintah terhadap sarana-


sarananya” (Zuhroni, 2010)

\
Pada penelitian yang dilakukan di Lab Mikrobiologi Universitas YARSI, untuk
mengidentifikasi bakteri patogen penyebab diare yaitu Escherichia coli , Salmonella
typhimerium dan Shigella flexneri.
Bakteri terasa interaksinya dengan manusia ketika terasa pengaruhnya. Efek interaksi
tersebut ada yang menyebabkan efek baik atau positif (membantu membusukkan
bahan organik) ada juga yang negatif (menyebabkan sakit atau kerusakan).
Mikrobiologi menjadi kajian yang cukup penting sejak zaman sebelum masehi (SM).
Pada zaman Aristoteles (300 tahun SM), keberadaan dan munculnya makhluk hidup
menjadi bahan pemikiran (Syamsul, 2005).
Bakteri sama saja dengan(hewan) dijelaskan melalui firman Allah SWT :

”Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari
hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki
sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
(Q.S.An-Nur (24) : 45)
Bakteri baru terasa interaksinya dengan manusia ketika terasa pengaruhnya.
Efek interaksi tersebut ada yang menyebabkan efek baik atau positif (membantu
membusukkan bahan organik) ada juga yang negatif (menyebabkan sakit atau
kerusakan). Salah satunya bakteri yang dapat menyebabkan diare menganggu sistem
pencernaan sehingga kotoran manusia menjadi cair (Mustafa, 2007).

\
Dalam ajaran Islam apabila seorang muslim tertimpa suatu penyakit dianjurkan untuk
berusaha dalam berobat untuk mencapai kesembuhan. Menurut fatwa yang
dikeluarkan oleh Majma’al Fiqh al-Islami, hukum berobat tergantung pada keadaan
dan kondis pasien :
• Berobat menjadi wajib jika tidak dilakukan akan mengancam jiwa, atau kehilangan
anggota tubuhnya, atau akan menjadi lemah, atau penyakitnya akan dapat
menulari orang lain
• Berobat hukumnya sunnah jika tidak dilakukan akan menjadikan tubuhnya lemah
namun tidak separah kondisi pertama di atas.
• Berobat hukumnya mubah jika tidak sampai pada dua kondisi di atas.
• Berobat hukumnya makruh jika dengan berobat ditakutkan akan mengalami
keadaan lebih buruk daripada dibiarkan saja (Zuhroni, 2010).
Anjuran belajar ilmu kedokteran secara khusus, juga tercakup dalam perintah Nabi
(berobatlah) misalnya Hadis Nabi:

Berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali


juga menurunkan obatnya, mengetahuinya orang yang mempunyai
pengetahuan tentang itu dan orang yang tidak mempunyai pengetahuan tidak
mengetahuinya” (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud).

Apabila seseorang tertimpa musibah mengalami penyakit diare, ajaran Islam


mengajarkan setiap muslim untuk berobat. Salah satu pengobatan dalam mengatasi
diare adalah dengan pemberian antibiotik. Berbagai riwayat menunjukkan bahwa
Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh para sahabat untuk berobat ketika sakit,
karena Allah SWT menurunkan penyakit beserta obatnya.
Untuk mengetahui obat suatu penyakit, perlu dicari tahu dan dipelajari, dan untuk itu
perlu secara khusus belajar ilmu kedokteran atau yang sejenisnya (Zuhroni, 2010).
Perintah tersebut juga tersirat dalam Hadis, ketika Nabi ditanya tentang manfaat
berobat, misalnya Hadis:

Dari Usamah berkata, orang orang dusun pernah bertanya, ya Rasulullah,


apakah kita (perlu) berobat? Nabi menjawab:Ya, wahai hamba-hamba
Allah, berobatlah, karena Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali
(juga) menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit.

Allah swt juga sudah memberitahukan umat nya bahwasannya suatu penyakit ada
penawarnya. Allah swt mengisyaratkan bahwa al-quran diturunkan sebagai penawar
dan Rahmat bagi orang-orang yang mukmin. Firman Allah SWT antara lain:

” Dan kami menurunkan Al Qur’an sebagai penawar dan Rahmat untuk orang-orang
yang mu’min, sedangkan bagi orang yang dzalim hanya akan menambah kerugian “
( Q.S Al-Isra (17): 82 ).

Menurut para ahli tafsir bahwa nama lain dari Al Qur’an yaitu ” Asysyifa ” yang
artinya secara Terminologi adalah Obat Penyembuh.

