Anda di halaman 1dari 8

Ujian Akhir Semester

Senin, 16 Desember 2019

Farah Salsabila (1706073326)


Penulisan Populer

Tujuh Tahap Mengatasi Kesedihan, Enam Tahap Memperbaiki Patah Hati

Siang itu, Seruni duduk termenung sendiri di sebuah café tidak jauh dari rumahnya. Ia
sedang menunggu temannya, Kirana, yang selalu saja telat datang ke manapun ia harus
berada. Sudah menjadi kebiasaan yang dimaklumi oleh Seruni, berhubung mereka sudah
berteman sejak kelas 3 SD. Selama menunggu, Seruni hanya melamun, memainkan
handphone, dan sesekali menyeruput latte yang ada dihadapannya itu. Sebuah novel romansa
yang ia bawa bersamanya, untuk mengisi waktu luangnya sambil menunggu Kirana,
tergeletak begitu saja di sebelah cangkir minumannya itu. Nyatanya, Seruni merasa belum
juga ingin membaca novel itu di masa krisis seperti ini.

Lonceng pada pintu café itu berbunyi, Seruni menoleh ke arah di mana pintu itu
berada. Ternyata yang baru saja masuk adalah Kirana. Sambil melambaikan tangan, Kira
bergegas menuju tempat di mana Seruni duduk. Sesampainya di hadapan Seruni, Kirana
langsung memeluk dirinya dengan erat.

“Kamu baik-baik saja, kan, sekarang?” tanya Kirana.

“Belum…” jawab Seruni, lesu.

“Sudah hampir sebulan, sayang, kenapa belum juga bisa melupakan Reno?”

“Aku masih sedih, Ki. Aku gak tau gimana caranya buat merasa baik lagi…”

“Ya udah, duduk dulu deh, takut kamu tiba-tiba pingsan kalau berdiri, kan repot.
Hehehe…” canda Kirana.

“Hmm…” sahut Seruni yang tidak mampu balik tertawa.

“Aku pesen minum dulu ya, kamu udah makan belum? Pasti belum, kan? Makan ya?
Mau makan apa?” tanya Kirana.

“Aku gak laper, Ki.”

“Ih, jangan gitu dong, gak sadar apa kamu udah kurus begitu. Iya, keliatan makin
kurus banget! Gak mau tau, kamu harus makan, aku yang pesenin, harus di makan ya.”
“Ya udah deh…” dengan itu Seruni kembali melamun.

Lima menit kemudian, Kirana kembali dengan wajah yang berseri. Ia duduk di
hadapan Seruni, dan memulai kembali perbincangan mereka.

“Jadi, tadi yang jaga kasir cakep tuh, sadar gak?”

“Nggak…”

“Oh iya, gak baik ngomongin laki di masa seperti ini. Ganti topik.”

“Bantu aku supaya aku bisa memperbaiki diri aku sendiri, Ki. Ada saran?”

“Hmm… Banyak sih, caranya, paling pertama dan yang utama, kamu harus bisa
paksa dirimu sendiri buat bangkit lagi dan keluar dari siklus kesedihanmu. Tapi, kamu tau
gak sih, ada yang namanya tahapan-tahapan dalam mengatasi kesedihan dan memperbaiki
patah hati? Aku pernah baca tentang dua hal itu.”

“Jabarin semuanya coba, Ki, kalau kamu tau.”

“Dih mau dibantuin malah nantangin.”

“Hehehe, becanda, tapi serius, aku pengen tau. Sekiranya bisa bantu aku kan, kamu
jadi pahlawan.”

“Oke. Kita bahas tahap-tahap dalam mengatasi kesedihan dulu, karena cukup beda
dari memperbaiki patah hati. Ini dari penelitian seorang psikiater asal Swiss-Amerika gitu.
Nah, dari penelitian dia, sebenarnya cuma ada lima tahapan, tapi karena ada dua tahapan
tambahan yang telah dialami kebanyakan orang, makanya digabungin dua tahapan itu ke
dalam lima tahapan lainnya. Jadi tujuh deh.”

