Anda di halaman 1dari 20

DILEMA PENYULUHAN DALAM RANGKA KETAHANAN PANGAN

DAN AMPUTASI BIROKRASI

OLEH :
RONY RAHMAT HIDAYAT HASIBUAN
2021662001

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya,
penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW yang
syafa’atnya kita nantikan kelak. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT
atas limpahan nikmat sehat-Nya, sehingga makalah “DILEMA PENYULUHAN
DALAM RANGKA KETAHANAN PANGAN DAN AMPUTASI
BIROKRASI ”

Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester.


Penulis berharap makalah tentang dilema penyuluhan antara ketahanan pangan
dan amputasi untuk dapat menjadi referensi bagi pembaca untuk meningkatkan ha
sil pertanian yang berkualitas dan membantu pergerakan perekonomian nasional.

Penulis menyadari makalah bertema dilema penyuluhan antara ketahanan


pangan amputasi birokrasi ini masih perlu banyak penyempurnaan karena
kesalahan dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca
agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten, penulis memohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga tulisan dalam
makalah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI

Halaman
KATAPENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................
BAB II. ISI……………………....................................................................

BAB III. PENUTUP.....................................................................................


DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
BAB I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam dua dekade terakhir, ketahanan pangan ini telah menjadi isu global,
termasuk di Indonesia. Global Food Security Index pada Tahun 2017,telah
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat ke-69 dari 113 negara
di dunia dalam hal ketahanan pangan. Posisi Indonesia ini jauh di bawah
Malaysia, Vietnam dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Posisi ketahanan
pangan Indonesia ini juga cendrung turun dari tahun ke tahun terlihat pada grafik
1. (GFSI, 2017).

Grafik1. Indeks Ketahanan Pangan Indonesia 2012-2019

Sumber: Databooks

Hal tersebut menunjukkan buruknya ketahanan pangan Indonesia. Menurut


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan: “Keamanan
pangan adalah keadaan bagi negara untuk menyediakan pangan bagi
perseorangan, yang tercermin dalam jumlah dan mutu, keamanan, dan tersedianya
berbagai pangan yang cukup , gizi, keadilan, dan keterjangkauan. Serta tidak
bertentangan dengan agama, kepercayaan, dan budaya masyarakat agar dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.” Menurut definisi tersebut,
pencapaian pangan bagi setiap masyarakat Indonesia merupakan tujuan dan
sasaran di Indonesia. Oleh karena itu, ketahanan pangan dapat ditingkatkan
dengan memperkuat ketahanan pangan di tingkat masyarakat Indonesia khusunya
Rumah Tangga.

Kesadaran tentang pentingnya dalam mewujudkan ketahanan pangan telah


lama dilaksanakan di Indonesia, namun demikian hasil yang dicapai belum seperti
yang diharapkan. Sampai dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun
2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Berbasis Sumber Daya Lokal. Berbagai usaha pemerintah untuk mencapai
swasembada pangan nasional telah dilakukan dengan berbagai cara dan berbagai
subsidi harga dasar produk pertanian, subsidi pupuk dan faktor input produksi
lainnya, pembangunan infrastruktur irigasi serta sarana transportasi. Kegiatan
penelitian dan pengembangan penyuluhan juga terus dilakukan untuk mendorong
penguatan ketahanan pangan nasional (Sumardjo, 1999).

Penyuluh berperan dalam mendorong kegiatan pembelajaran masyarakat,


tidak hanya dalam kegiatan pendidikan dan memastikan adopsi inovasi baru,
tetapi juga dalam mengubah cara pandang masyarakat dan mendorong mereka
untuk mengambil inisiatif untuk memperbaiki kehidupan mereka. Oleh karena itu,
peran penyuluh dalam perencanaan ketahanan pangan daerah sangat penting,
karena penyuluh sebagai komunikator, fasilitator dan motivator sangat erat
kaitannya dengan upaya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap
masyarakat (Legans et.al., 2003).

