Anda di halaman 1dari 34

BAB II

LANDASAN TEORI
A. Kesadaran Hukum

1. Kesadaran

a. Pengertian Kesadaran

Secara harfiah kata “kesadaran” berasal dari kata “sadar” yang berarti

insyaf; merasa; tahu;dan mengerti. Jadi kesadaran adalah keinsyafan atau merasa

mengerti atau memahami segala sesuatu. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan

Widjaja (1984: 46) yang menyatakan bahwa “kita sadar jika kita tahu, mengerti,

insyaf, dan yakin tentang kondisi tertentu”. Dengan demikian, kesadaran adalah

keinsyafan atau merasa mengerti atau memahami segala sesuatu.

Berkaitan dengan hal tersebut, Widjaya (1984: 14) mengemukakan sebagai

berikut : “Sadar (kesadaran) itu adalah kehendak dan kesadaran hukum sadar

diartikan merasa, tahu, ingat keadaan sebenarnya dan ingat keadaan dirinya.

Kesadaran diaertikan sebagai keadaan tahu, mengerti dan merasa, misalnya

tentang harga diri, kehendak hukum dan lainnya”.

Manusia dalam kehidupannya dapat bertindak sesuai dengan norma-norma

yang berlaku di masyarakat ataupun sebaliknya. Manusia yang bertindak sesuai

dengan norma-norma yang berlaku dapat disebut memiliki kesadaran normal,

yaitu adanya keinsyafan dalam diri manusia bahwa sebagai anggota masyarakat

dapat melakukan kewajibannya.

Kesadaran timbul dalam diri seseorang untuk mentaati suatu hukum atau

aturan tertentu. Menurut Suseno dalam Zubair (1995: 54) kesadaran memiliki

unsur-unsur sebagai berikut :

11
12

1) Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral


itu ada, dan terjadi dalam setiap sanubari manusia, siapapun, dimanapun,
dan kapanpun.
2) Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional, karena berlaku umum,
lagi pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. Dinyatakan pula
sebagai hal yang objektif dapat diuniversalisasikan, artinya dapat disetujui,
berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam
situasi yang sejenis.
3) Kebebasan atas kesadarannya, seseorang bebas untuk mentaatinya, bebas
dalam menentukan perilakunya dan di dalam penetuan itu sekaligus
terpampang pula nilai kemanusiaan itu sendiri.
Berdasarkan dari pendapat di atas, bahwa kesadaran hukum itu penting

karena memberikan perlindungan terhadap berbagai kepentingan manusia.

Berbagai macam kepentingan manusia yang hidup dalam suatu masyarakat

memiliki potensi untuk saling bertentangan hingga dapat terjadi konflik yang

kemudian merugikan salah satu pihak  dan bahkan mungkin merugikan

kepentingan masyarakat.

b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kesadaran

Berdasarkan tingkatannya, N.Y Bull (Djahiri, 1985:24) mengungkapkan

bahwa kesadaran dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yang masing-masing

tingkatan menunjukan derajat kesadaran seseorang. Tingkatan-tingkatan

kesadaran itu antara lain:

1) Kesadaran yang bersifat anamous, yaitu kesadaran atau kepatuhan


yang tidak jelas dasar dan alasannya atau orientasinya.
2) Kesadaran yang bersifat heterenomous, yaitu keasadaran atau
kepatuhan yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka
ragam atau berganti-ganti.
3) Kesadaran yang bersifat sosionomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan
yang berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai.
4) Kesadaran yang bersifat autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan
yang terbaik karena didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam
diri seseorang.
13

Berdasarkan tingkatan kesadaran di atas, kesadaran yang bersifat anomous

atau kesadaran yang paling redah tingakatannya karena tidak jelas dasar dan

alasan atau orientasinya. Sedangkan kesadaran yang bersifat autonomous adalah

kesadaran yang paling diharapkan keberadaannya karena didasari oleh konsep

atau kesadaran yang ada pada diri individu yaitu konsep pengetahuan dan

pengalaman dalam proses kehidupannya.

Kohlberg dalam Djahiri (1985:25) mengemukakan bahwa perbedaan

tingkat kesadaran adalah sebagai berikut :

1) Patuh/sadar karena takut pada orang atau kekuasaan/paksaan (authority


oriented)
2) Patuh karena ingin dipuji
3) Patuh karena kiprah umum/masyarakat (contact legality) patuh atas
dasar adanya aturan dan hukum serta untuk ketertiban (law and order
oriented).
4) Patuh karena dasar keuntungan atau kepentingan (utilities = hedonis).
5) Patuh karena hal tersebut memang memuaskan baginya
6) Patuh karena dasar prinsip etis yang layak universal (Universal Ethical
Principle).
Dari penjelasan di atas dapat dilihat berbagai macam alasan mengapa

seseorang mematuhi suatu aturan. Sejalan dengan kesadaran hukum kepatuhan

yang sesuai adalah kepatuhan atas dasar adanya aturan dan hukum serta untuk

ketertiban. Disamping itu kepatuhan yang didasarkan pada prinsip etis yang layak

dianggap paling baik dibandingkan dengan kepatuhan yang didasarkan oleh hal

lainnya, sebab walaupun tidak ada aturan yang tertulis tetapi apabila secara etis

dianggap layak maka masyarakat akan mematuhinya.


14

2. Hukum

a. Pengertian Hukum

Sampai saat ini, belum ada kesepakatan yang pasti tentang rumusan anti

hukum, atau sebagaimana dikemukakan oleh Darwis, (2003:6) “belum ada sebuah

pengertian hukum yang dijadikan standar dalam memahami makna dan konsep

hukum”. Untuk mermuskan pengertian hukum tidaklah mudah, karena hukum itu

meliputi banyak segi dan bentuk sehingga satu pengertian tidak mungkin

mencakup keseluruhan segi dan bentuk hukum. Selain itu setiap orang atau ahli

akan memberikan arti yang berlainan sesuai dengan sudut pandang masing-

masing yang akan menonjolkan segi-segi tertentu dan hukum. Akan tetapi

meskipun sulit untuk menjadikan definisi hukum sebagai pegangan yang mutlak,

ada beberapa sarjana atau pakar hukum yang mengemukakan pengertian hukum.

