Anda di halaman 1dari 37

1.

1 Prinsip dalam Screening antenatal

A. Torch
TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gahungan dari 4 jenis penyakit infeksi yaitu
Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes. Keempat jenis penyakit infeksi ini, sama-
sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil. Kini diagnosis untuk penyakit
infeksi telah berembang antara lain kearah pemeriksaan secara imonologis.
Prinsip dari pemeriksan ini adalah deteksi adanya zat anti (Anti Body) yang spesifik terhadap
kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap adanya benda asing (kuman,
antibody yang terburuk dapat berupa imonoglobin M (lgM) dan imonoglobin G (lgG).

- Toxoplasma
Disebabkan oleh parasite yang disebut Toxoplasma Gondi. Pada umumnya infers ini terjadi
tanpa disertai gejala yang spesifik. Toxoplasma yang disertai gejala ringan mirip gejala
influenza, bisa timbul rasa lelah demam, dan umumnya tidak menimbulkan masalah. Infeksi
toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan sisitem
kekebalan tubuh terganggu. Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat
terjadi adalah abortus spontan atau keguguran 4% atau lahir mati 3% atau bayi menderita
toxoplasma bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa.

- Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar getah
bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella, dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda.
Infeksi Rubella berbahaya bila terjadi pada wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan
kelainan pada bayinya.jika infeksi terjadi pada bulan pertama kehamilan maka resiko terjadinya
kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi terjadi trimester pertama maka resikonya menjadi
25% (menurut America College of Obstatrician and Gvnecologists,1981).

- Cytomegalovirus
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini termasuk golongan virus keluarga
herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten dalam
tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi
terjadi saat ibu sedang hamil. Jika ibu terinfeksi, maka janin yang dikandung mempunyai resiko
tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, ekapuran otak,
ketulian retardasi mental, dan lain-lain.

- Herpes
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh herpes simpleks tipe II (HSV II).
Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam
diganglion sistem syaraf otonom. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II biasanya
memperlihatkan lepuh pada kuli, tetapi hal ini tidak selalu muncul sehingga mungkin tidak
diketahui. Infeksi HSV II pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal (lebih dari 50 kasus)
1) Pemeriksaan TORCH
a) Biaya Pemeriksaan TORCH
Biaya untuk melakukan pemeriksaan TORCH bervariasi, tergantung dari rumah sakit yang
menyelenggarakannya, teknik pemeriksaan, serta variasi pemeriksaan infeksi lain yang termasuk
di dalamnya. Di rumah sakit swasta di Indonesia, biaya prosedur ini bisa dimulai dari Rp.
250.000 hingga lebih dari Rp. 3.500.000. Dianjurkan untuk mempersiapkan dana lebih guna
kebutuhan tambahan yang tidak terduga, yaitu sekitar 20-30%
dari biaya yang diperkirakan.

b) Pemeriksaan TORCH
Pemeriksaan TORCH adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya
Toksoplasmosis, infeksi lain/other infection, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes simplex
virus (disingkat TORCH), yang menginfeksi ibu hamil atau yang berencana hamil, untuk
mencegah komplikasi pada janin.

c) Infeksi Apa Saja yang Termasuk Other Infection dalam TORCH?


Sifilis, Varicella zoster, campak, HIV, Zika, atau organisme lain yang dicurigai mengakibatkan
gangguan pada janin dan disesuaikan dengan daerah masing-masing.

d) Kapan Seseorang Harus Menjalani Pemeriksaan TORCH?

Pemeriksaan TORCH dapat dilakukan pada ibu yang merencanakan untuk hamil atau ibu hamil
di trimester pertama. Selain itu, pemeriksaan TORCH juga dapat dilakukan pada bayi baru lahir
yang menunjukkan gejala-gejala terkena infeksi TORCH, seperti:
 Berat dan panjang badan yang lebih kecil dari bayi seusianya
 Katarak
 Trombositopenia
 Kejang
 Kelainan jantung
 Tuli
 Pembesaran hati dan limpa
 Sakit kuning (jaundice)
 Keterlambatan pertumbuhan

e) Risiko Menjalani Pemeriksaan TORCH


Pemeriksaan TORCH merupakan pemeriksaan yang sederhana dan umumnya tidak berisiko.
Akan tetapi, pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan TORCH tetap dapat menimbulkan
risiko, seperti kemerahan di lokasi pengambilan sampel darah, nyeri, infeksi, dan lebam.

f) Persiapan untuk Pemeriksaan TORCH


Pemeriksaan TORCH merupakan pemeriksaan sederhana, sehingga umumya tidak memerlukan
persiapan khusus, seperti puasa. Meski demikian, pasien perlu memberitahukan kepada dokter
jika sedang menderita selain penyakit TORCH atau sedang menjalani pengobatan tertentu.

g) Prosedur Pemeriksaan TORCH


Prosedur pemeriksaan TORCH cukup sederhana, yaitu berfokus pada pengambilan sampel darah
dan deteksi antibodi. Darah dapat diambil melalui pembuluh vena di lengan. Kulit di bagian
lengan akan dibersihkan terlebih dahulu agar steril. Lengan atas kemudian diikat menggunakan
alat khusus agar vena di lengan menggembung dan terlihat dengan jelas. Dokter kemudian
menusukkan jarum ke dalam vena dan memasang tabung steril khusus untuk mengumpulkan
sampel darah. Sampel darah akan dibawa ke laboratorium untuk dicek antibodi spesifik terhadap
masing-masing organisme yang termasuk dalam pemeriksaan TORCH.

h) Apa yang Harus Dilakukan setelah Menjalani Pemeriksaan TORCH?


Jika diduga positif menderita penyakit TORCH, dokter akan merekomendasikan pasien untuk
menjalani pemeriksaan lain guna memastikan diagnosis. Hal tersebut dilakukan mengingat
pemeriksaan TORCH kurang spesifik dalam menentukan infeksi yang sedang terjadi.
Contoh pemeriksaan lainnya adalah:
 Tes pungsi lumbal : untuk mendeteksi adanya infeksi toksoplasmosis, rubella, dan Herpes
simplex virus.
 Tes kultur lesi kulit : untuk mendeteksi adanya infeksi Herpes simplex virus.
 Tes kultur urine : untuk mendeteksi adanya infeksi Cytomegalovirus.

B. Syphilis
Sifilis adalah penyakit infeksi menular seksual disebabkan bakteri Treponema pallidum dapat
ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah, dan vertikal dari ibu ke janin. Jika
perempuan hamil menderita sifilis dapat terjadi infeksi transplasenta ke janin sehingga
menyebabkan keguguran, lahir prematur, berat badan lahir rendah, lahir mati, atau sifilis
kongenital. Diagnosis sifilis pada kehamilan ditegakkan berdasar anamnesis, manifestasi klinis,
pemeriksaan laboratorik, dan serologik. Skrining pada trimester pertama dengan tes non-
treponema seperti rapid plasma reagin (RPR) atau venereal disease research laboratory (VDRL)
kombinasi dengan tes treponema seperti treponema pallidum hemagglutination assay (TPHA)
merupakan hal penting pada setiap perempuan hamil. Manifestasi klinis sifilis ke janin
bergantung pada usia kehamilan dan stadium sifilis maternal serta respons imun janin. Deteksi
dini dan terapi adekuat penting untuk mencegah transmisi infeksi sifilis
dari ibu ke janin. Manifestasi klinis sifilis pada perempuan hamil dan tidak hamil tidak berbeda.
Pada perempuan seringkali tidak terdeteksi karena gejala asimtomatik dan berada di lokasi
tersembunyi. Sifilis pada kehamilan dapat ditularkan dari ibu ke janin saat stadium primer,
sekunder, dan laten.7,8 Bakteri T. pallidum dapat melewati plasenta sejak usia gestasi
10-12 pekan dan risiko infeksi janin meningkat seiring usia gestasi. Jika seorang perempuan
hamil terinfeksi sifilis maka kemungkinan 70-80% menularkan infeksi ke janin dan dapat
menyebabkan keguguran, lahir prematur, berat badan lahir rendah, lahir mati, atau sifilis
kongenital.
Sifilis merupakan penyakit dengan manifestasi klinis lebih disebabkan oleh respons imunologik
dan inflamasi dibanding efek sitotoksik langsung dari T. pallidum itu sendiri. Penelitian
membuktikan perlu jumlah bakteri dalam jumlah cukup besar di dalam sel untuk menimbulkan
efek langsung sitotoksisitas T.pallidum dan bakteri ini tidak mengekspresikan toksin di dalam
tubuh manusia. 2,3 Indurasi pada lesi primer (ulkus durum) disebabkan infilitrasi sel limfosit dan
makrofag dalam jumlah cukup besar. Destruksi jaringan disebabkan oleh proliferasi
endotel di pembuluh darah kapiler dan oklusi lumen menyebabkan nekrosis jaringan lokal.3 Hal
ini mirip pada sifilis kongenital, dimana efek pada janin tidak terlihat sampai janin memiliki
respons imun cukup untuk merespons keberadaan bakteri T. pallidum.

a. Skrining sifilis
Skrininng sifilis adalah metode pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan bakteri penyebab
sifilis, dan dilakukan sebelum gejala sifilis nampak jelas pada seseorang.

