Anda di halaman 1dari 21

Nama : Lia Martha Ayunira

NPM : 2171010067
Semester : 1 (Satu)
Kelas/Prodi : B / (PAI)
Mata Kuliah : Pendekatan Dalam Studi Islam

JAWABAN UAS

1. Studi Islam muncul dalam tradisi keilmuan Barat, berusaha


menempatkan kajian agama sejajar dengan kajian-kajian ilmiah
lainnya. Jelaskan apa yang dimaksud dengan studi Islam secara ilmiah
dan apa yang menjadi objek kajiannya? Kualitas apa sajakah yang
harus dimiliki para pengkaji Islam agar “kerja keilmuan” mereka
memenuhi standar akademis?

Jawab:
Studi berarti pengkajian terhadap Islam secara ilmiah, baik Islam
sebagai sumber ajaran, pemahaman, maupun pengamalan. Sedangkan Islam
adalah nama sebuah agama samawi yang disampaikan melalui Nabi
Muhammad SAW agar menjadi pedoman bagi manusia. Studi Islam di Barat
dikenal dengan istilah Islamic Studies. Studi Islam secara harfiah adalah
kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat
umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi
Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan kata lain, studi Islam
adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta
membahas secara mendalam tentang hal-hal yang berhubungan agama Islam,
baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik
pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang
sejarahnya.
Objek kajian studi Islam:
Maka dapat dipastikan bahwa objek yang menjadi sasaran dalam
penelitian atau studi Islam adalah agama Islam itu sendiri. Dengan ungkapan
lain, Islam sebagai agama adalah merupakan objek atau sasaran penelitian
atau kajian dalam studi Islam. Singkat kata, Studi Islam adalah studi atau

1
pengkajian atau penelitian terhadap agama Islam. Objek kajian Studi Islam
adalah ajaran Islam dari berbagai aspeknya dan berbagai mazhab atau
alirannya. Ajaran islam ini tidaklah sempit atau sebatas ibadah saja, tetapi
juga meliputi berbagai aspek termasuk interaksi sosial kemasyarakatan.
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa ajaran Islam bersifat permanen,
sehingga penafsiran atas ajaran Islam harus mengikuti penafsiran-penafsiran
ulama terutama ulama klasik. Umat Islam sebagian juga berpendapat bahwa
aspek atau ajaran Islam hanyalah shalat, puasa, zakat, haji dan dzikir. Padahal
sebagai Objek kajian studi Islam, ajaran Islam melingkup semua aspek yang
ada dalam Islam. Objek kajian Islam dibagi menjadi beberapa aspek, yaitu
objek kajiannya meliputi:
1) ajaran Islam: Al-Qur’an dan Hadis
2) Pemikiran dasar Islam yang meliputi kalam, filsafat, tasawuf
3) Fikih dan pranata sosial
4) Sejarah Kebudayaan Islam
5) Dakwah
6) Pendidikan Islam
7) Bahasa dan Sastra Arab
8) Pembaruan Pemikiran Islam.

Agama sebagai objek studi minimal dapat dilihat dari tiga sisi:
1) Sebagai doktrin dari tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya dan
diterima apa adanya.
2) Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia
dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap
doktrin agamanya.
3) Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat islam. Bila islam dilihat dari
tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi
tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu kenyakinan atas
kebenaran teks wahyu, sehingga hal ini tidak memerlukan penelitian
didalamnya. Islam Sebagai Objek Kajian Dari fenomena sosial yang

2
terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk dijadikan
sebagai objek kajian, namun tetap berpedoman pada dua sumber utama
yakni Al-qur’an dan hadits.

Kualitas yang harus dimiliki oleh para pengkaji Islam untuk memenuhi
standar akademis:
1. Pendekatan Normatif atau Keagamaan
a. Traditional Missionary Approacch
Pendekatan ini muncul dan digunakan pada abad ke-19 pada
saat semaraknya aktivitas misionaris di kalangan gereja dan sekte
Kristen dalam rangka merespon perkembangan pengaruh politik,
ekonomi dan militer negara Eropa di beberapa bagian Asia dan Afrika.
Para misionaris tertarik mengetahui dan mengkaji Islam dengan tujuan
untuk mempermudah mengkristenkan orang beragama lain
(proselytizing). Metode yang digunakan adalah komperatif antara
keyakinan Islam dengan keyakinan Kristen yang senantiasa merugikan
Islam. Harus diakui konstribusi para misionaris adalah sebagai
konstributor awal untuk pertumbuhan ilmu Islam. Untuk mewujudkan
tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk
membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair
dengan masyarakat setempat.
b. Apologetic Approach
Pendekatan apologetik muncul sebagai respon umat Islam
terhadap situasi modern. Di hadapkan pada situasi modern, Islam
ditampilkan sebagai agama yang sesuai dengan modernitas, agama
peradaban seperti peradaban Barat. Pendekatan apologetik merupakan
salah satu cara untuk mempertemukan kebutuhan masyarakat terhadap
dunia modern dengan menyatakan bahwa Islam mampu membawa
umat Islam ke dalam abad baru yang cerah dan modern. Konstribusi
para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik tersebut adalah
melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap Islam bagi

