Anda di halaman 1dari 29

Nama : Sukmawati

Nim : 7220420077

LAPORAN PENDAHULUAN SLE

A. Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada jaringan
penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih
sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala
SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal
siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan
( Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu penyakit
autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ tubuhnya
sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak
bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung (Glade,1999).
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan nyeri
sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk kupu-kupu
khas dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap IgG dan
imunokompleks,yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan
mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan
rematik,SLE juga merupakan penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan terutama
timbul pada prempuan. Sebabnya tidak diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida
atau secara alternative dengan sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin 100mg + vitamin
E 10mg) 2 dd 1 kapsul (tan&kirana,2007)
Suatu peradangan kronis jaringan ikat mengenai sendi,ginjal,selaput serosa permukaan
dan dinding pembuluh darah yang belum jelas penyebabnya. Peradangan kronis ini mengenai
prempuan muda dan anak-anak 90% penderita [penyakit SLE adalah prempuan.
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik,seperti siklofosfamida.
Konseling prakehamilan dapat membantu menemukan terapi yang aman digunakan baik pada
kehamilan maupun menyusui.

B. Etiologi
Antibody anti RO dan anti LA dapat menyebabkan sindrom lupus neonates
dengan melinitasi plaseta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit atau blok
jatung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 20-30% pada pasien SLE mempunyai kerabatdekat yang menderita
SLE. Penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haptolip
MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase
awal reaksi peningkatan komplomen yaitu : Crg, Cir, Cis, C3, C4 dan C2 serta gen-gen yang
mengode reseptor drl T, immunoglobulin dan sitokin (Albar 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun
didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi
oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menyadi lambat, obat banyak terakumulas ditubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing tersebut (Herfindal et al,2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam aino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente 2002). Selain intu infeksi virus dan bakteri
juga menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit yang
akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al,2000).
Observasi klinis menunjukan pernan hormone seks steroid sebagai penyebab SLE.
Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita usia produktif,peningkatan
aktivitas SLE selama kehamilan, dan resiko yang sedikit lebih tinggi padaa wanita
pascamenoupause yang menggunakan suplementasi estrogen. Walapun hormone seks steroid
dipercaya sebagai penyebab SLE,namun studi yang dilakukan oleh petri dkk menunjukan
bahwa pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penfderita SLE yang penyakitnya stabil.

C. Patofisiologi

Faktor Genetik Faktor Imunologi Faktor Hormonal Faktor Lingkungan

SLE

(Systemic Lupus Evythomatasus)

Gejala & gambaran menurut ACR

(American Collage Of Rheumatology 1997)

Sistemik Kulit Oral Laboratorium

 Arthritis  Butterfly  Xerostomin  Gangguan


 Serositis rash  Lesi Ulserasi darah
 Ganggua  Discoid  Lesi Diskoid  Gangguan
n ginjal rash  Lesi Mirip imun
 Ganggua  Fotosensi lichen  Antibody
n saraf tivitas plamus antinuklir
 kandidiasis (ANA)
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan faktor
pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun didalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan silokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun sitokin
didalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena
adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam tubuh yang
disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang membentuk kompleks imun
tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetika, hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang
biasannya terjadi selama usia prodiktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfa-alfa turut terlihat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

