Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatdaruratan dapat juga didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala
berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera
guna menyelamatkan jiwa/nyawa (Campbell, 2000).
Penyebab Angka Kematian Ibu sangat kompleks namun penyebab langsung seperti
perdarahan, infeksi dan komplikasi aborsi, harus segera ditangani oleh tenaga kesehatan.
Sebenarnya sebagian besar kematian ibu bisa dicegah jika para ibu ini memperoleh
pertolongan dari tenaga kesehatan yang kompeten yang didukung fasilitas kesehatan.
Penyebab utama kematian ibu melahirkan seperti yang disebutkan diatas sebenarnya bisa
dicegah, apabila seorang ibu hamil tidak mengalami 3 terlambat dan 4 terlalu.
Penyebab kematian yang paling cepat pada neonatus adalah asfiksia. Asfiksia
perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting. Akibat jangka
panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki secara bermakna jika gangguan ini diketahui
sebelum kelahiran (mis; pada keadaan gawat janin) sehingga dapat diusahakan memperbaiki
sirkulasi/oksigenasi janin intrauterine atau segera melahirkan janin untuk mempersingkat
masa hipoksemia janin yang terjadi.
Dari berbagai faktor yang berperan pada kematian ibu dan bayi, kemampuan kinerja
petugas kesehatan berdampak langsung pada peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal terutama kemampuan dalam mengatasi masalah yang bersifat
kegawatdaruratan. Semua penyulit kehamilan atau komplikasi yang terjadi dapat dihindari
apabila kehamilan dan persalinan direncanakan, diasuh dan dikelola secara benar. Untuk
dapat memberikan asuhan kehamilan dan persalinan yang cepat tepat dan benar diperlukan
tenaga kesehatan yang terampil dan profesional dalam menanganan kondisi
kegawatdaruratan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kegawatdaruratan?
2. Apa sajakah tanda dan gejala kegawatdaruratan?
3. Apa sajakah dan bagaimanakah penyebab kegawatdaruratan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kegawatdaruratan.
2. Untuk mengetahui apa sajakah tanda dan gejala kegawatdaruratan.
3. Untuk mengetahui apa sajakah dan bagaimanakah penyebab kegawatdaruratan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kegawatdaruratan

Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011). Kegawatdaruratan dapat juga
didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan
tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa (Campbell,
2000).

Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa


yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian
banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya
(Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999). Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus
obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini
menjadi penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2002). Masalah
kedaruratan selama kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi kehamilan spesifik atau
penyakit medis atau bedah yang timbul secara bersamaan.

Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan manajemen


yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis (≤ usia 28 hari), serta membutuhkan
pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang
mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).

Penderita atau pasien gawat darurat adalah pasien yang perlu pertolongan tepat, cermat,
dan cepat untuk mencegah kematian/kecacatan. Ukuran keberhasilan dari pertolongan ini adalah
waktu tanggap (respon time) dari penolong. Pengertian lain dari penderita gawat darurat adalah
penderita yang bila tidak ditolong segera akan meninggal atau menjadi cacat, sehingga
diperlukan tindakan diagnosis dan penanggulangan segera. Karena waktu yang terbatas tersebut,

3
tindakan pertolongan harus dilakukan secara sistematis dengan menempatkan prioritas dan
fungsi vital sesuai dengan urutan ABC, yaitu :

A (Air Way) : yaitu membersihkan jalan nafas dan menjamin nafas bebas hambatan.

B (Breathing) : yaitu menjamin ventilasi lancer.

C (Circulation) : yaitu melakukan pemantauan peredaran darah.

Cara mencegah kegawatdaruratan

Cara mencegah kegawatdaruratan adalah dengan melakukan perencanaan yang baik,


mengikuti panduan yang baik dan melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap
ibu/klien.

Peran bidan pada kegawatdaruratan kebidanan

Bidan mempunyai peranan penting dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu
melalui kemampuannya untuk melakukan pengawasan, pertolongan pada ibu, pengawasan bayi
baru lahir (neonatus) dan pada persalinan, ibu post partum serta mampu mengidentifikasi
penyimpangan dari kehamilan dan persalinan normal dan melakukan penanganan yang tepat
termasuk merujuk ke fasilitas pelayanan yang tepat. Pengenalan dan penanganan kasus kasus
yang gawat seharusnya mendapat prioritas utama dalam usaha menurunkan angka kesakitan
lebih lebih lagi angka kematian ibu, walaupun tentu saja pencegahan lebih baik dari pada
pengobatan.

