Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Literatur

1. Konsep Role Stress

a. Definisi Role Stress

Robbins (2002) dalam Nugroho (2012) mengemukakan bahwa stress peran

berhubungan dengan tekanan yang dirasakan seseorang terhadap suatu peran tertentu

yang diberikan dan dilakukan dalam suatu organisasi. Sedangkan Ho, Chang, Shih, &

Liang (2009) mendefinisikan stress peran adalah manifestasi dari perilaku individu

yang sesuai dengan posisi individu. Dalam sebuah organisasi stress peran individu

mengacu pada stress yang terbentuk dari gabungan harapan perilaku individu dari

semua kalangan. Tang & Chang (2010) mengemukakan bahwa stres peran dapat

terjadi jika peran yang diharapkan dan dirasakan berbeda dan merupakan bagian

integral dari karyawan terkait fungsinya dalam bekerja.

Zorlu (2012) menjelaskan bahwa stres peran diterima sebagai hasil alami dari

pekerjaan yang sesuai dengan kondisi saat bekerja. Stres peran ditandai adanya konflik

antara tugas dan tanggung jawab, perselisihan antara target dan waktu. Stres peran

umumnya terkait dengan kondisi organisasi tempat bekerja dan posisi individu dalam

organisasi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti mengambil kesimpulan bahwa role

stress adalah perilaku individu yang terjadi karena adanya tekanan terhadap tuntutan

peran yang berbeda dari apa yang diharapkan dengan apa yang dirasakan seorang

individu dalam suatu organisasi.

10
b. Jenis Role Stress

Pada teori peran Van, Brief & Schuler (1981) dalam Ho, Chang, Shih, &

Liang (2009) role stress dibagi menjadi dua jenis yaitu role conflict dan

role ambiguity. Kemudian Kahn, Wolfe, Quinn, & Rosenthal (1964) dalam Ho,

Chang, Shih, & Liang (2009) memisahkan role overload dari role conflict sehingga

didapatkan ada tiga jenis stress peran yaitu yaitu role conflict dan role ambiguity, dan

role overload dalam suatu organisasi. Sedangkan Febrianty (2012); Robbnis & Judje

(2013) membagi role stress menjadi role conflict dan role ambiguity.

Zorlu (2012) menjelaskan bahwa role stress muncul dalam dua bentuk, yaitu

role conflict dan role ambiguity. Sedangkan Tang & Chang (2010) membagi

role stress menjadi dua komponen utama yaitu role conflict dan role ambiguity.

Judeh (2011) menjelaskan bahwa individu yang terlibat dalam organisasi akan

mengalami role stress yaitu role conflict dan role ambiguity secara sadar atau tidak

sadar, dan dampak dari role stress tidak dapat dihindari, baik positif atau negatif.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai dua role stress yang terdiri dari

role conflict dan role ambiguity.

1. Ambiguitas Peran (Role Ambiguity)

Kahn, Wolfe, Quin, Snoek & Rosenthal (1964) & Piko (2006) dalam Ho, Chang,

Shih, & Liang (2009) menjelaskan bahwa ambiguitas peran adalah adanya

ketidakjelasan informasi yang cukup tentang tujuan pekerjaan yang harus

diselesaikan dan ketidakpastian harapan orang lain terhadap individu dan hasil

yang dihasilkan setelah tujuan dicapai. Sedangkan menurut Robbins &

11
Judje (2013) role ambiguity terjadi ketika karyawan menunjukkan perilaku yang

tidak jelas dengan apa yang harus dikerjakan.

Peran ambiguitas adalah situasi di mana seorang karyawan kurang jelas

akan informasi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan atau tugas dalam

organisasi. Hal ini terjadi ketika tugas atau kewenangan seseorang yang tidak

jelas dan orang menjadi takut untuk bertindak atau mengambil tanggung jawab

untuk apapun. Ketika orang tahu semua rincian dari posisi mereka dalam

organisasi, merek merasa nyaman untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan

mereka dan untuk berinteraksi dengan orang lain (Judeh, 2011).

Role ambiguity adalah suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang

dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan

perannya dengan tepat. Role ambiguity dapat menyebabkan stress karena

menghalangi individu untuk melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya

perasaan tidak aman dan tidak menentu. Seseorang yang mengalami role

ambiguity memiliki cirri-ciri antara lain tidak jelas tujuan peran yang

dilakukannya, tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab, tidak sepenuhnya

mengerti apa yang diharapkan darinya, tidak memahami peranan dalam

pekerjaannya (Brief et al., 1999 dalam Febrianty, 2012).

Zorlu (2012) menjelaskan bahwa role ambiguity atau ketidakpastian peran

merupakan situasi dimana karyawan tidak memiliki informasi yang cukup tentang

tugas-tugas mereka di organisasi dan bila ada kekurangan diperlukan pengarahan.

Sedangkan Tang & Chang (2010) mendefinisikan role ambiguity sebagai

12
ketidakpastian tentang tugas, wewenang, alokasi waktu, dan hubungan dengan

orang lain.