D. Manifestasi
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu waktu
maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,perjalanan
penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang sehingga
parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisystem dari manifestasi
kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang dengan gejala
kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara terhadap atau tiba-tiba. Pada
sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan remisi
klinik sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,pasien mengalami episode aktif SLE
singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE dapat
menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada pasien dengan
SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan
tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun penyebab infeksius
tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi. Penurunan berat
badan dapat timbul awal penyakit,dimana peningkatan berat badan, khusus pada pasien
yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada tahap
selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum dan
seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini
belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan, gangguan
neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala
konstitusional. Pada kasus ini dijumpai gejala demam namun gejala ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan berat badan juga ditemukan pada pasien.
Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala
yang paling umum yang memperberat penyakit,gejala ini turut ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang telah
ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exaggerated sunburn),
atau gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah terpajan sinar matahari atau sumber
cahaya buatan. Zfotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua
kelompok ras dan etnis, walapun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi
umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi
dan persambungan hidung yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar
rash atau butterfly ras. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat
meningkat dan sangat meradang, bertahan selams berminggu-minggu atau berbulan-
bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan adherent scale dan
telangiektasis umumnya terdapat diwajah,leher dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam
bentuk eritema inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pacaran sinar ultraviolet. Lesi lupus
subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit yang terpapar sinar matahari dalam
waktu lama (lengan depan, daerah V dileher ) tanpa pacaran sinar matahari dalam waktu
dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo riticularis, eritema periungual, eritema palmaris,
nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria akut atau kronik, panniculitis,
purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul akibatlesi pada kulit
kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat reversible, kecuali
jika terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus
dibedakab dari infers virus maupun jamur. Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat
disebabkan oleh inflamasi autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin
tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Umumnya mata dan mulut kering merupakan
efek samping pengobatan. Pada kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai
dengan teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan
pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu
(malar rash atau butterfly rash) pada bagian pipi dan hidung pasien. Alopesia juga
ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang sering rontok waktu menyikat
rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas jaccoud
yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan tidak terbukti secara
radiologis menyebabkan desttruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya
merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaris, namun myositis dengan
peningkatan enzim otot jarang ditemukan dan biasannya merupakan gejala yang tumpah
tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat merupakan
komplikasi terapi glukokortikoid. Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat disebabkan
oleh penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput
femoralis, kaput hormonal, lempemg tibia dan talus. Artralgia dan myalgia merupakan
gejala lain yang sering ditemukan, dapat disebabakanoleh penyakit, efek samping
pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome, endokrinopati dan faktor psikogenik.
Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada kedua tangan
yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini sesuai dengan manifetasi
muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non deforming
arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan terkadang
dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau dalam kasus kronik
penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau hemodinamik konstriktif jarang
ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun
harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan ECG
minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan
kardiomiopati dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri. Endokarditid trombotik nonifeksi
(Libman-sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala, namun dapat
menimbulkan disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embilisasi. Arterisklerosis
premature dengan angina pektrois dan infark miokardium merupakan sumber mortalitas
dan morbilitas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi
glukokortikoid kronik,menopause premature, serta faktor diet dan gaya hidup dapat
menyebabkan arterosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang diindikasi dingin
pada jari.sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel ditangan dan kaki
sering tumpang tindih dengan scleroderma. Gambaran patologis yang sama pada sirkulasi
paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali
fatal. Sebagian besar cedera vascular trombotik pada pasien SLE dimediasi oleh antibody
antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat menyebabkan
thrombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran pembuluh darah. Keadaan
hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor V Leiden dan
antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombisis, namun defisiensi faktor-faktor
ini lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan
bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin
hanya berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru pneumonitis atau
alveolitis dan dibuktikan dengan batuk, hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi
namun dapat membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa
pneumonitis akut dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus
kronik dengan perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan
perjalanan yang progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat
diakibatkan oleh perubahan pleuritik jangka panjang, miopati atau fibrosis otot
pernapasan, termasuk diafragma dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru
rekuren disebabkan oleh antibody antifosfilipid harus disingkirkan pada pasien dengan
gejala paru yang tidak dapat dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan patologis
dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala
sampai glumerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal ginjal.
Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia,
edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan
hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin dan
penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan
uremia. Pada kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena
ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria
25,00mg/dL dan leucocyte pada urin 25,00 leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang merujuk
pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi
obyektif seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia,
stroke dan myelitis tramsversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh
temuan abnormal pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein,
pleiositosi, dan /atau autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau MRI, dapat ditemukan
lesi inflamasi pada substansia alba dan grisea atau bahkan pada biopsy leptomeningeal
dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatis lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor
yaitu psikosis. Pada kasus ini cairan serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil
normal dan diagnosis banding dari penysakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat
sangat sulit untuk ditentukan. Masalah ini adalah gangguan kognitif dan kepribadian
ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan intesitas yang beragam. Sakit kepala lupus
yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsive terhadap glikokortikoid
merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat
menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark pada pasien ini disuspek
lupus serbri karena penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas untuk pasien
SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi abdomen yang
serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan
atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus
jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang pankreatitis
dapat merupakam gejala penyakit atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim
hati terkafdang dihubungkan dengan hepatiris noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat
dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui gambar histologis. Peningkatan enzim hati
juga dapat disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin atau metotreksat dan
penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapst menyebablkan perlemakan hati
dengan peningkatan transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh
hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin rendah dan kadar laktat
dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup
penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus.
Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask cukupan asupan
makanan. Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar
kritis. Studi oleh Ng dkk menghungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya
infeksi pada pasien SLE. Leukositosis dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid.
Trombisitopenia ringan (100000-150000/πL) dapat disebabkan oleh antibody
antifosfolipid. Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50000/πL), disebabkan oleh
antibody antiplatelet dapat mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkindidiagnosis
sebagai purpura trombositopenik idiopatik. Pada kasus ini ditemukan kelainan atau
manifestasi hematologi sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE.
Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit
aktif. Mata kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Kebutaan
singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena
retina.

E. Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America rheumatism
association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun 1982 merevisi kreteria untuk
klasifikasi SLE.
Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11 kriteria
berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria diagnosis
SLE. A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal), ANA serositis,
Hematologi disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut) immunological
disorder,neurologic disorder, Malar rash,Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.

F. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan penyakit akut,
meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan dan mencegah komplikasi
dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid untuk
meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral tinggil
tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius

G. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan berbagai
manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan
neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE
ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa
autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi
antibody ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang
kurang spesifik adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran
bermanfaat untuk menilai ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody
antifosfolipidpenting untuk diukur karena meningkatkan resiko pada kehamilan.
Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat
sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering kali disalah artikan dengan pre-eklamsia,
tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen
membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko keguguran.
Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif dengan titer
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody) berhubungan
dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri, vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus meliputi darah
lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analyses
urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.

H. Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-sel tetapi
hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap) pada
akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu mengalami dialysis atau
pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling sering
ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bias terjadi pada
bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa,
sindroma otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang
bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan darah
didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun miokarditis.
Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut timbul nyeri dada
dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita
arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jaringan tangan,
pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering
merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal hidung. Ruam
ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

I. Pengkajian
1.   Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun
penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakityang sama atau
penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi systolic click
(ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup pericardium yang
menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang
menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi pasien.
Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan, turgor kulit,
nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa

J. Diagnosa
1. Nyeri kronis berhubungan dengan gangguan imunitas (D. 0078)
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ( D.0130)
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan ( D. 0019)
4. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis ( D. 0057)
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh (D.0083)

K. Perencanaan / Intervensi
Diagnosa keperawatan (SDKI) SLKI Intervensi ( SIKI)
1. Nyeri kronis Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri ( I.08238)
berhubungan dengan keperawatan 1x8 jam 1.1 identifikasi skala nyeri
gangguan imunitas tingkat nyeri menurun (L. 1.2 identifikasi respon
(D. 0078) 08066) dengan KH : nyeri non verbal
- Keluhan nyeri 1.3 berikan teknik non
menurun farmakologis unuk
- Meringis menurun mengurangi nyeri
- Kesulitan tidur 1.4 kontrol lingkungan
menurun yang memperberat
nyeri
1.5 fasilitasi istirahat tidur
1.6 kolaborasi pemberian

2. Hipertermia analgetik
Setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan keperawatan 1x8 jam Manajemen hipertermi ( I. 15506)
proses penyakit termoregulasi membaik ( l. 2.1 monitor suhu tubuh
( D.0130) 14134) dengan kriteria 2.2 monitor haluaran urine
hasil : 2.3 longgarkan pakaian
- Suhu tubuh 2.4 berikan cairan oral
membaik Berikan oksigen, jika perlu
- Suhu kulit 2.5 kolaborasi pemberian cairan
membaik intravena
- Tekanan darah
membaik

3. Defisit nutrisi
Setelah dilakukan tindakan
berhubungan dengan
keperawatan 1x24 jam Manajemen nutrisi ( I. 03119)
kurangnya asupan
status nutrisi membaik ( L. 3.1 identifikasi status
makanan ( D. 0019)
03030) dengan KH: nutrisi

