KASUS POSISI
A. Pendahuluan
Istilah omnibus law pertama kali dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam
pidato pertamanya usai dilantik sebagai Presiden RI 2019-2024 pada 20 Oktober 2019 silam.
omnibus law muncul pertama kali muncul pada saat pidato Presiden Jokowi pada saat
pelantikan 20 Oktober 2019 tepatnya pada Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia menyinggung mengenai konsep hukum perundang-undangan yang disebut
dengan Omnibus Law. Pada dasarnya terdapat 5 point utama yang menjadi bahasan pidato
Presiden kala itu, diantaranya Pembangunan Sumber Daya Manusia yang unggul,
pembangunan infrastruktur, penyederhanaan segala bentuk kendala regulasi, Penyederhanaan
birokrasi dan transformasi ekonomi. Selain itu pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko
Widodo kala itu terdapat pula tiga point penting namun tidak disinggung sama sekali,
diantaranya pada bagian lingkungan, hak asasi manusia serta pemberantasan korupsi.
1
Sehingga dapat kita memberikan sebuah pandangan bahwasa pemerintahan periode
2019/2024 akan berfokus terhadap peningkatan ekonomi dengan meminimalisir segala bentuk
ketergantungan terhadap sumber daya alam sehingga akan mendatangkan investor yang
kemudian dapat meningkatkan daya saing serta menciptakan iklim yang bersahabat bagi para
investor dalam berinvestasi.
Menurut Kamus Hukum Merriam-Webster, omnibus law berasal dari omnibus bill,
yakni Undang-Undang yang mencakup berbagai isu atau topik. Omnibus berasal dari bahasa
Latin yang berarti segalanya. omnibus law adalah sebuah konsep undang-undang utama untuk
mengatur masalah yang sebelumnya diatur sejumlah UU atau satu UU yang sekaligus merivisi
beberapa UU.2 Omnibus Law rencananya akan merevisi 79 Undang-Undang dengan 1224
pasal, yang berorientasi pada percepatan investasi omnibus law tentang Cipta Lapangan Kerja
terdiri atas 11 klaster pembahasan dengan beberapa poin di dalamnya, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Penyerdahanaan Perizinan Berusaha
2. Persyaratan Investasi
3. Ketenagakerjaan
4. Kemudahan dan Perlindungan UMKM
5. Kemudahan Berusaha
6. Dukungan Riset dan Inovasi
1
Berita online kompas.com “mengenal istilah omnibuslaw”
2
Katada.co.id “mengenal omnibus law, jurus pamungkas pemerintah menarik investasi”
7. Administrasi Pemerintah
8. Pengenaan Sanksi
9. Pengadaan Lahan
10. Investasi dan Proyek Pemerintah
11. Kawasan Ekonomi3
Terlepas dari semua itu kita berbicara mengenai keadaan bangsa ini yang dipahami
sebagai negara dengan bentuk hukum. Dalam Konstitusi, Indonesia dinyatakan dalam Pasal 1
ayat (3) UUD NKRI Tahun 19945 berbunyi Negara Indonesia adalah Negara hukum bukan
Negara kekuasaan4. Tujuan dalam negara hukum yang dikemukakan oleh Imanuel Kant pada
abad ke 18 pada dasarnya menjunjung tinggi pada penjaminan tata tertib perseorangan dan
pemeliharaan hukum disamping dijamin kebebasan dan hak. Peraturan perundang-undangan
merupakan bagian dari bentuk utama yang menjadi patokan dalam berkehidupan dalam negara
ini, perundang-undangan dapat didefinisikan sebagai peraturan tertulis dengan memuat norma
hukum yang mampu mengikat secara umum serta dibentuk atau ditetapkan dalam sebuah
peraturan.5
Saat ini terdapat sangat banyak peraturan yang dimiliki oleh Indonesia, mengakibatkan
banyak terjadinya tumpeng tindih peraturan. Ini diakibatkan salah satunya yaitu hukum yang
dimiliki oleh Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa yang dalam aspek
sejarah masa lampau Indonesia merupakan wilayah jajahan, hukum agama yang sangat banyak
didominasi sebagai bentuk batasan dalam berkehidupan yang telah diatur dalam tiap agama
yang ada, dan hukum adat yang merupakan lanjutan dari aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di tiap wilayah.
Melihat kondisi tersebut diperlukan harmonisasi peraturan untuk mampu menyelaraskan
segala bentuk hukum yang terdapat dalam wilayah negara ini, maka dari itu konsep omnibus
law akhirnya muncul dan mnjadi sebuah pembahasan dalam kalangan pemerintah. Berbicara
mengenai omnibus law, terlebih dahulu patut dipahami artian yang terkandung didalamnya.
Omnibus law adalah Undang-undang yang dibuat untu menyasar satu isu besar yang dapat
mencabut atau mengubah beberapa UU menjadi lebih sederhana. Konsep Omnibus Law sangat
sering digunakan pada negara yang menganut sistem Common Law dalam membuat regulasi
3
Berita online kompas.com “mengenal istilah omnibuslaw”
4
Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia 1995
5
Peraturan Perundang-Undangan: Pengertian dan Fungsinya
untuk mengamandemen UU sekaligus. Selain pada amandemen Undang-undang, Omnibus
Law juga dapat digunakan sebagai penyeragaman kebijakan pusat serta daerah yang artinya
konsep ini dapat menghilangkan bagian kebijakan terhadap otonomi daerah sebab tiap daerah
harus mematuhi konsep dari aturan baru yang telah ada, maka agenda reformasi yang pernah
digarap oleh mahasiswa serta aktivis pada jamannya menjadi ancaman untuk terhentikan sebab
otonomi daerah akan menghilang dengan sendirinya akibat adanya Omnibus Law ini.
Konsep Omnibus Law ini pada akhirnya menjadi sebuah pembahasan yang ramai untuk
dibahas oleh masyarakat dalam berbagai macam golongan sejak di ucapkan oleh Presiden Joko
Widodo dalam pidatonya pada tanggal 20 Oktober 2020. Terlepas dari barunya Bahasa yang
terdengar oleh penduduk Indonesia itu sendiri, dikhawatirkan pula akan menyebabkan masalah
yang baru akibat konsep yang diterapkan pada negara Common Law tersebut belum bisa sesuai
bagi Indonesia yang menganut pada konsep Civil Law. 6Apalagi pada Omnibus Law ini
memberikan kemudahan yang besar bagi Indonesia untuk mengundang investor agar dapat
menanamkan modal di Indonesia, ini artinya akan menjadi ancaman bagi pemilik modal lokal
dalam mengembangkan usaha terhadap negaranya sendiri.
Kemudian, regulasi pada sektor pertambangan menjadi bagian dari sasaran pemerintah
dalam menyusun Rancangan Undang-undang Omnibus Law tersebut. Dalam draf RUU yang
dibahas pada Omnibus Law, pembahasan mengenai pertambangan mineral dan batu bara yang
pada intinya terangkum bahwasanya segala bentuk kewenangan dalam perizinan pertambangan
akan diserahkan ke Pemerintah Pusat serta mendapat keringanan bagi pelaku usaha dalam
memanfaatkan segala kegiatan terutama perpanjangan izin seumur tambang yang ada.
Perubahan aturan luas wilayah produksi tertulis pada Pasal 83 huruf c RUU Cipta Kerja yang
kemudian bermakna bahwa luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk
tahap kegiatan operasi produksi minerba diberikan dari hasil evaluasi pemerintah.
Dalam merespon gagasan adanya pembentukan serta penerapan omnibus law,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia sepakat dalam memasukkan pembentukan omnibus law ketenagakerjaan
dan pemberdayaan UMKM ke dalam Program Legislasi Nasional 2020 sebagai prioritas.
Kemudian pada tanggal 12 Februari 2020 pemerintah yang melalui Menko Bidang
Perekonomian yang didampingi beberapa Menteri di Kabinet Kerja menyerahkan draf
Rancangan Undang-Undang Omnibus Law kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta dan diterima oleh secara langsung oleh
6
Berita online Republika.co.id “Omnibuslaw salah ketik atau salah tafsir”
Ketua DPR. Dalam draf RUU tersebut terdapat 79 Undang-undang yang akan dirombak dan
nantinya akan disatukan menjadi 15 bab 74 pasal. 7Ini artinya pemerintah memberikan rasa
kekecewaan yang besar bagi sebagian masyarakat Indonesia yang menolak adanya Omnibus
Law ini, mengingat banyaknya aksi unjuk rasa yang belakangan ini tercipta dari kalangan
buruh, pegiat lingkungan dan berbagai macam golongan lainnya. Dengan diserahkan draf
Omnibus Law ke Dewan Perwakilan Rakyat maka akan menjadi sebuah tujuan besar bagi
masyarakat Indonesia kedepan dalam pengawalan draf RUU yang masih menimbulkan pro dan
kontra ini.
7
Katada.co.id “Kontroversi omnibus law, regulasi penarik investasi”
8
Salam, Abdul. 2018. Menyoal Omnibus Law. https://www.beritasatu.com/investor/500416-menyoal-omnibus-
law.html. (16 Februari 2020)
tahun, dengan Omnibus Law kemudian dapat mempersingkat beberapa alur legislasi
sehingga sebuah UU akan lebih cepat selesai.
b. Kompleksitas Permasalahan
Banyak atau beragamnya permasalahan yang diatur dalam satu Undang-Undang yang
berarti tidak hanya mengatur satu jenis permasalahan saja.
Kemudian terdapat lagi karakteristik khusus dala Omnibus Law yang diantaranya :
a. Berbentuk Kodifikasi
Suatu bentuk hukum yang dibuat secara tertulis, dimana pembuatnya memberikan suatu
bentuk yurisdiksi khusus yang berisikan rumusan asas yang dibuat secara tertulis sebagai
standar operasi berlakunya ketentuan dalam kodifikasi.
b. Gaya atau Motif Politik
UU adalah produk hukum yang pembuatannya tidak lepas dari proses politik. Gaya atau
motif politik yang dimaksud disini merujuk kepada cara yang digunakan legislatif maupun
eksekutif untuk melancarkan proses legislasi. Gaya atau motif politik ini sebenarnya
bertujuan untuk mengakselerasi proses legislasi, namun tidak jarang ditemukan dalam
praktik bahwa gaya atau motif politik bertujuan untuk membentuk konsensus baik di
partai politik, parlemen, maupun pemerintah dengan parlemen.
9
Hokumonline.com diakses paa 21 Februari 2020
10
Hemi Lavour Febrinandez peneliti muda studi konstitusi
bill ) yang berisi perubahan atau bahkan penggantian beberapa undang – undang sekaligus ,
diajukan ke parlemen untuk mendapat persetujuan dalam satu kesempatan pengambilan
keputusan. Kelebihan undang – undang ini hanyalah dan tak lebih dari sifatnya yang
multisektor dan waktu pembahasannya yang bisa lebih cepat daripada pembentukan undang –
undang biasa. Kelebihan inilah yang mengandung bahaya jika ditrapkan di Negara civil law
demokratis seperti Indonesia karena :
1. Omnibus law berpotensi mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang undang.
Sifatnya yang cepat dan merambah banyak sector dikhawatirkan akan menerobos
beberapa tahapan dalam pembentukan undang – undang baik ditingkat perencanaan,
penyusunan , pembahasan , pengesahan maupun pengundangan. Pelanggaran ini
bertentangan dengan prinsip Negara hukum yang menghendaki segala tindakan
pemerintah didasari hukum.
2. Omnibus law mempersempit keterbukaan dan partisipasi public dalam pembentukan
undang – undang. Dalam praktik di beberpa Negara , pembentukan omnibus law
didominasi oleh pemerintah atau DPR. Materi dan waktu pengerjaannya pun bergantung
pada instansi tersebut. Biasanya undang – undang diusahakan selesai secepat mungkin
bahkan hanya dalam satu kesempatan pengambilan keputusan. Akibatnya ruang
partisipasi public menjadi kecil bahkan hilang. Padahal prinsip keterbukaan dan
partisipasi dalam membuat undang – undang adalah roh utama dalam Negara demokratis.
Pelanggaran atas prinsip ini tentu sangat mengkhawatrikan.
3. Omnibus law bisa menambah beban regulasi jika gagal diterapkan. Dengan sifatnya yang
mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang – undang ,
pembahasan undang – undang omnibus law dikhawatirkan tidak komprehensif.
Pembahasan akan berfokus pada undang – undang omnibus law melupakan undang –
undang yang akan dicabut yang akan menghadirkan beban regulasi lebih kompleks.
Misalnya bagaimana dampak turunan dari undang – undang yang dicabut , dampak
terhadap aturan pelaksanaannya dan implikasi praktis di lapangan. Belum lagi jika
undang – undang omnibus law ini gagal diterapkan dan membuat persoalan regulasi
semakin runyam. Dalih lex posterior derogate legi pori ( hukum baru mengesampingkan
hukum lama ) saja tidak cukup karena menata regulasi tidak bisa dengan pendekatan satu
asas. 11
Tidak mudah akan sebuah konsep baru yang tidak dikerangkakan dalam suatu sistem
11
Agil Oktaryal peneliti pusat studi hukum dan kebijakan Indonesia
hukum untuk didifusikan ke dalam suatu sistem hukum itu sendiri. Menarik pada benang merah
bahwa Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut sistem hukum yang dibawa
oleh Belanda, Civil Law System. Berarti juga bahwa Indonesia jelas lebih condong terhadap
sistem hukum yang dianut oleh negara Eropa kontinental, bukan Common Law System.
Hal ini sudah menjadi ketentuan yang dikehendaki oleh konstitusi sebagaimana mestinya
bahwa sistem hukum kita adalah sistem hukum tertulis dan menghendaki adanya hierarki
peraturan berjenjang (Stufenbau Theory).12 Namun, yang perlu kita ilhami bersama bahwa
dewasa ini semakin terdapat konvergensi antara dua sistem hukum terbesar tersebut, termasuk
salah satunya dalam metode pembuatan peraturan perundang-undangan.13 Ditambah lagi
bahkan di Belanda juga telah membuat undang-undang dengan metode omnibus sejak tahun
2006.14 Perbedaan yang mendasar di antara civil law dan common law yang menjadi
pertimbangan diberlakukannya Omnibus Law adalah sebagai berikut:
a. Negara yang menganut Civil Law System lebih mengutamakan adanya kodifikasi hukum
agar ketentuan hukum tersebut dapat berlaku secara efektif sebagaimana yang diharapkan
dari politik hukum yang ingin diwujudkan.
b. Berbeda halnya dengan Common Law System yang menempatkan yurisprudensi sebagai
sumber hukum yang utama sehingga tidak menempatkan kodifikasi hukum sebagai prioritas
dalam konsiderans putusan yang akan dikeluarkan terhadap suatu perkara (judge made law)
sehingga jelas bahwa sebuah kodifikasi hukum atau sebuah hukum tertulis adalah sesuatu
yang sangat vital kedudukannya di negara penganut Civil Law System karena apa yang
tertulis menjadi penentu arah hakim dalam menentukan putusannya, dalam kata lain hakim
sangat terikat dengan kodifikasi hukum yang ada, hukum yang tertulis, serta hukum yang
diundangkan secara resmi oleh negara.
c. Berbeda halnya dengan Common Law System yang sebagaimana sumber hukum yang
utama adalah putusan hakim terdahulu bukan ketentuan-ketentuan yang ada dalam sebuah
kodifikasi hukum di negara tersebut. Selain itu menurut Common Law, menempatkan
kodifikasi hukum atau undang-undang sebagai acuan yang utama dianggap sebagai hal yang
berbahaya karena aturan undang-undang merupakan hasil karya teoretisi yang dikhawatirkan
12
Stufenbau theory adalah teori sistem hukum berjenjang yang ketentuan peraturan dibawahnya tidak boleh
bertentangan dengan yang ada di atasnya
13
Jimly Asshiddiqie, 2019, UU Omnibus(Omnibus Law), Penyederhanaan Legislasi, dan Kodifikasi
Administratif, https://www.icmi.or.id/opini-dan-tokoh/opini/uu-omnibus-omnibus-law-penyederhanaan-
legislasi-dan-kodifikasiadministratif. Diakses pada 14 Februari 2020
Zainal Arifin Mochtar dalam paparan materi “Omnibus Law : Solusi atau Involusi” Seminar Nasional Dies
14
Natalis FH UGM ke 74
berbeda dengan kenyataan dan tidak sinkron dengan kebutuhan masyarakat sehingga
memerlukan interpretasi pengadilan.
d. Maka, penekanannya adalah bahwa mudah bagi negara Common Law System menciptakan
Omnibus Law dan sangat sulit bagi negara Civil Law System menciptakan Omnibus Law di
negaranya. Perihal itu bahkan dapat menjadi permasalahan dan memicu gejolak
ketidakpastian hukum seperti yang dikatakan oleh Prof. Maria.15
e. Hakim di negara Civil Law System tidak terikat dengan preseden yang artinya amar putusan
hakim tidak dibatasi oleh putusan hakim terdahulu yang telah menangani duduk perkara
yang sama. Hakim Civil Law memang tidak terikat dengan preseden/stare decicis, namun
terikat pada peraturan perundang- undangan tertulis yang diberlakukan di negara tersebut
sehingga ketika hakim menangani suatu perkara haruslah selalu mengacu pada ketentuan
yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan, setelah itu barulah hakim mencari
hukumnya yang tidak ditemukan dalam undang-undang dan dapat menggunakan
yurisprudensi. Perlu ditegaskan lagi bahwa di negara Civil Law, hakim tidak terikat pada
yurisprudensi dan sifatnya hanya membantu hakim dalam menentukan putusannya. Ini pula
yang menjadi pembeda dalam Omnibus Law di negara-negara Common Law yang
dirumuskan hanyalah hal-hal teknis semata karena nantinya proses penciptaan hukum
berada di tangan hakim.
Dalam Black’s Law Dictionary Eleventh Edition, Omnibus Law dapat dimaknai sebagai
penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu yang tercantum dalam berbagai
undangundang, ke dalam satu undang-undang payung.16
Omnibus merupakan sebuah kata dalam bahasa latin yang berarti “untuk semuanya”.
Frasa ini memiliki makna multidimensional, in casu, membukukan hukum, Secara logika,
omnibus adalah suatu draf peraturan hukum yang mampu membawahi beberapa substansi
dalam kerangka landasan sektoral yang berbeda. UU Payung sering diartikan sebagai “induk”
dari UU lainnya yang menjadi “anak” dari UU payung tersebut. Contohnya UU No. 5 Tahun
1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) yang berlaku sebagai “induk” dari undang-undang
sumber daya alam lainnya. Dalam konteks ini undang- undang di bidang sumber daya alam
harus mengacu kepada UUPA.
Namun, walaupun UU Payung dikatakan sebagai suatu induk dari UU lainnya, jika kita
15
Maria Farida Indrati, “Omnibus Law”, UU Sapu Jagat?”, https://kompas.id/baca/opini/2019/12/31/omnibus-law-
uusapu-jagat/, diakses pada tanggal Februari 13, 2020
16
Henry Campbell, 2019. Black’s Law Dictionary 11th Edition, Thomson Reuters, New York.
melihat ke dalam UU P3 pada Pasal 7 yang berkaitan degan ketentuan hierarki aturan peraturan
perundang- undangan, Indonesia tidak mengenal UU yang lebih tinggi daripada UU lainnya. 17
Oleh karena itu, UU Payung memiliki kedudukan yang setara dengan UU lainnya.
Kemudian UU kodifikasi merupakan pembukuan hukum suatu himpunan ketentuan dalam
materi yang sama dan bertujuan agar didapat suatu rechtseenheid (kesatuan hukum) dan suatu
rechtszakerheid (kepastian hukum).18 Lebih lanjut menurut Satjipto Rahardjo, kodifikasi hukum
bertujuan untuk membuat kumpulan peraturan-peraturan menjadi sederhana, mudah dikuasai,
tersusun secara logis, serasi, dan pasti.Contoh dari kodifikasi hukum adalah seperti KUHP,
KUHPer, dan KUHD yang telah umum dikenal di dunia hukum Indonesia.
Jika kita tarik perbedaannya, Omnibus Law memiliki sifat dapat menguasai semua
permasalahan yang dilingkupinya atau tidak hanya terbatas dalam satu bidang hukum. Lalu
yang membedakan Omnibus Law dengan UU payung, maupun kodifikasi, terletak pada
esensinya. Omnibus Law ini memiliki esensi sebagai penyederhanaan beberapa undang-undang
yang telah dianggap tumpang tindih dan tidak harmonnis.