3
generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi mereka.
Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai aspek
sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh
masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian
dan karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual, kultural,
dan agama Islam sendiri. Seperti halnya misionaris yang tertarik
mengkaji Islam, gerakan apologetik ini memiliki beberapa
karakteristik. Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai
dalam tiga hal.
c. Irenic Approach
Konstribusi karya Cragg adalah bermanfaat untuk memberantas
pandangan negatif terhadap Islam yang berkembang luas di kalangan
Barat. Contoh lain pendekatan irenic diterapkan oleh W.C. Smith,
terutama dalam karyanya The Faith of Other Men (1962) dan
artikelnya berjudul “Comparative Religion, Whither and
Why?”(1959). Hal utama yang ditampilkan dalam tulisan Smith adalah
memahami keyakinan orang lain dan bukan untuk mentransformasikan
keyakinan itu, atau dengan motif penyebaran agama. Dengan memilih
Cragg dan Smith sebagai contoh penggunaan pendekatan irenic dalam
studi Islam, Adams tidak bermaksud mengabaikan akademisi lain yang
dapat dikategorikan dengan mereka berdua seperti Montgomery Watt,
dan Geoffrey Parrinder.

2. Pendekatan Deskriptif
a. Pendekatan Filologi dan Sejarah (Philological and Historical
Approach)
Perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa pendekatan Filologi
dan Historis meski sedikit berbeda namun dalam prakteknya berjalan
beriringan. Filologi dalam kamus ilmiah adalah ilmu yang menyelidiki
perkembangan kerohanian bangsa dan menyelidiki kebudayaan dengan
menelaah karya-karya sastra atau sumber-sumber tertulis miliknya.

4
Jadi dalam konteks ini pendekatan filologi ialah sebuah pendekatan
studi agama (Islam) yang memfokuskan kajiannya pada naskah-naskah
atau sumber-sumber keagamaan guna mengetahui budaya dan
kerohanian keagamaan tersebut. Menurut keyakinan filolog, aspek
kehidupan dan kesalehan suatu agama hampir seluruhnya bisa
diketahui melalui kesan-kesan dalam naskah atau literatur.
b. Pendekatan Ilmu Sosial (Social Scientific Approach)
Social Scientific Approach ini muncul sebagai kritik atas
pendekatan para ahli bahasa, Filologi. Menurut Founding Fathers
pendekatan ilmu sosial, para filolog mempunyai anggapan yang salah
dalam mengkaji masyarakat, yakni melalui literatur. Menurut mereka
dalam mengakaji masyarakat seharusnya menggunakan metode sains
sebagaimana yang digunakan pada ilmu sosial. Selain itu, para filolog
hanya mengkaji kata dan makna yang tertulis dalam teks klasik dari
pada masyarakatnya, meski filolog membayangkan dapat melihat
masyarakat dalam teks. Dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu
sosial, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya
agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah
mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu
yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori
lainnya.
c. Pendekatan Fenomenologi ( Phenomenological Approach)
Terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan
fenomenologi dalam kajian agama (Islam). Pertama, fenomenologi
adalah metode untuk memahami agama seseorang yang termasuk di
dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan
komitmen mereka secara “netral” sebagai persiapan untuk melakukan
rekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua, konstruksi skema
taksonomik untuk mengklasifikasikan fenomena dibenturkan dengan
batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum pendekatan
ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi

5
keberagamaan semua manusia secara sama tanpa memperhatikan
dimensi ruang dan waktu dan perbedaan budaya masyarakat.
Pendekatan fenomenologi berusaha untuk memperoleh gambaran yang
lebih utuh dan lebih fundamental (esensi) tentang fenomena
keberagamaan manusia.

2. Sebagai objek kajian ilmiah, agama Islam berbeda dengan agama-agama


(besar) lain di dunia. Jelaskan, apa ciri pokok yang membedakan agama
Islam dengan agama-agama lain tersebut. Hal mendasar apakah yang
harus dipahami para pengkaji Islam agar tidak terperangkap dalam
normatifitas tetapi pada saat yang sama juga tidak terjebak dalam
peradigma liberalism studi agama ala Barat?