Rizzo, Houze, & Lirtzman (1970) dalam Nurmawaddah (2016)

menjelaskan bawa role ambiguity diukur dengan menggunakan indikator-

indikator wewenang, tanggung jawab, tujuan pekerjaan, informasi penting terkait

pekerjaan, dan ekspektasi terhadap pekerjaan.

a. Wewenang (authority), merupakan kepastian tentang seberapa besar

wewenang yang dimiliki seseorang dalam menetukan rencana dan

menetapkan tujuan untuk pekerjaan.

b. Tanggung jawab (responsibility) adalah untuk mencapai tujuan yang jelas

dalam pekerjaan diperlukan tanggung jawab.

c. Tujuan pekerjaan (work objective) yang dimaksud adalah mengetahui apa

yang menjadi tujuan dari pekerjaan dan mengetahui serta memahami dengan

jelas tentang apa yang harus dikerjakan.

d. Informasi penting terkait pekerjaan (necessary information about the job)

merupakan adanya kejelasan informasi yang penting terkait pekerjaan yang

akan dilakukan.

e. Ekspektasi terhadap pekerjaan (expectation of the job) merupakan harapan

atas pekerjaan yang akan dilakukan.

2. Konflik Peran (Role Conflict)

Robbins & Judje (2013) mendefinisikan peran konflik terjadi ketika individu

memenuhi satu persyaratan peran sehingga menyebabkan kesulitan untuk patuh

terhadap peran lain. Ketika seseorang individu dihadapkan pada pengharapan

13
yang berlainan maka akan menghasilkan role conflict. Pada keaadan tertentu

dimana dua atau lebih harapan peran saling bertentangan sehingga individu

dihadapkan pada situasi pengharapan peran yang berlainan.

Kahn, Wolfe, Quin, Snoek & Rosenthal (1964) & Piko (2006) dalam Ho,

Chang, Shih, & Liang (2009) menjelaskan bahwa konflik peran merupakan suatu

kondisi dimana sumber daya, waktu, nilai dan kemampuan individu tidak sesuai

dengan standar, kriterian dan harapan yang sudah ditetapkan. Sedangkan Zorlu

(2012) menjelaskan bahwa stres peran umumnya terkait dengan kondisi

organisasi dan posisi individu dalam organisasi. Konflik peran muncul ketika

karyawan memiliki perselisihan dengan karyawan lain atau dengan pemangku

kepentingan dalam organisasi. Dalam role conflict harapan dan tuntutan sulit

untuk bertemu.

Gregson (1994) dalam Febrianty (2012) menjelaskan bahwa konflik peran

muncul ketika individu mendapatkan berbagai tuntutan dari banyak sumber pada

saat yang bersamaan sehingga individu menjadi kesulitan dalam menentukan dan

mematuhi salah satu diantaranya atau tidak mematuhi tuntutan yang lain.

Saverage (1998) dalam Nugroho (2012) menyebutkan bahwa konflik

peran akan terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara perilaku yang

diharapkan. Konflik peran bisa terjadi ketika peran perawat professional tidak

sesuai dengan harapan organisasi misalnya perawat mengambil peran yang bukan

menjadi peranya melainkan menjadi peran orang lain. Konflik peran dapat

menjadi salah satu sumber ketidakpuasan kerja, kelelahan dan ketidakhadiran.

14
Judeh (2011) menyatakan bahwa seseorang akan mengalami konflik

peran Ketika individu dihadapkan oleh harapan peran yang berbeda,

ketidaksesuaian atau ketidakcocokan dalam persyaratan peran sehingga seorang

karyawan yang harus memainkan dua atau lebih peran secara bersamaan yang

bertentangan dengan harapan dan tuntutan dalam organisasi.

Rizzo, Houze, & Lirtzman (1970) dalam Nurmawaddah (2016)

menjelaskan bawa role conflict diukur dengan menggunakan indikator-indikator

sebagai berikut :

a. Sumber daya manusia (human resources)

Melakukan suatu pekerjaan dan menerima penugasan yang berbeda tanpa

sumber daya manusia yang cukup untuk menyelesaikannya.

b. Mengesampingkan aturan (ignored rules)

Untuk dapat menyelesaikan tugas seseorang mengesampingkan aturan dan

menerima permintaan dua pihak atau lebih yang tidak sesuai satu sama lain.

c. Kegiatan yang tidak perlu (unnecessary activity)

melakukan kegiatan yang sebenarnya tidak perlu yang cenderung diterima oleh

satu pihak tetapi tidak diterima oleh pihak lain.

d. Arahan yang tidak jelas (unclearly referrals)

Bekerja di bawah arahan atau perintah yang tidak jelas.

Rizzo, Houze, & Lirtzman (1970) dalam Nurmawaddah (2016) menjelaskan

bahwa role conflict dapat ditimbulkan dengan Koordinasi arus kerja, kecukupan

wewenang, kecukupan komunikasi, dan kemampuan adatapsi. Koordinasi arus

kerja berkaitan dengan mengkoordinasikan berbagai aktifitas individu dalam

15
memperoleh informasi. Kecukupan wewenang berkaitan dengan wewenang

individu dalam mengambil keputusan. Kecukupan komunikasi berkaitan dengan

informasi yang akurat dan waktu yang tepat. Kemampuan adatapsi berkaitan

dengan kemampuan individu menangani perubahan dan mampu memyesuaiakan

keadaan dengan baik dan tepat waktu.

c. Factor Yang Mempengaruhi Stress

Stres kerja tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi stres dapat terjadi

karena penggabungan beberapa penyebab sekaligus. Menurut Luthans (2006)

dalam Saranani (2014) disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan

stres, yaitu:

1. Extra organizational stressor

Extra organizational stressor merupakan stress yang berasal luar organisasi

yang terdiri dari keadaan lingkungan eksternal yang mempengaruhi organisasi.

Misalnya perubahan sosial dan perubahan teknologi, globalisasi, kondisi

keluarga dan lain-lain.