Selain itu, Omnibus Law sekaligus bertujuan mencabut, menambah, dan mengubah
beberapa UU sekaligus dan menjadikannya sebagai satu dokumen sehingga semakin jelas
bahwa Omnibus Law nantinya dianggap oleh pemerintah sebagai solusi penyederhanaan
regulasi.
19
Hasanah, Sovia. 2017. Perbedaan Karakteristik Sistem Civil Law dengan Common Law.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58f8174750e97/perbedaan-karakteristik-sistem-icivil-law-i-
dengan-icommon-law-i/. (16 Februari 2020)
undang. Omnibus Law dalam bentuk UU bukan sebagai UU yang pokok, melainkan setara
dengan UU lain yang sebagian ketentuannya diubah ataupun dihapus dengan membuat norma
yang baru.20
Dalam penerapanya, sebenarnya omnibus law lebih banyak diterapkan oleh negara-
negara yang menganut system Common Law seperti Amerika Serikat, Kanada, Irlandia, Inggris,
Korea Selatan, Jerman, Selandia Baru dll dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negara
nya masing-masing dalam rangka menyederhanakan tumpang tindih regulasi dan menjamin
kemudahan dalam iklim dunia bisnis.
System hukum Indonesia yang menganut Civil Law System menjadi salah satu alasan
belum dikenal nya konsep Omnibus law dalam pedoman penyusunan peraturan perundang-
undangan. Dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak dikenal atau dicantumkan nya
konsep omnibus law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum maupun sebagai kerangka
metodologis untuk melakukan revisi peraturan perundang-undangan, begitu pula di dalam
hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam pasal 7 ayat (1) UU
tersebut, Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus
law belum diatur. Jika melihat sistem perundang-undangan di Indonesia, UU hasil konsep
omnibus law berposisi sejajar atau sama dengan UU lain atau bahkan bisa mengarah sebagai
UU Payung karena mengatur secara menyeluruh, meliputi banyak substansi/muatan dan
kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain, akan tetapi Indonesia justru tidak
menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama dibawah TAP MPR dan UU
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai yang tertinggi dalam Hierarki aturan
Perundang- undangan. Sehingga persoalan secara teori peraturan perundang-undangan
mengenai kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Jimmy Z Usfunan omnibus law dapat
diterapkan jika posisi nya sama atau sejajar dengan UU lain, akan tetapi jika berfungsi sebagai
UU Payung sama seperti yang sering dicetuskan oleh beberapa pejabat negara maka perlu
diperhatikan apakah bersifat umum atau detail seperti UU biasa. Jika bersifat umum, maka tidak
20
Pradana, Arasy. 2019. Mengenal Omnibus Law dan Manfaatnya dalam Hukum Indonesia.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5dc8ee10284ae/mengenal-iomnibus-law-i-dan-manfaatnya-
dalam-hukum-indonesia. (17 Feruari 2020)
semua ketentuan yang dicabut melainkan hanya yang bertentangan saja. Tetapi jika
ketentuannya umum, akan menjadi soal jika dibenturkan dengan asas lex spesialis derogat legi
generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum. Oleh sebab itu, harus
diatur dalam hierarki perundang-undangan perihal kedudukannya. Di sisi lain walaupun konsep
omnibus law masih dimungkinkan diterima dalam system hukum Indonesia, tetapi tidak sejalan
dengan semangat reformasi yang telah diperjuangkan dengan berdarah-darah puluhan tahun
lalu, dengan ada nya omnibus law berpotensi besar memunculkan persoalan dalam
penghormatan terhadap otonomi daerah yang menekankan pada kehendak daerah mengatur
daerahnya, karena dengan adanya omnibus law, maka secara otomatis peraturan tingkat daerah
juga harus mematuhi aturan baru dari konsep omnibus law.
Keinginan kuat dari Pemerintah pusat terhadap peningkatan investasi, tidak selama nya
bisa diakomodir daerah, sebab ada investasi tertentu yang tidak bisa diterima oleh daerah
karena dianggap dapat memudarkan nilai kultural masyarakat setempat, oleh sebab itulah
dikenal dengan istilah desentralisasi sehingga daerah memiliki otonomi nya sendiri untuk
menentukan dan mengelola segala hal yang berkaitan dengan investasi. Dengan prinsip
sentralisasi yang akan menjadi muara apabila omnibus law ini diundangkan menjadi UU yang
sah, maka jelas ini adalah bentuk penghianatan terhadap agenda Reformasi yang telah
diperjuangkan. Dengan beberapa pertimbangan tersebut dapat dilihat apakah penyusunan
Omnibus Law bertujuan untuk sepenuhnya demi kepentingan masyarakat, atau hanya untuk
mengakomodir segelintir orang saja yang beraliansi dengan Oligarki, jika omnibus law dibuat
untuk melindungi kepentingan penguasa dan mengesampingkan hak-hak pekerja serta
masyarakat sipil secara umum, lebih baik Omnibus Law tidak perlu untuk dibuat. Sehingga
dapat disimpulkan bahwasanya untuk saat ini, penerapan Omnibus Law bukanlah solusi untuk
menunjang tujuan yang diimpikan oleh Presiden Joko Widodo, pengoptimalan terhadap aturan
yang sudah ada jauh lebih urgent dilakukan dibandingkan dengan membuat omnibus law
dengan tergesa-gesa tanpa kajian yang matang dan komprehensif.
21
Wahyuno. 2020. Penerapan Undang-undang "Sapu Jagat" Omnibus Law di Dunia.
https://ekbis.sindonews.com/read/1513270/33/penerapan-undang-undang-sapu-jagat-omnibus-law-di-dunia-
1580466285. (17 Februari 2020)
pemangkasan atas jumlah regulasi existing dikenal dengan Guillotine Approach,
kemudian pada tahap kedua adalah proses peningkatan kualitas regulasi di 10 area
prioritas dengan menerapkan metode RIA (Regulatory Impact Assesment) dalam
penyusunan peraturan.
22
Badan Pusat Statistika. (2015). Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015.
Berdasarkan kondisi tersebut, Indonesia terdiagnosa sedang mengalami krisis lapangan
kerja. Berbagai Undang-Undang yang mengatur khusus terkait ketenagakerjaan kian hari
mendapat kecaman dari pekerja sendiri. Memberikan perlindungan para pekerja terhadap
kekonsistenan perusahaan ialah suatu upaya untuk mengendalikan perusahaan dalam hal
pemutusan hubungan kerja tak beraturan. Sehingga, pemutusan hubungan kerja wajib melalui
perundingan oleh kedua belah pihak. Hal ini mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan
hubungan kerja. Selain itu, pemerintah wajib memberikan pembinaan, pengawasan, penyidikan,
memberikan ketentuan pidana dan sanksi administratif pada setiap perusahaan baik instansi
pemerintah maupun swasta yang melanggar ketentuan pada pasal Undang – Undang Tentang
Ketenagakerjaan23. Oleh karena itu, ketenagakerjaan merupakan suatu pembahasan yang
melekat antara lapangan kerja dan perusahaan.
“Pada Februari 2017 - Februari 2019 tingkat pengangguran terbuka tertinggi jatuh pada
jenjang Diploma I/II/III yaitu berkisar 9%”
Terlepas dari kebijakan yang tertera dalam Undang – Undang di atas berkenaan dengan
Ketenagakerjaan dan Pendirian Usaha, Pemerintah berkehendak untuk memotong alur birokrasi
dan peraturan yang tumpang-tindih. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan investasi guna
menciptakan banyak lapangan kerja. Gagasan tersebut merupakan motif dibentuknya dua
Undang – Undang (UU), yakni UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan UU Pemberdayaan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Penataan ulang atau peringkasan peraturan ini
diperkenalkan oleh Joko Widodo dalam pidato yang ia berikan saat pelantikan dengan istilah
omnibus law.
2. Kilas Balik Omnibus Law Saat Ini
Omnibus law merupakan Undang-Undang‘sapu jagat’ yang dapat digunakan
untukmengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU. Mungkin masih terdengar asing di
telinga masyarakat, hal ini disebabkan omnimbus law kerap diadopsi oleh negara dengan sistem
common law sedangkan Indonesia menganut sistem civil law. Omnimbus law ialah
sebuahkonsep hukum baru bagi Indonesia yang diperkenalkan oleh Presiden Joko Widodo
sebagai upaya peningkatan laju investasi. Beberapa negara di dunia telah mempraktikkan
kebijakan hukum ownimbus law seperti Kanada, Irlandia, dan Amerika Serikat. Irlandia
merupakan salah satu negara yang mencapai rekor dunia dalam hal ini karena ia mampu
menghapus 3.225 Undang-Undang melalui omnibus law. Apabila diterapkan, Indonesia akan
terkendala karena sistem peraturan Perundang-undangan yang berbeda. Sistem omnibus law
24
Rongiyati, Sulasi. (2019). Menata Regulasi Pemberdayaan UMKM Melalui Omnibus Law. Pusat Penelitian
Badan Keahlian DPR RI. Vol XI, No.23
pemerintah pusat dapat berikan sanksi dan batalkan peraturan daerah yang menghambat
investasi.25
Dalam tahapan pembentukan peraturan perundang – undangan pemerintah mengacu
pada peraturan yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan (UU
P3), terdapat lima tahapan yang harus dilalui satu persatu yakni tahap perencanaan, tahap
penyusunan, tahap pengesahan atau penetapan, dan tahap perundangan. Hingga saat ini
pemerintah telah sampai pada tahap atau penetapan.
Berdasarkan hal tersebut RUU Omnibus Law tidak sejalan dengan karakter pengesahan
bangsa Indonesia yang merupakan negara hukum seperti yang telah dinyatakan dalam Pasal 1
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu Negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaats)
bukan negara kekuasaan (Machtsstaat). Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa dalam setiap
negara yang menjunjung tinggi hukum memiliki tujuan antara lain ketertiban, ketentraman,
kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam bernegara dan bermasyarakat.26 Apabila suatu
negara telah memutuskan untuk menganut sistem hukum (Rechtstaats) maka negara memiliki
sebuah konsekuensi bahwa perundang – undangan ialah satu – satunya tolak ukur dalam
keberjalanan negara atau dapat dikatakan rule of the game dalam masyarakat. Sebab itu dalam
perencanaan, perumusan hingga pemberlakuan hukum, undang – undang merupakan sesuatu
yang berisi norma perlindungan kepentingan rakyat baik dalam keadilan, kebebasan,
kesejahteraan, perlakuan yang manusiawi dan lain sebagainya.27
“omnibus law kerap diadopsi oleh negara dengan sistem common law sedangkan
Indonesia menganut sistem civil law.”
25
Busroh, Firman Freaddy. (2017). Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi
Pertanahan. Jurnal Arena Hukum. Vol. 10, No.2
26
idem
27
Pond, Roscoe. (1996). An Introduction to the Philosophy of Law. Terjemahan Jakarta: Bhatara Niaga Media.
B. Kebijakan Saat Ini
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Seperti halnya peraturan yang tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 mengenai
perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan baik dalam skala mikro maupun makro
yang sering mendapatkan kritik dari buruh. Substansi dari UU tersebut meliputi perencanaan
tenaga kerja yang di dalamnya mengharuskan diselenggarakannya pelatihan kerja, peningkatan
produktivitas tenaga kerja, optimalisasi kondisi lingkungan kerja, pengupahan dan kesejahteraan
tenaga kerja, dan jaminan sosial tenaga kerja. Segala ketentuan tersebut diperoleh dari pihak –
pihak terkait baik pemerintah maupun swasta. Sesuai dengan ketentuan sebelumnya, pelatihan
kerja dimaksudkan untuk menjadi jembatan penghubung tenaga kerja dengan lapangan
pekerjaan serta peningkatan standar mutu kompetensi kerja. Setiap perusahaan wajib
mengadakan pelatihan bagi para pekerja begitupun semua pekerja memiliki hak yang sama
untuk memperoleh pelatihan tersebut. Demi menjamin kualitas pelatihan yang memiliki target
untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) setiap perusahaan baik instansi
pemerintah ataupun swasta wajib mendaftarkan kegiatan tersebut dengan syarat telah memenuhi
persyaratan seperti tersedianya tenaga kepelatihan, tersedianya sarana dan prasarana pelatihan
kerja, tersedianya dana bagi pelatihan tersebut, dan kesesuaian kurikulum tingkat pelatihan.
Selanjutnya, penempatan tenaga kerja dituntut untuk berasaskan terbuka, inklusif, bebas,
obyektif, serta adil dan setara tanpa diskriminasi. Oleh karenanya, setiap pekerja memperoleh
hak dan kesempatan untuk memilih pekerjaan juga mendapatkan upah yang layak baik di dalam
atau di luar negeri. Pekerja memiliki kejelasan hubungan dengan pemberi kerja dapat disebut
dengan hubungan kerja. Kebijakan hubungan kerja disini bermaksud untuk menghindari adanya
praktik eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerja dengan cara diadakannya
perjanjian kerja yang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak.
28
Direktorat Jenderal Pajak. “PPh Pasal 4 ayat (2)”, diakses pada 15 Januari 2020 melalui
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-4-ayat-2
29
Oki Wahju Budianto. (2017). Upah Layak Bagi Pekerja/Buruh Dalam Perspektif Hukum Dan Ham. Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, Vol. 17, Nomor 3, Hal 379
30
Pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Jakarta 15 Januari 2020
menguntungkan bagi investor atau pengusaha. Ada berbagai macam permasalahan yang
nantinya akan muncul apabila UU ini benar diterapkan antara lain :
1) Mempermudah lalu lintas tenaga kerja
Ketika peraturan ini diterapkan akan berdampak terhadap fleksibilitas tenaga
kerja. Pekerja akan mudah untuk berpindah dari satu perusahaan keperusahaan lain.
Sementera perusahaan akan mencari kemudahan dengan cara menerapkan sistem
kontrak atau outsourcing agar pekerja dapat di kontrak dan diberhentikan dengan
mudah sehingga tidak adanya kepastian dan pengangkatan karyawan tetap. Menurut
UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 Pasal 59 sistem kontrak atau yang bisa
disebut PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) hanya dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu:
a)Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara.
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
lama, dengan kisaran 3 tahun.
c)Pekerjaan yang bersigat musiman.
d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan.
PWKT tidak dapat diterapkan untuk pekerja dalam masa yang lama atau
terus menerus. Apabila kontrak dari pekerja habis maka kewajiban pekerja otomatis
akan berakhir. Namun dalam keberjalanannya apabila karyawan resign maka
perusahaan tidak wajib untuk memberikan uang pesangon. Di lain hal, sesuai
dengan UU Ketenagakerjaan pasal 162 perusahaan berkewajiban untuk
memberikan uang pengganti hak yang diatur dalam pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
“Dalam keberjalanannya apabila karyawan resign maka perusahaan tidak wajib
untuk memberikan uang pesangon”
Para pekerja tetap pun tak luput dari kekhawatiran berlakunya UU ini. Dengan
semakin mudahnya regulasi yang ada maka akan semakin mudah pula perusahaan
untuk memberhentikan pekerjanya apabila tidak memenuhi target atau dipaksa
untuk mengajukan pengunduran diri sukarela dengan alasan laba perusahaan yang
menurun. Di Indonesia sendiri antara tahun 2017 sampai dengan 2019 telah terjadi
ratusan ribu kasus PHK contohnya kasus PHK masal yang terjadi di PT Arnott’s
yang memaksa 300 orang pekerjanya untuk mengundurkan diri secara sukarela, PT
Freeport (PHK 8.300 buruh), PT PDK (PHK 1.300 buruh), Awak Mobil tangka
Pertamina (PHK 1.950 buruh) serta sektor perbankan yakni Bank Danamon yang
mem-PHK 2.322 pegawainya tahun 2017 silam.31
2) Mempermudah izin Tenaga Kerja Asing
Dalam upaya pemerintah untuk menarik investor untuk masuk maka
persyaratan untuk memperkerjakan Tenaga Kerja Asing akan dihapus. Dengan
demikian TKA Unskill akan lebih mudah untuk masuk dengan asumsi menekan
biaya produksi dan meningkatkan laba yang akan diperoleh. Keberadaan TKA
sendiri telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres No,20/2018). Untuk mengawal proses
pelaksanaannya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(Permenaker No.10/2018).
Dalam melakukan perlingungan terhadap para pekerjanya pemerintah
sebenarnya telah melakukan berbagai macam syarat sehingga pekerja asing yang
masuk benar – benar pekerja yang ahli atau professional dalam bidangnya. Namun
ternyata Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 ini banyak menimbulkan
permasalahan baik dalam tataran Normatif maupun implementatif. Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Presiden tersebut ada yang tidak sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Misalnya di Pasal 9
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 menyatakan bahwa Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA) merupakan izin bekerja bagi TKA. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003. "Pasal
43 ayat 1 menyatakan bahwa pemberi kerja TKA harus memiliki RPTKA yang
disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk, dalam penjelasannya RPTKA
merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin kerja TKA. Hal lainnya yang
berlawanan adalah ketentuan Pasal 10 ayat (1a) yang menyatakan bahwa pemberi
kerja TKA tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang
merupakan pemegang saham, menjabat direksi, dan anggota dewan komisaris,
sementara di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tidak ada pengecualian,
31
Admin. Waspada PHK, Kenali Hakmu Jangan Mau Di Tipu Daya. https://www.turc.or.id/waspada-phk-kenali-
hakmu-jangan-mau-di-tipu-daya/ diakses pada 15 Januari 2020 Pukul 18.30
semuanya harus punya izin. Data dari Kemenakertrans mencatat jumlah tenaga
kerja asing.32
32
BPHN Kementrian Hukum dan HAM. Laporan Aakhir Kelompok Kerja: Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait
Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Tahun 2018. Hal 3
nantinya akan di bawah dari upah minimum dan dibayarkan tetap dalam kurun
waktu satu bulan.”
3) Sistem Upah Berbasis Jam Kerja
Pada saat ini sistem pengupahan yang berlaku adalah Upah Minimum (UMP)
Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dan Upah Minimum Kabupaten ditetapkan (UMK)
oleh Gubernur dengan rekomendasi dewan pengupahan Provinsi dan Bupati. Dalam
RUU Omnibus Law diwacanakan sistem pengupahan berdasarkan prinsip fleksibilitas
serta produktivitas yakni dengan sistem upah perjam. Penghapusan upah minimum
yang dibayar setiap satu bulan tentunya akan sangat meresahkan bagi para pekerja.
Sistem penghitungan jam kerja Indonesia pada umumnya adalah 6 hari kerja dengan
lama waktu total 40 jam. Kedepannya apabila peraturan ini ditetapkan maka para
pekerja yang bekerja dibawah 40 jam seminggu akan menerimah upah yang akan
dihitung per jam dimana upah itu nantinya akan di bawah dari upah minimum dan
dibayarkan tetap dalam kurun waktu satu bulan. Belum lagi ketika pekerja sakit,
menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan; maka upahnya tidak
lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja
Para buruh yang tergabung di dalam aliansi bersikap bahwa dengan
diberlakukannya sistem tersebut merupakan bentuk diskriminasi bagi para pekerja
yang tidak manusiawi.33 Dampak positifnya buruh akan bekerja keras sehingga barang
atau jasa yang dihasilkan perusahaan akan menigkat pesat. Tetapi perusahaan tidak
memperhatikan kepentingan dari buruh dimana hal ini bertentangan dengan UU yang
telah berlaku pada saat ini yani UU No. 13 Tahun 2003. Disebutkan dalam Pasal 5 UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki
kesempatan yang samatanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”dan Pasal 6
UU No. 13 tahun2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak
memperolehperlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Dalam penerapannya sistem yang baru ini akan rentan untuk dimanipulasi
oleh perusahaan sebagai langkah untuk menekan angka pengeluaran dengan cara
menurunkan jam kerja atau bahkan tidak mempekerjakan buruh di waktu – waktu
terentu sehingga akan menyebabkan rendahnya upah yang akan diterima oleh pekerja
yang berakibat pada kesejahteraan kaum buruh kian tidak menentu.
33
Safitri, Kiki. Ini 6 Alasan Buruh Tolak RUU Omnibus Law.
https://money.kompas.com/read/2020/01/07/112743426/ini-6-alasan-buruh-tolak-ruu-omnibus-law? page=all
Diakses pada 16 Januari pukul 09.12
4) Jaminan hak-hak pekerja dihapuskan
Dampak dari fleksibilitas sistem kerja adalah perusahan akan memberlakukan
sistem kontrak yang kedepannya mempengaruhi hak – hak serta jaminan yang akan
diperoleh oleh pekerja. Serta ketentuan pesangon/tunjangan PHK. Para pekerja yang
tergolong rentan atau bekerja tanpa job security seperti pekerja dalam sistem kontrak
dan alih daya (outsourcing), juga pekerja yang kontraknya tidak jelas seperti
pemagang, pekerja paruh waktu (part timer), serta pekerja lepas (freelancer).
