Anda di halaman 1dari 8

POLEMIK DESENTRALISASI FISKAL SEBAGAI PENDELEGASIAN KEWENANGAN

FISKAL DALAM OTONOMI DAERAH

Ahmad Diva Imaduddin


205030407111038 / 34

A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan infrastruktur di daerah
menyebabkan meningkatnya kebutuhan atas dana untuk dapat membiayai
pertumbuhan tersebut. Dengan pengeluaran yang semakin meningkat, maka
dibutuhkan pula dana yang lebih besar agar dapat memenuhi kebutuhan belanja
pemerintah daerah. Dengan terpenuhinya kebutuhan belanja pemerintah,
diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih baik sehingga kesejahteraan
masyarakat juga dapat turut meningkat. Atas tuntutan itulah, pemerintah
merumuskan kebijakan mengenai desentralisasi fiskal sebagai salah satu pelaksanaan
dari otonomi daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia membawa implikasi pada
pelimpahan kewenangan antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang (Kharisma,
2013). Dengan adanya otonomi daerah, maka terwujudlah desentralisasi atas hal-hal
yang bersangkutan dengan pengelolaan keuangan daerah, perencanaan ekonomi dan
pembangunan daerah, dan perencanaan lainnya yang dilimpahkan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah. Penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia awal
mulanya berasal dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang merupakan pintu
gerbang reformasi di bidang birokrasi dan ekonomi (Kusuma, 2016). Dengan
diberlakukannya undang-undang tersebut, pemerintah daerah kini memiliki metode
baru untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam melayani masyarakat
serta mengatur rumah tangga pemerintahannya. Selain itu, dana pemerintah yang
pada awalnya dikelola oleh pemerintah pusat kini dialihkan kewewenangannya
kepada pemerintah daerah melalui transfer dana.
Dalam penerapannya, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua
daerah mampu untuk bersifat mandiri dan lepas dari pemerintah pusat, kendati sudah
diberikan kewenangan desentralisasi fiskal sebagai bagian dari kewenangan otonomi
daerah. Sehingga nyatanya pemerintah pusat tidak dapat lepas tangan begitu saja
terhadap pemerintah daerah dan kebijakan otonominya. Maka dari itu, pada
kesempatan kali ini akan ditelusuri lebih lanjut mengenai permasalahan yang terjadi
di lapangan dalam penerapan desentralisasi fiskal sebagai bagian dari kewenangan
otonomi daerah.
B. PEMBAHASAN
1. Latar Belakang dan Konsep Desentralisasi Fiskal
Nurhemi dan Suryani (2015) menyatakan bahwa penerapan desentralisasi
fiskal dilatarbelakangi dengan kekehendakan pemerintah dalam memenuhi aspirasi
daerah yang menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara,
mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan
pastisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah, mengurangi ketimpangan
antar daerah, menjamin terselenggaranya pelayanan publik minimum di setiap
daerah, dan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahterahaan
masyarakat secara umum. Pendapat ini tidak terlepas dari keyakinan bahwa
pembangunan tidak dapat tercapai dengan hanya melalui mekanisme pasar,
melainkan turut melibatkan dan memerlukan peran pemerintah melalui kebijakan
anggarannya. Faktor lainnya yang melatarbelakangi timbulnya kebutuhan akan
penerapan desentralisasi fiskal adalah ketidaksignifikannya pembangunan ekonomi,
tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, serta banyaknya
kegagalan yang dialami oleh pemerintahan pusat dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat di seluruh daerah secara efektif. Desentralisasi fiskal diperlukan
sebagai bentuk perbaikan dalam efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan
akuntabilitas, dan peningkatan mobilisasi dana. Desentralisasi fiskal tidak dapat
diterapkan begitu saja, namun patut disesuaikan dengan latar belakang sejarah dan
kebudayaan, kondisi-kondisi lembaga, politik, dan ekonomi yang melekat pada suatu
daerah.
Adapun jika dikaji lebih lanjut, kebijakan desentralisasi fiskal merupakan
konsekuensi dari keputusan politik desentralisasi atau politik otonomi daerah yang
diambil pemerintah. Karena otonomi daerah tidak mungkin berhasil begitu saja
apabila tidak didukung sepenuhnya oleh politik fiskal melalui transfer fiskal ke daerah,
yang dipahami sebagai desentralisasi fiskal, untuk mendukung keberhasilan otonomi
daerah tersebut. Maka dari itu, untuk mendukung keberhasilan otonomi daerah,
Pemerintah Pusat juga memberikan dana transfer yang dapat dikelola daerah dalam
pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Tujuannya adalah untuk
mengatasi ketimpangan fiskal dengan Pemerintah Pusat dan antar Pemerintah
Daerah lainnya. Untuk meminimilaisir ketergantungan Pemerintah Daerah kepada
Pemerintah Pusat melalui dana transfer tersebut, Pemerintah Daerah dituntut untuk
dapat mengoptimalkan kemampuannya dalam menggali potensi pendapatannya
dengan cara memanfaatkan sumber-sumber dan potensi pendapatan yang ada di
daerahnya masing-masing.
Dengan diterapkannya sistem desentralisasi fiskal di Indonesia, Pemerintah
Daerah harus dapat mengelola keuangan pemerintahaannya secara mandiri, sehingga
seluruh potensi pendapatan harus dioptimalkan melalui perencanaan yang efektif
dan efisien. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh wilayah otonom di Indonesia, baik
di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Dengan demikian, peran Pemerintah
Daerah beserta partisipasi masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil
inisiatif dalam membangun daerahnya, termasuk menggali potensi sumber-sumber
keuangan daerahnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaran
pemerintahan dan pembangunan di daerah.
2. Penghambat Desentralisasi Fiskal
Dalam rangka mewujudkan tujuan desentralisasi fiskal dalam pertumbuhan
ekonomi, desentralisasi fiskal tidak sepenuhnya dapat berhasil dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Rakanita dan Sasana (2011) menjelaskan bahwa terdapat
beberapa persoalan yang menjadi penyebab kegagalan desentralisasi fiskal dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni:
1) Pemerintah daerah tidak dapat memenuhi preferensi masyarakat lokal, baik
karena tidak adanya keinginan politik, maupun disebabkan oleh aparatur yang
kurang termotivasi dan memenuhi syarat untuk menjalankan tanggung jawab
tersebut.
2) Meningkatknya korupsi di tingkat lokal, karena umumnya politisi dan birokrat
lokal lebih rentan karena mudah diakses oleh kelompok-kelompok yang memiliki
kepentingan. Sehingga jika pemerintah daerah mampu menghilangkan ataupun
mengurangi korupsi di tingkat lokal, maka desentralisasi fiskal akan menciptakan
efisiensi alokasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
3) Adanya sistem politik yang tidak demokratis, sehingga premis dasar bahwa
pemerintah daerah memiliki insentif yang lebih kuat untuk menyediakan barang
publik lokal secara lebih efisien mungkin tidak berlaku. Dalam sistem
pemerintahan yang tidak demokratis justru terdapat pandangan yang
menganggap bahwa desentralisasi fiskal hanya sebagai alat yang digunakan oleh
pihak pemerintah daerah untuk mengeksploitasi sumber daya lokal dan nasional.
Apabila pemerintah daerah dapat mengeliminasi berbagai faktor
penghambat tersebut, maka akan semakin menunjang keberhasilan desentralisasi
fiskal dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Selain permasalahan
tadi, Hastuti (2018) mengemukakan bahwa desentralisasi fiskal juga mempunyai
permasalahaan dalam pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Saat ini, pelaksanaan
desentralisasi fiskal tidak berdampak langsung kepada masyarakat baik yang
berkaitan dengan pembangunan ekonomi dan pelayanan publik. Hal ini disebabkan
karena masyarakat lokal tidak mempunyai pengaruh dan kendali terhadap kebijakan
fiskal daerah. Dan pada sisi lain, wakil rakyat yang memiliki posisi di parlemen, yang
sebetulnya bisa mengendalikan atau melakukan kontrol terhadap kebijakan fiskal
pemerintah daerah, rupanya tidak memperjuangkan kebijakan fiskal untuk
kepentingan masyarakat, tetapi hanya memperjuangkan aspirasi pribadi, pengusaha,
dan kepentingan partai politiknya saja. Pelaksanaan musyawarah perencanaan
pembangunan dalam proses perencanaan pembangunan daerah, cenderung
dilakukan hanya untuk memenuhi prosedur formal yang didasarkan pada regulasi
yang seolah-olah melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Kondisi
seperti ini tentunya berdampak pada proses penganggaran pemerintah yang
cenderung tidak responsif terhadap harapan masyarakat yang sejalan dengan
dinamika yang terjadi di lingkungan masyarakat. Akibatnya kebijakan desentralisasi
fiskal hanya menguntungkan segelintir orang saja, dan pelayanan terhadap publik
juga tidak meningkat.
3. Dampak Kewenangan Desentralisasi Fiskal
- Dampak Positif
Desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh
kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Menurut UU No. 33 Tahun
2004, sumber penerimaan yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah
dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana bagi hasil, pinjaman daerah,
dan lain-lain penerimaan yang sah.
Sasana (2009) melalui penelitiannya menyatakan bahwa dampak dari
pelaksanaan desentralisasi fiskal di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah terhadap
kondisi makro ekonomi dan sosial menunjukkan hasil yang relatif baik meskipun
belum optimal. Terdapat beberapa indikator untuk melihat kinerja pembangunan
daerah. Pertama, dilihat dari hasil output pembangunan daerah yang tercermin dalam
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Data realisasi menunjukkan bahwa pertumbuhan PDRB riil di
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama tiga tahun terakhir menunjukkan
kecenderungan selalu meningkat. Laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003 sampai 2005 mengalami pertumbuhan positif,
tetapi belum mampu memecahkan permasalahan dasar di masing-masing daerah,
yaitu besarnya angka pengangguran dan kemiskinan. Hampir di semua daerah di Jawa
Tengah perekonomian cenderung meningkat, tetapi pertumbuhan tersebut belum
mampu menyerap jumlah pengangguran yang cukup besar di wilayah ini, sehingga
diperlukan laju pertumbuhan yang lebih besar lagi untuk mendorong kinerja ekonomi
makro daerah.
Hasil temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Sasana juga sesuai dengan
teori desentralisasi fiskal milik Oates (1993), di mana teori tersebut menyatakan
bahwa desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat karena pemerintah sub nasional/pemerintah daerah akan
lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik. Pengambilan
keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk
menganekaragamkan pilihan lokal dan lebih berguna bagi efisensi alokasi.
Desentralisasi tidak hanya menghasilkan pelayanan yang efisien dan adil melalui
pengetahuan lokal, namun di sisi lain akan mendorong partisipasi demokrasi yang
lebih besar. Dengan demikian, hasil yang diharapkan adalah terciptanya dukungan
yang lebih luas kepada Pemerintah Daerah serta dapat memperbaiki stabilitas politik.
Apabila manfaat ini ditambah dengan sisi lain, misalnya seperti peningkatan
mobilisasi sumber-sumber dan pengurangan tekanan atas keuangan pusat,
peningkatan akuntabilitas dan peningkatan respon serta tanggung jawab pemerintah
maka desentralisasi fiskal merupakan suatu kebijakan yang bermanfaat.
- Dampak Negatif
Melalui penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa desentralisasi fiskal
dapat membawa banyak dampak positif terhadap pemerintah daerah dan
masyarakatnya. Akan tetapi, di satu sisi desentralisasi fiskal dapat berpengaruh buruk
terhadap kondisi negara, khususnya di negara berkembang. Kharisma (2013)
mengemukakan bahwa desentralisasi fiskal akan mendorong ke arah ketidakstabilan
makroekonomi, dimana hal ini disebabkan karena desentralisasi fiskal secara tidak
langsung dapat mengurangi dasar pajak dan pembelanjaan yang digunakan
pemerintah pusat dalam melakukan kebijakan stabilisasi melalui kebijakan anggaran.
Kemudian, implementasi kebijakan desentralisasi yang didesain buruk dapat
menciptakan insentif pemerintah daerah untuk membelanjakan dan meminjam dana
secara berlebihan yang dapat mengarah pada ketidakstabilan makroekonomi.
Selanjutnya, kebijakan desentralisasi tidak akan berjalan dengan baik jika diterapkan
pada birokrasi yang korupsi, tidak stabilnya kondisi politik, administrasi, institusi dan
kemampuan manajerial daerah yang tidak memadai.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia terasa
semakin jauh dari apa yang dicita-citakan Hastuti (2018). Pemerintah daerah justru
semakin bergantung kepada pemerintah pusat, dan juga munculnya praktik dinasti
penguasa di daerah serta maraknya perilaku korupsi para pejabat publik. Dampak
negatif lainnya yang muncul kemudian adalah pernyataan bahwa desentralisasi fiskal
dan otonomi daerah tak lain hanya memindahkan eksternalitas negatif dari
pemerintah pusat di era Orde Baru menuju pemerintah daerah di era reformasi.
Korupsi di Indonesia menjadi permasalahan bangsa yang telah mengakar dari lapisan
paling bawah struktur pemerintahan hingga pada level yang tertinggi. APBN dan APBD
di Indonesia masih dinilai kurang pengawasan dalam pelaksanaannya, sehingga
menimbulkan ketidakefisienan anggaran. Selama ini anggaran publik selalu
mengalami kebocoran baik dari segi penerimaan maupun pengeluaran. Maka dari itu,
desentralisasi fiskal yang pada awalnya bertujuan dengan baik justru dapat