Utrecht sebagaimana dikemukakan oleh Kansil (1986: 38) merumuskan

pengertian hukum sebagai “himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan

larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan arena itu harus

ditaati”. Sementara itu, Affandi (Puspita, 2007: 45) mengatakan bahwa “hukum

adalah kumpulan peraturan yang harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap anggota

masyarakat, apabila mengabaikan peraturan tersebut maka kepada si pelanggar

harus dijatuhi hukuman”.

Menurut Poespoprojo (1998;820) hukum dalam arti yang sebenarnya

adalah “Suatu aturan atau ukuran perbuatan-perbuatan dan menjerumuskan

perbuatan-perbuatan tersebut kearah tujuan masing-masing yang sebenarnya,

dimana menurut beliau hukum itu dibagi menjadi hukum fisik, yang
15

membebankan kepada keharusan fisik dan hukum moral, yang membebankan

kepada keharusan moral.”

Berdasarkan ketiga pendapat di atas, diketahui bahwa hukum itu memuat

aturan mengenai hal yang layak dan tidak layak untuk dilakukan menurut

pendapat umum yang seharusnya ditaati dan dipatuhi. Hukum juga mengatur

segala tingkah laku manusia dalam pergaulannya di masyarakat.

Untuk melengkapi pengertian hukum yang dikemukakan di atas, di bawah

ini terdapat pengertian hukum dari beberapa ahli sebagaimana dikutip oleh Kansil

(1986:36):

1) Immanuel Kant, Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan


ini kehendak bebas dan orang yang satu dapat menyesuaikan diri
dengan kehendak bebas dan orang yang lain, menuruti peraturan hukum
tentang kemerdekaan.
2) Leon duguit, Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota
masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dan kepentingan
bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap
orang yang melakukan pelanggarab itu.
3) J.C.T. Simorangkir, hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan
masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelannggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan
diambilnya tindakan yaitu dengan hukuman tertentu.

Dari beberapa rumusan pengertian hukum di atas, ada beberapa

persamaan, diantaranya:

1) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan

masyarakat.

2) Peraturan itu dibuat dan ditetapkan oleh badan-badan resmi yang

berwajib

3) Peraturan itu bersifat memaksa.


16

4) Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.

Hukum berlaku di masyarakat dan ditaati oleh masyarakat karena hukum

memiliki sifat memaksa dan mengatur. Hukum dapat memaksa seseorang untuk

mentaati tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat dan terhadap orang yang

tidak mentaatinya diberikan sanksi yang tegas.

b. Tujuan Hukum

Dalam menjalankan fungsinya sebagai sarana pengendali dan perubahan

sosial, hukum memiliki tujuan yang menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,

damai, adil yang ditunjang dengan kepastian hukum sehingga kepentingan

individu dan masyarakat dapat terlindungi.

Van Apeldoorn (Kansil,1986:41) “yaitu untuk mengatur tata tertib

masyarakat secara damai dan adil.” Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan

hukum adalah terpelihara dan terjamin keteraturan (kepastian) dan ketertiban

(1999:50). Sedangkan menurut Soekanto (1985:213), tujuan hukum adalah

mencapai perdamaian di dalam masyarakat.

Hukum sebagai salah satu instrumen untuk menata kehidupan sosial di

dalam masyarakat modern dibentuk atas dasar perpaduan antara dunia ide (cita-

cita) dengan realita sosial sebagai dunia nyata. Dunia ide memberikan

kontribusinya terhadap penetapan tujuan yang ingin dicapai dan cara serta upaya

yang dipandang efektif untuk mencapainya, seperti yang dikemukakan oleh

Mertokusumo (1985:57) bahwa “tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan

masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan


17

tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan

terlindungi”.

Dalam mencapai tujuannya hukum bertugas membagi hak dan kewajiban

antara perseorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara

memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Sedangkan

realita sosial memberi batasan agar penetapan tujuan dan cara yang diinginkan

tetap berpijak pada kondisi dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.

Sebaliknya pengabaian terhadap salah satunya akan mendatangkan dampak

sebaliknya.

c. Fungsi Hukum

Seperti yang diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa

terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang

bisa selaras dengan kepentingan lain, tetapi ada juga kepentingan yang memicu

konflik dengan kepentingan yang lain. Untuk keperluan tersebut, hukum harus

difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mecapai tujuannya. Dengan kata

lain, fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat

serta menyelesaikan konflik yang terjadi.

Menurut Daliyo, dkk, (1989:40), hukum berfungsi untuk :

1) Menjadi alat ketertiban danketeraturan masyarakat,


2) Menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin,
3) Menjadi alat penggerak pembangunan karena mempunyai daya
mengikat dan memaksa sehinggadapat dipakai sebagai alat otoritas
untuk mengarahkan masyarakat menjadi lebih baik,
4) menjadi alat kritik, bukan hanya untuk mengawasi masyarakat namun
juga mengawasipemerintah, para penegak hukum, dan aparatur
pengawasan itu sendiri.
18

Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana

pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya

ketertiban dalam pembangunan, merupakan sesuatu yang dipandang penting dan

sangat diperlukan. Di samping itu maka hukum sebagai sarana untuk menyalurkan

arah kegiatan-kegiatan warga-warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh

perubahan terencana tersebut. Sudah tentu, bahwa fungsi tersebut di atas

seyogyanya dilakukan, di samping fungsi hukum sebagai sarana dari pada sistem

pengendalian sosial Kusumatmadja (1976:9).

