Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan merupakan jalinan lahir serta batin antara laki-laki dengan

perempuan dalam hubungan suami dan istri dengan maksud untuk membentuk

rumah tangga yang sejahtera. Rumah tangga sejahtera dimaksudkan bagaikan

komponen terkecil dalam penduduk yang terdiri dari suami maupun istri beserta

anaknya. Adapun, membangun rumah tangga yang sejahtera bertujuan untuk

membentuk keluarga yang makmur dan dibangun bersumber dari pernikahan yang

sah, selain itu keluarga sanggup memenuhi kebutuhan hidup secara psikis ataupun

materi yang layak, bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai ikatan

yang serasi, selaras serta sepadan antar komponen keluarga dengan masyarakat

serta lingkungan sekitar (BKKBN, 2012)

Pernikahan anak adalah salah satu wujud kekerasan pada anak. Jika seorang

anak dipaksakan untuk menikah ataupun sebab keadaan tertentu diharuskan

menikah pada usia kurang dari 19 tahun, maka akan terdapat kerentanan yang

cukup besar baik itu dalam akses pendidikan, derajat kesehatan, potensi

mendapatkan tindakan kekerasan, dan hidup dalam kemiskinan. Akibat

pernikahan anak tidak hanya hendak dirasakan oleh anak itu sendiri, akan tetapi

juga berakibat pada bayi yang akan dilahirkan dan berpotensi menimbulkan

kemiskinan antar keturunan (Unicef Puskapa UI, 2020).

Usia yang ideal untuk melakukan pernikahan menurut Badan Koordinasi

Keluarga Berencana Nasional yaitu seorang pria minimal berusia 25 tahun dan
seorang wanita minimal berusia 20 tahun. Akan tetapi, kenyataannya masih cukup

banyak wanita di Indonesia yang melakukan pernikahan usia kurang dari 19

tahun. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data dalam Buku Pencegahan Perkawinan

Anak yang ditulis oleh Badan Pusat Statistik, United Nations Children’s Fund,

dan Pusat Kajian Perlindungan Anak UI, Indonesia menempati urutan kedelapan

di dunia dalam kasus pernikahan anak. Tren pernikahan anak perempuan di

Indonesia, yang melakukan pernikahan pertama di usia kurang dari 19 tahun

menyimpulkan bahwa adanya penurunan pada tahun 2008-2018. Akan tetapi,

penurunan tersebut masih dikategorikan cukup lambat. Prevalensi pernikahan

anak pada tahun 2008 yaitu sebesar 14,67 persen, namun pada 10 tahun kemudian

yaitu tahun 2018 prevalensinya hanya turun sebesar 3,5 persen menjadi 11,21

persen (Unicef Puskapa UI, 2020).

Pemerintah Indonesia pun berperan dalam mencegah pernikahan anak di

Indonesia. Hal ini terwujud dengan terbitnya Peraturan Undang-undang Nomor 16

Tahun 2019 yang menjadi perubahan pasal terkait batas minimal usia pernikahan

dari Peraturan sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

pernikahan. Dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 ini,

batas minimal usia pernikahan seorang wanita meningkat dari yang 16 tahun

menjadi 19 tahun (Unicef Puskapa UI, 2020). Berdasarkan data Survei Sosial

Ekonomi Nasional (SUSENAS), tren prevalensi perempuan usia 20-24 tahun yang

usia pernikahannya pertamanya kurang dari 19 tahun di Provinsi Gorontalo pada

tahun 2016 sebesar 14,74 persen, kemudian pada tahun 2017 sebesar 14,51 persen

dan pada tahun 2018 menjadi sebesar 15,29 persen.


Secara spesifik, lemahnya suatu keutuhan keluarga terlebih melupakan tugas

pokok dan fungsi dari keluarga menjadi salah satu faktor molonjaknya pernikahan

usia dini. Peranan keluarga atau polah asuh orang tua sangat sangat penting,

sebab mereka ikut serta langsung dengan pembentukan karakter anak ketika di

rumah. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Lena Sri Diniyati

(2017), bahwa peranan keluarga berpengaruh langsung sebesar 22,69 persen

terhadap pernikahan dini. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional

(SUSENAS) pada tahun 2017 Gorontalo berada di posisi pertama dalam

presentase anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin/cerai, yaiu

sebesar 3,80 persen. Sedangkan Berdasarkan data yang didapatkan dari Sistem

Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) Kementrian Agama Provinsi Gorontalo,

angka tertinggi pernikahan pada perempuan usia kurang dari 19 terdapat di

Kabupaten Gorontalo, yaitu pada tahun 2018 sebanyak 116 perempuan dengan

prevalensi sebesar 74,36 persen. Kemudian pada tahun 2019 sebanyak 196

perempuan dengan prevalensi sebesar 44,43 persen. Sedangkan di Kabupaten

Gorontalo itu sendiri, angka pernikahan perempuan usia kurang dari 19 tahun

paling tinggi terdapat di Kecamatan Limboto, pada tahun 2017 sebanyak 69

pernikahan atau sebesar 14,81 persen, meningkat pada tahun 2018 sebanyak 71

pernikahan atau sebesar 17,27 persen, dan pada tahun 2019 terdapat sebanyak 45

pernikahan atau sebesar 10,02 persen.

Pernikahan yang dilakukan pada usia dini dapat berakibat buruk untuk

kesehatan seorang wanita, baik itu pada dirinya sendiri semenjak ia hamil hingga

melahirkan ataupun pada bayi sebab organ reproduksi ibu yang belum terbentuk
sempurna. Organ reproduksi yang belum matang, mengakibatkan wanita yang

melakukan pernikahan di usia dini berisiko dengan berbagai macam masalah

kesehatan, seperti pendarahan, keguguran, kanker serviks, anemia ketika hamil,

mudah terinfeksi disaat hamil, risiko mengalami pre eklampsia, serta proses

persalinan yang sulit dan lama. Sementara dampak dari pernikahan dini yang

berisiko terjadi pada bayi yaitu seperti lahir premature, cacat bawaan, berat bayi

lahir rendah (BBLR), hingga kematian bayi (Manuaba, 2011).

Fenomena pernikahan usia dini pada dasarnya merupakan satu sikus fenomena

yang terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan, tetapi terjadi juga di

wilayah perkotaan yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh role mode dari

dunia hiburan. Faktor–faktor yang mempengaruhi pernikahan usia dini

diantaranya karena faktor ekonomi, budaya dan kemiskinan. Hal ini terbukti

dalam penelitian Joar Svanemyr (2012) bahwa ekonomi dan kemiskinan

berkorelasi dengan tingkat yang lebih tinggi sebagai faktor pernikahan usia dini.

Pernikahan dini terjadi karena hidup digaris kemiskinan sehingga untuk

meringankan beban orang tuanya maka anaknya dinikahkan dengan orang yang

dianggap mampu. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan

orang tua, anak, dan masyarakat menyebabkan adanya kecenderungan

menikahkan anaknya yang masih dibawah umur. Orang tua pun memiliki peran

dalam proses pernikahan seorang anak, apabila orang tua khawatir terkena aib

karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat dekat

sehingga berkeinginan segera menikahkan anaknya (Ika Syarifatunisa, 2017).

Selain itu, pekerjaan orang tua berhubungan sebab akibat dengan pernikahan usia
dini. Remaja putri yang memiliki orang tua tidak bekerja mempengaruhi untuk

melakukan pernikahan usia dini 7 kali dibandingkan remaja putri yang memiliki

orang tua yang bekerja (Handayani, 2014).

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu penghulu di Kantor Urusan

Agama Limboto, faktor penyebab yang sering kali dijumpai pada saat melayani

pernikahan usia dini adalah adanya kehamilan yang tidak diinginkan atau

kehamilan pranikah. Fenomena kehamilan pranikah di kalangan remaja

frekuensinya semakin meningkat. Frekuensi ini di pengaruhi oleh faktor yang

sangat kompleks, antara lain informasi seks, pengaruh teman sebaya dan

kurangnya pemahaman terhadap nilai dan norma agama. Informasi seks melalui

media massa yang sangat vulgar, menonton film dan membaca buku bacaan yang

mengandung unsur pornografi yang relatif sering termasuk berbagai tayangan

acara di TV yang semakin vulgar belakangan ini dapat membentuk perilaku seks

yang menyimpang dan perbuatan seks pra nikah. Disamping itu lingkungan

sekitar dimana banyak teman-teman yang memberikan informasi tentang seks

yang salah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan karena mereka sendiri

sebenarnya juga kurang paham mengenai seks, yang sampai akhirnya terjadi

kehamilan pra nikah yang berujung ke pernikahan di bawah umur. Dampak

pernikahan ini berlangsung tanpa kesiapan mental dari pasangan berakhir dengan

perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kesehatan perempuan, organ

reproduksi yang belum siap sehingga bisa menyebabkan kesakitan, trauma seks

berkelanjutan, pendarahan, keguguran, bahkan sampai yang fatal, kematian ibu

saat melahirkan, perempuan yang menikah dini juga kehilangan masa kanak-
kanaknya, masa pertumbuhan, masa-masanya untuk menuntut ilmu yang lebih

tinggi, karena biasanya anak yang menikah dini akhirnya putus sekolah. (Intan

Arimurti, 2017).