Jawab:
Ciri pokok / Karakteristik yang membedakan agama Islam dengan
agama-agama lain di dunia:
a. Bidang Ibadah
Karakteristik ajaran Islam dalam bidang Ibadah berarti bakti manusia
kepada Allah SWT., karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah
tauhid. Adapun ibadah dalam arti umum, bersentuhan dengan masalah
muamalah sesuai dengan visi Islam tentang ibadah adalah merupakan
sifat, jiwa, dan misi ajaran Islam itu sendiri yang sejalan dengan tugas
penciptaan manusia, sebagai makhluk yang hanya diperintahkan agara
beribahah kepada-Nya.
b. Bidang Akidah
Akidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai
Tuhan yang wajib disembah; ucapan dengan lisan dalam bentuk dua
kalimat syahadat, yaitu menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah, dan
bahwa Nabi Muhammad sebagai utusanNya, perbuatan dengan amal
saleh. Artinya, orang yang beriman tidak ada rasa dalam hati, atau
ucapan di mulut dan perbuatan melainkan secara keseluruhan
menggambarkan iman kepada Allah, yakni tidak ada niat, ucapan, dan
perbuatan yang dikemukakan oleh orang yang beriman itu kecuali yang

6
sejalan dengan kehendak Allah. Akidah dalam Islam selanjutnya harus
berpengaruh ke dalam segala aktivitas yang dilakukan manusia, sehingga
berbagai aktivitas tersebut bernilai ibadah dan dasar dalam tingkah laku,
serta berbuat yang pada akhirnya menimbulkan amal saleh.
c. Bidang Ilmu dan Kebudayaan
Karakteristik ajaran Islam dalam ilmu dan kebudayaan bersikap terbuka,
akomodatif, tetapi juga selektif. Dari satu segi Islam terbuka dan
akomodatif untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi
bersamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak bergitu saja
menerima seluruh jenis ilmu dan kebudayaan, melainkan ilmu dan
kebudayaan yang sejalan dengan ajaran Islam sendiri. Dalam konteks
historis Islam di bidang ilmu dan kebudayaan menjadi mata rantai yang
penting dalam peradaban dunia. Persoalan kebudayaan adalah persoalan
bagaimana manusia mewujudkan eksistensi dirinya dengan kekuatan
akal, hati, dan jiwa dalam lapangan hidup dan cara-cara yang
ditempuhnya dalam menghadapi tantangan kesejarahan.
d. Bidang Pendidikan
Senada dengan bidang ilmu pentahuan dan kebudayaan di atas, Islam
juga memiliki ajaran yang khas di bidang pendidikan. Dalam sejarah
kebudayaan Islam, akulturasi operasional pendidikan Islam yang
berpedoman pada al-Qur‟an dan al-Hadist secara serasi dan seimbang,
telah mampu memberikan motivasi dan inspirasi umat Islam pada masa
klasik dalam merumuskan berbagai persepsi mengenai manusia melalui
pendidikan sebagai sarana yang mendasari lahirnya peradaban dunia.
Islam memandang pendidikan adalah hak bagi tetiap orang (education for
all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life
education). Dalam bidang pendidikan, Islam memiliki rumusan yang
jelas dalam bidang tujuan, kurikulum, guru, metode, sarana, dan lain
sebagainya. Di dalam al-Qur’an terdapat berbagai metode pendidikan,
seperti; metode caramah, tanya-jawab, diskusi, demonstrasi, penugasan,
teladan, pembiasaan, hukuman, nasihat, dan lain-lain.