3. kesadaran hukum

a. Pengertian Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum adalah suatu kesadaran yang ada pada tiap-tiap manusia

mengenai apa itu hukum serta apa seharusnya hukum tersebut. (Varlord

https://brainly.co.id/tugas3494546), kesadaran hukum sangat diperlukan dalam

kehidupan sehari-hari. Tujuannya adalah untuk menjaga masyarakat dari sikap-

sikap atau tindakan-tindakan yang membahayakan.

Menurut Soekanto (1994:147) mengemukakan bahwa :

Di dalam ilmu hukum dikenal adanya beberapa pendapat tentang


kesadaran hukum. Perihal kata atau pengertian kesadaran hukum,ada juga
yang merumuskan bahwa sumber satu-satunya dari hukum dan kekuatan
mengikatnya adalah kesadaran hukum dan keyakinan hukum individu di
dalam masyarakat yang merupakan kesadaran hukum individu, merupakan
pangkal dari pada kesadaran hukum masyarakat.

Kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satunya konsepsi

mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran-ajaran kesadaran

hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai


19

mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun

kolektif. Menurut Soekanto (1987:217): “Konsepsi ini berkaitan dengan aspek-

aspek kognitif dan perasaan yang sering kali dianggap sebagai faktor-faktor yang

mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam

masyarakat.”

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran

merupakan suatu keyakinan yang ada di dalam setiap diri seorang individu berupa

nilai-nilai yang berintegrasi dalam dirinya terhadap hukum yang ada, kemudian

diwujudkan melalui tindakan dalam bentuk kepatuhan dan ketidakpatuhan

terhadap hukum.

b. Indikator Kesadaran Hukum

Kesadaran hukum mempunyai tolak ukur untuk mengetahui sebarapa

paham seseorang mengenai kesadaran hukum. Hal ini sejalan dengan Soekanto

(1982:40) “Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masayarakat terdapat

empat indikator yang dijadikan tolakukur, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman

hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum”.

Indikator-indikator tersebut merupakan petunjuk-petunjuk yang relatif

nyata tentang adanya taraf kesadaran hukum. Untuk lebih jelasnya di bawah

merupakan menjelasan mengenai indikato-indikator kesadaran hukum

1) Pengetahuan tentang Peraturan-Peraturan Hukum

Pengetahuan hukum menurut salman (1989:40) adalah

“Pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur

oleh hukum. Sudah tentu hukum yang dimaksud disini adalah hukum yang
20

tertulis dan tidak tertulis”. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku

yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum, dilihat

dalam masyarakat bahwa seseorang mengatahui bahwa membonceng dua

orang pada saat mengendarai kendaraan bermotor adalah dilarang oleh

hukum. Pengetahuan hukum tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa

masyarakat dianggap mengatahui isi suatu peraturan manakala hukum

tersebut telah diundangkan.

2) Pemahaman terhadap Isi Peraturan Hukum.

Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law

acquaintance) atau lebih dikenal dengan pemahamn hukum, dapat

diartikan sebagai sejumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang

mengenai isi dari peraturan suatu hukum tertentu. Atau pemahaman

hukum adalah pengertian terhadap isi dan tujuan hukum dari suatu

peraturan hukum tertentu serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang

kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal ini peserta didik

mampu memahami tujuan dan tugas hukum yakni untuk menjaga

kehidupan dan ketertiban masyarakat. Sejalan dengan hal ini Sudikno

Mertokusumo (1986: 54) mengemukakan bahwa: “Tujuan pokok hukum

adalah untuk mencipatakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan

tercapainya ketertiban didalam masyarakat diharapkan kepentingan

manusia akan terlindungi”.

Pemahaman hukum juga dalam pengertiannya tidak diisyaratkan

seseorang harus terlebih dahulu mengatahui adanya suatu aturan tertulis


21

yang mengatur sesuatu hal. Akan tetapi yang dilihat disini adalah

bagimana persepsi mereka dalam menghadapi hal, dalam kaitannya

dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat persepsi ini biasanya

diwujudkan memalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.

Salman (1989: 57). Jika hal ini kaitan dengan berlakunya Undang-Undang

No. 22 Tahun 2009 yang mengatur ketentun tentang lalu lintas dan

angkutan jalan, maka pemahamn masyarakat terhadap Undang-Undang

tersebut diartikan bahwa masyarakat memahami Undang-Undang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan seiring dengn diberlakukannya Undang-

Undang tersebut.

3) Sikap terhadap Peraturan-Peraturan Hukum.

Secara sederhan sikap dapat dikatakan sebagai suatu kecendrungan

seseorang untuk bertindak berkenaan dengan objek tertentu.

Kecendrungan yang dimaksud disini adalah arah tindakan yang akan

dilakukan seseorang untuk bersifat menjauhi maupun mendekati sesuatu.

Hal ini dilandasi oleh perasaan dan penilaian individu yang bersangkutan

terhadap objek tertentu, baik itu perasaan setuju maupun tidak setuju.

Menurut Salman (1989: 191) “sikap adalah suatu yang dipelajari dan sikap

menentukan bagaimana individu bereaksi tehdapa situasi serta menentukan

apa yang dicari individu dalam kehidupannya”.

Sedangkan menurut Abu Ahmad (1991: 171) “sikap adalah hal

menentukan sikap sifat, hakikat, baik perbuatan sekarang maupun

perbuatan yang akan datang. Jadi sikap adalah kecendrungan seseorang


22

untuk berbuat sesuatu atau merespon sesuatu berkenaan dengan objek

tertentu”.

Sikap hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum

karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang

bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati Salman (1985: 58).

Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga masyarakat terhadap

hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga

akhirnya warga masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan

terhadapnya. Sikap hukum peserta didik terhadap aturan lalu lintas

mencakup sikap posotif dan negatif dengan diberlakukannya peraturan

tersebut .