Kekhawatiran muncul bagi mereka karena akan lebih sulit untuk menuntut hak –
haknya.
Permasalahan semakin rumit karena dalam rekomendasi perubahan yang
terapat dalam Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi Hukum Terkait Ketenagakerjaan
ada beberapa hal yang dianggap merugikan kaum buruh Laporan ini
merekomendasikan agar cuti haid untuk perempuan dicabut, perjanjian kerja waktu
tertentu (kontrak) dapat diperpanjang hingga 5 tahun, fasilitas kesejahteraan dihapus,
hingga jumlah pesangon perlu dikurangi.
Regulasi perihal jaminan serta fasilitas kesejahteraan bagi para buruh sendiri sudah diatur
dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 100 yaitu:
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha
wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan sesuai dengan
kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Singapura 3 3 3 3
Thailand 4 4 4 4
Myanmar 4 4 3 5
Malaysia 5 5 4 4
Indonesia 4 4 5 5
Filipina 5 5 5 5
Kamboja 5 5 5 5
Laos 5 5 5 5
Vietnam 5 5 5 5
Sumber : International Trade Union Confederation
Keterangan
1 : Irregular Violations of rights
2 : Repeated violations of rights
3 : Regular violations of rights
4 : Systematic violations of rights
5 : No guarantee of rights
5+ : No guarantee of rights due to the breakdown of the rule law
ITUC Global Rights Index yang dilansir International Trade Union Confederation
menggambarkan negara-negara terburuk di dunia bagi pekerja dengan memberi peringkat 139
negara dalam skala mulai 1-5 berdasarkan tingkat penghormatan terhadap hak-hak pekerja. Dari
data tersebut nilai indeks Indonesia padatahun 2017 mencapai 5 yang berarti negara ini tidak
memperhatikan jaminan serta hak–hak untuk para pekerja. Ketika regulasi penghapusan
berbagai macam hak dan jaminan dengan dalih untuk mempermudah investasi tapi malah akan
semakin memperburuk tingkat kesejahteraan rakyat. Indonesia akan menjadi tempat yang buruk
untuk bekerja.
2. Omnibus Law Perparah Krisis Ekologi
Selanjutnya yang dikhawatirkan terkait disahkannya Omnibus Law Cipta Lapangan
Kerja ini adalah terjadinya suatu ketidakseimbangan antara tujuan meningkatkan investasi dalam
negeri namun disisi lain mengakibatkan suatu dampak yang serius terhadap lingkungan hidup.
Sebelum membahas Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terkait lingkungan hidup, perlu
menjelaskan definisi krisis ekologis dan akibat krisis ekologis. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesa, Krisis adalah keadaan yang berbahaya atau keadaan genting sedangkan definisi
ekologi menurut Miller adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme
satu sama lain dan dengan lingkungan.34 Dapat kita simpulkan kisis ekologi adalah keadaan yang
berbahaya terhadap lingkungan.
Krisis ekologi ini mulai disuarakan sejak tahun 1960-an, dimana sebagian besar orang
mulai memikirkan kembali relasi mereka terhadap alam ketika perbuatan manusia mulai
mengancam keseimbangan alam dan mengalienasikan manusia dengan kehidupan selain dirinya.
Puncaknya, pada 1980-an hampir bisa dipastikan kesadaran tiap orang tersedot dengan
permasalahan tersebut, bahkan artikel ilmiah yang membahas persoalan ini meningkat tajam.
Pada 1960-an, Lynn White, Jr. berpendapat dalam papernya yang mengundang perdebatan
hingga kini yang dipublikasikan pada jurnal Science, yaitu The Historical Roots of Our
Ecological Crisis, bahwa krisis ekologis akibat dari eksploisitas sains dan teknologi berakar
pada pandangan antroposentris tradisi Yudeo-Kristiani yang menganggap bahwa manusia dan
alam adalah dua hal yang berbeda. Posisi yang berbeda ini meletakkan manusia lebih tinggi dari
alam dan oleh karenanya manusia berhak menguasai alam tersebut. Argumentasi White
kemudian menekankan bahwa penyebab makin massif, dramatis, serta kompleksnya kerusakan
lingkungan adalah ketika cara pandang yang antroposentris itu kemudian didukung oleh
berbagai penemuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang terbukti lebih banyak
bersifat destruktif terhadap alam.35
Krisis ekologi sudah bukan merupakan kemungkinan yang akan terjadi di masa
mendatang namun telah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas tolerasni dan
kemampuan adaptasi lingkungan36. Salah satu faktor yang berpengaruh pada krisis ekologi saat
34
Miller, P.C. (1975). Ecology of World Vegetation. New York: Springer-Verlag
35
Lynn White, Jr., The Historical Roots of Our Ecological Crisis, Jurnal Science, New York: Harvard University
Center, Vol.155 No.3767, 1967. 1205
36
Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, cet. 1, Surabaya: Airlangga University Press, 1999), hal.1
ini ialah sektor penanaman modal/investasi. Meningkatknya investasi di berbagai bidang baik
dalam skala kecil maupun besar telah menimbulkan dampak, baik terhadap lingkungan maupun
terhadap masyarakat itu sendiri37. Sebagai contoh, perkembangan industri dalam beberapa
dekade terakhir telah memberikan sumbangan besar bagi perekonomian Indonesia. Namun di
sisi lain hal tersebut juga memberi dampak pada lingkungan akibat limbah yang dihasilkan
maupun eksploitasi sumber daya yang semakin intensif dalam pengembangan industri. Kondisi
ini seharusnya memerlukan adanya transformasi kerangka kontekstual dalam pengelolaan
industri, yakni keyakinan bahwa operasi suatu industri secara utuh harus tetap menjamin sistem
lingkungan alam berfungsi sebagaimana mestinya dalam batasan ekosistem lokal hingga biosfer.
Efisiensi bahan baku dan energi dalam pemanfaatan, pemrosesan, dan daur ulang akan
menghasilkan keunggulan kompetitif dan manfaat ekonomi.38
Gambaran Penggunaan Ruang untuk Investasi dan Konflik terkait Lingkungan Hidup
37
Arahan Deputi Bidang Penataan Lingkungan tentan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup (LPJP2SLH), dalam “Seminar Pos Pengaduan Sengketa Lingkungan Hidup”, 9 Juni 2008.
38
Hambali. (2003). Analisis Resiko Lingkungan (Studi Kasus Limbah Pabrik CPO PT Kresna Duta Agroindo
Kabupaten Merangin, Jambi). Program Pascasarjana, Program Studi Magister Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Sumber : Walhi
Berdasarkan data tersebut, proporsi luas wilayah Indonesia yang dialokasikan kepada
korporasi sebagai bentuk investasi cukup besar. Hal tersebut diperparah dengan data konflik
lingkungan hidup – agraria didominasi oleh kasus pencemaran lingkungan oleh korporasi serta
data terkait tingginya bencana ekologis yang terjadi.
Data-data tersebut keseluruhan menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan yang
meningkat disertai resiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan
fungsi ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak yang mana pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakant
dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. Tujuan pengelolaan lingkungan
dilakukan untuk mencegah dampak negatif, menanggulangi dan mengendalikan dampak negatif
yang timbul dan maningkatkan dampak positif sehingga dampak tersebut memberikan manfaat
yang besar.
Lingkungan hidup di Indonesia semakin rawan terjadi kerusakan seiring dengan wacana
Pemerintah untuk menghapuskan Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan(Amdal) dan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dalam daftar syarat perizinan investasi demi mempermudah
masuknya investasi di negara ini. Sebagaimana diketahui AMDAL adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan39. Undang-undang Nomor 23Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan bahwa setiap usaha dan kegiatan
yang menimbulkan dampak besar terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL untuk
memperoleh ijin melakukan usaha dan kegiatan.
AMDAL inilah yang merupakan suatu alat atau cara yang digunakan dalam
mengendalikan perubahan lingkungan sebelum suatu tindakan kegiatan pembangunan
dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena setiap kegiatan pembangunan selalu menggunakan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya, sehingga secara langsung (otomatis)
akan terjadi perubahan lingkungan. Dengan demikian perlu pengaturan pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta cara mengeliminer dampak, supaya
pembangunan-pembangunan yang lainnya dan berikutnya dapat tetap dilakukan.
Amdalmerupakan instrumen untuk melengkapi aspek ekologi dan sosial dalam suatu
pembangunan. Tanpa Amdal, izin pembangunan akan menjadi tidak spesifik detailnya. Oleh
karena itu, rencana pemerintah tersebut hanya berorientasi kepada peningkatan ekonomi dan
investasi. Sementara, dampak terhadap lingkungan tidak menjadi pertimbangan pemerintah.
“Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah
mengamanatkan bahwa setiap usaha dan kegiatan yang menimbulkan dampak besar
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL untuk memperoleh ijin melakukan usaha
dan kegiatan.”
Adapun mengenau bentuk hasil kajian AMDAL yaitu berupa dokumen AMDAL terdiri
dari lima dokumen, yaitu :
a. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KAANDAL).
39
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
KA-ANDAL adalah suatu dokumen yang berisi tentang ruang lingkup serta
kedalaman kajian ANDAL. Ruang lingkup kajian ANDAL meliputi penentuan dampak-
dampak penting yang akan dikaji secara lebih mendalam dalam ANDAL dan batas-batas
studi ANDAL, sedangkan kedalaman studi berkaitan dengan penentuan metodologi yang
akan digunakan untuk mengkaji dampak. Penentuan ruang lingkup dan kedalaman kajian
ini merupakan kesepakatan antara Pemrakarsa Kegiatan dan Komisi Penilai AMDAL
melalui proses yang disebut dengan proses pelingkupan.
Ringkasan Eksekutif adalah dokumen yang meringkas secara singkat dan jelas
hasil kajian ANDAL. Hal-hal yang perlu disampaikan dalam ringkasan eksekutif
biasanya adalah uraian secara singkat tentang besaran dampak dan sifat penting dampak
yang dikaji didalam AMDAL dan upaya-upaya pengelolaan dan pemantuan lingkungan
hidup yang akan dilakukan untuk mengelola dampak-dampaktersebut.
“AMDAL merupakan salah satu instrument yang sangat penting dalam memastikan
suatu proses kegiatan usaha/pembangunan tidak melakukan perusakan serius
terhadap lingkungan maupun alam.”
Hal–hal yang dikaji dalam proses AMDAL adalah aspek fisika-kimia, ekologi, sosial-
ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup disatu sisi
merupakan bagian studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak
positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk
menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampakpositif.
Sehingga dari pemaparan tersebut, AMDAL merupakan salah satu instrumen yang sangat
penting dalam memastikan suatu proses kegiatan usaha/pembangunan tidak melakukan
perusakan seriusterhadap lingkungan maupun alam. Hal inilah yang mendasari perlunya dikritisi
terkait wacana pemerintah menghapus izin AMDAL demi peningkatan investasi.
Terkait dengan instrument Izin Mendirikan Bangunan (IMB). IMB adalah sebuah izin
untuk mendirikan, memperbaiki, menambah, mengubah atau meronovasisuatu bangunan,
termasuk izin kelayakan membangun bangunan yang dikeluarkan pemerintah daerah.40 IMB
merupakan salah satu kebijakan yang bertujuan melakukan pengendalian dan pengawasan
mendirikan bangunan, yaitu terciptanya tata bangunan yang tertib dan memenuhi standar teknik
bangunan serta estetika, sehingga aman, nyaman, sehat dan memiliki nilai ekonomi untuk
40
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2001 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah
dijadikan hunian atau melakukan aktivitas ekonomi dan social budaya bagi penghuni
ataupenggunanya. Wacana pemerintah yang ingin mengganti IMB dengan Rencana Detail Tata
Ruang Wilayah (RDTR) dinilai oleh banyak kalangan, hal tersebut dikarenakan RDTR hanya
mengurusi perencanaan dan tata ruang secara umum atau makro. Dengan demikian, aspek
keselamatan gedung sampai dampak lingkungan bisa luput meskipun menurutpeta RDTR
wilayah itu boleh dibangun gedunghingga pabrik. Selain itu, hanya baru terdapat 53
kabupaten/kota yang memiliki RDTR dari total sekitar 500 kabupaten/kota dalam kurun waktu 5
tahun terakhir.
41
Nugroho, Wahyu. (2020). Bencana Lingkungan & Urgensi Omnibus Law Lingkungan
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e1edc4e585a1/bencana-lingkungan-urgensi-omnibus-law-
lingkungan-oleh-wahyu-nugroho?utm_source=dable. Diakses pada 17 Januari 2020
Paket Kebijakan Jilid I yaitu memiliki tiga fokus. Pertama, mendorong daya saing
industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha.
Kedua, mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan,
sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional. Ketiga, meningkatkan
investasi di sektor properti.
Paket Kebijakan Jilid 2 yang mengusahakan deregulasi dan debirokratisasi peraturan
untuk mempermudah investasi, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun
Penanaman Modal Asing (PMA). Hal tersebut mencakup layanan investasi 3 jam, tax allowance
dan tax holiday lebih cepat, pembebasan PPN untuk alat transportasi, insentif fasilitas di
kawasan pusat logistik berikat, insentif pengurangan pajak bunga deposito, perampingan izin
sektor kehutanan.
Paket Kebijakan Jilid 3 isinya melengkapi paket kebijakan 1 dan 2. Pada paket ini
mencakup penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas. Kemudian perluasan penerima KUR,
penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal. Sedangkan Paket Kebijakan
isinya mengatur penetapan formulasi penetapan Upah Minimum Regional (UMP) yang
bertujuan untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan
pekerja.
Dilanjutkan dengan Paket Kebijakan Jilid 5 yang berisi mengenai revaluasi asset untuk
perusahaan BUMN serta individu. Selain itu juga menghilangkan pajak berganda untuk Real
Estate Investment Trust (REIT).
Kemudian terbit Paket Kebijakan Jilid 6 yang memuat soal insentif untuk kawasan
ekonomi khusus (KEK), pengelolaan sumber daya air dan penyederhanaan izin impor bahan
baku obat dan makanan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Paket Kebijakan Jilid 7 mengatur soal kemudahan mendapatkan izin investasi,
keringanan pajak untuk pegawai industri padat karya, dan kemudahan mendapatkan sertifikat
tanah. Lalu.
Paket Kebijakan Jilid 8 yang mencakup 3 paket berupa one mappolicy, mempercepat
pembangunan kilang minyak untuk meningkatkan produksikilang nasional, dan pemberian
insentif bagi jasa pemeliharaan pesawat.
Paket Kebijakan Jilid 9 yang mengatur soal percepatan pembangunan infrastruktur
tenaga listrik, stabilisasi harga daging, dan peningkatan sektor logistik desa-kota.
Paket Kebijakan Jilid 10 poin penting yang diharapkan mampu memperbaiki peringkat
kemudahan berbisnis Indonesia (EODB). Pertama kemudahan dalam memulai usaha,
kemudahan pendirian bangunan, ketiga pendaftaran properti, keempat pembayaran pajak, kelima
akses perkreditan, keenam penegakan kontrak dengan mengatur penyelesaian gugatan sederhana,
ketujuh penyambungan listrik, kedelapan perdagangan lintas negara, kesembilan penyelesaian
permasalahan kepailitan, dan 10 perlindungan terhadap investor minoritas.
Paket Kebijakan 11 mengatur soal KUR yang diorientasikan ekspor dan dana investasi
real estate, prosedur waktu sandar dan inap barang di pelabuhan (dwellingtime) dan
pengembangan industri farmasi serta alat kesehatan.
Paket Kebijakan 12 turutmendorong pertumbuhan UKM dengan memberikan kemudahan
memulai usaha.
Paket Kebijakan 13 Menitikberatkan pada mempercepat penyediaan rumah untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga yang terjangkau. Caranya dengan
menyederhanakan sekaligus mengurangi regulasi dan biaya pengembangan untuk membangun
rumah.
Paket Kebijakan 14 mengenai peta jalan (roadmap) mengenai perdagangan berbasis
elektronik (e-commerce). Roadmap ini diterbitkan guna mencapai tujuan sebagai negara digital
ekonomi terbesardi Asia Tenggara di 2020. Ada delapan aspek pengaturan mengenai roadmap e-
commerce meliputi pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan SDM,
logistik, infrastruktur komunikasi, kemanan siber dan pembentukan manajemen pelaksana.
Paket Kebijakan 15 Pemberian Kesempatan Meningkatkan Peran dan Skala Usaha,
dengan kebijakan yang memberikan peluang bisnis untuk angkutan dan asuransi nasional dalam
mengangkut barang ekspor-impor, serta meningkatkan usaha galangan kapal/pemeliharaan kapal
di dalam negeri. Kemudahan Berusaha dan Pengurangan Beban Biaya bagi Usaha Penyedia Jasa
Logistik Nasional, dengan kebijakan antara lain mengurangi biaya operasional jasa transportasi,
menghilangkan persyaratan perizinan angkutan barang, meringankan biaya investasi usaha ke
pelabuhanan, standarisasi dokumen arus barang dalam negeri, mengembangkan pusat distribusi
regional, kemudahan pengadaan kapal tertentu dan mekanisme pengembalian biaya jaminan peti
kemas.
Paket Kebijakan 16 terdapat tiga poin dalam paket terbaru ini, yakni memperluas
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (tax holiday), relaksasi daftar negatif investasi,
dan memperkuat pengendalian devisa dengan pemberian insentif perpajakan.
Berdasarkan ke 16 Paket Kebijakan Ekonomi tersebut, seluruhnya memacu hasil
produksi serta mendorong dunia bisnis untuk mendistribusikan ke seluruh segmen masyarakat.
Akan tetapi, hingga saat ini masih diperlukan kebijakan-kebijakan lain seperti omnibus law
untuk menggenjot perekonomian. Apabila demikian, efisiensi PaketKebijakan Ekonomi pada
tingkat substansialnya sangat dipertanyakan. Dengan diterbitkannya omnibus law, sebagaimana
yang telah dijelaskan pada ringkasan eksekutif, justru menunjukan kesemrawutan sistem
Pemerintahan Indonesia. Dibutuhkan optimalisasi serta penyegaran dari Paket Kebijakan
Ekonomi yang sudah dikeluarkan berjilid-jilid oleh Pemerintah Pusat sebagai ganti dari omnibus
law yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Restaria Hutabarat dalam artikel nya yang berjudul “Politik Perburuhan di Indonesia”
menjelaskan bahwasanya kebijakan perburuhan yang diterapkan selalu dilatarbelakangi oleh
kepentingan tertentu yang disusupkan dalam grand strategy kebijakan nasional (elective mirror
thesis: hukum mencerminkan kepentingan pihak tertentu).Salah satu kepentingan yang
melatarbelakangi nya adalah program globalisasi Multi National Coorperation yang didirikan
oleh Negara-negara kaya kapitalis didunia yang kita kenal antara lain sebagai IMF dan World
Bank. Dengan dalih mengentaskan kemiskinan, IMF menawarkan pemberian hutang kepada
Indonesia dengan syarat Indonesia harus melakukan perubahan beberapa kebijakan agar lebih
menguntungkan Negara-negara kapitalis tersebut. Dalam salah satu pasal dalam LetterofIntent
dinyatakan bahwa Indonesia harus melakukan beberapa perubahan yang berkaitan dengan
perburuhan, salah satunya adalah adanya flexibility labour market atau dalam bahasa awam
dikenal dengan hubungan perburuhan yang bersifat fleksibel, Letter OfIntent merupakan Salah
satu dokumen yang harus ditandatangani Indonesia yang merupakan perjanjian untuk
mendapatkan pinjaman dari IMF. “Following the major reform of the rights of association and
union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation relating to industrial
relations has become apriority. Abill relating to labor protection has now been passed, and we
are working closely with Parliament to ensure that theother bill in this area, on industrial
dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and
business to ensure that the laws strike an appropriate balance beetwen protecting the rights of
workers, including freedom of association and preserving a flexibe labor maket” 42
Berdasarkan film documenter New Rulers of The World (2002) yangmerupakan hasil
penelitian John Pilger yang juga merupakan seorang jurnalis menyampaikan bahwa Perusahaan-
perusahaan transnasional seperti Nike, dan Adidas selalu memilih Negara-negara berkembang
42
(Letter of Intent Indonesia,18 Maret 2003 dapat dilihat di
http://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm)
sebagai tempat pembuatan barang produksi, karena dianggap memiliki kecenderungan
mempekerjakan pekerja nya dengan upah murah sehingga biaya produksi dari perusahaan-
perusahaan ini dapat ditekan sedemikian rupa. Begitu juga dengan Indonesia, dengan tujuan
untuk mendatangkan investor sebanyak-banyak nya, maka Indonesia harus memberi jaminan
menciptakan iklim investasi yang baik untuk investor, salah satunya dengan menerapkan upah
murah untuk para pekerja.