b. Biaya Skrining Sifilis


Besaran biaya skrining sifilis bervariasi, tergantung di rumah sakit mana Anda menjalani
prosedur ini dan jenis skrining yang Anda jalani. Di beberapa rumah sakit swasta di Indonesia,
biaya pemeriksaan ini bisa dimulai dari Rp. 95.000 hingga lebih dari Rp. 400.000. Dianjurkan
untuk mempersiapkan dana lebih guna kebutuhan tambahan yang tidak terduga, yaitu sekitar 20-
30% daribiaya yang diperkirakan.

c. Dilakukan Skrining Terhadap Penyakit Sifilis


Jika tidak segera ditangani, sifilis bisa menyebabkan kerusakan pada otak, jantung, kelumpuhan,
kebutaan, hingga kematian. Pada ibuhamil, sifilis dapat ditularkan ke janin dan menyebabkan
bayi lahir tidak normal, bahkan meninggal saat dilahirkan.

d. Yang Harus Menjalani Skrining Sifilis


Apabila Anda seorang penderita HIV yang masih aktif melakukan hubungan seksual, lelaki seks
lelaki, pekerja seks komersial, atau wanita hamil, sebaiknya menjalani pemeriksaan skrining
sifilis.

e. Skrining Sifilis Perlu Dilakukan Rutin

Pada kelompok berisiko, skrining sifilis paling tidak dilakukan


setahun sekali. Bila sangat berisiko, dapat dilakukan lebih sering,
yaitu 3-6 bulan sekali. Pada wanita hamil, disarankan untuk
melakukan skrining sifilis, saat pertama kali kontrol ke dokter
kandungan, serta diulang saat trimester 3 dan saat menjelang
persalinan.

f. Kondisi yang Dapat Memengaruhi Hasil Skrining Sifilis

Hasil skrining bisa terpengaruh bila Anda pengguna narkoba suntik, sedang hamil, atau
menderita penyakit Lyme, malaria, tuberkulosis, pneumonia, atau lupus.

g. Jenis Pemeriksaan Sifilis

Skrining sifilis ada dua, yaitu tes nontreponema dan tes treponema. Tes nontreponema adalah tes
untuk melihat keberadaan antibodi yang tidak spesifik terkait dengan sifilis. Sedangkan tes
treponema adalah tes yang mendeteksi antibodi yang secara spesifik terkait dengan sifilis.

Pelaksanaan tes yang satu harus diikuti dengan tes yang lainnya, untuk menguatkan hasil
pemeriksaan.

h. Persiapan Skrining Sifilis

Skrining sifilis tidak memerlukan persiapan khusus.

i. Prosedur Skrining Sifilis

Skrining sifilis dilakukan dengan mengambil sampel darah Anda melalui pembuluh darah vena.
Kemudian sampel darah tersebut akan diperiksa di laboratorium.
j. Yang Dapat Diketahui setelah Skrining Sifilis

Hasil skrining bisa diketahui dalam 3 atau 5 hari dan dapat menentukan apakah Anda sedang
menderita sifilis aktif dan perlu diobati, pernah menderita sifilis namun sudah tidak aktif, atau
tidak menderita sifilis.

k. Efek Samping Skrining Sifilis

Efek samping yang ditimbulkan adalah akibat prosedur pengambilan darah, namun jarang
terjadi. Di antaranya adalah infeksi, pusing, perdarahan, atau hematoma.

C. Hepatitis B

Tes Hepatitis B adalah tes darah yang bertujuan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi
oleh virus hepatitis B (HBV) atau pernah mengidap penyakit ini sebelumnya. Tes ini dilakukan
dengan mencari antigen tertentu dalam darah. Antigen adalah tanda-tanda infeksi (marker)
yang dibuat oleh bakteri atau virus.

Keberadaan antigen HBV dalam darah berarti menunjukkan bahwa virus sedang menjangkiti
tubuh. Namun, tubuh kita memiliki antibodi yang mampu melawan infeksi. Adanya antibodi
HBV dalam darah menunjukkan bahwa pernah memiliki kontak dengan virus atau riwayat
infeksi di masa lalu. Tetapi, hal ini bisa berarti pernah terinfeksi di masa lalu dan sekarang sudah
pulih dari infeksi atau baru saja terkena infeksi.

Bila ditemukan materi genetik (DNA) dari HBV, itu berarti ada virus di dalam tubuh. Dengan
mengetahui jumlah DNA, maka dokter dapat mengetahui seberapa parah infeksi yang dialami
pengidap dan seberapa mudah penyebarannya. Penting juga untuk mengetahui tipe virus
yang menjadi penyebab hepatitis agar dokter dapat melakukan tindakan untuk mencegah virus
menyebar serta menentukan terapi yang paling baik untuk pengidap.

Berikut ini beberapa tes yang digunakan untuk mendiagnosis adanya virus hepatitis B:

a. Hepatitis B Surface Antigen (HBsAg)


Tes HBsAg ini bertujuan untuk melihat apakah kamu berpotensi menularkan virus hepatitis B.
Bila hasil tes positif, maka kamu mengidap hepatitis B dan berisiko menyebarkan virus.
Sebaliknya, bila hasilnya negatif, berarti kamu saat ini tidak memiliki hepatitis B. Namun, tes ini
tidak bisa menunjukkan antara infeksi kronis dan akut.

b. Antibodi terhadap Antigen Permukaan HBV (anti-HBs)

Tes antibodi permukaan hepatitis B dilakukan untuk memeriksa kekebalan tubuh terhadap HBV.
Bila hasil tes positif, berarti kamu kebal terhadap hepatitis B. Ada dua alasan di balik hasil tes
positif. Kamu mungkin telah divaksinasi, atau kamu mungkin sudah pulih dari
infeksi HBV akut dan tidak lagi menular. Setelah tes awal menunjukkan adanya HBV, maka
dokter biasanya akan melakukan beberapa tes lanjutan berikut:

a. Anti-Hepatitis B Core (anti-HBc), IgM

Tes ini dilakukan untuk mendeteksi hanya antibodi IgM pada antigen hepatitis B core. Selain itu,
tes ini juga digunakan untuk mendeteksi infeksi akut atau infeksi kronis.

b. Hepatitis B e-Antigen (HBeAg)


Tes ini dilakukan untuk mendeteksi protein yang diproduksi dan dilepas ke dalam darah. Tes ini
sering digunakan untuk mengetahui apakah pengidap berpotensi menyebarkan virus ke orang
lain atau untuk mengetahui efektivitas dari terapi yang dijalankan.

c. Anti-Hepatitis B e-Antibody (Anti-HBe)

Tes Anti-HBe dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh tubuh sebagai respon
terhadap antigen “e” hepatitis B. Pengidap yang baru pulih dari infeksi HBV akut juga perlu
menjalani tes ini agar dokter dapat memantau kondisi kesehatannya. Tes Anti-HBe biasanya
dilakukan berbarengan dengan Anti-HBc dan Anti-HBs.

d. Hepatitis B Viral DNA

Tes ini berguna untuk mendeteksi genetik HBV dalam darah. Bila tes menunjukkan hasil positif,
maka benar bahwa orang tersebut memilikivirus hepatitis B aktif dan berisiko menularkan
infeksi ke orang lain.Tes ini juga sering digunakan untuk melihat efektivitas dari terapi antiviral
pada orang-orang yang terinfeksi HBV kronis.

e. Hepatitis B Virus Resistance Mutations

Seperti namanya, tes ini bertujuan untuk memeriksa apakah virus sudah bermutasi, sehingga
menyebabkan orang tersebut terinfeksi.Virus yang sudah bermutasi akan sulit diatasi dengan
obat-obatan. Melalui tes ini, dokter juga dapat lebih mudah menentukan jenis terapiyang sesuai
untuk pengidap, terutama pada orang yang sebelumnya sudah pernah menjalani terapi atau tidak
memberi respon terhadap terapi.

f. Kenapa Melakukan Tes Hepatitis B

Tes hepatitis B berperan penting dalam mendeteksi, mengklasifikasi, dan mengatasi virus HBV.
Oleh karena itu, sangat penting bagi orang-orang yang mengalami gejala hepatitis B untuk
menjalani tes ini agar penyakit tersebut bisa segera dideteksi dan ditangani lebih cepat.

g. Gejala-gejala hepatitis B

Gejala- Gejala Hepatitis B di antaranya sakit perut, demam, nyeri sendi, tidak nafsu makan,
mudah lelah, mual dan muntah, serta urine
berwarna gelap.

h. Kapan Harus Melakukan Tes Hepatitis B

Tes hepatitis B perlu segera dilakukan bila dokter mendiagnosis adanya gejala hepatitis akut.

i. Tes hepatitis B tidak memerlukan persiapan khusus. Sebab, hanya perlu berbicara dengan
dokter saja untuk melakukan tes ini. Berikut adalah proses tes hepatitis B:

 Pertama-tama, petugas medis akan melilitkan sabuk elastis disekitar lengan bagian atas untuk
menghentikan aliran darah. Cara ini akan membuat pembuluh darah di bawah ikatan membesar,
sehingga petugas mudah menyuntikkan jarum ke dalam pembuluh.

 Bagian tubuh yang akan disuntik dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol.
 Kemudian, darah akan diambil dengan cara menyuntikkan jarum ke pembuluh darah.

 Ketika jumlah darah yang diambil dirasa sudah cukup, petugas akan melepaskan ikatan dari
lengan.