- Porsi makan yang 3.2 identifikasi makanan

dihabiskan yang disukai

meningkat 3.3 monitor asupan

- Perasaan cepat makanan

kenyang menurun 3.4 monitor hasil

- Sariawan menurun pemeriksaan


laboratorium
3.5 lakukan oral hygiene
sebelum makan
3.6 kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan
DAFTAR PUSTAKA

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for Nurse
Practitioner. USA : Saunders

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk


Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern


strategies for management – a moving target. Best Practice & Research
Clinical Rheumatology Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007
doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan
II. JakartaSelatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan II.
JakartaSelatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan II.
JakartaSelatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY. S DENGAN SLE

DI RSUD PANGLIMA SEBAYA

Kasus

Seorang prempuan bernama Ny.S usia 35 tahun datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak
nyaman dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya kecil namun setelah satu
minggu ukuran tersebut bertambah lebar, demam, nyeri dan terasa kaku seluruh persendian
terutama pagi hari dan kurang nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik diperolah ruam pada pipi
dengan batas tegas, peradangan pada siku, lesi pada daerah leher, malaise. Pasien mengatakan
terdapat sariawan pada mukosa mulut. Pasien ketika bertemu dengan orang lain selalu
menunduk dan menutupi wajahnya dengan masker. Tekanan darah 110/80mmHg, RR 20x/mnt,
Nadi 90x/mnt Suhu 38,5 ºC, Hb 11 gr/dl, WBC 15.000/mm
A. IDENTITAS KLIEN
Nama : Ny. S

Umur : 35 thn

Jenis kelamin : Prempuan

Alamat : Jl. Modang No.31

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Tanggal masuk RS : 26-04-2021

Tanggal pengkajian : 27-04-2021

DX Medis : SLE
B. IDENTITAS PENANGGUNG JAWAB
Nama : Tn. D

Umur : 36 thn

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Modang No.31

Pendidikan : S 1 tehnik mesin

Pekerjaan : Karyawan swasta

C. PENGKAJIAN
1. Keluhan utama : 
Pasien menggeluh nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan, saat beraktivitas
pasien merasa mudah lelah, pasien merasa demam. Pipi dan leher memerah serta
nyeri pada bagian yang memerah

2. Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman dengan kulit memerah
pada daerah pipi dan leher, awalnya lebarnya kecil namun setelah satu minggu
lebarnya bertambah besar, demam, nyeri dan terasa kaku seluruh persendian
utamanya pada pagi hari dan berkurang nafsu makan karena sariawan.

3. Riwayat Penyakit dahulu :


Tidak ada

4. Riwayat penyakit keluarga : 


Tidak ada

5. Riwayat pekerjaan/ kebiasaan :


Pasien seorang ibu rumah tangga
6. Riwayat Alergi :
Tidak ada

7. Pengkajian :
a. Sistem Pernapasan
 RR 20x/mnt
 Napas dalam terlihat seperti menahan nyeri
b. Sistem Kardiovaskuler
 TD 110/80 mmHg
 Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler,eritematous dan purpur di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut
nekrosis.
c. Sistem Persyarafan
Tidak ada

d. Sistem Perkemihan
Tidak ada

e. Sistem Pencernaann
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum

f. Sistem Muskuloskeletal
 Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada pagi hari
 Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi
g. Sistim Endokrin
Tidak ada

h. Sistim sensori persepsi


Tidak ada
i. Sistim integument
SH: 38,5C, demam (+)

j. Sistim imun dan hematologi


 Tes fluorensi untuk menetukan antinuelear antibody (ANA), positif
dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
 Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk menentukan SLE
 Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
 Tes sifilis bisa positif palsu pada pemeriksaan SLE
 Pemeriksaan zat antifosfolipid (seperti antikardiolipin antibody)
berhubungan untuk menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri
atau pembuluh vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam
kandungan dan trombositopeni
 HB 11gr/dl
 WBC 15.000/mm

k. Sistim Reproduksi
Tidak ada masalah disistem reproduksi

8. Pengkajian Fungsional

1. Oksigenasi
RR:20x/mnt
2. Cairan dan Elektrolit
terpasang infus RL 20tpm
3. Nutrisi
Mual (-), muntah (-)
4. Aman dan Nyaman
Kulit memerah pada daerah pipi dan leher
5. Eliminasi
BAK (-), BAB (-)
6. Aktivitas dan Istirahat
Kurang
7. Psikososial
Dapat mengalami ketidak percayaan diri akibat dari penyakitnya