F. Dampak Omnibuslaw Cipta Kerja
1. Masalah Pengupahan
Pasal 89 RUU Cipker telah mengubah Pasal 88 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih
lanjut kebijakan pengupahan nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah, padahal Pasal 88 ayat
(3) UU Ketenagakerjaan telah mengatur ketentuan-ketentuan dasar dalam kebijakan pengupahan
yang melindungi pekerja dan buruh yang isinya sebagai berikut:
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Selanjutnya terkait dengan permasalahan outsourcing yang bersumber dari RUU Cipker.
Outsourcing atau Alih Daya adalah bentuk hubungan kerja yang pekerja/buruhnya tidak berada
dibawah tanggung jawab perusahaan yang berkepentingan langsung sebagai pihak pertama
namun diperoleh melalui kontrak dari suatu perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.23 Menurut penuturan Prof. Ari hanya ada 5 jenis pekerjaan di Indonesia yang
dilegalkan untuk menjalankan alih daya, yakni; cleaning service, jasa pengamanan, catering,
jasa pertambangan, dan jasa transportasi.24 Ditambah dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan kejelasan terkait pekerjaan yang dapat dilakukan yakni tidak
boleh merupakan pekerjaan pokok atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi.25
Namun, dalam RUU Cipker ini justru seperti ingin menghadirkan bentuk hubungan kerja
alih daya sebagai jenis pekerjaan yang semakin legal untuk dijalankan di Indonesia yang itu
diinisiasi dengan dihilangkannya ketentuan materiil pasal 64 dan 65 UU Naker padahal di dalam
pasal tersebut secara khusus dan mendetail mengatur perihal alih daya.26 Kemudian aturan
mengenai outsourcing hanya diatur pada satu pasal yaitu pada pasal 66, Pada pasal a quo
diberlakukan aturan yang lebih general sehingga lebih fleksibel. RUU Cipker juga tidak
menyebutkan jenis pekerjaan serta waktunya sehingga penggunaan pekerja dari perusahaan
penyedia jasa buruh ini bisa meliputi semua jenis pekerjaan serta waktunya. Menilik materiil
yang ada di dalam RUU Cipker justru menimbulkan kekhawatiran karena pembatasan seperti
apa alih daya itu menjadi tidak jelas dan itu menjadi masalah jika bentuk hubungan kerja alih
daya ini menjangkau pekerjaan pokok. Melalui bentuk Omnibus Law yang seperti ini terdapat
indikasi pemerintah memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha untuk lebih fleksibel dalam
melakukan rekrutmen karyawan terutama melalui mekanisme alih daya (outsourcing).27 Oleh
karena itu, yang patut dipertanyakan adalah kemana nantinya hak-hak pekerja, jaminan-jaminan
sosial, serta tunjangan-tunjangan yang sepatutnya dimiliki oleh seorang pekerja.
4. Peraturan TKA
Pasal 89 RUU Cipker mengganti ketentuan pada pasal 42 UU no 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, RUU a quo merubah ayat (1) sebagai berikut :
(1) “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki
pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat. “
Ketentuan dalam pasal tersebut sudah pernah diatur dalam Perpres 20/2018 yang pada
awalnya menuai kontroversi karena pemberi kerja cukup memiliki RPKTA untuk
memperkerjakan TKA, hal tersebut bertentangan Pasal 43 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan
penjelasannya dikarenakan izin pemberika kerja kepada TKA dan RPKTA diatur dalam pasal
yang berbeda.28 Dengan perubahan tersebut, maka pemerintah menghilangkan penerbitan izin
yang diperlukan pemberi kerja tenaga asing dan menggantinya dengan RPTKA dari pemerintah
pusat.
a. anggota direksi atau anggota dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan
mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, startup, kunjungan bisnis, dan penelitian
untuk jangka waktu tertentu.
Perluasan pengecualian tersebut juga sudah pernah diatur dalam Perpres Nomor 20 Tahun
2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, 29 namun hal tersebut bertentangan dengan
Pasal 43 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang pada awalnya awalnya hanya pegawai diplomatik
dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing saja30 . Pada intinya RUU Cipker berusahan
untuk mengadopsi pengaturan yang sudah tercantum dalam Perpres 20/2018 yang ketentuannya
bertentangan dengan UU Ketenagakerjan dikarenakan dalam hierarki peraturan perundang-
undangan dalam UU P3, Perpres tidak boleh bertentangan dengan norma atau aturan hukum
diatasnya termasuk UU. Selain itu, Pemerintah merasa bahwa fungsi kontrol dan pengawasan
TKA di dalam negeri dapat lebih optimal ketika dilakukan satu pintu oleh pemerintah pusat.
Namun, bagaikan pisau bermata dua jika mekanisme tersebut tidak dimanfaatkan oleh
pemerintah pusat untuk kepentingan rakyatnya seperti contoh membuka kuota TKA untuk
sektor-sektor industri dengan komoditas tinggi akan menyebabkan terjadinya penguasaan TKA
di sektor tersebut. Tentunya permasalahan tersebut semakin menjauhkan kesejahteraan rakyat
karena seolah-olah rakyat hanya dapat menguasai sektor bawah daripada sektor atas dan secara
otomatis juga akan berdampak pada pendapatan perkapita maupun GNP.
Kemudian ada pula beberapa sub-pasal dari pasal 88 yang secara khusus perlu menjadi
perhatian masyarakat. Pertama, pasal 88C mengenai upah minimum provinsi yag diwacanakan
untuk ‘hanya ada satu angka (tidak berjenjang)’. Hal ini dapat dimaknai sebagai hilangnya upah
minimum kabupaten/kota sesuai dengan P 78/2015 yang besarannya harus lebih tinggi dari
UMP, maupunn hilangnya upah sektoral Provins dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota
(yang jumlahnya lebih besar lagi dari UMP/UMK) yang ditargetkan bagi perusahaan besar.
Lantas, perubahan ini akan merugikan para buruh/pekerja yang bekerja di kota maupunn
perusahaan besar tersebut; sebaliknya, menguntungkan pengusaha di tempat-tempat ini karena
tidak lagi terikat oleh PP 78/2015 yang mengharuskan mereka untuk memberikan upah sesuai
dengan kemampuan finansial dan pertumbuhan ekonomi mereka yang berwujud upah yang
lebih tinggi dari UMP.
Jikalau keberpihakan kepada korporasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya belum
cukup, pasal 88C ini berisi revisi pasal sebelumnya yang juga berpotensi ‘menyebabkan
penurunan nilai upah minimum dari yang berlaku saat ini,’ dengan dalil yang sangat tidak
masuk akal yakni sebagai ‘upaya (pemerintah untuk’ mengembalikan konsep upah minimum
menjadi safety net.’ Padahal, upah minimum sendiri sejatinya adalah safety net
BAGIAN III
OMNIBUS LAW DALAM SEKTOR LINGKUNGAN
A. Bagaimana Omnibus law terhadap RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup?
Omnibus Law adalah Undang-Undang yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang
dapat mencabut serta mengubah beberapa UU sekaligus agar menjadi lebih sederhana.
Definisi daripada Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus yang berasal dari bahasa Latin
dan berarti untuk semuanya. Omnibus ini berkaitan dengan berbagai objek atau tujuan, bila
disandingkan dengan kata Law maka dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua. Jadi
konsep Omnibus Law merupakan aturan yang bersifat menyeluruh serta komprehensif dan
tidak mengikat kepada satu rezim pengaturan. Omnibus Law pada dasarnya berasal dari
Omnibus Bill, yaitu sebuah Undang-undang yang mencakup akan berbagai macam isu.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri, Omnibus Law diartikan sebagai sebuah
undang-undang (UU) yang dibuat untuk menyasar isu besar yang ada di suatu negara.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid di dalam dunia ilmu hukum, konsep
“omnibus law” merupakan suatu konsep produk hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir
berbagai tema, materi, subjek dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang
berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik.
Menyaksikan praktik di beberapa negara dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi
karakteristik pada Omnibus Law, yaitu pertama pada karakteristik umum dan khusus yang
terbagi atas :
1. Karakteristik Umum
Adapun karakteristik umum yang dapat dilihat dibawah ini:
a. Akselerasi Proses Legislasi Omnibus law sebagai perwujudan efisiensi dan efektivitas
dalam proses legislasi. Proses legislasi dari awal hingga diundangkan selalu memakan
waktu berbulan-bulan bahkan tahun, dengan Omnibus Law kemudian dapat
mempersingkat beberapa alur legislasi sehingga sebuah UU akan lebih cepat selesai.
b. Kompleksitas Permasalahan Banyak atau beragamnya permasalahan yang diatur dalam
satu Undang-Undang yang berarti tidak hanya mengatur satu jenis permasalahan saja.
2. Karakteristik Khusus
Beberapa karakteristik khusus dalam Omnibus Law yang diantaranya :
a. Berbentuk Kodifikasi Suatu bentuk hukum yang dibuat secara tertulis, dimana
pembuatnya memberikan suatu bentuk yurisdiksi khusus yang berisikan rumusan asas
yang dibuat secara tertulis sebagai standar operasi berlakunya ketentuan dalam
kodifikasi.
b. Gaya atau Motif Politik UU adalah produk hukum yang pembuatannya tidak lepas dari
proses politik. Gaya atau motif politik yang dimaksud disini merujuk kepada cara yang
digunakan legislatif maupun eksekutif untuk melancarkan proses legislasi. Gaya atau
motif politik ini sebenarnya bertujuan untuk mengakselerasi proses legislasi, namun
tidak jarang ditemukan dalam praktik bahwa gaya atau motif politik bertujuan untuk
membentuk konsensus baik di partai politik, parlemen, maupun pemerintah dengan
parlemen.
Lalu, bagaimana omnibus law dipandang dari segi hukum? Akankah omnibus law
membuat jalur regulasi hokum di Indonesia semakin baik tidak ada lagi istilah tumpul di atas
namun tajam di Indonesia? Atau bahkan memperparah hokum di Indonesia yang ada. Dari
segi hukum, kata Omnibus umumnya disandingkan dengan kata law atau bill yang memiliki
artian peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi aturan dengan substansi dan
tingkatannya berbeda. Omnibus Law merupakan sebuah metode pembuatan peraturan yang
menggabungkan beberapa aturan substansi berbeda menjadi suatu peraturan besar yang
berfungsi sebagai payung hukum. Ketika peraturan tersebut diundangkan maka akan
memiliki konsekuensi untuk mencabut beberapa aturan hasil penggabungan dan kemudian
substansi selanjutnya dinyatakan tidak lagi berlaku. Konsep Omnibus Law ini sebenarnya
sangat banyak diterapkan oleh negara yang menganut sistem Common Law sedangkan
Indonesia sendiri adalah negara yang mengacu kepada sistem Civil Law.
Terlebih dahulu patut untuk kita pahami mengenai sistem Civil Law yang saat ini
dipegang oleh Indonesia. Civil Law adalah sistem yang menggunakan pembagian dasar ke
dalam hukum perdata dan hukum publik, merupakan suatu sistem hukum yang lebih fokus ke
sistem perundang-undangan yang sudah terkodifikasi. Sedangkan pada Common Law yaitu
mendasarkan pada putusan pengadilan sebagai sumber hukum. Menurut Nurul Qamar dalam
bukunya Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law
System (hal. 40) :
Ciri atau Karakteristik Sistem Civil Law adalah:
a) Adanya sistem kodifikasi
b) Hakim tidak terikat dengan preseden atau doktrin stare decicis, sehingga undang-undang
menjadi rujukan hukumnya yang utama c) Sistem peradilannya bersifat inkuisitorial.
Ciri atau karakteristik dari sistem Common Law adalah:
a) Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama
b) Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden c) Adversary System dalam proses
peradilan.
Dalam perundang-undangan yang terdapat di Indonesia, kedudukan UU dari konsep
omnibus law belum diatur. UndangUndang dari hasil Omnibus Law dapat mengarah kepada
UU Payung dikarenakan mengatur secara menyeluruh segala bentuk aturan yang ada. Asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan hakikatnya meliputi tujuan yang jelas,
perlunya pengaturan, organ/lembaga dan materi muatan yang tepat, dapat dikenali, perlakuan
yang sama dalam hukum serta memiliki kepastian hukum, pelaksanaan hukum sesuai
keadaan individual. Asas yang terdapat dalam pembentukan tersebut haruslah sesuai dengan
prinsip negara atas nilai hukum dan terkandung kepada konsep prinsip pemerintahan yang
berpegang pada sistem konstitusi. Undang-Undang merupakan bagian dari asas hukum yang
teratur secara tersusun. Susunan peraturan menjadi bagian asas yang penting dalam sebuah
proses penyusunan perundang-undangan. Kemudian terdapat pula jenis dari susunan
peraturan perundangundangan terdiri atas :
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang
• Peraturan Pemerintah
• Peraturan Presiden
• Peraturan Daerah Provinsi
• Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pada kenyataannya, Indonesia tidaklah menganut kepada UU Payung disebabkan posisi
seluruh UU sama sehingga peraturan perundang-undangan kedudukannya harus diberikan
legitimasi di dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Namun jika tidak dimungkinkan untuk terjadi perubahan pada UU No. 12 Tahun
2011, maka patut untuk kita lihat terlebih dahulu isi ketentuan dalam Omnibus Law tersebut,
apakah bersifat umum seperti UU biasanya. Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-
Undang No 11 tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan hanya
menetapkan undang-undang sebagai yang tertinggi, tidak mengenal peraturan diatas undang-
undang. Omnibus Law dalam bentuk UU bukan sebagai UU yang pokok, melainkan setara
dengan UU lain yang sebagian ketentuannya diubah ataupun dihapus dengan membuat norma
yang baru.
Terkait itu semua, bagaiamana omnibus law terbentuk? Apa yang mendasari
pemerintah gigih dengan omnibus law tersebut? Apakah cocok apabila di terapkan di
Indonesia yang sebenarnya omnibus law sendiri sangat banyak diterapkan oleh negara yang
menganut sistem Common Law, sedangkan Indonesia sendiri adalah negara yang mengacu
kepada sistem Civil Law. Sesuai dengan pidato yang telah disampaikan oleh Joko Widodo
pada pelantikan Presiden periode 2019/2024 yang didalamnya termuat 5 poin utama
pembahasan. Hal tersebut yang kemudian menjadi awal dari pembahasan Omnibus Law,
dimana saat ini menjadi pro kontra dalam kalangan masyarakat. Peningkatan investasi
Indonesia merupakan tujuan utama diadakannya Omnibus Law, mengingat bahwa Indonesia
berada pada peringkat 73 dunia dalam investasi. Oleh sebab itulah untuk menuju tujuan
tersebut diperlukan regulasi yang singkat dan tidak saling tumpeng tindih dengan berbagai
macam kebijakan maupun aturan yang ada. Kita saksikan pada contoh yang dikemukakan
oleh Sofyan Djalil pada regulasi di bidang kehutanan yang harus direvisi yaitu UU No.
41/1999 tentang Kehutanan. Namun masih terdapat ganjalan yang diantaranya UU No.
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) atau UU No.
5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Omnibus Law seperti yang telah dijelaskan bahwa dapat mencabut serta mengubah
beberapa UU sekaligus agar menjadi lebih sederhana sehingga tidak terdapat lagi tumpang
tindih aturan yang terjadi. Pakar Hukum Tata Negara, Jimmy Z Usfunan, memberikan
pendapat bahwa pada dasarnya ada persoalan konflik antara penyelenggara pemerintahan,
saat ingin melakukan inovasi atau kebijakan yang kemudian berbenturan dengan peraturan
perundang-undangan. Maka dari itu Omnibus Law dikatakan sebagai jalan keluar yang harus
dilaksanakan oleh pihak pemerintah. Kemudian Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Perihal
Undang-Undang (hal. 147) telah menguraikan materi yang bersifat khusus, hanya dapat
dituangkan dalam bentuk undang-undang. Beberapa hal yang bersifat khusus tersebut
diantaranya:
a. Pendelegasian kewenangan regulasi atau kewenangan untuk mengatur
b. Tindakan pencabutan undang-undang yang ada sebelumnya
c. Perubahan ketentuan undang-undang
d. Penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang
e. Pengesahan suatu perjanjian internasional
f. Penentuan mengenai pembebanan sanksi pidana
g. Penentuan mengenai kewenangan penyidikan, penuntutan, dan penjatuhan vonis.
Dalam bukunya pula Muhammad Bakri pada buku Pengantar Hukum Indonesia Jilid I:
Sistem Hukum Indonesia Pada Era Reformasi (hal. 47) menjelaskan mengenai konsep
undang-undang payung ataupun pokok, yaitu undang-undang yang beberapa pasalnya
meminta aturan pelaksananya dibuat dalam bentuk undang-undang.
B. Bagaimana dengan terkait izin amdal yang berpihak kepada lingkungan dan
Masyarakat?
Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang merupakan hal yang
paling utama saat ingin mendirikan sebuah usaha/perusahaan. Namun selain itu ada izin
lingkungan juga yang seharusnya di kuatkan dalam hal regulasi . Namun, pada perancangan
ini seperti di kesampingkan terkait masalah lingkungan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), sudah
menjelaskan dimana badan atau instansi harus mendapatkan terlebih dulu Surat Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup sebelum dapat Izin Lingkungan, dimana pada Pasal 1 angka
(35) Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan sedangkan pada omnibus law dihapuskan. Dan omnibus law ini, justru memperoleh
izin lingkungan tanpa terlebih dahulu membuat amdal yang mana amdal ini seharusnya
menjadi hal yang sangat penting ketika ingin membuat sebuah usaha atau perusahaan izin
yang sebenarnya dirancang untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup. Bahkan Kriteria
untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimasud pada ayat (1)
meliputi: a. penguasaan metodologi penyusunan amdal; b. kemampuan melakukan
pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan c.
kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup pada omnibus
law ini dihapuskan. Dengan dihapuskan nya terkait izin lingkungan dan mengedepankan
hanya izin amdal yang jelas terkait regulasi nya masih dipertanyakan dalam hal regulasi
pemberian izin yang lebih menguntungkan korporasi.
Kemudian Presiden Jokowi mensahkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017
tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha dalam rangka penataan ulang perizinan melalui
pembentukan satuan tugas (satgas) di berbagai level pemerintahan, dan penyusunan Sistem
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS).
Peraturan ini juga mengatur percepatan pelaksanaan berusaha di kawasan ekonomi khusus
(KEK). Setahun kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP OSS) diundangkan. PP OSS tidak
hanya menjadi dasar hukum atas pelaksanaan perizinan berusaha secara elektronik, namun
juga mengubah beberapa prosedur perizinan di Indonesia. Bermodal Izin Usaha, Izin
Lingkungan, maupun beberapa izin lain yang diterbitkan berdasarkan komitmen, pelaku
usaha dapat melaksanakan beberapa kegiatan seperti pengadaan sumber daya manusia, uji
coba produksi, pengadaan tanah, sampai pelaksanaan produksi. Pemegang Izin Usaha
berdasarkan komitmen hanya tidak diperbolehkan melakukan pembangunan gedung sebelum
menyelesaikan Amdal dan atau rencana teknis bangunan. Lembaga OSS akan menerbitkan
kembali Izin Lingkungan yang komitmennya telah terpenuhi, atau membatalkannya apabila
komitmen gagal dipenuhi pelaku usaha. Lewat peraturan-peraturan di atas, tampak sekali
pemerintah tengah menggeser posisi Amdal yang sudah ideal dalam UU tersebut. Seharusnya
regulasi izin mengenai amdal di perkuat bukan di lemahkan. Karena izin amdal yang ada saja
bisa di mainkan oleh sebagian orang tak bertanggung jawab, lalu bagaimana dengan semakin
lemahnya regulasi amdal yang ada saat ini? Akankah memakmurkan Investor namun
mengsengsarakan lingkungan Indonesia? Misalnya pada kasus kebakarakan dan hutan yang
terjadi di Indoensia setiap tahunnya. Bagaimana jika izin amdal dikesampingkan dengan
banyak nya korporasi yang membuka lahan.