“Aku… Aku bisa ngitung, Ki.”

“Yaaa, siapa tau saking sedihnya jadi lupa, hehehe. Becanda, sayang.”

Seruni menggelengkan kepalanya, dalam keadaan seperti ini, sahabatnya itu masih
saja bisa mencairkan suasana. Sebuah senyum kecil muncul di bibir Seruni. Kemudian,
Kirana melanjutkan pembahasannya.

“Seperti apa yang kebanyakan orang tau, rasa sedih bukan suatu hal yang mudah
untuk diatasi, iya dong? Buat dipikirkan aja pusing, apalagi buat dibicarakan. Dalam kasus
kamu, kesedihan itu mengacu pada rasa kehilangan terhadap orang yang kamu cintai.
Sebenarnya, tahapan ini lebih mengarah ke siklus sih. Jadi, yang pertama adalah rasa shock,
berkesinambungan dengan yang kedua, yaitu rasa gak percaya.” Kirana kemudian terdiam
sejenak, berpikir akan suatu hal. Kemudian melanjutkan,

“Waktu, Reno… Ya tau lah… Hmm, aku sebenarnya gak mau ngungkit, tapi ini
penting. Waktu kabar buruk itu menimpa kamu, ada rasa shock dan gak percaya kan, yang
muncul dalam diri kamu?”

“Iya… Ada.”

“Nah, hal itu adalah hal yang sangat amat wajar. Apalagi dengan apa yang Reno
lakuin ke kamu itu adalah hal yang sangat kurang ajar. Berhubung hal itu udah lewat, gak ada
dong, yang bisa kita lakukan lagi selain menerima kejadian itu. Susah banget iya, sakit hati
iya, tapi kan, kita gak bisa memutar balik waktu untuk mengantisipasi atau menghentikan
kejadian itu. Nah, yang terpenting setelahnya adalah kamu memberi waktu kepada dirimu
sendiri untuk sembuh. Bagusnya, kamu udah melakukan itu, hampir sebulan. Tapi, jangan
berlama-lama dalam hal itu karena hidup terus berjalan, semesta gak akan berhenti bekerja
untuk siapa pun.”

Seruni memikirkan kalimat terakhir itu. Ia baru sadar, bahwa apa yang Kirana
katakana ada benarnya. Hidup terus berjalan, dan apa gunanya terus menerus merasa sedih,
merasa tersangkut dalam lubang kesdihan itu, sedangkan hidup orang yang Seruni sedihkan
tetap berjalan dengan normal?

Kirana melanjutkan kembali setelah memerhatikan raut wajah Seruni yang berubah-
ubah. Kirana tahu betul Seruni sedang berpikir keras dengan raut wajah seperti itu.

“Setelah melewati dua hal tersebut, ketiga, biasanya seseorang yang sedang ada dalam
kesedihan akan kemudian dihadapkan dengan rasa bersalah. Itu hal yang ketiga, perasaan
bersalah. Menyesal juga, karena mungkin di masa lalu ada hal-hal yang gak terlaksanakan.
Hal-hal yang seharusnya bisa diubah. Jadi, ada tuh, keinginan buat balik lagi ke masa lalu dan
memperbaiki beberapa hal itu sebelum kejadian buruk terjadi. Tapi, sekali lagi akan aku
tekankan, hidup kamu berjalan terus ke depan, bukan ke belakang. Jadi, apa yang udah gak
bisa kita ubah, harus kita lepaskan dari benak kita. Dalam keadaan seperti itu, yang bisa kita
lakukan adalah introspeksi diri kita. Melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang. Jangan
cuma dari perspektif kita aja. Jangan melulu ke masa lalu, tapi ke depannya harus gimana
juga.”
“Iya, ada saat-saat di mana aku merasa menyesal dan malah menyalahkan diri aku
sendiri. ‘Seharusnya aku lebih baik’ dan sebagainya. Bodoh juga. Gak ada yang salah dengan
diriku kalau dipikir-pikir. Dia yang selingkuh, kenapa aku yang merasa salah?”