7
e. Bidang Sosial
Karakteristik ajaran Islam di bidang sosial, bahwa Islam mengajarkan
setiap manusia untuk hidup damai dan sejahtera. Lebih khususnya, di
bidang ini Islam menjunjung tinggi tolongmenolong, saling menghargai
tentang hak dan kewajiban, kesetiakawaan, egaliter (kesamaan derajat),
tenggang rasa, dan kebersamaan. Atas dasar ukuran ini, maka dalam
Islam semua orang memiliki kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal
dalam arti yang sesungguhnya ada dalam Islam, sementara sistem kelas
yang menghabat mobilitas sosial tersebut tidak diakui keberadaannya.
f. Bidang Kehidupan Ekonomi
Islam memandang bahwa kehidupan yang harus dilakukan manusia
adalah hidup yang seimbang dan tidak terpisahkan antara urusan dunia
dan akherat. Agama harus terlihat dalam mengatur kehidupan dunia.
Sistem ekonomi dalam Islam mempunyai beberapa kelebihan yang
tercermin dari beberapa karakteristik, meliputi: pertama, bersumber dari
Tuhan dan Agama. Sumber awal ekonomi Islam berbeda dengan sistem
ekonomi lainnya karena merupakan kewajiban dari Allah. Ekonomi
Islam dari agama Allah dan mengikat semua manusia tanpa terkecuali.
Kedua, ekonomi pertengahan dan berimbang. Ekonomi Islam
memadukan kepentingan pribadi dan kemaslahatan masyarakat dalam
bentuk berimbang. Ketiga, ekonomi berkecukupan dan berkeadilan.
Ekonomi Islam memiliki keunggulan dengan menjadikan manusia
sebagai focus perhatian. Keempat, ekonomi pertumbuhan dan barakah.
Ekonomi Islam memiliki kelebihan lain, yaitu beroperasi atas dasar
pertumbuhan dan investasi harta dengan cara legal, agar dari mediasi
jaminan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi manusia.
g. Bidang Kesehatan
Ciri khas ajaran Islam selanjutnya dapat dilihat dalam konsepnya
mengenai kesehatan. Untuk menuju hal tersebut, Islam menekankan segi
kebersihan lahir dan batin. Sementara itu Islam memandang kebersihan
lahir-batin (jiwa) dalam istilah nafs, akhlak, dan irfan. Artinya,

8
kebersihan jiwa manusia dapat mengambil bentuk kebersihan tempat
tinggal, lingkungan sekitar, badan, pakain, makanan, minuman, dan lain-
lain, Sedangkan pada kebersihan batin dapat diwujudkan melalui bentuk
keikhlasan dan kekhusukan, perintah tersebut berbarengan dengan
perintah menyampaikan ajaran Islam dan membesarkan nama Allah
SWT.
h. Bidang Politik
Sejarah politik dunia Islam dapat dilihat pada tiga periode: pertama,
periode klasik (650-1250 M). Kedua, periode pertengahan (1250-1800
M). Ketiga, periode modern (1800 sampai sekarang). Pada periode
pertama inilah terjadi apa yang disebutkan dengan “masa keemasan”
dalam sejarah Islam. Namun, yang terpenting bentuk pemerintahan
tersebut harus digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan,
kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, kedamaian, dan ketentraman
masyarakat. Di era kontemporer ini masalah politik, berhubungan dengan
bentuk pemerintahan. Hal ini sebagaimana kita mengenal berbagai
bentuk pemerintah seperti republik yang dipimpin presiden, kerajaan
yang dipimpin raja, dan sebagainya.
i. Bidang Disiplin Ilmu
Selain sebagai ajaran yang berkenaan dengan berbagai bidang kehidupan
dengan ciri-cirinya yang khas tersebut, Islam juga telah tampil sebagai
sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu keislaman.

Hal mendasar yang harus dipahami para pengkaji Islam agar tidak
terperangkap dalam normatifitas:

Hal yang harus dipahami para pengkaji Islam, yaitu: dengan


metode yang digunakan adalah komperatif antara keyakinan Islam
dengan keyakinan Kristen yang senantiasa merugikan Islam. Harus
diakui konstribusi para misionaris adalah sebagai konstributor awal untuk
pertumbuhan ilmu Islam. Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para
missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan

9
menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat
setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari
bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam
aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian,
eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang
sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks itu, karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan
missionaris Kristen, studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan
memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang
efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan
missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi
Islam. Konstribusi para pengkaji Islam dengan pendekatan apologetik
tersebut adalah melahirkan pemahaman tentang identitas baru terhadap
Islam bagi generasi Islam dan terbentuknya kebanggaan yang kuat bagi
mereka.
Kajian apologetik ini telah dapat menemukan kembali berbagai
aspek sejarah dan keberhasilan Islam yang sempat terlupakan oleh
masyarakat. Hasilnya dapat dilihat dalam banyak aktivitas penelitian dan
karya tulis yang menekankan pada warisan intelektual, kultural, dan
agama Islam sendiri. Seperti halnya missionaris yang tertarik mengkaji
Islam, gerakan apologetik ini memiliki beberapa karakteristik. Secara
teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama,
metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan
doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha
membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga,
apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang
mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk
akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan
internal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara
di pihak lain, menyatakan dogmadogma agama yang pokok dan tidak

10
dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam
bentuk, tetapi irasional dalam isi.

3. Dalam hasanah studi agama-agama, dikenal adanya istilah insider dan


outsider. Jelaskan, apa yang dimaksudkan dengan istilah-istilah tersebut.
Mengapa positioning seperti itu perlu dilakukan? Bagaimana bila hal itu
terjadi pada sarjana Islam sendiri dalam lingkup studi Islam? Berikan
contohnya.