2. Organizational stressor

Merupakan penyebab stres dari dalam organisasi yang meliputi peraturan

kebijakan, proses organisasi, serta tekanan dalam lingkungan kerja.

3. Group stressor

Merupakan penyebab stres dari kelompok dalam organisasi yang timbul

akibat konflik antar personal, interpersonal, dan antar kelompok, kurangnya

kesatuan dalam melaksanakan tugas, kurangnya dukungan dari atasan.

16
4. Individual stressor

Merupakan penyebab stres dari dalam diri individu yang muncul akibat

konflik dan ambiguitas peran, beban kerja yang terlalu berat, serta kurangnya

pengawasan.

d. Strategi Manajemen Stres Kerja

Menurut Sunyoto (2002) dalam Hutomo (2015) dari sudut pandang organisasi,

stress dapat berdampak positif dan negatif. Karyawan yang mengalami stres yang

ringan akan memberikan akibat positif seperti dapat menyelesaikan tugas dengan

baik saat terdesak. tetapi jika stres yang tinggi dibiarkan berkepanjangan akan

berdampak negative seperi menurunnya kinerja karyawan. Terdapat dua

pendekatan yang tepat untuk mengelola role stres yaitu pendekatan individu dan

pendekatan organisasi.

1. Pendekatan individu

Untuk mengatasi stress strategi yang dapat digunakan oleh karyawan adalah

melalui pengelolaan waktu yang baik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial.

2. Pendekatan organisasi

Strategi yang digunakan suatu organisasi dalam mengatasi stres pada

karyawannya adalah penetapan tujuan, seleksi dan penempatan yang adil,

pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program

kesejahteraan.

17
2. Konsep Self Efficacy

a. Definisi Self Efficacy

Self efficacy diperkenalkan pertama kali oleh Alber Bandura yaitu salah seorang

psikolog yang berpengaruh dalam sejarah ilmu psikologi. Bandura menggunakan

teori pembelajaran sosial (Sosial Learning Theory) yang selanjutnya disebut teori

kognitif sosial (social cognitive theory). Teori kognitif sosial ini digunakan sebagai

dasar dalam menganalisis konstruksi self efficacy. (Lenz & Baggett, 2002 dalam

Sartika, 2012).

Bandura, (1986) dalam Wu, Lee, Liang, Chuang, & Lu (2012) mendefinisikan

Self-Efficacy adalah kemampuan karyawan untuk melakukan pekerjaan untuk

menyelesaikan tugas-tugas, menghadapi tantangan, dan menyelesaikan masalah

dalam konteks tempat kerja. Individu dengan kemampuan self-efficacy yang tinggi

lebih mungkin untuk mendapatkan pengalaman sukses untuk memenuhi perannya

dalam organisasi.

Plilip & Gully (1997) dalam Engko (2008) mengemukakan bahwa

self efficacy dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku terutama dalam

menyelesaikan tugas dan tujuan. Individu yang memiliki self efficacy yang tinggi

akan berusaha untuk menyelesaikan pekerjaan untuk mencapai tujuan tertentu.

Sedangkan Lailani (2012) menjelaskan self efficacy dapat menyebabkan terjadinya

perubahan perilaku terutama dalam menyelesaikan tugas dan tujuan.

Zorlu (2012) mengemukakan bahwa Self efficacy adalah penilaian diri dari

keyakinan dan sikap staf bekerja menuju kemampuan mereka dan akumulasi

pengetahuan mereka dibandingkan dengan apa yang diharapkan dari mereka.

18
Sedangkan Tang & Chang (2010) mendefinisikan self efficacy adalah keyakinan

individu dalam satu kompetensi untuk melakukan tugas tertentu. Self efficacy secara

signifikan mempengaruhi bagaimana stres kerja dan kreativitas karyawan.

Baron & Byrne (2004) dalam Indrawati (2014) mengemukakan bahwa

self efficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atas kompetensinya

untuk melaksanakan tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu.

Individu yang memeiliki self efficacy yang tinggi akan mencurahkan semua usaha

dan perhatianya untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Individu dengan self

efficacy yang rendah ketika menghadapi situsi sulit akan cenderung malas berusaha

dan tidak menyukai pekerjaannya.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah

keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dirinya untuk melakukan tugas dalam

organisasi.

b. Fungsi Self Efficacy

Bandura (1986) dalam Sartika (2012) menyatakan bahwa self efficacy terdiri dari

empat variabel yaitu bila self efficacy yang dimilki individu tinggi dan lingkungan

responsif, hasil yang didapatkan adalah kesuksesan, bila self efficacy yang dimiliki

individu rendah dan lingkungan responsif, hasilnya adalah individu tersebut

mengalami depresi ketika orang lain berhasil menyelesaikan tugas yang menurutnya

sulit dia selesaikan. Bila self efficacy yang dimiliki individu tinggi dan situasi

lingkungan yang tidak responsif, hasilnya adalah individu tersebut akan berusaha

keras mengubah lingkungan. Bila self efficacy yang dimiliki individu rendah dengan

19
lingkungan yang tidak responsif, maka individu tersebut akan merasa apatis, mudah

menyerah dan merasa putus asa.