C. Apa kaitannya omnibus law dengan kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
Karhutla telah menjadi proses penting yang memengaruhi permukaan bumi dan
atmosfer selama lebih dari 350 juta tahun dan masyarakat manusia telah hidup berdampingan
dengan api sejak kemunculannya. Namun, frekuensi tersebut cenderung meningkat dalam
beberapa dekade terakhir, khususnya di zona tropis karena perubahan iklim dan
pembangunan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana, karhutla juga dimasukkan dalam kategori bencana karena dampaknya berupa kabut
asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar. Karhutla telah
menyebabkan korban jiwa, terutama petugas pemadam kebakaran dan tim penyelamat. Selain
itu, efek asap dan debu dengan kandungan gas beracun juga menyebabkan ketidaknyamanan
pada pernapasan dan dapat akan memperburuk kesehatan orang dengan alergi dan gangguan
pernapasan. Selain kerugian pada manusia, biaya finansial seperti kerusakan rumah dan
infrastruktur lainnya, pemadaman listrik serta kepunahan flora dan fauna endemik
mendominasi persepsi dampak kebakaran yang sering disoroti43. Kasus kebakaran 2019
(Gambar 1) seharusnya menjadi kacamata pembelajaran kepada pemerintah khususnya untuk
segala kebijakan yang di buat, bukan justru melemahkan kebijakan bahkan menghapus
kebijakan yang ada.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 tahun 2016 tentang
pengendalian kebakaran hutan dan lahan diterbitkan sebagai pedoman dalam penanganan
karhutla di Indonesia. Menurut Permen ini pada paragraph 2 mulai pasal 51 disebutkan
bahwa setiap pelaku usaha di wilayah hutan seperti IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI
menyiapkan sarpras untuk menunjang kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu, dalam hal terjadi krisis karhutla di wilayah kabupaten, kota dan provinsi, aktifitas
koordinasi wajib diintensifkan frekuensinya melalui Posko Krisis Kebakaran Hutan dan
Lahan setempat.
Kepolisian Republik Indonesia juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 5 Tahun
2016 tentang Pengendalian karhutla yang menyatakan bahwa tindak pidana yang terkait
karhutla mencakup tidakan seperti membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara
membakar, membuka hutan, membakar lahan, kelalaian yang mengakibatkan karhutla dan
terlampauinya baku mutu udara ambien. Pelaku pembakaran baik perorangan maupun
korporasi dapat dikenakan pidana penjara dan denda sesuai peraturan yang berlaku44. Namun
pada RUU Cipta Kerja atau omnibus law diganti menjadi sanksi administrasi dan atau sanksi
denda. Jelas ini membuka peluang bagi investor untuk menganggap enteng masalah
lingkungan disekitar tempat sang investor mendirikan bangunan usahanya. Bahkan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) juga sama kasus nya seperti kasus izin amdal. Akan kah, nasib
lingkungan di Indonesia mulai tidak dipedulikan lagi dengan iming-iming kekuasaan/tahta
dan harta. Apakah seserakah itu manusia di indonesia yang mulai tidak peka dengan nasib
lingkungan, dengan keadaan bumi yang mulai tua ini?
Kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia bukanlah sebuah kasus
yang baru, namun kasus yang setiap tahun nya menjadi kado terpahit ynag dirasakan oleh
masyarakat dibeberapa daerah dengan luas lahan hutan dan lahan gambut yang luas. Luas
lahan gambut di Indonesia lebih kurang 7 juta hektar dengan 4 juta hektar berada dipulau
Sumatera (Tabel 1). Dengan begitu luas nya lahan gambut yang ada di Indonesia, hingga kini
43
Yulianti, N. 2018. Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas (Studi Kasus Eks Proyek
Lahan Gambut Sejuta Hektar). IPB press. Bogor. Hal. 1
44
Yulianti, N. 2018. Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas (Studi Kasus Eks Proyek
Lahan Gambut Sejuta Hektar). IPB press. Bogor. Hal. 1
perda tentang karhutla dibeberapa daerah masih ada yang belum di sahkan, dan pemerintah
lebih focus kepada teknologi rekayasa cuaca bukan teknologi percepatan dalam pemulihan
lahan gambut yang begitu luas di Indonesia. Padahal dengan lahan gambut yang bersifat
irraversible artinya apabila sudah
mengalami
kerusakan maka akan sulit untuk melakukan penyerapan air, hal ini mengakibtakan apabila
terjadinya hujan akan mudah mengalami banjir dan apabila terjadi musim kemarau akan
terjadi kekeringan yang nantinya akan berdampak pada kebakaran hutan dan lahan. Dengan
adanya pelemahan izin amdal yang dinilai membuat investor ataupun korporasi tertawa
karena melalui RUU Cipta kerja, rumusan Hak Guna Usaha (HGU) dapat dipastikan akan
semakin memperparah situasi ketimpangan dengan menghapuskan pasal 16 UU Perkebunan
tentang Kewajiban Perkebunan untuk mengusahakan lahan perkebunannya dan menghapus
sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan kewajibannya, dengan penghapusan pasal
tersebut maka dapat berpotensi menghilangkan status tanah terlantar yang merupakan salah
satu syarat dihapusnya HGU dalam UUPA. Begitu juga dengan Pasal 69 ayat (1) huruf h
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang menyatakan larangan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan
dikuti dengan sanksi pidana yang termuat dalam Pasal 108:
“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)” 45
Tabel 1. Luas lahan gambut di Indonesia
45
Refleksi 2018 Dan Harapan 2019 Menuju Keadilan Ekologis Di Provinsi Riau dalam Sebuah Catatan Akhir
Tahun 2018 Walhi Riau Atas Potret Penguasaan dan Pengelolaan Ruang-Ruang Hidup Rakyat.
46
Refleksi 2018 Dan Harapan 2019 Menuju Keadilan Ekologis Di Provinsi Riau dalam Sebuah Catatan Akhir
Tahun 2018 Walhi Riau Atas Potret Penguasaan dan Pengelolaan Ruang-Ruang Hidup Rakyat.
Gambar 2. Wilayah Indonesia yang paling rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan
Menurut penuturan Dijen PPI RI bapak Ruandha Agung Sugardiman pada saata acara
di unniversitas Riau, Pekanbaru yang menyatakan bahwa hampir 95 % bahwa kebakaran
hutan yang terjadi disebabkan oleh ulah tangan manusia itu sendiri, yang tak lain adalah
korporasi yang bermain dibelakangnya. Hal ini juga masih belum menemukan titik terang
siapakah korporasi yang sebenarnya hingga saat ini. Lalu, dengan kondisi regulasi Indonesia
yang seperti ini, pemerintah yang dinilai belum mampu memangkas tuntas kasus korporasi,
justru pemerintah lebih focus memangkas peraturan yang sudah baik dengan alasan
memudahkan investor masuk kedalam Indonesia. Tidak kah ada ketakutan pada pemerintah
yang membuat jalur regulasi mudah bagi investor akan berdampak pada kasus lingkungan
yang lainnya? Ditambah lagi pada tahun 2020 dengan musim kemarau di Indonesia yang
lebih panjang daripada tahun 2019.
Hal ini sesuai dengan pernyataan ketua BMKG Dwikorita Karnawati dalam acara
Refleksi Bencana Tahun 2019 di gedung BNPN Jakarta Timur pada senin lalu (30/12/2019),
menurut perkiraan BMKG indonesia pada tahun 2020 akan mengalami musim
kemarau yang berlangsung selama 7 bulan, yaitu dari bulan April hingga Oktober. Hal ini
dapat dipastikan dengan adanya musim kemarau yang lebih panjang, tindakan korporasi yang
mendapat angin segar dengan adanya regulasi yang mudah bagi investor dan melemahnya
sistem izin amdal akan memicu kebakaran yang lebih luas lagi, ditambah lagi dengan sistem
pengawasan dari pemerintah yang dinilai masih kurang. Jika pemerintah mensosialisasikan
kepada masyarakat menegah kebawah untuk tidak membuka lahan dengan cara dibakar maka
pemerintah wajib memberikan solusi yang kongkrit, misalnya pemberian alat berat untuk
masyarakat menegah kebawah dalam membuka lahan untuk bercocok tanam. Sehingga tidak
lagi muncul pertanyaan “Bagaimana dengan Lahan dan Hutan Indonesia ku, Apakah akan
terjadi kebakaran hutan dan Lahan lagi?.
D. Perubahan regulasi lingkungan hidup dan kehutanan dalam RUU Cipta Kerja.
Regulasi yang terdapat pada RUU Cipta Kerja banyak sekali terjadi tumpang tindih
terutama pada regulasi lingkungan dan kehutanan bahkan membuat regulasi tersebut menjadi
kontroversi. Berikut adalah perubahan regulasi lingkungan hidup dan kehutanan dalam RUU
Cipta Kerja:
1. UU Lingkungan hidup
(1) Pasal 23 angka 3 mengenai perubahan pasal 23 : berpotensi mengerucutkan jenis usaha
wajib amdal tanpa pertimbangan lingkungan hidup. Dengan omnibus law, bisnis yang
diangggap membutuhkan amdal adalah bisnis yang punya dampak penting bagi
lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya.
(2) Pasal 23 angka 4 mengenai perubahan pasal 25 ayat (5) : izin lingkungan diganti
perizinan berusaha, sehingga mempersempit akses warga untuk melakukan upaya
hukum terhadap keputusan yang membuka dampak lingkungan alias hanya
masyarakat terdampak bisnis yang memengaruhi lingkungan tidak bisa lagi
mengajukan gugatan.
(3) Pasal 23 ayat 27-31 : tidak ada ketegasan UU tentang instansi yang bertanggung jawab
dalam pengawasan lingkungan hidup. Hanya fokus terhadap investor dengan
mengesampingkan dampak lingkungan.
(4) Pasal 23 angka 35: berpotensi mengaburkan pengertian pertanggungjawaban mutlak.
(5) Pasal 23 angka 37 yang mengubah pasal 98 dan 99: tindak pidana material diubah
menjadi peningkatan dari sanksi administrasi denda dulu.
(6) Pasal 26 yang mengubah dari UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung : mendirikan
bangunan tidak lagi butuh syarat administrasi seperti Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), surat kepemilikan bangunan dan tanah, bahkan tujuan mendirikan bangunan.
Omnibus law juga akan mencabut syarat kebutuhan sertifikat layak fungsi bangunan,
keamanan bangunan, syarat stuktur bangunan, syarat proteksi dari kebakaran dan
syarat sistem proteksi petir, serta syarat kesehatan, srikulasi udara, pencahayaan,
sanitasi, material gedung, kenyamanan bangunan, akses evakuasi, dan akses bagi
penyandang disabilitas.
(7) Pasal 69 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2009 : tidak adanya pasal tersebut didalam
omnibus law yang harusnya bisa menjamin petani lokal dalam membuka lahan luar
maksimal 2 Ha per kepala keluarga. Berpotensi lebih banyak masyarakat kecil yang
dikriminalisasi.
2. UU Kehutanan
(1) Pasal 37 angka 3 mengenai perubahan terhadap pasal 18 UU Kehutanan : batas
minimum 30 persen kawasan hutan yang harus dipertahankan untuk DAS dan/atau
pulau di hapus
(2) Pasal 37 angka 4 mengenai perubahan terhadap pasal 19 UU Kehutanan: ketentuan
perubahan peruntukan kawasan hutan yang strategis tidak lagi butuh persetujuan dari
DPR.
(3) Pasal 37 angka 13 mengenai perubahan terhadap pasal 35 UU Kehutanan : Iuran izin
usaha, provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kerja yang diubah jadi PNBP bidang
kehutanan.
(4) Pasal 37 angka 16 mengenai perubahan terhadap pasal 49 UU Kehutanan: pemegang
izin tidak lagi bertanggung jawab atas kebakaran hutan di areal kerjanya, hanya
diwajibkan melakukan pencegahan kebakaran hutan di areal kerja. Ke depan akan
lebih sulit membuktikan dan mempidanakan korporasi pembakar lahan.47
47
tanggapan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan atas usulan ruu omnibus law “cipta lapangan kerja”
yang terkait dengan lingkungan hidup dan kehutanan, rapat terbatas 27 desember 2019.
dengan pemerintahan terkait. Lalu siapakah yang bisa menjamin dengan limbah ataupun
lingkungan yang ada untuk tidak memperparah lingkungan di Indonesia yang ada, dimana
lingkungan yang ada akan berdampak ke masyarakat sekitar, bukan kepada investor. Salah
satu dampak banyak dirasakan adalah tentang adanya laju deforestasi yang ada. Laju
Deforestasi saat ini tidak kurang dari 2 juta hektra per tahun, atau dua kali lebih cepat
dibandingkan dengan laju deforestasi pada tahun 1980-an. Bahkan Purnama ( 2004 )
menyimpulkan bahwa penyebab laju deforestasi yang meningkat dua kali lipat adalah sistem
politik dan ekonomi yang korup dengan menganggap sumber daya alam, khususnya hutan
sebagai pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentigan politik dan keuntungan pribadi.
Ketidakstabilan politik yang mengikuti krisis ekonomi pada tahun 1997 dan berakhir dengan
lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998, menyebabkan deforestasi semakin bertambah
sampai pada tingkat saat ini.48
Rancangan Undang – undang Omnibus Law cipta lapangan kerja merevisi berbagai
peraturan perundang-undangan yang ada diantaranya adalah Undang-Undang No 32 Tahun
2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembukaan lahan yang
diperbolehkan atas asas kearifan lokal di tiadakan, hal tersebut dapat menyebabkan lebih
banyaknya masyarakat kecil menjadi tersangka ke depannya. Yang kedua prasa yang biasa
digunakan menjerat korporasi juga telah di tiadakan hal ini juga dapat menyebabkan
beberapa korporasi perusak lingkungan akan lebih aman kedepannya. Yang ketiga bagi
perusahaan pembuang limbah, masyarakat biasa tidak bisa menggugat ke ptun.
Didalam omnibus law tersebut juga telah dihapuskan izin lingkungan bagi korporasi.
Kita semua mengetahui bahwa dengan adanya izin lingkungan terhadap korporasi yang ingin
membuka lahan saja. ada ratusan perusahaan illegal yang beroperasi tanpa memiliki izin.
Dengan semua isi yang ada didalam omnibus law membuat investor tersenyum bahagia tanpa
memikirkan lingkungan dan masyarakat di Indonesia, sedangkan rakyat dan lingkungan
Indonesia menjerit atas ketidakadilan.
RUU Cipta Kerja atau Omnibus law Memperkuat Potensi Kriminalisasi dan
Diskriminasi Hak Terhadap Petani dan Masyarakat Adat. Catahu 2019 KPA mencatat,
sepanjang tahun 2019 saja terjadi 259 kasus penangkapan petani, masyarakat adat dan
pejuang hak atas tanah. Jika diakumulasi selama 5 tahun terakhir ada 1.298 kasus
kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.
48
Wibowo. LR. dkk. 2008. Konflik Sumber Daya Hutan dan Reforma Agraria “ Kapitalisme Mengepung Desa “.
Alfamedia. Yogyakarta. hal 2
Melalui RUU Cipta Kerja, ancaman kriminalisasi dan diskriminasi hak atas tanah bagi petani
dan masyarakat adat semakin menguat, karena pemerintah hendak memperkuat Undang-
Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 18/2013 tentang
Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Padahal, dua UU ini terbukti sudah
banyak mengkriminalkan petani dan masyarakat adat yang berkonflik dengan kawasan hutan.
Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84) soal ancaman pidana kepada orang-
perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan
kayu, sengaja atau tidak sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong dan membelah pohon tanpa perijinan dari pejabat yang berwenang dalam kawasan
hutan dengan ancaman pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Atau
denda sebesar 500 juta - 2,5 miliar. Pasal-pasal tersebut dapat dengan mudah digunakan
untuk menjerat petani, masyarakat adat, dan masyarakat desa yang masih berkonflik dengan
dengan perusahaan atau negara akibat penunjukkan atau penetapan Kawasan hutan secara
sepihak. 49
Kemudian perubahan pasal 15 UU Kehutanan, dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja soal
kemudahan proses pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan hanya dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit. Ini akan menambah daftar panjang
desa-desa dan kampung yang ditetapkan begitu saja sebagai Kawasan hutan, tanpa partisipasi
masyarakat, sementara masih ada 20 ribu lebih desa diklaim sebagai Kawasan hutan.
Perubahan UU Kehutanan (Pasal 50 misalnya), berpotensi kuat mengkriminalkan masyarakat
karena tuduhan merambah kawasan, melakukan penebangan pohon, memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan karena tidak memiliki hak atau persetujuan dari pejabat
yang berwenang dan mengembalakan ternak di Kawasan hutan. Perubahan UU di atas dapat
menimbulkan kontradiksi regulasi yang baru dengan putusan MK No. 35/2012, terkait
putusan hutan adat bukan lagi hutan negara dan putusan MK No. 95/2014 dimana masyarakat
di dalam hutan berhak menggarap tanah dan memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan
sehari-hari. Selain itu UUPA 1960 pun menjamin hak dan akses masyarakat untuk
memperoleh manfaat dari hasil hutan. Omnibus law Cipta Kerja jika disahkan akan
meningkatkan praktek-praktek kriminalisasi petani dan masyarakat adat di sektor agraria,
utamanya kehutanan.
49
Pernyataan sikap dan tinjauan kritis Konsorsium Pemberuan Agraria (KPA) atas RUU Cipta Kerja, Jakarta, 20
Februari 2020
Omnibus law ini juga akan melahirkan kontradiksi baru dengan prinsip-prinsip
mendasar dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA 1960). Sebab, sebagai terjemahan langsung dari Pasal 33 Ayat (3), UUPA
mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga
semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik secara perorangan maupun secara gotong royong. Sementara
semangat “Omnibus Law” yang terpusat semata pada kepentingan investasi skala besar dapat
menyingkirkan hak-hak atas tanah petani, masyarakat adat dan masyarakat miskin dari
wilayah hidup mereka serta kearifan lokal terkait lingkungan.50
50
Pernyataan sikap dan tinjauan kritis Konsorsium Pemberuan Agraria (KPA) atas RUU Cipta Kerja, Jakarta, 20
Februari 2020
BAGIAN IV
OMNIBUS LAW DALAM SEKTOR PENDIDIKAN
4
A. Pendidikan Tinggi dalam Omnibus Law
Menurut Aristoteles pendidikan adalah salah satu fungsi dari suatu negara, dan
dilakukan, terutama setidaknya, untuk tujuan Negara itu sendiri.51 Negara adalah institusi
sosial tertinggi yang mengamankan tujuan tertinggi atau kebahagiaan manusia. Pendidikan
adalah persiapan/bekal untuk beberapa aktivitas/pekerjaan yang layak. Pendidikan
semestinya dipandu oleh undang-undang untuk membuatnya sesuai (koresponden) dengan
hasil analisis psikologis, dan mengikuti perkembangan secara bertahap, baik secara fisik
(lahiriah) maupun mental (batiniah/jiwa).
Definisi daripada Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus berasal
dari bahasa Latin dan berarti untuk semuanya. Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition
Bryan A.Garner disebutkan omnibus : relating to or dealing with numerous object or item at
once ; inculding many thing or having varius purposes, dimana artinya berkaitan dengan atau
berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki
berbagai tujuan. Bila digandeng dengan kata Law yang maka dapat didefinisikan sebagai
hukum untuk semua. 52
Salah satu faktor yang menghambat peningkatan iklim investasi di Indonesia
disebabkan karena permasalahan regulasi. Permasalahan regulasi terkait dengan beberapa
bidang industri diantaranya adalah bidang pertanahan. Berdasarkan data yang dirilis dari
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ada
sekitar 632 regulasi yang terkait bidang pertanahan dimana 208 peraturan sudah tidak berlaku
lagi sehingga yang berlaku 424 regulasi. Regulasi sebanyak 424 beberapa memiliki
permasalahan penerapannya dan benturan antar instansi. Padahal kunci utama penegak
hukum dimulai dari kualitas mutu regulasi yang berlaku. Akibat regulasi yang memiliki
banyak kekurangan maka perlu untuk dibenahi karena menjadi faktor penghambat
peningkatan iklim investasi di Indonesia.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Bapak Sofyan Jalil
melontarkan gagasan konsep Omnibus Law untuk menyelesaikan pemasalahan regulasi yang
menghambat pertumbuhan investasi di Indonesia. Sofyan jalil mengatakan bahwa pemerintah
tengah menggodok solusi perbaikan undang-undang melalui Omnibus Law. Beberapa tujuan
dibentuknya Omnibus Law ini antara lain :
.”Pengertian
51
Pendidikan,” gurupendidikan.com, terakhir diubah 8 November 2019,
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-pendidikan/.
52
. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1981), 29.
