PENDAHULUAN
perempuan dalam hubungan suami dan istri dengan maksud untuk membentuk
komponen terkecil dalam penduduk yang terdiri dari suami maupun istri beserta
membentuk keluarga yang makmur dan dibangun bersumber dari pernikahan yang
sah, selain itu keluarga sanggup memenuhi kebutuhan hidup secara psikis ataupun
materi yang layak, bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mempunyai ikatan
yang serasi, selaras serta sepadan antar komponen keluarga dengan masyarakat
Pernikahan anak adalah salah satu wujud kekerasan pada anak. Jika seorang
menikah pada usia kurang dari 19 tahun, maka akan terdapat kerentanan yang
cukup besar baik itu dalam akses pendidikan, derajat kesehatan, potensi
pernikahan anak tidak hanya hendak dirasakan oleh anak itu sendiri, akan tetapi
juga berakibat pada bayi yang akan dilahirkan dan berpotensi menimbulkan
Keluarga Berencana Nasional yaitu seorang pria minimal berusia 25 tahun dan
seorang wanita minimal berusia 20 tahun. Akan tetapi, kenyataannya masih cukup
tahun. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data dalam Buku Pencegahan Perkawinan
Anak yang ditulis oleh Badan Pusat Statistik, United Nations Children’s Fund,
dan Pusat Kajian Perlindungan Anak UI, Indonesia menempati urutan kedelapan
anak pada tahun 2008 yaitu sebesar 14,67 persen, namun pada 10 tahun kemudian
yaitu tahun 2018 prevalensinya hanya turun sebesar 3,5 persen menjadi 11,21
Tahun 2019 yang menjadi perubahan pasal terkait batas minimal usia pernikahan
batas minimal usia pernikahan seorang wanita meningkat dari yang 16 tahun
menjadi 19 tahun (Unicef Puskapa UI, 2020). Berdasarkan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS), tren prevalensi perempuan usia 20-24 tahun yang
tahun 2016 sebesar 14,74 persen, kemudian pada tahun 2017 sebesar 14,51 persen
pokok dan fungsi dari keluarga menjadi salah satu faktor molonjaknya pernikahan
usia dini. Peranan keluarga atau polah asuh orang tua sangat sangat penting,
sebab mereka ikut serta langsung dengan pembentukan karakter anak ketika di
rumah. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Lena Sri Diniyati
terhadap pernikahan dini. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional
presentase anak perempuan usia 10-17 tahun yang berstatus kawin/cerai, yaiu
sebesar 3,80 persen. Sedangkan Berdasarkan data yang didapatkan dari Sistem
Kabupaten Gorontalo, yaitu pada tahun 2018 sebanyak 116 perempuan dengan
prevalensi sebesar 74,36 persen. Kemudian pada tahun 2019 sebanyak 196
Gorontalo itu sendiri, angka pernikahan perempuan usia kurang dari 19 tahun
pernikahan atau sebesar 14,81 persen, meningkat pada tahun 2018 sebanyak 71
pernikahan atau sebesar 17,27 persen, dan pada tahun 2019 terdapat sebanyak 45
Pernikahan yang dilakukan pada usia dini dapat berakibat buruk untuk
kesehatan seorang wanita, baik itu pada dirinya sendiri semenjak ia hamil hingga
melahirkan ataupun pada bayi sebab organ reproduksi ibu yang belum terbentuk
sempurna. Organ reproduksi yang belum matang, mengakibatkan wanita yang
mudah terinfeksi disaat hamil, risiko mengalami pre eklampsia, serta proses
persalinan yang sulit dan lama. Sementara dampak dari pernikahan dini yang
berisiko terjadi pada bayi yaitu seperti lahir premature, cacat bawaan, berat bayi
Fenomena pernikahan usia dini pada dasarnya merupakan satu sikus fenomena
yang terulang dan tidak hanya terjadi di daerah pedesaan, tetapi terjadi juga di
wilayah perkotaan yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh role mode dari
diantaranya karena faktor ekonomi, budaya dan kemiskinan. Hal ini terbukti
berkorelasi dengan tingkat yang lebih tinggi sebagai faktor pernikahan usia dini.
meringankan beban orang tuanya maka anaknya dinikahkan dengan orang yang
menikahkan anaknya yang masih dibawah umur. Orang tua pun memiliki peran
dalam proses pernikahan seorang anak, apabila orang tua khawatir terkena aib
Selain itu, pekerjaan orang tua berhubungan sebab akibat dengan pernikahan usia
dini. Remaja putri yang memiliki orang tua tidak bekerja mempengaruhi untuk
melakukan pernikahan usia dini 7 kali dibandingkan remaja putri yang memiliki
Agama Limboto, faktor penyebab yang sering kali dijumpai pada saat melayani
pernikahan usia dini adalah adanya kehamilan yang tidak diinginkan atau
sangat kompleks, antara lain informasi seks, pengaruh teman sebaya dan
kurangnya pemahaman terhadap nilai dan norma agama. Informasi seks melalui
media massa yang sangat vulgar, menonton film dan membaca buku bacaan yang
acara di TV yang semakin vulgar belakangan ini dapat membentuk perilaku seks
yang menyimpang dan perbuatan seks pra nikah. Disamping itu lingkungan
yang salah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan karena mereka sendiri
sebenarnya juga kurang paham mengenai seks, yang sampai akhirnya terjadi
pernikahan ini berlangsung tanpa kesiapan mental dari pasangan berakhir dengan
reproduksi yang belum siap sehingga bisa menyebabkan kesakitan, trauma seks
saat melahirkan, perempuan yang menikah dini juga kehilangan masa kanak-
kanaknya, masa pertumbuhan, masa-masanya untuk menuntut ilmu yang lebih
tinggi, karena biasanya anak yang menikah dini akhirnya putus sekolah. (Intan
Arimurti, 2017).
Dari beberapa uraian yang dikemukakan pada latar belakang, maka dapat
2008 yaitu sebesar 14,67 persen, namun pada 10 tahun kemudian yaitu
tahun 2018 prevalensinya hanya turun sebesar 3,5 persen menjadi 11,21
persen
sebesar 14,74 persen, kemudian pada tahun 2017 sebesar 14,51 persen dan
2018 sebanyak 71 pernikahan atau sebesar 17,27 persen, dan pada tahun
1.4 Tujuan
a. Tujuan Umum
Kabupaten Gorontalo.
b. Tujuan Khusus
orang tua
orang tua
sebaya
1.5 Manfaat
a. Manfaat Praktis
1. Peneliti
melakukan pernikahan dini serta sebagai bahan atau sumber data bagi
peneliti.
2. Masyarakat
pernikahan dini.
Epidemiologi HIV/AIDS.
c. Manfaat Ilmiah