Anda di halaman 1dari 5

BAB 4

ANALISIS PEMBAHASAN

Perekonomian melemah, masyarakat kesulitan mencari nafkah, perusahaan pembiayaan


terancam mengalami penurunan performa.

Sejak awal tahun 2020 Indonesia diguncang dengan adanya virus yang hingga saat ini
persebarannya semakin meluas. Awal tahun 2020 hanya kota-kota besar yang terdampak, namun
hingga bulan Juni 2020 Covid-19(virus yang menjadi momok besar di indonesia) sudah
menyebar ke seluruh wilayah.

Pemerintah sudah berupaya untuk meminimalisir perekembangan Covid-19 dengan


berbagai kebijakan yang dikeluarkan seperti salah satunya adalah Social Distancing. Kebijakan
ini membuat para pelaku bisnis kelimpungan dalam berbisnis. Masalahnya dengan adanya
kebijakan tersebut pelaku bisnis terutama UMKM mengalami penurunan penghasilan.

Penghasilan yang semakin hari semakin mengecil membuat pelaku bisnis UMKM
mencari alternatif lain untuk menyelamatkan hidup mereka. Salah satunya dengan menggunakan
layanan perusahaan pembiayaan.

Pada awal bulan Maret pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk Bank dan Perusahaan
Pembiayaan agar melakukan relaksasi kredit. Hal ini tidak serta merta langsung diterapkan oleh
perusahaan pembiayaan(leasing). Perusahaan leasing harus memikirkan matang-matang apa
dampak yang akan menghantam perusahaan leasing jika menerapkan relaksasi kredit.

Pemerintah beranggapan bahwa kebijakan ini ‘harus’ diimplementasikan, padahal tidak.


Pemerintah mengucapkan kebijakan tersebut secara lisan yang disambut baik oleh masyarakat
yang memang telah memiliki cicilan kredit atau yang sedang kesulitan dan ingin melakukan
kredit. Namun, perusahaan leasing menganggap belum ada aturan yang jelas terkait kebijakan
tersebut.

Setelah pemerintah mengatakan bahwa lembaga pembiayaan harus melakukan relaksasi


kredit, banyak driver ojek online yang salah menafsirkan hal tersebut. Namun, para driver ojek
online sudah berbondong-bondong mengajukan keringanan kredit. Dan ternyata driver ojek
online tetap ditagih oleh debt collector.

Driver ojek online merasa dibohongi oleh pemerintah. Padahal memang sudah jelas,
bahwa perusahaan pembiayaan belum merealisasikan kebijakan tersebut. Dan ternyata memang
banyak driver ojek online yang mengajukan keringanan kredit bukan kepada perusahaan
pembiayaan yang resmi, melainkan pada lembaga pembiayaan informal.

Perusahaan leasing juga berharap bahwa pemerintah harus memikirkan ulang hal
tersebut. Pemerintah juga harus berhati-hati dan menjaga sektor perbankan agar tidak merugi
akibat kebijakan tersebut. Pasalnya di tengah pandemi ini, bank akan menghadapi risiko kredit
macet lebih tinggi apalagi kondisi Dana Pihak Ketiga (DPK) juga tidak sedang bagus-bagusnya.
Likuiditas bank-bank besar menurutnya juga tidak besar bahkan mulai kekurangan. Hal ini bisa
memacu krisis yang semakin sempurna, yaitu di sektor ekonomi dan perbankan.

Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut, OJK sudah terlebih dahulu


mengeluarkan kebijakan yang sama, bedanya OJK tidak mengharuskan hal tersebut. Perusahaan
leasing boleh tidak menerapkan kebijakan tersebut, namun alangkah lebih baiknya kebijakan
tersebut direalisasikan.

Melihat dari sisi nasabah sudah dapat dipastikan hal ini sangat menguntungkan, apalagi
semakin banyak masyarakat yang kesulitan menjalankan bisnisnya yang diambang
kebangkrutan.