Sikap hukum peserta didik terhadap aturan lalu lintas mencakup

sikap positif dan negativ dengan diberlakukannya peraturan tersebut yang

dibuktikan pola perilaku berlalu lintas. Soekanto (1982: 224)

mengelompokkan sikap hukum “Sikap fundamental dan instrumental”.

Sikap fundamental akan bereaksi tanpa memikirkan untung rugi dan hal

ini cukup mantap karena didasarkan pada pemikiran yang matang dan

tidak disadari oleh kepentingan pribadi. Sedangkan sikap instrumental

memperhitungkan keburukan dan kebaikan kaidah hukum dimana hanya

akan melaksanakan apa yang diatur oleh undang-undang jika ada petugas

saja.
23

4) Pola Perilaku Hukum

Perilaku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 859)

“adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau

lingkungan”. Sedangkan menurut pandangan behavioristic Syamsudin

(1997: 19) menekankan bahwa “pola-pola perilaku itu dapat dibentuk

memalui proses pembiasaan dan pengukuhan (reinforencement) dengan

mengkondisika stimulus (conditioning) dalam lingkungan

(environmentalistik)”. Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama

dalam kesadaran hukum, karena dapat dilihat apakah suatu peraturan

berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian dari pola perilaku

hukum dari masyarakat Salman (1989: 58).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku timbul sebagai

hasil reaksi dalam diri individu dengan lingkungan yang menyertainya.

c. Tingkat Kesadaran Hukum

Setiap individu memiliki pengetahuan mengenai kesadaran hukum, tetapi

kesadaran hukum yang dimiliki setiap individu tidak sama kadarnya pada tiap

individu lainnya Sanusi (1991: 188) membedakan tingkatan nilai-nilai

kesadaran hukum seseorang dan kepatuhannya pada hukum dalam lima pola

yaitu sebagai berikut:

a. Takut akan Hukum


Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada rasa takut
atau khawatir akan sanksi dan ancaman hukum jika tidak ditaati, oleh
karena itu orang taat pada hukum tertentu dikarenakan pada
hukumannya secara fisik.
b. Pragmatism Instrumental
24

Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada peraturan


umum atau ketentuan-ketentuan yang di negosiasikan dan perjanjian.
Hukum Instrumental, bagaimana isinya, karena itu harus ditaati.
c. Rasa senasib interpersonal
Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada eksistensi
kelompoknya terhadap yang bersangkutan. Orang mempertimbangkan
dan menilik perbuatannya dari sudut kepatuhan sebagaimana
kelompok itu menunjukan ketertarikannya pada moral tertentu.
d. Konfirmasi kemasyarakatan
Kesadaran hukum dan penataan hukum didasarkan pada sikap
konformis pada kaidah-kaidah dan kebiasaan yang sedang menjadi
preferensi dari penguasaan dan golongan elitnya. Disini kesadaran
hukum dikaitkan pada nilai di dasarkan resmi yang disuarakan pada
pejabat tokoh masyarakat.
e. Kemajuan/kepentingan umum
Kesadarn hukum dan penataan hukum didasarkan pada kemajuan
kepentingan umum, yaitu yang telah di uji standarnya dengan seksama
secara dogmatis dan taas dasar keakuan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat kesadaran

hukum orang beragam, dikatakan di atas bahwa tingkat terendah disadarakan

karena perasaan takut. Takut akan hukuman yang akan diterima jika tidak

mentaati peraturan. Perasaan takut oleh sanski ini hampir dialami oleh semua

masyarakat, hanya orang bijak yang berpikiran kesadaran hukum itu dilaksanakan

karena demi kemajuan bersama dalam proses menuju ketertiban.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesadaran Hukum

Soemardjan (dalam Soekanto, 1982: 51) mengungkapkan faktor-faktor

dalam mempengaruhi kesadarn hukum, diantaranya:

a. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu


penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar
warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati
hukum.
b. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada system nilai yang berlaku
artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin
mematuhi hukum karena compliance, identification, internalization atau
kepentingankepentingan mereka terjamin pemenuhannya.
25

c. Jangka waktu penanaman hukum yaitu panjang atau pendeknya jangka


waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan
memberikan hasil.

Berbeda dengan soemardjan (dalam Sanusi, 1991: 239) menyatakan

bahwa: “Untuk golongan tertentu kurangnya kesadaran hukum itu mendorong

keras melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum dengan mengeksplotir

kekurang-lengkapan peraturan-peraturan”.

Berdasarakan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi kesadaran hukum melatarbelakangi pada setiap individu, membuat

tingkat kesadaran hukum di masyarakatpun berbeda-beda. Hal ini penting karena

menentukan apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak

didalam masyarakat seperti yang diungkapkan oleh Soekanto (1982: 122) bahwa

efektifitas hukum berkaitan dengan faktor sebagai berikut :

Masalah kesadaran hukum masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-


faktor apakah suatu ketentuan diketahui, di mengerti, ditaati dan dihargai.
Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan
hukum, maka taraf kesadaran masih rendah dari pada apabilaa mereka
memahaminya dan seterusnya.

Berdasarkan pemaparan di atas menjelaskan bahwa pentingnya kesadaran

hukum pada peserta didik agar proses untuk mewujudkan kesadaran hukum di

mulai sejak di sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

B. Pedagang Kaki Lima

1. Pengertian Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut

penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena

jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang
26

ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan

satu kaki. Namun, sejauh ini belum ditemukan suatu pengertian yang baku tentang

PKL itu, bahkan tidak dapat diketahui dengan pasti sejak kapan istialh itu muncul

dalam percakapan. Dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya

Pedagang Kaki Lima (PKL) didefinisikan sebagai orang-orang yang melakukan

penjualan barang dagangan di pinggir-pinggir jalan, di atas trotoar, di pusat-pusat

keramaian kota, di stasiun kereta api dan di tempat-tempat umum lainnya baik

yang bersifat menetap maupun berdagang keliling dan tidak jarang mengganggu

ketertiban umum.