8. Komunikasi
Terganggu karena sariawan pada mukosa mulut
9. Seksual
Tidak ada perubahan
10. Nilai dan Keyakinan
Tidak ada pantangan yang berhubungan dengan nilai dengan keyakinan pasien
11. Belajar
Tidak ada kelainan

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Hasil Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi

01-01- Hb 17,3 gr% 13-16 gr%


2019 WBC 5.000-
15.000/mm
10.000/mm

10. Progam Terapi


Terapi medis tgl 01-01-2019 :

 Injeksi Stabixin 2x1gram


 Injeksi medixon 2x 125 mg
 Omeprazol 2x1 ampul
 Vitamin C 2x1 ampul
D. ANALISA DATA

Hari/Tgl/Jam Data Fokus Etiologi Problem

selasa/27-04- Ds : Nyeri pada sendi dan Genetic, lingkungan, Nyeri


bagian
21/08.00 hormonal, obat
yang mengalami tertentu
kemerahan

Do : pasien terlihat menahan Produksi autoimun
nyeri berlebihan
TD 110/80mmHg, RR ↓
Autoimun menyerang
20x/mnt, S 38,5C, N
90x.mnt organ tubuh

SLE

Kerusakan jaringan

Nyeri kronis

Ds : Pasien mengeluhkan Genetic, lingkungan, hipertermi


demam hormone, obat tertentu

Do : TD 110/80 mmHg
Produkasi autoimun
RR 20x/mnt
berlebih
S 38,5 C ↓

N 90x/mnt Autoimun menyerang


orang tubuh

Terjadi reaksi
inflamasi

hipertermi

Ds : Nyeri pada sendi dan Genetic,


Keletihan
bagian lingkungan,hormone,
yang mengalami obat tertentu
kemerahan, ↓

pasien mengeluh mudah Produksi autoimun


lelah berlebih

ketika beraktivitas.
Autoimun menyerang
orang tubuh
Do : Pasien terlihat ↓
menahan nyeri SLE
TD 110/80mmHg, RR ↓
Menyerang darah
20x/mnt, S 38,5C, N
90x/mnt, SPO2 96% ↓
HB menurun

Suplai oksigen
menurun

ATP menurun

Keletihan
DS : pasien mengatakan
malu terhadap kemerahan Genetik, lingkungan, Gangguan citra
pada pipi dan leher tubuh
hormone
DO : pasien menunduk saat ↓
masuk IGD SLE

Menyerang kulit

Gangguan citra tubuh

Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan imunitas (D. 0078)
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ( D.0130)
3. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis ( D. 0057)
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh (D.0083)

Diagnosa keperawatan (SDKI) SLKI Intervensi ( SIKI)


1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri ( I.08238)
berhubungan keperawatan 1x8 jam 1.1 identifikasi skala nyeri
dengan gangguan tingkat nyeri menurun (L. 1.2 identifikasi respon
imunitas (D. 0078) 08066) dengan KH : nyeri non verbal
- Keluhan nyeri 1.3 berikan teknik non
menurun farmakologis unuk
- Meringis menurun mengurangi nyeri
- Kesulitan tidur 1.4 kontrol lingkungan
menurun yang memperberat
nyeri
1.5 fasilitasi istirahat tidur
1.6 kolaborasi pemberian
analgetik
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermi ( I. 15506)
berhubungan dengan keperawatan 1x8 jam 2.1 monitor suhu tubuh
proses penyakit termoregulasi membaik ( l. 2.2 monitor haluaran urine
( D.0130) 14134) dengan kriteria 2.3 longgarkan pakaian
hasil : 2.4 berikan cairan oral
- Suhu tubuh 2.5 Berikan oksigen, jika perlu
membaik 2.6 kolaborasi pemberian cairan
- Suhu kulit intravena
membaik
- Tekanan darah
membaik
Menejemen energi (I. 05178)
3. Keletihan berhubungan
Setelah dilakukan tindakan 3.1 monitor kelelahan
dengan kondisi
keperawatan 1x24 jam fisik dan emosional
fisiologis ( D. 0057)
tingkat keletihan menurun 3.2 sediakan lingkungan
( L. 05046) dengan KH: yang nyaman
- Kemampuan 3.3 anjurkan melakukan
melakukan aktivitas secara
aktivitas rutin bertahap
meningkat 3.4 kolaborasi dengan
- Verbalisasi lelah ahli gizi tentang cara
menurun meningkatkan asupan
- lesu menurun makanan