Upaya yang dilaksanakan oleh penyuluh dalam rangka untuk memperkuat


ketahanan pangan nasional dihadapkan pada tantangan kelembagaan penyuluhan
pertanian (birokrasi) yang terus mengalami masalah-masalah mendasar.
Permasalahan dan tantangan tersebut muncul dikarenakan banyaknya faktor,
terutama karena arah dan sering terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang
cendrung tidak konsisten. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian saat ini dinilai
belum optimal, sehingga belum mampu mewujudkan sumber daya manusia
pertanian yang profesional, kreatif, inovatif, dan berwawasan global dalam rangka
meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, meningkatkan produksi, dan
kesejahteraan petani. Belum optimalnya penyelenggaraan penyuluhan pertanian
tersebut, antara lain disebabkan oleh (1) kapasitas kelembagaan penyuluhan
pertanian belum optimal, (2) kapasitas petani dan kelembagaan petani masih
lemah, (3) jumlah dan kompetensi penyuluh pertanian belum memadai, (4)
penyelenggaraan penyuluhan pertanian belum optimal, dan (5) dukungan sarana-
prasarana dan pembiayaan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian dinilai
masih kurang memadai (Pusat Penyuluhan, 2011).

Penyuluhan pertanian diharapkan dapat mengantar petani Indonesia


berproduksi secara mandiri (tanpa subsidi atau dengan subsidi minimal) dan
sekaligus membuat tingkat kesejahteraan petani meningkat dengan lebih nyata
dalam konteks pembangunan nasional untuk mendukung swasembada pangan.
Slamet (2003) berpandangan bahwa penyuluhan pertanian tidak lagi hanya dilihat
sebagai suatu delivery system bagi informasi dan teknologi pertanian, tetapi harus
dikembangkan menjadi sistem yang berfungsi menciptakan pertanian sebagai
suatu usaha tani yang menguntungkan bagi petani.

Berawal dari permasalahan pada penyuluhan diatas, maka perlu dilakukan


pembenahan sistem penyuluhan pertanian disesuaikan dengan tuntutan perubahan
paradigma penyuluhan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2006 (UU No. 16/2006) tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan (SP3K) (Sekretariat Negara RI, 2012), kegiatan penyuluhan
pertanian mempunyai landasan hukum yang kuat dan jelas dalam memberikan
dukungan bagi keberhasilan pembangunan pertanian di perdesaan. Seluruh
peraturan perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden
yang terkait dengan topik bahasan ini bersumber dari Sekretariat Negara
(Sekretariat Negara RI, 2012). Legislasi turunan dari UU No. 16/2006 yang telah
ditetapkan berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres),
Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri
(Kepmen), Peraturan Daerah (Perda), perlu dicermati lebih lanjut. Peraturan
tersebut dapat bersifat mendorong atau menghambat sistem penyelenggaraan
penyuluhan pertanian atau bahkan masih dibutuhkan legislasi yang lain. Upaya
percermatan tersebut dimaksudkan agar kegiatan penyuluhan pertanian dapat
mendukung pencapaian swasembada pangan, sehingga kinerja sektor pertanian
dapat memberikan kontribusi yang tinggi bagi pembangunan ekonomi nasional.

Undang Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan


keleluasaan dalam penyusunan PP tentang penajaman program penyuluhan
pertanian di perdesaan melalui Perda. Pemerintah daerah memiliki kewenangan
penuh dalam menentukan kebijakan, baik dalam menyusun regulasi dalam bentuk
Perda, peraturan gubernur (Pergub), dan peraturan bupati (Perbup) atau wali kota
(Perwal), sehingga implementasi UU No. 16/2006 lebih sesuai dengan visi dan
misi rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

Dalam rangka untuk keberhasilan dalam rangka ketahanan pangan, antara


lain optimalisasi sumber daya pertanian, penerapan teknologi maju dan spesifik
lokasi, dukungan sarana produksi dan permodalan, jaminan harga pangan yang
memberikan insentif produksi serta dukungan penyuluhan pertanian dan
pendampingan (Rahmayani, 2011). Strategi yang dilakukan untuk mewujudkan
keberhasilan tersebut adalah dukungan legislasi bidang pertanian yang mencakup
keseluruhan aspek, sehingga terwujud peningkatan produktivitas, perluasan areal
tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta
dukungan pembiayaan usaha tani.

Dalam menerapkan ketahanan pangan khusunya di Indonesia peran penyuluh


pertanian sangat dibutuhkan dalam meguatkan pangan nasional. Sekarang ini
fakta menunjukkan dukungan negara yang besar dan anggaran riset yang fokus
kepada pangan belum menghasilkan inovasi dan pengetahuan yang membawa
pada penguatan ketahanan pangan nasional sekaligus kesejahteraan kepada petani.
Sehingga dibutuhkan sebuah formulasi atau gambaran yang jelas mengenai
hubungan yang baik antara penyuluh dengan birokrasi pemerintah dalam rangka
ketahanan pangan. Oleh karena itu makalah ini disusun dengan tujuan
memberikan gambaran kepada pemerintah mengenai hubungan yang sebaiknya
dilakukan dengan para penyuluh dengan pemeintah dalam rangka ketahanan
pangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan
dijelaskan didalam makalah ini sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi perundang-undangan dalam bidang penyuluhan


pertanian dalam rangka ketahanan pangan ?