 Selanjutnya, bagian yang disuntik akan ditempelkan kain kasa atau kapas dan dipasang perban.
 Setelah melakukan tes hepatitis B, maka bisa langsung beraktivitas seperti biasa. Hasil tes
biasanya akan didapatkan sekitar 5-7 hari setelah tes dilakukan.

j. Di Mana Melakukan Tes Hepatitis B?

Tes hepatitis B bisa dilakukan di laboratorium rumah sakit, tentunya dengan pemeriksaan ke
dokter terlebih dulu. Untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, kamu bisa langsung membuat
janji dengan dokter di rumah sakit pilihan kamu di sini.

D. Blood group and rhesus factor

Blood group and rhesus factor pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui golongan darah
seseorang. Biaya untuk melakukan cek golongan darah bervariasi, tergantung dari teknik yang
digunakan, banyaknya golongan darah yang diperiksa, rumah sakit yang menyelenggarakannya,
serta pemeriksaan penyerta lainnya yang dilakukan bersama dengan cek golongan darah. Di
rumah sakit swasta di Indonesia,cek golongan darah bisa dimulai dari Rp. 20.000 hingga lebih
dari Rp. 60.000. Dianjurkan untuk mempersiapkan dana lebih guna kebutuhan tambahan yang
tidak terduga, yaitu sekitar 20-30% dari biaya yang diperkirakan.

a. Kategori Golongan Darah

Terdapat 2 kategori golongan darah yang paling sering diperiksa, yaitu sistem ABO yang
membagi golongan darah menjadi A, B, O, dan AB, serta sistem Rhesus (Rh) yang membagi
golongan darah menjadi Rh negatif (Rh-) dan Rh positif (Rh+)

b. Cek Golongan Darah Perlu Dilakukan


 Ketika ingin donor darah atau menerima transfusi darah.
 Ketika ingin donor organ atau menerima organ donor.
 Ketika hamil.

c. Kenapa Wanita Hamil Perlu Cek Golongan Darah?

Tidak hanya wanita hamil, suaminya pun perlu cek golongan darah. Karena terdapat keadaan
yang dinamakan inkompabilitas Rhesus, yaitu ketika antibodi Rhesus (anti-Rh) yang dimiliki
oleh ibu yang bergolongan darah Rh- menyerang dan menghancurkan darah bayi pasca
dilahirkan. Hal ini dapat terjadi apabila wanita yang memiliki golongan darah Rh- menikah
dengan pria yang memiliki golongan darah Rh+, serta memiliki anak yang memiliki golongan
darah Rh+.

d. Apa Akibatnya Bila Tidak Dilakukan Cek Golongan Darah sebelum


Transfusi?

Dokter tidak dapat mengetahui golongan darah pendonor maupun penerima, sehingga bila terjadi
perbedaan golongan darah, dapat berakibat fatal untuk penerima darah transfusi.

e. Yang Perlu Dipersiapkan sebelum Cek Golongan Darah Tidak ada persiapan khusus sebelum
pemeriksaan golongan darah, dan dapat langsung dilakukan di laboratorium, klinik, atau rumah
sakit.

f. Bagaimana Proses Cek Golongan Darah Dilakukan?

Cek golongan darah diawali dengan pengambilan sampel darah dari pembuluh darah vena
(biasanya di daerah lipat siku), atau dari pembuluh darah kapiler di ujung jari tangan. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan dengan mencampur antibodi pada darah atau mencampur antigen pada
plasma darah. Reaksi antigen dan antibodi ini yang menentukan golongan darah seseorang.
Metode ini akan dilakukan baik untuk sistem ABO
maupun sistem Rhesus.

g. Apa yang Harus Dilakukan dan Tidak Boleh Dilakukan setelah Cek
Golongan Darah?
Tidak ada hal khusus yang perlu dilakukan setelahnya. Jika Anda merasa pusing setelah
melakukan cek golongan darah, disarankan agar meminta keluarga atau teman untuk
mengantarkan Anda pulang.

h. Kapan Hasil Cek Golongan Darah dapat Diterima?

Hasil pemeriksaan golongan darah umumnya dapat diterima dalam hitungan menit.

i. Apa Saja Efek Samping atau Komplikasi dari Cek Golongan Darah?

Meskipun jarang sekali terjadi, efek samping yang dapat dialami setelah pengambilan darah
adalah pusing, pingsan, infeksi pada titik yang disuntik, dan perdarahan, baik mengalir keluar
ataupun mengendap di bawah kulit (hematoma).

E. Anti d Prophylaxis for the rhesus

Imunoglobulin Anti-D digunakan untuk mencegah agar ibu rhesus-negatif tidak membentuk
antibodi terhadap sel janin rhesus-positif yang memasuki sirkulasi ibu ketika dilahirkan atau
ketika abortus. Harus disuntikkan dalam waktu 72 jam setelah kelahiran atau aborsi, tetapi bila
sudah lebih lama pun masih dapat memberi perlindungan dan harus diberikan. Tujuannya adalah
untuk memberi perlindungan bagi anak yang mungkin akan lahir berikutnya dari bahaya
penyakit hemolitik.Tujuan penatalaksanaan pada inkompatibilitas rhesus adalah untuk
memastikan kesehatan bayi dan mengurangi risiko kehamilan yang akan datang. Adanya
rekomendasi penggunaan imunoglobulin anti-D (anti-Rh) pada ibu yang berisiko tersensitisasi,
dilaporkan telah mengurangi angka komplikasi hemolytic disease of the newborn (HDN).

a. Terapi Farmakologis

Pada inkompatibilitas rhesus (Rh), terapi farmakologis yang paling dianjurkan adalah pemberian
profilaksis imunoglobulin anti-D (anti-R).

Rekomendasi pemberian sebagai profilaksis antenatal :


 Secara rutin tiap usia kehamilan 28 minggu apabila diagnosis inkompatibilitas Rh didapatkan
saat kehamilan.

 Secara rutin ketika terjadi peristiwa yang berisiko menyebabkan sensitisasi,


misalnya kehamilan ektopik, abortus, versi externa, atau prosedur obstetri yang invasif seperti
pengambilan sampel dari villichorionic atau amniocentesis

Rekomendasi sebagai profilaksis postpartum :

 72 jam setelah melahirkan anak pertama apabila bayi ternyata rhesus positif

 Apabila terlambat, maka pemberian dapat dilakukan sampai dengan 28 hari postpartum
Immunoglobulin anti-Rh mengandung antibodi anti-Rh yang nantinya akan menempel pada
eritrosit dengan antigen Rh (Rh positif), sehingga sistem imun tubuh tidak akan memproduksi
antibodi Rh untuk bereaksi dengan eritrosit dari bayi maupun dari luar tubuh. Inti mekanisme
kerjanya adalah melakukan pemberian IgG anti-Rh secara pasif ke tubuh ibu sebelum antigen Rh
menstimulasi ibu untuk memproduksi antibodi anti-Rh sendiri. Apabila antibodi Rh telah
terbentuk sebelum immunoglobulin anti-Rh diberikan, maka pemberian immunoglobulin anti-Rh
tidak lagi berguna. Hal ini yang menyebabkan pentingnya profilaksis.

Immunoglobulin anti-Rh diberikan secara intramuskular di otot deltoid maupun gluteus. Efek
samping pemberiannya antara lain adalah
nyeri pada area yang diinjeksi dan demam subfebris.

Tabel 1. Indikasi dan Dosis Immunoglobulin Anti-Rh


Indikasi Dosis

Pada kondisi yang rentan sensitisasi Trimester 1 dan kehamilan tunggal : 250 IU via
injeksi
intramuskular lambat
Trimester 1 dan kehamilan multipel : 625 IU
via injeksi intramuskular
Trimester 2 : 625 IU dengan dosis

tambahan dapat diberikan jika


diperlukan
Profilaksis - Antenatal : 625 IU via injeksi
intramuskular lambat (seluruh wanita
rhesus negatif yang belum terbentuk
antibodi anti rhesus pada usia
kehamilan 28-34 minggu)
Profilaksis Antenatal : 625 IU via injeksi
intramuskular lambat (seluruh wanita
rhesus negatif yang belum terbentuk
antibodi anti rhesus pada usia
kehamilan 28-34 minggu)
Postnatal : 625 IU dengan dosis

tambahan dapat diberikan jika


diperlukan (seluruh wanita rhesus
negatif yang melahirkan bayi rhesus
positif , kecuali jika terbukti sudah
terjadi aloimunisasi)

b. Bagi Bayi dengan Anemia Hemolitik yang Lahir dari Keadaan Inkompatibilitas Rhesus
Terapi pada bayi dengan anemia hemolitik yang lahir dari keadaan inkompatibilitas rhesus
tergantung dari tingkat keparahan penyakit. Manifestasi klinis pada bayi bisa ringan hingga berat
seperti hydrops fetalis. Pada kasus yang ringtransfusi darah  an, bisa saja tidak diperlukan terapi.
Namun perlu diketahui bahwa untuk kasus ringan maupun berat perlu dilakukan konsultasi
dengan dokter spesialis. Pada keadaan anemia hemolitik yang berat, bayi dapat membutuhkan 
melalui tali pusat. Selain itu, pada anemia hemolitik yang berat, apabila usia kehamilan sudah
aterm dapat dilakukan terminasi persalinan lebih cepat sehingga bayi dapat
secepatnya mendapatkan terapi.
c. Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis pada inkompatibilitas rhesus (Rh) sebenarnya lebih ditunjukkan pada
bayi yang lahir dari keadaan ini, mengingat sebenarnya manifestasi klinis yang terlihat pada ibu
tidak sesignifikan janin yang dikandungnya.Terapi yang dilakukan intinya
adalah untuk memperbaiki keadaan klinis bayi dari komplikasi anemia hemolitik yang terjadi
karena reaksi antigen-antibodi Rh.