4. Gangguan citra tubuh


berhubungan dengan setelah dilakukan tindakan Promosi citra tubuh ( I. 09305)
perubahan bentuk tubuh keperawatan 1 x24 jam 4.1 identifikasi perubahan citra
(D.0083) citra tubuh meningkat tubuh
( L.09067 ) dengan KH : 4.2 diskusikan perubahan citra
- verballisasi tubuh
perasaan negative 4.3 diskusikan kondisi stress yang
menurun mempengaruhi citra tubuh
- verbalisasi 4.4 jelaskan kepada keluarga
menurun tentang perawatan perubahan
- melibat bagian citra tubuh
tubuh membaik 4.5 anjurkan penggunaan alat
bantu

implementasi
Tgl / jam Tindakan keperawatan evaluasi paraf
27/4/21 1.1 menilai skala nyeri - pasien mengatakan nyeri
08.00 pada sendi,rasa tertusuk
tusuk, nyeri terus menerus
dengan skala nyeri 7
0805 1.2 mengidentifikasi respon verbal dan non - pasien menunjukkan
verbal terhadap nyeri lokasi nyeri pada sendi
yang kemerahan
08.10 2.1 mengukur suhu tubuh
- suhu 38 c
08.12 2.5 memberikan kompres hangat
- keluarga membantu
untuk mengompres pasien
08.15 3.1 menanyakan pada pasien aktifitas yang
- pasien mengatakan
dapat ia lakukan
masih merasa lemas, dan
aktifitas dibantu oleh
keluarga
08.16 2,6 mempertahankan cairan intra vena
- ivfd RL 20tpm
10.00 4.4 menjelaskan kepada pasien dan keluarga
- pasien dan keluarga
mengenai perubahan yg terjadi pada tubuh mengerti penjelasan
pasien perawat
11.30 3.5 memberikan diet tktp pada pasien - pasien makan 5sendok
makan
11.36 3.4 menganjurkan pasien untuk melakukan - aktivitas dibantu
aktifitas bertahap keluarga

Evaluasi
Tgl/jam Evaluasi paraf
27-04-21 S : pasien mengatakan nyeri, P :terutama bila beraktifvitas, Q : terasa
12.00 tertusuk tusuk, R : sendi sendi, S : skala nyeri 6, T; terus menerus
DX I O; pasien ekspresi meringis
Pasien memegang sendi lutut S
Td : 110/70mmHg. N : 86 x/i
A: nyeri akut belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
Manajemen nyeri S
DX II

S : pasien mengatakan demam berkurang


O: kulit teraba hangat
T: 37,5 C, TD : 110/70mmHg, rr 20 x/i, n 86 x/i
A: Hipertermi belum teratasi S
DX III P : Lanjutkan intervensi
Manajemen hipertermi

S : Pasien mengatakan merasa lelah S


O: pasien bedrest di tempat tidur
DX IV Aktivitas dibantu keluarga
TD 110/70mmHg, N 86 x/I, rr 20x/I, spo2 96%
A: keletihan belum teratasi
P ; lanjutkan intervensi, manajemen energi

S: pasien mengatakan malu terhadap kemerahan pada pipi dan leher


O : pasien memegang daerah wajah
Pasien
Pasien menunduk saat berbicara
A : Gangguan citra tubuh belum teratasi
P : lanjutkan intervensi, promosi citra tubuh

Anda mungkin juga menyukai