Pengkajian awal kasus kegawatdaruratan kebidanan secara cepat

a. Jalan nafas dan pernafasan


Perhatikan adanya sianosis, gawat nafas, lakukan pemeriksaan pada kulit : adakah pucat,
suara paru : adakah weezhing sirkulasi tanda tanda syok, kaji kulit (dingin), nadi (cepat
>110 kali/menit dan lemah), tekanan daarah (rendah, sistolik < 90 mmHg).
b. Perdarahan pervaginam
Bila ada perdarahan pervaginam, tanyakan : Apakah ibu sedang hamil, usia kehamilan,
riwayat persalinan sebelumnya dan sekarang, bagaimana proses kelahiran placenta, kaji

4
kondisi vulva (jumlah darah yang keluar, placenta tertahan), uterus (adakah atonia uteri),
dan kondisi kandung kemih (apakah penuh).

c. Klien tidak sadar atau kejang


Tanyakan pada keluarga, apakah ibu sedang hamil, usia kehamilan, periksa: tekanan
darah (tinggi diastolic > 90 mmHg, temperature (lebih dari 38oC).
d. Demam yang berbahaya
Tanyakan apakah ibu lemah, lethargie, sering nyeri saat berkemih. Periksa temperature
(lebih dari 39oC), tingkat kesadaran, kaku kuduk, paru paru (pernafasan dangkal),
abdomen (tegang), vulva (keluar cairan purulen), payudara bengkak.
e. Nyeri abdomen
Tanyakan Apakah ibu sedang hamil dan usia kehamilan. Periksa tekanan darah (rendah
sistolik <90 mmHg), nadi (cepat, lebih dari 110 kali/ menit) temperature (lebih dari 38 oC)
uterus (status kehamilan).
f. Perhatikan tanda – tanda berikut :
Keluaran darah, adanya kontraksi uterus, pucat, lemah, pusing, sakit kepala, pandangan
kabur, pecah ketuban, demam dan gawat nafas.

2.2 Tanda dan Gejala Kegawatdaruratan

1. Sianosis sentral
Sianosis adalah warna kebiru-biruan pada kulit dan selaput lendir yang terjadi
akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berkaitan dengan O2).
2. Apnea
Menurut American Academy of Sleep Medicine, penentuan periode apnea
dikategorikan berdasarkan hasil indeks rata-rata jumlah henti nafas dalam 1 jam atau
Apnea Hypopnea Indeks (AHI). Klasifikasi periode dengan kriteria sebagai berikut :
a. Ringan, apabila 5-15 kali/jam.
b. Sedang, apabila 15-30 kali/jam.
c. Berat, apabila >30 kali/jam.
3. Kejang
a. Kejang umum dengan gejala:

5
1) Gerakan wajah dan ekstremitas yang teratur dan berulang.
2) Ekstensi atau fleksi tonik lengan atau tungkai, baik sinkron maupun tidak
sinkron.
3) Perubahan status kesadaran (bayi mungkin tidak sadar atau tetap bangun
tetapi responsif/apatis).
4) Apnea (napas spontan berhenti lebih 20 detik).
b. Kejang subtle dengan gejala :
1) Gerakan mata berkedip berputar dan juling yang berulang.
2) Gerakan mulut dan lidah berulang.
3) Gerakan tungkai tidak terkendali, gerakan seperti mengayuh sepeda.
4) Apnea.
5) Bayi bisa masih tetap sadar.
4. Spasme dengan gejala :
1) Kontraksi otot tidak terkendali paling tidak beberapa detik sampai beberapa
menit.
2) Dipicu oleh sentuhan, suara maupun cahaya.
3) Bayi tetap sadar, sering menangis kesakitan.
4) Trismus (rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka, bibir mencucu seperti mulut
ikan).
5) Opistotonus.
5. Perdarahan
Setiap perdarahan pada neonatus harus segera dirujuk, perdarahan dapat
disebabkan kekurangan faktor pembekuan darah dan faktor fungsi pembekuan darah atau
menurun.
6. Sangat kuning.
7. Berat badan < 1500 gram
2.3 Penyebab Kegawatdaruratan
1. Kegawatdaruratan Maternal
1) Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hail konsepsi sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah usia kehamilan kurang