“Tuh tau. Gitu dong. Membantu kan, apa yang aku bilang dari tadi? Belum selesai
tapi. Tahap selanjutnya adalah rasa amarah, itu yang keempat. Ngelewatin rasa itu juga ga?”

“Pernah beberapa kali, ini sekarang lagi emosi, Ki.” jawab Seruni ketus.

“Oke, wajar, tapi jangan marahin aku, ya. Lanjut. Setelah kehilangan Reno, perasaan
gak percaya itu juga berubah menjadi rasa frustrasi dan amarah. Ada, kan, pikiran-pikiran
kayak 'kenapa ini terjadi padaku?' atau ‘kenapa dia tega melakukan hal itu kepadaku?’ Kamu
marah terhadap Reno, tapi bisa juga, amarah itu kamu luapkan ke diri sendiri maupun orang
lain yang ada di sekitarmu. Nah, kalau udah kayak gitu, baru namanya gak sehat. Amarah
yang kamu luapkan ke diri kamu sendiri maupun ke orang lain gak akan mampu buat
mengubah situasi. Jadi, kuncinya adalah kamu harus menjauhkan diri kamu sendiri dari
perasaan rendah diri atau menurunkan harga diri, karena perasaan-perasaan itu gak layak buat
kamu simpen. Kontrol juga emosi kamu, supaya orang-orang di sekitarmu, yang gak punya
salah apa-apa, gak kena omelan kamu itu”

“Bener juga, sih… Maaf kalau kamu pernah kena, ya, hehe.”

“Iya, gak apa-apa. Lanjut gak nih? Panjang juga ya...” balas Kirana, mulutnya
bagaikan sabun yang sudah cukup berbusa karena tidak berhenti berbicara.

“Lalu, ada tahap di mana kamu akan merasa kesepian yang bisa disertai juga dengan
rasa depresi. Tahap lima nih. Mungkin di tahap ini, kamu merasa lebih bisa menerima apa
yang telah terjadi tetapi belum mampu mengatasi kesedihan yang dihasilkan dari kejadian itu.
Kadang, karena merasa kesepian itu, ada juga orang yang malah menjauhkan orang-orang
terdekatnya sehingga ia malah merasa terisolasi. Kamu gak gitu, kan?” tanya Kirana pada
Seruni. Wajahnya serius.

“Gak pernah, kok. Eh, pernah sih, tapi gak menjauhkan orang-orang juga.”

“Ya udah, bagus kalau begitu. Harus kamu jauhkan rasa ingin sendiri itu, nanti
perasaanmu malah kewalahan dan bercampur aduk. Kamu harus mau ngobrol dengan orang
yang kamu percaya. Setidaknya, kalau orang terpercaya kamu tidak bisa membantu
sepenuhnya, dia bisa mendengarkan keluh kesahmu itu. Dan kalau kamu memang ingin
sendiri, jangan biarkan dirimu dalam kesendirian terlalu lama. Kesendirianmu itu bisa
dijadikan sebagai waktu untuk refleksi, dengan itu kamu bisa berdamai dengan dirimu sendiri
dan juga orang dibalik kesedihanmu itu, siapa tau. Hehehe…” lanjut Kirana sambil tertawa
kecil.

“Berhubung kamu bukan psikiater jadi aku terima ketidak-yakinan kamu itu.” balas
Seruni sambil tersenyum.

“Lanjut lagi ke tahapan berikutnya, dua yang terakhir, yaitu rekonstruksi diri dan
penerimaan. Seiring berjalannya waktu, pikiran dan perasaanmu akan mulai bekerja lebih
baik dong, daripada sebelumnya. Tapi, bukan berarti perasaan sedih, marah, depresi,
menyesal, atau apa pun itu hilang sepenuhnya. Mungkin di tahap itu kamu bisa lebih berpikir
dengan logis, melihat segala sesuatu melalui gambaran yang lebih besar karena kamu udah
gak lagi melihat sesuatu cuma dari perspektif kamu aja. Kamu udah introspeksi diri, udah
juga refleksi, pasti kamu kemudian akan merekonstruksi diri kamu, menjadikan diri kamu
pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Terakhir, hasil dari itu semua adalah kamu bisa
menerima apa yang telah terjadi dan mulai merasa baik kembali, normal lagi. Mungkin,
pandangan kamu terhadap cinta tidak akan sama seperti dulu, tapi jangan jadi putus asa. Hal
buruk pasti terjadi kepada siapa aja, kamu tau itu. Masih punya harapan kan perihal cinta?”