Bandura juga menjelaskan bahwa self efficacy yang tinggi, akan mendorong

individu berusaha melakukan upaya untuk menyelesaikan tugas dengan sebaik-

baiknya. Sebaliknya individu dengan self efficacy yang rendah, akan merasa ragu

dan tidak percaya diri akan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas. Jika

individu tersebut dihadapkan pada kesulitan saat menyelesaikan tugas, maka

tugasnya akan lambat diselesaikan dan mudah menyerah (Pajares, 2002 dalam

Nurmawaddah 2016).

c. Dimensi Self Efficacy

Bandura (1977) dalam Nurmawaddah (2016) menyatakan bahwa ada tiga 3

(tiga) dimensi self efficacy. Dimensi-dimensi tersebut yaitu magnitude, generally

dan strength.

a. Magnitude

Magnitude merupakan dimensi self efficacy yang mengacau pada tingkat kesulitan

tugas yang diberikan yang diyakini seseorang dapat diselesaikannya. Individu

dengan magnitude self efficacy yang tinggi akan mampu menyelesaikan tugas

yang sulit. Sedangkan individu dengan magnitude self efficacy yang rendah akan

menilai dirinya hanya mampu melaksanakan tugas terbatas pada tugas-tugas

sederhana.

b. Strenght

Strenght merupakan dimensi self efficacy yang mengacu pada kemampuan

individu atau tingkat kekuatan yang diyakini individu dalam menghadapi

20
hambatan dan masalah. Individu dengan Self efficacy yang tinggi akan tetap tekun

dan bertahan menghadapai hambatan dan masalah dalam menyelesaikan tugas.

Sedangkan individu dengan self efficacy yang rendah akan lebih mudah menyerah

ketikan menghadapi hambatan atau masalah dalam menyelesaikan tugas.

c. Generally

Generally merupakan dimensi self efficacy yang berkaitan dengan penguasaan

individu terhadap bidang atau pekerjaan. Individu dengan self efficacy yang tinggi

akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan tugas.

Individu dengan self efficacy yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang

diperlukan dalam menyelesaikan tugas.

d. Sumber-Sumber Self Efficacy

Bandura (Lenz & Baggett, 2002) dalam Sartika (2012) menyatakan ada empat sumber

yang mempengaruhi self efficacy. Sumber-sumber tersebut yaitu: pencapaian kinerja

(performance accomplishment), pengalaman tak terduga (vicarious experiences),

bujukan verbal (verbal persuasion) dan keadaan fisik dan emosioanl (physiological

information).

Pencapaian kinerja (performance accomplishment) untuk mencapai kinerja

karyawan harus berlatih dari pengalaman sebelumnya. Seseorang yang selalu berlatih

dari pengalamannya akan memiliki self efficacy yang kuat, sehingga saat melakukan

kesalahan maka kesalahan tersebut tidak akan begitu berpengaruh. Berlatih dari

pengalaman dan belajar dari kesalahan merupakan sumber yang sangat penting dalam

kesuksesan pengembangan self efficacy.

21
Pengalaman tak terduga (vicarious experiences) dalam hal ini melihat orang lain

mencapai kesuksesan akan menjadi sumber self efficacy. Orang lain yang sukses dapat

menjadi role models bagi seseorang dengan memberikan informasi tentang kesulitan

dalam perilaku tertentu. Seseorang dapat mengukur kemampuannya sendiri dan

memperkirakan kesuksesan mereka. Selain pengalaman langsung melihat kesuksesan

orang lain merupakan sumber yang dapat membangunkan self efficacy.

Bujukan verbal (verbal persuasion) sering digunakan sebagai sumber self

efficacy. Bujukan verbal dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kredibilitas,

keahlian, kepercayaan berupa instruksi, nasehat dan saran, serta mencoba untuk

meyakinkan seseorang bahwa mereka dapat menyelesaikan dan sukses dalam tugas

yang sulit. Upaya-upaya secara verbal diperlukan untuk meyakinkan seseorang dalam

meyakinkan seseorang memiliki kemampuan untuk menampilkan perilaku tertentu.

Seseorang yang yakin akan kemampuannya tidak akan mudah menyerah dan mampu

bertahan dalam kondisi tertentu.

Keadaan fisik dan emosional (physiological information) merupakan evaluasi diri

terhadap status fisiologis dan emosional. Kondisi tubuh seperi cemas, dan depresi

dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menampilkan perilaku tertentu.

Seseorang akan mencapai kesuksesan ketika mereka tidak dalam keadaan stress. Stress

memberikan pengaruh yang negatif terhadap self efficacy.

22
3. Konsep Kepuasan kerja

a. Definisi Kepuasan Kerja

Robinn & Judje (2013) mendefisinikan kepuasan kerja adalah sikap karyawan

yang menggambarkan perasaan postif tentang pekerjaannya yang dihasilkan dari

evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan tinggi terhadap

pekerjaannya akan memiliki perasaan-perasaan yang positif terhadap pekerjaannya.

Sementara seseorang yang tidak puas terhadap pekerjaannya akan memiliki perasaan-

perasaan negative

Locke (1969) dalam Nugrugo (2012) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai

perasaan emosional yang positif terhadap pekerjaannya yang merupakan hasil evaluasi

dan pengalaman kerja dengan membandingkan antara apa yang diperoleh dari

pekerjaan dengan apa yang diharapkan dari pekerjaannya. Kepuasan kerja juga

merupakan hasil interaksi antara persepsi karyawan terhadap pekerjaan dan lingkungan

kerjannya. Locke (1969) dalam Tang & Chang (2010) mendefinisikan kepuasan kerja

sebagai keadaan emosi menyenangkan atau positif berdasarkan hasil penilaian dari

pekerjaan seseorang.

