Anda di halaman 1dari 4

Makna Ulang Tahun

Menurut Kacamata Islam


Apa makna ulang tahun? tentu berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang memaknainya
dengan merayakan ulang tahun dengan pesta bersama teman-teman, ada juga yang berbagi
cuka cita dengan mengajak makan anak-anak yatim, ada juga yang hanya bertafakur kepada
Ilahi sambil mengingat-ingat apa saja amal perbuatan yang telah dikerjakan sebagai hamba
Allah. Setiap orang berhak merayakan datangnya hari pergantian umur dengan caranya
masing-masing.

Bagi saya, yang dilahirkan pada hari Selasa Wage tanggal 22 November (sama persis seperti
hari ini =p ), tepatnya 23 tahun yang lalu, hari ini merupakan pertanda bahwa tahun-tahun
menjelang kembali keharibaan Ilahi menjadi semakin dekat. Ucapan selamat dari keluarga
tercinta, kakak-adik, keponakan, teman, sahabat dan semua orang-orang terdekat, merupakan
anugerah tersendiri. Syukur alhamdulillah dan terima kasih atas doa-doa yang diberikan,
mudah-mudahan Allah Yang Maha Baik mengijabah doa-doa yang dipanjatkan untuk saya
dengan tulus.

Banyak hal yang masih harus diperbaiki, tingkah laku dan perbuatan, terutama ketaqwaan
kepada Sang Khaliq yang telah memberikan waktu kepada saya untuk dapat menghirup udara
dengan bebas setiap waktu serta dapat menikmati kehidupan duniawi yang telah diberikan
oleh Sang Pencipta yang tiada tara banyaknya. Fabiayyialaairobbikumatukadziban, maka
nikmat Allah yang manakah yang engkau dustakan?

Sekali lagi terima kasih kepada semuanya, mudah-mudahan disisa umur yang masih ada, saya
masih bisa memberikan manfaat kepada orang-orang tercinta yang berada disekeliling saya.
Amien…. ya Rabbal alamin…