6
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Berikut ini merupakan
jenis – jenis abortus dan tanda – tandanya :
a. Abortus Imminens
Abaortus imminens adalah keadaan dimana perdarahan berasal
dari intrauterine yang timbul sebelum umur kehamilan lengkap 20
minggu, dengan atau tanpa kolik uterus, tanpa pengeluaran hasil konsepsi.
Dalam kondisi seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau di
pertahankan. Gejalanya ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang,
serviks masih tertutup (karena pada saat pemeriksaan dalam belum ada
pembukaan), uterus sesuai usia gestasi, kram perut bawah nyri memilin
karena kontraksi tidak ada atau sedikit sekali, tidak di temukan kelainan
pada serviks.
b. Abortus Insipiens
Abortus insipiens, abortus yang sedang mengancam yang ditandai
dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan
tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses
pengeluaran. Gejalanya berupa perdarahan sedang hingga massif / banyak,
terkadang keluar gumpalan darah, serviks terbuka, uterus sesuai masa
kehamilan, kram nyeri perut bawah karena kontraksi rahim kuat.
c. Abortus Inkomplit
Abortus dimana sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum
uteri dan masih ada yang tertinggal. Abortus ini di tandai dengan
perdarahan sedang hingga banyak. Setelah terjadi abortus dengan
pengeluaran jaringan perdarahan masih berlangsung terus, serviks terbuka
karena masih ada benda di dalam uterus yang di anggap orpus alliem,
maka uterus akan terus berusaha mengeluarkannya dengan mengadakan
kontraksi tetapi kalau keadaan ini dibiarkan lama, serviks akan menutup
kembali, uterus sesuai masa kehamilan, kram atau nyeri perut bagian
bawah dan terasa mules – mules, ekspulsi sebagian hasil konsepsi.
d. Abortus Kompletus

7
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Abortus ini di tandai dengan perdarah bercak hingga sedang, serviks
tertutup / terbuka, uterus lebih kecil dari usia gestasi, sedikit atau tanpa
nyeri perut bagian bawah dari riwayat hasil konsepsi, pada abortus
komplit perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan, dan
selambat - lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali,
karena dalam masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah
selesai dan pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7 –
10 hari setelah abortus.
e. Missed abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal di
dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi
seluruhnya masih tertahan dalam kandungan hingga 8 minggu lebih.
Abortus ini ditandai dengan gejala amenore, pada kehamilan usia 14 – 20
minggu penderita biasanya mersakan rahimnya semakin mengecil dn
tanda – tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang,
serviks tertutup dan ada darah sedikit, sekali – sekali pasien merasakan
perutnya dingin dan kosong.
f. Abortus Habitualis
Suatu keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut –
turut 3 kali atau lebih. Pasien dengan abortus habitualis biasanya akan
mudah hamil lagi, tetapi kehamilannya selalu berakhir dengan keguguran
atau abortus berturut – turut.
g. Abortus Infeksiosus
Adalah abortus disertai dengan infeksi pada alat genitalia.
Gejalanya dapat berupa panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardi,
perdarahan yang berbau, uterus yang membesar dan melembut serta
adanya nyeri tekan.
h. Abortus Septik

8
Abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah
tubuh atau peritoneum. Gejala abortus septik sama dengan abortus
infeksiosus, namun prognosisnya dapat mencapai keadaan infeksi seluruh
tubuh (septicemia) dan dapat jatuh dalam keadaan syok septic. Bila
sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan lebih panas tinggi,
menggigil dan tekanan darah menurun.

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Perdarahan Pada Kehamilan Muda


Perdarahan Serviks Uterus Gejala/tanda Diagnosis Tindakan
Bercak Tertutup Sesuai Kram perut Abortus Observasi
hingga dengan usia bawah imminens perdarahan,
sedang gestasi Uterus lunak istirahat,
hindarkan
coitus
Sedikit 1. Limbung atau Kehamilan Laparotomi
membesar pingsan ektopik
dan normal 2. Nyeri perut terganggu
bawah
3. Nyeri goyang
Porsio
4. Massa adneksa
5. Cairan bebas
Intra abdomen
Sedang Tertutup/ Lebih kecil Sedikit/tanpa Abortus Tidak perlu
hingga Terbuka dari usia nyeri perut bawah, komplit terapi spesifik
banyak gestasi riwayat kecuali
ekspulsi hasil perdarahan
konsepsi berlanjut atau
terjadi infeksi
Terbuka Sesuai usia Kram atau nyeri Abortus Evakuasi
kehamilan perut bawah, belum insipiens