Ho, Chang, Shih, & Liang (2009) mengemukanan bahwa kepuasan kerja adalah

sikap positif dan negative yang dimiliki seseorang karyawan terhadap pekerjaanya dan

merupakan keadaan internal pikiran individu tersebut. Jika perasaan yang dimiliki

seseorang terhadap pekerjaannya positif maka individu tersebut akan puas demikian

juga sebaliknya. Tingkat kepuasan kerja tergantung kepada perbedaan antara apa yang

seseorang capai dalam pekerjaannya dengan apa yang di harapkan dari pekerjaannya.

23
Berdasarkan definisi di atas peneliti dapat menyimpulkan kepuasan kerja adalah

keadaan emosi menyenangkan atau sikap positif seorang karyawan terhadap

pekerjaanya yang menunjukkan kesesuaian antara apa yang dikerjakan dengan apa

yang diharapkan dalam pekerjaan.

b. Teory Kepuasan Kerja

Dungguh & Dennis (2014) menyebutkan bahwa ada tiga teori kepuasan kerja dalam

organisasi yaitu Two-Factor Theory, Affective Event Theory, Dan Equity Theory.

Berikut ini akan di jelaskan mengenai ketiga teori tersebut :

a. Two-Factor Theory

Two-Factor Theory menekankan faktor motivator-hygiene yang menjelaskan

kepuasan dan motivasi dalam organisasi. Teori ini berfokus pada hasil kepuasan dan

ketidakpuasan. Teori ini lebih lanjut menemukan bahwa aspek-aspek tertentu dari

pekerjaan menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja. Herzberg menjelaskan

bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja adalah prestasi

(achievement), pengakuan (recognition), pekerjaan itu sendiri (work it self), tanggung

jawab (responsibility) dan pengembangan potensi individu. Sedangkan faktor-faktor

yang terbukti menjadi sumber ketidakpuasan, seperti: Kebijaksanaan dan administrasi

perusahaan (company policy and administration), supervision tehnical, upah (salary),

hubungan antar pribadi (interpersonal relations), kondisi kerja (working condition).

b. Affective Event Theory

Affective Event Theory dikembangkan oleh Psikolog Howard M. Weiss dan Russell

Cropanzano untuk menjelaskan bagaimana emosi dan suasana hati mempengaruhi

kepuasan kerja. Teori ini menjelaskan hubungan antara pengaruh internal karyawan,

24
emosi, mental dan reaksi mereka terhadap insiden yang terjadi di lingkungan kerja

mereka yang mempengaruhi kinerja mereka, komitmen organisasi, dan kepuasan

kerja. Teori ini lebih lanjut mengusulkan bahwa perilaku kerja afektif dijelaskan oleh

suasana hati dan emosi karyawan, sedangkan perilaku berbasis kognitif-adalah

prediktor terbaik dari kepuasan kerja.

c. Equity Theory

Teori Equity oleh Walster, Berscheid & Walster (1973) dalam Dungguh & Dennis

(2014) menunjukkan bagaimana seseorang merasakan keadilan dalam hal hubungan

sosial. Teori ini mengandaikan bahwa selama pertukaran sosial, seseorang

mengidentifikasi jumlah masukan yang diperoleh dari hubungan dibandingkan

dengan output. Huseman, Hatfield & Miles (1987) dalam Dungguh & Dennis (2014)

lebih lanjut menunjukkan bahwa jika seorang karyawan berpikir ada kesenjangan

antara dua kelompok sosial atau individu, karyawan cenderung tertekan atau tidak

puas karena input dan output yang tidak sama. Input mencakup kualitas dan

kuantitas kontribusi karyawan untuk karyanya. Contoh input meliputi: waktu, usaha,

kerja keras, komitmen, kemampuan, kemampuan beradaptasi, fleksibel, toleransi,

tekad, semangat, pengorbanan pribadi, kepercayaan atasan, dukungan dari rekan

kerja dan rekan dan keterampilan. Output (hasil) adalah konsekuensi positif dan

negatif yang individu (karyawan) memandang peserta telah timbul sebagai akibat

dari hubungannya dengan yang lain. Contoh output termasuk keamanan kerja, harga

diri, gaji, tunjangan karyawan, biaya, pengakuan, reputasi, tanggung jawab, dan rasa

prestasi, pujian, terima kasih, dan rangsangan dan sebagainya atau ketidakpuasan

yang berbeda.

25
Sementara itu, Adams & Bond (2000) dalam Moumtzoglou (2010)

mengklasifikasikan teori kepuasan kerja menjadi tiga kelompok: (1) Discrepancy

theories, yang meneliti sejauh mana kebutuhan kepuasan di tempat kerja (2) Theori

Equity, yang menjelaskan perbandingan sosial dalam evaluasi imbalan kerja (3)

Expectancy theories, yang berfokus pada motivasi karyawan

c. Sumber-Sumber Kepuasan Kerja

Lu, While, & Barriball, (2005) dalam Moumtzoglou (2010) menjelaskan bahwa

ada beberapa sumber dari kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit adalah, Kondisi

kerja, Interaksi (hubungan dengan pasien, hubungan dengan rekan kerja, hubungan

dengan manajer), Pekerjaan itu sendiri (beban kerja, penjadwalan, pekerjaan yang

menantang, rutinisasi, persyaratan tugas), Remunerasi, Self-pertumbuhan dan promosi

(pelatihan profesional, peluang kemajuan, pekerjaan promosi, prestasi pribadi), Pujian

dan pengakuan, Kontrol dan tanggung jawab (otonomi, pengambilan keputusan), Gaya

kepemimpinan dan kebijakan organisasi

d. Dimensi Kepuasan Kerja

Smith, Kendall, & Hulin (1969) dalam Nurmawaddah (2016); Winardi (2012); Jan &

Khan, (2015) menjelaskan bahwa dimensi kepuasan kerja terdiri dari pekerjaan itu

sendiri, upah, promosi, rekan kerja, dan supervise. Dimensi tersebut dapat di jelaskan

sebagai berikit :

a. Pay (gaji atau upah yang diterima)

Pay adalah alasan utama kepuasan untuk hampir semua jenis pekerja di semua jenis

organisasi. Karyawan mengharapkan jumlah gaji atau upah yang diterima adil

sesuai dengan kelayakan pekerjaan mereka lakukan.