Secara umum PKL dimasukkan kedalam kelompok sektor informal

sehingga mudah untuk mempelajarinya. Ada kalangan yang memasukkan PKL ini

sebagai kelompok pengusaha kecil golongan ekonomi lemah namun oleh Hidayat

(1978:21) “pengelompokan ini sanagat rancu karena golongan ekonomi lemah

biasanya meliputi juga sector usaha formal”.

Menurut Winardi dalam Haryono (1989: 57) sebagaimana dikemukakakan

bahwa :

Pedagang Kaki Lima (street trading/street hawker) adalah salah satu usaha
dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal dan orang yang
dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan
penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok
tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-
tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal.
Berdasarkan penjelasan di atas pedagang kaki lima merupakan usaha

pedagang sektor informal menengah ke bawah yang dilakukan pada tempat-

tempat yang dianggap strategis yang bisa dikunjungi oleh pembeli dengan mudah.
27

Konsep PKL menurut Chandrakirana dan Sadoko dalam Yuniar (2002:44)

adalah sebagai berikut :

Pedagang Gelar yaitu Pedagang Kaki Lima yang menghamparkan barang-


barangnya di atas trotoar/lantai dengan suatu alas atau menjajakannya di
atas peti-peti yang ditumpuk hingga berfungsi sebagai meja. Walaupun
pada waktu berjualan mereka mangkal di tempat tertentu. PKL bersifat
mobile dalam arti mudah memindahkan dagangannya ke lokasi lain,
mereka dapat menyesuikan lokasi dan waktu berjualannya dengan kondisi
keramaian suatu tempat, tetapi sering pula harus menghadapi penggusuran
oleh aparat ketertiban atau petugas pasar karena tidak menempati lokasi
yang tidak semestinya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pedagang yang

berjualan di tenda yaitu menggunakan meja ataupun rak dengan waktu berjualan

yang dibatasi oleh petugas lokal seperti aparat pemerintah kota, petugas pasar,

pengelola terminal bis, dan sebagainya. Di luar waktu berjualan yang diijinkan

tenda digulung dan lokasi mereka dipakai untuk parkir lalu lintas, pejalan kaki

ataupun kegiatan lainnya.

2. Dasar Hukum Tentang Pedagang Kaki Lima

Di kota-kota besar keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan

suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil. Akhir-akhir ini fenomena

penggusuran terhadap para PKL marak terjadi. Para PKL digusur oleh aparat

pemerintah seolah-olah mereka tidak memiliki hak asasi manusia dalam bidang

ekonomi sosial dan budaya (EKOSOB). PKL ini merupakan fenomena kegiatan

perkonomian rakyat kecil, yang mana mereka berdagang hanya untuk memenuhi

kebutuhan pokoknya sehari-hari.

Pedagang Kaki Lima ini timbul dari adanya suatu kondisi pembangunan

perekonomian dan pendidikan yang tidak merata di seluruh Negara Kesatuan


28

Republik Indonesia (NKRI). PKL ini juga timbul dari akibat tidak tersedianya

lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan dalam

berproduksi. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab di

dalam melaksanakan pembangunan bidang pendidikan, bidang perekonomian dan

penyediaan lapangan pekerjaan.

Walaupun tidak ada pengaturan khusus tentang hak-hak Pedagang Kaki

Lima, namun dapat digunakan beberapa produk hukum yang dapat dijadikan

landasan perlindungan bagi Pedagang Kaki Lima. Ketentuan perlindungan hukum

bagi para Pedagang Kaki Lima ini menurut UUD RI adalah:

a. Pasal 27 ayat (2) UUD RI 45: “Tiap-tiap warga Negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

b. Pasal 11 UU RI nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia: “setiap

orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan

berkembang secara layak”.

c. Pasal 38 UU RI nomor 39/1999 mengenai Hak Asasi Manusia:

(1) “Setiap warga Negara, sesuai dengan bakat, kecakapan dan

kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.

(2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang di

sukainya dan ……….”

Dengan adanya beberapa ketentuan di atas, pemerintah dalam menyikapi

fenomena adanya pedagang kaki lima, harus lebih mengutamakan penegakan

keadilan bagi rakyat kecil.Perda K3 (Kebersihan, Keindahan, dan Ketertiban)

terdapat pelarangan Pedagang Kaki Lima untuk berjualan di trotoar, jalur hijau,
29

jalan, dan badan jalan, serta tempat-tempat yang bukan peruntukkannya, namun

pemerintah harus mampu menjamin perlindungan dan memenuhi hak-hak

ekonomi pedagang kaki lima.

Di dalam Peraturan Daerah Tentang K3 ini terdapat pasal mengenai PKL,

Adapun pasal tersebut antara lain:

Pasal 49 ayat (1) Perda No 11 tahun 2005 berbunyi: “bahwa setiap orang

atau badan hukum yang melakukan perbuatan berupa butir isi pasal yang selalu di

gunakan untuk acuan PKL”, yakni 2 butir pasal:

a. Pasal 49 ayat (1) Bb, berusaha atau berdagang di trotoar; badan

jalan/jalan; taman; jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan

peruntukkannya tanpa izin dari walikota dikenakan biaya paksa

penegakan hukum sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan/atau

sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu KTP atau

kartu tanda identitas kependudukan lainnya.

b. Pasal 49 ayat (1) Jj, mendirikan kios dan/atau berjualan di trotoar;

taman; jalur hijau; melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan

kerusakan kelengkapan taman atau jalur hijau dikenakan pembebanan

biaya paksa penegakan hukum sebesar Rp.1.000.000,00 (satu juta

rupiah) dan atau sanksi administrasi berupa penahanan sementara KTP

atau kartu identitas kependudukan lainnya.