Namun, jika kita melihat dari sisi perusahaan leasing hal ini bisa berdampak besar.
Kebijakan ini kedepannya bisa membuat kredit macet meningkat. Hal ini pastinya berdampak
buruk bagi perkembangan perusahaan leasing. Namun, jika kebijakan ini di terapkan dengan
lebih hati-hati, risiko kredit macet tidak terlalu besar.

Akhirnya pada awal bulan Maret perusahaan leasing setuju untuk memberlakukan
relaksasi kredit dengan berbagai macam syarat. Antara lain, para nasabah yang ingin mengajukan
relaksasi haruslah yang terkena dampak langsung adanya Covid-19 dengan pembiayaan dibawah
Rp. 10 juta, dan relaksasi kredit ini hanya berlaku bagi para pelaku bisnis UMKM dan driver
ojek online. Syarat lainnya yaitu saat ini sebagai pemegang unit kendaraan atau jaminan
Hal ini disambut baik oleh para pelaku bisnis UMKM dan juga driver ojek online.
Berbondong-bondong para pelaku bisnis UMKM dan driver ojek online mengajukan keringanan
kredit pada perusahaan leasing.

Relaksasi kredit yang diterapkan oleh perusahaan leasing tidak bertahan lama. Di awal
pemberlakuan relaksasi kredit sudah menerima banyak nasabah yang mengajukan keringanan
kredit. Hal ini membuat perusahaan leasing memikirkan ulang kebijakan tersebut. Perusahaan
leasing khawatir jika kebijakan ini membuat kredit macet meningkat.

Dari data asosiasi, saat ini sebagian besar pendanaan leasing itu berasal dari perbankan
dan kondisinya untuk mendapatkan dana di masa pandemi seperti ini tidak mudah. Hal ini juga
menjadi pertimbangan.

Pada awal April sekitar + 80% perusahaan pembiayaan sudah menghentikan penyaluran
kredit kepada masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi risiko kredit macet. Selain itu,
perusahaan pembiayaan khawatir jika nasabah tidak dapat membayar angsuran.

Perusahaan leasing juga beralasan bahwa penghentian penyaluran relaksasi kredit ini
demi membantu menjaga arus kas perseroan agar tetap berada pada level aman. Selama
menghentikan kredit, leasing juga melakukan pendataan dan memeriksa kelengkapan
administrasi nasabah yang sudah mengajukan keringanan kredit akibat dampak Covid-19.

Setelah dirasa mulai membaik, pada bulan Juni 2020 perusahaan leasing mulai
menormalkan proses kredit yang sempat berhenti pada bukan April. Perusahaan leasing mulai
memberikan keringanan lagi kepada para nasabah yang ingin mengajukan keringanan kredit
dengan syarat yang lebih ketat lagi dan pastinya lebih berhati-hati dalam menyeleksi nasabah.

Pada awal Juni 2020 jumlah kredit leasing yang mendapatkan relaksasi mencapai
Rp84,38 triliun dari sebanyak 2,82 juta kontrak nasabah. Bahkan masih ada + 500 ribu kontrak
yang belum disetujui.

Selain relaksasi kredit, di tengah-tengah masa pandemi Covid-19 ini perusahaan leasing
menaikkan DP(Down Payment) untuk pembelian kendaraan baru secara kredit. Perusahaan
leasing menaikkan DP sebesar 40%-50%. Bahkan ada perusahaan leasing yang mematok hingga
50% namun tidak melebihi 50%. 50% merupakan DP maksimal yang ditetapkan oleh perusahaan
leasing.

Sebelum adanya Covid-19 DP kredit kendaraan hanya sebesar 150-20%. Akibat


dinaikkannya DP kendaraan banyak nasabah yang membatalkan pembelian kendaraan.

Kebijakan ini diberlakukan dengan berbagai macam alasan. Perusahaan leasing tidak
serta-merta menaikkan DP untuk kepentingan sendiri. Banyak pihak yang menjadi landasan
dalam mengeluarkan kebijakan tersebut.