d. Fototerapi
Keadaan hiperbilirubinemia pada bayi akibat hemolisis eritrosit dapat diterapi dengan
menggunakan fototerapi. Hiperbilirubinemia akan menyebabkan kerusakan otak karena sifat
neurotoksiknya. Inisiasi fototerapi dilakukan menurut normogram yang dikeluarkan
oleh American Academy of Pediatric (AAP). Fototerapi dapat dikombinasi dengan
transfusi tukar (exchange transfusion/ET) sesuai dengan keadaan klinis pasien.
Mekanisme kerja fototerapi adalah dengan melakukan foto- isomerisasi bilirubin sehingga
berubah menjadi substansi yang larut air, dengan begitu dapat membantu ekskresi bilirubin lewat
ginjal dan feses tanpa melewati metabolisme di hepar. Pada pasien hemolytic disease of the
newborn (HDN), fototerapi intensif diperlukan. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa pada
fototerapi terjadi peningkatan ekskresi cairan, sehingga insensible water loss (IWL) meningkat
dan asupan cairan neonatus perlu dijaga.

e. Transfusi Intrauterine

Pada keadaan di mana alloimunisasi sudah terjadi, pemberian immunoglobulin anti-Rh menjadi
tidak efektif lagi. Transfusi intrauterine (IUT) dilakukan sebagai rescue therapy  pada keadaan
anemia berat. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka risikonya adalah hydrops fetalis
dan intrauterine fetal death (IUFD). Tujuan tata laksana adalah meningkatkan hematokrit hingga
35-40% pada tengah trimester awal dan 45-55% setelahnya. IUT diberikan lewat vena
umbilicalis. Setelah prosedur ini, perlu dilakukan pengambilan darah sebanyak 1 ml untuk
memeriksa hematokrit post transfusi. Transfusi selanjutnya dapat diberikan dalam 10-14 hari,
dan dapat dilanjutkan kembali dengan interval 3 minggu.

f. Exchange Transfusion (ET)


Exchange transfusion (ET) atau transfusi tukar dilakukan bila kadar total bilirubin serum > 20
mg/dl. ET membantu klirens bilirubin yang berlebihan pada keadaan hiperbilirubinemia karena
anemia hemolitik. Selain itu, ET juga memperbaiki keadaan anemia dengan memberikan
yang kompatibel terhadap bayi. Adanya pemberian profilaksis immunoglobulin anti-Rh
antepartum membuat perlunya melakukan ET pada bayi yang lahir dari keadaan inkompatibilitas
Rh berkurang. Biasanya ET diperlukan pada kasus inkompatibilitas rhesus dengan komplikasi
anemia berat pada bayi.

F. Down Syndrom risk and Alpha fetoprotein


- Tes NIPT
Semua orang tua tentu berharap si kecil yang berada di dalam rahim selalu sehat hingga saatnya
lahir nanti. Segala upaya diberikan demi menjaga kenyamanan dan keselamatan janin. Mulai dari
menjaga asupan janin, rutin mengontrol tumbuh kembang janin ke dokter, hingga menjalani tes-
tes kehamilan yang direkomendasikan oleh sang dokter. Salah satu tes kehamilan yang kini
sedang populer adalah tes NIPT (Non Invasive Prenatal Testing). Beberapa selebriti Indonesia
pun ada yang telah menjalankan tes ini, yaitu Kartika Putri dan Aura Kasih. Tes NIPT
merupakan pemeriksaan janin pada trimester pertama kehamilan, untuk mengetahui kesehatan
kromosom janin dengan lebih akurat dan tidak berisiko.

- Cukup mengambil sampel darah ibu

Pada Parentstory, dr. Pungky Mulawardhana, SpOG, menjelaskan, bahwa tes NIPT adalah suatu
metode untuk menentukan risiko apakah seorang janin akan lahir dengan kelainan genetik,
seperti trisomy21 atau Down Syndrome, trisomy 18 atau Edwards Syndrome,
dan trisomy13 atau Patau Syndrome, atau tidak. “Tes ini mampu menganalisa potongan kecil
DNA janin yang bersirkulasi di darah ibu. Pemeriksaan ini cukup menggunakan pengambilan
sampel darah ibu saja.Tanpa pemeriksaan invasif secara langsung pada janin di dalam rahim,
sehingga tidak ada risiko untuk kehamilan,” jelas dokter obgyn yang praktik di RS Premier dan
RS Onkologi di Surabaya. Akurasi tes NIPT diperkirakan mencapai 97-99 persen untuk tiga
kondisi yang paling umum, menurut penelitian di tahun 2016. Penelitian yang dirilis oleh US
National Library of Medicine (National Institutes of Health) ini mengungkapkan, bahwa NIPT
menggunakan DNA janin yang bersirkulasi dengan bebas dalam darah ibu, yang memiliki
sensitivitas dan spesifik sangat tinggi untuk down syndrome. Namun, sensitivitasnya sedikit
lebih rendah untuk sindrom Edwards dan Patau. Berdasarkan penjelasan Pungky, manfaat
NIPT adalah sebagai skrining kelainan kromosom. “Akurasi pemeriksaan ini sangat tinggi,
walau tidak 100 persen. Apabila didapatkan kelainan pada NIPT, maka akan dilakukan
pemeriksaan diagnosis invasive dengan menggunakan amniosintesis atau Chorionic Villus
Sampling (CVS),” jelasnya.

- Perlu tes NIPT jika dalam kondisi ini


Ibu hamil dalam kondisi apa yang memerlukan tes ini? Pungky menjelaskan, tes NIPT berguna
atau disarankan pada ibu hamil yang mengalami beberapa kondisi di bawah ini:
 Dalam tes skrining ada indikasi bayi memiliki kemungkinan untuk memiliki gangguan
kromosom.
 Pemeriksaan USG mendeteksi adanya gangguan perkembangan janin.
 Riwayat kelainan kromosom pada kehamilan sebelumnya.
 Ibu hamil berusia di atas 35 tahun, yang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
kehamilan dengan kelainan kromosom. Apabila Anda sedang hamil dan mengalami beberapa
kondisi di atas, dr. Pungky sangat menyarankan untuk melakukan NIPT. “Namun, karena
biayanya cukup tinggi dan tidak di-cover oleh asuransi, maka untuk wanita di luar kondisi
tersebut, secara umum tidak ada rekomendasi untuk NIPT.” Menurut dokter obgyn yang juga
berprofesi sebagai dosen dan staf pengajar di SMF/Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini, tes NIPT dapat dilakukan paling dini pada usia
kehamilan 10 minggu. Biaya untuk melakukan skrining ini memang terbilang tinggi dan
berbeda-beda sesuai dengan jumlah panel pemeriksaan yang akan Anda jalani. Untuk itu,
Parentstory menghubungi laboratorium Prodia dan menanyakanan perihal biaya tes NIPT ini.
Menurut layanan pelanggan Prodia, biaya pemeriksaan NIPT di Prodia cabang Bintaro,
Tangerang Selatan, berkisar 8 juta rupiah.

G. Group B Streptococcal infection


Infeksi streptokokus Grup B , juga dikenal sebagai penyakit streptokokus Grup B atau hanya
strep Grup B, adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae ( S.
agalactiae ) (juga dikenal sebagai streptokokus grup B atau GBS). Infeksi GBS dapat
menyebabkan penyakit serius dan terkadang kematian, terutama pada bayi baru lahir, orang tua,
dan orang dengan sistem kekebalan yang lemah . Secara umum, GBS adalah bakteri komensal
tidak berbahaya yang menjadi bagian dari mikrobiota manusia yang menjajah saluran
pencernaan dan genitourinari hingga 30% manusia dewasa yang sehat.

a. Kehamilan
Meskipun kolonisasi GBS tidak menunjukkan gejala dan, secara umum, tidak menimbulkan
masalah, terkadang dapat menyebabkan penyakit serius bagi ibu dan bayi selama masa
kehamilan dan setelah melahirkan. Infeksi SGB pada ibu dapat menyebabkan korioamnionitis
(infeksi intra-amnion atau infeksi berat pada jaringan plasenta) jarang, infeksi postpartum
(setelah lahir) dan berhubungan dengan prematuritas dan kematian janin. Infeksi saluran kemih
GBS dapat menyebabkan persalinan pada wanita hamil dan menyebabkan persalinan prematur
( kelahiran prematur ) dan keguguran

b. Bayi Baru Lahir


Di dunia barat, GBS (dengan tidak adanya tindakan pencegahan yang efektif) adalah penyebab
utama infeksi bakteri pada bayi baru lahir, seperti sepsis , pneumonia , dan meningitis , yang
dapat menyebabkan kematian atau efek samping jangka panjang

c. Pencegahan Infeksi Neonatal


- Saat ini, satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk mencegah GBS-EOD adalah
profilaksis antibiotik intrapartum (IAP)