“Yaaa, masih lah. Aku masih ingin mencinta dan dicintai, hahaha.”

“Dasar, geli tau kamu ngomong itu. Tapi, begitulah adanya kita sebagai manusia.”

“Kamu belum bahas tentang caranya memperbaiki patah hati, Ki.”

“Oh iya, berhubung makanan kita belum kunjung datang, minumku pun belum. Minta
sedikit ya, haus nih.” Kata Kirana sambil mengangkat cangkir latte milik Seruni.

“Kasihan, hahaha. Iya, silahkan, silahkan.” dan dengan itu, Kirana menyeruput latte
tersebut.

“Oke. Lanjut. Tahapan memperbaiki patah hati. Pertama, nangis. Sekeras-kerasnya


dan sebanyak-banyaknya. Kamu berhak untuk melakukan hal itu. Kalau kamu menahan
hatimu sendiri dari proses penyembuhan, kamu gak akan dapat apa-apa selain penderitaan.
Jadi, biarkanlah hati dan pikiranmu itu meluapkan rasa sakit melalui bulir-bulir air matamu.
Kamu akan merasa lebih baik setelahnya.”

“Lalu, apa?”
“Kedua, siapa pun itu, orang terkuat di dunia sekali pun, gak akan kuat untuk
menyimpan sendiri semua perasaan yang bercampur aduk dari patah hati. Jadi, coba ngobrol
dengan seseorang yang kamu percaya, atau nulis dalam suatu buku juga gak masalah, selama
semua perasaan kamu itu gak ditekan di dalam dinding hatimu sendiri. Ungkapkan rasa sakit
hatimu itu senyamanmu dan sebebas-bebasnya. Nah, kalau berbicara dengan orang lain, kan,
bagusnya kamu bisa dikasih nasihat yang siapa tau bisa membantu kamu memperbaiki patah
hati.”

“Ngobrol denganmu membantu banget sih, Ki.”

“Iya, jelas. Aku pahlawan.”

“Lanjuuut…”

“Ketiga, coba keluar rumah, nongkrong gitu, atau lakukan sesuatu yang sekiranya bisa
melupakan keadaan kamu ini. Hal-hal baik tapi, jangan hal buruk. Jangan mabuk-mabukan,
gak sehat secara fisik dan psikis. Ada sambungannya juga nih, ke hal keempat, yaitu lakukan
hal-hal yang bisa buat dirimu bahagia, atau setidaknya tersenyum dan tertawa. Nonton video
lucu atau film komedi. Main sama bayi. Pokoknya jauhin deh sesuatu yang bikin kamu nangs
lagi, kan udah nangisnya di tahap pertama.”

Seketika mata Kirana tertuju pada novel romansa yang tergeletak di samping cangkir
minuman Seruni. Ia kemudian bertanya,

“Novel ini, bikin nangis atau bikin ketawa? Aku belum baca tapi aku tau ini romance
novel.”

“Hmm…Bikin nangis sih, hehehe… Makanya gak aku baca. Aku diemin semenjak
aku bawa ke sini.”

“Ya, sebenarnya gak apa-apa sih. Nangis sesekali. Tapi karena di tahap pertama udah
kamu lewatin waktu itu, kamu nangis-nangis sambil nelfon aku, jadi sekarang nangisnya gak
usah banyak-banyak.”

“Iya, siap bu boss.”