5
1. Mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien.
2. Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun didaerah untuk
menunjang iklim investasi;
3. Pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif;
4. Mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama;
5. Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam
kebijakan omnibus regulation yang terpadu;
6. Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.53
Salah satu tujuan pendidikan seperti yang tertuang pada Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa tujuan negara
Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945). Dewasa ini,
perguruan tinggi banyak mengalami perubahan kebijakan seiring dengan perubahan
kebijakan pemerintah. Perubahan otonomi pendidikan yang kemudian melahirkan makna
privatisasi perguruan tinggi mengakibatkan hanya beberapa kalangan masyarakat yang dapat
meraih perguruan tinggi dan makna privatisasi ini sejalan dengan tujuan komersialisasi
bahwa pendidikan dapat diperjualbelikan sehingga tidak sesuai dengan hak-hak meraih
pendidikan yang terdapat dalam UUD 1945 Pasal 31. Dalam beberapa tahun terakhir,
kekuatan pasar terus berkembang dan adanya General Agreement of Trade Services (GATS)
cenderung mengabaikan pandangan masyarakat bahwa pendidikan merupakan “public good”.
Liberalisasi perguruan tinggi dapat menjadi peluang serta ancaman. Peluang tersebut yaitu
perguruan tinggi dapat bekerja secara mandiri dan tidak bergantung pada pemerintah dalam
artian lain perguruan tinggi tersebut mampu memaksimalkan segala potensi yang di miliki .
Selain itu, liberalisasi pendidikan dapat menjadi ancaman berupa komersialisasi perguruan
tinggi sehingga menjadikan komoditas pasar sebagai kiblat dari praktik pendidikan tinggi
yang di terapkan.54
Indonesia mulai aktif menjadi anggota World Trade Organization (WTO) pada
tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-undang no. 7 tahun 1994 tentang pengesahan
(ratifikasi) “Agreement Establishing the World Trade Organization”.Dengan pengesahan
tersebut, menjadikan indonesia terikat pada peraturan yang diciptakan oleh WTO.55
53
. Ibid, 247.
54
. Hessy Erlisa Frasti, “Membangun Corporate Ethics Dalam Upaya Mengatasi Liberalisasi Dan Komersialisasi
Pendidikan Tinggi,” Jurnal Sebelas Maret University, (2014).
55
. Muhammad Idrus, “Pro Kontra Liberalisasi Pendidikan,” Jurnal UNISIA 29, No.60 (2006): 177.
Pada tahun 1995, WTO menerbitkan perjanjian di sektor jasa, perjanjian tersebut
berupa General Agreement of Trade Services (GATS), perjanjian ini membuat anggota WTO
harus mau membuka diri terhadap lembaga asing yang bergerak di sektor keuangan,
kesehatan, pendidikan, dan energi. Dari paparan ini jelas bahwa penyediaan jasa pendidikan
merupakan salah satu sektor jasa yang akan diliberalisasikan. Hal ini bertentangan dengan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi.
Karena UUSPN dan UU Dikti berlandaskan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika yang diselenggarakan dengan prinsip keadilan,
tidak diskriminatif dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa. Akan tetapi, GATS memiliki prinsip yaitu
memperlakukan pendidikan tinggi sebagai komoditas yang diperdagangkan atau diperjual
belikan.56
Tim Graewert menyatakan bahwa “ ... a conflict of law results from two or more
norms which are different in substance but apply to the same or similar facts, and whose
application would lead to contrary decisions, so that a choice must be made between them”1.
UUSPN dan GATS memiliki substansi yang berbeda namun mengatur objek yang sama,
yaitu pendidikan tinggi nasional. Pilihan hukum sebagai dikatakan Graewert di atas tidak
diterapkan di dalam WTO/GATS; konsep yang dipakai adalah unifikasi dan harmonisasi
hukum dimana secara keseluruhan isi perjanjian tersebut menjadi bagian dari sistim hukum
nasional negara-negara anggota WTO dan implementasinya akan diatur melalui peraturan
nasional masing-masing (domestic regulation).57
Kami menuduh bahwasannya Omnibus Law dibentuk untuk memuluskan dan
melegitimasi nilai nilai yang terdapat dalam GATS serta sebagai pengatur implementasi dari
GATS yang di wewenangkan kepada pemerintahan negara tersebut. Substansi atau muatan
yang terkandung dalam Omnibus Law berbanding lurus denganapa yang ada didalam GATS ,
dimana semakin terlihat upaya untuk meliberalisasikan pendidikan tinggi lewat paket
kebijakan hukum sapu jagat ala Omnibus Law.
. Ibid, 181.
56
. Anggiat P. Simamora, Bismar Nasution , dan Mahmul Siregar, “Liberalisasi Pendidikan dalam Kerangka GATS:
57
Kajian Hukum Terhadap Pendirian Perguran Tinggi Asing di Indonesia,” USU Law Journal 2, No.1 (2014) ,68.
Substansi kemudahan investasi yang sengaja dipermudah dalam RUU Onimbus Law
bertujuan sebagai bentuk perwujudan komersialisasi pendidikan tinggi yang diperjelas dan
dipertajam dengan dijadikannya pendidikan tinggi sebagai akomodasi barang dagang. Dalam
hal ini bentuk perwujudan komersialisasi pendidikan tinggi dapat ditinjau dari beberapa pasal
yang memperlihatkan kemudahan dalam beberapa ketentuan undang-undang seperti Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran yang kententuannya di ubah dalam RUU Onimbus Law.
Diberikannya kemudahan terhadap keran investasi yang termuat dalam RUU
Onimbus Law tanpa disadari adalah bentuk upaya dari pemerintah dan korporat guna
menekan tata kelola agar dipermudah dan hal ini yang menjadikan ciri dari suatu korporasi,
yang mana misi utamanya adalah mencari keuntungan dan kemudahan berinvestasi.
Pemerintah dan korporat menekankan pentinganya sisi tata kelola agar yang seolah-olah
dibuat lebih efisien dan produktif sehingga dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
untuk dapat melakukan investasi yang lebih besar lagi.
Beberapa ketentuan yang dimuat dalam Onimbus Law yang mengatur kemudahan
investasi guna menjadikan pendidikan tinggi sebagai ‘barang dagangan’, berkurangnya mutu
pendidikan tinggi di Indonesia, hingga terjadinya diskriminasi terhadap dosen dan tenaga
kependidikan Indonesia yang tertera pada pasal 90 Undang-Undang nomor 12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi. Ketentuan pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. Pasal 90
1) Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Perguruan Tinggi Lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Jika merujuk pada pasal sebelumnya pada pasal 90 UU nomor 12 tahun 2012 yang
berbunyi:
1. Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
98
2. Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
terakreditasi dan/atau diakui di negaranya.
3. Pemerintah menetapkan daerah, jenis, dan Program Studi yang dapat diselenggarakan
Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4. Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memperoleh izin Pemerintah;
b. berprinsip nirlaba;
c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara
Indonesia.
5. Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mendukung kepentingan nasional.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Menteri.
Dengan dihapusnya beberapa ayat di pasal ini khususnya ayat 2 dan ayat 4, maka
semakin ditegaskan adanya liberalisasi, komersialisasi, dan privatisasi dalam pendidikan
tingggi di Indonesia.
Adanya kemudahan investasi dalam pembuatan perguruan tinggi lembaga negara lain
di Indonesia akan mengakibatkan terjadinya komersialisasi pendidikan. Hal ini merupakan
biang keladi utama yang merasuki lembaga pendidikan. Ada kepentingan kalangan pemodal
yang menyelinap ketika mereka mendirikan perguruan tinggi. Padahal, menurut pasal 1 ayat
1 UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, penanaman modal tidak diperuntukan
untuk lembaga sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Semua pasal di dalam UU ini yang
diperkenankan masuk harus dalam bentuk badan usaha ekonomi, bukan lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, apabila lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi asing dimasukkan ke
dalam negeri dengan basis aturan investasi dan lepas dari Daftar Negatif Investasi (DNI), ini
sama dengan melanggar undang-undang. (Utami, Pendidikan Bukan Investasi Modal untuk
Asing, 2019) 58
Selain itu indikasi komersialisasi pendidikan kian terlihat pada aktivitas pengusaha
pendidikan yang berorientasi pada perolehan dan penumpukan laba. Karenanya segala
perbuatan serta kebijakan diarahkan pada tujuan ini. Itu sebabnya menjadi kebutuhan primer
. Suci Sedya Utami, “Pendidikan Bukan Investasi Modal Untuk Asing,” medcom.id, Terakhir diubah 18 Agustus 2019,
58
https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/aNrQvzPK-pendidikan-bukan-investasi-modal-untuk-asing.
pengusaha untuk membangun relasi dengan pemerintah untuk mempermudah berbagai
kebijakan pendidikan yang menguntungkan korporasi tersebut, dapat dilihat dalam berbagai
kasus di RUU Pendidikan sebelum disahkan.59
Tidak hanya komersialisasi pendidikan yang akan terjadi jika Omnibus Law disahkan.
Namun, akan terjadi juga privatisasi pendidikan di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan
yang pada mulanya merupakan tanggung jawab utama pemerintah diserahkan kepada pihak
swasta. Karena motif utama pihak swasta adalah mencari keuntungan, tidaklah
mengherankan jika privatisasi kemudian merosot menjadi komersialisasi pendidikan. Dunia
pendidikan disulap menjadi lahan bisnis dan investasi ekonomi semata. Akibatnya,
pendidikan menjadi 'barang' mewah yang sulit dijangkau masyarakat bawah. Biaya
pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (PT) semakin mahal dan
cenderung tidak terkendali.60
Dampak yang dihasilkan dari adanya privatisasi pendidikan sangat beragam. Mulai
dari biaya pendidikan yang menjadi mahal yang menjadikan pendidikan sebagai ‘barang
mewah’ yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat kelas bawah. Hal
ini menyebabkan munculnya segregasi sosial antara kelas menengah keatas dan kelas
menengah kebawah, mengakibatkan masyarakat kelas bawah termarginalkan, hingga
munculnya gap terhadap tingkat dan kualitas pendidikan dikalangan masyarakat. Mahalnya
pendidikan tentu berakibat pada proses pemiskinan dan pembodohan yang semakin kuat,
padahal jelas tertera dalam UUD 1945 Alinea ke-IV dijelaskan mengenai kewajiban negara
salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Adanya liberalisasi pada pendidikan tinggi menyebabkan terjadinya distorsi dalam
tujuan pendidikan. Fungsi pendidikan tidak lagi sebagai pusat pembangunan bangsa
melainkan sebagai pusat bisnis. Liberalisasi di bidang pendidikan merupakan upaya yang
disengaja yang hanya menguntungkan sekelompok golongan saja. Globalisasi dan
neoliberalisme mendorong Indonesia bersama negara-negara berkembang lainya untuk
berlomba-lomba menuju ke bawah (race to the bottom), dengan membatalkan berbagai
peraturan yang bersifat protektif demi memperebutkan investasi asing. Dengan paradigma
yang dianut para wakil rakyat kita bahwa pendidikan untuk mencari keuntungan (privatisasi
59
. Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, (Yogyakarta: Resist Book, 2004), 82.
60.
Edi Suharto, “Bahaya Sosial Privatisasi
Pendidikan” Media Indonesia, Terakhir diubah
18 Februari 2004.
institusi pendidikan), berbagai masalah yang dihadapi dunia pendidikan pasti akan semakin
sulit. Hak-hak warga atas pendidikan pun akan semakin terkikis dan hilang sama sekali
karena telah menjadi komoditas yang diperdagangkan. Dan di mana pun serta apapun
jenisnya, ketika telah menjadi komoditas, maka hanya mereka yang beruang yang dapat
mengaksesnya. Ini jelas-jelas bentuk pelanggaran konstitusi yang tidak boleh ditolerir lagi.
Bukti kemudahan akses investasi yang dapat menyebabkan liberalisasi, privatisasi,
dan komersialisasi tidak hanya dilihat pada pasal di atas. Permainan yang dijalankan oleh
korporasi dan pemerintah guna menekankan pentinganya sisi tata kelola agar seolah-olah
dibuat lebih efisien dan produktif sehingga dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
untuk dapat melakukan investasi yang lebih besar lagi dapat dilihat juga pada:
Pasal 7 ayat 3 poin e UU nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
Pasal 33 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pasal 50 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pasal 60 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pasal 90 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 49 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Kata yang terus diulang-ulang pada beberapa pasal di atas dan kerap kali muncul
adalah ‘Wajib Memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat’. Dalam hal ini yang
menjadi polemik adalah perizinan berusahan yang diatur ketentuannya oleh pemerintah pusat
tentu aksesnya akan dipermudah terbukti dari perampingan dan penyusunan pasal perpasal
dalam Onimbus Law. Jika melihat hal tersebut maka bukan tidak mungkin nantinya para
investor akan berlomba-lomba menaruh investasinya di pendidikan tinggi dan menjadikan
pendidikan tinggi semakin bersifat privatisasi dan komersialisasi. Komersialisasi pendidikan
tinggi pada dasarnya memang mendatangkan keuntungan bagi sektor keuangan
penyelenggara pendidikan tinggi. Akan tetapi dampak yang dihasilkan dari komersialisasi
tersebut cepat atau lambat pasti akan terasa dalam proses tata kelola pada pendidikan tinggi.
Seperti apa yang disampaikan oleh Derek Bok bahwa beberapa kerugian yang harus dibayar
atas pilihan untuk menjadikan komersilisasi pendidikan tinggi adalah dapat merukan stadar
akademik, merusak semangat dari kolegialitas serta kepercayaan dari anggota komunitas
akademik dan lagi dapat merubah citra universitas di mata publik.61
Motif mengejar keuntungan dapat mengakibatkan pendidikan tinggi berkurang luas
dalam melayani apa yang seharusnya karena hal tersebut diperuntukan untuk memperoleh
keuntungan yang lebih besar. Sebagai contoh, bukan tidak mungkin jika beberapa universitas
atau intitut nantinya akan dengan mudahnya diberikan wewenang untuk menciptakan progam
studi baru. Akan tetapi program studi tersebut akan dikenakan dengan biaya yang sangat
mahal, sehingga hanya orang-orang dengan kelas ekonomi menengah keatas saja yang dapat
mengakses atau mencicipi manisnya duduk dan berburu pengetahuan di pendidikan tinggi.
Dan lagi ketika penelitian ilmiah yang disponsori dari suatu perusahaan tidak jarang tidak
diperbolehkan untuk mempublikasikan hasil ilmiahnnya karena dinilai akan menguntungkan
perusahaan pesaing dan merugikkan perusahaan pemasok dana. Inilah yang menjadi
ketakutan ketika penelitian ilmiah yang telah dilakukan tidak diberikan akses terbuka agar
dapat diakses oleh khalayak umum.62
Ketika para investor belomba-lomba menaruh investasi pada pendidikan tinggi
dengan cara membangun unit-unit usaha atau seperti bekerja sama dalam kegiatan keilmiahan
maka praktik tersebut pastinnya ditutup dengan dalih keunggulan kompetitif mutu pendidikan
tinggi yang bertaraf internasional (word class university). Pencitraan yang dibangun untuk
asas profesional yang ingin meningkatkan kualitas keberlanjutan untuk menepati posisi yang
baik dalam hal persaingan dan kerja sama global secara tidak langsung mengatakan bahwa
pencitraan sebagai world claas university sebenarnya adalah bagian dari bisnis kapitalisme
global karena diperuntukan menjual jasa pendidikan tinggi. Ukuran-ukuran dari taraf yang
berstandar internasional tidak pernah jelas, kecuali sangat bias dengan kepentingan bisnis
mereka.63
. Achmad Zulfikar, “Dampak Komersialisasi Pendidikan Terhadap Tata Kelola Pendidikan Tinggi di Indonesia,” 1.
61
62
. Ibid, 5.
63
Darmaningtyas, Edi Subkhan, dan Fahmi Panimbang, Melawan Liberalisme Pendidikan, (Malang: Madani,
2014), 88.
pekan, dan sekian perilaku hedonis lainnya. Lembaga pendidikan Indonesia telah
‘berselingkuh’ dengan industri. Semakin aneh karena bukan industri yang mengikuti ‘birahi’
pendidikan, justru yang terjadi sebaliknya. Pendidikan telah dicekoki teori-teori
industrialisasi tentang efektivitas dan efisiensi. Jadilan pendidikan kita layaknya pabrik yang
setiap tahunnya mencetak ‘robot-robot bernyawa’ untuk siap bekerja memenuhi hasrat
kapitalisme. Pendidikan tidak menjadikan masyarakat Indonesia maju, bermutu dan memiliki
sumber daya manusia yang mumpuni dalam mengisi kemerdekaan.64 Mendorong pada
ketidakmerdekaan, menghamba pada sekian mitos-mitos prestasi sosial dan kilapan materi.
Disadari atau tidak pendidikan adalah instrumen utama dalam mentransformasikan
pengetahuan dan membentuk kesadaran sosial budaya, ekonomi, politik, dan agama.
Pendidikan harusnya hadir sebagai wahana ‘pembebasan’ meminjam istilah Paulo
Freire. Pendidikan pembebasan adalah proses “memanusiakan manusia” lewat kesadaran
untuk melepaskan diri atas penindasan yang hegomnik dan dominatif. Penindasan di dunia
pendidikan Indonesia semakin sulit berakhir dengan munculnya frasa pendidikan dalam
Omnibus Law. Pendidikan tinggi kita akan semakin mapan sebagai sebuah “Bank” ujar
pengibaratan Freire. Pada sisitem ini anak didik atau Mahasiswa menjadi objek inventasi dan
sumber deposito yang potensial. Sistem yang demikian berdampak pada “dehumanisasi
pendidikan”, menjadi pelanggeng hegemoni kaum dari kelompok sosial tertentu tuk
menindas kaum dari kelompok sosial lainnya. Menindas dapat diartikan sebagai bentuk
menafikan ide-ide tentang kemanusiaan. Pendidikan idealnya berorientasi pada nilai-nilai
humanisme. Maksud humanisme Freire adalah mengembalikan kodrat manusia sebagai
pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Kekuatan penyadar dan pembebas umat
manusia dari kondisi ketertindasan. Selain itu proses belajar harus menjadi bentuk investigasi
kenyataan. Proses pendidikan melibatkan identifikasi permasalahan yang terjadi di
masyarakat.
Paulo Freire dalam bukunya menjelaskan bahwa pendidikan yang dibutuhkan dalam
situasi sekarang ini adalah pendidikan yang membuat manusia berani membicarakan
masalah-masalah lingkungannya dan turun tangan dalam lingkungan tersebut , pendidikan
yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan
kepercayaan dan kekuatan untuk menghadapi bahaya-bahaya tersebut, bukan pendidikan
yang menjadikan alkali kita menyerah pada keputusan-keputusan orang lain. Dengan
mengajak manusia terus-menerus melakukan penilaian kembali, menganalisis ‘penemuan-
65
. Freire, Paulo. 2000. Pendidikan yang Membebaskan (hal 43). MELIBAS. Jakarta
.
66
“Pendidikan Ideal Menurut Paolo Freire,” Balairung Press, Terakhir diubah 19 Agustus 2012,
http://www.balairungpress.com/2012/08/pendidikan-ideal-menurut-paulo-freire/.
67
. Eko Prasetyo, 209.
68
. Henricus Suparlan, “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Pendidikan Indonesia,” Jurnal
Filsafat 25, No. 1 (2015): 59.
sejarah.69 Nilai kebudayaan tidaklah nilai yang statis tetapi juga mengalami kemajuan.
Hendaknya kemajuan ditempuh secara kontinu dengan diestafetkan kepada generasi penerus.
Termasuk juga konvergen dengan budaya luar, menerima secara selektf dan adaptif sebelum
akhirnya bersatu dengan alam universal. Persatuan yang konsentris namun tetap mempunyai
kepribadian tersendiri.
Ki Hajar Dewantara memisahkan definisi pendidikan dan pengajaran. Pendidikan
dengan memberikan ilmu atau pengetauan agar bermanfaat bagi kehidupan lahir dan batinlah
yang disebut sebagai pengajaran. Di samping itu, pengajaran yang tidak bersemangat
kebudayaan dan sekadar mengutamakan intelektualisme dan individualisme yang
memisahkan satu orang dengan lainnya hanya akan menghilangkan kekeluargaan dalam
masyarakat Indonesia. Padahal sesungguhnya hal tersebut menjadi pertalian suci dan kuat
serta menjadi dasar yang kokoh mengadakan hidup tertib dan damai. Terdapat tiga butir
penting pengajaran rakyat dalam perspektif Ki Hajar Dewantara. Pertama, pengajaran rakyat
haruslah bersemangat keluhuran budi manusia. Ia harus mementingkan segala nilai kebatinan
dan menghidupkan semangat idealisme. Kedua, pengajaran rakyat harus mendidik ke arah
kecerdasan budi pekerti. Masaknya jiwa seutuhnya atau kita kenal character building. Ketiga,
pengajaran rakyat harus mendidik ke arah kekeluargaan. Merasa hidup bersama, susah
senang bersama, dan tanggung jawab mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga secara
bersama-sama. Jangan sampai pengajaran justru menjauhkan anak dari alam keluarga dan
rakyatnya.