Nah, lalu bagaimanakah Islam memandang perkara ulang tahun ini? Mari simak penjelasan
berikut.. yuuukk.
1. Sejarah Perayaan Ulang Tahun
Ulang tahun atau Milad (dalam bahasa arab) pertama kali dimulai di Eropa. Dimulai dengan
ketakutan akan adanya roh jahat yang akan datang pada saat seseorang berulang tahun, untuk
menjaganya dari hal-hal yang jahat, teman-teman dan keluarga diundang datang saat sesorang
berulang tahun untuk memberikan do’a serta pengharapan yang baik bagi yang berulang
tahun. Memberikan kado juga dipercaya dapat memberikan rasa gembira bagi orang yang
berulang tahun sehingga dapat mengusir roh-roh jahat tersebut.
Merayakan ulang tahun merupakan sejarah lama. Orang-orang jaman dahulu tidak
mengetahui dengan pasti hari kelahiran mereka, karena waktu itu mereka menggunakan tanda
waktu dari pergantian bulan dan musim. Sejalan dengan peradaban manusia, diciptakanlah
kalender. Kalender memudahkan manusia untuk mengingat dan merayakan hal-hal penting
setiap tahunnya, dan ulang tahun merupakan salah satunya.
Banyak simbol-simbol yang diasosiasikan atau berhubungan dengan ulang tahun sejak
ratusan tahun lalu. Ada sedikit penjelasan mengapa perayaan ulang tahun harus menggunakan
kue. Salah satu cerita mengatakan, karena waktu dulu bangsa Yunani menggunakan kue
untuk persembahan ke kuil dewi bulan, Artemis. Mereka menggunakan kue berbentuk bulat
yang merepresentasikan bulan purnama. Cerita lainnya tentang kue ulang tahun yang bermula
di Jerman yang disebut sebagai “Geburtstagorten” adalah salah satu tipe kue ulang tahun
yang biasa digunakan saat ulang tahun. Kue ini adalah kue dengan beberapa layer yang
rasanya lebih manis dari kue berbahan roti.
Simbol lain yang selalu menyertai kue ulang tahun adalah penggunaan lilin ulang tahun di
atas kue. Orang Yunani yang mempersembahkan kue mereka ke dewi Artemis juga
meletakan lilin-lilin di atasnya karena membuat kue tersebut terlihat terang menyala sepeti
bulan (gibbons, 1986). Orang Jerman terkenal sebagai orang yang ahli membuat lilin dan
juga mulai membuat lilin-lilin kecil untuk kue mereka. Beberapa orang mengatakan bahwa
lilin diletakan dengan alasan keagamaan/religi. Beberapa orang jerman meletakan lilin besar
di tengah-tengah kue mereka untuk menandakan “Terangnya Kehidupan” (Corwin,1986).
Yang lainnya percaya bahwa asap dari lilin tersebut akan membawa pengharapan mereka ke
surga.
Saat ini banyak orang hanya mengucapkan pengharapan di dalam hati sambil meniup lilin.
Mereka percaya bahwa meniup semua lilin yang ada dalam satu hembusan akan membawa
nasib baik. Pesta ulang tahun biasanya diadakan supaya orang yang berulang tahun dapat
meniup lilinnya.
Ada juga mitos yang mengatakan bahwa ketika kita memakan kata-kata yang ada di atas kue,
kata-kata tersebut akan menjadi kenyataan. Jadi dengan memakan “Happy Birthday” akan
membawa kebahagiaan.
Pada pesta ulang tahun pertama kalinya, pesta diadakan karena orang menduga akan adanya
roh jahat yang mengganggu mereka. Jadi mereka mengundang teman dan kerabat untuk
menghadiri pesta ulang tahun mereka sehingga roh-roh jahat tidak jadi mengganggu yang
berulang tahun. Dalam pesta-pesta selanjutnya banyak dari keluarga dan teman yang
membawa kado atau bunga untuk yang berulang tahun.
Saat ini kebanyakan pesta ulang tahun diadakan untuk bersenang-senang. Jika orang yang di
undang tidak bisa menghadiri pesta ulang tahun, biasanya mereka akan mengirimkan kartu
ucapan selamat ulang tahun. Tradisi mengirimkan kartu ucapan dimulai di Inggris sekitar 100
tahun yang lalu (Motomora, 1989). Pada awal mulanya hanya raja saja yang dirayakan ulang
tahunnya (mungkin disinilah awal mulanya tradisi topi ulang tahun bermula). Seiring waktu
berlalu, anak-anak juga di ikutsertakan dalam pesta ulang tahun. Pesta ulang tahun untuk
anak-anak pertama kali terjadi di Jerman dan dinamakan “kinderfeste”. Tetapi saat ini, pesta
ulang tahun bisa diadakan oleh siapa saja, terutama yang punya uang…
Nah kira-kira begitulah sejarahnya perayaan ulang tahun untuk pertama kalinya, percaya gak
percaya, tapi tetap aja enggak ada salahnyakan mengucapkan do’a di hari ulang tahun kita.
Perlukah Umat Islam Merayakan Ulang Tahun
Pembahasan boleh tidaknya masalah ulang tahun seseorang atau organisasi memang tidak
disinggung secara langsung dalam dalil-dalil syar‘i. Tidak ada ayat Al-Quran atau hadits
Nabawi yang memerintahkan kita untuk merayakan ulang tahun, sebagaimana sebaliknya,
juga tidak pernah ada larangan yang bersifat langsung untuk melarangnya. Sehingga
umumnya masalah ini merupakan hasil ijtihad yang sangat erat kaitannya dengan kondisi