” Hai manusia , telah datang kepadamu kitab yang berisi pelajaran dari tuhanmu dan
sebagai obat penyembuh jiwa, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman ” ( Q.S Yunus (10) : 57 ). 

Di dalam al-quran juga dijelaskan bahwa Allah swt telah menjadikan alam semesta ini
sebagai suatu sumber bahwasannya segala macam yang ada di alam semesta bisa
digunakan untuk pengobatan. Contohnya seperti kurma, anggur, zaitun, dan
madu(Mustafa, 1994). Firman Allah swt :

“dan makanlah oleh kamu bermacam-macam sari buah-buahan, serta tempuhlah


jalan-jalan yang telah digariskan Tuhanmu dengan lancer. Dari perut lebah itu
keluar minuman madu yang bermacam-macam jenisnya yang dapat dijadikan obat
untuk manusia. Dialamnya terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah swt bagi orang-
orang yang memikirkan”. (Q.S An-nahl (16): 69).

“Dia menumbuhkan tanaman-tanaman untukmu seperti zaitun, kurma, anggur dan


buah-buahan lain. Sesungguhnya pada hal-hal yang demikian itu terdapat tanda-
tanda kekuasaan Allah swt bagi orang-orang yang mau memikirkan.”
(Q.S An-Nahl (16): 11).

Hal ini seiring dengan pengobatan diare, dari hadits diatas bahwa setiap orang
dianjurkan memilih antibiotik yang tepat dalam pengobatan diare (Natsir&Sartini,
2006).
Ada tiga metode pengobatan yang diajarkan oleh Rasulullah saw, yaitu:

• Metode alamiah; menggunakan herbal atau tanaman obat sebagai pengobatan.


Salah satu obat yang dianjurkan Rasulullah saw adalah madu. Rasulullah saw
bersabda, “Hendaklah kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan
Al Quran.”
• Pengobatan Ilahiah; pengobatan yang dilakukan dengan memanjatkan do’a kepada
Allah swt agar diberikan kesembuhan karena segala penyakit tentunya berasal
dari takdir Allah swt yang maha kuasa.
• Metode ilmiah; metode yang diambil berdasarkan ilmu pengetahuan. Pada zaman
Rasulullah saw., metode ilmiah yang terkenal adalah bekam. Bekam (al
hijamah) adalah pengobatan yang bertujuan untuk membuang darah kotor
yang akan mengakibatkan timbulnya berbagai penyakit, bekam juga bertujuan
untuk membuang racun yang ada dalam tubuh, meluruskan tulang belakang
sehingga gangguan kesehatan dapat diminimalkan. serta membersihkan dan
menyeimbangkan suhu dalam tubuh agar terjadi harmonisasi yang
menyebabkan seseorang dapat hidup sehat. Pengobatan dengan bekam kini
sudah dikembangkan sesuai kemajuan teknologi dan manfaatnya sudah diakui
oleh para dokter di rumah sakit.
Oleh sebab itu, setiap muslim harus berusaha dalam berobat demi mencapai
kesembuhan, di samping itu proses penyembuhan terhadap penyakit diare perlu
adanya kecocokan pengobatan seperti yang sudah dipaparkan diatas sehingga umat
Islam diperintahkan untuk memilih pengobatan yang sesuai dengan indikasi agar
terhindar dari bahaya atau efek samping yang tidak diinginkan, dan untuk hasilnya
tidak lepas dari izin Allah SWT.

Hasil uji sensitivitas bakteri patogen penyebab diare dari sampel alat makan terhadap
antibiotika yang dicobakan menunjukkan Bakteri Pseudomonas aeruginosa sensitif
terhadap antibiotik CIP (62%(30)), SXT (22%(26)), C (%(10)), DO (%(22)) VA
(%(18)). Proteus vulgaris sensitif terhadap antibiotik CIP (88%(22)), SXT (50%(43)),
C (%(26)), DO (%(20)) dan resiten terhadap VA (100%(0)). Escheria colli resisten
terhadap antibiotik CIP (100%(0)), SXT (100%(0)), dan sensitif C (%(40)), DO
(%(38)) dan terhadap VA (%(18)). Staphylococcus aureus sensitif terhadap antibiotik
CIP (100%), SXT (100%), C (100%), DO (100%), VA (100%). Staphylococcus
epidermidis sensitif terhadap antibiotik CIP (100%), SXT (100%), C (100%), DO
(100%), VA (100%).
Penggunaan antibiotika yang tidak rasional pada penyakit diare cenderung akan
meningkatkan resistensi kuman yang semula sensitif. Perkembangan resistensi kuman
terhadap antibiotika perlu dipantau agar dalam pengobatan penyakit diare dengan
antibiotika dapat dilakukan pemilihan obat yang tepat. (Jurnalis et. al, 2009)
Dalam ajaran Islam apabila seorang muslim tertimpa suatu penyakit dianjurkan untuk
berusaha dalam berobat untuk mencapai kesembuhan. Menurut fatwa yang
dikeluarkan oleh Majma’al Fiqh al-Islami, hukum berobat tergantung pada keadaan
dan kondis pasien : (Zuhroni, 2010)
Berobat pada dasarnya dianjurkan dalam agama islam sebab berobat termasuk upaya
memelihara jiwa dan raga, dan ini termasuk salah satu tujuan syari’at islam
ditegakkan, terdapat hadits dalam hal ini, diantaranya;