Jawab:

a. Studi Islam dalam Perspektif Insider


Insider adalah para pengkaji agama yang berasal dari agamanya sendiri
(orang dalam). Islam sebagai objek kajian senantiasa menarik seiring
dengan berkembangnya pendekatan disiplin ilmu dan metodologi.
Ketertarikan para peneliti tampaknya lebih merupakan kedinamisan Islam
dan masyarakatnya, dan karena banyaknya tantangan yang dihadapi oleh
umat Muslim dalam upaya mengakualisasikan ajaran-ajarannya. Kajian
Islam dari kalangan insider lebih dalam lagi karena ingin memberikan
respons Islam atas tantangan kontemporer. Pengkajian Islam dalam
perspektif insider (pengkaji dari kalangan internal Muslim sendiri) kini
telah menunjukkan kecenderungan yang cukup kritis.
b. Studi Islam dalam Perspektif Outsider
Para pengkaji non-Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya
dalam berbagai analisis dan pembacaan dengan metodologi tertentu (orang
luar). Pengkajian keislaman, dilakukan oleh para ilmuwan dari kalangan
luar Islam (non-Muslim). Sarjana-sarjana Barat tampknya amat terterik
dengan dinamika ummat Islam di dunia ini. Fenomena ini telah muncul
sejak lama ketika sarjana Barat mersa perlu melakukan sikap pertahanan
dari atas keyakinan yang diyakininya hingga sekarang mereka memandang
perlu melakukan pengkajian Islam berdasarkan bagaimana Islam dipahami
oleh umatnya. Pemahaman dan langkah penelitian dengan dasar
bagaimana Islam dipahami oleh ummatnya ini dikenal dengan pendekatan
fenomenologi. Mereka sadar bahwa selama ini banyak sarjana Barat telah

11
melakukan pendekatan yang salah karena mereka menggunakan paradigm
dan terori mereka sendiri dalam mengkaji Islam sehingga pembahasannya
menjadi bias, tidak lagi objektif berdasarkan realitas Islam yang dipahami
dan diamalkan oleh umatnya.

Mengapa positioning insider dan outsider perlu dilakukan?


Karena, Posisi insider dan outsider merupakan salah satu prespektif
diantaanya yang secara tegas menyatakan bahwa berdasarkan data sejarah,
agak susah bahkan tidak mungkin bagi seseorang yang menganut agama
tertentu kemudian mencoba mengkaji agama lain atau outsider. Karena itu
patut dipertanyakan keabsahan para sarjana Barat dalam mengkaji Islam
secara objektif. Sebagaimana yang diungkapkan Wilred Cantwell Smith, ia
mengakui bahwa interpretasi umat Islam dipandang otoritatif. Ia menyatakan
apapun yang saya katakan tentang Islam sebagai keyakinan hidup di tengah-
tengah masyarakat adalah valid sejauh umat Islam sendiri setuju dan
mengamininya terhadap pemahaman tersebut. Kajian para outsider tentang
Islam harus dicek dan dikontrol oleh umat Islam untuk menghindari
peyalahgunaan kegiatan akademik untuk melawan Islam.

Bagaimana bila hal itu terjadi pada sarjana Islam sendiri dalam lingkup
studi Islam? Berikan contohnya.
Bila hal itu terjadi pada sarjana Islam dalam lingkup studi Islam, maka
solusinya yaitu: disebutkan bahwa untuk menekan terjadinya bias karena
insider/outsider maka kemudian lahir satu bidang ilmu yang dikenal dengan
Phenomenology, melalui ilmu ini seorang peneliti mencoba menggambarkan
(to describe), menginterpretasikan (to interprete) dan menjelaskan (to
eksplant) fenomena yang ada. ketiga hal tersebut akan berjalan dengan baik
dengan syarat seorang peneliti harus mencoba untuk memasuki dan
merasakan pengalaman-pengalaman dan makna-makna yang dimiliki pihak
lain, mengakses momen-momen pribadi dari persepsi manusia yang akhirnya
dapat menjembatani jarak antara subjek dan objek. Hal ini didasarkan pada
satu asumsi dasar bahwa semua manusia berbagi pengalaman-pengalaman

12
yang sama dan karenanya seorang peneliti dapat menjembatani jarak antara
insider dan outsider dengan cara menjeneralisir pengalaman-pengalaman
pribadinya dan kemudian diterapkan pada pengalaman-pengalaman orang
lain. Contonya: setiap pemikiran manusia terikat pada bahasa atau
logocentrisme dengan segala peraturan dan batasannya. Namun, keterturutan
logocentrisme ini amat menonjol di kalangan Muslimin. Karena itu
menganggap teks-teks yang bersifat immanent dari segi bahasa yakni
berfungsi dalam batas suatu bahasa dan kondisi tertentu dianggap sebagai
transendent Ilahi.