9
terjadi ekspulsi hasil
konsepsi
Kram atau nyeri Abortus Evakuasi
perut bawah, ekspulsi inkomplit
sebagian
hasil konsepsi
Terbuka Lunak dan Mual/muntah, kram Abortus Evakuasi,
lebih besar perut mola tatalaksana
dari usia bawah, sindroma mola
gestasi mirip pre eklampsi,
tak ada janin keluar
jaringan
seperti anggur

2) Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa adalah tumor yang jinak dari chorion. Mola hidatidosa
adalah penyakit wanita dalam masa reproduksi tetapi kalau terjadi kehamilan
pada wanita yang berumur lebih dari 45 tahun, kehamilan mola 10 kali lebih
besar dibandingkan dengan gravidae antara 20 – 40 tahun.
a. Patologi
Sebagian dari villi berubah menjadi gelembung – gelembung berisi
cairan jernih. Biasanya tidak ada janin, gelembung itu sebesar butir
kacang hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat
mengisi seluruh cavum uteri.
b. Penatalaksanaan :
a) Perbaiki keadaan umum.
b) Bila mola sudah keluar spontan dilakukan kuret atau kuret isap.
Bila Kanalis servikalis belum terbuka dipasang laminaria dan 12
jam kemudian dilakukan kuret.
c) Memberikan obat-obatan antibiotik, uterotonika dan perbaiki
keadaan umum penderita.

10
d) 7–10 hari setelah kerokan pertama, dilakukan kerokan ke dua
untuk membersihkan sisa-sisa jaringan.
e) Histerektomi total dilakukan pada mola resiko tinggi usia lebih
dari 30 tahun, paritas 4 atau lebih, dan uterus yang sangat besar
yaitu setinggi pusat atau lebih.

c. Pengawasan Lanjutan :
a) Ibu dianjurkan untuk tidak hamil dan dianjurkan memakai
kontrasepsi oral pil.
b) Mematuhi jadwal periksa ulang selama 2-3 tahun, yaitu setiap
minggu pada Triwulan pertama, setiap 2 minggu pada Triwulan
kedua, setiap bulan pada 6 bulan berikutnya, setiap 2 bulan pada
tahun berikutnya, dan selanjutnya setiap 3 bulan.
c) Setiap pemeriksaan ulang perlu diperhatikan :

3) Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)


Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana setelah fertilisasi,
implantasi terjadi di luar endometrium kavum uteri, biasanya terjadi di dalam
tuba, rongga perut dan ovarium. Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan
implantansi terjadi diluar rongga uterus, tuba falopi merupakan tempat
tersering untuk terjadinya implantasi kehamilan ektopik. Patofisiologinya
adalah pada kehamilan normal, proses pembuahan terjadi pada tuba,
kemudian sel telur yang telah dibuahi digerakkan dan berimplantasi pada
endometrium rongga rahim. Kehamilan ektopik yang dapat disebabkan antara
lain faktor di dalam tuba dan di luar tuba, sehingga hasil pembuahan
terhambat atau tidak bisa masuk ke rongga rahim, sehingga sel telur yang
telah dibuahi tumbuh dan berimplantasi di beberapa tempat pada organ
reproduksi wanita selain rongga rahim, antara lain di tuba falopi, kanalis
servikalis (leher rahim), ovarium dan rongga perut. Yang terbanyak terjadi di
tuba falopi 90%.
4) Perdarahan
a. Plasenta Previa

11
Plasenta yang berimplantansi pada segmen bawah rahim demikian
rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum
sehingga plasenta berada di depan jalan lahir. Implantansi plasenta yang
normal adalah pada dinding depan atau dinding belakang rahim di daerah
fundus uteri. (Winknjosastro, 1999). Berikut ini jenis – jenis plasenta
previa.
1. Plasenta previa totalis
Plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis
Plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum.
3. Plasenta previa marginalis
Plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri
internum.
4. Plasenta letak rendah
Plasenta yang berimplantansi pada segmen bawah rahim
sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak
lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih
dari 2 cm di anggap plasenta letak normal. (Prawirohardjo,
2008).
Gejala klinis plasenta previa :
1. perdarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri dari biasanya berulang
darah biasanya berwarna merah segar.
2. Bagian terdepan janin tinggi (floating) sering dijumapi
kelainan letak janin.
3. Perdarahan pertama tidak banyak dan tidak fatal tetapi
perdarahan berikutnya biasanya lebih banyak. Janin biasanya
masih baik.
b. Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua

12
endometrium sebelum waktunya, yakni sebelum anak lahir. Berikut ini jenis –
jenis solusio plasenta :
1. Solusio plasenta ringan
Yakni rupture sinus marginalis, atau terlepasnya sebagian kecil
plasenta yang tidak berdarah banyak, sama sekali tidak mempengaruhi
keadaan ibu dan janinnya. Jumlah darah yang keluar biasanya kurang
dari 250 ml. gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa
kecuali warna darah yang kehitaman.
2. Solusio plasenta sedang
Yakni terlepasny plasenta melebihi 25% tetapi belum mencapai
separuhnya. Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 250 ml tapi
belum mencapai 1000 ml. Gejala – gejalanya seperti perdarahan
pervaginam yang berwarna kehitaman, perut mendadak sakit terus –
menerus dan tidak lama kemudian di susul dengan perdarahan
pervaginam.
3. Solusio plasenta berat
Plasenta yang terlepas sudah lebih 2/3 permukaannya dan jumlah
darah yang di keluarkan telah mencapai 1000 ml atau lebih. Gejala dan
tanda – tanda klinik jelas, keadaan umum penderita buruk disertai
syok, dan hampir semua janinnya meninggal.
c. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah bila plasenta tidak lepas lebih dari 30
menit setelah persalinan. Patofisiologi adalah proses kala III di dahului
dengan tahap pelepasan plasenta akan di tandai oleh perdarahan
pervaginam (cara pelepasan Dulcan) atau plasenta sudah lepas sebagian
tetapi tidak keluar pervaginam (cara pelepasan Schultze), sampai akhirnya
tahap ekspulsi, plasenta lahir. Pada retensio plasenta sepanjang plasenta
belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian
plasenta yang lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
dan harus di antisipasi dengan segera melakukan manual plasenta,
meskipun kala uri belum lewat setengah jam.

13
d. Ruptur Uteri
Ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat
dilampauinya daya renggang miometrium (Saifudin,2006). Rupture uteri
komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum.
(Prawirohardjo, 2008).

2. Kegawatdaruratan Neonatal
Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28
hari, dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadi
diluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem.
Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan didalam rahim yang serba
tergantung pada ibu menjadi kehidupan diluar rahim yang serba mandiri. Faktor-faktor
yang menyebabkan kegawatdaruratan pada neonatus ialah :
a. Faktor kehamilan: Kehamilan kurang bulan, kehamilan dengan penyakit DM,
Kehamilan dengn gawat janin, kehamilan dengan penyakit kronis ibu,
kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat, infertilitas.
b. Faktor pada partus: Partus dengan infeksi intrapartum dan partus dengan
penggunaan obat sedative.
c. Faktor pada bayi: Skor apgar yang rendah, BBLR, bayi kurang bulan, berat
lahir lebih dari 4000gr, cacat bawaancdan frekuensi pernafasan dengan 2x
observasi lebih dari 60/menit.

Kondisi-kondisi yang menyebabkan kegawatdaruratan neonatus :


1) Hipotermia
a. Definisi
Hipotermia meerupakan keadaan di mana seorang individu gagal
mempertahankan suhu tubuh dalam batasan normal 36-37,5°C.
b. Patofisiologi
1) Suhu normal pada neonatus sekitar anatara 36°C – 37,5°C pada suhu
ketiak.

14
2) Gejala awal hipotermia apabila suhu < 36°C atau kedua kaki dan
tangan teraba dingin.
3) Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka bayi sudah mengalami
hipotermia sedang 32°C-<36°C.
4) Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh <32°C.
5) Untuk mengukur suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer
ukuran sedang.
6) Yang menjadi prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah
meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadi metabolik
asidosis sebagai konsekuensi glikosis anerobik, dan menurunnya
simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia.
7) Hilangnya kalori tampak dengan turunya berat badan yang dapat
ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.
c. Gejala klinis
Tanda-tanda klinis hipotermia :
1) Hipotermia sedang :
a) Kaki teraba dingin.
b) Kemampuan menghisap lemah.
c) Tangisan lemah.
d) Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata.
2) Hipotermia berat :
a) Sama dengan hipotermia sedang.
b) Pernafasan lambat tidak teratur.
c) Bunyi jantung tidak teratur.
d) Mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis metabolik.
3) Stadium lanjut hipotermia
a) Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang.
b) Bagian tubuh lainnya pucat.
c) Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada
punggung, kaki dan tangan (sklerema).
d. Pencegahan dan penanganan