2. Bagaimana permasalahan dalam mengimplentasikan kebijakan dalam


penyuluhan pertaninan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan di
Indonesia ?

3. Sarana (Teknologi) Penunjnag dalam Rangka Ketahanan Pangan?

4. Dilema Penyuluhan dalam Rangka Ketahanan Pangan?

C. Tujuan Penulisan Makakah


Berdasarkan rumusan masalah diatas penulisan makalah ini bertujuan
untuk:

1). Mengetahui implementasi perundang undangan dalam penyuluhan pertanian


dalam rangka Ketahanan Pangan

2). Mengetahui permasalahan dalam mengimplementasikan kebijakan dalam


penyuluhan pertanian dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan di
Indonesia ?

3). Mengetahui Sarana (Teknologi) dalam Rangka Ketahanan.

4). Mengetahui Dilema Penyuluh Dalam Rangka Kaetahan Pangan


BAB II
ISI

A. Implementasi Perundang-Undangan (kebijakan) Bidang Penyuluhan


Dalam Rangka Ketahanan Pangan

Dalam implementasi di lapangan, Dalam pelaksanaan bidang ini, undang-


undang tidak. 16/2006 erat kaitannya dengan produk turunan UU No. 16. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Yaitu PP Nomor 38 Tahun 2007
Tentang Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Mengingat kegiatan promosi usaha dilakukan di
daerah, dari provinsi hingga desa. Dalam rangka mendukung kegiatan promosi
ketahanan pangan, perlu memperhatikan rencana pembangunan jangka menengah
daerah (RPJMD) dan rencana strategis (Renstra) instansi/lembaga terkait.
Menurut Rayusman dkk. (2014) Sebagai kerangka politik dan ekonomi, RPJMD
merupakan dokumen pembangunan yang sangat penting bagi pemerataan sumber
daya. Aliansi antara pemerintah daerah dan yang lemah diwujudkan di dalamnya
dengan memastikan ketersediaan, aksesibilitas, dan kualitas layanan. Alokasi
sumber daya yang terbatas harus dialokasikan secara efektif berdasarkan kerangka
hukum yang berwenang didaerah masing-masing.
Dalam RPJMD masing-masing daerah disebutkan bahwa arah kebijakan di
bidang ketahanan pangan adalah (1) meningkatkan ketersediaan, akses, mutu,
keragaman, dan ketahanan pangan pangan melalui strategi; (2) meningkatkan
output dan produktivitas pangan. pangan pokok, beras, jagung, dan kedelai (3)
Mengurangi kehilangan hasil pasca panen dan tingkat kerawanan pangan
masyarakat; (4) Mengelola peredaran dan perdagangan beras; (5) Meningkatkan
keragaman konsumsi dan mutu pangan, serta mengurangi kebutuhan pangan
pokok beras, pasokan dan konsumsi tahunan untuk rumah tangga Tingkat dan
ketergantungan pada pengendalian mutu dan keamanan pangan.
Dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, Pasal 7 (2) Departemen Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota mengatur bahwa ketahanan pangan merupakan masalah wajib
bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Setiap provinsi di setiap wilayah
dalam RPMJD harus mengikutsertakan pembangunan terkait ketahanan pangan di
seluruh wilayah Indonesia, dan penyuluh pertanian harus membantu dalam
pelaksanaan peningkatan ketahanan pangan.
Sebagian wilayah yang membuat ketahanan pangan didalam RPJMD
merupakan Provinsi Jawa Timur (Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2009) muat
aspek revitalisasi pertanian serta pengembangan agroindustri/ agrobisnis.
Revitalisasi pertanian serta pengembangan agroindustri/ agrobisnis dengan
kebijakan yang ditunjukan buat (1) tingkatkan pemberdayaan petani serta
lembaga- lembaga pendukungnya; (2) tingkatkan produktivitas, energi saing, serta
nilai tambah produk pertanian serta perikanan; (3) tingkatkan pengembangan
agroindustri serta agrobisnis buat memberdayakan perekonomian rakyat; serta (4)
tingkatkan pengamanan ketahanan pangan.
Didalam RPJMD Lampung (Bappeda Provinsi Lampung, 2010)
disebutkan kalau isu ketahanan pangan pada dasarnya merupakan tantangan dalam
pembangunan pertanian secara luas, mulai dari aspek hulu hingga dengan aspek
hilir. Tantangan terbanyak merupakan gimana upaya buat tingkatkan efisiensi
serta produktivitas per satuan luas lahan pada tiap komoditas bahan pangan.
Perihal ini butuh dicoba mengingat ekspansi lahan serta ekstensifikasi hendak
terkendala dengan keterbatasan lahan.
Berikutnya Dalam RPJMD Sulawesi Selatan ( Bappeda Provinsi Sulawesi
Selatan, 2008) dinyatakan kalau kenaikan penciptaan pertanian serta
pengembangan agribisnis perdesaan jadi prioritas. Kebijakan ini ditunjukan buat
tingkatkan penciptaan sebagian komoditas unggulan dengan tetap mengedepankan
keterlibatan warga lokal, demi buat menjamin ketersediaan lapangan kerja serta
kenaikan pemasukan warga, dan buat tingkatkan keterlibatan warga dalam
aktivitas agribisnis. Beberapa komoditas yang masuk dalam kelompok ini antara
lain beras serta jagung. Target khusus dari tiap komoditas diartikan merupakan
penciptaan beras 3, 8 juta ton pada tahun 2013 serta surplus 2 juta ton beras pada
tahun 2009; penciptaan jagung 1, 5 juta ton pada tahun 2013 serta surplus 969.
955 kilogram pada tahun 2008. Di antara 4 provinsi contoh, Sulawesi Selatan
tercantum provinsi yang menunjang swasembada pangan dalam RPJMD.
Program yang menunjang ketahanan pangan, dalam implementasi di
lapangan keduanya dicoba bertepatan, tercantum program/ aktivitas
pemberdayaan penyuluhan pertanian. Pembedanya merupakan besaran serta
sumber anggaran yang dialokasikan. Program kenaikan ketahanan pangan( yang
ialah faktor harus) didukung dana APBD, sebaliknya program kenaikan
penciptaan, produktivitas, serta kualitas tumbuhan pangan buat menggapai
swasembada serta swasembada berkepanjangan didanai APBN lewat dana
ekonsentrasi( provinsi) serta tugas pembantuan( kabupaten).
Program pemberdayaan penyuluh pertanian, perkebunan, peternakan, serta
perikanan bertujuan buat tingkatkan keahlian/ mutu SDM pertanian (aparatur,
petani, peternak, petambak, nelayan, serta pembudi energi ikan. Target program
merupakan tingkatkan kelas kelompok tani. Selaku cerminan, program tersebut di
daerah Provinsi Jawa Timur terletak di Dinas Pertanian dengan dana berasal dari
APBD( Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2012).