26
b. Promotion (promosi)

Peluang pengembangan karir merupakan faktor penting yang mempengaruhi

kepuasan pekerjaan perawat. Promosi akan memberikan kesempatan kepada

individu untuk mencapai kemajuan dalam jabatan.

c. Co Wolker (rekan kerja)

Rekan kerja menentukan bagaimana seorang karyawan mencapai tugas pekerjaa

dengan bantuan rekan-rekan yang mendukung dan berperilaku ramah. Rekan kerja

yang baik membuat pekerjaan lebih menyenangkan.

d. The work it self (pekerjaan itu sendiri)

Individu memilih jenis pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan untuk

menunjukkan kompetensi mereka, menggunakan keterampilan teknis mereka,

kebebasan di tempat kerja, menawarkan berbagai tugas dan tanggung jawab dan

memberikan umpan balik tentang kinerja. Pekerjaan yang kurang menantang

menyebabkan kebosanan. Adanya kesesuaian antara pekerjaan dengan kemampuan

dan keterampilan karyawan mempu mendorong karyawan menyelesaikan tugas dan

pekerjaannya.

e. Supervision (Pengawasan)

Kemampuan supervisor untuk menunjukkan perhatian terhadap karyawan,

menghormati ide-ide karyawan, memberikan saran tentang pekerjaan. Aktifitas

karyawan pada perusahaan sangat tergantung pada sikap yang ditunjukkan oleh

atasan kepada bawahan. Perlunya supervise dari pimpinan diharapkan mampu

memacu karyawan mengerjakan pekerjaannya dengan baik.

27
4. Konsep Adaptability

Adaptasi merupakan usaha manusia untuk menyesuaikan diri dengan kondisi tertentu yang

berbeda. Untuk meningkatkan dan mempertahankan keseimbangan fungsi-fungsi fisik,

psikis, sosial, dan spiritual, manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan berperilaku

sebagai manusia sehat. Adaptasi merupakan suatu proses dimana dimensi fisiologis atau

dimensi psikologis berubah dalam merespon terhadap stressor (Taylor, 1997 dalam

Utomo, 2009).

Beberapa faktor yang mempengaruhi adaptasi adalah persepsi terhadap terhadap

stress, mekanisme pertahanan diri, kesediaan dibantu. Adapun faktor yang mempengaruhi

reaksi terhadap stress antara lain sifat stressor, pengalaman masa lalu, tahap

perkembangan, dan kondisi individu. Kondisi individual meliputi umur, jenis kelamin,

pendidikan, suku, budaya, status ekonomi dan kondisi fisiknya (Potter & Perry, 2005

dalam Saragih, 2011).

Hartline & Ferrel (1996) mendefinisikan Adaptability adalah kemampuan

karyawan untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan permintaan interpersonal dan

melayani pelanggan (service encounter). Adaptability meliputi dua komponen utama yang

tidak dapat dipisahkan yaitu (1) kemampuan untuk menyesuaikan perilaku, dan (2) situasi

hubungan antar interpersonal (Spiro & Weitz, 1990).

Jones (1991) mendefinisikan bahwa adaptability adalah kemampuan individu

untuk menanggapi rangsangan dengan menggunakan satu energi untuk mengubah

lingkungan internal atau eksternal untuk bertahan hidup, tumbuh atau berkembang. Secara

konseptual, adaptasi dapat dilihat sebagai fenomena yang kompleks meliputi biologis,

28
psikologis, sosial, budaya, dan spiritual komponen. Dipengaruhi oleh karakteristik bawaan

dan diperoleh, dapat dikembangkan, disempurnakan, atau berkurang.

Spiro dan Weitz (1990) mendefinisikan adaptasi adalah perilaku karyawan dalam

menanggapi informasi yang diterima selama pertemuan layanan dan interaksi dengan

pelanggan. Kinerja pekerjaan orang penjualan adalah sangat terkait dengan adaptasi.

Karyawan yang mengubah perilaku menanggapi kebutuhan pelanggan harus dapat

meningkatkan kualitas layanan.

Bitner, Booms, & Tetreault (1990) Hartline & Ferrel (1996) menunjukkan bahwa

pelanggan mengevaluasi service encounter lebih baik ketika karyawan dapat beradaptasi

dan ketika dapat menemukan kebutuhan dan permintaan mereka yang bersifat khusus.

Penemuan ini lebih lanjut didukung dalam studi kualitatif dari Bitner, Booms, dan Mohr

(1994) dimana mereka melaporkan bahwa hampir setengah dari kepuasan customer

encounter dilaporkan oleh karyawan dihasilkan dari kemampuan mereka untuk

menyesuaikan sistem dengan mengakomodasi kebutuhan dan permintaan pelanggan.

Kemampuan pribadi karyawan dan keinginan untuk beradaptasi lebih memungkinkan

untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan pelanggan. Dengan demikian adanya

kemampuan adaptability karyawan dapat meningkatkan persepsi pelanggan terhadap

kualitas layanan yang diberikan karyawan.