15
1) Menurut Indarso, F (2001), pemberian panas berbahaya karena dapat
terjadi apneu sehingga di rekomendasikan penghangatan 0,5-1°C tiap
jam.
2) Untuk bayi < 1000 g, sebaiknya diletakan dalam inkubator.
3) Radiant Warmer adalah alat yang digunakan untuk bayi yan belum
stabil atau untuk tindakan-tindakan. Dapat menggunakan servo
controle atau non servo controle.
e. Penatalaksanaan
1) Menurut Indarso, F (2001) menyatakan bahwa untuk mempertahankan
suhu bayi dalam mencegah hipotermi adalah :
a) Menyiapkan tempat melahirkan yang kering, hangat dan bersih.
b) Mengeringkan tubuh bayi yang baru lahir/ air ketuban segera
setelah lahir dengan handuk yang kering dan bersih.
c) Menjaga bayi hangat dengan cara mendekap di dada ibu dan kedua
di selimuti.
d) Memberi ASI sedini mungkin segera setelah melahirkan, selama
pemberian ASI bayi di dekap agar tetap hangat.
e) Memberikan penghangatan pada bayi baaru lahir secara mandiri
2) Bayi yang mengalami hipotermia biasa mudah sekali meninggal.
3) Bila tubuh bayi masih dingin, gunakan selimut atau kain hangat yang
di setrika terlebih dahulu yang digunakan untuk menutupi tubuh bayi
dan ibu.
a) Lakukan secara berulang kali sampai tubuh bayi hangat.
b) Tidak boleh memakai buli-buli panas, bahaya luka bakar.
c) Biasanya bayi dengan hipotermia menderita hipoglikemia sehingga
bayi harus di beri ASI sedikit-sedikit dan sesering mungkin.
d) Bila bayi tidak dapat menghisap, beri infus glukosa 10% sebanyak
60-80 ml/kg per hari.
2) Hipertermia
Hipertermia adalah kondisi suhu tubuh tinggi karena kegagalan
termoregulasi. Hipertermia terjadi ketika tubuh menghasilkan atau menyerap

16
lebih banyak panas daripada mengeluarkan panas. Ketika suhu tubuh cukup
tinggi, hipertermia menjadi keadaan darurat medis dan membutuhkan
perawatan segera untuk mencegah kecacatan dan kematian. Tanda dan gejala
hipertermia adalah panas, kulit kering, kulit menjadi merah dan teraba panas,
pelebaran pembuluh darah dalam upaya untuk meningkatkan pembuangan
panas, bibir bengkak.
Tanda-tanda dan gejala bervariasi tergantung pada penyebabnya.
Dehidrasi yang terkait dengan serangan panas dapat menghasilkan mual,
muntah, sakit kepala, dan tekanan darah rendah. Hal ini dapat menyebabkan
pingsan atau pusing, terutama jika orang berdiri tiba-tiba. Tachycardia dan
tachypnea dapat juga muncul sebagai akibat penurunan tekanan darah dan
jantung. Penurunan tekanan darah dapat menyebabkan pembuluh darah
menyempit, mengakibatkan kulit pucat atau warna kebiru-biruan dalam kasus-
kasus lanjutan stroke panas. Beberapa korban, terutama anak-anak kecil,
mungkin kejang-kejang. Akhirnya, terjadi ketidaksadaran dan koma.
3) Hiperglikemia
Hiperglikemia atau gula darah tinggi adalah suatu kondisi dimana jumlah
glukosa dalam plasma darah berlebihan. Hiperglikemia disebabkan oleh
diabetes melitus. Pada diabetes melitus, hiperglikemia biasanya disebabkan
karena kadar insulin yang rendah atau resistensi insulin pada sel. Kadar
insulin rendah atau resistensi insulin tubuh disebabkan karena kegagalan
tubuh mengkonversi glukosa menjadi glikogen, pada akhirnya membuat sulit
atau tidak mungkin untuk menghilangkan kelebihan glukosa dari darah.
Gejala hiperglikemia adalah polifagi (sering kelaparan), polidipsi (sering
haus), poliuri (sering buang air kecil), penglihatan kabur, kelelahan, berat
badan menurun, sulit terjadi penyembuhan luka, mulut kering, kulit kering
atau gatal, impotensi (pria), infeksi berulang, kussmaul hiperventilasi,
arrhythmia, pingsan, koma.
4) Tetanus neonaturum
a. Definisi