B. Permasalahan dalam Mengimplementasikan Kebijakan Di Bidang


Penyuluh Pertanian Dalam Rangka Ketahanan Pangan

Tantangan yang dialami oleh ekspansi yang berkaitan semakin kompleks


dirasakan, sebab rencana pembangunan serta kebijakan pemerintah terkadang
tidak sinkron dengan yang terdapat dilapangan dikala ini, serta kepemilikan lahan
petani yang relatif kecil. Dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku
dikala ini, PP No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintah Wilayah Provinsi, serta Pemerintah Wilayah Kabupaten/
Kota. Dalam Pasal 7 (2), ketahanan pangan ialah urusan pemerintah yang yang
wajib harus dilaksanakan, sebaliknya pertanian merupakan permasalahan opsi,
yang tampaknya pertanian tidak sebaik yang dipikirkan dan dilihat dilapangan.

Bersumber pada Hasil riset Sumedi et al.,(2013) merumuskan bahwa


posisi pertanian sebagai zona pilihan didalam otonomi wilayah menimbulkan
permasalahan pada koordinasi serta sinkronisasi yang rumit antara program
pembangunan pusat serta pemerintah wilayah. Daya guna penerapan program
pusat kerapkali terbentur dengan permasalahan tersebut. Alokasi anggaran zona
pertanian dari APBD kabupaten/ kota serta provinsi terus bertambah, walaupun
jatah alokasi pada zona pertanian relatif sangat kecil, ialah dekat 4% dari anggaran
pembangunan. Alokasi dana dekonsentrasi dari Departemen Pertanian secara
nominal pula bertambah, walaupun secara total jumlahnya jauh lebih rendah
dibanding alokasi APBD.