- pemberian antibiotik intravena (IV) selama persalinan. Penicillin atau ampicillin intravena yang
diberikan pada permulaan persalinan dan kemudian diulang setiap empat jam sampai persalinan
ke wanita terjajah GBS.
- Wanita yang alergi terhadap penisilin tanpa riwayat anafilaksis ( angioedema , gangguan
pernapasan , atau urtikaria ) setelah pemberian penisilin atau sefalosporin (risiko rendah
anafilaksis) dapat menerima cefazolin (dosis awal 2 g IV, kemudian 1 g IV setiap 8 jam sampai
pengiriman) bukan penisilin atau ampisilin. Klindamisin (900 mg IV setiap 8 jam sampai
persalinan), eritromisin tidak direkomendasikan hari ini karena tingginya proporsi resistensi GBS
terhadap eritromisin (hingga 44,8%),

d. Skrining Untuk Kolonisasi


Sekitar 10-30% wanita terkolonisasi dengan GBS selama kehamilan. Meskipun demikian,
selama kehamilan, kolonisasi bisa bersifat sementara, intermiten, atau berkelanjutan. [20] Karena
status kolonisasi GBS pada wanita dapat berubah selama kehamilan, hanya kultur yang
dilakukan ≤5 minggu sebelum persalinan yang memprediksi dengan cukup akurat status
pembawa GBS saat persalinan.

e. Komite Penapisan Nasional


The Screening Nasional UK Komite 's posisi kebijakan saat ini pada GBS. Sekitar 10-30%
wanita terkolonisasi dengan GBS selama kehamilan. Meskipun demikian, selama kehamilan,
kolonisasi bisa bersifat "Skrining tidak harus ditawarkan kepada semua wanita hamil kebijakan
ini ditinjau pada tahun 2012, dan meskipun menerima 212 tanggapan, yang 93% menganjurkan
skrining, NSC telah memutuskan untuk tidak merekomendasikan skrining antenatal. Saat ini,
perizinan vaksin GBS sulit dilakukan karena adanya tantangan dalam melakukan uji klinis pada
manusia akibat rendahnya kejadian penyakit neonatal GBS. Namun demikian, meskipun
penelitian dan uji klinis untuk pengembangan vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi GBS
sedang dilakukan, tidak ada vaksin yang tersedia pada 2019.
- Gejala Infeksi Streptococcus

Gejala akibat infeksi ini bervariasi tergantung organ yang diserang. Gejala yang terjadi termasuk:

 Kelelahan.

 Kelemahan.

 Demam.

 Penurunan berat badan.


 Masalah pernapasan jika menyerang saluran napas.

 Masalah dengan fungsi jantung jika menyerang organ jantung.

 Gejala seperti nyeri sendi, sendi kemerahan, membengkak, atau terasa panas, nyeri dada,
Terdapat benjolan kecil dan ruam pada kulit, Penyakit katup jantung jika terkena demam
reumatik.

 Kulit dengan keropeng, bernanah, kemerahan jika menyerang kulit.

 Tekanan darah tinggi, pembengkakan di wajah, kaki dan urin merah serta berbusa jika
mengalami glomerulenefritis.

- Penyebab Infeksi Streptococcus

Streptococci dibagi menjadi dua kelompok:

1. Alpha (α) haemolytic streptococci, jenis bakteri golongan ini yang paling banyak
menyebabkan penyakit diantaranya streptococcus pneumoniae  dan  streptococcus
viridans. Jenis bakteri ini dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran napas atas,
pneumonia, infeksi telinga tengah, sinusitis,  meningitis, endocarditis.
2. Beta (β) haemolytic streptococci terbagi lagi menjadi dua yakni Grup A Streptococci (GAS)
dan Grup B Streptococci (GBS). GAS dapat mengakibatkan  infeksi di tenggorokan,
pneumonia, impetigo, demam scarlet, demam rematik. GBS umunya banyak terdapat  di
dalam sistem pencernaan dan organ intim wanita. Bakteri ini dapat ditularkan secara seksual
atau dari ibu ke bayi selama kelahiran  dan bayi baru lahir rentan mengalami penyakit ini.

- Faktor Risiko Infeksi Streptococcus

Beberapa golongan yang rentan mengalami infeksi streptococcus diantaranya:

 Bayi di bawah 6 bulan.

 Lanjut usia di atas 75 tahun.


 Orang dengan daya tahan tubuh yang lemah.

 Bayi prematur atau bayi kembar yang lahir dari ibu dengan riwayat infeksi GBS.

- Diagnosis Infeksi Streptococcus

Dokter akan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik untuk menentukan arah diagnosis
penyakit. Pada penyakit dengan kecurigaan infeksi streptococcus yang berat akan dilakukan
pemeriksaan darah. Pada kasus meningitis diperlukan pemeriksaan cairan serebrospinal.
Penunjanglain seperti rontgen, ekokardiografi, USG, pemeriksaan urin bisa diperlukan
tergantung kemungkinan tempat terjadinya infeksi.

- Pengobatan dan Efek Samping Infeksi Streptococcus


Pada kasus yang berat terkadang diperlukan rawat inap dan pemberian obat untuk ngatasi dan
mencegah bakteri.  Pastikan memberitahu dokter jika memiliki riwayat alergi obat-obatan karena
beberapa orang memiliki alergi dan sensitif terhadap obat penguat antibodi tertentu.
Beberapa jenis infeksi streptococcus tanpa pengobatan yang cukup dapat berakibat parah seperti
penyebaran infeksi ke seluruh tubuh hingga
kematian.

- Pencegahan Infeksi Streptococcus

Hal yang harus diupayakan untuk mengurangi jenis infeksi ini antara lain:

 Jalankan pola hidup sehat dengan makan bergizi seimbang, cukup istirahat dan olahraga teratur
untuk menjaga daya tahan tubuh.
 Mencuci tangan teratur terutama sebelum makan.
 Pakai masker ketika mengalami gejala batuk, bersin dan gejala penyakit
saluran napas lainnya.
 Tutup mulut ketika bersin atau batuk.
 Jika mengalami luka di kulit lakukan perawatan luka dengan benar.
 Ibu hamil memeriksakan diri secara rutin untuk mendeteksi secara awal
infeksi GBS.
H. Sickle cell Anemia

Anemia sel sabit atau sickle cell anemia adalah hemoglobinopati autosomal resesif yang dapat
menyebabkan penyumbatan pembuluh darah dan hemolisis. Anemia sel sabit merupakan bentuk
manifestasi tersering dari penyakit sel sabit atau sickle cell disease. Anemia sel sabit merupakan
suatu kelainan pada darah akibat perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein globin β. Hal
ini menyebabkan terbentuknya hemoglobin S (HbS) dan perubahan bentuk sel
darah merah menjadi serupa dengan sabit.

Anemia sel sabit paling sering bermanifestasi dalam bentuk kadar hemoglobin yang rendah,
disertai dengan komplikasi vasooklusif dan hemolisis. Diagnosis dikonfirmasi dengan temuan
HbS homozigot pada elektroforesis. Di Amerika Serikat, skrining HbS adalah sesuatu yang
wajib dilakukan saat bayi lahir.

- Faktor Risiko

Faktor risiko anemia sel sabit adalah adanya sickle cell trait (SCT) pada
kedua orang tua pasien.

- Anamnesis

Anemia sel sabit adalah penyakit yang diturunkan secara resesif. Seseorang akan menderita
anemia sel sabit jika mendapat gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya mendapat salah satu,
pasien umumnya sehat, namun bersifat karier. Oleh karena itu, riwayat penyakit pada
keluarga sangat penting ditanyakan saat anamnesis

- Gejala anemia sel sabit

Kelainan ini merupakan bawaan lahir dan gejala penyakit ini biasa mulai muncul sejak seseorang
berumur 4-6 bulan. Beberapa gejala yang ditemukan pada penderita anemia sel sabit, antara lain:

 Sering merengek (pada bayi)


 Mudah kelelahan tanpa sebab yang jelas
 Tampak kuning di bola mata dan/atau kulit tubuh
 Sering bengkak dan nyeri di tangan dan kaki
 Sering terkena infeksi, demam, dan jatuh sakit
 Nyeri tak tertahankan di dada, punggung, tangan, kaki, tulang,
dan sendi
 Perut bengkak (sakit saat ditekan)

Pengobatan anemia sel sabit

Yang paling utama adalah cangkok (transplantasi) sumsum tulang, agar tubuh penderita mampu
menghasilkan sel darah merah yang normal dari sumsum tulang yang dicangkokkan tersebut.
Cangkok sumsum tulang ini hanya bagi anak-anak berusia di bawah 16 tahun, karena risiko
gagal cangkok meningkat bagi penderita yang berusia lebih dari 16 tahun.

I. Thalasemia

Thalasemia merupakan nama untuk sekelompok kondisi medis yang diturunkan dari orang tua;
yang mempengaruhi zat dalam darah yang disebut hemoglobin. Penderita thalasemia
memproduksi hemoglobin dalam jumlah yang terlalu banyak atau justru terlalu sedikit.
Akibatnya, penderita akan mengalami anemia seperti lelah, kehabisan nafas, dan
pucat. Thalasemia tergolong sebagai penyakit yang cukup langka. Menurut penelitian, 4,4 persen
atau 440 dari 10.000 kelahiran terkena penyakit ini. 