4. Mengapa dalam studi Islam diperlukan banyak pendekatan? Jelaskan


apa yang Saudara ketahui tentang pendekatan-pendekatan tersebut
serta berikut karakteristiknya: a) pendekatan teologis, b) pendekatan
filosofis, c) pendekatan fenomenologis. Jelaskan wilayah kajian masing-
masing agar jelas pula perbedaan mereka dalam mengkaji agama Islam.

Jawab:

Mengapa dalam studi Islam diperlukan banyak pendekatan?

Karena, berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami


agama. Hal ini perlu dilakukan, karena melalui pendekatan tersebut kehadiran
agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa
mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit
dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional, dan akhirnya masyarakat
mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh
terjadi. Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis, normatif,
antropologis, sosiologis, fenomenologis, filosofis, historis, politis, psikologis,
dan interdisipliner. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah
cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama.

Pendekatan-pendekatan dalam Studi Islam:


a. Pendekatan Teologis

13
Kata theology diartikan sebagai ilmu agama, jadi teologi adalah
ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang
yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu
mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang
berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-
ambing oleh peredaran zaman. Pendekatan teologis dalam memahami
agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari satu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai
yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Adanya tiga
karakteristik teologis, yaitu: Pertama, teologi memiliki kecenderungan
yang sangat kuat untuk lebih mengutamakan loyalitas terhadap kelompok
internalnya sendiri semata, yang dalam tradisi keberagamaan bisa dalam
bentuk agama atau pun faham keagamaan dari suatu agama tertentu.
Kedua, adanya keterlibatan pribadi (involvement) dan penghayatan yang
begitu kental dan pekat kepada ajaran-ajaran teologi anutannya yang
tentu sangat diyakini kebenarannya. Dan ketiga, dalam mengungkapkan
perasaan dan pemikiran, teologi lebih menggunakan bahasa sebagai
ungkapan seorang actor (pelaku) dan bukannya ungkapan bahasa sebagai
seorang peneliti atau pengamat (spectator) yang berposisi netral.

Wilayah kajian pendekatan teologis:


Maka sebagai implikasinya, kajian-kajian keagamaan tentang
Islam seperti tafsir alQur’an, ilmu hadis, jurisprudensi (fiqih), teologi
Islam (ilmu Kalam), dan juga sufisme (tasawuf), biasanya dimasukkan ke
dalam wilayah kajian normatif dalam studi Islam. Relevan dengan ini,
sungguh wajar kalau kemudian ada yang menegaskan bahwa pendekatan
normatif dalam studi agama adalah pendekatan yang lebih melihat agama
dari sisi normativitasnya. Pada umumnya kajian normatif agama Islam
dikembangkan oleh sarjana Muslim untuk memperoleh ilmu pengetahuan

14
atas kebenaran keagamaan (Islam). Kajian ini mencakup kajian-kajian
keagamaan tentang Islam, seperti tafsir al-Qur’an, ilmu hadis,
jurisprudensi (fiqih) dan teologi Islam (Ilmu Kalam). Biasanya kajian ini
berkembang di masjid-masjid atau sekolah keagamaan (madrasah).
Biasanya, di universitas atau institut keislaman yang ada di negara-
negara Muslim, bidang-bidang di atas masuk dalam kajian tentang
syari’ah, ilmu pokok-pokok agama (ushul ad-din).

b. Pendekatan Fenomenologis
Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon yaitu
sesuatu yang tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa
Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu
aliran yang membicarakan fenomenon, atau segala sesuatu yang
menampakkan diri. Tokoh fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-
1938), ia adalah pendiri fenomenologi yang berpendapat bahwa ada
kebenaran untuk semua orang, dan manusia dapat mencapainya. Adapun
inti pemikiran fenomenologi adalah bawah untuk menemukan pemikiran
yang benar, seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri.
Pernyataan tentang hakikat “benda-benda” tidak lagi bergantung kepada
orang yang membuat pernyataan, melainkan ditentukan oleh “benda-
benda” itu sendiri.
Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena
pemikiran pertama (first look) tidak membuka tabir yang menutupi
hakikat, maka diperlukan pemikiran kedua (second look). Alat yang
digunakan untuk menemukan hakikat pada pemikiran kedua ini adalah
intuisi. Istilah yang digunakan Husserl menunjukkan penggunaan intuisi
dalam menemukan hakikat adalah Wesenschau (melihat secara intuitif)
hakikat gejala-gejala. Sedangkan kaitannya dengan agama, fenomenologi
merupakan sebuah gerakan pengembangan dalam pemikiran dan
penelitian dimana peneliti mencoba memahami manusia dan

15
mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk fenomena
keagamaan.