Hal ini menampilkan kedudukan wilayah lebih dominan didalam


pembangunan pertanian dari aspek anggaran. Keadaan dikala ini standar
kompetensi penyuluh tidak terdapat, serta pula tidak terdapat latihan ke arah
penjenjangan fungsional. Keberhasilan Indonesia dalam ketahanan pangan, dari
pengimpor beras jadi pengekspor beras pada tahun 1984 berkaitan dengan
pembangunan penyuluhan pertanian yang jelas sistem kendali ataupun
monitoringnya. Pada dikala ini perkara yang mencuat merupakan program
penyuluhan belum jelas menuju ke mana, semacam profil petani yang diharapkan
dalam jangka waktu 10 tahun ke depan. Perihal ini diperkuat dengan hasil riset
Marliati et al., (2008), yang merumuskan kalau tingkatan kinerja penyuluh
pertanian dalam memberdayakan petani relatif belum baik. Perihal ini diakibatkan
oleh faktor- faktor yang mempengaruhi nyata terhadap kinerja penyuluh
pertanian, ialah ciri sistem sosial (nilai- nilai sosial budaya, fasilitasi agribisnis
oleh lembaga pemerintah, serta akses petani terhadap kelembagaan agribisnis)
serta kompetensi penyuluh (kompetensi komunikasi, kompetensi penyuluh
membelajarkan petani serta kompetensi penyuluh berhubungan sosial), tercantum
jenis lumayan serta kompetensi wirausaha penyuluh tidak mempengaruhi nyata
terhadap kinerja penyuluh dalam memberdayakan petani.

Aktivitas penyuluhan pertanian ialah bagian dari pembangunan pertanian


wilayah. Dalam penataan rencana penyuluhan pertanian, penyuluh serta
BAKORLU ikut berperan, tetapi dalam perihal pengendalian pemakaian APBD
tidak otomatis diserahkan kepada penyuluh ataupun BAKORLU. Dalam
penerapan di lapangan, pengendalian anggaran penyuluhan pertanian terdapat di
Departemen Pertanian, sebab rencananya terdapat di Departemen Pertanian.
Penetapan anggaran penyuluhan pertanian dalam peraturan wilayah tidak
memastikan batasan atas anggaran buat aktivitas penyuluhan pertanian.
Penyuluhan pertanian tidaklah sesuatu rencana yang berdiri sendiri, namun ialah
bagian dari totalitas rencana pembangunan pertanian. Program serta aktivitas
penyuluhan pertanian pemerintah ialah bagian dari revitalisasi.

Sistem penyuluhan yang dilaksanakan dikala ini cenderung memusatkan


penerima serta pengguna teknis buat tingkatkan penciptaan, pasca panen serta
pemasaran. Dalam praktiknya, guna penyuluh tidak lagi selaku agen pengubah,
namun menolong petani dalam melaksanakan aktivitas pertanian yang produktif,
tercantum aktivitas dari hulu sampai hilir. Apalagi dalam keadaan serta sistem
penyuluhan dikala ini, tugas utama penyuluh merupakan mentransfer teknologi
pertanian kepada pengguna akhir, namun mereka tidak hendak sangat banyak
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Tidak hanya dari permasalaahan itu, BP3K selaku penyuluh pertanian


terkemuka di jalanan dikala ini terletak dalam keadaan yang sangat
memprihatinkan, serta banyak dari mereka yang sudah bergeser guna. Tidak
hanya itu, dari segi tenaga kerja, tanggung jawab penyuluh yang tidak jelas, serta
banyak penyuluh yang dipindahkan ke jabatan lain, menyebabkan berkurangnya
jumlah penyuluh. Apalagi di sebagian kabupaten serta kota, pemerintah wilayah
tidak sangat mencermati keberadaan penyuluh, model karir yang tidak jelas,
promosi yang kerap tertinggal, serta minimnya peluang buat menjajaki pelatihan.
Penyuluh pertanian dikala ini biasanya belum menyadari peralihan dari budaya
petani penciptaan ke budaya petani komersial. Perihal ini menimbulkan misi
penyuluhan pertanian, walaupun petani jadi partisipan dalam pengembangan
sistem, agribisnis tidak bisa dilaksanakan secara maksimal.

Permasalahan yang lain merupakan kontribusi pemerintah wilayah dalam


sediakan APBD buat aktivitas penyuluhan masih relatif kecil, serta pendanaan
dari swasta masih sangat kecil. Kontribusi terbanyak tiba dari pemerintah pusat
lewat Dana Alokasi Umum (DAU) serta Dana Desentralisasi (Dekon). Sepanjang
ini anggaran APBN serta APBD provinsi sudah dialokasikan kepada Dinas
Teknis/ SKPD (Departemen Pertanian), sebaliknya konsultasi serta pendampingan
di lapangan merupakan penyuluh pertanian yang diketuai oleh BP4K., bisa
dikatakan bayaran operasional yang tidak memadai sehingga kurangi semangat
dalam melaksanakan penyuluhan kepada petani. Dampaknya, melemahkan
penyuluh dalam konteks aktivitas ketahanan pangan Indonesia.