yang ada pada suatu tempat dan waktu. Artinya, bisa saja para ulama untuk suatu masa dan
wilayah tertentu memandang bahwa bentuk perayaan ini lebih banyak mudharat dari
manfaatnya. Namun sebalik, bisa saja pendapat ulama lainnya tidak demkian, bahkan
mungkin ada hal-hal positif yang bisa diambil dengan meminimalisir dapak negatifnya.
Mengapa demikian? Karena memang tidak didapat nash yang secara sharih melarang atau
membolehkannya. Tidak terdapat dalam sunnah apalagi dalam Al-Quran. Sehingga dalam
satu majelis yang di dalamnya duduk para ulama, perbedaan sudut pandang pun bisa saja
terjadi, tergantung dari sudut pandang mana seorang melihatnya.
1. Pendapat yang Mengharamkan
Sebagian ulama yang berfatwa mengharamkan perayaan ulang tahun, berijtihad dari dalil-
dalil yang bersifat umum. Misalnya, dalil-dalil yang melarang umat Islam meniru-niru
perbuatan orang-orang kafir.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ‫من تشبه بقوم فهو منهم‬
Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka termasuk mereka (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Kiranya para ulama itu memandang bahwa perayaan ulang tahun itu identik dengan perilaku
orang-orang kafir. Sehingga mereka mengharamkan umat Islam untuk merayakannya secara
ikut-ikutan.Selain itu, oleh sebagian ulama, seringkali acara ulang tahun disertai dengan
banyak kemaksiatan. Seperti minuman keras, pesta musik, joget, dansa, campur baur laki-laki
dan wanita. Bahkan banyak yang sampai meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya.
Seringkali juga pesta-pesta itu sampai melupakan niat utama, tergantikan dengan semangat
ingin pamer dan menonjolkan kekayaan. Sehingga menimbulkan sifat riya’ dan sum’ah pada
penyelenggaranya.
2. Yang Cenderung Membolehkan
Adapun sebagian lainnya dari para ulama, mereka cenderung membolehkan ulang tahun.
Dengan landasan dasar bahwa ulang tahun bukanlah ibadah ritual. Sehingga selama tidak ada
larangannya yang secara langsung disebutkan di dalam nash Quran atau sunnah, hukum
asalnya adalah boleh. Sesuai dengan kaidah “al-ashlu fil asy-yaa’i al-ibahah.” Bahwa kaidah
dasar dari masalah muamalah adalah kebolehan, selama tidak ada nash yang secara tegas
melarangnya.
Adapun alasan peniruan orang kafir, dijawab dengan argumen bahwa tidak semua yang
dilakukan oleh orang kafir haram dikerjakan. Hanya yang terkait dengan peribadatan saja
yang haram, adapun yang terkait dengan muamalah, selama tidak ada nash yang langsung
melarangnya, hukumnya tidak apa-apa bila kebetulan terjadi kesamaan. Misalnya, kebiasaan
pesta pasca panen di suatu negeri yang masih kafir. Apakah bila ada kebiasaan yang sama di
suatu negeri muslim, dianggap sebagai bentuk peniruan? Tentu tidak, sebab hal itu dipandang
sebagai ‘urf yang lazim, tidak ada kaitannya dengan wilayah kekufuran atau kebatilan. Para
ulama dari kelompok ini cenderung menetapkan ‘illat haramnya peniruan pada orang kafir
berdasarkan titik keharamannya. Bukan semata-mata dilakukan oleh mereka. Misalnya,
kebiasaan orang kafir memberikan sesaji kepada gunung yang mau meletus, maka hukumnya
haram bagi muslimin untuk melakukannya. Adapun bila ada nash secara langsung dari
Rasulullah SAW untuk tidak meniru suatu perbuatan tertentu, maka wajib bagi tiap muslim
untuk mengikuti perintah beliau. Misalnya, larangan Rasulullah SAW bagi umat Islam untuk
mencukur jenggot dan memelihara kumis, sebab dianggap menyerupai orang kafir. Maka
larangan itu tetap berlaku, meski pun orang kafir sendiri telah merubah kebiasaannya.
Beberapa Pertimbangan
Bila kita ingin meletakkan hukum merayakan ulang tahun, kita harus membahas dari tujuan
dan manfaat yang akan didapat. Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu
yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang? Atau sekedar ikut-ikutan
tradisi? Adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu dan amal? Atau menambah manfaat baik
pribadi, sosial atau lainnya? Pertimbangan lain adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu
maksiat dan dosa yang dilanggar?
Bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjadi tradisi, apakah tidak
akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini harus
dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringatan hari besar Islam baik itu
kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya. Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang
menganggap perayaan ulang tahun adalah sesuatu yang harus terlaksana. Bila memang
demikian, bukankah kita telah kehilangan makna?
Sumber: Ahmad Sarwat, Lc.
Dari www.eramuslim.com

Anda mungkin juga menyukai