Ada dua jenis thalasemia:

 Thalasemia alfa, yaitu thalasemia ringan yang terjadi saat gen yang
berhubungan dengan protein globin menghilang.
 Thalasemia beta, yaitu thalasemia yang lebih berat yang terjadi ketika produksi protein beta
globin terpengaruh akibat gen tersebut yang bermutasi. Beberapa gejala thalasemia berpotensi
menimbulkan komplikasi, yaitu penyakit baru yang tumbuh sebagai dampak dari penyakit yang
telah ada, seperti gagal jantung, gangguan hati, hambatan pertumbuhan hingga
kematian. Sebagian besar penderita thalasemia berdomisili di kawasan Asia
Selatan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah. Pasien yang terserang
thalasemia pun umumnya diakibatkan oleh faktor genetik.

a. Penyebab Thalasemia

Thalasemia terjadi akibat kesalahan gen dalam memproduksi hemoglobin. Anak-anak berpotensi
menderita thalasemia apabila orang tuanya memiliki riwayat penyakit tersebut. Sementara, orang
tua juga dapat terserang thalasemia akibat faktor genetik dari orang tua sebelumnya. Jadi,
penyebab thalasemia bersifat genetik dan hanya berasal dari 1 gen. Selain karena faktor genetik,
tidak ada faktor lainnya yang menjadi penyebab seseorang terserang thalasemia.

Gejala thalasemia perlu dikonsultasikan pada dokter spesialis hematologi. Spesialis hematologi


adalah bidang spesialis yang mendalami tentang darah dan gangguan yang terjadi pada darah.
Ketika berkonsultasi pada dokter terkait gejala thalasemia, dokter akan melakukan serangkaian
tes untuk memastikan kondisi penderita. Rangkaian tes yang umumnya dilakukan adalah tes
darah. Tes darah untuk memeriksa thalasemia bisa dilakukan kapan saja, khususnya untuk
mengetahui apakah seseorang memiliki faktor genetik thalasemia. Namun, umumnya tes darah
ini dilakukan ketika masa kehamilan atau tepat setelah melahirkan. 

Dari hasil tes darah, dapat diidentifikasi tanda-tanda signifikan yang umumnya dialami oleh
penderita thalasemia:

 Sel darah merah berukuran dan berbentuk tidak normal di bawah mikroskop.
 Distribusi hemoglobin tidak merata.
 Perhitungan darah perifer lengkap (DFL) menunjukkan kurangnya hemoglobin dari jumlah
normal. 
 Sel darah merah lebih pucat dari biasanya.

b. Gejala Thalasemia

Thalasemia bisa menyebabkan berbagai gejala dan berpengaruh pada timbulnya berbagai
masalah kesehatan. Beberapa gejala yang
umumnya terjadi adalah:
 Anemia. Hampir seluruh penderita thalasemia mengalami anemia akut yang dapat mengancam
jiwa. Anemia bisa terjadi karena rendahnya level hemoglobin. Beberapa ciri anemia meliputi
kelelahan, gangguan pernafasan, detak jantung tak beraturan, kulit pucat.

 Kelebihan zat besi dalam tubuh. Seseorang yang menderita thalasemia akan mengalami
kelebihan zat besi yang berpotensi menyebabkan timbulnya masalah kesehatan lainnya.
Kelebihan zat besi bisa mengakibatkan masalah jantung, bengkak dan luka di
sekitar hati, pubertas yang terhambat, diabetes, dan kadar hormon yang rendah.

Ada juga beberapa gejala thalasemia lainnya yang tidak terlalu sering muncul, namun juga
merupakan dampak dari thalasemia, yaitu:

 Pertumbuhan anak yang terhambat.

 Adanya batu-batu kecil dalam kantung empedu yang dapat menyebabkan peradangan pada
kantung empedu dan sakit kuning.

 Pertumbuhan tulang yang tak biasa, misalnya kening dan pipi yang
membesar.

 Osteoporosis.

 Penurunan fertilitas.

c. Cara Mengobati Thalasemia

Pengobatan thalasemia memerlukan jangka waktu lama, biasanya berupa perawatan seumur
hidup dengan transfusi darah dan obat-obatan. Penderita thalasemia, baik anak-anak maupun
dewasa, akan ditangani oleh tim beranggotakan dokter spesialis di rumah sakit yang punya
spesialisasi menangani thalasemia. 

Dokter spesialis yang mampu menangani thalasemia biasanya akan menganjurkan perawatan
dengan:
 Transfusi darah. Transfusi darah berfungsi untuk mengobati anemia. Proses ini dilakukan
dengan pemberian darah melalui tabung yang dimasukkan ke dalam pembuluh darah di lengan.
Proses ini memakan waktu cukup lama dan umumnya dilakukan di
rumah sakit.

 Obat-obatan untuk menurunkan zat besi dalam tubuh.

Transfusi darah yang dilakukan secara berkala bisa menyebabkan peningkatan kadar zat besi
dalam tubuh. Untuk itu, dokter akan memberikan obat-obatan untuk menurunkan zat besi yang
disebut terapi khelasi.

 Transplantasi sel induk atau sumsum tulang. Transplantasi ini merupakan satu-satunya cara
menyembuhkan thalasemia. Namun, metode ini jarang sekali dilakukan karena memiliki resiko
yang tinggi. Resiko utamanya adalah sel-sel yang ditransplantasi justru menyerang sel-sel lain
dalam tubuh. Oleh sebab itu, hanya penderita thalasemia yang sudah sangat parah yang akan
menjalani transplantasi ini. 

Pasien thalasemia akan melakukan beberapa perawatan berupa:

 Pemeriksaan saat kehamilan. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan apakah bayi berpotensi
terkena thalasemia. Pemeriksaan umumnya dilakukan sebelum kehamilan mencapai
usia 10 minggu.

 Pemeriksaan setelah bayi lahir. Bayi yang baru lahir tidak secara rutin diuji karena hasil tes
tidak selalu bisa diandalkan dan thalasemia tidak memiliki dampak berbahaya yang segera.
Namun, thalasemia tipe beta bisa dideteksi sebagai bagian dari tes bercak darah bayi baru lahir.

d. Estimasi Biaya Pengobatan Thalasemia

Biaya pengobatan thalasemia beragam, tergantung jenis yang diderita dan usia penderita.Untuk
menghitung estimasi biaya pengobatan thalasemia di dalam atau luar negeri, tanyakan pada
Smarter Health. 
- Untuk screening thalasemia (cel darah lengkap plus hb analisis, belum ada cek kadar zat
besinya) biaya nya Rp. 350.000 dan hasilnya sekitar 4 hari kerja

- Untuk Cek DNA :

 Thalasemia alpha biayanya Rp. 1,5 Juta

 Thalasemia beta biayanya Rp. 2,0 Juta

 Dan hasilnya sekitar 1 bulan dan bisa dikirim via pos

- Jika cek DNA hasilnya masih buram juga, perlu dilanjutkan dengan
metode sequenzing. Untuk sequenzing :

 Thalasemia alpha tambahan biayanya Rp. 2.5 juta

 Thalasemia beta tambahan biayanya Rp. 1.5 Juta

 Hasilnya sekitar 2 minggu dan bisa dikirim

- Untuk diagnosa

e. Mencegah Thalasemia

Karena thalasemia merupakan penyakit genetik, tidak ada metode pencegahan khusus yang bisa
dilakukan. Namun, bagi bayi, ada beberapa upaya pencegahan yang memungkinkan penurunan
resiko terkena thalasemia, yaitu:

 Bagi orang tua, lakukan tes darah untuk memastikan adanya kemungkinan thalasemia sebelum
kehamilan.

 Konsultasi genetik.

 Melakukan screening atau pemeriksaan kesehatan (medical check up) sebelum kehamilan. 


Thalasemia bisa dicegah dengan mengenali faktor-faktor risiko yang ada. Meski begitu, memiliki
satu atau beberapa faktor risiko bukan berarti seseorang pasti akan terserang thalasemia.

Faktor risiko itu meliputi:

 Usia. Gejala thalasemia umumnya muncul pada usia 6 sampai 24 bulan. 

 Riwayat penyakit keluarga. Kenali riwayat keluarga yang pernah terserang thalasemia.

 Etnis tertentu. Umumnya, penderita thalasemia adalah orang-orang yang berdomisili atau
keturunan Asia Selatan, Asia Tenggara, dan
Timur Tengah.