Wilayah kajian pendekatan fenomenologi:


Seorang fenomenologis bersikap netral, tidak menggunakan teori-
teori atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi
kesempatan “berbicara tentang dirinya sendiri”. Peneliti dalam
pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-
kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Para
fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia berbagai cara
untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang
lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk
kenyataan. Melihat subjek dari segi ini hasilnya barangkali akan
memaksa subyek tersebut mengalami dunia yang asing baginya. Bagi
peneliti kualitatif terdapat perbedaan: (1) Derajat mengatasi masalah
metodologis / konseptual ini dan (2) cara mengatasinya. Sebagian
peneliti mencoba melakukan “deskripsi fenomenologis murni”. Di pihak
lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan berusaha membentuk
abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi pandangan
mereka”. Apapun posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus menyadari
persoalan teoretis dan isu metodologis ini.

c. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta
kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu, filsafat dapat pula
berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat
serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Filsafat
adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal
dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas,
dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh:

16
kita jumpai berbagai merek pulpen dengan kualitas dan harganya yang
berlain-lainan namun inti semua pulpen itu adalah sebagai alat tulis.
Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam
memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti
dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama.
Karakteristik utama pendekatan filosofis, yaitu: (1) Lebih
memberikan penekanan pada upaya pencarian idea-idea mendasar-
fundamental (fundamental idea), yang dalam konteks keragaman atau
pluralitas (keagamaan), akan menjadi titik temunya. Maksudnya, titik
temu antara agama yang satu dengan agama lainnya, atau antara satu
faham dengan faham lainnya; (2) Pengenalan dan pendalaman terhadap
berbagai idea fundamental itu kemudian dapat membentuk cara berfikir
yang bersifat kritis (critical thought); dan (3) Kajian terhadap Islam
membentuk mentalitas, cara berfikir dan kepribadian yang
mengutamakan kebebasan intelektual.

Wilayah kajian pendekatan filosofis:


Perbedaan wilayah kajian filsafat kategori pertama dengan yang
kedua, bahwasannya wilayah pertama bersifat “keilmuan” dan “terbuka”
serta “dinamis”, sedang wilayah yang kedua bersifat “ideologis” dan
“tertutup” serta “statis”. Yang pertama bersifat “inklusif”, tidak tersekat-
sekat dan tidak terkotak-kotak, sedangkan yang kedua bersifat
“eksklusif”, tersekat-sekat dan terkotak-kotak oleh tradisi sendiri-sendiri.
Cara berfikir ideologis yang tertutup itu biasanya melupakan
keterbatasan-keterbatasan dan keurangan yang melekat pada dirinya
sendiri.

17
5. Dalam studi Islam terdapat sebuah pendekatan yang disebut dengan
studi kawasan. Jelaskan, apa yang Saudara ketahui tentang pendekatan
ini. Seperti apa ciri-cirinya? Mengapa dalam mengkaji Islam perlu
penggunaan pendekatan tersebut? Apa signifikansi penggunaan
pendekatan ini dalam rangka studi Islam di era globalisasi?

Jawab:

Pengertian Studi Kawasan

Studi kawasan (area studies) terdiri dari dua kata, yakni area dan
studi. Area mengandung arti region of the earth’s surfaces artinya adalah
daerah permukaan bumi. Area juga bermakna luas, daerah kawasan setempat
dan bidang. Sedangkan studi mengandung pengertian devotion of time and
thuought to getting knowledge, artinya adalah pemanfaatan waktu dan
pemikiran untuk mendapatkan Ilmu pengetahuan .Secara terminologi studi
kawasan/wilayah adalah pengkajian yang digunakan untuk menjelaskan hasil
dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah dimana
masalah tersebut terjadi. Jadi, pengertian studi kawasan Islam adalah kajian
yang tampaknya bisa menjelaskan bagaimana situasi sekarang ini terjadi
karena, fokus materi kajiannya tentang berbagai area mengenai kawasan
dunia Islam dan lingkup pranata yang ada dicoba diurai didalamnya.
Dalam studi Islam (Islamic Studies) “Studi Kawasan” merupakan
studi berbagai area tntang kawasan Dunia Islam yang mencakup diantaranaya
pertumbuhan dan perkembangan pemikiran Islam, kebudayaan, dan ciri-ciri
khusus etnolinguistik, geografis, teologis, dll. Setiap kawasan Dunia Islam
diasumsikan memiliki ciri-iri ksus yang membedakan saru kawasan dengan
kawasan yang lainnya, dan sekaligus merupakan suatu sistem atau sub-sistem
yang mau tidak mau adalah sub-ordinasi terhadap sistem lobal dunia Islam.
Ciri-ciri khusus tersebut dipengaruhi dan ditentukan oleh bermacam-macam
faktor, seperti: faktor geografis, demografis, sosiologis, etnolinguistik,
historis, budaya, bahasa, politik, komitmen terhadap perkembangan
kawasan, dan yang lainnya.