“Oke. Keempat paksa dirimu untuk berhenti mikirin Reno! Orang yang menyebabkan
hati dan pikiranmu kesakitan. Coba, singkirkan semua foto dia atau foto kalian berdua, kalau
foto berdua gunting aja dia supaya keluar dari frame, balikin hadiah, surat, dan apa pun yang
bikin kamu inget-inget Reno lagi. Atau kalau mau ekstim sih, bakar, hehe tapi jangan kamu
nanti disangka gila dan berlebihan. Barang-barang yang bisa didonasikan, silahkan kamu
kasih ke orang yang membutuhkan. Bermanfaat kan jadinya.”

“Belum aku lakuin sih, semua itu. Barang-barang dan foto-foto itu aku simpen semua
di dalem box, belum aku buka sampai sekarang. Abis ini main dong ke rumahku. Bantu aku
memilah semua barang pemberian Reno.”

“Iya, aku lagi gak ada kerjaan jadi aku sangat bersedia untuk membantu.”

“Lanjutin, Ki. Terakhir kan?”

“Iya, kelima, sama seperti pembahasan sebelumnya sih, tentang kesedihn itu. Terakhir
yang bisa kamu lakukan adalah terima keadaan, apalagi kalau keadaan itu gak bisa diubah,
pokoknya sama kayak apa yang aku bilang barusan. Kalau kamu gak bisa memutar waktu,
mau gak mau kamu terima hal itu. Sesakit apapun proses penerimaan itu. Butuh waktu,
memang. Tapi harus kamu paksain. Dan sebenarnya ada tambahan, jadi sebenarnya ada
enam, tapi aku paham kalau kamu belum mau melakukan hal ini…” lanjut Kirana dengan
ragu.

“Apa…?” balas Seruni yang ikutan ragu.

“Hal paling baik dan paling dewasa yang bisa kamu lakukan, walaupun gak mudah,
adalah memaafkan dia. Aku tau, Reno bisa dibilang hampir sebulan yang lalu,
menempatkanmu di neraka. Ya, bagaikan neraka. Mungkin betapa sakitnya rasa itu, gak bisa
aku rasain secara langsung, tapi melihat sahabatku sendiri dalam keadaan seperti itu, buat aku
hampir sama sakitnya walau beda rasanya…” kalimat Kirana terhenti, seperti ingin menangis
tapi menahan tangis itu demi sahabatnya. Dipandangnya Seruni yang juga mulai berkaca-
kaca, kemudian Kirana melanjutkan,

“Seruni, kamu harus bisa, harus paksain dirimu, buat melepas Reno. Kamu gak boleh
membiarkan diri kamu kayak gini terus. Hidup dia berjalan semaunya, masa hidupmu terhenti
karena kelakuan dia. Gak adil dong. Yuk, aku bantu kamu keluar dari lubang kesedihan dan
patah hat ini. Tapi, supaya ini berhasil, kamu harus paksa dirimu untuk mau dibantu dan
terima keadaan. Memaafkan Reno juga kalau udah bisa. Supaya kamu baik lagi, supaya kamu
bahagia lagi.”

“Ki, makasih banget ya, jadi orang terbaik aku, yang mau ngebantu aku ngelewatin
masa-masa terburuk dalam hidupku ini…” air mata pun mulai mengalir di wajah Seruni.
“Iya, Seruni. Kapan pun itu, aku ada di sampingmu.” balas Kirana, kini air matanya
mengalir juga.

“Iya, Ki. Sama.”

Isak tangis mereka berdua terhenti tiba-tiba. Mereka dikagetkan oleh seorang pelayan
yang mengucapkan kata ‘Permisi’ sambil menaruh makanan pesanan Kirana di atas meja.

“Ah, Mas. Ganggu aja ini lagi nangis berdua-dua…” canda Kirana kepada Si Pelayan.

“Eh, aduh. Maaf mba, saya gak sadar tadi…” jawab Si Pelayan dengan panik.

Seruni dan Kirana tertawa, mengatakan ke Si Pelayan bahwa mereka sedang bercanda
dengannya. Sekali lagi, Kirana bisa dengan mudahnya mencairkan suasana. Betapa
bahagianya ia memiliki seorang sahabat yang hebat seperti dia.

Anda mungkin juga menyukai