C. Sarana (Teknologi) Penunjang Dalam Rangka Ketahanan Pangan


Indonesia

Pemerintah berkomitmen dan berupaya untuk meningkatkan ketahanan


pangan khususnya beras. Salah satu faktor yang berperan penting dalam
meningkatkan produksi beras adalah adanya dukungan sarana dan prasarana
pertanian. Dalam rangka ketahanan pangan sarana dan prasarana sangat penting
dalam meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia. Dukungan prasarana dan
sarana pertanian bertujuan untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP),
meningkatkan produktivitas dan produksi melalui upaya memperluas lahan
pertanian pada kawasan tanaman pangan untuk mengimbangi alih fungsi lahan.
Pemerintah yang sudah memberikan sarana dan prasarana dalam rangka
ketahanan pangan adalah Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Barat sudah
melaksanakan berbagai kegiatan dalam sarana dan prasarana antara lain
pencetakan sawah baru seluas 4.472ha, optimasi lahan pertanian seluas 13.289ha,
pengembangan SRI seluas 23.100ha serta rehab jaringan irigasi terseier seluas
58.023ha.
Sarana yang lainnya adalah Fasilitas alat mesin dan pembiayaan pertanian
selama lima tahun terakhir berupa pengadaan Handtraktor/Traktor Roda 2 (TR2)
sebanyak 3.014 unit serta pelayanan pembiayaan pertanian melalui Lembaga
Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) sebanyak 1.033 LKMA. Begitu pula
fasilitasi penyediaan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian oleh pemerintah
Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2010 sampai 2014 guna mendukung
kebijakan pemerintah dalam peningkatan ketahanan pangan.
Realisasi penyaluran pupuk bersubsidi sejak tahun 2010 sampai dengan
2014  adalah  Urea sebanyak 336.300 ton, SP36 sebanyak 10.969 ton, NPK
sebanyak 76.847 ton, ZA sebanyak 110.969 ton. Dengan dukungan  prasarana dan
sarana pertanian  selama 5 tahun  terjadi  peningkatkan produksi padi di Sumbar,
dari 2.211.248 ton gkg tahun 2010 menjadi 2.519.020 ton gkg tahun 2014 (Angka
Sementara, BPS),  dengan peningkatan yang cukup signifikan sebesar 307.772 
ton atau 13,9%.
Provinsi yang berada di Indonesia juga sudah mempersiapkan sarana dan
prasarana baik dalam bidang pengolahan sampai pada panen. Diharapkan fasilitasi
prasarana dan sarana pertanian tersebut mampu meningkatkan produksi dan
produkstifitas secara berkelanjutan. Tentunya dengan dukungan dan peran serta
aktif  semua pihak baik pemerintah, masyarakat dan stakeholder terkait sehingga
swasembada dan swasembada berkelanjutan dapat dicapai.