17
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus yang disebabkan oleh Clastridium Tetani, yaitu kuman yang
mengeluarkan toksin (racun yang menyerang sistem saraf pusat).
b. Etiologi
Tetanus neonatorum merupakan penyebab radang yang sering
dijumpai pada BBLR bukan karena trauma kelahiran atau afiksia tetapi di
sebabkan oleh infeksi mana neonatal antara lain :
1) Infeksi melalui tali pusat.
2) Akibat pemotongan tali pusat yang kurang steril.
3) Pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil tidak
dilakukan atau tidak lengkap.
4) Pertolongan persalinan tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
c. Patofisiologi
Patofisiologi tetanus neonatorum, antara lain di jelaskan berikut ini :
1) Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak, sumsum tulang
belakang, dan terutama pada nukleus motorik kematian yang
disebabkan oleh asfiksia.
2) Selain itu, dapat di sebabkan oleh pengaruh langsung pada pusat
pernafasan dan peredaran darah.
3) Sebab kematian yang lain adalah pneumonia aspirasi dan sepsis.
4) Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali merupakan sebab
utama kematian tetanus neonatorum di Indonesia.
5) Pada bayi, penyakit ini di tularkan biasanya melalui tali pusat.
6) Selain itu, infeksi dapat juga melalui pemakaian obat, bubuk daun-
daunan yang di gunakan dalam perawatan tali pusat.
d. Penatalaksanaan

Penangan secara umum pada tetanus neonatorum :

1) Mengatasi kejang :

18
a) Kejang dapat diatasi dengan mengurangi rangsangan,
penderita/bayi di tempatkan di kamar yang tenang dengan sedikit
sinar mengingat penderita sangat peka akan suara dan cahaya.
b) Memberikan suntikan anti kejang, obat yang di pakai ialah
kombinasi fenobarbital dan largaktil. Kombinasi yang lain ialah
Kloralhidrat yang di berikan lewat anus.
2) Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan membersihkan jalan nafas.
3) Mencari tempat masuknya spora tetanus, umumnya di tali pusat atau di
telinga.
4) Pemberian antitoksin : untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat
diberi ATS dengan dosis 10.000 satuan setiap hari selama 2 hari
berturut-turut dengan IM, kalau per infus diberikan ATS 20.000 UI
sekaligus.
5) Pemberian antibiotik : untuk mengatasi infeksi dapat di gunakan
penisillin 200.000 IU setiap hari dan di teruskan sampai 3 hari sesudah
panas turun atau ampisilin 100 mg/kg BB perhari di bagi dalam 4 dosis
secara intravena.
6) Perawatan yang adekuat meliputi :
a) Kebutuhan oksigen
b) Makanan
c) Keseimbangan cairan dan elektrolit, kalau pemberian makanan
peros tidak mungkin maka di berikan makanan dan cairan
intravena.
7) Tali pusat di rawat dengan kasa bersih dan kering.
5) Asfiksia
a. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan nafas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang di tandai
dengan hipoksemia, hiperkabia dan asidosis (IDAI, 2004).
b. Klasifikasi asfiksia
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR :

19
1) Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.
2) Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6.
3) Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9.
4) Bayi normal dengan nilai APGAR 10 (Ghai, 2010).

Nilai 0 1 2
Nafas Tidak ada Tidak teratur Teratur
Denyut jantung Tidak ada < 100 >100
Warna kulit Biru/pucat Tumbuh Merah jambu
merah jambu
dan kaki,
tangan biru
Gerakan/tonus Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi
otot
Refleks(menangis) Tidak ada Lemah/lambat Kuat

c. Etiologi dan faktor risiko


1) Pengantar : asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada
proses persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir.
Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen,
asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada
aliran darah umbilikal maupun plasenta hampir selalu akan
menyebabkan asfiksia (Parer, 2008).
2) Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
a) Asfiksia dalam kehamilan
i. Penyakit infeksi akut.
ii. Penyakit infeksi kronik.
iii. Keracunan oleh obat-obat bius.
iv. Uremia dan toksemia.
v. Anemia berat.
vi. Cacat bawaan.

20
vii. Trauma.
b) Asfiksia dalam persalinan
i. Kekurangan O2 :
 Partus lama (rigid serviks dan atonia/insersia uteri).
 Ruptur uteri yang memberat.
 Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
 Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara
kepala dan panggul.
 Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat
pada waktunya.
 Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio
plasenta.
 Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus),
disfungsi uteri.
ii. Paralisis pusat persalinan :
 Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps.
 Trauma dari dalam : akibat obat bius.
d. Patofisiologi
Menurut perinasia (2006), patofisiologi asfiksia neonatorum,
dapat dijelaskan dalam dua tahap yaitu dengan mengetahui cara bayi
memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir, dan dengan mengetahui
reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal, yang di
jelaskan sebagai berikut :
1) Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir :
a) Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber
oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida.
b) Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru
sebagai sumber utama oksigen.
c) Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga
menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan
tekanan darrah sistemik.