Dari Usamah bin Syarik berkata, ada seorang arab baduwi berkata kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“berobatlah kalian hai hamba Allah, sesungguhnya Allah tidak menjadikan penyakit
melainkan Dia menjadikan pula obat baginya, kecuali penyakit yang satu:
tua”(H.R.Tarmidzi 2038, dan di shahihkan oleh al-Albani dalam sunan Ibnu Majah
3436).

Hadits di atas memberikan pengertian kepada manusia bahwa semua penyakit yang
menimpa manusia maka Allah  turunkan obatnya. Kadang ada orang yang
menemukan obatnya, ada juga orang yang belum bisa menemukannya. Oleh
karenanya seseorang harus bersabar untuk selalu berobat dan terus berusaha untuk
mencari obat ketika sakit sedang menimpanya.
Penerapan Kaidah
“Menghilangkan
Kemudharatan itu Lebih
Didahulukan daripada
Mengambil Sebuah
Kemaslahatan” – Kaidah
Praktis Memahami Fiqih
Islami (Ustadz Kurnaedi, Lc.)
 Beranda  Download  Kajian  Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi  Kaidah-Kaidah
Praktis Memahami Fiqih Islami  Penerapan Kaidah “Menghilangkan
Kemudharatan itu Lebih Didahulukan daripada Mengambil
Sebuah Kemaslahatan” – Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami
(Ustadz Kurnaedi, Lc.)
By Radio Rodja | Kamis, 12 Sya'ban 1437 / 19 Mei 2016 pukul 10:40 am 

Terakhir diperbaharui: Kamis, 12 Sya'ban 1437 / 19 Mei 2016 pukul 11:07 am 

Tautan: https://www.radiorodja.com/?p=21003

SHARE

TWEET

SHARE

SHARE

3 COMMENTS

Kajian kaidah fiqih oleh: Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc.


Berikut ini merupakan rekaman dari pelajaran Kaidah Fiqih yang
disampaikan oleh Ustadz Kurnaedi pada Kamis pagi, 12 Syaban 1437 /
19 Mei 2016di Radio Rodja dan RodjaTV. Kajian ini membahas buku
“Kaidah-Kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami” karya Ustadz
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf hafidzahullah.
Pada pertemuan kali ini, Ustadz Kurnaedi akan menyampaikan kaidah fiqih
yang menjelaskan tentang “Tidak Boleh Berbuat Sesuatu yang
Membahayakan“. Semoga bermanfaat.
(Download juga kajian sebelumnya: “Menghilangkan Kemudharatan itu Lebih
Didahulukan daripada Mengambil Sebuah Kemaslahatan“)

RINGKASAN KAJIAN KAIDAH PRAKTIS MEMAHAMI


FIQIH ISLAMI
PENERAPAN KAIDAH “MENGHILANGKAN KEMUDHARATAN
ITU LEBIH DIDAHULUKAN DARIPADA MENGAMBIL SEBUAH
KEMASLAHATAN”
Pada kajian kali ini, Ustadz Kurnaedi akan membahas tentang penerapan
kaidah fiqih yang berbunyi:

Baca Juga:  Ahlussunnah Memulai Dakwahnya Sesuai dengan


Petunjuk Allah dan RasulNya (Ustadz Kurnaedi, Lc.)

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


Mِ ِ‫صال‬ ِ ‫اس ِد َأ ْولَى ِم ْن َج ْل‬
ِ َ‫َدرْ ُء ْال َمف‬
“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah
kemaslahatan.”

Maksud dari kaidah ini adalah kalau berbenturan antara menghilangkan sebuah
kemudharatan dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan maka didahulukan
menghilangkan kemudharatan. Kecuali kalau madharat itu lebih kecil dibandingkan
dengan maslahat yang akan ditimbulkan.

Anda mungkin juga menyukai