4. Dilema Penyuluhan dalam Rangka Ketahanan Pangan

Penyuluh pertanian merupakan hal yang sangat mendasar dalam


pembangunan khususnya dalam rangka ketahnan pangan. Penyuluh tidak hanya
memberikan informasi dan pesan kepada petani, tetapi penyuluh harus dapat
merubah sikap dan pengetahuan petani dalam menjalankan usaha taninya. Dalam
artian inovasi yang diberikan oleh penyuluh harus bisa dimanfaatkan dan dipakai
oleh petani didalam menjalankan usaha taninya. Didalam proses diseminasi
inovasi tidaklah hal yang sangat mudah merupakan proses yang sangat panjang
dari sebuah penyuluhan yang dilaksanakan kepada petani.
Kondisi inilah yang memicu privitasisasi penyuluh dalam memcau
pembangunan, penyuluhan yang dillakukan oleh pemerintah masih tidak bisa
mengimbangi dengan teknologi dan Informasi yang sedang berkembang saat ini.
Tetapi yang menjadi dominan dalam pelaksanaan tugas oleh penyuluh merupakan
perusahaan-perusahaan swasta dalam penyuluhan pertanian. Ada beberapa hal
yang mengakibatkan hal tersebut bisa terjadi yang pertama dilihat dari aspek
desentralisasi dan aspek otonomi daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah
daerah, kondisi ini sangat berpengaruh dalam rencana pembangunan baik jangka
panjang maupun jangka pendek untuk itulah, dalam membangun ketahanan
pangan revitalisasi kelembagaan sangat dibutuhkan karna inilah yang menjadi
urgen dalam pelkasanaan penyuluhan pertanian. Yang kedua dilihat dari aspek
sumber daya manusia banyak penyuluh pertanian yang menjadi pejabat struktural
dan jabatan itu tidak ada hubungannya dengan pembangunan pertanian, yang
ketiga adalah menurunnya good will atau kehendak baik kepada daerah dalam
memainkan anggaran politik di sektor pertanian. Akhir-akhir ini seringkali
anggaran untuyk sektor pertanian sangat rendah inilah yang menyebabkan ketahan
pangan semakin rendah dari situ petani tidak akan percaya lagi kepada penyuluh
dikarenakan anggaran yang diberikan oleh pemerintah dalam pengadaan allat alat
usaha tani. Karena itulah alokasi anggaran ini sangat penting bagi penyu;uhan
dalam rangka ketahana pangan dan kemanan pangan.
Selain dari pada itu Penyuluhan masih banyak permasalahan (dilema) dalam
rangka ketahanan pangan untuk pembangunan pertanian sebuah negara. Namun
keadaan penyuluhan saat ini dapat digambarkan dalam beberapa masalah sebagai
berikut :
1.   Karena kekurangan program penelitian nasional, sehingga jarang dilakukan
penelitian tentang penyuluhan.
   2. Setiap penyuluh diharapkan melayanisejumlah besar petani, terutama dalam
kasus petani dengan kondisi sumberdaya yang rendah .
3. Banyak petani yang sulit dijangkau karen aalat transportasi dan komunikasi
jaringan yang terbatas.
4. Sebagian besar waktu pekerja dihabiskan untuk pekerjaan administrasi atau
daripada program berorientasi produksi.
5. Penyuluh yang dibayar dengan gaji kecil dan karena itu sering menyebabkan
mereka bekerja hanya separuh waktu sebagai penyuluh.
6. Dana tidak tersedia untuk penyuluhan seperti untuk persediaan alat demplot dan
pengeluaran sulit dipenuhi
7. Para petani sasaran penyuluh banyak yang buta huruf atau berpendidikan
rendah, sehingga mengurangi efektivitas dari penyuluhan menggunakan media
cetak
8. Tidak mudah mengkoordinasikan antara penyuluh dengan pemerintah
Dari beberapa permasalahan atau dilema penyuluh dalam melaksanakan
penyuluhan pertanian Berikut ini ada beberapa saran untuk meningkatkan
efektivitas penyuluhan :
1.   Perlunya menghapuskan tanggung jawab non produktif bagi penyuluh.
2.   Penguatan melalui pelatihan, memberikan cadangan teknis dan pemberian
tunjangan mobilitas penyuluh.
3.    Fokus penelitian dan penyuluhan lebih tajam pada teknologi yang ditingkatkan
untuk tanaman dan hewan.
4.   Meningkatkan interaksi antara penyuluh dan peneliti, termasuk partisipasi
bersama dalam kegiatan penelitian pertanian dan demonstrasi dan umpan balik
untuk penelitian.
5.   Mendukung program pelatihan petani dan program pertanian kejuruan.
6.   Mempererat koordinasi penyuluhan sektor publik dengan pendekatan media
massa dan kegiatan sektor swasta.
7.   Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan petani sumber daya yang rendah
dan perempuan dengan meningkatkan jumlah penyuluh perempuan dan
mengembangkan teknik yang tepat untuk mencapai petani.
8.    Pengembangan perencanaan yang lebih ketat dan pengaturan objektifdan metode
penyuluhan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:

1.       Setiap Provinsi yang ada di Indonesia mencantumkan dalam RPJMD tentang
ketahanan pangan dan penyuluh pertanian harus ikut serta dalam rangka
peningkatan ketahanan pangan di Indonesia. Dalam RPJMD masing-masing
daerah disebutkan bahwa arah kebijakan di bidang ketahanan pangan adalah (1)
meningkatkan ketersediaan, akses, mutu, keragaman, dan ketahanan pangan
pangan melalui strategi; (2) meningkatkan output dan produktivitas pangan.
Dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, Pasal 7 (2) Departemen Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
mengatur bahwa ketahanan pangan merupakan masalah wajib bagi pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota.
2. Permasalahan dalam pengimpletasian kebijakan dalam rangka ketahanan
pangan adalah anggaran yang diberikan pemerintah daerah kepada bidang
pertanian masih sangat kecil sehingga dalam mengatasi masalah dibidang
pertanian sangat sulit dilaksanakan. Penyuluh disini tidak lagi sebagai sebagai
agen dalam merubah pola pikir petani tetapi mereka diberikan tugas dalam
mendampingi petani melakukan usaha taninya dan kelembagaan penyuluh yang
sering tidak sinkron dengan peritiwa dilapngan dalam mengeluarkan kebijakannya
sehingga tidak sesuai dengan dilapangan.
3. sarana dan prasarana merupakan faktor yang paling penting dalam
peningkatakn ketahanan pangan di Indonesia. Dukungan prasarana dan sarana
pertanian bertujuan untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP), meningkatkan
produktivitas dan produksi melalui upaya memperluas lahan pertanian pada
kawasan tanaman pangan untuk mengimbangi alih fungsi lahan. Setiap Proivinsi
di Indonesia wajib memberikan alatt pertanian kepada petani dalam mempercepat
ketahanan pangan di Provinsi tersebut dan dapat memudahkan petani daalam
rangka ikut pembangunan di Indonesia.
4. Ada beberapa hal yang mengakibatkan dilema penyuluh dalam rangka
ketahanan pangan terjadi yang pertama dilihat dari aspek desentralisasi dan aspek
otonomi daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Yang kedua dilihat
dari aspek sumber daya manusia banyak penyuluh pertanian yang menjadi pejabat
struktural dan jabatan itu tidak ada hubungannya dengan pembangunan pertanian,
yang ketiga adalah menurunnya good will atau kehendak baik kepada daerah
dalam memainkan anggaran poliyik di sektor pertanian

B. Saran
`sudah banyak kebijakan yang diberikan pemerintah untuk kebijakan
dalam rangka ketahanan pangan tetapi masih banyak ketidakseimbangan dengan
kondisi yang terkini di lapngan. Seharusnya pemerintah sering kelapangan
sehingga dalam mengambil kebijakan dan keputusan agar tidak terjadi
keseimbangan dalam rangka ketahanan pangan. Pemerintah juga seharusnya
memberikan anggaran yang lebih terhadap bidang pertanian sehingga bisa
membantu dalam pembangunan pertanian di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Marliati, Sumardjo, P.S. Asngari, P. Tjitropranoto, dan A. Saefuddin. 2008. Faktor-


faktor penentu peningkatan kinerja penyuluh pertanian dalam
memberdayakan petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). Jurnal
Penyuluhan 4(2):92-99.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 2009. Perda Provinsi Jawa Barat No. 2/2009 tentang
RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013. Bandung: Pemerintah
Provinsi Jawa Barat.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur, 2009. Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Timur No.
38/2009 tentang RPJMD Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2014. Surabaya:
Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Pusat Penyuluhan Pertanian. 2011. Rencana Strategis 2010-2014. Jakarta: Pusat


Penyuluhan Pertanian.

Pusat Penyuluhan Pertanian. 2011a. Vademekum Peraturan Turunan Undang-Undang


No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan (SP3K). Pusat Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Badan Penyuluhan
dan Pengembangan SDM Pertanian.

Rahmayani. 2011. Swasembada pangan. http://dyahrahmayani.


blogspot.com/2011/04/ swasembada-pangan.html (14 Oktober 2011).

Rayusman, I.Z., K. Anwar, dan Tisnanta. 2014. Hubungan program legislasi daerah
dengan perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Way Kanan. Jurnal
Kebijakan dan Pembangunan 1(1):29-53. http://pasca.unila. ac.id/wp-content/
uploads/2013/07/3.pdf (20 Agustus 2015).

Sekretariat Negara RI. 2012. www.setneg.go.id. (21 April 2012).

Slamet, M. 2003. Penyuluhan pertanian dalam proses tinggal landas. Dalam: I


Yustika dan A. Sudrajat (eds.) Membentuk pola perilaku manusia
pembangunan. Bogor: IPB Press.

Sumedi, P. Simatupang, B.M. Sinaga, dan M. Firdaus. 2013. Dampak dana


dekonsentrasi kementerian pertanian dan pengeluaran daerah pada sektor
pertanian terhadap kinerja pertanian daerah. Jurnal Agro Ekonomi 31(2):97-
113.

Syahyuti. 2013. Pemahaman terhadap petani kecil sebagai landasan kebijakan


pembangunan pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi 31(1):15-29.

Anda mungkin juga menyukai