Permadi (2007: 39) mengatakan bahwa:

Pada dasarnya, PKL juga menyadari bahwa berjualan ditempat umum akan
menggganggu para pengguna jalan. Namun, menjadi PKL adalah satu-
satunya yang bisa mereka lakukan untuk mencari nafkah. Lalu, bagaimana
mungkin mereka dipindahkan dan harus membayar biaya yang lebih besar.
30

Mereka tidak akan mampu membayarnya. Akhirnya, mereka akan memilih


berjualan secara liar. Walau digusur, mereka akan kembali lagi berjualan.

Pendapat di atas menjelaskan bahwa PKL berjualan mempunyai kesadaran

sendiri apabila berjualan di badan jalan akan mengganggu para pejalan kaki, serta

mengakibatkan jalanan menjadi macet. Namun mereka tetap memilih berjualan di

tempat tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena tidak mampu

membayar tempat yang lebih layak disediakan oleh pemerintah.

3. Karakteristik Pedagang Kaki Lima

Menurut Hidayat (1978: 44) ada beberapa karakteristik dari PKL

antara lain:

a. Pedagang Kaki Lima pada umumnya modal kecil dan tidak mempunyai
tempat usaha mantap, berdagang diemperan/depan toko, dipinggir jalan,
ditrotoar, ditaman, diarea parker, dan tempat-tempat orang ramai.
b. Jam berdagang tidak tentu, ada pagi, ada siang, sore, dan malam hari,
bahkan ada yang dari pagi sampai sore dengan berbagai macam jenis
dagangan.
c. Jenis dagangan beraneka ragam, ada jajanan (makan proses), tanaman
hias, ikan hias, pakaian jadi/sepatu/tas, kerajinan, buah-buahan, dan
lain-lain.
d. Bentuk bangunan ada yang tertutup, terbuka, payung, gelaran, gerobak,
pikulan, meja dan sebagainya, konstruksi bangunan darurat, semi
permanen dan tanpa bangunan.

Pada umumnya PKL menimbulkan gangguan terhadap lingkungan lalu

lintas, ketertiban kebersihan.

4. Lokasi Yang Ditetapkan Sebagai tempat Penampungan Pedagang

Kaki Lima di kawasan Tujuh Titik Kota Bandung

a. Alun-Alun dan sekitarnya (Kawasan mesjid agung)


31

Di jalan Alun-Alun ini terdapat berbagai macam PKL seperti yang

berjualan bermacam-macam kebutuhan seperti baju yang dijual murah

dibandingkan di dalam toko. Sehingga orang-orang pun hendak berbelanja

di sekitaran Alun-Alun ini.

b. Jl. Otto Iskandar Dinata

Di jalan Otto Iskandar berbagai macam PKL kebanyakan

menajajakan dagangan nya seperti makanan dan buah-buahan yang dijual

murah dibandingkan harga di supermarket. Ada berbagai macam buah,

makanan ringan , dan camilan.

c. Jl. Dalem Kaum

Di jalan Dalem Kaum ini, kebanyakan para PKl menjajakan barang

yang bersifat sekunder atau biasa disebut kebutuhan tambahan, seperti

kaset DVD, casing HP, yang biasa dijual di toko lebih mahal, maka para

pembeli biasanya mencari ke tempat yang harganya lebih terjangkau. Ada

juga dijual kain, tas, sepatu, makanan seperti baso. Es campur, dan lain-

lain.

d. Jl. Kepatihan

Di jalan Kepatihan ini para PKL menjajakan barang dagangn nya

seperti menjual berbagai macam sepatu yang biasanya di toko harganya

mahal, di jalan kepatihan ini para pembeli biasa membeli barang tersebut

dengan setengah harga. Kemudian ada juga Tas yang dijual murah, seperti

Tas yang berkualitas bagus tapi harga terjangkau untuk menengah


32

kebawah dan menengah keatas. Mulai dari berbagai macam merk tas,

seperti Channel, Gucci, Prada, Furla, Guess, Louis Vuitton, dan lain-lain.

e. Jl. Dewi Sartika

Di jalan Dewi Sartika biasanya para PKL menjajakan barang

dagangannya seperti kerudung, casing hp, buku pelajaran, majalah, dan

lain-lain. Dimana situsi di jalan Dewi Sartika lebih padat, karena posisinya

dekat sekali dengan jalan raya, sehingga pembeli dengan lebih mudah bisa

membeli barang kebutuhannya.

f. Jl. Asia Afrika

Di jalan Asia Afrika ini para PKL biasa menjajakan barang

dagangan peralatan kantor seperti stand cap, mesin tik second, ada juga yg

berjualan sepeda baru maupun second, tetapi biasanya di jalan Asia Afrika

ini dikunjungi para pembeli di pagi hari dan sore hari lebih ramai pembeli.

g. Jl. Merdeka

Di jalan Merdeka tepatnya di depan Mall Bandung Indah Plaza

(BIP) para PKL banyak menajajakan barang dagangan nya seperti casing

HP yang biasanya bersaing dengan Bandung Electronic Center (BEC)

diamana harga barang tersebut lebih murah dibandingkan dengan BEC.

Kemudian ada yang berjualan bermacam-macam aksesoris seperti kalung,

gelang, cincin, topi, ada juga yang berjualan hewan peliharaan seperti

kucing angora, Persia, ular, dan lain-lain.

Meskipun begitu para PKL tersebut berjualan tidak lepas dari pengawasan

para satuan Pamong Praja, yang terkadang sesekali para Pamong Praja menjaga
33

ketat wilayah tempat mereka berjualan, sehingga ada para PKL yang sama sekali

tidak bisa berjualan pada hari itu, karena kalau melanggar maka dengan sangat

terpaksa barang jajakannya di angkut oleh para Pamong Praja ke dalam mobil

truck yang sudah disiapkan, kemudian akan dibawa ke kantor Satpol PP untuk

dimintai keterangan. Meskipun mereka sudah mendapatkan peringatan dari Satpol

PP, karena untuk menghidupi diri dan keluarganya maka para PKL ini tidak jera

untuk berjualan di tempat yang sama.