memperluas celah korupsi di Indonesia akibat dari sifat koruptif yang masih hidup di
Indonesia, khususnya di pemerintah daerah sebagai pelaku dalam kebijakan
desentralisasi fiskal yang diberikan oleh pemerintah pusat sebagai salah satu
kewenangannya dalam kebijakan otonomi daerah.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Adanya keinginan pemerintah dalam memenuhi aspirasi daerah yang
menyangkut penguasaan atas sumber-sumber keuangan negara, mendorong
akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan pastisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan daerah yang pada akhirnya diharapkan
dapat meningkatkan kesejahterahaan masyarakat secara umum, membuat
pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan fiskal kepada pemerintah daerah
sebagai wewenang pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Pemerintah pusat membuat kebijakan mengenai desentralisasi fiskal sebagai salah
satu wujud asas desentralisasi dalam kebijakan otonomi daerah yang dilimpahkan
kepada pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal juga berperan penting dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia karena desentralisasi fiskal adalah salah
satu sarana yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mempercepat
terciptanya kesejahteraan masyarakat secara mandiri sesuai dengan potensi
daerahnya masing-masing dalam rangka meningkatkan kesejahterahaan masyarakat
secara umum.
Desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh
kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Hal ini dinyatakan dengan
temuan pada studi yang dilakukan oleh Sasana di mana penelitiannya menyatakan
bahwa dampak dari pelaksanaan desentralisasi fiskal di kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah terhadap kondisi makro ekonomi dan sosial menunjukkan hasil yang
relatif baik meskipun belum optimal.
Walaupun telah terdapat temuan bahwa desentralisasi fiskal dapat
berpengaruh positif, tetapi dalam pelaksanaannya di daerah lainnya secara umum
desentralisasi fiskal masih terkendala oleh faktor-faktor seperti pemerintah daerah
yang tidak dapat memenuhi preferensi masyarakat lokal, meningkatnya korupsi di
tingkat lokal, dan adanya sistem politik yang tidak demokratis, sehingga praktiknya
justru membawa dampak negatif seperti praktik dinasti penguasa di daerah,
maraknya korupsi di tingkat daerah, dan pemerintah daerah yang justru semakin
bergantung dengan pemerintah pusat. Apabila tidak dilakukan suatu perubahan,
maka pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia akan terasa
semakin jauh dari apa yang pada awalnya dicita-citakan
2. Saran atau Rekomendasi
Desentralisasi fiskal merupakan kebijakan yang bertujuan untuk
menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah,
meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, dan
memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat berpartisipasi dalam
proses pembangunan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, tujuan yang positif
tersebut masih terhambat oleh permasalahan-permasalahan di lapangan seperti
korupsi, pengedepanan kepentingan pribadi, dan masih kurangnya pengawasan agar
kebijakan ini dapat diimplementasikan dengan benar. Sehingga dapat ditelusuri lebih
lanjut mengenai solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut, agar kebijakan
desentralisasi fiskal ini semakin berdampak positif terhadap perkembangan dan
pembangunan ekonomi daerah dan pelayanan pemerintah guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di suatu daerah otonom.

D. DAFTAR PUSTAKA
Kharisma, B. 2013. Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi: Sebelum dan
Sesudah Era Desentralisasi Fiskal di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Studi
Pembangunan. Vol. 14 (2) 101-119.
Nurhemi dan Suryani. 2015. Dampak Otonomi Keuangan Daerah Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan. Vol. 18 (2) 183-205.
Rakanita, A. M. dan. Sasana, H. 2011. Kajian Desentralisasi Fiskal terhadap Inflasi dan
Pertumbuhan Ekonomi.

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang


Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan
Daerah.
Sasana, H. 2009. Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.
10 (1) 103-124.
Oates, M. W. 1993. Fiscal Decentralization and Economic Development. National Tax
Journal. Vol. 46 237-243.
Hastuti, P. 2018. Desentralisasi Fiskal dan Stabilitas Politik dalam Kerangka
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Simposium Nasional Keuangan
Negara.

Anda mungkin juga menyukai