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menganalisis “Determinan

Pernikahan Dini di Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo”.

1.2 Identifikasi Masalahn

Dari beberapa uraian yang dikemukakan pada latar belakang, maka dapat

diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut :

1. Indonesia menempati urutan kedelapan di dunia dalam kasus pernikahan

anak. Tren pernikahan anak perempuan di Indonesia, yang melakukan

pernikahan pertama di usia kurang dari 19 tahun menyimpulkan bahwa

adanya penurunan pada tahun 2008-2018. Akan tetapi, penurunan tersebut

masih dikategorikan cukup lambat. Prevalensi pernikahan anak pada tahun

2008 yaitu sebesar 14,67 persen, namun pada 10 tahun kemudian yaitu

tahun 2018 prevalensinya hanya turun sebesar 3,5 persen menjadi 11,21

persen

2. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), tren

prevalensi perempuan usia 20-24 tahun yang usia pernikahannya

pertamanya kurang dari 19 tahun di Provinsi Gorontalo pada tahun 2016

sebesar 14,74 persen, kemudian pada tahun 2017 sebesar 14,51 persen dan

pada tahun 2018 menjadi sebesar 15,29 persen.

3. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di Kantor Kementrian Agama

Kabupaten Gorontalo, angka pernikahan perempuan usia kurang dari 19


tahun paling tinggi terdapat di Kecamatan Limboto, pada tahun 2017

sebanyak 69 pernikahan atau sebesar 14,81 persen, meningkat pada tahun

2018 sebanyak 71 pernikahan atau sebesar 17,27 persen, dan pada tahun

2019 terdapat sebanyak 45 pernikahan atau sebesar 10,02 persen.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, memberikan dasar bagi peneliti untuk

merumuskan pertanyaan : “Bagaimana gambaran determinan pernikahan dini di

Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo?”

1.4 Tujuan

a. Tujuan Umum

Memperoleh gambaran determinan pernikahan dini di Kecamatan Limboto

Kabupaten Gorontalo.

b. Tujuan Khusus

1. Memperoleh gambaran determinan pernikahan dini berdasarkan tingkat

pengetahuan responden tentang pernikahan dini

2. Memperoleh gambaran determinan pernikahan dini berdasarkan

pendidikan terakhir responden

3. Memperoleh gambaran determinan pernikahan dini berdasarkan sikap

responden terhadap pernikahan dini

4. Memperoleh gambaran determinan pernikahan dini berdasarkan pekerjaan

orang tua

5. Memperoleh gambaran determinan pernikahan dini berdasarkan status

ekonomi orang tua


6. Memperoleh gambaran determinan pernikahan dini berdasarkan pola asuh

orang tua

7. Memperoleh gambaran determinan pernikahan dini berdasarkan teman

sebaya

1.5 Manfaat

a. Manfaat Praktis

1. Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

wawasan peneliti tentang faktor dominan yang mempengaruhi remaja

melakukan pernikahan dini serta sebagai bahan atau sumber data bagi

peneliti.

2. Masyarakat

Menjadi sumber informasi bagi masyarakat terkait dengan faktor dominan

yang mempengaruhi remaja melakukan pernikahan dini, sehingga

masyarakat dapat menggunakannya sebagai data untuk tidak melakukan

pernikahan dini.

3. Bagi Peneliti Lebih Lanjut

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dan

sebagai bahan referensi untuk meneliti lebih lanjut.


b. Manfaat Institusi

Bagi dunia Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya institusi Prodi S1

Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Gorontalo konsentrasi

Epidemiologi untuk pengembangan ilmu dan teoripreventif dan promotif

khususnya pada mata kuliah Epidemiologi Kesehatan Reproduksi,

Epidemiologi HIV/AIDS.

c. Manfaat Ilmiah

Dijadikan sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk lebih memantapkan

dan memberi informasi tentang faktor dominan yang mempengaruhi remaja

melakukan pernikahan dini serta sebagai data untuk mendukung program

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yaitu program

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).


Unicef Puskapa UI. (2020). Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang

Tidak Bisa Ditunda. In Badan Pusat Statistik.

Anda mungkin juga menyukai