C. Perda Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban,

Kebersihan, dan Keindahan. ( Perda K3)

Perda K3 (Keindahan, Kebersihan dan Ketertiban) merupakan salah satu

peraturan andalan yang lahir dari pemikiran demi terciptanya keteraturan. Perda

ini juga dibanggakan pemerintah kota Bandung sebagai alat eksekusi untuk

membuktikan bagaimana berhasilnya pemkot Bandung melaksanakan roda

pemerintahannya dan Pemkot berusaha membuat masyarakat hidup dengan

teratur.

Lahirnya Perda Nomor 11 tahun 2005, belum ada evaluasi terkait

implementasi Perda tersebut di lapangan. Sehingga tidak banyak yang tahu bahwa

sesungguhnya implementasi Perda yang dibanggakan itu berjalan di tempat.

Lemahnya pengawasan dan political will pemkot Bandung, menjadi salah satu

tolak ukur atau indikator tidak berjalannya Perda K3. Mungkin saat ini, Perda

tersebut hanya bertumpuk bersama denga Perda lainnya yang juga bernasib sama,

tidak jelas implementasinya. Seharusnya untuk kawasan tujuh titik di Kota

Bandung sudah mulai diberlakukan Perda K3. Namun, pada kenyataannya masih
34

ditemukan pelanggaran-pelanggaran dari aturan tersebut. Hal ini lantaran belum

tersosialisasikannya perda K3 secara menyeluruh ke setiap elemen masyarakat.

Selain perda K3, peraturan walikota yang mengatur tentang pembebanan biaya

paksaan bagi setiap orang yang melanggar perda K3 juga harus disosialisasikan

pada masyarakat.

1. Ketertiban

Ketertiban yang dimaksud dalam Perda No. 11 tahun 2005 adalah

suatu keadaan kehidupan yang serba teratur dan tertata dengan baik sesuai

ketentuan perundang-undangan yang berlaku guna mewujudkan kehidupan

masyarakat yang dinamis, aman, tentram lahir bathin. Adapun bentuk-

bentuk ketertiban yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a) Tertib jalan, fasilitas umum dan jalur hijau

b) Tertib lingkungan

c) Tertib sungai, saluran air, dan sumber air

d) Tertib penghuni bangunan

e) Tertib tuna sosial dan anak jalanan

2. Kebersihan

Keindahan yang dimaksud dalam Perda No. 11 tahun 2005 adalah

keadaan lingkungan perkotaan yang nyaman, estetik, dan professional.

Upaya untuk mewujudkan keindahan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah

dan masyarakat meliputi penataan:

a) Bangunan dan halaman serta lingkungan sekitarnya

b) Secara khusus bangunan yang bernilai sejarah


35

c) Saluran drainase jalan, dan riol/brandgang

d) Trotoar dan bahu jalan

e) Perkerasan jalan dan jembatan

f) Jalur hijau jalan yang terdiri dari bahu jalan, median jalan dan

pulau jalan

g) Taman lingkungan

h) Lahan kosong dan kapling kosong

i) Lampu peneranagn jalan umum

j) Elemen estetika kota seperti patung, tugu, prasasti, lampu hias,

monument, kolam hias, air mancur, reklame dan sebagainya.

k) Fasilitas umum dan fasilitas kota lainnya

l) Ruang terbuka hijau

3. Keindahan

Keindahan lingkungan yang nyaman, estetik dan propesional meliputi:

ruang terbuka hijau (RTH), penataan pemeliharaan ruang terbuka hijau dan

elemen estetika kota dan keseimbangan pembangunan. Selain itu

pemerintah daerah dan masyarakat berkewajiban untuk melakukan penataan

dan pemeliharaan RTH yang meliputi:

a) RTH kawasan lingkungan pemukiman

b) RTH lingkungan perindustrian

c) RTH perdagangan dan perkantoran

d) RTH kawasan jalur hijau

e) RTH kawasan sempadan sungai


36

f) RTH kawasan jalur pengaman utilitas

g) RTH lingkungan pendidikan

h) RTH gerbang kota

i) RTH lingkungan kawasan konversi

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Perda Kota Bandung Nomor

11 tahun 2005 ini memuat aturan terkait dengan ketertiban, kebersihan, dan

keindahan agar warga Bandung menjadi lebih bermartabat bukan sekedar slogan

hampa, bukan pula basa-basi melainkan harus menjadi milik bersama. Bersih,

makmur, taat (hukum) dan bersahabat adalah dambaan setiap orang khususnya

penghuni kota Bandung, dan umumnya segenap lapisan masyarakat dimanapun

berada. Perda ini adalah suatu produk hukum dari DPRD Kota Bandung yang

harus dilaksanakan dan diketahui oleh semua warga Kota Bandung.

D. Satuan Polisi Pamong Praja

1. Satuan Polisi Pamong Praja

Satuan Polisi Pamong Praja adalah Perangkat Pemerintah Daerah dalam

memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta

penegakan Peraturan Daerah.

2. Polisi Pamong Praja

Polisi Pamong Praja adalah aparatur Pemerintah Daerah yang

melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan

ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan Daerah dan

Keputusan Kepala Daerah.


37

3. Ketentraman

a. Ketentraman adalah perasaan jiwa di mana orang atau anggota

masyarakat bisa menikmati hidup secara nyaman;

b. Kondisi dinamis yang memungkinkan pemerintah dan masyarakat

melaksanakan aktifitas kegiatan dengan rasa aman, tertib, lancar, dan

teratur.

4. Ketertiban

a. Ketertiban adalah suasana yang mengarah kepada keteraturan dalam

masyarakat menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan

motivasi bekerja dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan;

b. Berjalannya proses hubungan dalam masyarakat berdasarkan Hukum,

Norma, dan Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat yang merupakan

faktor pendukung terwujudnya ketentraman.