Pengertian pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Menurut Redja Mudyahardjo, pengertian pendidikan dibagi menjadi tiga, yakni secara
sempit, luas, dan alternatif. Definisi pendidikan secara luas adalah mengartikan pendidikan
sebagai hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam
lingkungan dan sepanjang hidup (long life education). Pendidikan adalah segala situasi hidup
yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Secara simplistik, pendidikan didefinisikan
sebagai sekolah, yakni pengajaran yang dilaksanakan atau diselenggarakan di sekolah
69
. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), 260.
sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan
terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang
sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas sosial mereka.
Secara alternatif pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan yang
berlangsung di sekolah dan luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik
agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan secara tepat di masa yang akan
datang.70
Pendidikan sebagai proses pembelajaran dan pengembangan potensi diri agar manusia
memiliki moral, kecerdasan, serta keterampilan untuk memainkan peranan dalam berbagai
lingkungan secara tepat di masa datang. Jadi sangat jelas bahwasanya, pendidikan yang
dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang berani dan tanggap terhadap lingkungan serta
tidak mudah terpengaruh dogma-dogma orang lain. Terkait dengan kebijakan-kebijakan yang
terdapat dalam Omnibus Law, sangat terlihat bahwa omnibus sendiri merupakan cermin nyata
dari proses menuju penindasan terhadap kaum-kaum bawah termasuk juga di dalamnya kaum
terpelajar dan terdidik yang seharusnya dapat tanggap dan menyikapi kebijakan yang hanya
berpihak pada kepentingan salah satu kaum saja. Untuk itu sangat penting dalam
mengembalikan makna pentingnya pendidikan yang sesungguhnya. Dalam hal ini
memasukkan UU Dikti dan UU Sisdiknas ke dalam Omnibus Law tidaklah tepat karena
sangat jauh dari makna pendidikan itu sendiri.
Jelas sejatinya pendidikan adalah proses hominisasi dan humanisasi, yaitu
memanusiakan manusia menjadi pribadi yang utuh. Bila manusia yang kita inginkan adalah
manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya maka jelas bahwa pendidikan yang
bertujuan untuk membantu peserta didik/manusia muda menjadi manusia haruslah
menyangkut semua unsur kehidupan manusia seperti spiritualitas, moralitas, sosialitas, rasa,
rasionalitas.71 Pendidikan tak bisa hanya menekankan segi pengetahuan saja, harus juga
memperhatikan sisi yang lain secara integratif. Pendidikan mesti menghasilkan pribadi-
pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, bertanggung
jawab, proaktif, dan juga koperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi handal dalam
bidang akademis dan keterampilan sekaligus berwatak dan berbudi luhur. Pendidikan ke
70
. Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan
Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka), 18.
71
. Syukri Fathudin AW, dan Wagiran, “Memaknai Pendidikan Tinggi Sebagai Proses Humanisasi,” Jurnal Pendidikan
Teknik Mesin.
depan perlu dilakukan upaya perbaikan sistematis agar kembali bersifat holistik, integratif,
dan sistemik dengan mengembalikan pendidikan pada visi dan tujuannya semula. Amanat
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum di Undang-Undang Dasar
1945 harusnya senantiasa menjadi refleksi pendidikan kita.
Liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan melalui bermacam regulasi
yang mengikutinya justru akan mengantarkan bangsa Indonesia ke dalam jurang kehancuran
untuk selamanya. Sumber daya alam kita kian habis tapi disisi lain warga Indonesia tidak
pintar, sehingga kita akan hidup sebagai bangsa terjajah selamanya. Bangsa Indonesia masih
membutuhkan banyak Sarjana unggul dalam berbagai bidang, mau bekerja demi
kemakmuran dan kesejahteraan bangsanya dengan mengolah sumber daya alam yang dimiliki.
Namun, dengan biaya pendidikan yang mahal membuat semakin sedikit anak bangsa yang
dapat mengenyam pendidikan tinggi. Negara kita akan memiliki pendidikan tinggi yang
sangat elitis dan tertutup bagi kaum miskin. Akibatnya orang miskin tidak terbuka jalannya
untuk melakukan mobilitas vertikal, mereka akan semakin miskin di negerinya sendiri.
Golongan kaya yang dengan mudah mengakses layanan pendidikan tinggi akan semakin
mudah mengakses sumber daya ekonomi. Belum tentu kepedulian sosial dan tanggung jawab
yang tinggi terhadap kesejahteraan bangsanya itu tertanam, mereka terhegemoni untuk segera
mengembalikan modal pendidikannya.
Lantas untuk apa pendidikan tinggi masuk ke dalam gerbong Omnibus Law? Apa
urusannya pendidikan dengan kehendak kemudahan investasi rezim. Tidak salah rasanya jika
kemudian kita menganggap wajah pendidikan tinggi kita akan semakin suram dalam
Omnibus Law. Pendidikan tinggi kita akan semakin menjauh dari realitas yang dibutuhkan
oleh masyarakat. Pendidikan tinggi berada dibawah bayang-bayang bekerjanya kekuasaan
yang bukan dengan akal sehat, maka jadilah pendidikan sebagai pelampiasan nafsu bisnis.
Pendidikan dijadikan lahan terbaik untuk memintal uang dengan memanfaatkan motif yang
seolah mulia. Seandainya pendidikan yang berwatak komersial dibiarkan hidup maka akan
munculah generasi yang hanya menghamba pada pundi-pundi rupiah. Mustahil jika situasi ini
dibiarkan terus berjalan, harus ada perubahan besar namun bukan Omnibus Law. Harus
dipahami pendidikan harusnya dikelola dengan ideologi keberpihakan yang lugas. Persoalan
ini harus diakhiri kalu memang kita hendak menghasilkan manusia Indonesia yang bermutu.
Omnibus Law hanya akan semakin menjadikan pendidikan sebagai barang mainan!
BAGIAN V
OMNIBUSLAW DALAM SEKTOR ENERGI DAN
MINERBA
Catatan Kritis
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, regulasi setor
pertambangan menjadi bagian dari sasaran pemerintah. Seperti pada tujuannya yang merupakan
penyederhanaan berbagai aturan hukum, Omnibus Law sangatlah benar memanjakan para pebisnis.
Selain itu pula dalam Omnibus Law ini terdapat beberapa bagian bermasalah yang bahkan dapat
merugikan sektor energi itu sendiri, yang diantaranya :
72
Nano, Verda. 14 Februari 2020. Dalam Omnibus Law, Luas Wilayah Produksi Tambang Minerba Tak Dibatasi.
https://katadata.co.id/berita/2020/02/14/dalam-omnibus-law-luas-wilayah-produksi-tambang-minerba-tak-dibatasi
(diakses pada 12 Juli 2020)
73
Ika, Marina. 15 Januari 2014. Dampak Positif dan Negatif Industri Pertambangan di Indonesia.
https://www.kompasiana.com/marinaikasari/5528d386f17e61780e8b457a/dampak-positif-dan-negatif-industri-
pertambangan-di-indonesia (diakses pada 12 Juli 2020)
jumlah tambang tersebut sesuai dengan data Kementerian Lingkungan Hidup terdapat 8.683 titik
tambang seluas 146.545 hektare (per April 2017) tersebar di seluruh wilayah Indonesia74.
Jumlah pertambangan di Indonesia tersebut terhitung banyak dan tersebar di seluruh wilayah
Indonesia. Dengan adanya kebijakan batas wilayah tambang ini tentu saja akan membuka selebar-
lebarnya pertambangan dan kemudian pada akhirnya akan menyingkirkan masyarakat pemukiman
sekitar wilayah tambang secara perlahan. Selain itu pula wilayah pertanian akan semakin terkikis
dengan adanya pengaruh tambang yang semakin meluas ke berbagai wilayah.
Selain pada dampak masyarakat dan linkungan, batas wilayah tambang yang tidak ada lagi
akan berefek kepada cadangan energi negara terkhusus pada tambang batu bara sebagai penghasil
listrik. Mengingat kontribusi pada produksi listrik dari Pembangkit Batubara sebesar 61% dari total
produksi listrik nasional. Terdata bahwa penyerapan batu bara dalam negeri pada tahun 2018 sebesar
115 juta ton, batu bara tersebut mayoritas diserap sektor kelistrikan sebesar 91,14 juta ton. Konsumsi
batu bara sektor kelistrikan terus mengalami kenaikan, sejak 2014 dari 65,98 juta ton, di 2015
sebesar 70,80 juta ton, di 2016 tercatat 75,4 juta ton, dan pada 2017 mencapai 83 juta ton. Apabila
pengerusan tambang terus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan bahwa kedepannya
pertambangan batubara di negeri ini akan mengalami kekosongan dengan begitu sangat cepat.
74
Aldila, Nindya. 17 Februari 2020. Pemerintah Dahulukan Penutupan Tambang Ilegal di Halimun.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20200217/44/1202323/pemerintah-dahulukan-penutupan-tambang-ilegal-di-
halimun (diakses pada 12 Juli 2020)
75
Nugraha, Indra. 29 Februari 2020. Menyoal Insentif buat Industri Mineral dan Batubara dalam RUU Omnibus
Law. https://www.mongabay.co.id/2020/02/29/menyoal-insentif-buat-industri-mineral-dan-batubara-dalam-ruu-
omnibus-law/ (diakses pada 12 Juli 2020)
punya diskresi untuk mengatur sebagai pemilik. Padahal soal pengawasan lapangan, pemerintah
pusat memiliki sumber daya manusia yang sangat minim dan terbatas sarana prasarananya. Jika
sudah demikian potensi ilegal mining akan semakin meningkat.
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya perubahan sistem terhadap pemberian izin dan
pengawasan yang berlaku dalam usaha pertambangan akan menjadi rencana utama yang terdapat
pada Omnibus Law. Pemberian izin serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan
daerah akan dirubah menjadi wewenang hanya kepada pemerintah pusat.
Kewenangan pemberian izin IUP akan ditarik ke pemerintah pusat di bawah kekuasaan
Presiden. Sentralisasi perizinan ini terlihat dari dihapuskan Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 37 pada UU
Minerba. Pasal 7 UU Minerba menerangkan tentang kewenangan pemerintah provinsi (pemprov)
dalam pengelolaan pertambangan minerba. Pasal 8 mengatur tentang kewenangan pemerintah
kabupaten (pemkab) atau pemerintah kota (pemkot) dalam pengelolaan pertambangan minerba.
Sedangkan Pasal 37 mengatur pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP)76.
Dalam Pasal 37 UU Minerba, IUP diberikan oleh:
(a) Bupati/walikota apabila Wilayah IUP (WIUP) berada dalam satu wilayah
kabupaten/kota;
(b) Gubernur apabila WIUP berada dalam lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi
setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat; dan
(c) Menteri, apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan
rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat.
Pada saat peralihan wewenang pertambangan dari pemerintah daerah menuju pusat akan pula
terdapat permasalahan didalamnya. Dalam masa peralihan, akan terdapat indikasi masalah yang bisa
jadi dapat untuk dihadapi. Diantaranya yaitu adanya kebocoran penerimaan negara, munculnya
masalah lingkungan, konflik sosial, serta praktik pertambangan tanpa izin. Dalam bentuk
pengawasan, bentuk yang diterapkan akan berpacu berdasarkan laporan administratif dan tinjauan
lapangan sehingga volume produksi tambang yang dimuat oleh perusahaan tidak akan dapat untuk
dipastikan.
C. Pungutan Pajak & Royalti
Pemerintah dalam Omnibus Law akan melakukan penghapusan atau pembebasan royalty
bagi pelaku usaha tambang dan kemudian dibebaskan dari kewajiban domestic market obligation.
Tentu saja hal ini akan menjadi sebuah angin segar bagi para pengusaha batu bara.
76
Admin. 18 Februari 2020. Wacana Sentralisasi Perizanan Tambang, Semua Kewenangan Daerah Diambil Alih
Pusat?. https://industri.kontan.co.id (diakses pada 12 Juli 2020)
Pembebasan royalti rencananya akan diberikan pada perusahaan tambang batu bara yang
melakukan hilirisasi, seperti mengolah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) alias gasifikasi
batubara. Sedangkan perusahaan yang tidak melakukan hilirisasi akan tetap dikenakan pembayaran
royalti. Dengan adanya pembebasan pembayaran royalti dari perusahaan tambang yang melakukan
hilirisasi maka dipercaya akan mampu menyerap banyak tenaga kerja lokal dan mendorong
berdirinya industri pengelolaan batu bara dari mentah menjadi barang setengah jadi77.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa royalti
0% diberikan jika perusahaan batu bara memiliki pabrik yang mendongkrak atau menambah nilai
tambang, jika tidak memiliki pabrik maka tidak diberikan.
Terkait dengan permasalahan pajak dan royalti, hal ini masuk dalam RUU Omnibus Law
Cipta Kerja guna merevisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 pasal 128
A. Pasal ini merupakan pasal sisipan di antara pasal 128 dan 129. Berikut adalah kutipan pasal 128A:
(1) Pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan batubara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 103, dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban
penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.
(2) Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa
pengenaan royalti sebesar 0%.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pembebasan royalti tersebut rencananya akan diberikan pada perusahaan tambang batu bara
yang melakukan hilirisasi, seperti mengolah batu bara menjadi dimethyl ether (DME) alias gasifikasi
batubara. DME dapat menggantikan LPG yang selama ini masih diimpor. Selain pengurangan royalti
hingga 0%, pemerintah juga memberikan fasilitasi dalam bentuk harga khusus batu bara untuk
proyek gasifikasi. Harga yang disepakati akan diberikan antara USD 20 hingga USD 21 per ton.
Salah perusahaan BUMN yang sanggup dan tengah memulai gasifikasi batu bara adalah PT Bukit
Asam Tbk (Persero) yang menjajaki produksinya bersama PT Pertamina (Persero). Jika kerjasama
ini sudah berjalan maka Pertamina tak perlu impor LPG lagi.
Dalam draft, tepat pada Pasal 40 tentang ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara
Nomor 4 Tahun 2009 terdapat beberapa aturan yang memberikan karpet merah bagi pengusaha
minerba. Kita saksikan pada Pasal 83 Poin h yang berbunyi jangka waktu kegiatan usaha
pertambangan khusus batubara untuk tahap kegiatan operasi produksi yang melaksanakan
pengembangan dan pemanfaatan batubara yang terintegrasi sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini dapat diberikan jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang setiap
10 (sepuluh) tahun sampai dengan seumur tambang. Pada poin ini sangat berkaitan dengan
pemberian perizinan pertambangan bagi perusahaan yang melakukan pengolahan dan pemurnian
mineral secara integrasi serta pemanfaatan dan pengembangan batubara secara terintegrasi.
Perusahaan tambang yang memenuhi ketentuan akan diberikan insentif berupa izin penambangan
sampai dengan umur tambang. Dengan demikian maka perusahaan batubara yang akan habis
kontraknya berpotensi mendapatkan luas wilayah yang sama alias tidak dibatasi.
78
Nugraha, Indra. 29 Februari 2020. Menyoal Insentif buat Industri Mineral dan Batubara dalam RUU Omnibus
Law. https://www.mongabay.co.id/2020/02/29/menyoal-insentif-buat-industri-mineral-dan-batubara-dalam-ruu-
omnibus-law/ (diakses pada 12 Juli 2020)
Ketersediaan energi untuk menjaga kebutuhan nasional dapat terpenuhi dengan adanya
eksplorasi sumber daya alam. Dari data bauran energi Indonesia, dapat kita saksikan bahwasanya
sumber energi yang berasal dari alam terus mengalami kemerosotan yang cukup luar biasa tiap
tahunnya, terutama pada minyak bumi. Sedangkan pada batubara dari tahun 2017 menuju 2025
diperkirakan mengalami kenaikan, namun menuju ke tahun 2050 kembali lagi mengalami penurunan.
Sama halnya dengan gas yang tidak terdapat bentuk kestabilan tiap tahunnya, tapi diperkirakan akan
naik secara perlahan dari tahun 2025 menuju tahun 2050. Oleh sebab itu penggunaan sesuai dengan
grafik yang tersedia, EBT salah satu dari bauran energi nasional yang terus mengalami kenaikan tiap
tahunnya. Pertambahan jumlah penduduk tiap tahunnya terus mendorong terjadinya penigkatan
permintaan terhadap energi, sedangkan seperti yang kita ketahui bahwasanya produksi energi fosil
kian menurun. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dalam datanya menyebutkan bahwasanya
jumlah konsumsi energi Indonesia hingga tahun 2017 mengalami kenaikan yang cukup banyak
dibandingkan oleh tahun sebelumnya. Oleh sebab itulah penerapan EBT merupakan jalan utama
untuk mampu memenuhi konsumsi publik terhadap energi.
Tapi patut untuk kita pahami juga bahwasanya Energi Baru Terbarukan dalam pemenuhan
energi nasional memiliki tantangan didalamnya. Menurut mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan,
tantangan terbesar dalam penerapan EBT adalah disparitas penghasilan. Patut untuk dipahami
bahwasanya dalam penerapan Energi Baru Terbarukan akan menggunakan biaya yang sangat besar
dalam penerapannya dibandingkan dengan harga bahan fosil, sehingga fosil masih menjadi bagian
utama dalam menciptakan kebutuhan energi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
79
Deslina. 05 Mei 2020. ICW Nilai Omnibus Law Hanya Menguntungkan Pebisnis.
https://riaupos.jawapos.com/hukum/05/05/2020/230923/icw-nilai-omnibus-law-hanya-menguntungkan-
pebisnis.html (12 Juli 2020)
pengolahan agar batubara tersebut bersifat ramah lingkungan. Sehingga pada akhirnya muncul
sebuah rancangan UU dan Peraturan Pemerintah yang dibahas untuk mendukung rencana tersebut.
Berkaitan dengan batubara, maka sebenarnya kita akan mengacu kepada sebuah pengelolaan
energi kotor. Bentuk invetasi yang terus dikejar terutama pada ranah sektor energi batubara akan
dikejar oleh pemerintah, mengingat beberapa waktu yang lalu RUU Mineral dan Batubara baru saja
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Maka segala hal yang akan menghambat para pengusaha
sektor ini akan mendapat sebuah keuntungan yang cukup besar. Apalagi dalam Rancangan Undang-
Undang Omnibus Law Cipta Kerja, regulasi setor pertambangan tersebutkan dan salah satu
pengajuan yang ingin diubah yaitu tidak adanya lagi batas luas wilayah produksi mineral dan batu
bara, yang berubahan aturan tersebut tertulis dalam Pasal 83 huruf c RUU Cipta Kerja. Luas Wilayah
Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk tahap kegiatan operasi produksi minerba
diberikan dari hasil evaluasi pemerintah dan mendapatkan keuntungan besar bagi perusahaan sebab
luas wilayah dan juga waktu operasi produksi akan mendapatkan perpanjangan dari sebelumnya.
Kerusakan lingkungan dan penggusuran pemukiman warga akan semakin marak terjadi.
Melalui Omnibus Law pula patut untuk kita pertanyakan kepada pihak pemerintah atas komitmennya
dalan menghadapi krisis iklim. Dibanding memberikan dorongan transisi menuju energi baru
terbarukan, pemerintah justru memberikan insentif bagi pebisnis untuk semakin mengeruk batubara
sebagai sumber energi kotor. Maka dari itu produk hukum Omnibus Law semakin menegaskan
komitmen pemerintah yang tidak lagi berpihak pada kepentingan public, sebab kepentingan privat
yang dominan terlihat jelas dalam produk hukum Omnibus Law80.
G. Investasi Energi
Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang berhubungan dengan
keuangan dan ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktivas dengan
suatu harapan mendapatkan keuntungan pada masa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai
penanaman modal. Ini adalah kebalikan dari divestasi pada aset yang lama. Umumnya, dana atau
aset yang ditanamkan oleh seorang investor akan dikembangkan oleh badan atau pihak yang
mengelola. Keuntungan dari hasil pengembangan tersebut nantinya akan dibagikan kepada investor
sebagai imbal balik sesuai dengan ketentuan antara kedua pihak81.
Indonesia pada saat ini memiliki peluang investasi yang besar dalam bidang energi dan
sumber daya mineral. Dalam bidang migas, peluang tersebut terdapat baik di hulu maupun hilir,
80
Kuswandi. 05 Mei 2020. ICW Nilai Omnibus Law Hanya Menguntungkan Pebisnis. (diakses pada 12 Juli 2020)
81
Admin. Investasi. https://kamus.tokopedia.com/i/investasi/ (diakses pada 12 Juli 2020)
sedangkan bidang kelistrikan terfokus pada pembangkit listrik, distribusi, jasa, serta usaha
pendukung. Untuk energi baru dan terbarukan, pemerintah memprioritaskan biofuel, CBM, tenaga
panas bumi, nuklir, tenaga surya dan angin. Selain itu patut untuk dipahamin bahwa sektor
transportasi kini menjadi sektor terbesar yang mengkonsumsi energi sebesar kurang lebih 45 persen,
diikuti oleh sektor industri, yang merupakan pengguna energi yang signifikan.