J. Infeksi Vagina
Ibu hamil rentan mengalami infeksi vagina lantaran sistem kekebalan tubuhnya yang sedang
melemah. Sejumlah keluhan, seperti keputihan, vagina gatal, dan muncul bau tidak sedap dari
vagina, bisa menjadi pertanda ibu hamil terkena infeksi vagina. Pada ibu hamil, infeksi vagina
akibat bakteri yang tidak ditangani dengan baik dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi
kehamilan, seperti keguguran, bayi lahir prematur, bayi lahir dengan berat badan
rendah, dan radang panggul usai melahirkan.

a. Pengobatan Vaginitis

Langkah pengobatan yang diberikan oleh dokter akan disesuaikan ddengan penyebab vaginitis
yang dialami seseorang. Pengobatannya pun meliputi obat antijamur dan/atau antibiotik. Jika
vaginitis yang dialami pengidap adalah akibat penurunan hormon estrogen, maka dokter akan
merekomendasikan terapi penggantian hormon yang akan menggantikan hormon estrogen alami
tubuh. Sementara dalam menangani vaginitis akibat reaksi alergi terhadap bahan-bahan kimia,
pengidapnya disarankan untuk menghindari substansi pemicu alerginya. Dokter juga bisa
sewaktu- waktu memberikan obat oles estrogen untuk meredakan gejala-gejala
vaginitis.

b. Pencegahan Vaginitis
Selain obat-obatan, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meringankan gejala, sekaligus
mempercepat proses penyembuhan. Langkah-langkah sederhana tersebut meliputi:

- Menjaga agar area intim dan sekitarnya tetap bersih serta kering. Pastikan menggunakan sabun
tanpa bahan pewangi dan menyekanya hingga benar-benar kering menggunakan tissue
bersih. Hindari berendam air hangat selama infeksi belum pulih
sepenuhnya.
- Jangan membasuh bagian dalam vagina.
- Gunakan kompres air dingin untuk mengurangi ketidaknyamanan
pada vagina.
- Kenakan pakaian dalam yang tidak ketat dan berbahan katun.

1.2 Skrining faktor fisik dan psikososial

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Pre-marital screening check up atau tes kesehatan
pra nikah sebaiknya dilakukan oleh pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Tes ini
penting dilakukan untuk memahami kondisi genetika pasangan dan membantu pasangan untuk
mengambil tindakan pencegahan atau perawatan bila diperlukan. Untuk pasangan yang sedang
mempersiapkan pernikahan, tes kesehatan pra nikah, dapat membantu mengidentifikasi potensi
masalah kesehatan bagi pasangan serta keturunannya. Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan
dalam tes kesehatan pra-nikah menurut Kemenkes, yakni sebagai berikut:

a. Pemeriksaan fisik secara lengkap

- Menurut Suburban Diagnostics, pemeriksaan fisik ini meliputi analisis urine, pemeriksaan
tekanan darah, dan analisis darah. Pemeriksaan urin diperlukan untuk melihat apakah terdapat
sel-sel normal atau abnormal yang terkandung dalam tubuh yang dapat mempengaruhi
keturunan.
- Pemeriksaan tekanan darah sama pentingnya. Menurut Mayo Clinic, risiko gangguan
kehamilan dan melahirkan akan lebih tinggi pada wanita yang memiliki tekanan darah tinggi,
salah satunya pre-eklampsia.
- Selain itu akan ada tes golongan darah (ABO-RH) untuk mengetahui apakah calon istri
memiliki Rh-negatif. Jika ada, dokter akan memberitahu mereka tentang risiko dalam kehamilan
istri dengan Rh- negatif.

b. Pemeriksaan penyakit hereditas

Penyakit hereditas adalah penyakit yang diturunkan oleh orangtua kepada anak. Pemeriksaan ini
berguna untuk menganalisis apakah pasangan memiliki risiko menurunkan penyakit berbahaya
kepada anak atau tidak. Pemeriksaan ini memerlukan penelusuran terhadap riwayat penyakit
kedua pasangan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penyakit turunan bisa
membahayakan, seperti thalasemia.

c. Pemeriksaan penyakit menular

Pemeriksaan penyakit menular ini tentunya untuk mencegah penularan penyakit-penyakit


mematikan seperti HIV semakin masif menular antar pasangan. Selain itu penularan penyakit
lain seperti hepatitis B dan hepatitis C juga bisa dicegah melalui
pemeriksaan ini.

d. Pemeriksaan organ reproduksi

Salah satu tujuan dalam pemeriksaan ini adalah untuk memeriksa apakah organ reproduksi
pasangan dalam kondisi yang baik untuk mendapatkan keturunan. Dilansir Avon, melakukan tes
kesuburan penting dilakukan sebelum pernikahan untuk menghindari adanya tekanan emosional
pasangan selama masa pernikahannya nanti. Banyak kasus permasalahan rumah tangga.

e. Pemeriksaan alergi

Menurut Healthline, tes alergi merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan
apakah tubuh seseorang memiliki reaksi alergi terhadap zat tertentu. Tes ini meliputi tes darah,
tes kulit, atau eliminasi jenis makanan. Banyak pasangan yang menganggap remeh alergi,
padahal alergi dapat menjadi hal yang berbahaya jika tidak ditangani dengan tepat.

1. Apa Aja Yang Dilakukan Pada Prakonsepsi?


Pada prosedur prakonsepsi, tenaga medis akan melakukan tanya jawab, pemeriksaan dan
pemeriksaan penunjang untuk mengidentifikasi resiko-resiko yang ada, guna untuk melakukan
upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Tanya jawab akan dimulai untuk mencari tahu resiko yang dapat mempersulit kehamilan,
seperti :

- Riwayat penyakit dahulu yang dapat menjadi penyulit dalam kehamilan, seperti diabetes,
hipertensi, penyakit jantung dan paru, tiroid, riwayat kejang, infeksi, dan lain-lain.
- Riwayat konsumsi obat-obatan rutin yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada
janin.
- Keadaan gizi pada ibu yang hendak hamil sangatlah penting, karena akan menjadi sumber
energi bagi ibu maupun bayi. Sebaiknya ibu berada dalam berat badan yang ideal, dikarenakan
dengan berat badan yang lebih dapat menyebabkan penyulit berupa hipertensi dan diabetes
dalam kehamilan serta preeklampsia. Sedangkan berat badan yang kurang, dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat.
- Ibu perlu memasukkan unsur asupan gizi seimbang yang berupa karbohidrat, protein, dan
mineral, serta asam folat.
- Riwayat vaksinasi seperti hepatitis B, toxoid, cacar, campak, dan
lain-lain.
- Riwayat keputihan, menstruasi, pendarahan, penggunaan kontrasepsi, riwayat infertilitas
maupun riwayat penyakit seksual menular juga merupakan hal penting untuk diketahui dari para
calon ibu.
- Riwayat penyakit keluarga untuk mendeteksi ada tidaknya riwayat retardasi mental, malformasi
kongenital, infertilitas, maupun keguguran.
- Riwayat sosial seperti tempat kerja, merokok, konsumsi alkohol, obat-obatan, kafein juga
penting karena sebaiknya dihindari selama mempersiapkan kehamilan. Tidak boleh dilupakan,
olahraga yang rutin minimal 150 menit dalam seminggu juga disarankan.
- Masalah psikososial yang terjadi sebelum dan dalam kehamilan seperti depresi juga harus
diketahui agar dapat dilakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan ibu dan
menghindarkan calon ibu dari stress berlebih
Selanjutnya, prosedur prakonsepsi dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik lengkap dan
pemeriksaan penunjang berupa EKG dan pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk
penyaringan resiko ataupun screening. Selain itu, penting bagi ibu hamil untuk melakukan
perawatan prakonsepsi yang sangat penting untuk keselamatan serta kesehatan ibu dan bayi.
Tidak boleh dilupakan, dukungan keluarga dan suami serta terhindarnya dari stress akan
berperan penting dalam mental calon ibu.

2. Kapan tes ini perlu dilakukan?

Premarital check up bisa Anda lakukan bersama pasangan beberapa bulan sebelum menikah atau
setelah menikah atau ketika Anda sedang berencana memiliki anak. Dengan begitu, perencanaan
Anda untuk memiliki anak menjadi lebih matang.

1.3 Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya

Saat pemeriksaan kandungan pertama, calon ibu dianjurkan menjalani pemeriksaan


laboratorium. Hasil pemeriksaan lab berikut ini harus diserahkan kepada dokter/bidan saat
kunjungan berikutnya (kontrol kedua).

Periksa kehamilan direkomendasikan untuk ibu hamil setidaknya melakukan 4x atau lebih
kunjungan antenatal dengan Bidan/ Dokter kandungan untuk memantau kehamilan dan
kesehatan ibu-janin.

Periksa kehamilan dilakukan minimal 1x di trimester I (usia kehamilan 1-3 bulan), minimal 1x di
trimester II (usia kehamilan 4-6 bulan), dan minimal 2x di trimester III (usia kehamilan 7-9
bulan). Rekomendasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas perawatan
yang diberikan kepada ibu dan janin di seluruh rangkaian pemeriksaan selama kehamilan.

1. Pemeriksaan urine lengkap,

meliputi kadar gula, protein dan bakteri dalam urine. Utamanya untuk mengetahui ada-tidaknya
infeksi saluran kemih karena penyakit ini dapat menyebabkan kelahiran prematur, keguguran,
dan kematian janin.
2. Pemeriksaan darah rutin, yaitu:

- TORCH, untuk mendeteksi infeksi toksoplasmosis, other (antara lain sipilis, klamidia, dll),
rubella, cytomegalovirus (CMV), dan herpes. Infeksi TORCH dapat menyebabkan keguguran,
bayi lahir prematur, bayi kecil, dan kelainan/kecacatan janin.
- Kadar hemoglobin (sel darah merah), untuk mengetahui ada
tidaknya anemia. Penyakit ini membuat ibu hamil menjadi mudah lelah dan dapat berbahaya jika
terjadi perdarahan saat hamil serta melahirkan.
- Golongan darah dan rehsus (Rh), untuk mendeteksi kalau-kalau ada ketidaksesuaian golongan
darah dan rhesus, terutama pada ibu hamil golongan darah O dengan rhesus negatif.
Ketidakcocokan dapat menyebabkan gangguan pada bayi, baik berupa bayi kuning hingga
kematian akibat anemia janin. Pemeriksaan ini lebih penting bila ibu membutuhkan transfusi
darah selama hamil atau saat melahirkan.