5. Ketentraman dan Ketertiban Umum

Suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah dan Pemerintah

Daerah untuk dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram dan teratur (PP

No. 32 Tahun 2004).

6. Kamtibmas

Kamtibmas adalah kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu

prasyarat terselenggaranya proses pembangunan dalam rangka tercapainya

tujuan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya

hukum serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina


38

serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal,

mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-

bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

7. Ancaman Kamtibmas

Ancaman Kamtibmas adalah setiap situasi dan kondisi yang dapat

mengganggu dan atau membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat,

kelangsungan kehidupan bernegara dan pembangunan nasional.

8. Pola Kegiatan Pelaksanaan Trantibum

a. Fungsional, yaitu pengamanan yang dilakukan secara fungsional baik

oleh Kepolisian RI, aparat Pemerintah Daerah dan Instansi terkait

lainnya serta potensi masyarakat yang dibina oleh Pemerintah Daerah

sesusai dengan Tugas, Fungsi dan Kewenangannya masing-masing.

b. Terpadu, yaitu pengamanan yang dilakukan secara bersama-sama dan

selaras oleh Kepolisian RI, Aparat Pemerintah Daerah dan Instansi

terkait lainnya serta potensi masyarakat yang dibina oleh Pemerintah

Daerah atas pertimbangan pihak terkait yang disesuaikan dengan

kebutuhan dan tingkat kerawanan.

9. Metode Penanganan Gangguan Trantibum

a. Preemtif

b. Preventif

c. Represif Nonyustisial

d. Penegakkan Hukum
39

e. Rehabilitasi

10. Patroli

Patroli adalah Suatu bentuk kegiatan yang bergerak dari satu tempat ke

tempat tertentu lainnya (mengawasi suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu

yang bersifat rutin) yang dilakukan untuk mencegah tindakan gangguan

trantibum dan pelanggaran Perda dalam rangka memberikan rasa aman,

perlindungan dan pengayoman serta meningkatkan kedisiplinan masyarakat.

11. Pengawalan

Pengawalan adalah salah satu tugas melekat pada Satuan Polisi Pamong

Praja sebagai aparat Pemda dalam rangka menyelenggarakan ketentraman dan

ketertiban umum.

12. Penjagaan Tempat Penting

Penjagaan tempat penting adalah salah sau tugas melekat pada Satpol PP

sebagai aparat Pemda dalam menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban

umum.

13. Penegakan Peraturan Daerah

Penegakan peraturan daerah adalah upaya aparat/masyarakat

melaksanakan Perda sesuai ketentuan yang berlaku, pencegahan pelanggaran

Perda serta penertiban terhadap pelanggaran.

14. Perlengkapan dan Peralatan Operasional

a. Surat Perintah Tugas;


40

b. Kelengkapan Pakaian (PDL + Atribut lengkap);

c. Alat pelindung diri (Topi/helm, pentungan, borgol, tameng, senjata api

bagi yang memiliki izin)

d. Kendaraan khusus yang dilengkapi sirine, lampu sorot, megaphone dan

alat komunikasi;

e. Perlengkapan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K);

f. Alat perlengkapan lain yang mendukung kelancaran pelaksanaan

tramtibum.

E. Pembentukan, Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Wewenang, Hak dan

Kewajiban Satuan Polisi Pamong Praja (PP No. 06 Tahun 2010)

1. PEMBENTUKAN

a. Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di

setiap Provinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk Satuan Polisi Pamong

Praja.

b. Pembentukan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan

dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.

2. KEDUDUKAN

a. Satuan Polisi Pamong Praja merupakan bagian perangkat daerah di

bidang penegakkan Perda, ketertiban umum, dan ketenteraman

masyarakat.
41

b. Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh seorang kepala satuan dan

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah

melalui Sekretaris Daerah.

3. TUGAS POKOK

Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas menegakkan Perda dan

menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat.

4. FUNGSI

a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakkan Perda,

penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta

perlindungan masyarakat.

b. Pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan Kepala Daerah.

c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketent

raman masyarakat di daerah.

d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat.

e. Pelaksanaan koordinasi penegakkan Perda dan peraturan Kepala

Daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman

masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik

Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya.

f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar

mematuhi dan menaati Perda dan peraturan Kepala Daerah.

g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah.


42

5. WEWENANG

a. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga

masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran

atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

b. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

c. Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan

masyarakat.

d. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas

Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

e. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,

aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda

dan/atau peraturan Kepala Daerah.

6. HAK

a. Polisi Pamong Praja mempunyai hak sarana dan prasarana serta

fasilitas lain sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

b. Polisi Pamong Praja dapat diberikan tunjangan khusus sesuai dengan

kemampuan keuangan daerah.


43

7. KEWAJIBAN

a. Menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia,

dan norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang di masyarakat.

b. Menaati disiplin Pegawai Negeri Sipil dan kode etik Polisi Pamong

Praja.

c. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.

d. Melaporkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atas

ditemukannya atau patut diduga adanya tindak pidana.

e. Menyerahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah atas

ditemukannya atau patut diduga adanya pelanggaran terhadap Perda

dan/atau peraturan Kepala Daerah.

8. SUSUNAN ORGANISASI

a. Kepala

b. Bagian Tata Usaha, membawahkan :

1) Sub Bagian Umum

2) Sub Bagian Keuangan dan Kepegawaian

c. Bidang Program, membawahkan :

1) Seksi Perencanaan Program

2) Seksi Evaluasi dan Laporan

d. Bidang Operasional, membawahkan :

1) Seksi Penentraman

2) Seksi Penertiban
44

e. Bidang Penyidikan, membawahkan :

1) Seksi Pemberkasan dan Pengamanan Barang Bukti

2) Seksi Pemeriksaaan.

f. Kelompok Jabatan Fungsional

Anda mungkin juga menyukai