Pada Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja sektor migas, pemerintah perlu menjelaskan
kondisi iklim investasi migas di Indonesia. Karena diagnosa akar masalah investasi migas diperlukan
untuk mengetahui resep apa yang cocok untuk mengatasinya. investasi di sektor migas merupakan
faktor fundamental dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Salah satu indikator ketahanan
energi Indonesia bisa diukur dengan Reserve-to Production Ratio (RPR atau R/P) yang
menggambarkan rasio antara jumlah cadangan minyak yang dimiliki dibandingkan dengan
pengambilan minyak bumi setiap tahun82.
82
Ginting, Kristian. 1 Februari 2020. Perkuat Hulu Sektor Migas Lewat Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
http://www.theiconomics.com/capital-market/perkuat-hulu-sektor-migas-lewat-omnibus-law-cipta-lapangan-
kerja/ (diakses pada 12 Juli 2020)
BAGIAN VI
OMNIBUSLAW DALAM SEKTOR AGRARIA
A. Teka-Teki Bank Tanah
Bila merujuk pada RUU Cipta Kerja pasal 123 ayat (2), definisi Bank Tanah adalah
badan khusus yang mengelola tanah yang dibentuk pemerintah pusat. Adapun kekayaan bank
tanah adalah kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagaimana termaktub dalam pasal 123 ayat
(4), fungsi bank tanah antara lain melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan,
pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah.
Kemudian pada pasal 124, disebutkan bahwa Bank Tanah menjamin ketersediaan
tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk: a. kepentingan umum; b. kepentingan sosial;
c. kepentingan pembangunan; d. pemerataan ekonomi; e. konsolidasi lahan; dan f. Reforma
Agraria.
Pada pasal 129 pula disebutkan bahwa hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara
yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.
Sebagaimana disebut dalam pasal 130 ayat (1) huruf c, salah satu pemegang hak pengelolaan
adalah badan badan bank tanah Namun faktanya, wacana pembuatan Bank Tanah bukan lah
hal baru, sempat mencuat pada Rancangan Undang-undang Pertanahan yang akhirnya
menemui banyak gelombang penolakan karena dianggap sebagai bentuk kapitalisasi
pertanahan. Apalagi semangat RUU Omnibus Law Ciptaker adalah semangat investasi.
Sedangkan semangat reforma agraria adalah semangat ber keadilan sosial. Lalu bagaimana
mungkin Bank Tanah yang sifatnya liberal dengan semangat kapitalistik akan digunakan
untuk kepentingan reforma agraria yang berorientasikan keadilan sosial. Yang ada justru akan
memperparah konflik agraria di masyarakat. Bank Tanah yang sumbernya adalah HPL akan
memicu banyak klaim tanah negara di-HPL kan bahkan parahnya lagi akan semakin
menjamurkan perampasan tanah (Land Grabbing) atas nama pembangunan infrastruktur dan
lain-lain.
B. Hak Guna Usaha (HGU) 90 Tahun dan Penghapusan Status Tanah Terlantar
Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
(UUPA), HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara
dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.
Selain UUPA, peraturan lain yang mengatur soal HGU adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah (PP Nomor 40/1996). Pada PP Nomor 40/1996 tersebut diatur lebih jauh mengenai
HGU. HGU dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan
yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU untuk jangka waktu paling lama 35
tahun. Atas permintaan pemegang HGU dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu
tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun.
Namun dalam RUU Ciptaker Pasal 127 soal perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU)
menjadi 90 tahun dari sebelumnya hanya 25 tahun dan waktu yang lebih lama 35 tahun. Ini
jelas pemerintah memberikan karpet merah kepada korporasi dan jauh panggang dari api
dengan semangat reforma agraria. Padahal konsep domein verklaring saja hanya memberikan
izin tanah hingga 75 tahun yang selanjutnya secara tegas di hapuskan dalam UUPA 1960. Hal
ini menimbulkan banyak macam pertanyaan. Mulai dari alasan pemerintah yang mengatakan
pemberian izin HGU hingga 90 tahun adalah untuk mendukung investasi dan mencegah
terjadinya konflik agraria yang berkepanjangan.
Alih-alih membuat maju sektor pertanian dalam RUU Ciptaker, malah semakin
memperburuk alih fungsi lahan jika RUU Ciptaker disahkan. Jika sebelumnya Undang Undang
Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan mewajibkan syarat-
syarat melalui kajian strategis, penyusunan rencana alih fungsi lahan dan pembebasan
kepemilikan hak dari pemilik dengan cara ganti rugi, dan penyediaan lahan pengganti terhadap
lahan budidaya pertanian, di RUU Cipta Kerja syarat-syarat tersebut dihapus.
Bukan hanya lahan pertanian yang semakin menyusut; jumlah petani, pemilik tanah,
dan petani penggarap akan semakin berkurang juga karena kehilangan alat produksi paling
utama yaitu tanah/lahan.
Bisa dibayangkan tanpa RUU Cipta kerja saja, tercatat dalam 10 tahun (2003 – 2013)
konversi tanah pertanian ke fungsi non-pertanian per menitnya 0.25 hektar dan 1 (satu) rumah
tangga petani hilang – terlempar ke sektor non- pertanian. Terjadi penyusutan lahan yang
dikuasai petani dari 10,6 % menjadi 4,9 %, guremisasi mayoritas petani pun terjadi dimana 56
% petani Indonesia adalah petani gurem. Menurut laporan Kementan, berdasarkan hasil kajian
dan monitoring KPK terkait Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B),
menyebutkan luas lahan baku sawah, baik beririgasi maupun non irigasi mengalami penurunan
rata-rataseluas 650 ribu hektar per tahun. RUU Ciptaker mempermudah pengalihan lahan
pertanian untuk proyek strategis nasional. Akibatnya, produksi pertanian dan pangan di
Indonesia berbiaya tinggi. RUU Ciptaker juga menghapus peran negara melindungi petani
kecil. Saat ini tercatat ada 27 juta keluarga petani dan 16 juta jiwa diantaranya petani gurem.
Pemerintah tidak menyadari bahwa petani berinvestasi sampai Rp489 triliun per tahun
dalam bentuk menanam padi setahun dua kali. Begitu pula petani hortikultura berinvestasi
sekitar Rp8 triliun per tahun untuk komoditas jagung. Sektor pertanian (komoditas padi) juga
menyediakan lapangan pekerjaan yang sifatnya harian untuk 240 juta orang.
Ayat 2 pasal tersebut menerangkan hak milik sarusun dapat beralih atau dialihkan dan
dijaminkan. Ayat 3 menjelaskan hak milik sarusun dapat dijaminkan dengan dibebani hak
tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Merujuk pada UUPA
1960 hanya dikenal hak milik. Di sisi lain telah ada UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun,
yang sama sekali tidak dijadikan acuan oleh NA maupun RUU Cipta Kerja. Dalam hukum
pertanahan tidak bisa dibenarkan jika rumusan ulang hak milik rasusun diklaim sebagai bentuk
norma baru.
Mengacu pada UUPA, hanya WNI yang memiliki hak milik atas tanah, WNA hanya
diberikan hak pakai dan hak sewa. Sementara dalam UU Rusun, WNA diberikan hak milik
atas satuan rumah susun (HMSRS). Namun UU Rusun menyatakan bahwa kepemilikan WNA
atas sarusun tetap merujuk kepada pada ketentuan hak-hak atas tanah dalam UUPA.
Berdasarkan UUPA WNA hanya diperbolehkan memiliki hak pakai. Dengan begitu,
sesungguhnya hak milik rasusun adalah bentuk lain hak pakai.
Masalah lainnya, mekanisme penerbitan Hak Milik Sarusun begitu luas di dalam RUU
Cipta Kerja: (a) Rusun dapat dibangun di atas tanah: (a) HGB atau HP di atas tanah negara; (b)
HGB atau HP di atas HPL. Celakanya, mekanisme HGB bagi rusun dapat diberikan sekaligus
dengan perpanjangan haknya, setelah mendapatkan sertifikat laik fungsi. Tanpa batasan waktu,
seolah hak dapat berlangsung selamanya.
Mempertimpangan ketimpangan agraria yang ada, sebaiknya RUU Cipta Kerja tidak
mengabaikan begitu saja keterkaitan norma hukum yang telah ada sebelumnya, yaitu di UUPA
1960 maupun UU Rusun. Baik RUUP dan RUU Cipta Kerja penting berhati-hati dalam hal ini,
mengingat keduanya menginginkan hak milik sarusun tidak hanya bagi WNA (individual),
bahkan memperbolehkan pula bagi badan hukum asing, Tentu ini dapat menimbulkan
kecemburuan sosial bagi masyarakat miskin yang belum memiliki jaminan atas tanah atau pun
hak milik sarusun.
F. Ancaman Kriminalisasi dan Diskriminasi Hak Petani dan Masyarakat Hukum Adat
Melalui RUU Cipta Kerja, pemerintah hendak memperkuat UU No. 41/1999 tentang
Kehutanan dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU
P3H). Ini menandakan ancaman kriminalisasi dan diskriminasi hak atas tanah bagi petani dan
masyarakat adat semakin menguat. Sebab kedua aturan tersebut sudah banyak terbukti
mengkriminalkan petani dan masyarakat adat dalam konflik dengan kawasan lahan.
Dalam ketentuan RUU Ciptaker, tidak ada konsekuensi yuridis (pidana) bagi korporasi
yang tidak tuntas penyelesaian hak atas tanah, sehingga yang terjadi adalah justru tindakan
kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat yang mempertahankan hak-hak atas tanah.
RUU Ciptaker menghapus ancaman pidana diganti dengan sanksi administratif, seperti yang
diatur dalam Pasal 82, 83, dan 84 UU No. 18/2013 (UU P3H). Pasal-pasal tersebut dapat
dengan mudah menjerat petani, masyarakat adat, dan masyarakat desa yang masih berkonflik
dengan perusahaan atau negara akibat penunjukan atau penetapan kawasan hutan secara
sepihak.
Penegakan hukum yang sangat represif kepada masyarakat kecil dan tiadanya kekuatan
hukum pada SE Men.LHK No SE.2/Menlhk/Setjen/Kum.4/2/2016 yang menjadi pedoman
terhadap penegakan hukum menyangkut kawasan hutan khususnya bagi masyarakat yang
hidup secara turun-temurun dalam kawasan hutan.
Atas keresahan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia dan kaum intelektual terkait
rancangan undang-undang tentang omnibus law pada saat pidato pelantikan Presiden Joko
Widodo hingga saat ini bahwa masih lemahnya pemikiran Pemerintah. Dengan itu, kami
mahasiswa Aliansi BEM Seluruh Indonesia :
1. Menolak dengan tegas pengesahan RUU Cipta Kerja, karena bertentangan dengan UU
No. 15 tahun 2019 Bab 2 pasal 5 dan Ban 11 pasal 96 tentang perubahan atas UU No.
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Menolak upaya sentralisasi kekuasaan melalui konsep Omnibus Law RUU Cipta
Kerja yang menciderai semangat reformasi.
3. Menolak penyederhanaan regulasi terkait perizinan amdal dan aturan pertambangan
yang mengancam kelestarian SDA jangka panjang serta mendesak untuk
melaksanakan reforma agararia sejati
4. Menjamin kehadiran negara dalam terciptanya ruang kerja yang aman, bebas
diskriminatif dan dapat memenuhi hak maupun perlindungan terhadap buruh.
5. Menolak sentralisasi sistem pengupahan buruh, potensi maraknya tenagakerja
outsourcing, serta dikebirinya hak-hak buruh seperti cuti, jam kerja tidak jelas, dan
PHK sepihak
6. Menolak sektor pendidikan dimasukkan ke dalam omnibuslaw cipta kerja dan
mendesak pemerintah menghentikan praktik liberalisasi, privatisasi, dan
komersialisasi pendidikan serta wujudkan demokratisasi kampus.
Aria, Pingit. 2020. Lima Aturan Kontroversial dalam Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja.
https://katadata.co.id/berita/2020/02/13/lima-aturan-kontroversial-dalam- omnibus-law-ruu-
cipta-lapangan-kerja. (17 Februari 2020)
AW, Syukri Fathudin dan Wagiran. “Memaknai Pendidikan Tinggi Sebagai Proses Humanisasi.”
Jurnal Pendidikan Teknik Mesin.
Badan Pusat Statistika. (2015). Profil Penduduk Indonesia Hasil Supas 2015.
Berita Hukum Online, Januari 25, 2020, “Menelusuri Asal-Usul Konsep Omnibus
Law”,https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e2c1e4de971a/menelusuri-asal- usul-
konsep-omnibus-law/, diakses pada tanggal Februari 15, 2020
Bhayu, Akbar. 2020. Mengenal istilah omnibus law.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/21/180500665/infografik--mengenal- istilah-
omnibus-law
BPHN Kementrian Hukum dan HAM. Laporan Aakhir Kelompok Kerja: Analisis dan Evaluasi
Hukum Terkait Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan Tahun 2018. Hal 3
Busroh, Firman Freaddy. (2017). Konseptualisasi Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan
Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum. Vol. 10, No.2
Busroh, Firman Freddy. “Konseptualisasi Omnibus Law Dalam Menyelesaikan Permasalahan
Regulasi Pertahanan.” Jurnal Arena Hukum 10, No. 2 (2017): 227-250.
Darmaningtyas, Edi Subkhan, dan Fahmi Panimbang. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang:
Madani, 2014.
Darmaningtyas, Edi Subkhan, dan Fahmi Panimbang. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang:
Madani, 2014.
Datunsolang, Rinaldi. “Konsep Pendidikan Pembebasan Dalam Perspektif Islam (Studi Pemikiran
Paulo Freire).” Jurnal Ilmiah Al-Jauhari 3, No. 1 (2018): 49-77.
Datunsolang, Rinaldi. “Konsep Pendidikan Pembebasan Dalam Perspektif Islam (Studi Pemikiran
Paulo Freire).” Jurnal Ilmiah Al-Jauhari 3, No. 1 (2018): 49-77.
Direktorat Jenderal Pajak. “PPh Pasal 4 ayat (2)”, diakses pada 15 Januari 2020 melalui
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-4-ayat-2
Direktorat Jenderal Pajak. “PPh Pasal 4 ayat (2)”, diakses pada 15 Januari 2020 melalui
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-4-ayat-2
Fitryantica, Agnes. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep
Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan. 6(III)
Fitryantica, Agnes. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep
Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan. 6(III)
FNH. 2017.Menimbang Konsep Omnibus Law Bila Diterapkan di
Indonesia. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a6fc84b8ec3/menimbang-konsep-
omnibus-law-bila-diterapkan-di-indonesia/. (16 Februari 2020)
FNH. 2017.Menimbang Konsep OmnibusLaw Bila Diterapkan di
Indonesia.https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a6fc84b8ec3/menimbang-konsep-
omnibus-law-bila-diterapkan-di-indonesia/. (16 Februari 2020)
Frasti, Hessy Erlisa. “Membangun Corporate Ethics Dalam Upaya Mengatasi Liberalisasi Dan
Komersialisasi Pendidikan Tinggi.” Jurnal Sebelas Maret University, (2014).
Frasti, Hessy Erlisa. “Membangun Corporate Ethics Dalam Upaya Mengatasi Liberalisasi Dan
Komersialisasi Pendidikan Tinggi.” Jurnal Sebelas Maret University, (2014).
Graewert, Tim. “Conflicting Laws And Jurisdictions In The dispute settlement process of Regional
trade agreements and the WTO.” (2008).
Graewert, Tim. “Conflicting Laws And Jurisdictions In The dispute settlement process of Regional
trade agreements and the WTO.” (2008).
Hambali. (2003). Analisis Resiko Lingkungan (Studi Kasus Limbah Pabrik CPO PT Kresna Duta
Agroindo Kabupaten Merangin, Jambi). Program Pascasarjana, Program Studi Magister
Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Hambali. (2003). Analisis Resiko Lingkungan (Studi Kasus Limbah Pabrik CPO PT Kresna Duta
Agroindo Kabupaten Merangin, Jambi). Program Pascasarjana, Program Studi Magister
Teknik Lingkungan ITS, Surabaya.
Hasanah, Sovia. 2017. Perbedaan Karakteristik Sistem Civil Law dengan Common
Law.https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58f8174750e97/perbedaan-
karakteristik-sistem-icivil-law-i-dengan-icommon-law-i/. (16 Februari 2020)
Hasanah, Sovia. 2017. Perbedaan Karakteristik Sistem Civil Law dengan Common
Law.https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58f8174750e97/perbedaan-
karakteristik-sistem-icivil-law-i-dengan-icommon-law-i/. (16 Februari 2020)
Henry Campbell, 2019. Black’s Law Dictionary 11th Edition, Thomson Reuters, New York. Jimly
Asshiddiqie, 2019, UU Omnibus(Omnibus Law), Penyederhanaan Legislasi, dan Kodifikasi
Administratif, https://www.icmi.or.id/opini-dan- tokoh/opini/uu-
Henry Campbell, 2019. Black’s Law Dictionary 11th Edition, Thomson Reuters, New York. Jimly
Asshiddiqie, 2019, UU Omnibus(Omnibus Law), Penyederhanaan Legislasi, dan Kodifikasi
Administratif, https://www.icmi.or.id/opini-dan-
tokoh/opini/uu-
Herlambang P Wiratraman , Amira Paripurna , Universitas Airlangga
.The conversation.com diakses pada 19 februari 2020 pukul 11.36am WIB
Herlambang P Wiratraman , Amira Paripurna , Universitas Airlangga
.The conversation.com diakses pada 19 februari 2020 pukul 11.36am WIB
http://kpa.or.id/media/baca2/siaran_pers/150/Atas_Nama_Pengadaan_Tanah_Untuk_Kemudahan_In
vestasiOmnibus_Law_Cipta_Kerja_Bahayakan_Petani
https://aipi.or.id/assets/pdf/pdf_file/06062020_MendesakkanHGU90Tahun_MariaSWSumardjono.p
df ( diakses pada 12 Juli 2020).
https://republika.co.id/berita/q60jfy428/infografis-omnibus-law-salah-ketik-atau salah-tafsir Idrus,
Muhammad. “Pro Kontra Liberalisasi Pendidikan,” Jurnal UNISIA 29, No.60 (2006):
https://spn.or.id/ruu-cipta-kerja-membolehkan-mengadaikan-tanah- kepada-investor-selama-
90-tahun/ (diakses 12 Juli 2020 ).
https://www.koranperdjoeangan.com/omnibus-law-ciker-hapus-kewajiban membuat-
amdal/ ( diakses pada 12 Juli 2020).
Hukum Online. 21 February 2020. Lima Catatan Kritis untuk RUU Cipta Kerja Sektor Agraria.
hukumonline.com/berita/baca/lt5e4eb41a29240/lima-catatan-kritis- untuk-ruu-cipta-kerja-
sektor-agraria?page=all (diakses pada 13 Juli 2020).
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Republik Indonesia
Konsorsium Pembaharuan Agraria. 20 Februari 2020. Atas Nama Pengadaan Tanah Untuk
Kemudahan Investasi, Omnibus Law Cipta Kerja Bahayakan Petani dan Masyarakat Adat.
Kontributor. 20 April 2020. RUU Cipta Kerja Membolehkan Menggadaikan Tanah kepada Investor
Selama 90 Tahun.
Trio Hamdani. 13 Februari 2020. Omnibus Law Izinkan Orang Asing Punya Apartemen di RI.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-
Undang - Undang Nomor. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Undang - Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang -
Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2001 Tentang Pajak dan Retribusi
Wahyuno. 2020. Penerapan Undang-undang "Sapu Jagat" Omnibus Law di Dunia.
https://ekbis.sindonews.com/read/1513270/33/penerapan-undang-undang-sapu-
Wibowo, LR. dkk. 2008. Konflik sumber daya hutan dan reforma agraria "kapitalisme mengepung
desa. Alfamedia. Yogyakarta
Yulianti, N. 2018. Mengenal bencana kebakaran dan kabut asap lintas batas (studi khusus eks proyek
lahan gambut sejuta hektar). IPB Press. Bogor.
Zainal Arifin Mochtar dalam paparan materi “Omnibus Law : Solusi atau Involusi” Seminar
Nasional Dies Natalis FH UGM ke 74