18
Mengapa dalam mengkaji Islam perlu penggunaan pendekatan
kewilayahan?
Dalam mengkaji studi Islam perlu adanya pendekatan kewilayahan,
karena agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.
Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya. Untuk dapat hidup dan berkembang serta
lestari dalam masyarakat, agama harus menjadi kebudayaan bagi masyarakat.
Karena setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang digunakan sebagai
pedoman untuk memanfaatkan lingkungan hidupnya guna kelangsungan
hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial dan kebutuhan
adab yang integratif.
Jadi, pendekatan studi area merupakan pendekatan yang meliputi:
bidang kesejarahan, linguistik, dan semua cabang ilmu serta pengetahuan
yang berkaitan dengan pertumbuhan, perkembangan peradaban, dan
kebudayaan terhadap keadaan masyarakat di suatu wilayah atau kawasan.
Problematika yang dihadapi pada penelitian dengan menggunakan
pendekatan studi kawasan dalam Studi Islam dan Komunitas Muslim.,
berbanding lurus besarnya dengan objek dan luas wilayah yang akan
diselidiki. Semakin kompleks objek yang menjadi sasaran penyelidikan dan
semakin luas wilayah yang dijangkaunya, maka segala persiapan yang
diperlukan untuk menerapkan studi area, juga semakin besar. Sementara
Prospek pendekatan studi area, sebenarnya boleh dikatakan sangat baik. Hal
ini mengingat perlunya dibangun saling pengertian dan kerjasama antar
komunitas muslim dunia yang meliputi yang sangat luas. Dengan pendekatan
studi kawasan, para umat muslim dapat mengetahui kajian-kajian yang
dilakukan oleh umat muslim di kawasan lainnya.

Apa signifikansi penggunaan pendekatan ini dalam rangka studi Islam


di era globalisasi?
Penerapan pendekatan studi kawasan dalam studi Islam dapat
menghindari terjadinya kekeliruan dalam memandang keadaan Islam dan

19
umatnya yang berada di belahan bumi yang berbeda dari tempat di mana
seorang pengamat itu berada. Penyelidikan melalui pendekatan ini akan
memperhatikan unsur tempat, objek, waktu, latar belakang, dan pelaku
peristiwa tersebut. Lewat pendekatan studi area, dapat diajak menukik dari
alam idealis menuju alam realistis-fenomenologis, hingga akhirnya dapat
ditarik suatu kesimpulan dan penilaian yang lebih objektif terhadap fakta-
fakta yang ditemukan terhadap suatu objek di suatu area. Jadi seperti apa
yang telah dijelaskan dari signifikansi pendekatan studi area di atas, maka
kontribusi studi area dalam Studi Islam dapat disebutkan antara lain:
Pertama, Memberikan penjelasan tentang keadaan ke-Islaman di suatu
daerah menurut data dan fakta yang ada, sehingga peneliti dapat melihat hal
tersebut dengan penilaian yang mendekati titik objektivitas. Contohnya:
bagaimana muslim Indonesia memandang muslim India bercorak sinkretis
hinduistik yang kental, sehingga lebih menonjol kehinduannya dari
keislamannya, padahal kenyataannya tidak demikian, di sana mudah dijumpai
komunitas muslim bahkan dengan pengamalan agama yang sangat Islami
sesuai Syari’at Islam.
Kedua, Mengenal dengan baik suatu budaya tertentu, sehingga kita
mampu membedakan mana nilai yang bersifat universal dan mana yang lokal
dalam ajaran Islam.
Ketiga, Memunculkan kesadaran umat Islam mengenai pentingnya
assimilasi dan akulturasi timbal balik, sehingga umat Islam memiliki
khazanah kebudayaan yang tinggi dan kaya.
Keempat, Memungkinkan terbinanya kerjasama di bidang sosial,
budaya, ekonomi dan pendidikan, bahkan pertahanan dan keamanan, untuk
memajukan bidang-bidang tersebut melalui penelitian-penelitian dengan
pendekatan multidisipliner maupun interdisipliner dan membentuk komunitas
muslim dunia yang kuat dan mapan, sehingga disegani baik oleh kawan
maupun lawan.

20
21

Anda mungkin juga menyukai