29
5. Konsep Service Quality

a. Definisi Service Quality

Rumah Sakit sebagai sarana yang memberikan pelayanan memiliki peran yang

sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh

karena itu, rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik sesuai

dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang bermutu di Rumah Sakit di gunakan

Quality Function Deployment. Quality Function Deployment merupakan metodologi

yang digunakan untuk desain dan pengembangan produk berorientasi pelanggan

(Cohen, 1995) Magdalena, Arto & Ginting (2013).

Parasuraman, Zeithaml, & Berry, (1985) mendefinisikan Kualitas pelayanan

sebagai perbedaan antara layanan yang nyata diterima atau dirasakan (perceived

service) dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan atau diinginkan (expected

service). Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan maka layanan dapat dikatan

bermutu. Dan apabila kenyataan sama dengan yang di harapkan maka lauyanan

tersebut disebut memuaskan. Tetapi jika kenyataan tidak sesuai dengan yang

diharapkan atau lebih rendah dari harapan maka layanan tersebut tidak bermutu.

Selanjutnya Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) mengukur kualitas

pelayanan berdasarkan lima dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance,

empathy yang menggunakan skala perbandingan antara harapan (expectations)

dengan persepsi tentang kinerja (performance). Persepsi tentang harapan pelanggan

dibagi menjadi tiga tingkatan yang berbeda (1) Pelayanan yang diinginkan (desired

service) yang menggambarkan sesuatu yang diinginkan pelanggan. (2) Pelayanan

30
yang dirasakan mencukupi (adequate service) yang merupakan kondisi standar

sehingga pelanggan mau menerimanya. (3) Pelayanan yang diramalkan mampu

diberikan (predicted service), yakni tingkatan pelayanan yang dinilai konsumen

mungkin terjadi.

Rumah Sakit merupakan salah satu sarana dalam memberikan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat dan berperan dalam mempercepat peningkatan derajat

kesehatan masyarakat dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik sesuai

dengan standar yang ditetapkan dan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Layanan keperawatan merupakan layanan yang sangat penting dan harus terus

meningkatkan kualitas pelayanannya dengan berusaha memenuhi kebutuhan dan

harapan pelanggannya. Adanya kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan dan

pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan sehingga diperlukan adanya startegi

Quality Function Deployment dimana metode ini merupakan pendekatan terstruktur

untuk mendefinisikan kebutuhan atau tuntutan konsumen dan menterjemahkannya

menjadi rencana spesifik untuk menghasilkan produk maupun jasa yang

mempertemukan kebutuhan-kebutuhan pasien dalam hal ini terhadap kualitas

pelayanan.

Penelitian kedua dilakukan analisis Servqual dan Quality Function

Deployment untuk meningkatkan kualitas pelayanan Farmasi RSK St.Vincentius A

Paulo Surabaya (Harijono, 2011). Layanan farmasi merupakan layanan yang sangat

penting dan sangat menunjang di perawatan medik rumah sakit ini. Oleh karena itu,

bagian farmasi harus terus meningkatkan kualitas pelayanannya dengan berusaha

memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggannya. Penelitian ini dilakukan untuk

31
mencari startegi terbaik dengan integrasi servqual dan Quality Function Deployment

dimana metode ini merupakan pendekatan terstruktur untuk mendefinisikan

kebutuhan atau tuntutan konsumen dan menterjemahkannya menjadi rencana spesifik

untuk menghasilkan produk maupun jasa yang mempertemukan kebutuhan-

kebutuhan pasien dalam hal ini terhadap kualitas pelayanan di rumah sakit

(Magdalena, Arto & Ginting, 2013).

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin

meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan di rumah sakit dan

banyaknya rumah sakit swasta yang bersaing dengan rumah sakit pemerintah

sehingga dalam memberikan kualitas pelayanan Rumah sakit pemerintah wajib dan

bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terbaik kepada

pasien dengan mengutamakan kebutuhan dan harapan pasien.

b. Quality Function Deployment

Quality Function Deployment didefinisikan sebagai metodologi terstruktur

yang digunakan dalam proses perancangan dan pengembangan produk untuk

menetapkan spesifikasi tanggapan terhadap kebutuhan konsumen., serta

mengevaluasi secara sistematis kapabilitas produk atau jasa dalam memenuhi

kebutuhan dan keinginan konsumen (Cohen, 1995 dalam Sulaiman, 2016).

Sedangkan Jaiswal (2012) mendefinisikan Quality Function Deployment adalah alat

kualitas yang membantu untuk menerjemahkan voice pelanggan dan menjadi produk

baru yang benar-benar memenuhi kebutuhan mereka.

Sianturi & Singgih (2011) mengemukakan bahwa Quality Function

Deployment adalah sebuah alat perencanaan tentang hal- hal yang harusnya

32
dilakukan untuk bisa memenuhi semua harapan pasien. Quality Function

Deployment berfokus kepada harapan/permintaan pasien yang seringnya disebut

sebagai voice of customer. Quality Function Deployment akan memastikan bahwa

kepuasan konsumen dapat teridentifikasi dan dapat dipenuhi, sehingga dengan

demikian pihak rumah sakit dapat bertahan dalam menghadapi persaingan.

Dengan menggunakan metode Quality Function Deployment, maka bisa

membantu dalam menunjukkan dengan tepat masalah-masalah yang menjadi

pertimbangannya pasien dalam pemilihan, sehingga akan dapat dipastikan bahwa

jasa yang dirancang nantinya akan memenuhi semua harapan pasien.