21
d) Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah
sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih
rendah di bandingkan tekanan sistemik sehingga aliran paru
meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun.
e) Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen.
2) Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal
a) Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara
ke dalam paru-paru.
b) Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi
arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun
demikian aliran darah jantung dan otak tetap stabil atau
meningkatkan untuk mempertahankan pasokan oksigen.
c) Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan
oksigenisasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan
otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh, atau kematian.
e. Penegakan diagnosis
1) Anamnesis ; anemnesis di arahkan untuk mencari faktor risiko
terhadap terjadinya asfiksia neonatorum.
2) Pemeriksaan fisik : memperhatikan sama ada keliatan terdapat tanda-
tanda berikut atau tidak, antara lain:
a) Bayi tidak bernafas atau menangis.
b) Denyut jantung kurang dari 100 x/menit.
c) Tonus otot menurun.
d) Bisa di dapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium,
atau sisa mekoniium pada tubuh bayi.
e) BBLR (berat bayi lahir rendah) (Ghai, 2010).
3) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukan
hasil asidosis pada darah tali pusat jika :
a) PaO2<50 mm H2o

22
b) PaCO2>55 mm H2
c) pH<7,30 (Ghai, 2010).
f. Penatalaksanaan
1) Pengantar
a) Penatalaksanaan asfiksia neonatorum adalah dengan melakukan
resusitasi neonatus.
b) Pelaksanaan resusitasi neonatus secara garis besar mengikuti
algoritma resusitasi neonatal.
2) Pelaksanaan resusitasi neonatus, dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
a) Langakah awal resusitasi ; pada penilaian awal dilakukan
dengan menjawab 4 pertanyaan :
i. Apakah bayi cukup bulan?
ii. Apakah air ketuban jernih ?
iii. Apakah bayi bernafas atau menagis ?
iv. Apakah tonus bayi baik atau kuat ?
b) Bila terdapat jawaban tidak dari salah satu pertanyaan dia atas
maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi
berikut ini secara berurutan (Nelson KB,1991):
i. Langkah awal dari stabilisasi
 Memberikan kehangatan
 Membersihkan jalan nafas sesuai keperluan aspirasi
mekonium saat proses persalinan dapat
menyebabkan pneumonia.
 Mengeringkan bayi, merangsang pernafasan dan
meletakan pada posisi yang benar.
ii. Ventilasi tekanan positif
iii. Kompresi dada
iv. Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume
(volume expander).
g. Penilaian

23
Setelah dilakukan tindakan resusitasi di atas, maka penilaian
dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya resusitasi
lanjutan. Menurut perinasi (2006), tanda vital yang perlu di nilai adalah
sebagai berikut :
1) Pernafasan
a) Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat,
frekuensi dan dalamnya pernafasan bertambah setelah rangsang
taktil.
b) Pernafasan yang megap-megap adalah pernafasan yang tidak
efektif dan tidak memerlukan intervensi lanjutan.
2) Frekuensi jantung
a) Frekuensi jantung harus di atas 100x/menit.
b) Penghitungan bunyi jantung dilakukan dengan stetoskop
selama 6 detik kemudian di kalikan 10 sehingga akan dapat
dilakukan frekuensi jantung per menit.
3) Warna kulit
a) Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh
tubuh.
b) Setelah frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak
boleh ada sianosis sentral yang menandakan hipoksemia.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011). Kegawatdaruratan dapat juga
didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan
tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamatkan jiwa/nyawa (Campbell,
2000). Penderita atau pasien gawat darurat adalah pasien yang perlu pertolongan tepat, cermat,
dan cepat untuk mencegah kematian/kecacatan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Maryunani, Anik, dan Sari, Puspita Eka. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media .

Setyarini, Ika Didien, dan Suprapti. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal. Jakarta Selatan.

Diakses dari web https://www.academia.edu/37738135/KONSEP_DASAR_KEGAWATDARURATAN

[ Pada tanggal 13 Februari 2019 ]

Diakses dari web http://repository.ump.ac.id/2269/3/BERLIANTI%20BAB%20II.pdf

[ Pada tanggal 13 Februari 2019 ]

26

Anda mungkin juga menyukai