Setiap kehamilan, dalam perjalanannya mempunya resiko mengalami penyulit atau komplikasi.
Oleh karena itu, periksa kehamilan harus dilakukan secara rutin, termasuk melakukan
pemeriksaan penunjang/laboratorium. Pemeriksaan penunjang tersebut selama kehamilan,
persalinan dan nifas merupakan salah satu komponen penting untuk mengindetifikasi resiko
komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemerikasaan penunjag diantara nya sebagai berikut:

1. Golongan darah dan tes kadar Hemoglobin darah

Pemeriksaan darah turut membantu mendiagnosa kasus-kasus pada kehamilan, diantaranya ibu
hamil wajib melakukan pemeriksaan hemoglobin dan golongan darah. Pemeriksaan golongan
darah pada ibu hamil tidak hanya untuk mengetahui jenis golongan darah ibu melainkan juga
untuk mempersiapkan calon pendonor darah yang sewaktu-waktu diperlukan apabila terjadi
situasi kegawatdaruratan. Pemeriksaan hemoglobin (Hb) juga dilakukan bertujuan untuk
mengetahui kadar sel darah merah pada ibu hamil. Kadar Hb normal kehamilan diantara 11—15
gr%. Ibu hamil rentan menderita anemia karena meningkatnya kebutuhan zat besi untuk
pertumbuhan janin. Anemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan menurunnya kadar
hemoglobin (Hb) di bawah normal (<10 gr%). Kurangnya asupan zat besi pada kehamilan
mengakibatkan sejumlah risiko yang merugikan, seperti keguguran, bayi lahir premature, bayi
lahir dengan berat badan rendah (BBLR), bayi lahir mati, perdarahan pasca persalinan, hingga
anak tumbuh pendek (stunting) dibanding teman seusianya. Penyebab anemia dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan fisik dan tes laboratorium. Kemenkes (2013) menyarankan
pemeriksaan Hb pada kehamilan dilakukan sebanyak 2x diantaranya pada trimester I
(disertai pemeriksaan golongan darah) dan trimester III. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di
praktik bidan/ dokter kandungan/ puskesmas/ klinik/ rumah sakit.

2. Pemeriksaan protein urine

Kehamilan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang terjadi pada ginjal umumnya setelah
20 minggu kehamilan. Perubahan tersebut juga berdampak pada peningkatan kadar protein
dalam urine. Dari Journal Nephrology (2018) menyatakan penilaian proteinuria merupakan tes
kunci dalam kehamilan untuk mengevaluasi kesehatan ginjal dan sistemik serta merupakan salah
satu indikator terjadinya preeklamsi/eklamsi pada ibu hamil. Kasus preeklamsi/eklamsi
merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan janin pada saat kehamilan, persalinan, maupun
pasca bersalin. Pengukuran tekanan darah pada setiap kali kunjungan antenatal
penting dan harus dilakukan untuk mendeteksi adanya hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90
mmHg) pada kehamilan dan preeklampsia (hipertensi disertai peningkatan proteinuria
>300mg/24 jam atau pada metode dipstik menunjukan hasil positif 1+ atau lebih). Ditemukannya
proteinuria berlebih (>300mg/24 jam) juga menyebabkan sejumlah komplikasi lain pada ibu
hamil seperti perdarahan otak, gagal hepar, edema paru-paru, cidera ginjal akut, hingga kejang/
eklamsi. Dari Kemenkes (2014) menganjurkan pemeriksaan protein urine pada ibu hamil
dilakukan pada trimester II dan III atas indikasi. Pemeriksaan urine dipstik banyak digunakan
dalam praktik karena metodenya sederhana dan lebih ekonomis. Pemeriksaan tersebut dapat
dilakukan di praktik bidan/dokter kandungan/ puskesmas. Tes akan lebih spesifik jika
menggunakan metode tes diagnostik dengan sensitivitas tinggi lainnya, umumnya dilakukan di
fasilitas kesehatan lengkap sepertiklinik/ rumah sakit.

3. Pemeriksaan Kadar Gula Darah


Setiap kehamilan memiliki faktor risiko terjadinya masalah kesehatan, salah satunya adalah
diabetes gestasional atau diabetes melitus (DM) selama kehamilan. Diabetes gestasional adalah
hiperglikemia dengan kadar glukosa darah di atas normal yang terjadi selama masa kehamilan.
Kategori tes gula darah berdasarkan Konsensus Perkeni 2011 adalah: bukan DM (<90
mg/dL), belum pasti DM (90-199 mg/dL), DM (>200 mg/dL). Menurut Jounal of Clinical
Diabetes (2007) Wanita dengan diabetes gestasional meningkatkan risiko komplikasi selama
kehamilan dan melahirkan. Pada ibu penderita diabetes melitus gestasional meningkatkan risiko
penambahan berat badan berlebih, terjadinya preklamsia/eklamsia, lahir sesar, komplikasi
kardiovaskuler. Setelah persalinan, penderita berisiko berlanjut terkena diabetes tipe 2 atau
terjadi diabetes gestasional yang berulang pada kehamilan yang akan datang. Bayi yang lahir dari
ibu dengan diabetes gestasional berisiko tinggi untuk menderita makrosomia (BB lahir >4000g)
sehingga meningkatkan cidera kelahiran, bayi berisiko tinggi untuk terkena hipoglikemia,
hipokalsemia, hiperbilirubinemia, sindrom gangguan pernafasan, polistemia, obesitas, dan
diabetes melitus tipe 2. Kemenkes (2014) menganjurkan ibu hamil yang dicurigai menderita
diabetes melitus harus dilakukan pemeriksaan gula darah selama kehamilannya
minimal sekali pada trimester I, sekali pada trimester II, dan sekali pada trimester III.
Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di praktik bidan/ dokter kandungan/ puskesmas/ klinik/
rumah sakit

4. Ultrasonografi (USG)

USG merupakan pemeriksaan diagnostik untuk memantau pertumbuhan janin dan mendeteksi
komplikasi klinis terutama ketika pemindaian dilakukan pada awal kehamilan. Dalam
rekomendasi antenatal care (ANC) 2016, setiap ibu hamil oleh WHO direkomendasikan untuk
melakukan 1x USG sebelum kehamilan 24 minggu. Bertujuan untuk memperkirakan usia
kehamilan sebenarnya, deteksi abnormalitas pada janin (letak, posisi, dan presentasi janin), dan
adanya kehamilan kembar. WHO tidak merekomendasikan USG secara rutin tanpa indikasi.
Penilaian usia kehamilan yang akurat dapat mendukung intervensi dan manajemen komplikasi
kehamilan. Penilaian dugaan komplikasi seperti keguguran terancam, kehamilan ektopik, lokasi
plasenta, preeklamsi, persalinan prematur, hingga perdarahan intrapartum, menjadikan
kemampuan USG dapat memfasilitasi tepat waktu untuk memanajemen komplikasi kehamilan,
terutama untuk temuan yang membutuhkan intervensi mendesak. Pemeriksaan USG dapat
dilakukan di praktik dokter kandungan/
puskesmas/ klinik/ rumah sakit.

5. Pemeriksaan HIV

Pada peraturan Kemenkes Nomor 97 tahun 2014, di daerah epidemi HIV meluas dan
berpotensial, tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV
kepada semua ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya ketika
kunjungan antenatal atau menjelang persalinan. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes
HIV diprioritaskan pada ibu hamil yang menderita infeksi menular seksual/ IMS dan
tuberkulosis/ TB secara inklusif ketika kunjungan antenatal atau menjelang persalinan. Setiap ibu
hamil ditawarkan untuk dilakukan tes HIV dan segera diberikan informasi mengenai resiko
penularan HIV dari ibu ke janinnya. Apabila ibu hamil tersebut HIV positif maka dilakukan
konseling Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA). Bagi ibu hamil yang negatif
diberikan penjelasan untuk menjaga tetap HIV negatif diberikan penjelasan untuk menjaga HIV
negative selama hamil, menyusui dan seterusnya. Pemeriksaan HIV hanya dilakukan di
puskesmas dengan program tes HIV ibu hamil dan rumah sakit besar.

DAFTAR PUSTAKA
Alenzi, F. Q., Alotaibi, A. Q., Almotiri, G. M., Alanazi, A. M., Alanazi, F. M.,
Alenazi, M. S. 2014. Role of Apoptosis in Microbial Infection. Open
Journal of Apoptosis.
Abdul Bri Syaifuddin.2002.Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal.JNPKKR- POGI;Jakarta.edisi ke-1, Cetakan 3
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar:
Riskesdas 2013. Jakarta: BKementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta; 2013.
Departeman Kesehatan Republik Indonesia.2006.Buku Kesehatan Ibu dan Anak
H astuti, Puji, dkk.2018.Kartu Skor Poedji Rochjati Untuk Skrining
Antenatal.Jurnal LINK, 14(2), 2018,110 – 113
Ida Bagus Gde Manuaba.1998.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan
Keuerga Berencana Untuk Pendidikan Bidan.ECG;Jakarta.Cetakan-1.
14(2), 2018,110 – 113

Anda mungkin juga menyukai