Jika dipikirkan menggunakan logika masyarakat awam justru hal ini ada suatu
kejanggalan yang diberlakukan oleh perusahaan leasing, jika DP dinaikkan otomatis hal ini akan
menurunkan jumlah penjualan, bukankah hal ini malah membuat perusahaan leasing merugi.
Seharusnya, perusahaan leasing menurunkan DP untuk menarik daya beli masyarakat namun
perusahaan leasing malah menerepkan kebijakan sebaliknya. Hal ini, seperti yang sudah
dijelaskan bahwa perusahaan leasing memiliki alasan khusus untuk menaikkan DP kendaraan
baru.

Alasan leasing memberlakukan kebijakan ini adalah untuk meyeleksi calon konsumen
yang ingin membeli kendaraan baru. Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko telat bayar
bahkan gagal bayar oleh para nasabah. Seperti yang kita ketahui dengan adanya pandemi ini
banyak para nasabah yang penghasilannya tidak menentu.

Di masa pandemi Covid-19 ini banyak masyarakat yang ingin melakukan kredit
kendaraan baru, padahal kita tidak tahu kedepannya penghasilan yang didapat akan tetap atau
bahkan turu yang menyebabkan nasabah kredit kendaraan kesulitan dalam membayar cicilan
kredit. Hal ini akan menyebabkan perusahaan leasing mengalami kredit macet dan dengan
perusahaan otomotif yang tidak berjalan baik membuat perusahaan otomotif menurunkan
produksinya. Bahkan, perusahaan otomotif juga mengerem produksinya.

Bisa dibayangkan jika banyak nasabah yang melakukan kredit kendaraan baru dengan
jumlah kendaraan yang tidak seberapa dan dengan nasabah yang gagal membayar cicilan kredit,
hal ini akan berdampak besar bagi perusahaan leasing. Perusahaan leasing kedepannya akan
kehilangan kepercayaan dari pihak perusahaan otomotif.
Namun, pada awal Juni 2020 perusahaan leasing mulai menurunkan DP kendaraan
sebesar 25%. Meskipun perusahaan leasing menurunkan DP, namun para nasabah masih tetap
berpikir dua kali. Hal ini masih dianggap tinggi bagi para nasabah yang ingin mengajukan kredit
kendaraan. Apalagi perusahaan leasing semakin ketat dalam menyeleksi nasabah yang ingin
mengajukan kredit.

Syarat yang harus dipenuhi oleh nasabah yang mengajukan kredit kendaraan dengan DP
25% adalah rumah atau tempat tinggal milik sendiri, pekerjaan minimal sudah lima tahu, dan
memiliki tabungan di bank dengan jumlah tertentu. Hal ini untuk mengetahui kondisi nasabah
yang ingin mengajukan kredit sedang dalam keadaan sehat di bidang finansial. Sehingga,
mengurangi risiko gagal pembayarn cicilan kedepannya.

Berbagai kebijakan dilakukan oleh perusahaan leasing demi menyelamatkan diri agar
performanya tidak menurun meskipun di landa permasalahan yang begitu pelik. Tidak mudah
bagi perusahaan pembiayaan tetap beroperasi di saat seperti ini.

Bahkan perusahaan leasing sempat mengalami penurunan dan tidak sesuai proyeksi target
kinerja pada awal tahun akibat dampak Covid-19. Sebenarnya pada awal tahun perusahaan
leasing sempat mengalami kenaikan meskipun ada bencana banjir dan yang lainnya yang sedang
menghantam. Namun, pada akhir Maret setelah Covid-19 menyebar di Indonesia, APPI merevisi
target kinerja pembiayaan menjadi 0 persen hingga maksimal 1 persen. Menurut dia, itu pun
tetap sulit direalisasikan sehingga ada kemungkinan pertumbuhan kinerja negatif. Padahal pada
awal tahun APPI menargetkan kinerja leasing sebesar 4,5% lebih besar dari tahun sebelumnya.
Target itu lebih baik dibandingkan dengan realisasi 2019 yang mencapai 3,66 persen.

Anda mungkin juga menyukai