Penerapan Quality Function Deployment mempunyai manfaat yang besar

bagi perusahaan jasa dalam hal ini adalah Rumah sakit. Manfaat utama yang

diperoleh dari penerapan Quality Function Deployment yaitu (Tjiptono & Diana,

2003 dalam Sulaiman, 2015) :

1. Fokus pada pelanggan

Quality Function Deployment memerlukan masukan yang dikumpulkan dari

pelanggan dan memerlukan adanya umpan balik dari pelanggan. Informasi

tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam artibut atribut spersyaratan pelanggan

2. Efisiensi waktu

Quality Function Deployment dapat mengurangi waktu pengembangan produk

karena memfokuskan pada persyaratan pelanggan yang spesifik dan telah

diidentifikasi dengan jelas

3. Orientasi kerja sama tim

Quality Function Deployment merupakan pendekatan kerja sama tim. Semua

33
keputusan dalam proses didasarkan pada konsensus dan dicapai melalui

diskusi mendalam dan brainstorming Oleh karena setiap tindakan yang perlu

dilakukan diindentifikasi sebagai nbagian dari proses tersebut, sehingga pada

gilirannya hal ini mendorong kerjasama tim yang lebih.

4. Orientasi pada dokumentasi

Quality Function Deployment menghasilkan dokumen komprehensif

mengenai semua data yang berhubungan dengan segala proses yang ada dan

perbandingannya dengan persyaratan pelanggan. Dokumen ini berubah

secara konstan setiap kali ada informasi baru yang dipelajari dan informasi

lama yang dibuang. Informasi terbaru mengenai persyaratan pelanggan dan

proses internal, sangat berguna bila terjadi turnover.

c. House Of Quality

House Of Quality adalah matriks dalam Quality Function Deployment yang

digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan (suara pelanggan) dan untuk

menerjemahkan ke dalam bahasa perancang sehingga suara pelanggan dapa

terintegrasi dalam produk/jasa (Clausing & Hauser, 1988 dalam Basri, 2015).

Quality Function Deployment digambarkan dalam suatu matriks berbentuk

berbentuk rumah yang disebut House Of Quality. Render & Heizer (2005) dalam

dalam Sulaiman (2015) mengemukanan bahwa House Of Quality digunakan sebagai

suatu teknik untuk mendefinisikan hubungan antara keinginan konsumen ke dalam

atribut-atribut barang dan jasa.

34
House Of Quality terdiri dari enam bagian yaitu Customer requirement, technical

description, prioritized customer requirement, interrelationship between technical

description, relationship between requirement and description, Prioritized technical

requirement (Besterfield, 2003 dalam Aji, 2009) :

a. Customer requirement, berisikan berbagai macam persyaratan dari konsumen

tentang produk seperti apa yang diinginkan.

b. Technical description, berisikan berbagai macam penjelasan teknis yang

diberikan perusahaan untuk menanggapi persyaratan konsumen.

c. Prioritized customer requirement, komponen ini meliputi preferensi pelanggan

terhadap produk perusahaan lain, tingkat kepentingan pelanggan dan sales point.

d. Interrelationship between technical description, menunjukkan adanya sinergi di

antara penjelasan teknis.

e. Relationship between requirement and description, menunjukkan hubungan

antara penjelasan teknis dengan persyaratan konsumen.

f. Prioritized technical requirement, fondasi dasar rumah mencakup tingkat

kesulitan teknis dari masing-masing penjelasan teknis yang ingin dicapai

perusahaan.

35
B. Kerangka Teori

Kerangka Teori dalam penelitian ini dapat dilihat pada skema 2.1.

Skema 2.1 Kerangka Teori

Role Stress: Costumer Requirement


Self Efficacy
Role ambiguity
a. Magnitude
Role conflict b. Strength Service Quality
c. Generally
Rizzo, Houze, & a. Tangible
Lirtzman (1970); Bandura (1977) b. Reability
Kahn, Wolfe, Quinn, & c. Responsibility
Rosenthal (1964) Van,
d. Assurance
Brief & Schuler (1981)
e. Empathy
Adaptability
Parasuraman, Zeihaml,
a. Kemampuan & Berry (1988)
untuk
menyesuaikan
perilaku
b. Situasi
Technical Requirement
hubungan antar
interpersonal
Spiro & Weitz
Analisis Quality Function Deployment
(1990)
dengan matriks House Of Quality

Kepuasan Kerja

a. Pay
b. Promotion Atribut kualitas Atribut kualitas
c. Co-workers pelayanan yang pelayanan yang
d. Work it self memerlukan sudah baik
e. Supervision perhatian
Smith, Kendall, &
Hulin, (1969);
Winardi (2012);
Jan & Khan
Perbaikan
(2015)

Pelayanan yang optimal

36

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen2 halaman
    Daftar Pustaka
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Penelitian
    Kuesioner Penelitian
    Dokumen12 halaman
    Kuesioner Penelitian
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Penelitian
    Kuesioner Penelitian
    Dokumen12 halaman
    Kuesioner Penelitian
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Bab Vi
    Bab Vi
    Dokumen5 halaman
    Bab Vi
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen4 halaman
    Daftar Pustaka
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Bab Vi
    Bab Vi
    Dokumen5 halaman
    Bab Vi
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen9 halaman
    Bab I
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen21 halaman
    Bab Iv
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen59 halaman
    Bab V
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen9 halaman
    Bab Iii
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen9 halaman
    Bab I
    Ratna Azwar
    Belum ada peringkat